PENERIMAAN PENONTON TERHADAP ISU RASISME DALAM FILM HOLLYWOOD (Analysis Reception Film 12 Years a Slave pada Komunitas Film ‘Yuk Nonton dan HMJ Antropologi UGM)
PENERIMAAN PENONTON TERHADAP ISU RASISME DALAM FILM HOLLYWOOD
(Analysis Reception Film 12 Years a Slave pada Komunitas Film ‘Yuk Nonton dan HMJ Antropologi UGM)
The Audiens Acceptance of Racism Issue in Hollywood Film ( 12 Years a Slave Analysis Reception of a film enthusiast community ‘Yuk
Nonton and HMJ Antropologi UGM’)
SKRIPSI
Disusun untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata 1 Fakultas Imu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Disusun Oleh : Dita Ami Raditie
20110530017
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMDIYAH YOGYAKARTA
(2)
PENERIMAAN PENONTON TERHADAP ISU RASISME DALAM FILM HOLLYWOOD
(Analysis Reception Film 12 Years a Slave pada Komunitas Film ‘Yuk Nonton dan HMJ Antropologi UGM)
The Audiens Acceptance of Racism Issue in Hollywood Film ( 12 Years a Slave Analysis Reception of a film enthusiast community ‘Yuk
Nonton and HMJ Antropologi UGM’)
SKRIPSI
Disusun untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata 1 Fakultas Imu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Disusun Oleh : Dita Ami Raditie
20110530017
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMDIYAH YOGYAKARTA
(3)
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Dita Ami Raditie NIM : 20110530017 Konsentrasi : Broadcasting Jurusan : Ilmu Komunikasi
Judul Skripsi :Analysis Reception Film 12 Years a Slave pada Komunitas Film ‘Yuk Nonton dan HMJ Antropologi UGM
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Yogyakarta, 09November 2016 Penulis
(4)
MOTTO
KESUKSESAN HANYA DAPAT DIRAIH DENGAN SEGALA UPAYA DAN USAHA YANG DISERTAI DENGAN DOA, KARENA SESUNGGUHNYA
NASIB SESEORANG MANUSIA TIDAK AKAN BERUBAH DENGAN SENDIRINYA TANPA BERUSAHA
(5)
HALAMAN PERSEMBAHAN
Untuk kedua orangtuaku : Seto Mulyadi dan Sri Rahayu
Kakak-kakaku : Priyo Anarkie Yuseptyo S.T
Yennie Munggarawati S.T
Keluarga Besar Glinding Seto Pangarso dan Waginah Serta,
Keluarga Besar Ilmu Komunikasi angkatan 2011 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
ALL THANKS TO :
Allah SWT yang Maha Segalanya, Terimakasih karena telah memberi segala kemudahan, rahmat dan hidayah.
(6)
Kedua orang tuaku, Bapak dan Ibu tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata betapa besarnya kasih sayang kalian, mendidik dan membesarkan dengan penuh keikhlasan dan kesabaran. Maaf pak bu, karena sampai saat ini belum bisa membalas semua kasih sayang yang kalian berikan, tetapi suatu saat pasti bisa membahagiakan kalian. Amiinn..
Untuk kakak-kakakku tercinta Mas Priyo dan Mb Yeni yang selalu memberikan dukungan agar tetap semangat menyelesaikan studi ini. Walaupun telat selesainya akhirnya kelar juga...
Kepada dosen pembimbing Pak Filosa Gita Sukmono dan Mba Ayu Amalia atas bimbingan dan arahannya selama saya melakukan penelitian ini, sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.
Dosen penguji Mas Zein Mufarrih yang telah memberikan masukan dan kritik yang sangat membangun untuk penelitian ini.
Seluruh dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UMY yang telah memberikan ilmu untuk bekal nantinya dalam meniti karir. Kepada staff Ilmu Komunikasi Mba Siti, Pak Jono, Pak Muryadi, Pak Yuli terimakasih atas kesabarannya menjawab pertanyaan kami sebagai mahasiswa.
Untuk teman-teman terbaikku yang dari awal kuliah selalu bersama Elen, Nisa, Nurul, Orin, Lina, Ina dan Ambar. Terimakasih atas pertemanan yang tidak akan terlupakan ini walaupun kalian lulus duluan tapi akhirnya aku bisa nyusul. Semoga pertemanan ini akan berlangsung selamanya.
Teman-teman pejuang skripsi Novis, leni, Gelvi dan Mboy yang setiap hari selalu mengingatkan untuk mengerjakan skripsi.
Untuk seluruh teman-teman Broadcasting 2011 terimakasih atas
kebersamaannya dalam perkuliahan, produksi film, launching film, menulis buku. Semoga kalian semua sukses.
Kepada informan dari HMJ Antropologi UGM Mb Hilya, Mas Iyan dan Mb Mega terimakasih atas keramahan kalian pada saat diskusi. Kepada
informan dari Komunitas film Yuk Nonton, Mas Reza, Mb Sasa dan Mas Wimba terimakasih pula karena telah meluangkan waktunya sehingga bersedia menjadi informan penelitiannya, terimakasih atas jawaban dan pendapat kalian tentang film 12 years a slave.
(7)
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... 1 HALAMAN PENGESAHAN ... Error! Bookmark not defined. LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ... 2 MOTTO ... 3
(8)
KATA PENGANTAR ... Error! Bookmark not defined.
HALAMAN PERSEMBAHAN ... 4
DAFTAR ISI ... 6
DAFTAR GAMBAR ... 8
DAFTAR TABEL ... 9 ABSTRAK ... Error! Bookmark not defined. ABSTRACT ... Error! Bookmark not defined. BAB I ... Error! Bookmark not defined. PENDAHULUAN ... Error! Bookmark not defined. A. Latar Belakang Masalah ... Error! Bookmark not defined. B. Rumusan Masalah ... Error! Bookmark not defined. C. Tujuan Penelitian ... Error! Bookmark not defined. D. Manfaat Penelitian ... Error! Bookmark not defined. E. Kerangka Teori... Error! Bookmark not defined. F. Metode Penelitian... Error! Bookmark not defined. G. Sistematika Penulisan ... Error! Bookmark not defined. BAB II ... Error! Bookmark not defined. GAMBARAN OBYEK PENELITIAN ... Error! Bookmark not defined. A. Penelitian Terdahulu ... Error! Bookmark not defined. B. Sejarah rasisme dan praktik-praktik rasisme di dunia ... Error! Bookmark not defined.
C. Rasisme Amerika ... Error! Bookmark not defined. D. Profil Informan ... Error! Bookmark not defined. E. Profil Komunitas film ‘Yuk Nonton’ ... Error! Bookmark not defined. F. Deskripsi Film 12 Years a Slave ... Error! Bookmark not defined. G. Profil Sutradara ... Error! Bookmark not defined. BAB III ... Error! Bookmark not defined. PENYAJIAN DATA DAN PEMBAHASAN ... Error! Bookmark not defined. A. Catatan Pembuka ... Error! Bookmark not defined. B. Analisis Encoding Film 12 years a slave .... Error! Bookmark not defined. 1. Kerangka Pengetahuan ... Error! Bookmark not defined.
(9)
2. Hubungan Produksi ... Error! Bookmark not defined. 3. Infrastruktur Teknis ... Error! Bookmark not defined. C. AnalisisDecoding ... Error! Bookmark not defined. D. Penerimaan Informan tentang Rasisme dalam Film 12 Years a Slave Error! Bookmark not defined.
1. Dominasi kulit putih sebagai kaum superior atas kulit hitam ... Error! Bookmark not defined.
2. Rasisme Warga Kulit Putih terhadap Warga Kulit Hitam... Error! Bookmark not defined.
3. RasialismeWarga Kulit Putih terhadap Warga Kulit Hitam ... Error! Bookmark not defined.
E. Analisis terhadap Rasisme dalam Film 12 years a slave . Error! Bookmark not defined.
1. Dominant Hegemonic ... Error! Bookmark not defined. 2. Negotiated ... Error! Bookmark not defined. 3. Oppositional Position ... Error! Bookmark not defined. F. Catatan Penutup ... Error! Bookmark not defined. BAB IV ... Error! Bookmark not defined. KESIMPULAN DAN SARAN ... Error! Bookmark not defined. A. Kesimpulan ... Error! Bookmark not defined. B. Saran ... Error! Bookmark not defined. DAFTAR PUSTAKA ... Error! Bookmark not defined. LAMPIRAN
(10)
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Teknik Analisis Data ... 24
Gambar 2.1 Profil Yuk Nonton ... 44
Gambar 2.2 Tweet Yuk Nonton ... 44
Gambar2.3 Poster Film 12 Years a Slave ... 45
Gambar 3.1Tn. Edwinn Epps membacakan peraturan ... 57
Gambar 3.2Kulit hitam yang sedang memanen kapas ... 59
Gambar 3.3 Para kulit hitam menjadi budak kapas... 60
Gambar 3.4Platt sedang berbicara dengan Ny Epps ... 62
Gambar 3.5 Platt diseret oleh Tn John Tibeats ... 63
(11)
DAFTAR TABEL
(12)
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan dan di sahkan di depan Tim Penguji Skripsi Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta, pada:
Hari Tanggal Tempat
Nilai
Rabu
09November 2016
Ruang Rapat Ihnu Kornunikasi
Penguji 1I
S.S'6s., M.Si Zcin Mufarrih M, S.IP., M.I.Kom
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu persyaratan
unttrk memperoleh gelar sarjana (S-1) pada tanggal 09 November 2016 SUSIINAN TIM PENGUJI
(13)
ABSTRAK Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi
Konsentrasi Broadcasting Dita Ami Raditie (20110530017)
Penerimaan Penonton Terhadap Isu Rasisme dalam Film Hollywood (Analysis Reception Film 12 Years a Slave pada Komunitas Film ‘Yuk Nonton dan HMJ Antropologi UGM)
Tahun Skripsi : 2016 + 108 halaman
Daftar Pustaka : 30 buku + 11 sumber internet jurnal
Film 12 Years a slave merupakan salah satu dari beberapa film yang menggambarkan tentang rasisme terhadap kulit hitam yang tengah dialami oleh bangsa amerika ketika itu. Sang sutradara ingin menyampaikan bahwa perbedaan ras kulit hitam dapat dihentikan karena perbedaan tersebut.
Tujuan penelitian adalah mengetahui bagaimana tanggapan khalayak tentang rasisme film 12 years a slave.Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode reception analysis Stuart Hall.Dimana analisis ini memiliki tiga posisi; dominant hegemonic, negotiated dan oppositional yang peneliti gunakan untuk klasifikasi atas penemuan-penemuan tentang penerimaan khalayak terhadap rasisme dalam film tersebut.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa latar belakang pendidikan dan lingkungan mempengaruhi tanggapan atas rasisme dalam film 12 years a slave. Informan HMJ Antropologi menyikapi rasisme dalam film 12 years a slave dari perspektif budaya dan sejarah. Sedangkan informan dari komunitas film “Yuk Nonton” melihat rasisme dalam film cenderung dari teknis produksi pembuatan film dan sinematografi.
(14)
ABSTRACT Universitas Muhammadiya Yogyakarta
Faculty of social and political science Communication Science Department Broadcasting consentration
Dita Ami Raditie (20110530017)
The Audiens Acceptance of Racism Issue in Hollywood Film ( 12 Years a Slave Analysis Reception of a film enthusiast community ‘Yuk Nonton and HMJ Antropologi UGM’
Years of Thesis: 2016 + 108 Pages
Bibliography : 30 book + 11 internet source journal
12 Years a Slave is one of film which explained about racism toward race black community in America. Director want to convey that the difference race black should be terminated.
The research look for what are the audiences’ perceptions toward racism in 12 years a slave. This is qualitative research using reception analysis method by Stuart Hall. The analysis has three potitions; dominant, hegemonic, negotiated and oppositional. It is used to clasified the audiences’ perceptions about racism in this film.
The result of research showed the educational and society background influence the perceptions toward racism in 12 years a slave. HMJ Antropology as the informan saw the racism in 2 years a slave from the perspective of culture and history. In other hand, from film community “Yuk Nonton” saw the racism in this film from technical of film production and sinematografi
(15)
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Isu rasial merupakan hal yang tidak pernah habis dibicarakan.Ras merupakan konsepsi sosial yang timbul dari usaha untuk mengelompokkan orang ke dalam kelompok-kelompok berbeda (Samovar dkk, 2010:187).Pembedaan tampilan fisik tersebut menyebabkan ras yang cenderung menimbulkan penilaian stereotipe.Dari stereotipe inilah individu menganggap bahwa ras mereka lebih unggul.Hal ini memicu lahirnya faham rasisme.Di masa lalu rasisme merujuk pada suatu kepercayaan atau doktrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia menentukan pencapaian budaya atau individu, bahwa suatu ras tertentu lebih superior dan memiliki hak untuk mengatur lainnya. Pandangan tentang superioritas inilah yang memungkinkan seseorang untuk memperlakukan kelompok lain secara buruk berdasarkan ras dan warna kulit (Samovar dkk, 2010:212).
Rasisme menunjuk pada satu karakteristik fisik, terutama warna kulit yaitu antara kulit hitam dan kulit putih yang membedakan satu kelompok manusia dengan yang lain. Pembedaan ini yang menyeret manusia berada dalam konflik ketidakadilan dan penindasan.Sehingga rasis mengandung suatu keyakinan bahwa satu kelompok ras ditakdirkan lebih unggul daripada kelompok ras lain (Ballasuriya, 2004:50). Rasisme di Amerika Serikat sebagai ideologi tentang martabat rendah golongan kulit hitam yang bersifat bawaan, muncul ke
(16)
pada tahun 1830-an sebagai tanggapan atas tuntutan-tuntutan radikal akan emansipasi di masa ketika pemerintahan federal bertekad melindungi perbudakan (Fredrickson, 106-107).
Hingga kini praktik rasisme masih terjadi di Amerika.Pemerintahan Barack Obama rasisme di Amerika Serikat bukannya hilang, malah justru semakin mendalam. Dua kasus rasisme yang ramai dibicarakan publik Amerika tahun 2014 Seperti yang telah diberitakan oleh Tempo, Ahad dinihari, 17 Agustus 2014 tujuh orang ditangkap polisi dalam kerusuhan rasisme yang meletup di Ferguson, Missouri, Amerika Serikat. Kericuhan dipicu dari tewasnya seorang remaja kulit hitam berusia 18 tahun, Michael Brownkarena ditembak oleh polisi kulit putih (http://dunia.tempo.co/read/news/2014/08/17/116600294/Amerika-Diguncang-Kerusuhan-Berbau-Rasis Akses tanggal 24 Maret 2015 jam 0.34 WIB). Selain itu kasus rasis lain yang diberitakan oleh Republika, tewasnya Eric Garner ketika hendak ditahan oleh petugas polisi Garner ditangkap karena dituduh menjual rokok ilegal di daerah taten Island. Garner tewas akibat kehabisan nafas pasca dipiting polisi kulit putih Daniel Pantaleo di New York (http://www.republika.co.id/berita/koran/internasionalkoran/14/12/15/ngm3g72 5-kecam-rasisme-warga-as-berdemoAkses tanggal 24 Maret 2015 jam 01.00 WIB ).
Praktik rasisme juga terjadi di Indonesia yaitu kasus yang terjadi pada Alex Pulalo ketika dilempar kulit pisang atau diteriaki suara seperti monyet ketika bertanding melawan Deltras Sidoarjo serta PSIM Yogyakarta pada tanggal
(17)
25-28 Maret 2007. Atau pengalaman Bambang Pamungkas ketika melihat para pemain Papua seperti Rony Wabia, Elly Eiboy, Ortizan Sallosa, Erol Iba sampai Boaz Sallosa begitu dielu-elukan ketika membela tim nasional tetapi banyak mengalami praktik rasis oleh para pendukung di Indonesia begitu pemain tersebut membela klub lawan dari klub kesayangan mereka. Hal ini memperlihatkan bahwa sebagian masyarakat masih menganggap dan berpikir bahwa budaya dan ras orang Papua masih primitif dan terbelakang (Sukmono dan Junaedi, 2014:58).
Isu rasisme bisa disebut sebagai isu besar yang telah diangkat oleh media.Fenomena rasis sebenarnya sudah ada jauh hari sebelum istilah rasisme digunakan, dan pengertian yang ada tidak melebihi daripada sejenis prasangka kelompok yang didasarkan pada kebudayaan, agama, atau ranah kekerabatan dan kekeluargaan.Puncak sejarah rasisme terjadi pada abad kedua puluhan di dalam kebangkitan dan keruntuhan dari rezim-rezim rasis terang-terangan.Di Amerika bagian selatan muncul usaha untuk menjamin “kemurnian ras” dengan meramalkan beberapa aspek penyiksaan resmi oleh Nazi atas orang-orang Yahudi pada tahun 1930-an (Frederickson, 2005:4).Hollywood sebagai pusat perkembangan film di seluruh dunia tidak jarang memberikan gambaran rasisme. Salah satu film besutan Hollywood yang mengangkat isu rasisme adalah film 12 Years a Slave. Film 12 Years a Slave adalah film berlatar drama sejarah Amerika Serikat. Film 12 Years a Slave merupakan adaptasi dari buku yang berjudul sama karya Solomon Northup yang terbit tahun 1853. Film 12 Years a Slave diproduksi oleh Plan B dan rilis pada November 2013.
(18)
Dalam film 12 Years a Slave rasisme digambarkan Solomon Northup sebagai seorang negro dia kelahiran New York yang diculik di Washington DC pada tahun 1841 dan dijual sebagai budak. Solomon Northup adalah seorang yang berketurunan afro-america yang bebas dan hidup tenang di kota New York bersama istri dan kedua anaknya. Sampai suatu saat dia menjadi korban penculikan dan identitasnya dipalsukan menjadi Platt, budak yang kabur dari Georgia.Selama 12 tahun Solomon harus mengabdi kepada 2 orang majikan yang berbeda.Yang pertama majikan yang baik hati bernama William Ford yang menghargai bakat milik Solomon serta memperlakukan para budak selayaknya manusia.Namun dikarenakan satu masalah yang disebabkan oleh anak buah Ford, Tibetas, mau tidak mau Ford harus memberikan Solomon demi keselamatannya kepada majikan baru yang kejam dan tidak berprikemanusiaan.Selama menjadi budak, Solomon harus berpura-pura tidak bisa menulis dan membaca ini demi keselamatan dirinya.
Warga kulit hitam dikonstruksi lebih sebagai objek ketimbang subyek sejarah.Tak mampu berpikir atau bertindak untuk mereka sendiri, warga kulit berwarna tidak dianggap mampu mengerjakan aktivitas atau mengendalikan nasib mereka sendiri.Pada gilirannya, sebagai objek dan makhluk asing yang berasal dari bumi lain, warga kulit hitam menimbulkan beberapa masalah bagi warga kulit putih, misalnya sebagai tampilan kebudayaan asing yang mengkontaminasi atau sebagai pelaku kejahatan (Barker, 2000:219).
Pemaparan diatas yang menampilkan kasus rasisme menunjukan bahwa setiap kali kita berhadapan dengan objek, peristiwa, gagasan, atau ide bahkan
(19)
orang tertentu, maka kita mempunyai sikap tertentu terhadap objek tersebut. Film 12 a Years Slave memberikan persepsi yang berbeda-beda berdasarkan interpretasi penontonnya. Berdasarkan pentingnya pemaknaan dalam sebuah pesan media, maka penelitian ini berfokus pada khalayak.Studi khalayak menempatkan pengalaman khalayak sendiri sebagai pusat penelitian.Dengan demikian dapat dilihat secara jelas bagaimana pesan dari media diterima oleh khalayak dan bagaimana hal tersebut dipahami terkait dampak, pengaruh dan efek dari media tersebut.Saat khalayak menerima dan memaknai sebuah pesan, khalayak dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti dari latar belakang baik itu dari tingkat pendidikan, lingkungan sosial budaya, dan pekerjaan dari khalayak itu sendiri. Penelitian khalayak juga memungkinkan kita meneliti apa yang diperoleh orang-orang dari media, apa yang mereka sukai dan apa yang mereka tidak sukai (Stokes, 2003:148).
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan analisis resepsi. Berbeda dengan teori media lain yang melemahkan penonton, dalam analisis resepsi, khalayak penonton berperan aktif dalam penyampaian pesan yang dilakukan oleh media sesuai dengan latar belakang mereka. Proses komunikasi yang sederhana antara media dan penonton dianggap sebagai sebuah proses linear, yang bersumber dari pesan yang dikirimkan oleh media sebagai pengirim (sender)dan berakhir dengan penerimaan pesan oleh penonton sebagai penerima (receiver). Model komunikasi sederhana tersebut merupakan hal yang sangat penting karena terkait dengan proses timbal balik suatu pesan yang disampaikan oleh media (sender). Dan penerimaan pesan tersebut merupakan cara untuk
(20)
mengetahui bagaimana tanggapan dan apa yang dikehendaki oleh si penonton (receiver) (Stokes, 2003:147).
Pada teori Stuart hall yakni Reception Theory mengatakan bahwa makna yang dimaksud dan diartikan dalam sebuah pesan bisa terdapat perbedaan.Kode yang digunakan atau yang disandi (encode) dan yang tidak disandi (decode) tidak selamanya berbentuk simetris. Yang dimaksud simetris dalam teori ini adalah perbandingan pemahaman dan kesalahpahaman dalam pertukaran pesan pada proses komunikasi tergantung dengan hasil yang terbentuk antara encoder dan decoder.Encoder dan decoder disini diposisikan sebagai penerima dan pengirim pesan. Ketika khalayak memaknai sebuah pesan dalam suatu komunikasi (decoding), maka terdapat tiga kategorisasi audiens yang telah melaluiencode dan decode dalam sebuah pesan, yaitu: (1) Dominant-Hegemonic Position, (2) Negotiated Position, (3) Oppositional Position (Hall, 2003:15).
Dalam penelitian ini, peneliti memilih informan di komunitas film dan bukan komunitas film yang telah menonton film 12 Years a Slave karena diharapkan lebih mengetahui bentuk rasisme dari film 12 Years a Slave. Peneliti memilih dari komunitas film ‘Yuk Nonton’ karena objek yang diteliti film, tentu filmaker punya persepsi sendiri dengan orang yang hanya menonton atau menikmati. Dan memilih bukan komunitas film ‘HMJ Antropologi’ karena peneliti mengambil tema tentang rasisme dan anak antropologi belajar tentang budaya dan ras-ras sehingga peneliti mengambil sasaran anak antropologi.
Penonton sebagai khalayak aktif tentu bertindak juga sebagai penghasil makna.Apa yang terjadi ketika khalayak dengan ras minoritas menerima teks
(21)
film tersebut.Apakah khalayak tersebut dominan reading, negosiasi atau oposisi. Dalam hal ini analisis resepsi digunakan untuk mengetahui pemaknaan yang di dapat dari penonton film 12 Years a Slave. Dalam penelitian ini, peneliti ingin mengetahui penerimaan khalayak tentang rasisme di komunitas film ‘Yuk Nonton’ dan bukan komunitas film ‘HMJ Antropologi’ pada film 12 Years a Slave. Bagaimana ‘Yuk Nonton’ sebagai filmaker memaknai pesan rasisme yang ditampilkan dalam film 12 Years a Slave dan begitu juga ‘HMJ Antropologi’ yang lebih mengerti dengan budaya dan ras-ras dalam memaknai rasisme yang ditampilkan film 12 Years a Slave, sehingga akan terlihat perbedaan dalam menyimpulkan pesan dan juga tidak terjadi pemaknaan yang menyimpang terhadap film 12 Years a Slave.
B.Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan pada latar belakang, maka rumusan masalah dari peneliti ini adalah “Bagaimana pemaknaan khalayak terhadap film 12 Years a Slave yang menampilkanrasisme?
C.Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui bagaimana pemaknaan khalayak terhadap film rasisme di Hollywood.
D.Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
(22)
Penulis berharap hasil dari penelitian ini memberikan membantu pengembangan ilmu komunikasi, khususnya bidang analisis resepsi dan rasisme.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi suatu bentuk pemahaman bagi masyarakat mengenai analisis resepsi masyarakat terhadap teks media dikontruksi melalui nilai dan pengalaman-pengalaman yang dimilikinya sebagai audiens media.
E.Kerangka Teori
1. Mayoritas dan Minoritas
Media sering kali menampilkan penindasan terhadap individu tertentu yang tergolong dalam kelompok minoritas, hal ini akibat dari dalam kelompok tersebut mayoritas lebih merasa berkuasa dari kelompok ataupun individu yang tergolong minoritas.Penindasan terhadap hak individu atau masyarakat minoritas oleh kelompok mayoritas, yang berupa pelecehan, ancaman, penghambatan beraktifitas, pengrusakan, sampai pembinasaan fasilitas maupun individu atau masyarakat yang berbeda kepercayaan tersebut (Lim, 2001:39-40).Berikut teorinya, kelompok massa apa pun, jika menjadi mayoritas, cenderung menindas kelompok lainnya yang minoritas, satu dan lain hal disebabkan karena faktor arogansi dan keinginan untuk terus berkuasa dan mengambil keuntungan dari statusnya tersebut. Hal ini berakibat kaum minoritas menjadi terkesampingkan dengan berkuasanya kaum mayoritas dan menjadikan mereka inferior.
(23)
Identitas mayoritas dikembangkan dengan dimulainya gejala yang tak disadari dalam membuat kategori ras, di mana mayoritas menuntut agar privileges mereka diterima sehingga menciptakan sebuah masyarakat rasial. Dalam kelompok mayoritas kebanyakan kaum muda sejak awal sudah diperkenalkan dengan isu-isu seperti ras, lalu membandingkannya dengan kaum minoritas, dan kejadian ini dianggap Kultural normal.Minoritas adalah suatu kelompok yang diperlakukan tidak seimbang dari kelompok dominan dalam suatu organisasi secara fisik maupun kultural, sehingga perlakuan diskriminasi sering diberikan kepada mereka.Rasisme yang terjadi tidak jauh dari konsep adanya mayoritas dan minoritas.Hal ini dalam percakapan sehari-hari selalu dihubungkan dengan mayoritas dan minoritas agama, etnik dan ras. Gagasan mayoritas dan minoritas tersebut secara tidak langsung sebenarnya turut memperkuat ideology white privileges yang memberikan status lebih tinggi kepada “orang kulit putih” agar orang kulit putih tidak kehilangan muka (Liliweri, 2005:99-112).
Makna minoritas telah tertanam di mindset setiap individu sebagai kelompok yang relatif kurang berpengaruh/berkuasa, selalu dipandang negatif, diperlakukan secara tidak adil. Istilah minoritas menggambarkan istilah yang berbeda dengan kelompok mayoritas yang sangat dominan, karena mayoritas menguasai sumber daya sehingga selalu menguasai, mempunyai martabat yang lebih tinggi daripada orang lain. Oleh karena itu kelompok mayoritas dalam stratifikasi selalu lebih tinggi dari pada kelompok minoritas (Liliweri, 2005:106).
(24)
Mengenai minoritas dan mayoritas, kelompok mayoritas atau kelompok dominan dalam suatu masyarakat merupakan kelompok yang merasa memiliki kontrol atau kekuasaan untuk mengontrol.Mereka merupakan sumber daya kekuasaan setting institusi yang berbeda-beda.Setting institusional cenderung lebih penting karena hal tersebut dapat mempengaruhi masyarakat, termasuk penyelenggaran pemerintahan, agama, pendidikan dan pekerjaan (ekonomi). Sebaliknya, kelompok minoritas kurang mempunyai akses terhadap sumber daya, privileges kurang atau bahkan tidak berpeluang mendapat kekuasaan seperti mayoritas. Inilah ketidakseimbangan kekuasaan dan hal ini yang dapat mendorong prasangka antara mayoritas dan minoritas (Liliweri, 2005:110).
Perbedaan pandangan antara mayoritas dan minoritas berada dalam kepercayaan diri kelompok mayoritas untuk menyuarakan pendapatnya, mereka akan menunjukkan keyakinan dengan memakai kancing, memasang stiker mobil, dan mecetak pendapat mereka pada pakaian yang mereka kenakan. Pemegang pendapat minoritas biasanya lebih berhati-hati dan diam, yang memperkuat persepsi public mengenai kelemahan mereka (Noelle-Neumann dalam Richard West dan Lynn H. Turner, 2008:121).
Dalam media, kelompok minoritas dikonstruksikan menjadi kelompok yang selalu berada di bawah mayoritas. Kemampuan mediadalam mengkonstruksi realitas merupakan cara mempengaruhi kita memandang apa yang terjadi di sekitar kita. Media dalam hal ini televisi, juga mampu memsubversikan ruang dan suasana dengan tayangan-tayangan yang
(25)
disuguhkan ke ruang-ruang pemirsanya.Lewat acara yang ditayangkan, televisi memberikan suatu ruang-ruang konstruksi ke kehidupan pemirsa.Tayangan dalam media televisi mengkontruksi realitas kepada pemirsanya lewat teks yang bersifat persuasif dengan membangun ideologi tertentu. Media televisi saat ini telah mengkontruksikan kelompok minoritas sebagai kelompok yang tidak pantas untuk mengeluarkan pendapat, kelompok yang terpinggirkan, kelompok yang bergantung kepada kelompok mayoritas, oleh karena itu munculah media lain untuk merubah kontruksi kelompok minoritas ke khalayak dengan mengangkat tema minoritas ke dalam sebuah cerita dalam film, film juga merupakan sebuah media yang sangat efektif untuk menyampaikan pesan kepada khalayak dengan cerita-cerita yang dikemas dengan gambar dan suara yang menarik.
2. Rasisme Dalam Media
Rasisme mempunyai banyak pengertian, dimulai dari konsep pembedaan yang berdasarkan hanya pada ciri fisik dan biologis semata, hingga pembedaan yang dilandaskan pada konsep seperti gender, agama dan orientasi seksual dan seterusnya. Rasisme melahirkan sebuah pandangan seseorang yang mendoktrin bahwa “kita” berbeda dengan “mereka” dan menghasilkan atas pandangan tersebut (Frederickson, 2005:11).
Konsep ras menurut Barker (Sukmono, 2014:47) melahirkan jejak asal-usul dalam diskursus biologis Darwinisme sosial yang menitikberatkan adanya ‘garis keturunan’ dan ‘jenis-jenis manusia’. Disini ras mengacu pada karakteristik biologis dan fisik yang diyakini, dimana yang paling menonjol
(26)
adalah pigmentasi kulit. Bagi suatu kelompok yang tinggal di suatu tempat yang memperoleh paparan sinar matahari lebih banyak, akan berpengaruh pada warna kulit mereka yang berganti menjadi lebih gelap. Sebaliknya, bagi suatu keompok yang tinggal di suatu tempat yang mendapatkan paparan sinar matahari sedikit, kulit mereka cenderung akan lebih terang. Hal ini diakibatkan karena semakin banyaknya sentuhan matahari ke dalam kulit akan menambah banyaknya melanin pada kulit, yang berpengaruh pula pada semakin gelap/terangnya kulit. Mengenai penjabaran diatas dapat disimpulkan bahwa ras adalah suatu pengertian biologis, bukan pengertian sosiokultural.
Rasisme merupakan konsep cair dan tampil dalam bentuk yang berbeda-beda sepanjang waktu.Istilah rasisme pertama kali digunakan secara umum pada tahun 1930an ketika istilah baru diperlukan untuk menggambarkan teori-teori oleh Nazi dijadikan dasar bagi penganiayaan yang mereka lakukan terhadap orang-orang Yahudi (Frederickson, 2005:8).Dari situlah rasisme mempunyai dua konsepsi yaitu perbedaan dan kekuasaan.Rasisme berasal dari suatu sikap yang memandang “mereka” berbeda dengan “Kita” secara permanen dan tak terjembatani yang menimbulkan diskriminasi sosial yang tak resmi namun menyebar luas.Seperti genosida, pemberlakuan segregasi, penaklukan kolonial, pengucilan, deportasi paksa atau pembasmian etnis serta perbudakan. Didalam segenap rasisme dari yang paling lunak hingga keras, yang ditolak kemungkinan bahwa perilaku rasialisme dan sasaran rasialisasi dapat hidup berdampingan didalam masyarakat yang sama, kecuali
(27)
berdasarkan dominasi dan subordinasi. Yang ditolak juga adalah gagasan apapun bahwa individu dapat melenyapkan perbedaan etnorasial dengan mengubah identitas mereka (Frederickson, 2005: 13-14).
Rasisme terus diperlakukan sebagai isu tiadanya suatu kebebasan pada level personal ketimbang sebagai sesuatu ketimpangan terstruktur, sementara itu perhatian yang cukup memadai diberikan secara spesifik kepada kebudayaan kulit hitam. Gray menyampaikan satu hal penting bahwa apa yang dipandang sebagai representasi ‘positif’ warga Amerika keturunan Afrika tidak selalu berfungsi secara positif, khususnya bila dihadapkan pada gambaran lain tentang warga kulit hitam dalam konteks identitas ras yang lebih luas lagi.Kendati program ini mengandung acuan bagi yang disebut oleh para presenter televisi itu semua berfungsi untuk mengalihkan pengkambinghitaman berupa ‘keluarga kulit hitam yang kuat dan sukses di Amerika’ dari karakter struktural dan sistematis ketimpangan rasial di Amerika dan mengarahkan kesalahan kepada kelemahan yang dianggap melekat pada diri individu secara kecacatan moral warga miskin kulit hitam (Barker, 2000:225).
Para pakar ahli meyakini adanya suatu praktik diskriminasi yang dilakukan para pelaku industri film sebagai senjata untuk mengeksploitasi para kulit hitam sebagai ras yang berlevel selalu terendah di film, terkadang bisa ditampilkan secara seakan-akan halus dan kasar (Hall Dines & Humez, 2003:91).Praktik rasisme yang terjadi bisa dipandang sebagai suatu isu besar.Hal ini bisa menyebarluaskan dengan cepat melalui
(28)
media.Perkembangan media yang pesat memiliki andil yang besar dalam menyebarluaskan isu rasisme. Praktik rasisme yang terjadi di suatu daerah tidak akan diketahui kalau tidak ada peran media, karena isu tersebut hanya beredar di lingkungan dimana praktik rasisme itu terjadi. Berbeda apabila suatu daerah yang memiliki masalah mengenai praktik rasisme yang diangkat oleh media.Dikarenakan perkembangan media yang begitu cepat, hal itu menyebabkan masalah praktik rasisme yang terjadi di daerah tersebut dapat dengan cepat beredar.Jadi dalam hal ini media sangat berperan dalam menyebarluaskan isu rasisme.
Sebagai contoh, praktik rasisme yang ada dalam media adalah adanya beberapa isu rasisme yang diangkat dan beberapa isu rasisme yang ditampilkan dalam film. Film seperti 12 Years a Slave memperlakukan kulit gelap sebagai budak mereka dan dihukum dengan kekerasan fisik seperti cambukan dan tamparan.Dalam contoh film tersebut ditampilkan bagaimana kulit putih memperlakukan kulit gelap dengan cara yang tidak manusiawi. Kulit putih yang selalu jadi superior dan kulit hitam yang menjadi inferior. 3. Studi Khalayak
Studi penerimaan khalayak tidak lagi memfokuskan khalayak sebagai penentu media yang mereka konsumsi. Khalayak adalah partisipan aktif dalam membangun menginterpretasikan makna atas apa yang mereka baca, dengar dan lihat sesuai konteks budaya. Isi media dipahami sebagai bagian dari sebuah proses dimana common sense dikonstruksi melalui pembacaan yang diperoleh dari gambar dan teks bahasa, sementara makna teks media
(29)
bukanlah fitur transparan, tetapi produk interpretasi oleh pembaca dan penonton (Street, 2001:95-97).
Pada studi khalayak sendiri, menempatkan pengalaman khalayak sebagai pusat dari penelitian.Media dengan berbagai kontennya membawa pesan-pesan tertentu, hal inilah yang kemudian membawa dampak bagi para audiensnya baik tingkat kognisi maupun pada tingkat audiens. Meneliti khalayak untuk media dan budaya menjadi salah satu cara untuk melihat bagaimana sebuah media memiliki dampak, efek, serta pengaruh bagi para konsumennya. Selain itu, studi mengenai khalayak ini dapat menunjukkan apa yang diperoleh khalayak dari media, apa yang disukai maupun yang tidak disukai dari media dan mengapa hal tersebut terjadi. Pada studi khalayak, pemaknaan tidak berhenti pada bagaimana sebuah teks dibuat, melainkan juga bagaimana teks tersebut diinterpertasikan oleh para pembacanya. Oleh sebab itu, pengalaman dan latar belakang dari para pembaca sangat penting dan sangat berpengaruh dalam studi khalayak (Stokes, 2003:131).
Peneliti lebih berfokus pada penerimaan masyarakat atau reception audience.Hal ini juga dibenarkan oleh Chris Barker dalam bukunya cultural studies (2000:273), mengatakan bahwa kendati kita berkonsentrasi kepada berbagai bentuk analisis tekstual yang terfokus pada posisi subjek yang ditawarkan oleh pembaca, suatu cakupan baru studi-studi resepsi (reception studies) memberikan tekanan kepada audien aktif, yaitu dengan cara penonton mengonstruksi, menegosiasikan dan menampilkan aneka ragam makna dan identitas bergender.
(30)
Pendekatan Reception Studies ini bertujuan untuk untuk analisis tekstual yang difokuskan pada ruang lingkup untuk negosiasi dan penolakan dari penonton.Ini berarti sebuah teks baik itu buku, film atau karya kreatif lainnya tidak hanya pasif diterima oleh penonton, tetapi pembaca atau pemirsa dapat menafsirkan makna teks berdasarkan budaya latar belakang dan pengalaman hidup masing-masing individu.Pada dasarnya makna teks tidak melekat dalam teks itu sendiri, tetapi dibuat dalam hubungan antara teks dan audiens.Polemik mengenai tipologi khalayak pasif berhadapan dengan khalayak aktif.Pandangan khalayak pasif memahami bahwa masyarakat dapat dengan mudah dipengaruhi oleh arus langsung dengan media, sedangkan khalayak aktif menyatakan bahwa khalayak memiliki keputusan aktif tentang bagaimana menggunakan media (Junaedi, 2007:81).
Terdapat beberapa tipologi dari khalayak aktif yang diungkapkan Biocca (dalam Junaedi, 2007:82), yaitu:
“Pertama adalah selektifitas, dimana khalayak aktif dianggap selektif
dalam konsumsi media yang mereka pilih untuk digunakan.Mereka tidak sembarang dalam mengkonsumsi media, namun didasari alasan dan tujuan tertentu.Kedua adalah utilitarianisme dimana khalayak aktif dikatakan mengkonsumsi media dalam rangka suatu kepentingan untuk memenuhi kebutuhan dan tujuan tertentu yang mereka miliki.Karakteristik ketiga adalah intensionalitas yang mengandung makna penggunaan secara sengaja dari isi media.Keempat adalah keikutsertaan atau usaha maksudnya khalayak secara aktif berfikir mengenai alasan mereka dalam mengkonsumsi media.Dan karakter yang terakhir yaitu khalayak atif dipercaya sebagai komunitas yang tahan dalam menghadapi pengaruh media atau tidak mudah dibujuk oleh media itu sendiri.”
Dalam proses decoding khalayak bebas memaknai ideologi yang tersampaikan, dalam proses ini terdapat kekhawatiran kesalahpahaman pesan
(31)
yang terjadi apabila khalayak tidak mengetahui istilah-istilah yang digunakan. Menurut Stuart Hall, khalayak melakukan decoding terhadap pesan media melalui 3 kemungkinan posisi yaitu (Hall, 2003:15):
a. Posisi hegemoni dominan
Situasi dimana khalayak menerima pesan yang disampaikan oleh media.Ini adalah situasi dimana media menyampaikan pesannya dengan menggunakan kode budaya dominan dalam masyarakat. Dengan kata lain, baik media dan khalayak sama-sama menggunakan budaya dominan yang berlaku. Media harus memastikan bahwa pesan yang diproduksinya harus sesuai dengan budaya dominan yang ada dalam masyarakat.
b. Posisi negosiasi
Posisi dimana khalayak secara umum menerima ideologi dominan namun menolak penerapannya dalam kasus-kasus tertentu sebagaimana dikemukakan Stuart Hall:
“The audience assimilates the leading ideology in general but opposes its application in spesific case”
Dalam hal ini khalayak bersedia menerima ideologi dominan yang bersifat umum, namun mereka akan melakukan beberapa pengecualian dalam penerapannya yang disesuaikan dengan aturan budaya setempat. c. Posisi Oposisi
Khalayak dalam melakukan decoding terhadap pesan media adalah melalui oposisi yang terjadi ketika khalayak audiensi yang kritis
(32)
mengganti atau mengubah pesan atau kode yang disampaikan media dengan pesan atau kode alternatif. Audiensi menolak makna pesan yang dimaksudkan atau disukai media dan menggantikannya dengan cara berpikir mereka sendiri terhadap topik yang disampaikan media.
Stuart Hall menerima fakta bahwa media membingkai pesan dengan maksud tersembunyi yaitu untuk membujuk, namun demikian khalayak juga memiliki kemampuan untuk menghindari diri dari kemungkinan tertelan oleh ideologi dominan.Namun demikian sering kali pesan bujukan yang diterima khalayak bersifat sangat halus.Para ahli teori studi kultural tidak berpandangan khalayak mudah dibohongi media, namun sering kali khalayak tidak mengetahui bahwa mereka telah terpengaruh dan menjadi bagian dari ideologi dominan (Morrisan, 2013: 550-551).
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif.Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang berhubungan dengan makna dan penafsiran. Pendekatan-pendekatan penafsiran diturunkan dari kajian-kajian sastra dan hermeneutika, dan berkepentingan dengan evaluasi kritis terhadap teks-teks (Stokes, 2003:xi). Penelitian ini menggunakan pendekatan reception analysis, dimana penelitian ini memfokuskan pada kajian khalayak media. Menurut McQuail (2010), Pendekatan reception analysis melihat konstruksi makna pada media yang diciptakan oleh khalayak. Pesan dalam media
(33)
bersifat terbuka dimana memiliki banyak makna dan diinterpretasikan oleh khalayak berdasarkan konteks dan budaya khalayak.
Pada penelitian tentang khalayak penonton film 12 Years a Slave pada komunitas film dan bukan komunitas film di Yogyakarta mengenai rasisme. Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif karena penulis ingin melihat bagaiman pemaknaan dari penonton film 12 years a Slave secara lebih mendalam dengan pemikiran dari penonton masing-masing. Pada dasarnya proses umpan balik terhadap penerimaan pesan adalah komunikasi yang pelakunya sama, hanya posisi berbeda. Penerima pesan akan bertindak sebagai pengirim pesan atau sebaliknya dan pengirim pesan juga bertindak sebagai penerima respons (Hall dalam Stevenson, 2002:78).
Seorang informan yang ideal harus mempunyai ketentuan-ketentuan yaitu, informan memahami objek penelitian dengan baik, informan memiliki waktu yang luang dan bersedia memberikan informasi kepada penliti dalam melakukan penelitian. Purposive sampling akan digunakan didalam penelitian ini karena teknik tersebut mencangkup orang-orang yang diseleksi atas dasar kriteria-kriteria tertentu yang dibuat oleh peneliti berdasarkan tujuan penelitian (Kriyantono, 2008:156). Dalam penelitian ini informasi dan data-data diperoleh dari informan yang telah menonton film 12 years a Slave, peneliti mengambil 6 orang informan untuk menanggapi pesan dalam film 12 years a Slave, 3 orang informan dari komunitas film ‘yuk nonton’ dan 3 orang dari bukan komunitas film atau HMJ Antropologi UGM.
(34)
Peneliti mengambil informan dari komunitas film ‘Yuk Nonton’ karena di Yogyakarta komunitas film ‘Yuk Nonton’ yang masih aktif dan sering melakukan screening film, dengan alasan tersebut diharapkan informan dari ‘Yuk Nonton’ dapat membantu peneliti dalam memaknai isu rasisme dalam film. Dalam penelitian ini, peneliti juga mengambil informan dari non komunitas film yaitu HMJ Antropologi UGM karena diharapkan mahasiswa tersebut mengetahui tentang rasisme dan kajian film.
Peneliti membuat kriteria tertentu untuk syarat-syarat sebagai informan dalam penelitian ini. Informan yang dipilih harus memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:
a. Mengetahui dan menonton film 12 Years a Slave b. Berstatus Mahasiswa
c. Memiliki pengetahuan tentang kajian film
Syarat pertama peneliti tetapkan dengan alasan agar informan sudah mengetahui dan paham dengan alur cerita dari film 12 years a slave, sehingga dapat memahami film 12 years a slave secara lebih mendalam. Syarat kedua, latar pendidikan berstatus mahasiswa, karena informan yang masih menyelesaikan studi Strata Satu (S1) nya.Peneliti menetapkan status mahasiswa setidaknya para informan telah memiliki pengetahuan tentang film dan ras.Syarat ketiga peneliti tentukan karena informan pada ‘HMJ Antropologi’ merupakan informan yang memiliki ilmu pengetahuan tentang ras dan budaya yang kuat dan dapat memberikan tanggapannya mengenai sebuah film, begitu pula informan dari komunitas ‘Yuk Nonton’ mereka
(35)
adalah filmmaker.Filmmaker yang mempunyai pemikiran idealis agar pesan dalam film bisa tersampaikan oleh khalayak. Klasifikasiinforman tersebut untuk melihat bagaimana relasi antara komunitas film dan bukan komunitas film dengan pandangan mereka yang berbeda. Selain itu khalayak sebagai informan sudah menonton dan mengetahui alur cerita film 12 Years a Slave sehingga informan dapat memahami pesan yang ada dalam film tesebut. Latar belakang mereka yang sebagai filmmaker dan informan lainnya yang hanya sebagai penonton saja sehingga informan yang dipilih adalah heterogen yang memliki latar belakang yang berbeda.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam menghasilkan data yang mendekati keakuratan maka teknik dalam mengumpulkan data di penelitian adalah:
a. Focus Group Discussion (FGD)
FGD merupakan diskusi langsung mengenai topik yang akan dibahas yang berkaitan dengan penelitian yang telah peneliti pilih (diskusi terarah), menyesuaikan dengan beberapa kriteria penelitian. FGD dapat menyelesaikan masalah, artinya diskusi yang dilakukan dalam FGD ditujukan untuk mencapai suatu kesepakatan tertentu menganai suatu permasalahan yang dihadapi oleh para peserta (Irwanto, 2006:3). Dengan melakukan FGD penelitian akan memperoleh data serta informasi secara mendalam dari responden. Peneliti dapat memahami alasan-alasan di
(36)
belakang jawaban mereka serta bertanya tentang opini mereka terhadap teks media tertentu.
1) Wawancara mendalam (in-depth interview)
Wawancara adalah percakapan antara peneliti sebagai seorang yang menginginkan informasi sesuai dengan subjek penelitian dan seorang informan sebagai seorang yang diasumsikan memiliki informasi atau keterkaitan dengan subjek atau hal-hal yang terkait dalam penelitian.Sehingga secara umum, wawancara mendalam adalah teknik pengumpulandata yang mengutamakan pada wawancara secara mendalam dengan informan dalam riset.
Wawancara secara garis besar dibagai menjadi dua, yaitu wawancara tak tersturuktur dan wawancara tersturuktur. Wawancara tak terstruktur sering juga disebut dengan wawancara mendalam (in-depth interview), sedangkan wawancara terstruktur disebut juga dengan wawancara baku. Wawancara tidak terstruktur atau wawancara mendalam mirip dengan percakapan informal.Metode ini bertujuan untuk memperoleh bentuk-bentuk informasi dari semua responden, tetapi susunan kata dan urutannya disesuaikan dengan ciri-ciri responden. Wawancara mendalam bersifat luwes, susunan pertanyaannya dan susunan kata dalam setiap pertanyaan dapat diubah pada saat wawancara, disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi pada saat wawancara (Mulyana, 2001:180)
(37)
Keunggulan teknik ini adalah dapat menghasilkan data yang lebih akurat karena informan telah melalui tahap seleksi sesuai dengan ketentuan didalam penelitian ini.Selain itu melalui teknik ini, dapat diperoleh data yang lebih lengkap dan spesifik terkait dengan opini serta argumentasi yang dipaparkan oleh informan.Kemudian, peneliti dapat membaca perilaku non-verbal melalui gerak-gerik dan bahasa dari informan terkait dengan subjek pada penelitian ini.
2) Studi Pustaka
Teknik pengumpulan data ini didapat dari sumber tertulis yang terdapat pada buku, jurnal, laporan penelitian dan sebagainya yang berhubungan dan membantu dalam proses penelitian.
b. Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan analisis data kualitatif, dimana dalam penelitian kualitatif akan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang menjadi responden dari penelitian ini. Analisa data merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat dirumuskan (Moleong, 2001:103).
Encoding Meaning structures 1
decoding meaning structure 2
Frameworks ofknowledge Relations of production
Frameworks ofknowledge Programme as
(38)
Gambar 1.1 Teknik Analisis Data
Proses encoding-decoding yang akan digunakan dalam penelitian ini menggunakan teori Stuart Hall. Peneliti akan menganalisis bagaimana produser sebagai encoding menciptakan suatu makna pada film ini melalui kerangka berpikirnya, hubungan terhadap produksi dan infrastruktur teknis. Setelah itu bagaimana informan memahami dan memaknai teks tersebut melalui struktur yang sama dengan produser.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah reception analysis dimana penelitian dilakukan dengan subjek manusia, yang berarti bentuk penelitian yang menggunakan orang-orang sebagai sasaran sebuah proyekpenelitian.Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual melalui wacana dalam media yang diasimilasikan kedalam wacana dan pratik-praktik budaya khalayak (Stokes, 2003:155).Penonton akan menafsirkan apa yang mereka tangkap dari sebuah teks/tontonan. Khalayak dalam hal ini akan menjadi pencipta aktif makna dari sebuah tayangan. Reception analysis adalah metode yang merujuk pada sebuah komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak, yang hasil interpretasinya merujuk pada konteks, seperti cultural setting dan context atas isi media lain. Khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna, tidak hanya sekedar menjadi individu
(39)
pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi oleh media massa (Hadi, 2007: 16).
Reception analysis menekankan pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan produksi. Reception analysis merujuk pada sebuah komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak, yang hasil menginterpretasi merujuk pada konteks, seperti cultural setting dan context atas isi media lain (Jensen dalam Hadi, 2003:139). Khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna, tidak hanya sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi oleh media massa (Mc Quail, 1997:19).
Menurut Stuart Hall proses penyampaian pesan (dari pengirim kepada penerima) maupun pengiriman kembali respon (dari penerima kepada pengirim) memerlukan dua kegiatan, yaitu:
1) Encoding (fungsi mengirim): proses merancang atau merubah gagasan secara simbolik menjadi suatu pesan untuk disampaikan kepada penerima.
2) Decoding (fungsi menerima): proses menguraikan dan mengartikan simbol sehingga pesan yang diterima menjadikan suatu pemahaman.
Metode encoding dan decoding Stuart Hall mendorong terjadinya proses pemaknaan yang beragam dari teks media yang disampaikan
(40)
selama proses resepsi. Makna yang disampaikan oleh khalayak dalam menerima sebuah pesan merupakan sesuatu yang tidak pasti. Maka Stuart Hall menurunkan teori encode dan decode menjadi 3 interpretasi yang digunakan agar makna yang disampaikan lebih spesifik dan lebih terarah, yaitu dengan Dominant hegemonic merupakan posisi khalyak yang menyetujui dan menerima langsung apa saja yang disajikan oleh media dan menerima ideologi yang dari program tayangan tanpa ada penolakan atau ketidaksetujuan terhadap pesan yang tersampaikan. Yang kedua adalah Negotiated position merupakan penonton yang mencampurkan interpretasinya dengan pengalaman-pengalaman sosial tertentu mereka. Khalayak yang masuk dalam kategori ini bertindak antara adaptif dan oposis terhadap interpretasi pesan atau ideologi dalam media. Yang ketiga adalah Oppositional position merupakan posisi khalayak ketika berlawanan dengan representasi yang ditawarkan dalam tayangan dengan cara yang berbeda dengan makna yang telah ditawarkan oleh media. Khalayak menolak secara langsung pesan yang tersampaikan cenderung tidak bisa diganggu gugat (Hall, 2003:15).
Dalam penelitian ini, peneliti akan melakukan analisis data yang diperoleh dari keadaan sikap, perilaku, tanggapan serta pandangan responden dari data yang diperoleh melalui focused group discussion, in-depth interview serta data-data pustaka lainnya yang mendukung. Kemudian dari data yang diperoleh dari FGD, wawancara mendalam serta data-data pustaka tersebut akan dikelompokan berdasarkan tema dan
(41)
kesamaan gagasan untuk dianalisis dan diinterpretasikan yang akan dikaitkan dengan perumusan masalah dan kajian teori dalam penelitian ini. G.Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan penelitian ini dimulai dari BAB I yang berisikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori dan metode penelitian sebagai langkah dasar peneliti melakukan penelitian.
Selanjutnya BAB II berisi gambaran umum atau profil dari komunitas film dan bukan komunitas film dan juga sekilas tentang film 12 Years a Slave serta pada bab dua ini menulis penelitian sebelumnya.
BAB III akan berisi pembahasan mengenai hasil penelitian dari data yang sudah didapat dari proses pengolahan data yang selanjutnya akan dianalisis, bagaimana reception analysis pada komunitas film dan bukan komunitas film menanggapi tentang film 12 Years a Slave yang dihubungkan dengan 3 kategorisasi Stuart Hall. Pada bab ini semua akan dianalisis oleh peneliti sehingga dapat diambil kesimpulan.
BAB IV yaitu berisi hasil, kesimpulan beserta saran dari peneliti terhadap penelitian ini yang selanjutnya bisa menjadi acuan untuk penelitian selanjutnya.
(42)
BAB II
GAMBARAN OBYEK PENELITIAN
A.Penelitian Terdahulu
Pada sub bab ini akan memaparkan beberapa penelitian sebelumnya tentang film yang bertemakan rasisme untuk menjadi acuan dan penegtahuan tambahan dalam proses penulisan skripsi. Pertama penelitian yang meneliti rasisme atas ras bawaan tampak pada penelitian “Etnis Minoritas pada Film” (Konstruksi Kekerasan Etnis Ambon dalam Film The raid)2014. Penelitian ilmiah karya Yodi Prananta dari Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas ISIPOL Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dalam film “etnis minoritas pada film” memperlihatkan bahwa etnis ambon melakukan kekerasan karena diberi kekuasaan, setelah merasa memiliki kekuasaan akhirnya mereka berani mendominasi. Etnis ambon dalam film ini juga mendapatkan hak minoritas sebagai pengakuan keberadaan dalam kelompok mayoritas.
Penelitian kedua adalah penelitian terdahulu yang mengangkat isu rasisme yaitu penelitian dari Tea Rahmawati Novia P. Mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dalam film “The Butler”(2014). Tea memperlihatkan bentuk perlakuan rasisme terhadap orang kulit gelap dalam bidang pekerjaan, pendidikan dan lain-lain, sama halnya dalam sejarah orang kulit gelap di Amerika Serikat.
Penelitian ketiga yang mengangkat isu rasisme yaitu penelitian dari Putri Anifah mahasiswa jurusan ilmu komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dalam film “Django Unchained” (2015). Film “Django Unchained”
(43)
pada awalnya menampilkan orang kulit gelap sebagai sosok Hero.Namun dibalik itu ternyata orang kulit gelap tetap membutuhkan bantuan dari orang kulit putih. Penelitian keempat yang mengangkat isu rasisme yaitu penelitian dari Dwi Fitriana mahasiswa jurusan ilmu komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dalam film ‘Crash’ (2008). Kesimpulan dari penelitian ini rasisme terjadi dari adanya stereotip, prasangka, dan diskriminasi yang menimbulkan kekerasan rasial.
Pada penelitian-penelitian semua peneiliti melakukan pengkajian terhadap symbol atau makna rasisme yang terkandung dalam film.Sedangkan dalam penelitian ini, peneliti melakukan pengkajian terhadap film yang mengangkat tema rasisme dalam film 12 years a slave.Perbedaan dengan film lainnya ialah peneliti mengkaji tentang bagaimana penerimaan khalayak terhadap pesan yang ada pada film ini.
B.Sejarah rasisme dan praktik-praktik rasisme di dunia
Fenomena rasisme sepertinya merupakan fenomena yang mendarah daging di kehidupan manusia karena sering kali persoalan tersebut diceritakan dari waktu ke waktu dan dari berbagai penjuru.Paul Spoonley dalam Ethnicity and Racism (1990) mencoba menelusuri jejak-jejak rasisme yang disimpulkan berasal dari konsep ras. “Ras adalah sebuah konsep kolonialisme, yang muncul ketika semangat berekspansi melanda Eropa. Eropa bisa jadi dianggap sebagai tempat dimana praktik rasisme lahir dan disebarkan pada masa-masa Eropa melakukan ekspansi ke berbagai belahan dunia seperti Asia, Afrika dan
(44)
Amerika. Karena alasan tersebut, beberapa ahli meyakini bahwa rasisme adalah produk buatan Barat (Frederickson, 2005:xi).
Sebelum melacak sejarah istilah rasisme diperkenalkan rasanya perlu dijelaskan awal kemunculannya.Munculnya rasisme erat kaitannya dengan persoalan agama. Kitab injil mengatakan bahwa semua manusia adalah saudara dan diturunkan dari orang tua yang sama. Maka dari itulah keberadaan “orang buas” dan “monster” itu tidak mudah dijelaskan.Salah satu tanggapannya menempatkan mereka sebagai makhluk-makhluk yang menuai amarah tuhan, jadilah asosiasi berdasar kitab injil bahwa warna hitam itu ada hubungannya dengan keturunan Ham, putra Nuh yang jahat dan kekuatan-kekuatan jahatnya (Loomba, 2003: 138).
Melacak sejarah rasisme itu sendiri Frederickson (2005: 8) dalam bukunya yang berjudul “ Rasisme Sejarah Singkat “ menyatakan bahwa istilah rasisme pertama kali digunakan secara umum pada tahun 1930-an ketika sebuah istilah baru menggambarkan teori-teori yang oleh orang Nazi dijadikan dasar bagi penganiayaan yang mereka lakukan terhadap orang Yahudi.
Sejarah dunia telah mencatat peristiwa penting yang dikaitkan dengan rezim rasismeselain praktik rasisme yang dilakukan Nazi.Pada tahun 1935, lahir Undang-Undang Nuremberg yang melarang adanya perkawinan Yahudi dengan non-Yahudi di Jerman. Lahirnya politik Apartheid di Afrika Selatan pada tahun 1948, serta pemisahan masyarakat kulit putih dan kulit hitam pada era Jim Crow di Amerika bagian selatan (Frederickson, 2005: 137).
(45)
Terkait sejarahnya sendiri, rasisme tidak bisa dilepaskan dari hubungannya dengan agama. Seperti pemaparan Ania Loomba, bahwa injil mengatakan semua manusia adalah saudara yang diturunkan dari orang tua yang sama, maka keberadaan “orang buas” dan “monster” itu tidak mudah dijelaskan. Salah satu tanggapannya menempatkan mereka sebagai makhluk-makhluk yang menuai amarah tuhan, jadilah asosiasi berdasar kitab injil bahwa warna hitam itu ada hubungannya dengan keturunan Ham, putra Nuh yang jahat dan kekuatan-kekuatan jahatnya.Namun penjelasan seperti itu bukannya menyelesaikan masalah, justru menciptakan lebih banyak lagi masalah-masalah konsepsual.Di masa-masa modern awal, aforisma-aforisma seperti kemustahilan “mencuri orang etiopia agar menjadi putih” selalu dipakai untuk menunjukkan basis biologis yang menunjukkan ketakterubahan ras dan warna (Loomba dalam Sukmono dan Junaedi, 2014: 53-54).
Lebih lanjut munculnya rasisme sebagai isu utama hak-hak asasi manusia selama bergulirnya abad itu terutama dihasilkan dari perhatian terhadap rezim-rezim ini oleh bangsa-bangsa yang bereda di luar wilayahnya.Kemunculan dan kejatuhan rezim-rezim itu merupakan peristiwa-peristiwa penting, bukan hanya bagi sejarah negeri-negeri itu saja, tetapi juga bagi sejarah dunia.Rezim-rezim tersebut selayaknya tidak dikaji atau diperbandingkan secara tersendiri melainkan di dalam konteks-konteks internasional yang semula mempengaruhi kemunculan dan kemudian mendorong kejatuhannya.
(46)
Kenyataan menyedihkan lainnya dari rasisme adalah bahwa rasisme sudah ada di seluruh dunia selama ribuan tahun, sejarah penuh dengan contohnya. Di masa lalu kita melihat kaum Afrika-Amerika dipaksa untuk berada di belakang jika naik bus, orang Yahudi diharuskan untuk mengenakan lencana kuning Daud, orang Jepang-Amerika diisolasi dalam tenda selama Perang Dunia ke 2, orang Amerika-Indian dirampas tanahnya dan masyarakat Afrika Selatan terbagi secara ras (Samovar dalam Sukmono dan Junaedi, 2014: 54-55).
Hitler menggunakan teori-teori rasis untuk membenarkan pembantaian missal yang ia lakukan terhadap orang-orang Yahudi Eropa, seperti halnya yang dilakukan para supremasikus kulit putih di Amerika bagian selatan ketika ingin menjelaskan mengapa hukum-hukum Jim Crow dibutuhkan untuk menjaga agar masyarakat kulit putih dan kulit hitam tetap terpisah dan tidak setara (Frederickson, 2005: 3-4).
Paska keruntuhan rezim-rezim rasisme pada abad ke-20, rasisme tidak bisa dikatakan telah hilang sepenuhnya dari kehidupan sehari-hari. Seperti yang telah dinyatakanSamovar (2010 : 211) mengatakan bahwa bentuk nyata dan tersembunyi dari rasisme menyebar dalam tingkat organisasi dan personal dalam masyarakat kita. Rasis bertindak dalam institusi ini dan dalam masyarakat secara umum, menargetkan suatu kelompok untuk berbagai alasan. Seperti yang dinyatakan oleh Gold “ Bentuk rasisme dialami oleh kelompok seperti masyarakat Asia-Amerika, Latin, Arab, dan Amerika-India yang mana perasialan diasosiasikan dengan faktor seperti agama, keasingan, budaya, kebangsaan, gender dan bahasa “.
(47)
Beberapa contoh segresi di Amerika Serikat tentang dua orang gadis berkulit hitam Claudette Colvin dan Rosa Park yang ditangkap oleh pihak berwajib karena menolak memberikan kursi kepada warga kulit putih, hukum yang berlaku pada saat itu. Hingga Martin Luther King Jr, pejuang hak asasi manusia warga Afro Amerika memboikot bus yang ada di Birmingham selama 385 hari (Sinatur, 2014: 110).
Orang kulit hitam menerima pendidikan yang tidak memadai, dikucilkan dari pekerjaan dengan upah tinggi, tidak diperkenankan mengikuti pemilu dan hanya bisa memiliki rumah yang tak layak huni dengan minim pelayanan umum. Tanda – tanda “khusus kulit putih” memaksa orang kulit hitam untuk menggunakan toilet, taman – taman umum, sumber air minum dan restoran yang berbeda. Undang-undang hak sipil tahun 1964 yang diberlakukan setelah proses kekerasan bertahun-tahun di bawah pimpinan Pdt. Dr.Martin Luther King Jr. (Thompson, 2009: 190).
Secara umum praktik rasisme dapat dikelompokkan menjadi praktik secara personal dan institusional.Rasisme personal terdiri atas tindakan, kepercayaan, perilaku dan tindakan rasial sebagai bagian dari seorang individu.Sementara rasisme institusional merujuk pada tindakan merendahkan suatu ras atau perasaan antipati yang dilakukan oleh institusi sosial tertentu seperti sekolah, perusahaan, rumah sakit atau sistem keadilan kriminal (Samovar dalam Sukmono dan Junaedi, 2014: 55-56).
(48)
Segregasi merupakan salah satu bentuk hubungan antar etnik yang berbentuk tindakan pemisahan dari dua kelompok yang berbeda, kelompok mayoritas dan minoritas baik etnik maupun ras. Pemisahan itu dapat dilakukan berdasarkan tempat tinggal, tempat kerja, fasilitas sosial seperti pendidikan (Sekolah, gereja, asrama, mal, toko, dan lain - lain). Segregasi juga berarti proses pemisahan secara fisik dan sosial di kalangan ras maupun etnik yang umumnya kelompok masyarakat mayoritas melakukan segregasi terhadap masyarakat minoritas bukan secara paksaan melainkan struktural melalui perundang – undangan. Sepanjang sejarah Amerika Serikat, terlihat bahwa segregasi rasial dilakukan melalui perangkat hukum de jure, atau mengakui segregasi secara de facto. Para peniliti menyimpan tentang dokumentasi apa yang disebut dengan hyper segregation yang terjadi atas keturunan African Americans di beberapa kota di Amerika Serikat (Liliweri, 2005: 150).
Pada masa kolonial Hindia Belanda juga terjadi banyak rasisme institusional.Misalnya ada pemisahan sekolah untuk pribumi dan bangsa kulit putih, begitu juga fasilitas kesehatan yang berbeda jauh sekali.Contoh lainnya adalah adanya sebuah foto yang memisahkan tempat buang air kecil antara kedua pihak tersebut. Secara tidak sadar sebenarnya seringkali seorang individu dalam pergaulan di masyarakat menyatakan bahwa cara berpikirnya merupakan yang terbaik dan paling benar. Sehingga merendahkan pemikiran dari lawan bicaranya baik secara langsung maupun tidak langsung.
(49)
C.Rasisme Amerika
Konsep identitas rasial berlaku di Amerika sebagai gagasan secara sosial yang berkaitan erat dengan warisan historis seperti perbudakan, penganiayaan suku Indian, kedatangan imigran dan isu hak sipil (Samovar dkk, 2010:187).Ada berbagai penyebab yang melatarbelakangi rasisme di Amerika.Sebagai catatan, pada zaman kolonial benua Amerika menjadi salah satu kawasan yang dijadikan sasaran ekspansi oleh negara-negara Eropa.
Ketika Columbus mencatat pertemuannya dengan pribumi Amerika.Ia mengungkapkan citra ganda terhadap oran-orang Indian. Yang pertama, masyarakat Indian yang menyambut hangat kedatangan bangsa Eropa dicap sebagai orang-orang liar yang anggun dan masyarakat yang bersikap memusuhi kedatangan mereka dianggap sebagai “para kanibal” yang harus ditaklukkan dengan kekerasan atau ditumpas. Suku Indian dianggap sebagai masyarakat yang tidak bisa diajak kerja sama. Selain itu, gaya hidup bangsa Indian yang sangat sederhana dianggap sebagai penghambat bagi perkembangan bangsa-bangsa pendatang. Berbagai alasan tersebutlah yang memungkinkan terjadinya penganiayaan terhadap suku Indian.
Rasisme secara mendalam terdapat dua kata kunci untuk rasisme. Pertama, Miles berargumen bahwa konsep ini seharusnya digunakan untuk melihat secara eksklusif fenomena ideologis. Kemudian yang kedua, ia mengidentifikasikan karakter representasi secara spesifik. Kedua hal tersebut bisa menjamin penggambaran tentang rasisme (Miles dalam Sukmono dan Junaedi, 2014: 50).
(50)
Di Amerika, sejarah rasisme bisa ditelusuri dari Spanyol. Pada abad ke 12 sampai ke 13, pengikut Islam, Yahudi, dan Kristen bisa hidup berdampingan. Tapi pada akhir abad ke 14 dan awal abad ke 15, timbulnya konflik dengan orang Moor lalu memercikan diskriminasi terhadap Islam dan Yahudi. Disini tampak kebencian yang bersifat sektarian lalu menjadi kebencian yang bersifat rasial dalam bentuk pengusiran. Setelah dibersihkan dari orang-orang Yahudi dan Moor, Spanyol kemudian mulai menjajah “dunia baru” (Amerika) dan menemukan jenis perbedaan baru orang-orang primitif dan yang kurang beradab (Aksan, 2008:45).
Berbicara mengenai ras, ada beberapa istilah yang berbunyi hampir sama namun memiliki arti yang berbeda, yakni Ras, Rasisme dan Rasialis. Ras adalah populasi yang memiliki ciri-ciri umum karena adaptasi dengan lingkungan, khususnya dengan iklim yang bertambah terus sebagai tanggapan terhadap kekuatan-kekuatan evolusi seperti lalu lintas gen dan tekanan selektif yang berubah (Haviland, 1985:291). Definisi ini cukup menjelaskan bagaimana maksud dari ras itu sendiri.Definisi ras ini membuktikan bahwasanya ras kulit gelap dan kulit putih terjadi karena perubahan iklim dimana ras kulit gelap menjadi gelap karena mereka hidup didaerah yang memiliki sentuhan sinar matahari sangat terik sehingga menambah banyaknya melanin di dalam kulit yang membuat warna kulit menjadi lebih gelap.Rasisme adalah doktrin superiortias sosial yang menyatakan superioritas kelompok yang satu atas kelompok yang lain (Haviland, 1999: 292). Berdasarkan definisi ini, kesinambungan antara definisi rasisme dan penelitian ini adalah adanya praktek
(51)
rasisme yang terjadi dalam film ini dimana ras kulit putih merasa diri mereka lebih superior atau lebih memiliki kekuasaan sehingga dapat memperlakukan ras yang lain yakni ras kulit gelap dengan semau mereka. Sedangkan rasisalisme adalah konsep pembedaan ras yang mengacu pada karakteristik biologis dan fisik (Haviland, 1999: 292).
Pengacauan antara karakteristik-karakteristik nonbiologis dengan yang dianggap sebagai kategori biologis itu sama sekali tidak terbatas pada masyarakat Amerika latin. Sampai tingkat tertentu kekacauan seperti itu ditemukan juga dimasyarakat Barat, termasuk Eropa dan Amerika Serikat.Yang membuatnya lebih buruk lagi adalah bahwa hal itu sering ditemukan bersama dengan sikap tertentu yang kemudian digunakan sebagai dalih untuk mengeluarkan seluruh kategori orang tertentu dari pesan atau posisi tertentu dalam amsyarakat (Haviland, 1985: 186).
Mengenai akibat-akibat jahat dari kesalahpahaman tentang ras terjadi ketika kaum Nazi mencanangkan superioritas “Ras Arya” (yang sebenarnya hanya suatu pengelompokan linguistik dan sama seklai bukan ras) dan inferioritas “ras Yahudi” (yang sebenarnya suatu kategori etnis dan religius), dan kemudian menggunakannya sebagai dalih untuk melenyapkan orang yahudi sama sekali dari bumi. Tragisnya, program pembinasaan kelompok yang satu oleh kelompok yang lain itu masih tetap terjadi di banyak daerah di dunia dewasa ini, termasuk bagian-bagian tertentu di Amerika Selatan, Afrika dan Asia. Pembantaian (Holocaust) sama sekali belum lenyap dari muka bumi, dan orang Yahudi juga bukan satu-satunya yang menjadi korban (Haviland, 1985: 186-187). Yang
(52)
paling lazim, ras dihubungkan dengan warna kulit. Warna kulit yang dapat mengalami variasi-variasi besar, adalah fungsi dari empat faktor: kebeningan atau tebalnya kulit, distribusi pembuluh-pembuluh darah dan banyaknya cartene serta melanin di bagian kulit tertentu (Haviland:1985:200).
Diskriminasi yang dilakukan oleh warga Amerika kala itu tidak lepas dari perasaan superioritas karena perbedaan latar belakang kebangsaan dan warna kulit.Warga kulit putih Amerika yang berada di posisi dominan kala itu melakukan penindasan kepada orang berkulit hitam yang berada di posisi subaltern mereka yang berkedudukan rendah.Selain itu, penindasan terhadap kaum subaltern yang diterapkan dalam sistem kultural dan sistem legal-formal menggambarkan rezim rasisme terang-terangan.
Berbicara mengenai konsep kelompok dominan dan nondominan dalam suatu struktur sosial yang mengarah kepada rasisme, perlu dibahas sedikit tentang teori kelompok bungkam. Seperti kutipan seorang peneliti bernama Mark Orbe :
“Di Amerika Serikat dan beberapa budaya lainnya, masyarakat
memberikan penghargaan bagi karakteristik dan perspektif tertentu : Amerika keturunan Eropa, pria, heteroseksual, tidak memiliki cacat tubuh, muda anggota kelas menengah ke atasdan Kristen. Orang-orang dengan perspektif ini membentuk kelompok dominan (dominant group) atau kelompok yang memegang kekuasaan di sebuah budaya. Kelompok lain yang ada bersama kelompok tersebut dalam hal bahwa mereka tidak memiliki akses terhadap kekuasaan sebanyak yang dimiliki oleh anggota kelompok dominan. Karena itu kaum Afro-America, gay, dan lesbian, kaum lanjut usia, kelas bawah, orang dengan cacat tubuh, dan non Kristen dapat menjadi kelompok bungkam, sama halnya dengan perempuan” (West & Turner, 2008:199).
(53)
Sementara itu, ketika terdapat kelompok dominan sebagai pemegang kebudayaan di suatu sistem tatana sosial, Lewis dan Slade (2000: 125-126) menyebut sebagai kelompok non dominan sebagai subkultur. Identitas subkultur di Amerika juga dinilai berdasarkan berbagai aspek seperti etnik, ras, bahasa, gaya hidup, agama bahkan oriental seksual. Para subkultur ini hidup dibawah kekuasaan dan superioritas kelompok dominan.
Rasisme institusional terjadi ketika lembaga pemerintah lembaga hukum lembaga pelayanan kesehatan dan system pendidikan maupun bisnis/ekonomi menciptakan sistem (melalui perundang-undangan) sedemikian rupa sehingga dapat menciptakan diskriminasi yang mengabaikan atau bahkan menghilangkan tampilan peran ras tertentu.Misalnya diskriminasi melalui peraturan perundang-undangan diadakan pemisahan sekolah, tokoh, alat transportasi, restoran, hotel bahkan tempat ibadah seperti gereja berdasarkan warna kulit (Liliweri, 2005:28). Seperti masalah rasisme yang terjadi pada tahun 1880an sampai 1960an yang menjadi saksi dalam peran kehidupan Amerika Serikat. Ribuan warga kulit tewas akibat “lynching”. “Lynching” adalah penganiayaan, penggantunga, penembakan atau penikaman oleh masa.Pada jaman itu pelaku kejahatan-kejahatan seperti ini tidak dihukum (Aksan, 2008: 46).
Setelah mengurai beberapa pemahaman tentang suatu sikap rasisme di amerika diatas, terlihat bahwa film yang serupa ialah film 12 years a slave dimana dikisahkan konsep dominan non dominan yang menyusun sistematis tatanan sosial di kala itu. Sehingga suatu sikap rasisme dapat dihadirkan dalam bentuk diskrimansi-diskriminasi pada “kaum hitam” rasisme hadir di berbagai
(54)
golongan yaitu baik agama, ras, identitas gender dan sebagainya. Dalam film 12 years a slave rasisme dan perbudakan yang diskriminasi ditujukan kepada seluruhwarga kulit hitam yang dikisahkan di diskriminasi oleh pihak-pihak tertentu. Film ini begitu kental menyajikan dan menyuarakan rasisme perbudakan terhadap ketidak adilan tidak merdeka yang diterima oleh warga kulit hitam pada kala itu.
D.Profil Informan
Keluarga Mahasiswa Antropologi (KEMANT) merupakan sebuah organisasi atau Himpunan Mahasiswa Jurusan yang berada dibawah naungan Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya (FIB), UGM.Organisasi yang beranggotakan mahasiswa.Antropologi ini telah bertengger di lingkungan FIB semenjak tanggal 30 September 1964. Layaknya suatu organisasi, KEMANT tentunya memiliki beberapa tujuan yang telah tertanam di dalamnya, antara lain, (1) Sebagai wadah mahasiswa Antropologi dalam menyalurkan kreativitasnya. (2) Mempererat hubungan antarmahasiswa Antropologi. (3) Menjembatani urusan prosedural antara anggota KEMANT dengan pihak Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.
Di dalam tubuhnya, KEMANT memiliki enam divisi guna menyalurkan minat dan bakat bagi para anggotanya.Keenam divisi itu antara lain: Divisi Media dan Komunikasi, Divisi Pemberdayaan Sumber Daya Mahasiswa, Divisi Seni, Divisi Kewirausahaan dan Sosial, Divisi Olahraga dan Divisi Eksternal. Kegiatan yang diselenggarakan oleh setiap divisi tentu saja memiliki perbedaan diantara divisi yang satu dengan yang lainnya.
(55)
1. Divisi Media Komunikasi. Divisi ini bergerak dalam ranah penerbitan ataupun jurnalistik. Jurnalistik di tubuh KEMANT ini bukan hanya sebuah wadah untuk mengkritik dan mencaci, tetapi sebagai jalan penyalur aspirasi dalam memahami suatu fenomena sosial yang ada pada bangsa ini. Didalam divisi ini pun telah terlahir sebuah produk semi-jurnal “RANAH” yang dimiliki oleh mahasiswa antropologi. Produk ini tentunya tidak hanya dikonsumsi oleh pihak internal, tetapi juga disebarluaskan ke masyarakat umum.
2. Divisi Pemberdayaan Sumber Daya Mahasiswa. Sesuai dengan namanya, divisi ini berupaya untuk mengasah intelektual mahasiswa antropologi dalam melihat suatu fenomena sosial di lingkungan sekitarnya. Salah satu kegiatan yang dilakukan divisi ini yaitu mengadakan diskusi terkait dengan hasil penelitian yang diperoleh mahasiswa antropologi.
3. Divisi Seni. Kegiatan divisi ini tentu saja tidak jauh dari hal-hal yang berbau kesenian. Divisi ini berupaya untuk merangkul mahasiswa antropologi yang menaruh perhatian pada bidang kesenian. Salah satu produknya yaitu, pementasan Wayang Antro. Pementasan pertunjukan seni tersebut rutin diadakan setahun sekali, yakni bertepatan dengan Dies Natalies Jurusan Antropologi.
4. Divisi Kewirausahaan dan Sosial. Divisi ini merupakan wadah bagi mahasiswa antropologi untuk berkontribusi langsung kepada masyarakat.
(56)
5. Divisi Olah Raga. Merupakan sebuah divisi yang bertujuan menyalurkan minat para anggotanya di bidang olahraga,misalnya saja futsal, basket, climbing, dll.
6. Divisi Eksternal. Sebuah divisi yang terlahir dari tubuh KEMANT guna menjalin hubungan harmonis dengan HMJ di Fakultas Ilmu Budaya maupun kepada Jaringan Kekerabatan Antropologi di seluruh Indonesia.
E.Profil Komunitas film ‘Yuk Nonton’
Yuk Nonton adalah sebuah komunitas yang berkecimpung dalam dunia film. Lebih spesifiknya, kami bergerak pada bidang pemutaran film yang berdomisili di Yogyakarta. Yuk Nonton hadir sejak tanggal 10 Januari 2015 yang bertepatan dengan pemutaran perdana kami.Komunitas ini muncul karenakegelisahan mengenai Yogyakarta yang memiliki banyak komunitas dan festival film, tetapi tidak memiliki konsistensi layar film secara periodik di luar festival yang ada di Yogyakarta. Hal itu mendorong Yuk Nonton memulai pemutaran film secara periodik untuk menciptakan tontonan alternatif yang bisa memberikan hiburan dan juga ruang diskusi.
(57)
Gambar 2.1Gambar 2.2
Profil Yuk Nonton Tweet Yuk Nonton F. Deskripsi Film 12 Years a Slave
Drama perbudakan "12 Years a Slave" meraih Oscar sebagai film terbaik, Minggu (2/3), menjadi film pertama dari seorang sutradara berkulit hitam yang memenangkan penghargaan tertinggi industri film dalam sejarah 86 tahun Academy Awards. Namun sejarah berpihak pada "12 Years a Slave," drama berbiaya rendah yang diproduksi oleh perusahaan milik aktor Brad Pitt, Plan B, yang menghasilkan US$50 juta di seluruh dunia -- jauh dari lebih dari $700 juta untuk "Gravity." (http://www.voaindonesia.com/content/years-a-slave-film-terbaik-oscars-2014/1862716.html diakses pada tanggal 15 Oktober 2015 pada jam 21.10 WIB).
(58)
Gambar2.3 Poster Film 12 Years a Slave
Sutradara : Steeve McQueen Produser : - Brad Pitt
- Dede Gardner - Jeremy Kleiner - Bill Pohlad - Steve McQueen - Arnon Milchan - Anthony Katagas - Antonio Sudler Skenario :John Ridley Pemain : - Chiwetel Ejiofor
- Michael Fassbender - Benedict Cumberbatch - Paul Dano
(59)
- Lupita Nyong’o - Sarah Paulson - Brad Pitt - Alfre Woodard Musik : Hans zimmer Sinematografi : Sean Bobbit Editor : Joe Walker
Rumah Produksi : - Regency Enterprise
- River Road entertainment - Plant B Entertainment - New regency
- Film 4 Productions Tanggal rilis : 30 Agustus 2013 Durasi : 134 Menit
(http://www.imdb.com/title/tt2024544/ diakses tanggal 15 Oktober 2015 pada jam 21.00 WIB)
G.Profil Sutradara
Steven Rodney "Steve" McQueen CBE (lahir 9 Oktober1969; umur 46 tahun) adalah seorang sutradara, penulisskenario, dan seniman video berkebangsaan Inggris. Ia adalah pemenang penghargaan Camera d'Or dan BAFTA. Filmnya tahun 2013, 12 Years a Slave, menghantarkannya meraih penghargaan sutradara terbaik dalam New York Film Critics Circle, serta memenangkan Film Drama Terbaik dalam ajang Golden Globe ke-71. McQueen
(60)
dikenal kerap berkolaborasi dengan aktor Michael Fassbender, yang telah membintangi tiga film-filmnya hingga tahun 2013. Atas prestasinya dalam dunia seni visual, McQueen telah menerima Turner Prize, penghargaan tertinggi yang diberikan kepada seniman visual di Britania Raya dan pada tahun 2006 ia turut memproduseri Queen and Country. Atas jasanya terhadap dunia seni visual, ia dinobatkan sebagai Commander of the Order of the British Empire pada tahun 2011.(http://www.imdb.com/name/nm2588606/bio?ref_=nm_ov_bio_smdiakse s pada tanggal 15 Oktober jam 21.05
(61)
(1)
Reza : Peduli tapi ngga begitu.tapi kan sempet yang di toko itu , ketika si juragannya marah-marah
Sasha : Pada saat itu dia belum tau gambaran yang sebenernya itu gimana soalnya dia masih ada di lingkaran nyamannya kan
Sasha : Kalo mau dibahas dari sini si lebih dimana kelas dia berada gitu si Dita : Maksdunya?
Sasha : Yang tadinya dia nyaman kehidupannya yang enak itu akhirnya dia dipisahkan dari keluarganya, ya udah, padahal itu mah konflik yang dia pikirin tu masih istrinya anaknya yg lainnya itu lebih parah, mungkin istrinya yang udah meninggal, kaya menurut gue yang dia disiksa ngga ada apa-apanya dibandingin yang lain Dita : Ya kan disini juga ada budak yang mati yang tadi itu, terus ada
yang dikubur di halaman rumahnya apa namanya majikannya Sasha : Perubahan emosinya juga ngaruh si ya
Reza : Kamu mau mengarah kemananya. Yang kamu butuhin tu yang apa
Dita : La kan termasuk yang itu dan yang tadi itu yang aku nanya rasisme di Indonesia
Reza : Oh yayaya. Kalo yang itu bukan contoh untuk rasisme tapi itu lebih ke stereotip bukan rasisme. Kalo yang rasisme ke yang ketika di jamannya pah harto ya
(2)
ngelamar kerja di perusahaan gitu kan, terus nglampirin KTP, KTP kita kan ada agama, dia liat agama islam dulu dan itu terjadi sampai sekarang dibeberapa perusahaan
Dita : Itu alesannya apa? Itu emang harus orang islam gitu Sasha : Mungkin itu bentuk rasisme modern kali ya
Reza : Bentuk2 ajaran rasisme. Karena bantulah saudaramu sesame pihak dan baru bantulah yang lain
Sasha : Itu bisa juga dihubungin sama maslah ini aja si mayoritas agama yang ada, jadi me
Sasha : Kaya gitu-gitu lo kalo ngomongin stereotip ya. Soalnya katanya lebih baik stereotip itu si
Reza : Kalo di Indonesia ya. Ya pandangan stereotip terhadap suatu suku
Dita : Terus kalo yang agama gitu? Kalo di Indonesia kan lebih ke diskrimiasi agama. Jadi itu diskriminasi sama ras sama ngga si?jadi kaya diskriminasi agama itu bisa termasuk ras
Reza : Iya, tapi kan lebih spesifik aja ketika ngomongin diskriminasi ras dalam pengertian, kalo di film kan lebih ke warna kulit. Kalo di Indonesia ras kan ngga cuma kulit, kita lebih ke kebudayaan dan segala macem
Sasha : Tapi kalo di Indonesia tu parah banget kaya merasa sukunya dia itu yang lebih hebat, dari dulu, ngga tau deh. Jangan sampe orang lain menguasai ini ini ini.
(3)
Reza : Iya makannya itu salah satu hal yang sensitive. Makannya di film bahkan atau di tv kalo ada syaratnya gitu lo tidak berunsur SARA gitu kan rasa kaya mempunyai power
Reza : Jangankan itu, kos kosan. Kos muslim. Itu udah diskriminasi banget. Jangankan itu, di daerak kampusku terima kos kosan selain anak ISI
Dita : Emang kenapa ya dengan ISI ya?
Reza : Ada pokoknya selain ISI, tapi anak ISI ngga menerima Wimba : Jadi rasisme itu maknanya masih melebar gitu
Reza : Karena anak itu melihatnya begini begini begini, jadi kita begini begini itu namanya diskriminasi
Dita : Kaya orang batak itu kasar
Reza : Iya itu stereotip. Stereotip yang diterima karena kenyataannya lingkungan yang disekelilingnya emang gitu gitu. Tapi kan ngga semuanya. Sama kan kaya di film ini, ngga semua orang kulit putih itu jahat, ada yang baik
Sasha : Kalo diskriminasi misalkan yang agama tadi. Kaya disekolah sekolah aku kaya yang eeee ada anak agamanya budha, terus karena dia budha sendiri jadi ngga ada pelajaran agama budha, dan sekolah tu diem aja gitu. Karena mentang-mentang cuma dia aja yang beda
Dita : Udah lanjut pertanyaan aja. Kesimpulan dari ceritanya ini apa? Sasha : Kulit hitam itu emang tertindas
(4)
Sasha : Ato ngga, boleh si nonton scene yang ini yang udah kamu pilih Dita : Nah yang di scene ini yang menunjukkan kekerasan
Reza : Eeee ikatan personalnya gitu. Eee jadi yang melakukan kekerasan itu karena dia ngga suka. karena memandang kalo misalkan kulit hitam itu, kadang ngga selamanya kulit putih itu jahat. Walopun ada beberpa yang melakukan toleransi terhadap orang hitamny itu bahkan mungkin kejadiannya akan berbeda ketika si kulit hitam itu ngga punya apa-apa gitu. Karena di film ini si actor punya keahlian dan bikin problem solve gitu lo buat juragannnya, misalkan mungkin itu dibiarin ngga papa lo. Tapi disini si actor punya nilai gitu lo. Tadi pertanyaannya apa?
Dita : Ya pendapatnya mas reza, tadi kan kalo dari asumsiku kan kulit hitam mendapatkan perlakuan yang kaya gitu, jadi kulit putih melakukan sesuka hati bertahan melakukan kekerasan. Jadi disitu tu kulit putih terlihat superior, jantan, gagah, jadi pendapatnya gimana?kalo asumsiku kulit putih gitu
Sasha : Tapi kecuali si siapa yang berantem sama dia?
Dita : William ….
Reza : Kalo dari wimba gimana?
Wimba : Aku ngono iku si pemikirane. ini kalo dari konteks ….o hitam itu lucu, kenapa ngga kamu akui nah itu yang meninggikan sebuah kastaSecara luas banget film ini menggambarkan perbudakan dan rasisme. Jadi ngga dari perlakuan aja si kalo dari aku. Aku baca
(5)
artikel itu ternyata pembicaraan isu itu mulai tahuun 70an dan itu gara-gara apa namanya apro amerika. Amerika itu bisa mendundukkan dan menjatuhkan kaya gitu, menurut ku lo. Tapi dari aku ngga ada rasisme si
Reza : Sudut pandangnya itu tidak berpendidikannya karena orang memandang tidak berpendidikan atau memang mereka terlihat tidak berpendidikan gitu
Dita : Mereka terlihat tidak berpendidikan yang kaya yang aku bilang yang disini dari inter teks ku mereka telah di khususkan untuk bekerja pada pekerjaan-pekerjaan rendah. Orang kulit putih menganggap orang kulit hitam tidak pantas untuk mengerjakan pekerjaan yang membutuhkan kecerdasan bahkan mereka dianggap tidak mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan orang kulit putih jadi orang kulit hitam tetap bekerja sebagai pembantu rumah tangga, tukang masak, klien dan tukang kebun
Reza : Eeee itu sudut pandngnya kamu mengiyakan? Dita : Nah kalo aku iya dilihat dari film tadi
Reza : Eeee kenapa kamu ngga ambil adegan pas lagi si orang-orang yang diawal itu yang diliput
Dita : Oh itu. Iya aku juga ada yang milih itu. Tapi aku lebih ke budak papapnya yang tadi yang dipilih kaya yang diobral seperti melambangkan barang dagangan gitu kan
(6)
Dita : Heeh iya seperti layaknya dagangan, harganya
Reza : Ini bagus buat ini, ini bagus buat ini jadi tu ngga ada penjelasan dia bisa ini bisa ini ngga, tapi yang dibutuhkan itu fisiknya gitu lo. Eee tapi kalo yang disini itu kan terlihat simple. Kalo yang disitu sudut pandangnya dari jadi kaya kebiasaan tanpa terlihat secara visual gitu.
Dita : Maksudnya?
Reza : Kebiasaan misalnya aku bisa baca dari mana? Ini kan ditanya dari mana. Kamu dari mana?Kamu bisa baca dari mana?Kok bisa baca?Apa diajari sama pacarmu gitu. Itu jadi pandangan kalo semua orang kulit hitam itu ngga bisa baca gitu to?Eee kalo bisa dikuatin gitu adegan dia ngga bisa baca gitu. Jadi emang ada pembuktiannya gitu tulisanmu
Dita : iya ngga papa lah
Reza : Tapi kalo misalkan itu ya udah cukup si mba dalam konten film ya itu udah cukup menjelaskan kalo misalkan keadaannya di film ini orang-orang yang itu apa namanya ngasih tau kalo mereka ngga berpendidikan. Dalam konten dan itu sudah cukup menjelaskan ngga berpendidikan itu