Peningkatan Mutu Nutritif Hijauan Fermentasi (Hi-Fer) Melalui Inokulasi Lactobacillus Plantarum Dan Asam Formiat

PENINGKATAN MUTU NUTRITIF HIJAUAN FERMENTASI
(Hi-fer) MELALUI INOKULASI Lactobacillus plantarum
DAN ASAM FORMIAT

SAPRILIAN STYA HAPSARI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Peningkatan Mutu Nutritif
Hijauan Fermentasi (Hi-fer) melalui Inokulasi Lactobacillus plantarum dan
Asam Formiat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2016
Saprilian Stya Hapsari
NIM D251130051

RINGKASAN
SAPRILIAN STYA HAPSARI. Peningkatan Mutu Nutritif Hijauan Fermentasi
(Hi-fer) melalui Inokulasi Lactobacillus plantarum dan Asam Formiat.
Dibimbing oleh SURYAHADI dan HERI AHMAD SUKRIA.
Solusi tepat guna diperlukan dalam rangka menunjang ketersediaan dan
kualitas hijauan di Indonesia, yaitu melalui teknologi pengawetan, penyimpanan,
transportasi dan distribusi. Teknologi pengawetan yang banyak digunakan adalah
silase atau hay, namun aplikasi teknologi ini belum optimal di kalangan peternak.
Teknologi ini perlu dimodifikasi namun dengan pendekatan yang berbeda.
Penggunaan aditif berupa sumber energi dan asam maupun garam organik
yang dibutuhkan bagi bakteri dapat mempercepat proses fermentasi. Campuran ini
disebut cairan aditif fermentasi (AF). Teknologi pengawetan hijauan menggunakan
AF dikenal sebagai hijauan awet fermentasi (Hi-fer). Level penggunaan AF yang
belum optimal menyebabkan terjadinya penurunan kualitas nutrisi Hi-fer selama
penyimpanan. Oleh karena itu kualitas nutrisi Hi-fer dapat ditingkatkan dengan

penambahan aditif lainnya, yaitu bakteri Lactobacillus plantarum dan asam formiat.
Tujuan penelitian diantaranya adalah memperoleh level AF terbaik, mengetahui
pengaruh penambahan kedua bahan aditif terhadap kualitas nutrisi Hi-fer serta
menentukan perlakuan terbaik yang memberikan peningkatan mutu Hi-fer dan
palatabilitas pada ternak.
Rangkaian penelitian terdiri atas 2 percobaan utama. Percobaan pertama
terdiri dari 2 tahap. Tahap ke-1 menguji kualitas fisik dan fermentatif hasil akhir
Hi-fer. Pengukuran kualitas fermentatif menggunakan rancangan acak lengkap
pola faktorial 3x2x2 dengan 3 ulangan. Faktor pertama adalah level AF (5%, 7.5%,
dan 10%), faktor kedua adalah L.plantarum (tanpa dan dengan menggunakan
L.plantarum) dan faktor ketiga adalah asam formiat (tanpa dan dengan
menggunakan asam formiat 0.15%). Tahap ke-2 menguji kualitas kimia,
mikrobiologi dan kecernaan in vitro Hi-fer terpilih berdasarkan level AF.
Rancangan percobaan pada analisa in vitro adalah rancangan acak kelompok
dengan 4 jenis Hi-fer (P0= Hi-fer kontrol, P1= P0 + asam formiat, P2= P0 +
L.plantarum, P3= P0 + asam formiat + L.plantarum) dan 3 kelompok cairan rumen
serta 3 bag (kemasan) sebagai sub ulangan. Percobaan kedua menguji palatabilitas
Hi-fer pada ternak. Rancangan percobaan menggunakan bujur sangkar latin
dengan 4 jenis Hi-fer sebagai perlakuan dan 4 ekor ternak domba ekor tipis
(jantan) selama 4 hari.

Hasil percobaan pertama menunjukkan seluruh Hi-fer memiliki
karakteristik fisik yang berkualitas baik, dengan penggunaan AF optimal pada level
7.5%. Kedua jenis aditif baik L. plantarum maupun asam formiat memberikan
pengaruh pada peningkatan kualitas fermentasi dan nutrisi Hi-fer. Penggunaan
AF dapat dikurangi dengan penambahan L. plantarum dan asam formiat ditinjau
dari karakteristik fermentatif yaitu pH. Penambahan L. plantarum mampu
meningkatkan kualitas nutrisi Hi-fer melalui peningkatan karakteristik fermentasi
seperti penurunan pH, tingginya bahan kering produk akhir dan rendahnya
ammonia. Penggunaan asam formiat berperan dalam menekan proteolysis baik
didalam proses ensilase maupun dalam rumen, namun kurang efektif ketika

dikombinasikan dengan L. plantarum. Hasil percobaan kedua menunjukkan
penambahan asam formiat mampu meningkatkan palatabilitas Hi-fer pada ternak
domba. Simpulan hasil penelitian adalah baik penambahan L. plantarum maupun
asam formiat dapat menekan penggunaan AF dan berkontribusi dalam
meningkatkan kualitas nutrisi Hi-fer dengan kelebihan masing-masing. Perlakuan
penambahan asam formiat terpilih mampu memberikan peningkatan kualitas nutrisi
dan palatabilitas pada Hi-fer.
Kata kunci: Hi-fer, aditif fermentasi, Lactobacillus plantarum, asam formiat


SUMMARY
SAPRILIAN STYA HAPSARI. Improvement on the Nutritive Quality of
Fermented Forage (Hi-fer) through Inoculation of Lactobacillus plantarum and
Formic Acid. Supervised by SURYAHADI and HERI AHMAD SUKRIA.
Appropriate technology solutions is needed to support the availability and
quality of forage in Indonesia, with preservation, storage, transportation and
distribution technology. Preservation technology which widely used are silage or
hay, but the application of its technology is not optimal among farmers. This can be
modified with different approaches.
The used of additives such as energy source, various acids and organic salt
mineral is needed by bacteria to accelerate fermentation process. This combination
called as liquid fermentation additive (FA). Preservation technology with the used
of those AF is called as fermented forage (Hi-fer). Unoptimal level used of AF
led to a decline in nutritional quality of Hi-fer during storage. Therefore nutritive
quality of Hi-fer can be improved by the addition of other additives, namely
Lactobacillus plantarum and formic acid. The research objective is to obtain the
best level used of FA, determine the effect of the additives on the nutrititive quality
of Hi-fer and determine the best treatment that provides improved quality of Hifer and palatability to livestock.
Series of research consisted of 2 main experiment. The first experiment
consisted of 2 sub trial. First sub trial was a test of physical and fermentative quality.

Fermentative quality used factorial randomized design 3x2x2 with 3 replication.
First factor was level of liquid FA (5%, 7.5%, 10%), and second factor was
inoculation of L.plantarum (without and with inoculation of L.plantarum) and third
factor was addition of formic acid (without and with adition of 0.15% formic acid).
The second sub trial tested the chemical, microbiological and in vitro digestibility
of selected Hi-fer. In vitro analysis used block randomized design with 4 type of
Hi-fer (P0= control Hi-fer, P1= P0 + formic acid, P2= P0 + L.plantarum, P3=
P0 + formic acid + L.plantarum), 3 blocks based on different rumen fluid and 3 bag
as sub replication. The second experiment was pallatablity test of Hi-fer on sheep.
It used latin square design with 4 type of Hi-fer as treatment and 4 Javanesse thintailed sheep (male) for 4 days.
The result showed that all treatment had good quality based on physical
characteristics. Optimal used of FA was 7.5%. Both additive L. plantarum and
formic acid have beneficial effect on fermentation and nutritive quality on Hi-fer.
FA liquid could reduced with the addition of L. plantarum and formic acid based
on its pH. L. plantarum addition was able to improve nutritive quality of fermented
forage through increased fermentation characteristics that was low pH, high DM
product and low ammonia content of fermented forage. Formic acid was able to
inhibit proteolysis in ensilage process and rumen, but was less effective when
combined with L. plantarum. Second experiment showed formic acid can improve
palatability of Hi-fer on sheep. Conclusion of the research was addition of L.

plantarum and formic acid were able to reduced the used of FA and contribute to
improve nutritive quality of Hi-fer with each of their advantages. Formic acid

treatment selected as the best treatment that could improved nutrititive quality and
palatability of Hi-fer.
Key words: Hi-fer, fermentation additive, Lactobacillus plantarum, formic acid.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENINGKATAN MUTU NUTRITIF HIJAUAN FERMENTASI
(Hi-fer) MELALUI INOKULASI Lactobacillus plantarum
DAN ASAM FORMIAT


SAPRILIAN STYA HAPSARI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Yuli Retnani, MSc

Judul Tesis : Peningkatan Mutu Nutritif Hijauan Fermentasi (Hi-fer) melalui
Inokulasi Lactobacillus plantarum dan Asam Formiat
Nama
: Saprilian Stya Hapsari
NIM

: D251130051

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Suryahadi, DEA
Ketua

Dr Ir Heri Ahmad Sukria, MScAgr
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Nutrisi Pakan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dwierra Evvyernie, MS MSc


Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 28 Desember 2015

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan dengan baik.
Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah pengawetan hijauan, dengan judul
Peningkatan Mutu Nutritif Hijauan Fermentasi (Hi-fer) melalui Inokulasi
Lactobacillus plantarum dan Asam Formiat. Penelitian dilaksanakan sejak bulan
November hingga Mei 2015, dan penulis menyelesaikan penulisan karya ilmiah
pada Desember 2015. Sebagian hasil penelitian ini akan dipublikasikan pada jurnal
nasional terakreditasi dengan judul Improvement on the nutritive quality of
fermented forage through inoculation of Lactobacillus plantarum and formic acid.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Suryahadi, DEA dan Dr.
Ir. Heri Ahmad Sukria, MScAgr selaku pembimbing dalam tugas akhir penulis.
Terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Yuli Retnani, MSc selaku dosen penguji dan Dr.
Ir. Rita Mutia, MSc selaku panitia perwakilan dari Pasca INP yang telah

memberikan banyak masukan dan saran dalam rangka perbaikan tulisan pada
sidang akhir tesis. Penulis juga menghaturkan terima kasih kepada Ir. Anita S.
Tjakradidjaja, MRurSc dan Dr. Ir. Dwierra Evvyernie, MS, MSc atas kesediaannya
memberikan perbaikan dan saran pada tesis penulis.
Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada laboran Lab. Nutrisi
Ternak Perah (Ibu Dian), Industri Pakan, Ilmu dan Teknologi Pakan serta Lab.
Biokimia, Fisiologi dan Mikrobiologi Nutrisi (Ibu Yani), yang telah memfasilitasi
dan memberi masukan teknis selama penelitian. Tak lupa penulis juga haturkan
terima kasih kepada Sadeli Tim, yaitu Lilis Riyanti dan Dea Justia yang senantiasa
hadir dan memberi dukungan baik pikiran maupun tenaga kepada penulis. Kepada
seluruh keluarga CENTRAS (Centre for Tropical Animal Studies) LPPM IPB dan
Pasca INP 2013 yang juga telah mendukung berlangsungnya penelitian hingga
akhir. Selain itu terima kasih penulis ucapkan kepada keluarga sekretariat Pasca
INP (Mas Supri dan Bu Ade) yang membantu segala kegiatan perihal
kesekretariatan dan administratif penulis selama studi. Tak lupa penulis ucapkan
terima kasih pada Lembaga Riset dan Teknologi Kementerian Pendidikan dan
Perguruan Tinggi (RISTEK-DIKTI) atas Beasiswa BPPDN-DIKTI yang diberikan,
sehingga penulis berkesempatan melanjutkan studi program pascasarjana
(magister) di program studi INP IPB.
Penghargaan tertinggi penulis persembahkan kepada Almh. Mama, Bapak,

Suami dan seluruh keluarga, atas segala doa, motivasi dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua dan turut serta mendukung
kemajuan ilmu pengetahuan umumnya dan peternakan khususnya. Aamiin.

Bogor, Februari 2016
Saprilian Stya Hapsari

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian

1
1
3

2 METODE
Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Materi
Metode

4
4
4
4

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
13
Percobaan 1: Kombinasi Level penggunaan Cairan Aditif Fermentasi,
inokulasi L. plantarum dan penambahan asam formiat terhadap Kualitas
dan Kecernaan in vitro Hi-fer
13
Percobaan 2. Penggunaan inokulan L. plantarum dan asam formiat
terhadap palatabilitas Hi-fer pada domba
25
4 SIMPULAN DAN SARAN

28

DAFTAR PUSTAKA

29

LAMPIRAN

33

RIWAYAT HIDUP

45

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Skema pengacakan rancangan BSL
Kualitas fisik Hi-fer perlakuan
pH Hi-fer perlakuan
Kandungan bahan kering (%) Hi-fer
Kandungan N-NH3 (g/100g) Hi-fer
Penyusutan berat segar Hi-fer (%)
Nilai Fleigh Hi-fer
Kandungan nutrient Hi-fer setelah ensilase 21 hari (100% BK)
Fermentabilitas dan koefisien cerna in vitro Hi-fer
Palatabilitas bahan kering Hi-fer dalam 4 jam (g/ekor)
Palatabilitas segar dan bahan kering Hi-fer perlakuan dalam 4 jam

12
13
15
16
18
19
19
20
23
25
26

DAFTAR GAMBAR
1
2
3

Bagan alur penelitian
Tampilan fisik Hi-fer setelah 21 hari inkubasi
Diagram populasi BAL dan asam laktat Hi-fer

5
14
21

DAFTAR LAMPIRAN
1

Hasil analisa dan uji lanjut duncan interaksi perlakuan terhadap
pH Hi-fer
2 Hasil analisa dan uji lanjut duncan interaksi perlakuan terhadap
bahan kering (BK) Hi-fer
3 Hasil analisa dan uji lanjut duncan interaksi perlakuan terhadap
konsentrasi N-NH3 Hi-fer
4 Hasil analisa dan uji lanjut duncan interaksi perlakuan terhadap
penyusutan berat segar (%) Hi-fer
5 Hasil analisa dan uji lanjut duncan interaksi perlakuan terhadap
nilai fleigh Hi-fer
6 Hasil analisa dan uji lanjut duncan pengaruh perlakuan terhadap
konsentrasi asam laktat Hi-fer
7 Hasil analisa pengaruh perlakuan terhadap populasi BAL Hi-fer
8 Hasil analisa dan uji lanjut duncan pengaruh perlakuan terhadap
konsentrasi N-NH3 rumen in vitro
9 Hasil analisa dan uji lanjut duncan pengaruh perlakuan terhadap
konsentrasi VFA rumen in vitro
10 Hasil analisa dan uji lanjut duncan pengaruh perlakuan terhadap
koefisien cerna bahan kering (KCBK) rumen in vitro
11 Hasil analisa dan uji lanjut duncan pengaruh perlakuan terhadap
koefisien cerna bahan organik (KCBO) rumen in vitro
12 Hasil analisa pengaruh perlakuan terhadap proporsi asetat

33
33
34
35
36
37
38
38
39
39
40
40

13
14
15
16

Hasil analisa pengaruh perlakuan terhadap proporsi propionat
Hasil analisa pengaruh perlakuan terhadap proporsi butirat
Hasil analisa pengaruh perlakuan terhadap proporsi isobutirat
Hasil analisa dan uji lanjut duncan pengaruh perlakuan terhadap proporsi
isovalerat
17 Hasil analisa pengaruh perlakuan terhadap proporsi valerat
18 Hasil analisa pengaruh perlakuan terhadap proporsi rasio asetat : propionat
19 Hasil analisa dan uji lanjut pengaruh perlakuan terhadap palatabilitas

41
41
41
42
42
43
43

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Usaha peternakan khususnya ruminansia bergantung pada ketersediaan
hijauan. Hijauan merupakan bahan pakan utama bagi ternak ruminansia, namun
ketersediaan dan kualitas hijauan di Indonesia masih tergolong rendah.
Ketersediaan pakan yang belum memadai mengakibatkan terjadinya kesulitan
dalam peningkatan populasi ternak sapi (Suryahadi et al. 2009). Hal ini disebabkan
oleh beberapa permasalahan dalam pakan, diantaranya adalah: (1) Mutu nutrisi
pakan lokal rendah. Umumnya peternak menggunakan rumput lapang atau limbah
pertanian yang rendah kandungan energi dan protein. Sehingga dibutuhkan adanya
teknologi pengolahan untuk meningkatkan mutu nutrisi pakan, (2) produksi bersifat
musiman, dimana berlimpah ketika musim hujan namun terjadi kelangkaan ketika
musim kemarau. Hal ini memerlukan solusi pengawetan, sehingga pakan dapat
disimpan dan tersedia dalam jangka waktu yang lama, dan (3) lokasi produksi pakan
tidak setumpu dengan lokasi produksi ternak. Ketiadaan pakan dan sistem
pengangkutan pakan yang sulit menyebabkan peningkatan biaya pakan ternak.
Secara ringkas teknologi yang dibutuhkan adalah pengawetan, penyimpanan,
kemudahan transportasi dan distribusi. Teknologi yang mudah, murah dan mampu
menjawab semua permasalahan diatas dapat menjadi solusi terlebih ketika teringkas
dalam suatu sisem yang terintegrasi. Sebagai contoh teknologi pengawetan yang
telah dikenal adalah silase atau hay. Namun hingga saat ini teknologi ini belum
optimal dan belum teraplikasikan dengan baik pada peternakan rakyat, hanya
terbatas pada perusahaan atau peternakan skala besar. Beberapa kendala yang
ditemui di peternak antara lain adalah tingkat kegagalan dalam pembuatan yang
masih cukup tinggi dan sulit diaplikasikan secara meluas. Hal ini terkait dengan
kelembapan udara yang tinggi sehingga menyulitkan dalam proses pembuatan
terutama pemadatan. Adapun penyimpanan hijauan secara konvensional dan
sederhana dalam bentuk kering meningkatkan resiko mudah terbakar.
Hal ini yang selanjutnya mendasari penelitian berupa pengembangan silase
namun dengan pendekatan yang berbeda. Pendekatan yang dimaksud adalah
melalui beberapa modifikasi sehingga lebih mudah untuk diaplikasikan, murah dan
dengan mutu nutrisi yang baik. Agar teknologi lebih mudah dibuat, maka perlu
dilakukan penambahan bahan aditif. Tujuan utama yang hendak dicapai adalah
mempercepat proses fermentasi sehingga mudah dalam pembuatan dan mampu
menghasilkan produk akhir yang berkualitas. Aditif yang dikembangkan
merupakan campuran dari berbagai komponen seperti sumber energi (molasses),
asam-asam serta garam-garam organik yang dibutuhkan oleh bakteri selama
fermentasi. Lebih lanjut campuran ini disebut sebagai cairan aditif fermentasi (AF).
Cairan aditif ini mampu: (1) meningkatkan palatabilitas pakan fermentasi, (2)
meningkatkan daya simpan pakan dan (3) mempercepat proses fermentasi
(Suryahadi, 2013). Cairan AF tersebut dibutuhkan untuk mempercepat penurunan
pH, mengoptimalkan pertumbuhan BAL sehingga mempercepat proses fermentasi
secara anaerob.
Penggunaan AF memungkinkan diversifikasi dan pemanfaatan bahan pakan
lokal, tidak terbatas pada hijauan segar saja. Hasil-hasil limbah pertanian dengan

2
tingkat kekeringan yang tinggi dapat dimanfaatkan dalam bentuk pakan atau
hijauan fermentasi. Teknologi fermentasi ini disebut sebagai hijauan awet
fermentasi (Hi-fer). Teknologi yang tepat guna dan terintegrasi akan lebih mudah
untuk diaplikasikan di masyarakat. Sehingga produk Hi-fer dikemas dalam
kemasan komersial (plastik) agar praktis dan mudah untuk diaplikasikan oleh
masyarakat secara luas. Hal ini tentunya akan memudahkan dalam proses
pendistribusian, transportasi dan pengangkutan (Centras 2013). Kelebihan dari Hifer, diantaranya adalah: 1) dapat diproduksi oleh masyarakat (petani/peternak)
secara masal, 2) mudah (secara manual dengan peralatan dan bahan tersedia di
lokasi setempat) baik secara produksi/pembuatan maupun transportasi dan 3) biaya
produksi murah. Hi-fer telah terbukti bermanfaat diaplikasikan pada masyarakat
maupun ternak (Suryahadi 2014). Namun jumlah penggunaan cairan AF yang
selama ini hanya didasarkan pada kondisi faktual di lapang, dirasa perlu dilakukan
pengevaluasian kembali. Fermentasi pada intensitas yang lebih tinggi dan
berkelanjutan menyebabkan terjadinya penurunan kualitas Hi-fer, terutama jika
disimpan dalam jangka waktu lama (Suryahadi 2014). Penurunan kualitas Hi-fer
dikhawatirkan akan berdampak pada palatabilitas Hi-fer terutama pada ternak
ruminansia kecil. Hal ini yang kemudian mendasari penelitian lanjutan untuk
memperoleh takaran/jumlah penggunaan AF yang tepat dan diharapkan mampu
meningkatkan kualitas nutrisi Hi-fer.
Poin penting dalam proses fermentasi adalah mempercepat produksi asam
sehingga kehilangan nutrient dapat ditekan. Oleh karena itu diperlukan
penambahan aditif lainnya yang bertujuan untuk meningkatkan proses fermentasi
secara lebih efisien sehingga mampu meningkatkan kualitas nutrisi Hi-fer.
Berbagai jenis aditif baik biologis maupun kimiawi telah banyak digunakan dan
dikembangkan untuk meningkatkan kualitas fermentasi. Inokulan yang
mengandung strain bakteri asam laktat (BAL) telah dikembangkan dan digunakan
untuk menstimulasi proses frementasi (McDonald et al. 1991). Pada proses ensilase
hijauan, BAL digunakan sebagai aditif untuk meningkatkan nilai nutrisi tanaman
melalui aksi minimalisasi respirasi tanaman dan aktivitas enzim serta dengan
menghambat populasi mikroba merugikan. Penambahan inokulan BAL
menghasilkan kualitas yang lebih baik pada silase hijauan dibandingkan dengan
penggunaan inokulan komersil (Bureenok et al. 2006 dan Santoso et al. 2011). BAL
homofermentatif seperti Lactobacillus plantarum, Enterococcus faecium dan
Pediococcus spp. mampu menurunkan pH dengan cepat dan menghasilkan rasio
laktat:asetat yang lebih tinggi. Fungsi inokulan tersebut adalah untuk menjadikan
proses fermentasi berjalan dengan cepat dan efisien dengan perombakan
karbohidrat terlarut (Water Soluble Carbohydrate/ WSC) menjadi asam laktat dan
mampu meningkatkan masa simpan silase dengan kehilangan nutrient seminimal
mungkin. Lactobacillus plantarum (L. plantarum) merupakan spesies BAL
homolaktat yang mampu menghasilkan penurunan pH dengan cepat, peningkatan
jumlah BAL dan penghambatan mikroorganisme perusak (Adesoji et al. 2010). L.
plantarum meningkatkan fermentasi silase dengan dominasi fermentasi oleh bakteri
homolaktat dan menghasilkan banyak asam laktat (Filya dan Sucu 2007). Asam
laktat berperan dalam menurunkan pH silase (Ennahar et al. 2003) dan pengawet,
sehingga dapat menghindarkan adanya pertumbuhan mikroorganisme pembusuk.
Konsekuensi dari intensifnya proses fermentasi adalah tingginya perombakan
gula dan bahan organik dalam silase. Perlu adanya penambahan bahan aditif yang

3
secara utama bertujuan untuk menurunkan konsentrasi asam hasil fermentasi,
mengurangi kehilangan dan mempertahankan sebanyak mungkin kandungan nutrisi
pada hijauan yang diensilase. Aditif yang berperan sebagai penghambat fermentasi
umumnya adalah asam. Pemberian dosis asam yang tepat, akan menurunkan pH
silase secara cepat dan membatasi terjadinya kehilangan protein dan karbohidrat
selama proses fermentasi (Luckstadt 2009). Asam formiat (HCOOH) termasuk
bahan aditif kimia yang telah lama dikenal dalam proses ensilase. Terutama banyak
digunakan pada hijauan yang sulit diawetkan melalui potensinya dalam menekan
aktifitas bakteri yang tidak diinginkan, dan memungkinkan bakteri asam laktat
untuk mendominasi selama proses fermentasi (McDonald et al.1991). Dominasi
aktivitas BAL akan menurunkan kehilangan CO2 dan menghasilkan lebih banyak
BK yang tersedia pada produk fermentasi (Lorenzo dan O’Kiely 2008). Pembatasan
fermentasi pada perlakuan asam formiat diketahui menghasilkan konsentrasi gula
residu yang tinggi, peningkatan sintesis protein mikroba rumen dan penurunan
proporsi pada VFA rumen dibandingkan silase tanpa perlakuan (Jaakola et al. 1991).
Asam formiat sebagai pembatas fermentasi berkorelasi positif dengan sintesis
protein mikroba di rumen dan menghasilkan lebih banyak proporsi VFA lipogenik
(Jaakola et al. 2006).
Tujuan Penelitian
1.
2.
3.

Memperoleh level optimal penggunaan cairan AF sehingga mampu
memberikan peningkatan mutu nutrisi Hi-fer
Mengetahui pengaruh penambahan L.plantarum dan aditif asam formiat pada
kualitas nutritive Hi-fer
Menentukan perlakuan terbaik sehingga mampu memberikan peningkatan
mutu Hi-fer dan palatabilitas pada ternak.

4

2 METODE
Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2014 hingga Mei 2015.
Produksi Hi-fer dilakukan di Laboratorium Industri Pakan Fapet IPB. Pengujian
palatabilitas pada ternak dilaksanakan di peternakan rakyat CV Anugerah Farm,
Ciampea-Jasinga Bogor. Analisa laboratorium di Laboratorium Ternak Perah
Fakultas Peternakan IPB, Laboratorium Biokimia, Fisiologi dan Mikrobiologi
Nutrisi Fakultas Peternakan IPB, dan Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan
Fakultas Peternakan IPB.
Materi
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatah Hi-fer adalah rumput gajah
(Pennisetum purpureum) yang berasal dari kebun Fapet IPB, kultur murni L.
plantarum 1A-2 dari Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Cibinong Bogor, asam
formiat 55%, cairan Aditif Fermentasi (AF) dari CENTRAS LPPM IPB dan
sweetener. Bahan untuk perbanyakan bakteri adalah media MRS-B (deMann
Rogose Sharpe Broth), bacto agar dan NaCl. Adapun bahan yang digunakan dalam
analisa in vitro antara lain cairan rumen sapi Peranakan Ongol berfistula (fistulated
cattle) berasal dari LIPI Cibinong Bogor, larutan McDougall, larutan pepsin-HCl,
HgCl2 jenuh, dan bahan-bahan penunjang laboratorium lainnya.

Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain laminar air flow,
shaker waterbath, Gas Chromatograph (Shimadzu GC-8A, colom no 80/100
Chromosorb W), spektrofotometer, pH meter HACH Spain, shaker model VRN360 dan seperangkat glassware seperti gelas ukur, tabung reaksi, cawan petri dan
erlenmeyer.
Ternak yang digunakan adalah domba Ekor Tipis jantan dengan bobot badan
rataan 20 kg sebanyak 4 ekor. Ternak ditempatkan pada kandang individu.
Metode
Penelitian diawali dengan persiapan bahan meliputi: peremajaan dan
pembuatan inokulum Hi-fer, pembuatan Hi-fer dan analisis. Bagan alur
penelitian diperlihatkan pada gambar 1 berikut. Penelitian terdiri dari 2 percobaan.
Percobaan 1 terbagi atas dua tahap, yaitu 1) efek kombinasi faktor perlakuan
terhadap sifat fisik, dan kualitas fermentative Hi-fer, dan 2) pengaruh perlakuan
terhadap peubah kimia, mikrobiologis dan kecernaan serta fermentabilitas in vitro.
Percobaan kedua mengukur tingkat palatabilitas perlakuan pada ternak domba (in
vivo).

5

Pembuatan Hi-fer
Percobaan 1.
Efek kombinasi Level Cairan Aditif Fermentasi,
inokulasi L. plantarum dan penambahan asam
formiat terhadap Kualitas dan Kecernaan in vitro
Hi-fer
Tahap 1
Kualitas Fisik dan Karakteristik Fermentatif Hi-fer
Faktor A : Level Aditif Fermentasi (5%, 7.5%, 10%)
Faktor B : Penambahan Asam Formiat
Faktor C : Penambahan L. plantarum

Percobaan 2.
Efek Penggunaan inokulan L. plantarum
dan Asam Formiat terhadap Palatabilitas Hifer pada Domba
: Hi-fer kontrol (tanpa aditif)
: P0 + Asam formiat
: P0 + L. plantarum
: P0 + asam formiat + L.plantarum

P0
P1
P2
P3

Palatabilitas Hi-fer selama 4 jam

Pengamatan Fisik dan Analisa
Karakteristik Fermentatif Hi-fer
Penentuan Level Aditif Fermentasi Terbaik
Tahap 2
Fermentasi in vitro
P0
P1
P2
P3

: Hi-fer kontrol (tanpa aditif)
: P0 + Asam formiat
: P0 + L. plantarum
: P0 + asam formiat + L.plantarum
Ket: Semua perlakuan menggunakan Aditif
fermentasi level terbaik (7.5%)

Analisa Kandungan Nutrisi dan
Mikrobiologi serta Fermentabilitas dan
Koefisien Cerna Hi-fer in vitro

Gambar 1 Bagan alur penelitian

Pengolahan data

6
Peremajaan Isolat dan Pembuatan Inokulum Hi-fer
Isolat L. plantarum 1A2 yang digunakan sebagai inokulum Hi-fer
ditumbuhkan pada media spesifik BAL, yaitu deMan Rogosa Sharpe (MRS).
Pertama-tama kultur starter diperbanyak dengan media MRS Agar pada cawan petri
atau agar miring di tabung reaksi. Inkubasi dilakukan selama 18 jam pada suhu
ruang (28-30C). Setelah kultur tumbuh dan tidak nampak adanya kontaminasi,
maka dapat disimpan di kulkas dan digunakan sebagai stok dalam pembuatan
inokulum Hi-fer. Inokulum dibuat dengan menginokulasikan 3 ose dari stok L.
plantarum ke dalam 10 ml media MRS broth (cair) sebagai prekultur, ditransfer 1%
(v/v) prekultur ke dalam media MRS cair selanjutnya. Keberhasilan ditandai dari
adanya endapan berwarna putih dan tidak tampak adanya hifa atau serat yang
mengambang dan mengapung (media jernih seperti awal pembuatan).
Penghitungan koloni BAL menggunakan metode total plate count (TPC) dan
diperoleh populasi akhir L. plantarum sebanyak 1,6 x 109 CFU/ml.
Prosedur Pembuatan Hi-fer
Rumput gajah di panen pada umur potong 30 hari. Selanjutnya dilayukan
terlebih dahulu selama dua malam. Pelayuan dilakukan dengan cara menganginanginkan rumput pada suhu ruang di bawah naungan. Hal ini bertujuan untuk
mengurangi kadar air yang terdapat pada rumput. Kemudian rumput dichop/dicacah
hingga berukuran 3-5 cm. Cairan aditif fermentasi dicampurkan sejumlah level
perlakuan, yaitu 5%, 7.5% dan 10% (Suryahadi 2014) pada rumput gajah hingga
rata. Pada tahapan ini dilakukan penerapan perlakuan penambahan L.plantarum
sebanyak 0.0625 ml/kg rumput (kepadatan populasi 109 cfu/ml) dan asam formiat
sebanyak 0,15% per kg rumput (Sariri et al. 2011). Setelah tercampur merata,
selanjutnya rumput dimasukkan kedalam kantong plastik transparan LDPE (bag)
berukuran 50x85cm. Rumput dimampatkan dan diupayakan tidak ada udara dalam
kantong. Lapisan kantong dibuat sebanyak 2 lapis (double layer) untuk mencegah
kebocoran. Tiap kantong berisi 15 kg, dan selama masa simpan Hi-fer disimpan
pada ruangan tertutup (terhindar dari hujan) dan kondisi suhu ruang selama 3
minggu hingga siap dianalisa.
Percobaan 1. Efek kombinasi Level penggunaan Cairan Aditif Fermentasi,
inokulasi L. plantarum dan penambahan asam formiat terhadap Kualitas dan
Kecernaan in vitro Hi-fer
Tujuan percobaan ini adalah memperoleh Hi-fer kualitas terbaik melalui
kombinasi antara faktor level cairan AF, inokulasi L. plantarum dan penambahan
asam formiat. Percobaan dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap pertama dengan
mengukur karakteristik fisik dan fermentative Hi-fer dan tahap kedua menguji
mutu kimia, mikrobiologis dan kecernaan in vitro Hi-fer.
Tahap 1. Karakteristik fisik dan fermentative Hi-fer
Peubah awal yang diukur pada tahap pertama penelitian adalah mutu fisik
Hi-fer. Selain itu juga dilakukan pengukuran beberapa peubah karakteristik
fermentasi Hi-fer, yaitu: pH, kadar N-NH3 Hi-fer (mikrodifusi conway),
Bahan Kering Hi-fer, penyusutan berat segar dan nilai fleigh.

7
Pengukuran Kualitas Fisik Hi-fer. Pengamatan fisik terdiri atas: warna,
bau, tekstur dan keberadaaan jamur dalam Hi-fer. Pengamatan dilakukan
secara organoleptik setelah tiga minggu proses ensilase. Sampling dilakukan
dengan membuka tiap kantong dan mengamati seluruh bagian, yaitu bagian atas,
tengah dan bawah kantong. Pengamatan dilakukan secara organoleptik
deskriptif oleh peneliti. Sebagai penunjang observasi, digunakan bantuan media
gambar (photo). Aroma atau bau dapat diklasifikasikan sebagai bau busuk,
harum (asam), harum alkohol.
Pengukuran pH. Hi-fer yang baru dibuka ditimbang sebanyak 10 gram
dan dicampur dengan 100 ml aquadest dengan cara dishaker pada kecepatan 600
rpm selama 10 menit. pH cairan diukur menggunakan Pocket pH meter yang
telah dikalibrasi. Pembacaan pH dilakukan setelah screen stabil atau ±30 detik.
Pengukuran N-NH3 Hi-fer. Pengukuran N-NH3 dengan metode
mikrodifusi Conway (1957). Sebanyak 1 ml sampel yang sama dengan sampel
pengukuran pH ditempatkan pada salah satu ujung jalur cawan Conway yang
telah diolesi vaselin kemudian 1 ml larutan Na2CO3 ditempatkan pada sisi yang
bersebelahan dengan sampel. Asam borat berindikator sebanyak 1 ml
ditempatkan didalam cawan kecil yang ada dibagian tengah cawan Conway
kemudian tutup rapat cawan Conway. Supernatan dan larutan Na2CO3 dicampur
hingga rata dengan cara cawan Conway dimiringkan. Diamkan selama 24 jam
pada suhu kamar dan setelah 24 jam asam borat berindikator dititrasi
menggunakan H2SO4 sampai terjadi perubahan warna dari biru menjadi merah.
Kemudian kadar NH3 dihitung dengan rumus:
N NH

mM =

� �

� � �




Perhitungan nilai Fleigh. Nilai fleigh dihitung menggunakan rumus Kilic
(1984):
NF = 220 + (2 x BK (%) – 15) – (40 x pH)
Penghitungan berdasarkan rumus fleigh digunakan untuk mempermudah
mengestimasi kualitas suatu produk fermentasi, berdasarkan karakteristik
fermentative yaitu nilai pH dan BK.
Perlakuan dan rancangan percobaan tahap 1
Perlakuan percobaan tahap pertama termasuk dalam pengamatan faktorial.
Faktor A adalah level Cairan Aditif Fermentasi Hi-fer, yaitu 5%, 7,5% dan
10%; faktor B merupakan perlakuan inokulasi L. plantarum 0,0625 ml/kg
hijauan segar (kepadatan populasi 1,6 x 109 CFU/ml) dan tanpa inokulasi L.
plantarum; dan faktor C adalah penambahan asam formiat (0,15%) dan tanpa
asam formiat. Pengujian secara fisik, dianalisis secara deskriptif kualitatif.
Kualitas fermentasi Hi-fer menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
Faktorial 3x2x2 dengan masing-masing 3 bag sebagai ulangan. Data dianalisis

8
dengan ANOVA dan apabila terdapat perbedaan diuji lanjut dengan Duncan.
Secara umum model matematis rancangan adalah sebagai berikut:
RAL Faktorial :

Yjkl =  + j +  k + l + jkl + jkl

Keterangan :
Yjkl

j
k
l
jkl
jkl

= Nilai pengamatan faktor A ke-j, faktor B ke-k dan faktor C ke-l
= Rataan umum pengamatan
= Pengaruh faktor A ke-j / perlakuan ke-j
= Pengaruh faktor B ke-k
= Pengaruh faktor C ke-l
= Pengaruh interaksi faktor A ke-i, faktor B ke-j dan faktor C ke-k
= Galat percobaan untuk faktor A ke-j, faktor B ke-k dan faktor C
ke-l

Tahap 2. Mutu kimia, mikrobiologis dan kecernaan in vitro Hi-fer
Perlakuan Hi-fer terpilih dari tahap pertama berdasarkan level cairan AF
selanjutnya dilakukan pengujian dengan peubah kualitas kimia, mikrobiologis
dan kecernaan in vitro. Kualitas kimia Hi-fer dengan menganalisa kandungan
nutrient Hi-fer menggunakan prosedur standar proksimat (AOAC 2005) dan
VanSoest (VanSoest et al. 1991) yang meliputi BK, Abu, PK, SK, LK, NDF,
ADF dan lignin. Pengukuran menggunakan sampel Hi-fer yang telah
dikeringkan dalam oven 105C dan digiling hingga berbentuk tepung. Selain itu
juga diukur kadar asam laktat Hi-fer dengan Spektrofotometer (Baker dan
Summerson 1941). Secara mikrobiologis dianalisa jumlah koloni BAL dalam
Hi-fer dengan Total Plate Count (Fardiaz 1992).
Fermentabilitas Hi-fer diukur secara in vitro (Tilley dan Terry 1963).
Peubah yang diamati adalah Produksi VFA total (steam destillation), VFA
parsial dengan Gas Chromatography (General Laboratory Procedures 1966) dan
konsentrasi NH3 (mikrodifusi Conway). Dilanjutkan dengan pengukuran
kecernaan yang meliputi Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK) dan Bahan
Organik (KCBO) (Tilley dan Terry 1963).
Pengukuran Kadar Asam Laktat (Baker and Summerson 1941).
Pengukuran asam laktat dengan menggunakan spektrofotometer. Sebanyak 1
gram sampel Hi-fer digrinder hingga lumat dan dengan ditambah TCA 10%
sedikit demi sedikit sambil disaring dan ditampung dalam tabung sentrifuse
sampai mendapatkan filtrat 5 ml. Selanjutnya disentrifuse dengan kecepatan
3000 rpm selama 15 menit. Supernatan dituang dan ditambahkan kembali TCA
10% sampai 5 ml (A).
Tabung sentrifuse diisi 1 ml aquades sebagai blanko. Tabung kedua diisi
dengan 1 ml larutan standar asam laktat yang mengandung 0,01 mg/ml. Tabung
ketiga diisi dengan 1 ml filtrat bebas protein (A). Pada semua tabung sentrifuse
ditambahkan 0,5 ml larutan CuSO4 20% dan diencerkan hingga 5 ml dengan
aquades. Selanjutnya ditambahkan 0,5 g bubuk Ca(OH)2. Lubang tabung ditutup

9
dengan stopper atau parafilm dan dikocok dengan vortex hingga padat hancur
dan homogen, kemudian didiamkan. Lakukan berulang selama ≥ ½ jam. Setelah
semua tabung disetarakan beratnya, selanjutnya disentrifuse dengan kecepatan
3000 rpm selama 15 menit. Kemudian diambil 0,5 ml supernatan, dimasukkan
dalam tabung reaksi yang kering dan bersih. Pada tiap tabung reaksi
ditambahkan 0,025 ml CuSO4 4%, ditambahkan setetes demi setetes dengan
buret 3 ml H2SO4 pekat. Isi tabung akan menjadi panas, dan selanjutnya
dimasukkan dalam air mendidih ± 5 menit. Tabung didinginkan dengan air
mengalir/ es dengan suhu ≤ 20C dan ditambahkan 0,05 ml reagent phidrosiphenil setetes demi setetes hingga menjadi putih. Campuran
dihomogenkan dan dimasukkan kedalam water bath 30C selama ≥ 30 menit.
Kemudian dimasukkan ke dalam air mendidih selama 90 detik dan didinginkan.
Isi tabung akan berubah warna menjadi violet. Isi tabung terakhir dipindahkan
pada kuvet dan dimasukkan dalam spektrofotometer dengan spektonik 20
panjang gelombang 560 nm (vis). Penghitungan absorbansi dengan regresi linier.
Y= a + bx
Penghitungan Jumlah Koloni Bakteri Asam Laktat (Fardiaz 1992).
Jumlah koloni bakteri asam laktat dihitung dengan menggunakan Metode Total
Plate Count (TPC). Sampel Hi-fer ditambah aquades dengan perbandingan 1:2.
Sebanyak 1 ml cairan Hi-fer dimasukkan ke dalam 9 ml aquades, lalu
diencerkan dengan mengambil 1 ml dimasukkan ke 9 ml aquades sampai
pengenceran 7 kali. Lalu sebanyak 0.1 ml dari pengenceran 6 dan 7 kali ditanam
pada cawan petri berisi media MRS agar. Media agar yang ditanam dengan
sampel silase diinkubasi pada suhu ruang selama 3 hari. Koloni yang tumbuh
berbentuk bulat miring bewarna agak kekuningan. Jumlah koloni yang diperoleh
ditranformasi dalam log.
Populasi BAL (cfu/g) = jumlah koloni x pengenceran
Inkubasi in vitro (Tilley dan Terry 1963). Sebanyak 0.5 gram sampel Hifer dimasukkan ke tabung fermentor dan ditambahkan 10 ml larutan buffer
McDougall dan 40 ml cairan rumen. Pengambilan cairan rumen dilakukan 2-3
jam setelah pemberian pakan pagi. Cairan rumen diperas dan disaring
menggunakan dua lapis kain kasa steril kemudian dipindahkan ke tabung
fermentor dan secara kontinyu dialiri CO2 didalam shaker water bath pada suhu
39C. Keduanya diaduk dengan gas CO2 selama 30 detik dan ditutup rapat
dengan karet berventilasi. Tabung fermentor ditempatkan pada shaker water
bath dengan suhu 39C dan fermentasi dilakukan selama 4 jam untuk sampel pH
rumen, NH3, VFA total dan parsial, dan fermentasi 48 jam untuk sampel
KCBK/KCBO. Setelah inkubasi kedalam tabung fermentor ditambahkan 2-3
tetes HgCl2 jenuh untuk menghentikan aktivitas mikroba.
Pengukuran N-NH3 rumen. Pengukuran N-NH3 menggunakan metode
Mikrodifusi Conway (General Laboratory Procedure 1966). Setelah inkubasi
selama 4 jam di dalam shaker water bath ditambahkan 2-3 tetes HgCl2 jenuh ke
dalam tabung fermentor untuk menghentikan aktivitas mikroba. Tabung
fermentor selanjutnya disentrifuge dengan kecepatan 3500 rpm selama 15 menit.

10
Sebanyak 1 ml supernatan sampel ditempatkan pada salah satu ujung alur cawan
Conway, disisi yang bersebelahan ditambahkan 1 ml larutan Na2CO3, dan pada
bagian tengah ditambahkan 1 ml Asam borat berindikator. Kemudian cawan
ditutup rapat dan perlahan-lahan supernatan dan larutan Na2CO3 dicampur
dengan cara cawan dimiringkan. Cawan didiamkan selama 24 jam dan dititrasi
menggunakan H2SO4 sampai terjadi perubahan warna dari biru menjadi merah.
Kadar NH3 dihitung dengan rumus:
� � � � � �
N − NH mM =

� �

Pengukuran VFA Total. Supernatan yang telah disiapkan menggunakan
prosedur yang sama dengan penggukuran NH3 rumen sebanyak 5 ml dimasukkan
ke dalam tabung destilasi, lalu segera ditambahkan dengan 1 ml H2SO4 15 %
dan ditutup dengan tutup karet yang mempunyai lubang dan dapat dihubungkan
dengan labu pendingin. Tabung destilasi dimasukkan ke dalam labu penyulingan
yang berisi air mendidih (dipanaskan terus selama destilasi). Uap air panas akan
mendesak campuran supernatan dan H2SO4 dan akan terkondensasi dalam labu
pendingin. Air yang terbentuk ditampung dalam labu erlenmeyer yang berisi 5
ml NaOH 0,5 N hingga 300 ml. Kemudian ditambahkan indikator PP
(Phenolpthaline) sebanyak 2 - 3 tetes dan dititrasi dengan HCl 0,5 N sampai
berubah warna dari merah jambu menjadi merah seulas (tidak berwarna).
Produksi VFA total dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
VFA total mM =





� � �
� �

/

Keterangan:
a = volume titran blanko (ml)
b = volume titran contoh (ml)
Pengukuran VFA Parsial. Pengukuran produksi VFA parsial (asetat, propinat,
butirat, isobutirat, valerat, isovalerat) dilakukan dengan alat Gas
Chromatography (General Laboratory Procedures 1966). Sampel VFA parsial
yang digunakan merupakan supernatant yang sama untuk pengukuran NH3 dan
VFA total. Sebanyak 1.5 ml supernatant dimasukkan ke dalam tabung ependorf
dan disimpan dalam kondisi dingin (freezer). Sebelum diinjeksikan, sampel
ditambahkan asam agar pH turun dan sampel lebih stabil. Sampel diinjekkan
sebanyak 0.4 l pada GC. Dengan membaca kromatogram standar yang
konsentrasinya sudah diketahui maka konsentrasi VFA yang akan diukur dapat
dilihat pada kromatogram. Konsentraso VFA sampe dihitung dengan rumus:
mM sampel VFA =

A

a

A

a

hx
a

a

M

Pengukuran koefisien cerna bahan kering dan organik. Analisa KCBK dan
KCBO menggunakan metode Tilley dan Terry (1963). Setelah inkubasi, sampel

11
disentrifuge 3500 rpm selama 15 menit. Supernatan yang dihasilkan dibuang dan
ditambahkan 50 ml larutan pepsin HCl 0,2% dalam endapan. Pencernaan
enzimatis berlangsung aerob selama 48 jam. Residu disaring menggunakan
kertas Whatman no.41 yang dibantu dengan pompa vakum. Kemudian hasil
saringan dimasukkan kedalam cawan porselen dan dipanaskan didalam oven
suhu 105C selama 24 jam untuk menentukan BK residu. Selanjutnya residu BK
dimasukkan kedalam tanur 600C selama 6 jam untuk mendapatkan residu
bahan organik. Sebagai blanko digunakan residu asal fermentasi tanpa sampel.
KCBK dan KCBO dhitung berdasarkan rumus:
% KCBK =






% KCBO =




� �− �
� �−




%
%

Perlakuan dan rancangan percobaan tahap 2
Tahap kedua terdiri atas dua jenis rancangan percobaan. Peubah mutu kimia
dan mikrobiologis dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan. Rancangan kedua digunakan untuk pengujian
in vitro Hi-fer, yaitu Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan
dan 3 kelompok cairan rumen dan 3 bag Hi-fer sebagai sub ulangan. Perlakuan
terdiri atas 4 jenis Hi-fer yang berbeda sebagai hasil dari percobaan tahap 1.
P0 = Hi-fer kontrol (tanpa aditif)
P1 = P0 + Asam formiat
P2 = P0 + Inokulan L. plantarum
P3 = P0 + asam formiat + L. plantarum
Data dianalisis dengan ANOVA dan apabila terdapat perbedaan diuji lanjut
dengan Duncan. Secara umum model matematis rancangan adalah sebagai
berikut:
RAL
RAK

:
:

Yij
Yijk

=  + i + ij
=  + i + k + ijk

Keterangan :
Yij
Yijk

i
k
ij
ijk

= Nilai pengaruh perlakuan
= Nilai pengamatan perlakuan ke-i, ulangan ke-j dan
kelompok ke-k
= Rataan umum pengamatan
= Pengaruh perlakuan ke-i
= Pengaruh kelompok (cairan rumen) ke-k
= Galat percobaan untuk perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
= Galat percobaan untuk perlakuan ke-i, ulangan ke-j dan
kelompok ke-k

12
Percobaan 2. Efek Penggunaan inokulan L. plantarum dan Asam Formiat
terhadap Palatabilitas Hi-fer pada Domba
Sebagai tindak lanjut dari percobaan pertama, Hi-fer selanjutnya diukur
tingkat palatabilitasnya langsung pada ternak domba. Setiap perlakuan diuji dengan
diberikan pada ternak secara adlibitum. Hi-fer ditempatkan didalam wadah pakan
dan diletakkan pada setiap kandang individu. Penelitian menggunakan empat ekor
domba jantan didalam kandang individu. Pakan diberikan selama empat jam, yaitu
dimulai pukul 07.00 hingga pukul 11.00 WIB.
Hi-fer perlakuan dipindahkan dan digilir ke setiap kandang lainnya secara
acak sehingga semua domba mendapat giliran pakan yang berbeda. Palatabilitas
bahan kering setiap Hi-fer perlakuan yang dikonsumsi diukur setiap pukul 11.00
WIB atau empat jam setelah pemberian pakan berdasarkan modifikasi metode
Rogosic et al. (2006). Pengukuran palatabilitas dengan menimbang jumlah pakan
segar yang diberikan dan menghitung pakan yang tersisa. Palatabilitas Hi-fer
ditetapkan pada basis g kg-1 berat badan metabolik (g kg-1 BB0.75).
Perlakuan dan rancangan percobaan
Pengamatan palatabilitas dengan menerapkan rancangan percobaan Bujur
Sangkar Latin (BSL) 4x4 menggunakan empat ekor domba jantan dengan empat
perlakuan berbeda selama empat hari. Skema pengacakan diperlihatkan pada
tabel 1 berikut. Perlakuan terdiri atas:
P0
P1
P2
P3

= Hi-fer
= Hi-fer
= Hi-fer
= Hi-fer

(kontrol)
+ Asam Formiat
+ L. plantarum
+ Asam Formiat + L. plantarum

Data dianalisis dengan ANOVA dan apabila terdapat perbedaan diuji lanjut
dengan uji Duncan. Secara umum model matematis rancangan adalah sebagai
berikut:
Yijk = µ + i + j + k + ijk
Yij
µ
i
j
k
ij

= nilai pengamatan pada baris ke-i, kolom ke-j dan perlakuan ke-k
= rataan umum
= pengaruh ternak ke-i
= pengaruh hari ke-j
= pengaruh perlakuan ke-k
= pengaruh galat ke-i, kolom ke-j, perlakuan ke-k.
Tabel 1 Skema pengacakan perlakuan

Periode
(Hari)
1
2
3
4

Ternak
Domba 1
P0
P1
P3
P2

Domba 2
P2
P3
P1
P0

Domba 3
P1
P0
P2
P3

Domba 4
P3
P2
P0
P1

13

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Percobaan 1: Kombinasi Level penggunaan Cairan Aditif Fermentasi,
inokulasi L. plantarum dan penambahan asam formiat terhadap Kualitas dan
Kecernaan in vitro Hi-fer

Kualitas Fisik Hi-fer
Secara keseluruhan hasil ensilase Hi-fer memperlihatkan kualitas fisik
yang baik. Kualitas fisik merupakan tolok ukur awal dalam menentukan kualitas
suatu produk ensilase. Beberapa peubah fisik diantaranya adalah warna, bau, tekstur
dan keberadaan jamur di Hi-fer ditampilkan pada tabel 2 berikut. Karakteristik
fisik yang dihasilkan pada produk hasil fermentasi secara umum mampu
menggambarkan kualitas silase tersebut (Ferreira dan Merten 2005).
Tabel 2 Kualitas fisik Hi-fer perlakuan
Level
Cairan AF
(%)
5
7.5
10

Perlakuan
P0
Hijau kecoklatan
Hijau kecoklatan
Hijau kecoklatan

P1

P2

Warna
Hijau kecoklatan
Hijau kecoklatan
Hijau kecoklatan
Hijau kecoklatan
Hijau kecoklatan
Hijau kecoklatan

P3
Hijau kecoklatan
Hijau kecoklatan
Hijau kecoklatan

Bau
5
7.5
10

Harum
Harum
Harum

Harum
Harum
Harum

5
7.5
10

Utuh, kering

Utuh, agak basah Utuh, agak basah
Utuh, agak basah Utuh, agak basah
Utuh, agak basah Utuh, agak basah
Jamur

Utuh, agak basah
Utuh, agak basah

Harum
Harum
Harum
Tekstur

Harum
Harum
Harum
Utuh, agak basah
Utuh, agak basah
Utuh, agak basah

5
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
7.5
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
10
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Keterangan:
AF= Aditif Fermentasi; P0 = Hi-fer kontrol (tanpa aditif), P1 = P0 +
Asam Formiat, P2 = P0 + L. plantarum, P3 = P0 + asam formiat + L.
plantarum.

Pengamatan Hi-fer setelah 3 minggu ensilase menunjukkan warna yang
hijau kecoklatan, aroma wangi asam dengan tekstur lembut dan kokoh.
Keseluruhan perlakuan memperlihatkan warna yang relatif sama (Gambar 2).
Perubahan warna hijau menjadi kecoklatan disebabkan karena adanya kandungan
molasses dalam cairan aditif fermentasi. Selain itu rumput yang digunakan sebagai
bahan baku Hi-fer memiliki warna awal hijau kekuningan, akibat dari proses

14
pelayuan. Sehingga warna akhir Hi-fer yang dihasilkan menjadi hijau kecoklatan.
Hi-fer berbau harum asam layaknya produk hasil fermentasi. Karakteristik silase
yang baik menurut Saun dan Heinrics (2008) adalah berbau asam dan bukan bau
yang menyengat. Hal ini terkait dari banyaknya populasi bakteri asam laktat (BAL)
yang dapat berkembang dengan baik didalamnya. Cairan AF sebagai sumber energi
tersedia mampu dimanfaatkan dengan baik oleh BAL dalam proses fermentasi.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tekstur Hi-fer utuh, lembut dan
kompak. Tingkat kebasahan Hi-fer semakin meningkat seiring dengan
peningkatan level AF. Namun hingga level tertinggi tidak ditemukan adanya cairan
yang menetes ataupun perubahan tekstur menjadi berlendir. Sejalan dengan
pendapat Adesogan (2006) bahwa silase yang baik memiliki tekstur masih seperti
semula, tidak berjamur, tidak berlendir, tidak menggumpal dan banyak
mengandung asam laktat. Hal ini menunjukkan bahwa hingga level AF 10% masih
menghasilkan Hi-fer dengan kualitas yang baik. Tidak ditemukan adanya effluent
atau cairan pada bagian bawah kemasan Hi-fer.

a

e

d

c

b

f

g

Gambar 2 Tampilan fisik Hi-fer setelah 21 hari inkubasi. a) Hi-fer kontrol
tanpa penambahan aditif (P0), b) P0 + asam formiat (P1), (c) P0 + L.
plantarum (P2), (d) P0 + asam formiat + L. plantarum (P3), (e) Hifer dengan level AF 5%, (f) level AF 7.5%, (g) level AF 10%.
Keberadaan jamur pada produk hasil ensilase merupakan permasalahan
yang paling sering terjadi, terutama pada bagian permukaan produk. Hal ini terkait
dengan tingginya kelembapan udara terutama pada wilayah tropis seperti Indonesia.
Kondisi ini sangat sesuai untuk pertumbuhan jamur. Jamur biasa tumbuh diatas atau
sisi silo dan jumlahnya tergantung pada proses pemadatan. Hasil akhir Hi-fer
menunjukkan tidak adanya jamur, sehingga Hi-fer memiliki kualitas yang baik
dan aman dikonsumsi ternak, dengan ataupun tanpa penambahan L. plantarum dan
formiat.

15
Karakteristik Fermentatif Hi-fer
Beberapa karakteristik fermentasi sebagai parameter kualitas suatu produk
fermentasi diantaranya adalah pH, BK dan N-NH3 Hi-fer. Secara keseluruhan pH
berkisar antara 3.02-4.00 (tabel 3). McDonald et al. (1991) menggambarkan
karakteristik kualitas silase yang baik yaitu memiliki pH dibawah 4.2, kandungan
N-NH3 kurang dari 100 g/kg BK dan tingginya kandungan asam laktat. Pada
penelitian ini, keseluruhan Hi-fer yang dibuat memiliki kualitas yang baik.
Tabel 3 pH Hi-fer perlakuan
Level Cairan AF
Rataan
5%
7.5%
10%
0
3.58 ± 0.22abc
3.68 ± 0.23ab 3.26 ± 0.04bcd 3.51 ± 0.25
0.15%
4.00 ± 0.25a
3.32 ± 0.09bcd
3.73 ± 0.35ab 3.68 ± 0.37
0
3.40 ± 0.12bcd
3.08 ± 0.10cd
3.02 ± 0.11d 3.17 ± 0.20
+
0.15%
3.71 ± 0.44ab
3.35 ± 0.05bcd 3.20 ± 0.07bcd 3.42 ± 0.32
Rataan
3.67 ± 0.33
3.36 ± 0.25
3.30 ± 0.32 3.44 ± 0.34
Keterangan: AF= Aditif fermentasi; angka yang diikuti oleh huruf berbeda menunjukkan
ada perbedaan nyata (P