Estimasi Kedalaman Tanah Berdasarkan Faset Lahan Di Daerah Aliran Sungai Cileungsi – Citeureup, Kabupaten Bogor

ESTIMASI KEDALAMAN TANAH BERDASARKAN FASET
LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI CILEUNGSI –
CITEUREUP, KABUPATEN BOGOR

Rizaldy Anhar
A14100050

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

i

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Estimasi Kedalaman Tanah
Berdasarkan Faset Lahan di Daerah Aliran Sungai Cileungsi–Citeureup,
Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun.

Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, April 2016
Rizaldy Anhar
NIM A14100050

ABSTRAK
RIZALDY ANHAR. Estimasi Kedalaman Tanah Berdasarkan Faset Lahan di
Daerah Aliran Sungai Cileungsi – Citeureup, Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh
BOEDI TJAHJONO dan KHURSATUL MUNIBAH.
Salah satu sifat tanah yang penting dalam penggunaan lahan adalah
kedalaman tanah (soil depth), karena kedalaman tanah banyak berpengaruh
terhadap jenis–jenis pemanfaatan, seperti untuk budibaya tanaman, mengetahui
kekritisan suatu lahan, menentukan daya dukung bangunan, atau aplikasi–aplikasi
keteknikan lainnya. Namun demikian data kedalaman tanah untuk sementara ini
tidak mudah untuk didapatkan. Oleh sebab itu penelitian ini bertujuan untuk
melakukan estimasi atau pemetaan kedalaman tanah dengan pendekatan sub-faset

lahan serta melakukan analisis dan interpretasi kedalaman tanah dalam kaitannya
dengan faset lahan, penutupan/penggunaan lahan, dan kemiringan lereng di DAS
Cileungsi-Citeureup. Hasil penelitian menunjukan bahwa DAS CileungsiCiteureup memilik sepuluh jenis faset lahan yang terbagi kedalam 151 sub-faset
lahan. Luasan terbesar dari faset lahan adalah perbukitan denudasional
(7.780,83ha atau 43,91% dari luas total daerah penelitian). Data kedalaman tanah
yang diperoleh dari lapangan dapat dikelaskan menjadi empat kelas, yaitu 1 – 30
cm, 31 – 60 cm, 61 – 100 cm, dan 101-120 cm. Berdasarkan data lapangan
tersebut dan juga hasil pemetaan, didapatkan bahwa luasan terbesar dari kelas
kedalaman tanah adalah kelas 61 – 100 cm seluas 10.126,51ha atau 57,15% dari
total luas DAS Cileungsi-Citeureup. Melihat kondisi tersebutmaka secara umum
DAS Cileungsi-Citeureup dapat dikatakan masih mempunyai kondisi ekologi
yang baik, karena sebagian besar kedalaman tanahnya masih di atas 60 cm. Pola
kedalaman tanah memperlihatkan bahwa pada kelas lereng C di berbagai faset
lahan dan penutupan/penggunaan lahan cenderung mempunyai kedalaman tanah
paling tipis, terutama pada faset-faset lahan erosional. Hal ini dapat disebabkan
oleh masih intensifnya aktivitas manusia pada kelas lereng tersebut dalam
memanfaatkan lahan. Dengan demikian kedalaman tanah di daerah penelitian
selain dipengaruhi oleh faktor fisik, seperti bahan induk, topografi, iklim,
vegetasi, dan waktu, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor aktivitas manusia.


Kata Kunci: Faset Lahan, Sub-Faset Lahan, Kedalaman Tanah, DAS CileungsiCiteureup, Bogor

iii

ABSTRACT
RIZALDY ANHAR. Soil Depth Estimation Based on Land Facet in Cileungsi –
Citeureup Watershed, Bogor Regency. Supervised by BOEDI TJAHJONO and
KHURSATUL MUNIBAH.
One of the most important thing of soil in landuse is the soil depth,
sinceitis useful for many works, such as for determining land suitibility for
cultivation, estimating the land degradation level, determining the carrying
capacity for building, or many other engineering works. However, soil depth data
is meanwhile not easily to be obtained. Therefore, this study was aimed to map
the soil depth using sub-land facet approach and to analysis and interpret the
relation between soil depth and land facet, land cover/use, and slope steepness.
The study took place in Cileungsi-Citeureup watershed, Bogor Regency.The
results showsthat the river basin has ten types of land facet that can be divided in
151 unit of sub-land facet, where the denudational hills was the largest part of it
(7.780,83ha or 43,91% of study area. According to the soil depth data obtaining
from field work, it can be divide in four classes i.e. 1–30 cm, 31–60cm, 61c–

100cm, and 101-120cm. Based on the mapping result, the largest area of soil
depth class was 61–100 cm that occupied 10.126,51ha of watershed landscape
(57,15%). It implicitly shows that the river basin in general has stilla good
condition in ecology, since the landscape was still dominated by soil depth of
more than 60 cm. The spasial pattern shows that the depth of soil tend to be
thinest in C slopes steepness class at what ever land facet and land cover/use
types, especially on erosional landfacets. It might be influenced by the high
human activities at that slope steepness. So, the depth of soil on CileungsiCiteureup Watershed beside influenced byphysical environmental factors, such as
parent materials, topography, climate, vegetation, and time, but also by thean
thropogenic factor represented by human activity of the land.

Keywords: Land Facet, Sub-Land Facet, Soil Depth, Cileungsi-Citeureup
Watershed, Bogor

ESTIMASI KEDALAMAN TANAH BERDASARKAN FASET
LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI CILEUNGSICITEUREUP, KABUPATEN BOGOR

RIZALDY ANHAR
A14100050


Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

v

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Febuari 2015 sampai September 2015
ini ialah kedalaman tanah, dengan judul Estimasi Kedalaman Tanah Berdasarkan
Faset Lahan di Daerah Aliran Sungai Cileungsi–Citeureup, Kabupaten Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada:

1. Dr Boedi Tjahjono, M.Sc selaku dosen pembimbing I atas bimbingan,
arahan, masukan, waktu dan kesabaran yang telah diberikan kepada
penulis selama penyusunan skripsi ini.
2. Dr Khursatul Munibah, M.Sc selaku pembimbing skripsi II yang telah
memberikan masukan, arahan, waktu, dan kesabaran kepada penulis
selama penyusunan skripsi.
3. Dr Ir Baba Barus, M.Sc selaku dosen penguji, yang telah bersedia
memberi masukan dan saran untuk perbaikan karya ilmiah ini.
4. Orang tua yang selalu memberi motivasi dan senantiasa mencurahkan
kasih sayang dan mendoakan penulis. Adik-adik serta kakakku yang selalu
ada untuk memberikan support kepada penulis.
5. Muhammad Abdul Aziz dan Arroyan yang telah membatu dalam
pengecekan lapang.
6. Keluarga besar Soil Science 47 yang terus memberikan motivasi,
membawa kenangan tersendiri disini. Salam sukses untuk kita semua.
7. Teman-temandi Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial Zahra,
Novi, Roki, Fitri, Indah, Huzaimah. Terima kasih atas motivasi dan
bantuannya.
8. Terima kasih kepada “Ceuli” (Ari, Indah, Nara, Doyog, Ardi, Fia, Ayu,
Tria, Rita, Penyok) yang selalu mendukung juga mendoakan.

9. FTQ (irfan, rifki, aul, ical) yang selalu mendukung dalam senang mau pun
susah.
10. kepada semua pihak yang telah membantu dalam kegiatan penelitian dan
penyusunan skripsi ini.

Bogor, Januari 2016

Rizaldy Anhar
NIM A14100050

vii

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI......................................................................................................................vii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................ viii
DAFTAR TABEL............................................................................................................. viii
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................................ix
PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1
Latar Belakang ................................................................................................................ 1

Tujuan ............................................................................................................................. 2
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................................... 2
Daerah Aliran Sungai (DAS) .......................................................................................... 2
Faset Lahan ..................................................................................................................... 2
Penutupan/Penggunaan Lahan ........................................................................................ 3
Kemiringan Lereng ......................................................................................................... 3
Kedalaman Tanah ........................................................................................................... 3
METODOLOGI PENELITIAN .......................................................................................... 4
Waktu dan Tempat Penelitian ......................................................................................... 4
Alat dan Bahan................................................................................................................ 4
Tahapan Penelitian .......................................................................................................... 4
1.

Tahapan Persiapan .............................................................................................. 4

2.

Tahapan Pengumpulan Data ............................................................................... 4

3.


Analisis Data ....................................................................................................... 6

HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................................................... 8
Faset Lahan ..................................................................................................................... 8
Sub-Faset Lahan.............................................................................................................. 9
Penutupan/Penggunaan Lahan ................................................................................... 9
Kemiringan Lereng ................................................................................................... 12
Pemetaan Sub – Faset Lahan ....................................................................................... 13
Pengukuran dan Pemetaan Kedalaman ......................................................................... 14
Keterkaitan Faset Lahan/Sub-Faset Lahan dengan Kedalaman Tanah ......................... 15
KESIMPULAN DAN SARAN......................................................................................... 22
Kesimpulan ................................................................................................................... 22
Saran ............................................................................................................................. 23
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 23

LAMPIRAN ...................................................................................................................... 25
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................................... 40

DAFTAR GAMBAR

1.
2.
3.
4.

Peta Daerah Penelitian ................................................................................. 6
Diagram Alir Penelitian ............................................................................... 7
Peta Faset Lahan Daerah Aliran Sungai Cileungsi - Citeureup .................. 9
Peta Penutupan/Penggunaan Lahan Daerah Aliran Sungai CileungsiCiteureup ................................................................................................... 10
5. Penggunaan Lahan Hutan .......................................................................... 11
6. Penggunaan Lahan Perkebunan (pisang) ................................................... 11
7. Penggunaan Lahan Terbangun .................................................................. 12
8. Peta Kemiringan Lereng Daerah Aliran Sungai Cileungsi – Citeureup .... 13
9. Peta Sub – Faset Lahan Daerah Aliran Sungai Cileungsi - Citeureup ...... 14
10. Peta Sebaran Kedalaman Tanah Daerah Aliran Sungai CileungsiCiteureup ................................................................................................... 15
11. Kedalaman Tanah diPenutupan/Penggunaan Lahan Hutan pada Faset
Lahan dan Kelas Lereng yang Berbeda ..................................................... 17
12. Kedalaman Tanah diPenutupan/Penggunaan Lahan Kebun Campuran pada
Faset Lahan dan Kelas Lereng yang Berbeda ........................................... 18
13. Kedalaman Tanah diPenutupan/Penggunaan Lahan Permukiman pada

Faset Lahan dan Kelas Lereng yang Berbeda ........................................... 18
14. Kedalaman Tanah diPenutupan/Penggunaan Lahan Perkebunan pada Faset
Lahan dan Kelas Lereng yang Berbeda ..................................................... 19
15. Kedalaman Tanah diPenutupan/Penggunaan Lahan Pertambangan pada
Faset Lahan dan Kelas Lereng yang Berbeda ........................................... 20
16. Kedalaman Tanah diPenutupan/Penggunaan Lahan Semak/Belukar pada
Faset Lahan dan Kelas Lereng yang Berbeda ........................................... 20
17. Kedalaman Tanah diPenutupan/Penggunaan Lahan Sawah pada Faset
Lahan dan Kelas Lereng yang Berbeda ..................................................... 21
18. Kedalaman Tanah diPenutupan/Penggunaan Lahan Tegalan pada Faset
Lahan dan Kelas Lereng yang Berbeda ..................................................... 21
19. Kedalaman Tanah diPenutupan/Penggunaan Lahan Tanah Terbuka pada
Faset Lahan dan Kelas Lereng yang Berbeda ........................................... 22

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.

Data Sekunder ............................................................................................. 5
Luas Faset Lahan di Daerah Aliran Sungai Cileungsi-Citeureup................ 8
Luas Penutupan/Penggunaan Lahan .......................................................... 10
Luas Kemiringan Lereng di Daerah Penelitian ......................................... 12
5. Luas kedalaman tanah ............................................................................... 14

ix

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Peta Litologi Daerah Aliran Sungai Cileungsi-Citeureup ......................... 26
Peta Morfokronologi Daerah Aliran Sungai Cileungsi-Citeureup ............ 26
Dokumentasi Pengambilan Kedalaman Tanah ......................................... 27
Dokumentasi Penutupan/Penggunaan Lahan ............................................ 27
Form Data Lapang..................................................................................... 30
Nama dan Luas Sub-Faset Lahan .............................................................. 32

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Daerah Aliran Sungai Cileungsi – Citeureup yang terletak di Kabupaten
Bogor merupakan salah satu daerah atas (upland) yang memiliki bentuklahan
beragam (Lukman, 2015). Keberagaman tersebut menghasilkan sifat–sifat tanah
yang beragam pula termasuk penggunaan lahannya. Dalam hal ini hubungan
antara tanah dan bentuklahan adalah sangat erat karena tanah terbentuk di atas
suatu bentuklahan (Gerrard 1992: Schaetzl, Anderson 2005). Adapun penggunaan
lahan adalah hasil aktivitas manusia dalam rangka memanfaatkan lahan, dan jenis
pemanfaatannya banyak dipengaruhi oleh sifat tanah atau bentuklahan (Lukman
2015). Salah satu sifat tanah yang penting untuk penggunaan lahan adalah
kedalaman tanah (soil depth), karena kedalaman tanah banyak menentukan jenis–
jenis pemanfaatan, seperti jenis tanaman yang sesuai untuk dibudidayakan,
memperkirakan kekritisan suatu lahan, atau menentukan daya dukung bangunan
serta aplikasi–aplikasi keteknikan lainnya.
Dengan demikian data kedalaman tanah adalah data yang sangat
diperlukan untuk berbagai keperluan, terutama untuk evaluasi lahan, namun data
kedalaman tanah sementara ini tidak mudah didapatkan. Oleh karena itu kajian
untuk estimasi kedalaman tanah dirasa perlu untuk dikembangkan apalagi data
permukaan bumi yang dapat disadap dari penginderaan jauh relatif cukup banyak
tersedia. Mengingat bahwa tanah secara pedogenesis ditentukan oleh faktor-faktor
tertentu, seperti bahan induk, topografi, iklim, organisme, dan waktu, maka
kedalaman tanah dapat didekati dengan menganalisis bentanglahan melalui
karakteristik bentuklahan.
Bentuklahan (landform) adalah bentuk permukaan bumi, khususnya di
daratan, yang terjadi karena proses geomorfik tertentu dan melalui serangkaian
evolusi. Bentuklahan mempunyai dimensi yang sangat beragam, sehingga
bentuklahan dapat dibedakan berdasarkan skalanya dari sub–kontinental
(misalnya rangkaian pegunungan) sampai bagian dari lereng tunggal (Marsoedi
dan Widagdo 1997). Dalam skala semi detil (1:100.000, 1:50.000 atau 1:25.000)
bentuklahan yang dipetakan dinamakan faset lahan (land facet) atau ada pula yang
memberi nama lain seperti land unit atau terrain unit (Zuidam 1986).
DAS Cileungsi – Citeureup yang mempunyai keberagaman bentuklahan
dan penggunaan lahan seperti telah disebutkan di atas dapat dijadikan sebagai
lokasi penelitian untuk kajian prediksi kedalaman tahan. Tentunya hasil yang
diperoleh akan dapat dimanfaatkan untuk tujuan pengelolaan lahan setempat atau
program – program lain terkait mitigasi kerusakan lahan. Hal ini disebabkan
kecenderungan dalam pengelolaan lahan, masyarakat sering tidak memperhatikan
kelestarian lahan, terutama pada lahan–lahan yang mempunyai keterbatasan–
keterbatasan fisik. Kondisi ini apabila berlangsung terus menerus akan sangat
mengkhawatirkan terjadinya lahan kritis dikemudian hari dan terjadi penurunan
kesuburan dan produktivitas tanah. Apalagi perhatian pembangunan pertanian
daerah hulu (lahan kering) dari pemerintah dewasa ini juga relatif kurang
menonjol, sedangkan satu – satunya program khusus dari pemerintah untuk lahan
kering adalah program penghijauan dan reboisasi untuk tanah negara (KEPAS
1985).

2

Tujuan
Penelitian ini mengambil lokasi di DAS Cileungsi – Citeureup, Kabupaten
Bogor dan bertujuan untuk:
1. Melakukan pemetaan sub-faset lahan berdasarkan peta faset lahan
(landform) DAS Cileungsi-Citeureup
2. Melakukan estimasi dan pemetaan kedalaman tanah dengan pendekatan
sub-faset lahan.
3. Melakukan analisis dan interpretasi kedalaman tanah dalam Kaitannya
dengan faset lahan, penutupan/penggunaan lahan, dan kemiringa lereng.

TINJAUAN PUSTAKA
Daerah Aliran Sungai (DAS)
Daerah aliran sungai (DAS) merupakan daerah resapan air yang dapat
mengatur sistem tata air. Secara alami kualitas DAS dipengaruhi oleh faktor
biofisik pembentukan tanah, yaitu relief, topografi, fisiografi, iklim, tanah, air,
dan vegetasi (Tan 1991). Salah satu peran penting DAS yaitu sebagai daerah
tangkapan hujan sehingga fungsinya adalah sebagai penyedia air pada musim
kemarau, pengendali sedimentasi waduk, dan pengendali banjir (Sunaryo 2001)
namun penggunaan lahan yang berkait erat dengan aktivitas manusia seringkali
menyebabkan keseimbanan ekosistem dalam DAS terganggu. Eksploitasi DAS
menimbulkan masalah banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau,
penurunan debit air sungai, erosi dan sedimentasi, serta longsor. Masalah tersebut
telah menimbulkan penurunan produktivitas lahan dan kekurangan air tanah
sepanjangan tahun.
Dinamika pemanfaatan lahan biasanya secara langsung menyebabkan
perubahan penggunaan lahan di suatu wilayah. Perubahan penggunaan lahan
seringkali tidak disertai dengan tindakan pencegahan kerusakan lahan, sehingga
lahan semakin terdegradasi yang secara kasat mata ditandai dengan tingginya
tingkat erosi dan sedimentasi serta rendahnya tingkat resapan air hujan. Alih
fungsi lahan oleh manusia umumnya mengubah vegetasi dan pengelolaan lahan.
Faktor ini memberikan kontribusi terbesar terhadap erosi di suatu DAS
(Komaruddin 2008).
Faset Lahan
Faset lahan merupakan hasil dari beberapa proses geomorfologi yang
terjadi pada berbagai batuan atau bahan induk pada periode waktu dan akibat dari
iklim sebelumnya (Desaunettes 1977). Vink (1975) menyatakan bahwa
penggunaan lahan sangat di pengaruhi oleh bentuklahan dan juga mempengaruhi
keadaan suatau tanah. Dengan demikian pengetahuan tentang faset lahan dari
suatu wilayah sangat membantu dalam penetapan jenis tanah dan cara
pengelolaan serta penggunaanlaan. Oleh karena itu pemetaan faset lahan akan
sangat bermanfaat untuk pemetaan kedalaman tanah.

3

Penutupan/Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan adalah bentuk campur tangan manusia terhadap lahan
dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya (Arsyad 2000) sedangkan
Penutupan lahan merupakan perwujudan fisik objek-objek yang menutupi lahan
tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap objek-objek tersebut (Lillesand
dan Kiefer 1997). Oleh karena itu, penggunaan lahan sifatnya dinamis mengikuti
perkembangan kehidupan manusia dan budidayanya (Sitorus 1989).
Penutupan/penggunaan lahan (vegetasi) yang berbeda akan menghasilkan
limpasan permukaan dan erosi yang berbeda, dimana penutupan/penggunaan
lahan yang lebih baik akan memperkecil fluktuasi aliran permukaan dan erosi.
Semakin rapat atau banyaknya penutupan/penggunaan lahan (vegetasi) maka
semakin efektif pengaruh penutupan/penggunaan lahan (vegetasi) dalam
melindungi permukaan tanah dari ancaman erosi sehingga akan mempengaruhi
kedalaman suatu tanah ( Widyawardhani 2001).
Kemiringan Lereng
Kemiringan lereng adalah perbedaan tinggi suatu daerah termasuk di
dalamnya perbedaan kecuraman. Kemiringan lereng mempengaruhi proses
pembentukan tanah dengan cara mempengaruhi jumlah air hujan yang meresap
atau ditahan masa tanah, mempengaruhi besarnya erosi, dan mengarahkan gerakan
air berikut bahan-bahan yang terlarut di dalamnya (Hardjowigeno 1985)
Faktor kemiringan lereng juga berpengaruh pada erosi adalah kemiringan
lereng, panjang lereng dan bentuk lereng (Utomo 1994). Semakin curam
kemiringan lereng akan semakin meningkatkan jumlah dan kecepatan aliran
permukaan, sehingga memperbesar energi kinetik dan meningkatkan kemampuan
untuk mengangkut butir -butir tanah (Morgan 1996). Hal ini disebabkan gaya
berat berbanding lurus dengan kemiringan permukaan tanah. Adapun gaya berat
merupakan persyaratan mutlak untuk terjadinya proses pengikisan (detachment),
pengangkutan (transportation), dan pengendapan (sedimentation) (Wiradisastra
2002).
Kedalaman Tanah
proses pembentukan tanah terjadi akibat beberapa faktor yang saling
beinteraksi sehingga dapat membentuk tanah. Faktor-faktor tersebut adalah iklim,
organisme, topografi (relief), bahan induk, dan waktu. Kelima faktor tersebut
dikenal dengan istilah faktor pembentuk tanah. Sebenarnya banyak sekali faktor
lain yang mempengaruhi dalam proses pembentukan tanah, akan tetapi kelima
faktor inilah yang dianggap paling berperan penting dalam proses pembentukan
tanah (Gerrard, 1980).
Para ahli mendefinisikan tanah sesuai dengan cara pandang dan penekanan
yang digunakan oleh masing-masing ahli tersebut (Tan, 1991). Buol et al. (1980)
mendefinisikan tanah sebagai suatu tubuh alam yang terdiri atas lapisan-lapisan
atau horizon-horizon dari komponen mineral atau organik dengan ketebalan yang
bervariasi. Sedangkan Tan (1991) menyebutkan bahwa tanah merupakan tubuh
alam, penutup permukaan bumi yang mendukung pertumbuhan tanaman, dan

4

terintegrasi akibat adanya pengaruh aktivitas iklim dan organisme terhadap bahan
induk.
Kedalaman tanah efektif adalah kedalaman tanah yang masih dapat
ditembus akar tanaman. Banyaknya perakaran, baik akar halus maupun akar kasar,
serta dalamnya akar-akar tersebut dapat menembus tanah dan bila tidak dijumpai
akar tanaman, maka kedalaman efektif ditentukan berdasarkan kedalaman solum
tanah (Hardjowigeno, 1985). Kedalaman tanah pada yang dimaksud penelitian ini
dihitung dari permukaan tanah sampai bahan induk.

METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian berlokasi di DAS Cileungsi – Citeureup dalam wilayah
administrasi Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat, yang tercakup dalam 5
kecamatan. Penelitian berlangsung dari bulan Febuari hingga September 2015,
sedangkan pengelolaan dan analisis data dilakukan di Divisi Penginderaan Jauh
dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan
Bahan penelitian yang digunakan terdiri dari citra Ikonos 2013 Kabupaten
Bogor, citra SRTM 30, peta administrasi, peta kemiringan lereng, peta sungai,
peta kawasan hutan, peta jalan dan peta bentuklahan. Alat yang digunakan untuk
mengolah data adalah seperangkat komputer yang dilengkapi dengan perangkat
lunak ArcView GIS 3.3, ArcGIS 9.3 Global Mapper 13,Microsoft Word 2010,
Microsoft Excel 2010, Global Positioning System (GPS), bor tanah, meteran, dan
kamera digital untuk membantu selama kerja lapang
Tahapan Penelitian
Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu tahapan persiapan,
pengumpulan data, dan analisis data.
1. Tahapan Persiapan
Tahap persiapan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi pemilihan
dan penentuan tema penelitian dan juga melakukan studi literatur untuk
memperoleh informasi mengenai DAS Cileungsi-Citeureup.
2. Tahapan Pengumpulan Data
Tahapan pengumpulan data terdiri dari data primer dan data skunder. Data
primer terdiri dari peta penutupan/penggunaan, kemiringan lereng, dan kedalaman
tanah, sedangkan jenis data sekunder disajikan pada Tabel 1.
Data kemiringan lereng DAS Cileungsi-Citeureup diperoleh dari hasil
analisis data SRTM 30 dengan bantuan software ArcGIS, sedangkan data
penutupan/penggunaan lahan diperoleh dari hasil interpretasi citra Ikonos 2013

5
sesuai dengan batas DAS Cileungsi – Citeureup (Gambar 1). Interpretasi
dilakukan secara visual melalui kunci interpretasi. Lillesand dan Kiefer (1997)
memberikan karakteristik interpretasi pada citra sebagai kunci untuk proses
interpretasi citra, yaitu:
1. Bentuk, merupakan konfigurasi atau kerangka suatu obyek.
2. Ukuran, merupakan besar kecilnya obyek pada citra dengan
mempertimbangkan skala citra.
3. Pola, menyatakan hubungan spasial obyek. Pengulangan bentuk umum
tertentu atau hubungan obyek alami atau buatan, akan memberikan suatu
pola yang dapat membantu penafsiran.
4. Bayangan, dapat membantu memberikan gambaran profil suatu obyek,
atau bahkan menghalangi proses interpretasi akibat kurangnya cahaya
sehingga sukar diamati pada citra.
5. Rona, menunjukkan adanya tingkataan keabuan atau kecerahan relatif
obyek pada citra.
6. Warna, dapat dipresentasikan dengan hue, value, dan chroma.
7. Tekstur, adalah frekuensi perubahan rona pada citra. Merupakan gabungan
dari bentuk, ukuran, pola, bayangan, dan ronanya.
8. Situs, menunjukkan hubungan antara posisi suatu terhadap obyek lainnya,
sehingga suatu obyek dapat dikenali dari hubungan tersebut.
9. Asosiasi, menunjukkan keterkaitan suatu obyek terhadap lokasi dimana
obyek tersebut ditemukan.
Tabel 1. Data Sekunder
No

Data Sekunder

1

Citra Ikonos Kabupaten Bogor 2013

2

Citra SRTM 30

3
4
5

Sumber
Badan Informasi
Geospasial
http://earthexplorer.us
gs.gov/

Peta Administrasi dan peta landform DAS
Lukman 2015
Cileungsi - Citeureup
Badan Informasi
Peta Jalan Kabupaten Bogor
Geospasial
Badan Informasi
Peta Sungai Kabupaten Bogor
Geospasial

Data kedalaman tanah didapatkan melalui kerja lapangan, dimulai dengan
menentukan titik pengamatan lapang dan pengambilan data kedalaman tanah
berdasarkan satuan pemetaan. Jumlah titik pengecekan lapang direncanakan
sejumlah 151 dengan teknik Stratified Random Sampling. Pemilihan teknik
Stratified Random Sampling dikarenakan adanya pembagian kelompok atau
tingkatan-tingkatan pada faset lahan (penutupan/penggunaan lahan dan
kemiringan lereng). Data pengambilan kedalaman tanah ditentukan berdasarkan
jenis sub–faset lahan sebagai satuan pemetaan (mapping unit). Untuk pemetaan,

6

kedalaman tanah diklasifikasikan menjadi 4 kelas, terdiri dari 1-30 cm, 31-60 cm,
61-100 cm, dan 101-120 cm.
Selain untuk mendapatkan data kedalaman tanah di setiap satuan
pemetaan, kerja lapang juga bertujuan untuk memperbaiki kesalahan interpretasi
penutupan/penggunaan lahan atau menambah informasi tentang fakta dan gejala
yang belum diperoleh dari interpretasi citra. Dengan demikian hasil peta yang
diperoleh diharapkan memiliki tingkat akurasi yang lebih baik disebabkan citra
Ikonos Kabupaten Bogor yang dipakai adalah hasil akuisisi 2013 namun dipakai
untuk tahun 2015.
3. Analisis Data
3.1. Pemetaan Sub-Faset Lahan dan Estimasi Kedalaman Tanah
Berdasarkan Sub-Faset Lahan
Untuk menghasilkan peta sub–faset lahan sebagai satuan pemetaan
(mapping unit) maka dilakukan analisis tumpang tindih (overlay) antara peta
faset lahan, peta penutupan/penggunaan lahan, dan peta kemiringan lereng.
Proses topologi dilakukan pada peta hasil overlay untuk mengkoreksi adanya
gaps dan overlaps. untuk memperoleh luasan dan pola persebaran kedalaman
tanah, maka dilakukan proses join data kedalaman tanah dengan peta sub-faset
lahan.
3.2. Keterkatian Sub-Faset lahan dengan Kedalaman Tanah
Analisis keterkatian faset lahan/sub-Faset lahan dengan kedalaman
tanah adalah untuk melihat seberapa besar faktor faset lahan/sub – faset lahan
mempengaruhi kedalaman suatu tanah. Interpretasi hasil analisis data
selanjutnya dilakukan untuk menjelaskan fenomena yang ada dari hasil yang
diperoleh. Secara diagramatis seluruh tahapan penelitian disajikan pada
Gambar 2.

Gambar 1. Peta Daerah Penelitian

7

Gambar 2. Diagram Alir Penelitian

8

HASIL DAN PEMBAHASAN
Faset Lahan
Peta faset lahan (land facet) yang digunakan dalam penelitian ini mengacu
pada peta bentuklahan yang telah ada (Lukman 2015) untuk keperluan
pembuatan peta sub-faset lahan. Untuk itu dilakukan reklasifikasi dan
penyederhanaan jenis bentuklahan, yaitu dengan tidak menyertakan tingkat
torehan bentuklahan. Hal ini bertujuan untuk menghindari jumlah sub-faset lahan
yang berjumlah banyak dengan ukuran polygon yang kecil-kecil. Hasil yang
diperoleh menunjukkan sepuluh jenis faset lahan, yaitu perbukitan denudasional,
pegunungan denudasional, perbukitan denudasional vulkanik, pegunungan
denudasional vulkanik, lembah sungai, dataran fluvial, dataran fluvio-vulkanik,
perbukitan kars, dataran karst, dan perbukitan vulkanik. Nama dan luas masing –
tmasing faset lahan disajikan pada Tabel 2, sedangkan persebaran spasial
disajikan pada Gambar 3.
Tabel 2. Luas Faset Lahan di Daerah Aliran Sungai Cileungsi-Citeureup
Nama

Kode

Luas
(ha)

Perbukitan Denudasional

D1

7.780,83

Pegunungan Denudasional

D2

210,86

Perbukitan Denudasional Vulkanik

DV1

1075,52

Pegunungan Denudasional Vulkanik

DV2

3.205,06

Lembah Sungai

F1

984,08

Dataran Fluvial

F2

1.210,25

Dataran Fluvio-Vulkanik

FV1

2.237,55

Perbukitan Karst

K1

582,29

Dataran Karst

K2

245,56

Perbukitan Vulkanik

V

187,11

Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa luasan terbesar dari faset lahan adalah
perbukitan denudasional (7.780,83ha), yaitu bentuklahan yang mengalami proses
degradasi yang telah berjalan lanjut khususnya untuk wilayah yang secara
geografis berada di wilayah iklim tropis basah dan potensi pelapukan fisik yang
tinggi (Lihawa 2009). Kabupaten Bogor yang memiliki rata – rata curah hujan
3.600 mm/tahun merupakan daerah yang mempunyai tingkat pelapukan fisik
intensif sehingga proses degradasi sangat dominan di daerah tersebut.
Luasan faset lahan terkecil adalah perbukitan vulkanik (187,11 ha), yaitu
bentuklahan yang terbentuk karena aktivitas magmatisme. Kecilnya luasan
bentuklahan ini dikarenakan bentuklahan tersebut adalah hasil dari proses intrusi
magmatik, yaitu terbentuk karena proses terobosan magma ke dalam lapisan kulit
bumi (namun tidak sampai keluar kepermukaan bumi) dan kemudian membeku
di dalamnya. Proses terobosan magmatik ini menghasilkan bentuklahan kubah dan
pelapukan fisik yang intensif menyebabkan kubah intrusif tersebut tersingkap di
bagian puncaknya (dan juga sebagian di lereng kaki), sehingga batuan beku di
dalamnya muncul atau terlihat di permukaan.

9

Gambar 3. Peta Faset Lahan Daerah Aliran Sungai Cileungsi - Citeureup
Subfaset Lahan
Seperti telah diuraikan di bagian metode penelitian, subfaset lahan adalah
bagian dari faset lahan yang dirinci berdasarkan perbedaan kemiringan lereng dan
penutupan/penggunaan lahan. Oleh karena itu, peta sub-faset lahan dihasilkan dari
hasil analisis tumpang-tindih (overlay) dari tiga peta, yaitu peta faset lahan, peta
kemiringan lereng, dan peta penutupan/penggunaan lahan. Hasil pemetaan
terhadap penutupan/penggunaan lahan, kemiringan lereng, dan sub-faset lahan
diuraikan di bawah ini.
Penutupan/Penggunaan Lahan
Hasil identifikasi penutupan/penggunaan lahan menunjukkan adanya 10
jenis penutupan/penggunaan lahan di daerah penelitian, yaitu hutan, kebun
campuran, bangunan atau permukiman, perkebunan, pertambangan, semak atau
belukar, sawah, tegalan, tanah terbuka, badan air. Hasil pemetaan
penutupan/penggunaan lahan untuk daerah penelitian disajikan pada Gambar 4
sedangkan luasan dari masing-masing jenis penutupan/penggunaan lahan
disajikan pada Tabel 3.

10

Tabel 3. Luas Penutupan/Penggunaan Lahan
Penutupan/Penggunaan
Lahan

Luas
(ha)

(%)

Badan Air

115,8023

0,65

Bagunan/Permukiman

3954,307

22,32

Hutan

5516,377

31,13

Kebun Campuran

948,6565

5,35

4950,37

27,94

Pertambangan

165,0339

0,94

Sawah

1240,748

7

Semak/Belukar

209,5497

1,18

Tanah Terbuka

50,3101

0,28

567,9415

3,21

Perkebunan

Tegalan

Gambar 4. Peta Penutupan/Penggunaan Lahan Daerah Aliran Sungai Cileungsi-Citeureup

Dari Tabel 3 terlibat bahwa hutan merupakan penggunaan lahan terluas di
daerah penelitian dengan luasan sebesar 5.516,37 ha (31,13%) dan secara spasial
mendominasi hampir dari seluruh pegunungan. Hutan merupakan areal yang
tumbuh dan berkembang di habitat lahan kering (BSN 2010), di antaranya berupa
hutan dataran rendah, perbukitan, pegunungan atau hutan tropis dataran tinggi
(Gambar 5). Lokasi penggunaan lahan hutan yang hanya terdapat di pegunungan
bisa disebabkan oleh kesesuaian kondisi topografi yang susah diakses sehingga
tidak banyak dipakai untuk lahan budidaya.

11

Gambar 5. Penggunaan Lahan Hutan
Penggunaan lahan terbesar kedua adalah penggunaan lahan perkebunan
dengan luasan sebesar 4.950,37 ha dan menempati hampir dari setengah daerah
perbukitan. Perkebunan merupakan lahan yang digunakan untuk pertanian tanpa
pergantian tanaman selama dua tahun. Jenis perkebunan yang dimaksud di daerah
penelitian adalah perkebunan pisang, perkebunan jati, dan perkebunan jabon
(Gambar 6). Luasnya penggunaan lahan perkebunan pada daerah perbukitan ini
bisa disebabkan oleh kondisi lahan di daerah dataran telah digunakan sebagai
permukiman atau lahan terbangun.

Gambar 6. Penggunaan Lahan Perkebunan (pisang)
Penggunaan lahan terbesar ketiga adalah lahan terbagun atau permukiman
dengan luasan sebesar 3.954,30 ha dan menempati lebih dari setengah luasan
daerah dataran (Gambar 7). Penggunaan lahan permukiman atau lahan terbangun
merupakan bagian dari permukaan bumi yang dihuni oleh manusia, meliputi
segala sarana dan prasarana yang menunjang kehidupan penduduk (Sitorus 1989).
Penggunaan lahan terbangun atau permukiman berdasarkan data spasial yang

12

diperoleh tersebar pada daerah dataran. Tersebarnya pemukiman atau lahan
terbangun di daerah tersebut dikarenakan mudahnya pemakaian lahan pada daerah
dataran tersebut tanpa perlu melakukan pengolahan sebelum penggunaannya
seperti perataan permukaan tanah, dan selain itu dataran ini letaknya berdekatan
dengan Kota Bogor (yang menjadi pusat aktivitas masyarakat), oleh karena itu
pembangunan lahan terbagun di daerah tersebut berkembang cukup pesat.

Gambar 7. Penggunaan Lahan Terbangun
Kemiringan Lereng
Setelah dilakukan analisis terhadap data SRTM melalui perengkat lunak
(software) ArcGis, kemiringan lereng dalam penelitian ini dipilah menjadi enam
kelas dan diberikan kode A sampai F. Adapun luasan dari masing – masing
kemiringan lereng disajian pada Tabel 4 dan persebaran spasialnya disajikan pada
Gambar 8.
Tabel 4. Luas Kemiringan Lereng di Daerah Penelitian
Luasan
Kode

Kemiringan

Keterangan

A

(ha)
2.437,23

(%)
13,76

0% - 3%

Datar

B

5.472,04

30,89

3% - 8%

Bergelombang

C

5.698,11

32,17

8% -15%

Berbukit

D

3.531,61

19,94

15% - 30%

Curam

E

535,39

3,02

30% - 45%

Sangat curam

F

35,15

0,19

>45%

Terjal

Luasan kemiringan lereng terbesar adalah kelas kemiringan lereng C
dengan luasan sebesar 5.698,11ha. Besarnya kemiringan lereng kelas C di daerah
penelitan dikarenakan daerah penelitian didominasi oleh morfografi perbukitan
dan pegunungan. Kedua bentuklahan ini dihasilkan dari proses endogenik, yaitu
proses-proses diastrofpisme dan vulkanisme. Diastrofpisme adalah proses
berbentuk tekanan besar yang berkerja pada lempeng kulit bumi sehingga proses
tersebut merubah bentuk permukaaan menjadi bentuk-bentuk lipatan (folding),

13

memutar (twisting), membelokkan (warping), mematahkan (breaking), atau
memampatkan (compressing), sedangkan vulkanisme adalah proses yang
menyangkut gerakan magma menuju permukaan bumi (Getis 1934).

Gambar 8. Peta Kemiringan Lereng Daerah Aliran Sungai Cileungsi – Citeureup
Pemetaan Subfaset Lahan
Berdasarkan hasil tiga pemetaan tematik seperti tersebut di atas
(bentuklahan, penutupan/penggunaan lahan, dan kemiringan lereng) maka
selanjutnya dapat dibuat peta sub–faset lahan melalui proses tumpang tindih
(overlay) dari ke tiga peta tersebut. Berdasarkan langkah tersebut tampak bahwa
sub-faset lahan adalah bagian dari faset lahan (landform) yang lebih rinci dan
seragam sifatnya, yaitu menurut kemiringan lerengnya dan penutupan/penggunaan
lahan. Satuan sub faset lahan ini selanjutnya digunakan untuk satuan pengambilan
contoh kedalaman tanah (mapping unit).
Faset lahan dapat diterjemahkan juga sebagai land unit, yaitu kawasan
lahan yang secara praktis layak disebut homogen yang dapat dikenal melalui
morfologi, lereng, litologi, beda relief, asal, dan proses (Townshend 1981). Algan
dan Wiradisastra (1981) mengatakan bahwa untuk menganalisis suatu landskap
yang luas dan kompleks perlu adanya pembagian dari penutupan/penggunaan
lahan dan kemiringan lereng ke dalam kelas – kelas yang lebih kecil agar
didapatkan satuan – satuan berbeda yang dicirikan oleh perbedaan sifat yang khas.
Dengan demikian perbedaan antara sub – faset lahan dengan land unit maupun
land system adalah berada pada skalanya, dimana sub – faset lahan digunakan
untuk skala semi-detil (1:25000 – 1:100.000).
Dari hasil analisis ketiga peta tersebut di atas, diperoleh peta sub-faset
lahan untuk daerah penelitian, sebanyak 151 unit dengan persebaran seperti tersaji

14

pada Gambar 9, sedangkan nama dan luasan dari masing-masing subfaset lahan
disajikan pada Lampiran 6.

Gambar 9. Peta Sub – Faset Lahan Daerah Aliran Sungai Cileungsi - Citeureup
Pengukuran dan Pemetaan Kedalaman
Kedalaman tanah yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan
kedalaman tanah yang terhitung mulai dari top soil (horizon A) sampai ke lapisan
batuan induk sehingga kedalaman tanah mencerminkan bagian dari material
permukaan bumi yang mengalami pelapukan. Data yang diperoleh di lapangan
selanjutnya dikelaskan menjadi empat kelas, yaitu 1-30 cm, 31–60 cm, dan 60100 cm dan 101-120 cm sedangkan satuan sub-faset lahan yang tidak dapat di
kunjungi dikelaskan tidak ada data (no data). Luasan masing – masing kedalaman
tanah dari hasil analisis disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Luas kedalaman tanah
Kedalaman Tanah
(cm)

Luas

Tidak ada data
1-30
31-60

(ha)
944,98
4,32
6.643,26

(%)

61-100

10.126,51

57,15

101-120

-

-

5,33
0,02
37,49

15

Berdasarkan Tabel 5 terlihat bahwa kedalaman tanah yang mempunyai
luas dominan di daerah penelitian adalah 61–100 cm, sedangkan yang agak
dominan adalah kedalaman 31–60 cm. Persebaran spasial kedalaman tanah untuk
daerah penelitian disajikan pada Gambar 10. Berdasarkan Gambar 10 kedalaman
tanah yang dominan 61–100cm mempunyai pola sebaran di wilayah perbukitan
dan pegunungan, sedangkan kedalaman yang 31–60 cm lebih banyak tersebar di
wilayah dataran dan sebagian lain tersebar di wilayah perbukitan dan pegunungan.
Berdasarkan kondisi tersebut, terlihat bahwa DAS Cileungsi – Citeureup secara
umum dapat dikelompokkan sebagai DAS yang masih mempunyai kondisi
ekologi yang relatif baik, karena secara umum mempunyai kedalaman tanah di
atas 60 cm.
Area yang berlabel tidak ada data merupakan satuan pemetaan yang tidak
didapatkan data kedalaman tanahnya di lapang dikarenakan titik sample yang
harus dikunjungi sulit diakses atau terdapat hambatan atau kendala lapang.
Hambatan tersebut antara lain berupa tidak adanya akses jalan menuju ke satuan
pemetaan yang di maksud, mempunyai kemiringan lereng yang curam (kelas
lereng E dan F), atau berada pada penutupan/penggunaan lahan hutan. Tidak
adanya izin pemilik lahan juga merupakan salah satu kendala lain, seperti yang
terjadi pada satuan pemetaan berupa pertambangan atau daerah konflik warga.

Gambar 10. Peta Sebaran Kedalaman Tanah Daerah Aliran Sungai Cileungsi-Citeureup
Keterkaitan Faset Lahan/Sub-Faset Lahan dengan Kedalaman Tanah
Mengingat bahwa secara teoritis hubungan tanah dengan bentuklahan atau
faset lahan cukup dekat, maka untuk uraian berikut akan melihat keterkaitan
antara kedalaman tanah sebagai salah satu sifat fisik tanah di daerah penelitian

16

dengan faset lahan. Untuk melihat keterkaitan ini, maka untuk setiap kedalaman
tanah di setiap faset lahan akan dibandingkan menurut perbedaan kemiringan
lereng dan jenis penutupan/penggunaan lahannya (Gambar 11 s/d 19 Gambar ).
Keterkaitan ini akan diuraikan secara deskriptif seperti berikut ini.
Pada penutupan/penggunaan lahan hutan, kedalaman tanah memiliki pola
yang jelas terhadap faset lahan dan kemiringan lereng. Pada faset lahan wilayah
hulu (upland areas) atau disebut sebagai bentuklahan erosional (yang mempunyai
relief berbukit/berpegunungan, seperti D1, D2, DV1, DV2, K1) pola kedalaman
tanah terlihat semakin menipis apabila kecuraman lereng semakin meningkat
(misal dari kemiringan lereng A ke B dan ke C). Namun demikian pada saat
beralih ke lereng D kedalaman tanah tampak meningkat lagi secara signifikan
(Gambar 11). Hal ini menunjukkan bahwa untuk kemiringan lereng A, B, dan C
faktor lereng tampak berpengaruh terhadap kedalaman tanah, dan sesuai dengan
teori, dimana kedalaman tanah akan semakin menipis bilamana kemiringan lereng
semakin bertambah. Namun demikian hal ini tidak terjadi pada kemiringan lereng
D dikarenakan kedalaman tanah pada kelas lereng ini yang seharusnya semakin
tipis namun terjadi sebaliknya yaitu semakin menebal.
Gejala seperti pada lereng tersebut menunjukkan bahwa faktor lereng
kurang berpengaruh nyata terhadap gejala kedalaman tanah, namun sebaliknya
faktor penutupan/penggunaan lahan (hutan) lebih banyak berpengaruh. Gejala ini
bisa disebabkan oleh dua hal, yakni (1) hutan pada lereng D adalah hutan lindung
(abadi), artinya sejak dahulu hutan ini tidak pernah terganggu serta mempunyai
kerapatan vegetasi yang tinggi sehingga dapat menjaga kondisi tanah (konservasi)
dari proses-proses denudasi atau erosi; (2) hutan-hutan yang berada pada
kemiringan lereng A, B, dan C bukan merupakan hutan lindung (tidak abadi),
yaitu hutan produksi atau hutan rakyat (tanaman sengon), sehingga jenis hunta ini
selain mempunyai kerapatan vegetasi yang jauh lebih rendah juga merupakan
hutan muda atau selalu mengalami penebangan secara teratur untuk memproduksi
kayu. Oleh karena itu, pada lahan hutan ini tidak terjaga dengan baik dari proses
denudasi terutama setelah dilakukan penebangan. Sementara itu proses erosi terus
berjalan sesuai dengan kemiringan lerengnya dan kekuatan erosi tergantung pada
tingkat kemiringan lereng tersebut. Dalam hal ini dapat dilihat pula bahwa pada
lahan-lahan hutan yang tidak terjamah oleh manusia, pola hubungan antara
kedalaman tanah dengan faset lahan, penutupan/penggunaan lahan, dan
kemiringan lereng terlihat jelas.
Untuk faset lahan K2 (Gambar 11) tidak dapat diinterpretasi disebabkan
hanya terdapat satu titik sampel. Adapun untuk kedalaman tanah pada faset lahan
deposisional yang mempunyai relief dataran (lowland areas), seperti pada faset
lahan F1, gejala yang sama terjadi seperti pada pola faset-faset lahan erosional,
kecuali untuk faset lahan FV tidak dapat diinterpretasi karena hanya terdapat satu
titik sampel.
Semua data kedalaman tanah yang terkait dengan penutupan/pengunaan
lahan hutan (Gambar 11), mempunyai satu pola kencenderungan yaitu kedalaman
tanah paling tipis terdapat pada kelas lereng C

17

100
80
60
40
20
0

Faset Lahan FV

Hutan
A

B

C

Kelas Lereng

D

Kedalaman (cm)

Kedalaman (cm)

Faset Lahan F1

100
80
60
40
20
0

Hutan
A B C D
Kelas Lereng

Gambar 11. Kedalaman Tanah diPenutupan/Penggunaan Lahan Hutan pada Faset Lahan dan Kelas Lereng yang Berbeda

Pada penutupan/penggunaan lahan kebun campuran, keterkaitan
kedalaman tanah dengan faset lahan dan kemiringan lereng memperlihatkan pola
agak mirip dengan penutupan/penggunaan lahan hutan tetapi tidak begitu
mencolok. Pada faset-faset lahan erosional (upland areas) seperti D1, DV1, dan
K2 muncul pola menipisnya kedalaman tanah seiring dengan meningkatnya
kemiringan lereng, namun pola ini kurang tampak secara tegas (Gambar 12). Hal
ini bisa disebabkan oleh besarnya keragaman jenis tanaman dan kerapatan
vegetasi di setiap kebun campuran di berbagai kemiringan lereng. Dengan
demikian pengaruh vegetasi pada setiap kelas lereng di masing-masing faset lahan
tidaklah sama. Adapun keterkaitan kedalaman tanah terhadap faset-faset lahan
deposisional (lowland areas), seperti F1, F2, dan FV, juga menunjukkan pola
yang kurang jelas (Gambar 12). Dalam hal ini pengaruh penutupan/penggunaan
lahan terhadap kedalaman tanah menjadi kurang terlihat. Namun demikian hampir
semua data kedalaman tanah yang terkait dengan penutupan/penggunaan lahan
kebun campuran, terlihat suatu pola kecenderungan yang mirip, yaitu kedalaman
tanah paling tipis terdapat pada kelas lereng C.
Pada penutupan/penggunaan lahan permukiman, keterkaitan antara
kedalaman tanah dengan faset lahan dan kemiringan lereng tampak lebih jelas
polanya. Pada faset-faset lahan erosional (upland areas) seperti D1, K1, dan K2
(kecuali DV1 dan DV2 karena hanya mempunyai satu titik sampel) memiliki pola
normal, yaitu semakin besar kecuraman lereng maka kedalaman tanah cenderung
semakin menipis. Hal ini menunjukan bahwa faktor lereng berpengaruh kuat
terhadap kedalaman tanah akan tetapi pada faset lahan D1 pada lereng D terjadi
sebaliknya, yaitu menunjukkan kecenderungan kedalaman tanah yang semakin
menebal (Gambar 13). Kenyataan ini disebabkan oleh titik sampel yang diambil
pada area permukiman tersebut berada pada lereng lokal yang relatif datar,
sehinnga proses deposisional secara lokal di daerah tersebut intensif yang

18

menyebabkan kedalam tanah bertambah. Adapun terhadap faset lahan
deposisional seperti F1 dan FV (lowland areas), pola kedalaman tanah juga
cukup jelas, yaitu semakin bertambah kemiringan lereng, maka kedalaman tanah
cenderung semakin menipis. Hal ini mengindikasikan bahwa keterkaitan
penutupan/penggunaan lahan permukiman terhadap kedalaman tanah kurang
nyata.
Dengan kata lain, pengaruh penutupan/penggunaan lahan permukiman
terhadap kedalaman tanah menjadi kurang terlihat. Dalahm hal ini semua data
kedalaman tanah yang terkait dengan penutupan/penggunaan lahan permukiman,
memperlihatkan suatu pola kecenderungan bahwa kedalaman tanah paling tipis
terdapat pada kelas lereng C.

A B C D

A B C D

Kelas Lereng

100
80
60
40
20
0

B

C

Kebun
Campuran

D

100
80
60
40
20
0

100
80
60
40
20
0
A

B

C

D

Kelas Lereng

Kelas Lereng

Kelas Lereng

Faset Lahan F1

Kebun
Campuran

A B C D

Kebun
Campuran
A B C D

Kelas Lereng

Faset Lahan Fv
Kedalaman (cm)

Kedalaman (cm)

A

Kelas Lereng

Faset Lahan F2

Kebun
Campuran

Faset Lahan K1
Kedalaman (cm)

Kebun
Campuran

100
80
60
40
20
0

Kedalaman (cm)

Kebun
Campuran

100
80
60
40
20
0

Faset Lahan K2
Kedalaman (cm)

100
80
60
40
20
0

Faset Lahan DV1
Kedalaman (cm)

Kedalaman (cm)

Faset Lahan D1

100
80
60
40
20
0

Kebun
Campuran
A B C D
Kelas Lereng

Gambar 12. Kedalaman Tanah diPenutupan/Penggunaan Lahan Kebun Campuran pada Faset Lahan dan Kelas Lereng yang Berbeda

Faset Lahan FV

100
80
60
40
20
0

Permukiman

AB CD
Kelas Lereng

Kedalaman (cm)

Kedalaman (cm)

Faset Lahan F1

100
80
60
40
20
0

Permukiman
A B C D
Kelas Lereng

Gambar 13. Kedalaman Tanah diPenutupan/Penggunaan Lahan Permukiman pada Faset Lahan dan Kelas Lereng yang Berbeda

19

Pada penutupan/penggunaan lahan perkebunan, keterkaitan antara
kedalaman tanah dengan faset lahan dan kemiringan lereng tampak kurang
mempunyai pola yang jelas. Pada faset-faset lahan erosional (upland areas)
seperti D1, DV1, dan V (kecuali DV2 karena hanya mempunyai satu titik sampel)
pola yang tampak kurang jelas, meskipun pada faset lahan DV1 dan V tampak ada
kecenderungan semakin besar kecuraman lereng maka kedalaman tanah semakin
menipis (Gambar 14). Ketidak-jelasan pola keterkaitan kedalaman tanah ini juga
muncul pada faset lahan deposisional (lowland areas), seperti pada faset lahan F1
dan FV, meskipun pada faset lahan FV kecenderungan menipisnya kedalaman
tanah tampak seiring dengan meningkatnya kemiringan lereng.
Dalam hal ini pengaruh penutupan/penggunaan lahan perkebunan terhadap
kedalaman tanah menjadi kurang terlihat sedangkan pengaruh lereng hanya
tampak pada beberapa kasus ( faset lahan DV1 dan FV). Sehingg