Hubungan Geomorfometri dengan Bentuklahan dan Penggunaan Lahan (Studi Kasus: DAS Cileungsi-Citeureup, Kabupaten Bogor).

HUBUNGAN GEOMORFOMETRI DENGAN BENTUKLAHAN
DAN PENGGUNAAN LAHAN (STUDI KASUS: DAS
CILEUNGSI-CITEUREUP, KABUPATEN BOGOR)

FATRIANI LUKMAN

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan
Geomorfometri dengan Bentuklahan dan Penggunaan Lahan (Studi Kasus: DAS
Cileungsi-Citeureup, Kabupaten Bogor) adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015
Fatriani Lukman
A14100011

ABSTRAK
FATRIANI LUKMAN. Hubungan Geomorfometri dengan Bentuklahan dan
Penggunaan Lahan (Studi Kasus: DAS Cileungsi-Citeureup, Kabupaten Bogor).
Dibimbing oleh BOEDI TJAHJONO dan KHURSATUL MUNIBAH.
Interpretasi citra untuk pemetaan bentuklahan masih banyak dilakukan
secara visual, karena kenampakan bentuklahan tidak dapat diidentifikasi hanya
dari pantulan spektral penutup lahan. Untuk mengurangi tingkat subjektivitashasil
interpretasi visual, maka analisis geomorfologi secara kuantitatif (geomorfometri)
diharapkan dapat memudahkan dalam identifikasi dan penarikan batas antar
bentuklahan secara lebih objektif. Dalam hal ini TWI (Topographic Wetness
Index) dan TRI (Terrain Ruggedness Index) sebagai bagian dari analisis
geomorfometri dicoba untuk identifikasi bentuklahan-bentuklahan erosional dan
deposisional. Penelitian ini mengambil lokasi di DAS Cileungsi-Citeureup,

Kabupaten Bogor, dan bertujuan untuk : (1) mengetahui jenis dan persebaran
bentuklahan (landform) di daerah penelitian, mengetahui nilai TWI dan TRI, serta
mengetahui hubungan antara bentuklahan dengan TWI dan TRI; (2) mengetahui
jenis dan persebaran penutupan/penggunaan lahan dan mengetahui hubungan
penutupan/penggunaan lahan dengan TWI dan TRI. Metode yang digunakan
untuk pemetaan bentuklahan dan penggunaan lahan adalah melalui interpretasi
visual dan digitasi secara on screen berturut-turut pada citra hillshade SRTM
(resolusi 30m) dan citra IKONOS. TWI dan TRI dinilai melalui data digital
elevation model (DEM) yang di proses melalui software SAGA dan software
ArcGis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuklahan di daerah penelitian
dapat dipilah menjadi 26 jenis dan secara morfografi dan morfogenesis
bentuklahan yang dominan adalah bentuklahan perbukitan denudasional. Adanya
hubungan antara bentuklahan dengan TWI digambarkan oleh persebaran TWI
kelas kering yang meliputi bentuklahan pegunungan, kelas sedang yang berada
hampir merata di semua bentuklahan, dan untuk kelas agak basah sampai basah
terbatas hanya pada bentuklahan lembah dan dataran. Adapun untuk hubungannya
dengan TRI, terlihat bahwa TRI kelas kasar tersebar pada bentuklahan
pegunungan, kelas sedang berada di bentuklahan perbukitan, dan kelas halus
berada di bentuklahan dataran. Berkaitan dengan penggunaan lahan, jenis
penggunaan lahan dapat dipilah menjadi 5 jenis dimana kebun campuran dan

tegalan memiliki luasan yang dominan, berturut-turut 45,31 km2 (25,70%) dan
42,08 km2 (23,86%) yang tersebar terutama di daerah-daerah perbukitan. Dalam
hubungannya dengan TWI dan TRI, kebun campuran tersebar secara dominan di
wilayah-wilayah TWI agak kering dan TRI agak halus.
Katakunci : geomorfometri, TWI, TRI, bentuklahan, penutupan/penggunaan
lahan, DAS Cileungsi-Citeureup

ABSTRACT
FATRIANI LUKMAN. The Relationship of Geomorphometry to Landform and
Land Use (Case Study: Cileungsi-Citeureup Watershed, Bogor Regency).
Supervised by BOEDI TJAHJONO and KHURSATUL MUNIBAH.
The image interpretations for landform mapping are mostly carried out
visually, since the landforms can’t be indentified solely from land cover spektral.
To reduce the subjectivity of visual interpretation, the quantitative analysis of
geomorfology (geomorphometry) is expected to facilitated for landform’s
identification and delimitation objectively. TWI (Topographic Wetness Index) and
TRI (Terrain Ruggedness Index) are some of geomorphometric analysis that can
be attempted to that purpose, especially for erosional and depositional landforms.
This study took place in the Cileungsi- Citeureup Watershed, Bogor Regency, and
aims to: (1) determine the type and distribution of landform in the study area,

assess the value of TWI and TRI, and understand the relationship between
landforms to TWI and TRI; (2) determine the type and distribution of land
cover/land use and to understand the relationship between land cover/land use to
TWI and TRI. The method for landforms and land use mapping is visual
interpretation and on-screen digitization respectively on Shuttle Radar
Topography Mission (SRTM) hillshade (30m resolution) and IKONOS imageries.
The TWI and TRI were assessed from SRTM’s digital elevation models (DEMs)
using SAGA and ArcGIS softwares. The result shows that the landforms of study
area can be divided into 24 types, and based on the morphography and
morphogenesis the dominant landforms are denudational hills. The relationship
between landforms and TWI is illustrated by the distribution of TWI’s dry class
on mountainous areas, the moderate class covers almost all of landforms, and the
moderately to wet classes covers the valley and plain landforms. As for the
relationship to TRI, it is illustrated by the dominant distribution of TRI’s rough
class on the mountainous landforms, the moderate class on the hillslopes, and the
smooth class on the plains landforms. According to the land use interpretation and
classification, it can be divided into 5 type where the mixed gardens and dry field
crops are the most widely types, respectively 45.31 km2 (25.70%) and 42.08 km2
(23.86%) of study area and covering the hilly areas. In relation to TWI and TRI,
the mixed gardens and dry field crops spread out dominantly in the moderately

dry TWI areas and in the moderately smooth TRI areas.
Keywords: geomorphometry, TRI, TWI, landforms, land cover/land use,
Cileungsi-Citeureup Watershed, Bogor

HUBUNGAN GEOMORFOMETRI DENGAN BENTUKLAHAN
DAN PENGGUNAAN LAHAN (STUDI KASUS: DAS
CILEUNGSI-CITEUREUP, KABUPATEN BOGOR)

FATRIANI LUKMAN

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Ilmu Tanah Dan Sumberdaya Lahan

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2015

Judul Skripsi : Hubungan Geomorfometri, dengan Bentuklahan dan Penggunaan
Lahan (Studi Kasus: DAS Cileungsi-Citeureup, Kabupaten Bogor)
Nama
: Fatriani Lukman
NIM
: A14100011

Disetujui oleh

Dr Boedi Tjahjono, MSc
Pembimbing I

Dr Khursatul Munibah, MSc
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Baba Barus, MSc

Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2014 ini ialah
bentuklahan dan penggunaan lahan, dengan judul Hubungan Geomorfometri
dengan Bentuklahan dan Penggunaan Lahan (Studi Kasus: DAS CileungsiCiteureup, Kabupaten Bogor).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Boedi Tjahjono, M.Sc selaku
dosen pembimbing akademik sekaligus pembimbing skripsi yang senantiasa
memberikan ilmu, bimbingan, dan motivasi selama masa studi di Departemen
Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan. Terima kasih pula kepada Dr Khursatul
Munibah, M.Sc selaku dosen pembimbing skripsi kedua atas ilmu, bimbingan dan
saran dalam penyempurnaan penulisan skripsi.
Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:
1.
2.


3.

4.
5.

Dr Ir Baba Barus, M.Sc selaku dosen penguji yang telah memberikan saran
dan masukan bagi penulis dalam penyempurnaan skripsi ini.
Ibunda Nurdiani, Alm. Ayahanda Lukman SE, abang Puput dan adik Uli serta
seluruh keluarga yang telah memberikan doa dan kepercayaan kepada penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan S1 ini.
Sahabat seperjuangan Laboratorium Penginderaan Jauh dan Analisis Spasial
47 Lela, Ardiya, Ocah, Karjono, Miftah, Irfan, Sudi, Rizal, Ira, Masyitah,
Farik, Safira atas kebersamaan dan dukungan selama penelitian.
Tonga, Asti, Fia, Ayu, Tria, dan keluarga besar ITSL 47 atas kerjasama dan
kebersamaannya.
Seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam penelitian yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, 2015

Fatriani Lukman

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang


1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

2

Bentuklahan (landform)

2

Penggunaan/Penutupan Lahan


2

Terrain Ruggedness Index (TRI)

3

Topographic Wetness Index (TWI)

3

METODE

4

Bahan dan Alat

6

Prosedur Analisis Data

6

HASIL DAN PEMBAHASAN

11

Bentuklahan (Landform) Daerah Penelitian

11

Penilaian TWI dan TRI

15

Topographic Wetness Index (TWI)
Terrain Ruggedness Index (TRI)

16
17

Hubungan Bentuklahan (Landform) dengan TWI dan TRI

19

Penutupan/Penggunaan Lahan

24

Hubungan Penutupan/Penggunaan Lahan dengan TWI dan TRI

28

KESIMPULAN

33

DAFTAR PUSTAKA

34

RIWAYAT HIDUP

36

DAFTAR TABEL
1 Data Sekunder Penelitian
2 Sketsa Morfologi Kelas TRI
3 Kode dan Nama Bentuklahan di Daerah Penelitian beserta Luasannya
4 Luas TWI (Topographic Wetness Index)
5 Luas TRI (Terrain Ruggedness Index)
6 Luasan Kelas TWI pada Bentuklahan
7 Luasan Kelas TRI pada Bentuklahan
8 Luasan Penggunaan Lahan
9 Luas Kelas TWI pada Penutupan/Penggunaan Lahan
10 Luas Kelas TRI pada Penutupan/Penggunaan Lahan

6
8
11
16
18
20
22
25
28
30

DAFTAR GAMBAR
1 Peta Lokasi Daerah Penelitian
5
2 Peta Elevasi Daerah Penelitian
5
3 Diagram Alir Penelitian
10
4 Sebaran Titik Cek Lapang
10
5 Peta Bentuklahan (Landform) Daerah Penelitian
12
6 Lembah Sungai Dataran Banjir dan Teras Alluvial (F2)
13
7 Perbukitan denudasional Vulkanik
14
o
o
8 Perbukitan Karst (K1) (Koordinat 106 92' BT 06 52'LS)
14
9 Tebing Karst (K2)
14
10 Dataran Puncak Perbukitan Karst (K3)
15
11 Kerucut Plutonik (Gunung Pancar)
15
12 Peta kelas TWI pada Software SAGA
16
13 Peta kelas TWI Hasil Konversi pada Software ArcGIS
17
14 Peta Kelas TRI pada Software SAGA
18
15 Peta Kelas TRI Hasil Konversi pada Software ArcGis
19
16 Hubungan Bentuklahan dengan Kelas TWI (a) Kelas TWI 1
(b) Kelas TWI 2 (c) Kelas TWI3 (d) Kelas TWI 4 (e) Kelas TWI 5
20-21
17 Hubungan Bentuklahan dengan Kelas TRI (a) Kelas TRI 1
(b) Kelas TRI 2 (c) Kelas TRI 3 (d) Kelas TRI 4 (e) Kelas TRI 5
22-23
18 Peta Penggunaan/Penutupan Lahan Daerah Penelitian
25
19 Kenampakan Hutan di Citra IKONOS (a) dan Lapang (b)
26
20 Kenampakan Kebun Campuran di Citra IKONOS (a) dan Lapang (b)
26
21 Kenampakan Sawah di Citra IKONOS (a) dan Lapang (b)
27

22 Kenampakan Tegalan/Lahan Terbuka di Citra IKONOS (a) dan
Lapang (b)
27
23 Kenampakan Lahan Terbangun di Citra IKONOS (a) dan Lapang (b)
28
24 Hubungan Penutupan/Penggunaan Lahan dengan TWI (a) Kelas TWI 1
(b) Kelas TWI 2 (c) Kelas TWI 3 (d) Kelas TWI 4 (e) Kelas TWI 5
29
25 Hubungan Penutupan/Penggunaan Lahan dengan Kelas TRI (a) Kelas TRI 1
(b) Kelas TRI 2 (c) Kelas TRI 3 (d) Kelas TRI 4 (e) Kelas TRI 5
31
26 Hubungan Penutupan/Penggunaan Lahan dengan Kelas TWI dan TRI
(a) Kelas TWI dan TRI 1 (b) Kelas TWI dan TRI 2 (c) Kelas TWI dan
TRI 3 (d) Kelas TWI dan TRI 4 (d) Kelas TWI dan TRI 5
32

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kabupaten Bogor adalah bagian dari Kawasan Strategis Nasional
Jabodetabekpunjur, yaitu suatu kawasan metropolitan nasional yang besar di
Indonesia, terdiri atas kabupaten dan kota yang berkembang cukup pesat.
Kabupaten Bogor mengalami laju pertumbuhan penduduk 1,07% dari tahun 2000
hingga 2005, dan meningkat pada periode 5 tahun berikutnya yaitu 5,22% pada
tahun 2010 (BPS Kabupaten Bogor, 2011). Fenomena perkembangan wilayah
seiring dengan laju pertumbuhan penduduk lambat laun akan dapat menjadikan
penggunaan lahan tidak lagi sesuai dengan kemampuan lahan, daya dukung lahan,
atau tidak sesuai dengan karakteristik wilayahnya. Penggunaan lahan merupakan
intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidup baik materiil maupun spiritual (Arsyad, 1989), sehingga
perhatian terhadap penggunaan lahan ini menjadi sangat penting dalam rangka
mencegah terjadinya kerusakan ekologi lingkungan. Salah satu daerah yang perlu
diperhatikan terhadap perubahan penggunaan lahan adalah daerah aliran sungai
(DAS). Menurut Utomo (1989) DAS merupakan suatu sistem hidrologis, sehingga
kejadian-kejadian banjir atau permasalahan-permasalahan hidrologis dapat
ditelaah melalui analisis bentanglahan suatu DAS. Untuk analisis bentanglahan
pada dasarnya dibutuhkan data permukaan bumi berupa bentuklahan dan
penggunaan lahan.
Data penginderaan jauh merupakan data esensial untuk identifikasi dan
pemetaan bentuklahan maupun penggunaan lahan. Interpretasi penggunaan lahan
dapat dilakukan secara visual maupun secara analisis digital dari data
penginderaan jauh yang berdasar pada pantulan spektral penutup lahan daerah
yang diteliti, sedangkan interpretasi dan pemetaan bentuklahan masih banyak
dilakukan secara visual karena kenampakan bentuklahan tidak dapat diidentifikasi
dari pantulan spektral penutup lahan. Oleh karena itu hasil pemetaan bentuklahan
relatif lebih subjektif tergantung kepada siapa (interpreter) yang melakukannya.
Mengingat bahwa analisis geomorfometri kini telah berkembang seiring dengan
ketersediaan data elevasi dari satelit dan perangkat lunak (software) pengolah data
elevasi, maka pendekatan geomorfologi kuantitatif ini diharapkan dapat
membantu untuk identifikasi bentuklahan yang lebih objektif, sehingga pemetaan
bentuklahan yang dibuat oleh siapa saja diharapkan dapat menghasilkan peta yang
relatif sama.
Aspek-aspek geomorfometri yang dianalisis untuk tujuan identifikasi
bentuklahan diantaranya adalah Topographic Wetness Index (TWI) dan Terrain
Ruggedness Index (TRI). TWI dan TRI diharapkan dapat membantu identifikasi
bentuklahan, terutama dari hasil-hasil proses erosional dan deposisional. TWI
dapat mengidentifikasi bagian-bagian kelembaban permukaan lahan di dalam
suatu DAS dengan asumsi bahwa tinggi muka air tanah mengikuti gradien
permukaannya, sedangkan TRI lebih memperlihatkan kekasaran permukaan lahan,
baik yang bertopografi datar dan berelief. Penelitian ini memilih lokasi di DAS
Cileungsi-Citeureup, Kabupaten Bogor, karena DAS ini mempunyai relief atau
jenis bentuklahan serta penutupan/penggunaan lahan yang cukup beragam.

2

Tujuan Penelitian
1. (a).Mengetahui jenis dan persebaran bentuklahan (landform) DAS
Cileungsi-Citeureup
(b).Mengetahui nilai Topographic Wetness Index dan Terrain Ruggednes
Index DAS Cileungsi-Citeureup
(c).Mengetahui hubungan bentuklahan (landform) dengan TWI dan TRI
2. Mengetahui jenis dan persebaran penutupan/penggunaan lahan DAS
Cileungsi-Citeureup dan mengetahui hubungan penutupan/penggunaan
lahan dengan TWI dan TRI
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk siapa saja yang
ingin memahami karakteristik bentanglahan DAS Cileungsi-Citeureup dan dapat
membantu pemerintah daerah dalam menyusun perbaikan rencana tata ruang agar
menjadi lebih baik.

TINJAUAN PUSTAKA
Bentuklahan (landform)
Geomorfologi adalah studi yang mendeskripsikan bentuklahan (landform)
dan proses-proses geomorfik yang menghasilkan bentuklahan, serta menyelidiki
hubungan timbal-balik antara bentuklahan dan proses-proses tersebut dalam
susunan keruangannya (Van Zuidam, 1985; Asriningrum, 2002). Kajian
geomorfologi merupakan suatu deskripsi dan penjelasan bentuklahan yang
mencakup aspek-aspek morfologi (morfografi dan morfometri), morfogenesis
(proses endogen dan eksogen), morfokronologi (dalam ruang dan waktu) serta
batuan (lithology) penyusunnya. Bentuklahan dapat terjadi karena proses
vulkanik, proses struktural, proses marin, proses angin, proses denudasional,
proses fluvial, proses solusional, dan proses organik (Harini, 2005).
Dalam mempelajari bentuklahan, proses geomorfik mempunyai peran
penting karena melalui proses ini dapat menyingkap sejarah terbentuknya
bentuklahan aktual. Proses geomorfik dipahami sebagai semua perubahan baik
fisik maupun kimia yang mempengaruhi perubahan bentuk muka bumi. Adapun
perubahan bentuk muka bumi sendiri tidak terlepas dari peran agen geomorfik,
yaitu semua media alami yang mampu memantapkan dan mengangkut bahan
bumi (Wiradisastra et al., 1999).
Penutupan/Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan (landuse) menurut Lillesand dan Kiefer (1979),
berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu, sedangkan
penutup lahan (landcover) berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di
permukaan bumi. Informasi tentang penutupan lahan pada umumnya dapat

3
dikenali dengan mudah pada citra penginderaan jauh. Untuk menafsir
penggunaan lahan pada citra penginderaan jauh dapat didasarkan pada informasi
penutupan lahannya (Fakultas Geografi UGM-Bakosurtanal 2000). Menurut
Suharyadi (1996), secara teoritis klasifikasi penutupan/penggunaan lahan yang
dibangun harus mempertimbangkan beberapa kriteria, yaitu tujuan survei, skala
peta, dan kualitas data penginderaan jauh yang digunakan sebagai sumber utama
dalam pemetaannya. Contoh penutupan/penggunaan lahan adalah hutan, semak
belukar, persawahan, permukiman, dan lain sebagainya.
Terrain Ruggedness Index (TRI)
Terrain Ruggedness Index (TRI) adalah ukuran untuk menyatakan jumlah
beda tinggi antara satu sel dengan sel yang lain pada suatu pengukuran beda tinggi
data digital (Rilley et al., 1999). TRI juga menjelaskan bahwa kekasaran
permukaan juga sangat penting dalam memilih area yang dinilai tidak sesuai
dengan potensinya atau area-area yang dinilai telah mengalami kerusakan untuk
dilakukan perkembangan atau penanaman kembali (Hauser et al., 1994).
Dalam penelitian Zawawi et al., (2013) TRI dan TWI digunakan sebagai
variabel dalam penilaian kawasan dan perancangan hutan kembali di daerah Pulau
Okinawa dan Hutan Yambaru, Jepang. TWI dan TRI tersebut dikorelasikan
dengan variabel-variabel lain seperti bentuklahan, kemiringan, ketinggian, dan
aspek (arah lereng). Dalam penelitiannya didapatkan suatu korelasi yang sangat
kuat antara kelas bentuklahan dengan nilai TWI yaitu sebesar 86% dan TRI secara
signifikan berkorelasi dengan faktor kemiringan yaitu dengan nilai korelasi 96%.
Nilai-nilai korelasi menunjukkan bahwa ada hubungan yang dinamis antar
masing-masing variabel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor TWI bisa
menjadi indikator yang sangat baik untuk evaluasi kawasan dan perancangan
hutan kembali dengan mempertimbangkan tingkat kemiringan dan nilai TRI nya.
Topographic Wetness Index (TWI)
Qin et. al., (2006) menerangkan bahwa konsep Topographic Wetness
Index (TWI) pertama diperkenalkan oleh Beven dan Kirkby pada tahun 1979
berdasarkan asumsi bahwa topografi mengontrol pergerakan air ke arah lereng
yang lebih rendah. TWI sendiri merupakan fungsi aliran partisi yang dapat
diadopsi dan diterapkan pada kondisi daerah setempat. Konsep TWI sendiri
dijalankan berdasarkan asumsi bahwa topografi mempunyai peran mengontrol
pergerakan air di lereng. TWI dapat mengukur kemampuan topografi lokal dalam
mengontrol proses hidrologi dan menunjukkan suatu distribusi parsial kelembaban
tanah serta saturasi permukaan. Dalam hal ini nilai TWI didasarkan pada asumsi
bahwa lereng permukaan mewakili kemiringan muka air tanah, sementara itu
konduktivitas hidrolik tanah dan presipitasi diasumsikan seragam dalam suatu
bentanglahan. Nilai Indeks TWI yang kecil ditemukan di bagian atas lereng,
sedangkan nilai indeks TWI yang besar biasanya terdapat di daerah cekungan
yang berasosiasi dengan tanah yang mempunyai konduktivitas hidrolik rendah
(Sari, 2012).
Dalam penelitian Sari (2012) TWI digunakan untuk analisis ekologi
bentanglahan dalam penentuan potensi sumberdaya air pada DAS Cimadur,

4
Banten. Analisis ekologi bentanglahan ini dilakukan dengan melihat hubungan
antara komponen-komponen bentanglahan, seperti penggunaan lahan, kemiringan
lereng, dan kelas TWI yang kemudian dianalisis berdasarkan bentuklahan sebagai
unit analisisnya untuk menentukan daerah yang berpotensi menyimpan air. Pada
daerah DAS Cimadur ini didapatkan hasil bahwa DAS ini memiliki ekologi
bentanglahan yang didominasi dengan bentuklahan pegunungan denudasional
vulkanik, penggunaan lahan kebun campuran, kemiringan lereng 15-30% (curam),
dan kelas TWI sedang (= kelas 2). Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi
ekologi pada daerah DAS Cimadur, masih dalam ambang batas aman terkait
dengan hal menyimpan air, namun cukup rentan terhadap perubahan iklim atau
penutupan/penggunaan lahan, karena dinamika aliran air di daerah ini cukup
tinggi sehingga pada saat musim hujan air mudah untuk diloloskan namun pada
saat musim kemarau akan berpotensi untuk mengalami kekeringan.

METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian adalah DAS Cileungsi-Citeureup yang tercakup dalam
wilayah Kecamatan-kecamatan Cileungsi, Citeureup, Klapanunggal, Jonggol,
Sukamakmur dan Babakan Madang, di Kabupetan Bogor, Provinsi Jawa Barat.
(Gambar 1), dan mempunyai luas wilayah 177, 47 km2. Secara astronomis, DAS
Cileungsi-Citeureup ini terletak pada koordinat 106o 50’ – 106o 59’ Bujur Timur
dan 6o28’ – 6o38’ Lintang Selatan. Kegiatan penelitian dan pengolahan data
dilaksanakan dari bulan September 2014 hingga Februari 2015. Analisis data
dilakukan di Divisi Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu
Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Secara geografis, lokasi penelitian terletak pada ketinggian 100 meter
sampai dengan 1.550 meter di atas permukaan air laut. Lokasi ini mempunyai
relief yang bervariasi, dari dataran rendah di bagian utara hingga perbukitan dan
pegunungan di bagian selatan. Untuk elevasi 0-200 m terletak di sebelah utara
daerah penelitian dan mempunyai luas 24,29 % dari total luas daerah penelitian;
untuk elevasi 200-400 m seluas 41,30% terletak di bagian tengah, untuk elevasi
400-600 m seluas 17,20 %; untuk elevasi 600-800 seluas 7,29 %; untuk elevasi
800-1000 seluas 4,35 %. Adapun untuk elevasi >1000 m seluas 5,53 % terletak di
bagian ujung selatan (Gambar 2). Secara klimatologis, wilayah penelitian
mempunyai iklim tropis “sangat basah” di bagian selatan dan iklim tropis “basah”
di bagian utara dengan rata-rata curah hujan tahunan 3.500 – 4.500 mm/tahun
(Sumber : BMKG Kabupaten Bogor 2005).

5

Gambar 1 Peta Lokasi Daerah Penelitian

Gambar 2 Peta Elevasi Daerah Penelitian

6
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini meliputi data primer
berupa data hasil pengecekan lapang dan data sekunder yang terdiri dari peta dan
citra yang disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Data Sekunder Penelitian
No
1

Nama Bahan
Citra satelit SRTM resolusi 30 m

Spesifikasi Skala

2

Peta Topografik (Peta Rupa Bumi Indonrsia/RBI) digital

1:100.000

3

Peta Geologi Digital

1:100.000

4

Citra IKONOS 2010

5

Citra Google Earth 2010

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah GPS, kompas, klinometer,
alat tulis dan kamera digital. Untuk proses pengolahan data spasial dan alat yang
digunakan antara lain seperangkat komputer dengan software Microsoft Word
2010, Microsoft Excel 2010, Global Mapper v.12, SAGA 2.14, dan ArcGIS 9.3.
Prosedur Analisis Data
Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap. Tahapan-tahapan penelitian
secara umum terdiri dari: (1) tahap persiapan dan pengumpulan data, (2) tahap
interpretasi citra, (3) tahap pengecekan lapang, (4) tahap analisis data, dan (5)
tahap penyajian hasil. Keluaran yang diharapkan dari penelitian ini adalah
teridentifikasinya jenis bentuklahan, kelas TWI dan TRI berkaitan dengan
bentuklahan dan penggunaan lahan yang ada di sub DAS Citeureup-Cileungsi.
Perangkat lunak yang digunakan untuk mengolah data spasial adalah ArcGIS 9.3,
SAGA 2.12 , dan Global Mapper v.12, sedangkan untuk mengolah data atribut
digunakan Ms. Office Excel 2007
1. Tahap Persiapan
Pada tahap ini dilakukan penelaahan pustaka tentang daerah studi dan
literatur yang berkaitan dengan topik penelitian. Selain itu, dilakukan
pengumpulan data sekunder yang menunjang penelitian ini, seperti citra SRTM
30m, Peta RBI yang didapat dari Badan Informasi Geospasial (BIG), dan citra
IKONOS.
2. Tahap Pengolahan dan Interpretasi
 Pemetaan bentuklahan DAS Cileungsi-Citeureup
Peta bentuklahan dihasilkan melalui interpretasi visual hillshade citra
SRTM (resolusi 30 m) yang dibantu dengan peta geologi dan peta kontur dengan
interval kontur (IC)= 12,5 m . Sistem klasifikasi bentuklahan mengacu pada
sistem ITC (Van Zuidam, 1985) dengan modifikasi pada pemberian simbolnya.
Dalam sistem ITC klasifikasi bentuklahan mempertimbangkan aspek-aspek
morfologi (terkait dengan relief), morfogenesis (terkait dengan proses-proses

7
geomorfik dinamik yang membentuknya serta litologi yang menyusunnya),
morfokronologi (terkait dengan tahap pembentukan dan perkembangan
bentuklahan), dan morfoarrangement (terkait dengan hubungan susunan
keruangan bentuklahan dan proses-proses yang membentuknya). Dalam
interpretasi bentuklahan, citra SRTM digunakan untuk melihat morfologi dan
morfoarrangement secara umum, peta geologi berperan membantu mengetahui
jenis dan struktur batuan penyusun bentuklahan, menginterpretasi morfogenesis
bentuklahan, dan mengetahui umur dari batuan tersebut. Peta kontur dalam
bentuklahan digunakan untuk membantu melihat relief permukaan bumi dan
menentukan tingkatan torehan yang terjadi melalui pola garis kontur tersebut.
Pembuatan peta bentuklahan ini untuk sub DAS Cileungsi diambil dari penelitian
Afwilla (2015).


Pemetaan penutupan/penggunaan lahan DAS Cileungsi-Citeureup
Peta penggunaan lahan dihasilkan melalui interpretasi visual yang
didigitasi secara on screen pada citra IKONOS dan citra dari Google Earth. Proses
interpretasi dan digitasi ini dilakukan dengan menggunakan software ArcGis 9.3.
Hasil dari interpretasi dan digitasi ini kemudian dicek di lapang untuk
membuktikan kebenaran hasil interpretasi citra. Penutupan/penggunaan lahan
dideleniasi berdasarkan 7 unsur interpretasi citra secara visual. Menurut Sutanto
(1986), ketujuh unsur interpretasi tersebut adalah sebagai berikut.
1. Rona dan warna : Rona (tone/color tone/ grey tone) ialah tingkat kegelapan
pada citra. Warna ialah wujud yang tampak oleh mata dengan menggunakan
spektrum sempit, lebih sempit dari spektrum tampak.
2. Bentuk : Bentuk merupakan variabel kualitatif yang memeriksa konfigurasi
atau kerangka suatu obyek.
3. Ukuran : Ukuran ialah atribut obyek yang antara lain berupa jarak, luas, tinggi,
lereng, dan volume.
4. Tekstur : Tekstur ialah frekuensi perubahan rona pada citra (Lillesand dan
Kiefer, 1979) atau pengulangan rona kelompok obyek yang terlalu kecil untuk
dibedakan secara individual (Estes dan Simonett, 1975).
5. Pola : Pola atau susunan keruangan merupakan ciri yang menandai bagi banyak
obyek bentukan manusia dan bagi beberapa obyek alamiah.
6. Bayangan : Bayangan bersifat menyembunyikan detail atau obyek yang berada
di daerah gelap.
7. Asosiasi : Asosiasi dapat diartikan sebagai keterkaitan antar obyek yang satu
dengan obyek yang lain.


Pemetaan TRI (Terrain Ruggedness Index)
TRI (Terrain ruggedness index) menjelaskan tentang kekasaran
permukaan yang diukur berdasarkan nilai ketinggian per-pixel (Riley et al., 1999)
yang mengungkapkan perbedaan jumlah nilai elevasi antara nilai-nilai yang
berdekatan dari data elevasi digital. TRI diformulasikan sebagai berikut
(Nelleman & Gareth 1995) :
TRI = (TNC*TNF)/(TNC+TNF)
dimana TNC adalah jumlah total dari garis kontur sepanjang transek, dan TNF
adalah jumlah total dari fluktuasinya. Rumus ini menggabungkan pengaruh dari

8
kemiringan dan daerah bergelombang dimana area dengan banyak garis kontur
dan curam akan menghasilkan nilai yang tinggi dan wilayah yang datar akan
menghasilkan nilai yang rendah. TRI dalam penelitian ini dihasilkan dari data
raster melalui proses digital pada sofware SAGA 21.4 kemudian dikonversi
menjadi data vektor pada software ArcGis 91.3 dengan tujuan untuk melakukan
pengkelasan. Kenampakan morfologi di daerah penelitian yang dikaitkan dengan
TRI dibagi ke dalam 5 kelas seperti yang disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Sketsa Morfologi Kelas TRI

TRI halus
(= kelas 1)

TRI agak halus
(= kelas 2)

TRI sedang
(= kelas 3)

TRI agak kasar
(= kelas 4)

TRI kasar
(= kelas 5)

9
 Pemetaan TWI (Topographic Wetness Index)
TWI (Topographic Wetness Index) adalah indeks kebasahan yang
menggambarkan kontrol topografi terhadap kelembaban tanah (Wilson dan
Gallant, 2000), sehingga TWI bisa dijadikan pedoman dalam mempelajari proses
pergerakan air serta bahan-bahan yang terangkut pada suatu wilayah. TWI
diformulasikan sebagai berikut (Quinn et al, 1995):
TWI = ln (α/tan β)
dimana tan β adalah lereng dari dasar permukaan dan α disebut specific upslope
area yang dihitung dengan rumus α = A/L, dimana A [m2] adalah upslope area
dan L [m] adalah panjang lereng.
Suatu lokasi yang mempunyai lereng landai akan mempunyai nilai indeks
TWI yang tinggi, sehingga berpotensi tinggi pula untuk menampung dan
menyimpan atau menggenangkan air. Sebaliknya suatu lokasi yang mempunyai
lereng yang curam akan mempunyai nilai indeks TWI yang rendah atau mudah
untuk meloloskan air, sehingga potensinya rendah dalam menyimpan atau
menggenangkan air. TWI dalam penelitian ini dihasilkan dari data raster melalui
proses digital pada sofware SAGA 21.4, kemudian dikonversi menjadi data vektor
pada software ArcGis 91.3 dengan tujuan untuk melakukan pengkelasan. Selain
itu konversi ini dilakukan juga dikarenakan pada penelitian ini menggunakan data
yang berbasis vektor, oleh karena itu untuk memudahkan proses analisis semua
data disamakan menjadi data vektor.
3. Kerja Lapang
Pada tahap kerja lapang dilakukan pengumpulan data primer untuk
memvalidasi bentuklahan, sehingga dapat diketahui kesalahan-kesalahan atau
kekurangan-kekurangan. Alat bantu yang digunakan di lapangan meliputi GPS,
klinometer dan kamera digital. Penentuan titik lapang dilakukan berdasarkan
sebaran bentuklahan dan penggunaan lahan. Metode penentuan dan pengambilan
sampel bersifat acak namun diusahakan merata pada seluruh daerah penelitian
(purposive random sampling). Sebaran titik verifikasi lapang disajikan pada
Gambar 3 yang berjumlah 68 titik.
4. Analisis Data
Pada tahap analisis ini dilakukan tumpang tindih (overlay) antara peta
bentuklahan dengan TWI dan TRI serta peta penutupan/penggunaan lahan dengan
TWI dan TRI. Untuk selanjutnya dilakukan analisis hubungan-hubungan yang
terdapat pada peta-peta tersebut.
5. Tahap Penyajian Hasil
Seluruh hasil penelitian ini selanjutnya disajikan dalam bentuk skripsi
yang dilengkapi dengan tabel-tabel, peta-peta, dan foto-foto lapangan. Secara
singkat rangkaian dari seluruh penelitian ini disajikan dalam bentuk diagram alir
seperti yang terlihat pada Gambar 4.

10

Gambar 3 Sebaran Titik Cek Lapang

Gambar 4 Diagram Alir Penelitian

11

HASIL DAN PEMBAHASAN
Bentuklahan (Landform) Daerah Penelitian
Berdasarkan hasil interpretasi visual dari citra SRTM (resolusi spasial 30
meter) yang dibantu dengan peta kontur untuk melihat kondisi umum relief dan
peta geologis untuk melihat litologi serta struktur dan proses, serta peta jaringan
sungai untuk melihat pola dan kerapatan torehan maka didapatkan jenis-jenis
bentuklahan-bentuklahan daerah penelitian yang dipilah menjadi 26 (Gambar 5).
Nama-nama bentuklahan disajikan pada Tabel 3 termasuk kode dan luasannya.
Tabel 3 Kode dan Nama Bentuklahan di Daerah Penelitian beserta Luasannya
Kode

Keterangan Bentuklahan

Luas (km2)

Luas (%)

D1

Perbukitan denudasional berbatu liat miosen tertoreh sangat ringan

0,40

0,23

D2

Perbukitan denudasional berbatu liat miosen tertoreh ringan

8,12

4,59

D3

Perbukitan denudasional berbatu liat miosen tertoreh sedang

19,31

10,91

D4

Pegunungan denudasional berbatu liat miosen tertoreh ringan

7,16

4,04

D5

Pegunungan denudasional berbatu liat miosen tertoreh kuat

8,30

4,69

D6

Perbukitan, denudasional, berbatu liat, miosen, tertoreh kuat

30,05

16,99

D7

Pegunungan denudasional berbatu liat miosen tertoreh sedang

1,73

0,97

DV1

Perbukitan denudasional vulkanik berbatu lava tertoreh ringan

3,25

1,83

DV2

Perbukitan denudasional vulkanik berbatu lava miosen tertoreh sedang

4,86

2,75

DV3

Lereng atas pegunungan denudasional vulkanik berbatu lava tertoreh sangat
Lereng bawah pegunungan denudasional vulkanik berbatu lava miosen
tertoreh ringan

0,24

0,13

2,38

1,34

DV5

Lereng atas pegunungan denudasional vulkanik berbatu lava tertoreh ringan

1,31

0,74

DV6

Lereng atas pegunungan denudasional vulkanik berbatu lava tertoreh sedang

2,89

1,63

DV7

Pegunungan denudasional vulkanik berbatu lava pleistosen tertoreh kuat

9,73

5,5

DV8

DV4

Pegunungan denudasional vulkanik berbatu lava miosen tertoreh sedang

5,85

3,3

F1

Lembah sungai lereng atas pleistosen bermaterial alluvium

3,43

1,94

F2

Lembah sungai dataran banjir dan teras alluvial bermaterial alluvium

8,73

4,93

K1

Perbukitan karst berbatu gamping miosen tertoreh sedang

6,47

3,66

K2

Tebing karst berbatu gamping

1,56

0,88

K3

Dataran Puncak Perbukitan Karst Miosen berbatu gamping tertoreh ringan

0,19

0,1

V1

Kerucut plutonik andesit miosen-pliosen tertoreh ringan

1,50

0,85

V2

Pegunungan vulkanik breksi dan lava andesit pleistosen tertoreh sedang

1,06

0,6

V3

Pegunungan vulkanik breksi dan lava andesit pleistosen tertoreh ringan
Punggungan perbukitan vulkanik breksi dan lava andesit pleistosen tertoreh
ringan
Pegunungan vulkanik denudasional breksi dan lava andesit pleistosen
tertoreh kuat

0,42

0,24

0,64

0,36

14,74

8,33

Dataran fluvio vulkanik

32,42

18,33

V4
VD1
FV

12

Gambar 5 Peta Bentuklahan Daerah Penelitian
Secara spasial wilayah bagian utara merupakan daerah datar yang
didominasi oleh bentuklahan dataran fluvial sedangkan bagian selatan terdiri dari
bentuklahan yang lebih beragam dengan tingkat kemiringan lereng yang lebih
bervariasi. Bentuklahan di bagian selatan ini lebih didominasi oleh perbukitan
hingga pegunungan denudasional.
Menurut peta geologi (skala 1:100.000) daerah penelitian tersusun oleh
material batuan sedimen berumur Miosen, batuan vulkanik berumur Pleistosen,
dan alluvium berumur Pleistosen. Jenis-jenis batuan yang menyusun bentuklahan
di daerah penelitian tercantum di dalam Tabel 2. Secara morfogenentik daerah
penelitian ini didominasi oleh bentuklahan dataran fluvio-vulkanik (FV) di bagian
utara yaitu seluas 34,54 km2 atau 19,46 % dari total luas daerah penelitian. Hal ini
menunjukan bahwa sebagian besar wilayah utara penelitian merupakan hasil
kegiatan deposisi atau sedimentasi sungai dengan bahan material dominan
vulkanik. Bentuklahan fluvial mempunyai karakteristik lereng yang datar, seperti
daerah di sisi kiri dan kanan sungai yaitu merupakan areal dataran banjir dan

13
teras-teras aluvial yang terbentuk akibat proses transportasi atau pengangkutan
dan deposisi material yang dibawa oleh aliran sungai secara bertahap.
Bentuklahan Lembah Sungai Lereng Atas (F1) persebarannya mengikuti aliran
sungai namun berada pada daerah-daerah perbukitan dan pegunungan (hulu).
Bentuklahan terkecil luasannya pada daerah penelitian adalah dataran puncak
Perbukitan Karst berbatu gamping (K3) yaitu seluas 0,19 km2 atas seluas 0,11 %
dari total wilayah penelitian.
Bentuklahan yang lain cukup bervariasi, seperti tebing karst (K2) yang
mudah dikenali di lapangan karena berupa tebing (di perbukitan bagian utara)
berwarna keputihan yang tersusun dari batugamping. Bagian selatan daerah
penelitian mempunyai elevasi mencapai 1.550 m sehingga bentuklahan yang
tersebar pada daerah ini tergolong bentuklahan pegunungan yang terdiri dari
Pegunungan Denudasional Vulkanik (DV) dan Kerucut Plutonik (V1).
Berdasarkan peta geologi batuan di wilayah denudasional vulkanik tergolong
ekstrusif sedangkan pada kerucut plutonik berasal dari proses intrusif. Keragaman
bentuklahan di lapang dapat dilihat pada Gambar 6-11. Namun kalau dilihat dari
sisi morfografinya bentuklahan perbukitan mempunyai luasan terbesar yaitu
seluas 41,42% yang diikuti oleh bentuklahan pegunungan (33,24%) dan
bentuklahan dataran (25,2%).
Lembah Sungai Alluvium
(F2)

Perbukitan Denudasional
Berbatu Liat (D3)

Sungai Cileungsi

Gambar 6 Lembah Sungai Dataran Banjir dan Teras Alluvial (F2)
(Koordinat 106o94' BT 06o55' LS)

14

Perbukitan Denudasional Vulkanik

Gambar 7 Perbukitan denudasional Vulkanik

Batu Kapur
yang Tersingkap
Gambar 8 Perbukitan Karst (K1) (Koordinat 106o92' BT 06o52'LS)
Tebing Karst (K2)

Gambar 9 Tebing Karst

15

Dataran Puncak Perbukitan Karst

Gambar 10 Dataran Puncak Perbukitan Karst (K3)
Kerucut Plutonik

Gambar 11 Kerucut Plutonik (Gunung Pancar)
Penilaian Topographic Wetness Index (TWI) dan
Terrain Ruggedness Index (TRI)
Analisis TWI dan TRI ini menggunakan data digital elevation model
(DEM) yang di proses dengan software SAGA. Peta TWI dan TRI yang di
dapatkan dari software SAGA dalam bentuk data raster Nilai TWI dan TRI yang
dihasilkan ini bersifat kontinu. Untuk melakukan analisis lanjutan dilakukan
konversi (dari data raster ke data vektor) agar pengkelasan mudah dilakukan
mengingat data lain (seperti peta bentuklahan) dalam bentuk data vektor.
Selanjutnya dilakukan pengkelasan masing-masing TWI dan TRI secara discret
menjadi 5 kelas. Sistem pengkelasan ini dilakukan secara arbitrer tanpa ada
referensi awal. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya acuan baku yang dapat
digunakan untuk reklasifikasi. Pengkelasan pada TWI dan TRI menjadi
kelemahan pada model ini, dikarenakan nilai TWI dan TRI sedikit berubah antara

16
data raster dan data vektor dimana pada data raster nilai TWI atau TRI masih
berada pada kelas agak basah atau agak kering namun pada data vektor tergolong
kelas sedang ataupun sebaliknya.
Topographic Wetness Index (TWI)
Topographic Wetness Index (TWI) dibedakan menjadi 5, yaitu kelas TWI
kering (= kelas 1), kelas TWI agak kering (= kelas 2), kelas TWI sedang (= kelas
3), kelas TWI agak basah (= kelas 4), dan kelas TWI basah (= kelas 5). Kelas
TWI kering (= kelas 1) menggambarkan suatu wilayah dengan potensi genangan
air yang rendah, sehingga pada wilayah ini dapat diasumsikan bahwa potensi
untuk meresapkan dan menggenangkan air juga rendah. Sebaliknya kelas TWI
basah (= kelas 5) menggambarkan suatu wilayah dengan potensi genangan air
yang tinggi, sehingga pada wilayah ini dapat diasumsikan memiliki peluang tinggi
untuk terjadinya peresapan atau penggenangan air. Adapun untuk kelas TWI
sedang (= kelas 3) menggambarkan suatu potensi yang berada di antaranya, atau
mengindikasikan suatu wilayah dengan potensi peresapan atau penggenangan air
yang sedang, atau tidak rendah dan tidak tinggi. Luasan masing-masing kelas TWI
dapat dilihat pada Tabel 4 dan sebaran spasial kelas TWI di daerah penelitian
dapat dilihat pada Gambar 12 dan 13.
Tabel 4 Luas TWI (Topographic Wetness Index)
Kelas TWI
Luas
1 = kering
4,81
2 = agak kering
147,76
3 = sedang
23,48
4 = agak basah
4,23
5 = basah
1,42

Persentase (%)
2,65
81,32
12,92
2,33
0,78

Gambar 12 Peta Kelas TWI pada software SAGA

17

Gambar 13 Peta kelas TWI Hasil Konversi pada Software ArcGIS
Pada Gambar 12 dan 13 dan Tabel di atas terlihat bahwa kelas TWI yang
paling menyebar secara dominan yaitu kelas agak kering (= kelas 2) dengan
persentase 81,32 % dari wilayah penelitian. Adapun kelas TWI kelas sedang (=
kelas 3) sebesar 12,92 %. Untuk kelas TWI kering (= kelas 1) memiliki persentase
hanya sebesar 2,65 % dari wilayah penelitian. Kelas TWI kering ini terdapat di
wilayah selatan dari daerah penelitian, mempunyai elevasi yang lebih tinggi, dan
umumnya mempunyai kemiringan lereng yang lebih besar dibandingkan dengan
bagian di wilayah penelitian lainnya. Kelas TWI agak basah (= kelas 4) dan kelas
TWI basah (= kelas 5) memiliki persentase terendah yaitu berturut-turut sebesar
2,33 % dan 0,78 % dari wilayah penelitian yang tersebar pada daerah-daerah
lembah sungai. Dengan kata lain hanya pada daerah ini saja yang memiliki potensi
genangan air yang tinggi atau memiliki peluang tinggi untuk terjadinya genangan
air. Hasil ini menunjukkan bahwa tingkat kebasahan pada daerah penelitian
tergolong agak kering hingga sedang atau tergolong tidak rendah dan tidak tinggi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa wilayah penelitian mempunyai
potensi untuk menyimpan air cukup baik.
Terrain Ruggedness Index (TRI)
Dalam Penelitian ini TRI juga dibagi ke dalam 5 kelas, yaitu kelas TRI
halus (= kelas 1), kelas TRI agak halus (= kelas 2), kelas TRI sedang (=kelas 3),

18
kelas TRI agak kasar (= kelas 4), kelas TRI kasar (= kelas 5). Kelas TRI halus
menggambarkan wilayah dengan tingkat kekasaran yang rendah atau memiliki
beda permukaan wilayah tidak tinggi atau mendekati datar bahkan wilayah yang
datar. Sebaliknya kelas TRI kasar menunjukan wilayah yang mempunyai
kemiringan yang tinggi atau curam atau dalam peta topografik mempunyai garis
kontur yang rapat.. Luasan masing-masing kelas TRI dari hasil analisi dapat
dilihat pada Tabel 5 dan hasil pemetaan sebaran kelas TRI daerah penelitian dapat
dilihat pada Gambar 14 dan 15.
Tabel 5 Luas TRI (Terrain Ruggedness Index)
Kelas TRI
1 = halus
2 = agak halus
3 = sedang
4 = agak kasar
5 = kasar

Luas
82,93
49,80
20,74
12,06
16,15

Gambar 14 Peta Kelas TRI pada Software SAGA

Persentase (%)
45,64
27,41
11,42
6,64
8,89

19

Gambar 15 Peta Kelas TRI Hasil Konversi pada Software ArcGis
Pada gambar tersebut terlihat bahwa kelas TRI yang mendominasi adalah
kelas TRI halus (= kelas 1) sebesar 45,64% dari wilayah penelitian dan diikuti
dengan kelas agak halus (= kelas 2) sebesar 27,41 %. Hal ini menunjukkan bahwa
sebagian besar wilayah penelitian berada pada daerah yang mendekati datar atau
datar dan memiliki tingkat kekasaran yang rendah. Kelas TRI agak kasar sampai
kasar (= kelas 4 dan kelas 5) memiliki persentase luasan terendah yaitu berturutturut sebesar 6,64 % dan 8,89 % dari wilayah penelitian yang tersebar di wilayah
bagian selatan. Hal ini menunjukan bahwa di bagian selatan wilayah penelitian
merupakan daerah yang memiliki elevasi lebih tinggi, mempunyai garis-garis
kontur yang lebih rapat, dan mempunyai lereng lebih curam dibandingkan dengan
wilayah penelitian lainnya. Akibatnya, di wilayah bagian selatan ini memiliki nilai
TRI paling kasar dibandingkan dengan bagian dari daerah-daerah lainnya.
Hubungan Bentuklahan (Landform) dengan TWI dan TRI
Untuk mengetahui hubungan antara bentuklahan dengan TWI dan TRI
maka pada penelitian ini dilakukan operas tumpang tindih (overlay) antara peta
bentuklahan dengan peta-peta TWI dan TRI. Luasan kelas TWI pada bentuklahan
dapat dilihat pada Tabel 6 dan sebaran kelas TWI pada bentuklahan dapat dilihat
pada Gambar 16.

20
Tabel 6 Luasan Kelas TWI pada Bentuklahan
Kelas
TWI
1
2
3
4
5

1
2
3
4
5

D1

D2

D3

D4

D5

2,29
97,7
0
0
0

0,09
82,44
14,6
2,38
0,47

0,33
92,25
6,63
0,72
0,77

3,45
85,51
10,16
0,85
0,01

0,19
87,59
10,46
1,22
0,52

DV6

DV7

DV8

F1

F2

0,3
84,47
15,19
0,03
0

16,58
79,11
4,27
0,02
0

0
90,81
9,17
0,01
0

0,37
45,92
46,95
6,63
0,1

0,31
59,11
22,59
14,55
3,42

Kode Landform
D6
D7
Luas (%)
0,09
3,23
81,98 92,91
16,6
3,27
0,97
0,35
0,33
0,21
Kode Landform
K1
V1
Luas (%)
0,27
17,9
88,02 82,09
11,43
0
0,21
0
0,06
0

DV1

DV2

DV3

DV4

DV5

0
95,71
4,14
0,11
0

2,46
91,79
5,72
0
0

3,38
77,07
19,17
0,36
0

0,43
91,87
7,68
0
0

3,01
74,39
22,59
0
0

V2

V3

V4

VD1

FV

0,05
71,52
25,96
2,45
0

0,28
90,2
9,51
0
0

8,37
88,81
2,81
0
0

14,06
80,98
4,88
0,06
0

0
71,57
19,98
5,77
2,65

(b)

(a)

(c)

21

(d)

(e)

Gambar 16 Hubungan Bentuklahan dengan Kelas TWI (a) Kelas TWI 1 (b)
Kelas TWI 2 (c) Kelas TWI3 (d) Kelas TWI 4 (e) Kelas TWI 5
Pada Gambar tersebut tampak bahwa kelas TWI agak kering (= kelas 2)
paling dominan dan hampir menyebar merata di seluruh wilayah bentuklahan.
Secara lebih spesifik kelas TWI agak kering (= kelas 2) ini menyebar paling luas
pada bentuklahan D1 yaitu bentuklahan Perbukitan Denudasional Claystone
Miosen Tertoreh Sangat Ringan dengan persentase sebesar 97,70 %. Selanjutnya
kelas sedang (= kelas 3) tampak dominan menempati bentuklahan dengan kode F1
yaitu Lembah Sungai dengan persentase sebesar 46,95 %. Adapun kelas kering (=
kelas 1) secara dominan terdapat pada bentuklahan dengan kode V1 yaitu Kerucut
Plutonik Andesit Miosen-Pliosen Tertoreh Ringan sebesar 17,9 %. Kelas agak
basah (= kelas 4) dan kelas basah (= kelas 5) secara dominan berada pada
bentuklahan dengan kode F2 yaitu Lembah Sungai, Dataran Banjir, Teras Aluvial
dengan persentase berturut-turut sebesar 14,55 % dan 3,42 %. Jika dilihat secara
umum maka kelas kering (=kelas 1) berada pada bentuklahan pegunungan, untuk
kelas agak kering (=kelas 2) menyebar diseluruh wilayah penelitian dan kelas
sedang (= kelas 3), kelas agak basah (=kelas 4) serta kelas basah (=kelas 5) berada
pada lembah sungai dan dataran.

22
Dari data di atas terlihat bahwa ada keterkaitan antara bentuklahan dengan
TWI. Dalam hal ini keterkaitan tersebut tampak pada kesesuaian antara
persebaran TWI kelas sedang hingga sangat basah pada bentuklahan fluvial dan
fluvio-vulkanik dan kelas TWI agak kering hingga kering pada bentuklahanbentuklahan denudasional vulkanik, vulkanik-denudasional, dan karst. Dua jenis
bentuklahan pertama tergolong bentuklahan deposisional, sedangkan empat
bentuklahan terakhir merupakan bentuklahan erosional. Dalam hal ini bentuklahan
menimbulkan pengaruh besar terhadap nilai index kebasahan tanah atau topografi
yang mengontrol pergerakan air ke arah lereng rendah. Bentuklahan yang
memiliki kemiringan lereng rendah seperti bentuklahan F2 memiliki index
kebasahan yang tinggi atau potensi menyimpan air yang tinggi dibandingkan
dengan bentuklahan lainnya. Sebaliknya bentuklahan lahan yang memiliki
kemiringan lereng dan elevasi lebih tinggi seperti bentuklahan V1 memiliki index
kebasahan dan potensi menyimpan air yang rendah. Potensi menyimpan air yang
tinggi juga dapat diartikan lain, yaitu berpotensi melahirkan suatu gangguan atau
bencana, seperti banjir di daerah hilir.
Adapun luasan masing-masing kelas TRI pada bentuklahan dapat dilihat
pada Tabel 7 dan persebarannya dapat dilihat pada Gambar 17 di bawah ini.
Tabel 7 Luasan Kelas TRI pada Bentuklahan
Kelas
TRI
1
2
3
4
5

D1
12,04
21,97
24,14
22,8
19,03
DV6

1
2
3
4
5

15,31
37,82
28,79
14,81
3,25

Kode Landform
D6
D7
Luas (%)
47,85 42,06 20,22 34,28 49,05 15,81
44,34 39,76 36,38 53,67 36,52 38,55
6,42 11,51 21,37 10,79 10,89 30,02
1,19
5,13 11,45 1,18
2,99 12,69
0,18
1,52 10,55 0,06
0,52
2,91
Kode Landform
DV7
DV8
F1
F2
K1
V1
Luas (%)
0,51 30,29 28,99 72,78 37,65
0
5,19 56,03 42,19 16,22 44,77 1,07
15,18 12,58 16,24 5,69 12,71
4,3
22,4
1,08
7,07
3,14
3,94 12,71
26,7
3,38
5,48
2,15
0,91 81,89
D2

(a)

D3

D4

D5

DV1

DV2

DV3

DV4

DV5

23,79
45,09
20,97
8,63
1,51

8,62
42,9
32,47
5,21
5,21

56,53
28,03
8,21
5,8
1,4

13,46
50,79
28,02
6,32
1,39

15,33
41,83
28,17
10,69
3,95

V2

V3

V4

VD1

FV

33,24
31,31
23,12
9,64
2,67

16,61
42,14
32,68
6,97
1,57

13,22
28,78
25,04
16,64
16,3

0,85
7,66
18,88
26,35
46,23

95,44
4,06
0,45
0,03
0

(b)

23

(c)

(d)

(e)
TRI

Gambar 17 Hubungan Bentuklahan dengan Kelas TRI (a) Kelas TRI 1 (b) Kelas TRI 2 (c)
Kelas TRI 3 (d) Kelas TRI 4 (e) Kelas TRI 5

24

Hubungan nilai TRI dengan bentuklahan terlihat pada Gambar 17 dan Tabel
7 di atas menunjukkan bahwa kelas TRI halus (= kelas 1) mendominasi wilayah
bentuklahan kode FV yaitu Dataran Fluvio-Vulkanik Alluvium Holosen dengan
persentase sebesar 95,44 %, sebaliknya kelas TRI agak kasar (= kelas 4) hingga
kasar (= kelas 5) mendominasi bentuklahan VD1 yaitu Pegunungan Vulkanik
Denudasional Breksi dan Lava Andesit Pleistosen Tertoreh Kuat dan bentuklahan
V1 yaitu Kerucut Plutonik Andesit Miosen-Pliosen Tertoreh Ringan dengan
persentase 26,35 % dan 81,89 %. Jika dilihat secara umum kelas halus (= kelas 1)
berada pada bentuklahan dataran dan lembah perbukitan, kelas agak halus (= kelas
2), kelas sedang (= kelas 3) dan kelas agak kasar (=kelas 4) berada pada
bentuklahan perbukitan serta kelas kasar (= kelas 5) berada pada bentuklahan
pegunungan. Hal ini membuktikan bahwa indeks kekasaran permukaan (TRI)
dapat menjadi petunjuk jenis bentuklahan. Hal ini untuk TRI kelas !
memperlihatkan bentuklahan deposisional , TRI kelas 2 dan 3 memperlihatkan
bentuklahan erosional perbukitan dan TRI kelas 4 dan 5 memperlihatkan
bentuklahan erosional pegunungan.
Dari hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa TRI dan TWI dapat
digunakan sebagai petunjuk jenis-jenis bentuklahan sehingga dapat memudahkan
untuk penarikan batas bentuklahan secara objektif. Dalam hal ini nilai TRI dan
TWI berbanding terbalik, dimana pada bentuklahan, berlereng curam dan
memiliki elevasi yang cukup tinggi menghasilkan nilai TRI yang semakin tinggi
(permukaan yang kasar), namun menghasilkan nilai TWI yang rendah dengan
tingkat kebasahan yang rendah hingga kering, dan begitu juga sebaliknya. Akan
tetapi karena adanya kemiringan lereng yang beragam maka menyebabkan pada
daerah yang mempunyai elevasi tinggi masih terdapat daerah dengan nilai TRI
rendah atau TRI halus.
Penutupan/Penggunaan Lahan
Penutupan/Penggunaan lahan dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan
besar yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian.
Penggunaan lahan pertanian dibedakan lagi berdasarkan pada penyediaan air dan
komoditi yang diusahakan dan dimanfaatkan atau atas jenis tumbuhan atau
tanaman yang terdapat di atas lahan tersebut. Berdasarkan hal ini dikenal beberapa
jenis penggunaan lahan seperti tegalan (pertanian lahan kering atau pertanian pada
lahan tidak beririgasi), sawah, kebun, kopi, kebun karet, padang rumput, hutan