REPRESENTASI ISU JURNALISME DALAM FILM HOLLYWOOD (ANALISIS SEMIOTIK DALAM FILM “NIGHTCRAWLER”)

(1)

REPRESENTASI ISU JURNALISME DALAM FILM

HOLLYWOOD

(Analisis Semiotik dalam Film

“Nightcrawler”

)

SKRIPSI

Disusun untuk memenuhi sebagai syarat memperoleh derajat Sarjana Strata 1 Jurusan Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun oleh GALUH RATNATIKA

20120530196

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(2)

(3)

MOTTO

Jangan pernah takut pada hantu-hantu yang terus mengikutimu, jangan pernah takut pada teriakan mereka yang menyakitkan,

dan jangan pernah sembunyi karena ketakutanmu. Karena mereka hanya ilusi yang kau buat sendiri, dan bukan mereka yang menjadi ketakutan terbesarmu,

tetapi sesuatu yang ada dalam dirimu, yang mungkin bisa menghancurkanmu dan, menghilangkan semua hal berharga dalam dirimu.

Go on with what your heart tells you, or you will lose all. -Rick Riordan


(4)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Untuk kedua orang tua, Ayah dan Mama:

Ayah, Bambang Harmunan dan Mama, Anik Sulistiawati

Dipersembahkan untuk Ayah dan Mama yang selalu memberikan yang terbaik untuk Galuh. Ayah yang selalu memberikan banyak pemahaman tentang makna

kehidupan yang sebenarnya, mendorong untuk belajar menjadi orang yang berkualitas, dan selalu memberikan kebebasan untuk berekspresi di masa muda.

You’ll always be my favorite. Mama yang selalu menjadi sahabat untuk mencurahkan semua keluh kesah, memberikan solusi terbaik untuk masalah

terburuk, dan selalu memaklumi serta memaafkan semua kenakalan Galuh. You’re

the most beautiful woman in the world.

Untuk Ibu dan Eyang tercinta:

Ibu, Nunuk Parwati, Eyang Putri dan Alm. Eyang Kakung

Dipersembahkan untuk Ibu yang telah menjadi sosok orang tua kedua, dan akan selamanya menjadi Ibu terhebat bagi Galuh. Memberikan banyak pelajaran yang tidak ternilai harganya, membimbing Galuh selama ini dan selalu memotivasi Galuh untuk menjadi yang lebih baik lagi dari hari ini. You’re my idol and I’m so

lucky to have you in my life. Dipersembahkan juga untuk Eyang Putri yang selalu mendoakan Galuh, dan semoga ini bisa menjadi semangat kesembuhan Eyang, agar bisa selalu memberikan cerita-cerita berharga kepada semua cucunya. Dan ini juga dipersembahkan kepada Alm. Eyang Kakung yang dulu ingin sekali melihat cucu pertamanya menjadi Sarjana, dan semoga ini bisa mewujudkan

mimpi Eyang Kakung.

Untuk Adik tersayang: Jingga Antartika

Berkat celotehan yang memberikan semangat, dan cerita-cerita yang memotivasi,

akhirnya Teteh bisa menyelesaikan skripsi ini dengan baik. You’ll always be my


(5)

UCAPAN TERIMA KASIH

 Terima kasih kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya,

sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

 Terima kasih kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah menjadi panutan

terbaik bagi umatnya.

 Terima kasih kepada kedua orang tua, Ayah Bambang Harmunan dan Mama

Anik Sulistiawati yang telah membawa Galuh ke dunia ini, merawat Galuh dari bayi, serta mengajari Galuh banyak hal, termasuk yang tak akan

terlupakan, merubah pengucapan “Manasiwa” menjadi “Mahasiswa”

hingga akhirnya sekarang bisa menjadi Sarjana. And I still can’t believe it.

 Terima kasih kepada Ibu Nunuk Parwati, yang selalu menjadi sosok Ibu yang membanggakan bagi putrinya, karena sejak kecil Galuh selalu bermimpi untuk bisa keliling dunia seperti Ibu. I admire you, mom.

 Terima kasih kepada Eyang Putri yang selalu mendoakan dan mendukung

cucunya ini, hingga sampai saat ini. Sehat selalu ya, Eyang.

 Terima kasih kepada Adikku tersayang, Jingga Antartika, yang selalu

menjadi teman curhat, teman main, teman bercanda, dan selalu menginspirasi dengan berbagai prestasi yang membanggakan. Teteh yakin, empat tahun kedepan, Jingga juga akan mempersembahkan ini kepada Ayah

dan Mama. Always do your best to make them proud, sweetie!

 Terima kasih kepada Bapak Filosa Gita Sukmono, S. I. Kom., MA, yang

telah membimbing saya selama berjalannya proses penyusunan skripsi, dan selalu memberikan masukan serta motivasi.

 Terima kasih kepada Adikku yang cantik, Anissa Maulita, yang sudah

mendoakan Teteh. Berikutnya kamu ya, ayo semangat, jangan terus melihat ke belakang, karena di depan sana ada jalan yang masih panjang dan masih


(6)

banyak yang harus kamu lalui untuk meraih impian kamu. Your life must go on.

 Terima kasih kepada dua spoiled brat tersayang, Intan Permata Sari dan Annisa Amalia Hapsari aka Jadu, yang sebenarnya nggak terlalu membantu dan nggak selalu menemani juga. Tapi selalu mendukung dan selalu bersedia mendengarkan curhatan yang ngga ada habisnya. Intan (jangan main mulu, buruan cari kerja), Jadu (cepet nyusul ya, Jad, katanya mau cepet nikah).

 Terima kasih kepada Lil Zombies Opi, Tika dan Misyka yang masih setia

jadi temen curhat, temen galau, dan temen yang asik sejak semester satu.

You guys are awesome.

 Terima kasih kepada para kiddos terbaik yang sempat hadir untuk

menemani, cukup dramanya guys, waktunya untuk pendewasaan.

 Terima kasih kepada semua teman-teman KKN yang telah memberikan

pengalaman yang nggak akan pernah dilupakan.

 Terima kasih kepada keluarga besar Broadcast 2012, yang telah berjuang

bersama untuk sampai ditahap ini.

 Terima kasih kepada keluarga besar CIKO (Cinema Komunikasi) yang

sudah memberikan pelajaran berharga, walau hanya sebentar bersama kalian.

 Terima kasih juga kepada semua pihak yang tidak disebutkan satu per satu.


(7)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum, Wr. Wb.

Segala puji bagi Allah SWT, berkat rahmat, hidayah-Nya lah penulis mampu menyelesaikan skripsi dengan judul “Narasi Profesi Jurnalis dalam Film Hollywood (Analisis Naratif dalam Film Nightcrawler)”. Salawat serta salam kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, yang atas tuntutat beliau menjadikan rahmatan lil’ alamin.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat akademik guna mendapatkan gelar Sarjana pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Skripsi ini dapat dikatakan masih jauh dari kesempurnaan, oleh karenanya kritik dan saran konstruktif demi penyempurnaan skripsi ini sangat dibutuhkan dari semua kalangan. Akhir kata, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah memiliki andil dalam proses penyelesaian skripsi ini. Dan semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua. Amin.

Wassalamualaikum, Wr, Wb.

Yogyakarta, 30 Agustus 2016

Penulis


(8)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

BAB 1 – PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 11

1. Manfaat Teoritis ... 11

2. Manfaat Praktis ... 11

E. Kajian Literatur ... 12

1. Narasi dalam Film ... 12

2. Film Hollywood ... 16

3. Jurnalis dan Jurnalisme ... 21

F. Metodologi Penelitian ... 25

1. Jenis Penelitian ... 25

2. Objek Penelitian ... 25

3. Teknik Pengumpulan Data ... 26

4. Teknik Analisis Data ... 26

G. Sistematika Penulisan ... 32

BAB 2 – GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN A. Penelitian Terdahulu ... 33

B. Jurnalisme di Amerika Serikat ... 37

C. Fenomena Profesi Jurnalis dalam Film Hollywood ... 42

D. Profil Film Nightcrawler ... 44

E. Sinopsis Film Nightcrawler ... 47

BAB 3 – PEMBAHASAN A. Catatan Pembuka ... 50

B. Character (Tokoh) ... 51

C. Point of View ... 53

D. Plot (Alur) ... 54

E. Analisis Naratif Film Nightcrawler ... 66


(9)

3. Analisis Struktur Oposisi Biner ... 104 F. Catatan Penutup ... 109 BAB 4 – PENUTUP

A. Kesimpulan ... 110 B. Saran ... 113 DAFTAR PUSTAKA ... 114


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Karakter dalam Film Nightcrawler ... 53 Tabel 2. Analisis Lacey dan Gilliepsy ... 66 Tabel 3. Struktur Signifikasi Elementer dalam Film Nightcrawler ... 104


(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Model Aktan Algirdas Greimas ... 28

Gambar 2. Poster Film Nightcrawler ... 44

Gambar 3. Analisis Model Aktan Pertama ... 72

Gambar 4. Analisis Model Aktan Kedua ... 73

Gambar 5. Analisis Model Aktan Ketiga ... 74

Gambar 6. Analisis Model Aktan Keempat ... 75

Gambar 7. Analisis Model Aktan Kelima ... 76

Gambar 8. Analisis Model Aktan Keenam ... 77

Gambar 9. Analisis Model Aktan Ketujuh ... 78

Gambar 10. Analisis Model Aktan Kedelapan ... 79

Gambar 11. Analisis Model Aktan Kesembilan ... 80

Gambar 12. Analisis Model Aktan Kesepuluh ... 81

Gambar 13. Analisis Model Aktan Kesebelas ... 82

Gambar 14. Analisis Model Aktan Keduabelas ... 83

Gambar 15. Analisis Model Aktan Ketigabelas ... 84

Gambar 16. Analisis Model Aktan Keempatbelas ... 85

Gambar 17. Analisis Model Aktan Kelimabelas... 86

Gambar 18. Analisis Model Aktan Utama ... 87

Gambar 19. (Menit 08:02) ... 89

Gambar 20. (Menit 14:59) ... 90

Gambar 21. (Menit 20:05) ... 90

Gambar 22. (Menit 23.13) ... 91

Gambar 23. (Menit 25:03) ... 92

Gambar 24. (Menit 33.11) ... 94

Gambar 25. (Menit 42:10) ... 95


(12)

Gambar 27. (Menit 55:31) ... 97

Gambar 28. (Menit 1:00:26) ... 98

Gambar 29. (Menit 1:05:20) ... 99

Gambar 30. (Menit 1:09:30) ... 100

Gambar 31. (Menit 1:36:55) ... 100

Gambar 32. (Menit 1:48:06) ... 101

Gambar 33. (Menit 1:49:03) ... 102


(13)

(14)

ABSTRAK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI KONSENTRASI BROADCASTING Galuh Ratnatika

20120530196

Narasi Profesi Jurnalis dalam Film Hollywood (Analisis Naratif dalam film Nightcrawler)

Tahun Skripsi : 2016 + 108 halaman

Daftar Pustaka : 25 buku + 2 skripsi + 3 jurnal ilmiah + 3 internet. Film bertemakan jurnalisme telah banyak mewarnai perfilman Hollywood saat ini. Salah satunya adalah film Nightcrawler yang mengangkat tema mengenai profesi jurnalis di Amerika Serikat. Profesi jurnalis dalam film memperlihatkan adanya perbedaan antara jurnalis yang profesional maupun yang tidak profesional. Film ini menggambarkan seorang tokoh jurnalis yang tidak berpegang pada idealisme jurnalistik dan selalu melanggar etika jurnalisme, karena adanya pemahaman yang salah mengenai profesi jurnalis. Penelitian ini menggunakan teknik analisis naratif model Algirdas Greimas yang menggunakan dua struktur analisis, yaitu struktur analisis lahir model aktan dan struktur analisis batin oposisi biner. Greimas menganalogikan narasi sebagai struktur makna, seperti sebuah kalimat yang terdiri atas rangkaian kata-kata, yang setiap kata memiliki posisi dan fungsinya masing-masing. Hasil penelitian menunjukan bahwa film Nightcrawler menampilkan media sebagai sorotan utama yang berada di balik para jurnalis yang terikat atau bekerja di bawah naungan media tersebut. Dalam film ini, beberapa jurnalis digambarkan memiliki pemahaman yang salah mengenai profesionalitas dalam jurnalisme, serta mendapatkan informasi atau pembelajaran yang tidak sesuai dalam profesi jurnalis. Media yang memberikan tekanan dan menerapkan prinsip jurnalisme yang tidak benar, kerap membuat para jurnalis lepas dari idealismenya dan melanggar etika jurnalisme.


(15)

ABSTRACT

UNIVERSITY OF MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTMENT OF COMMUNICATION SCIENCE CONCENTRATION OF BROADCASTING

Galuh Ratnatika 20120530196

Narrative Journalism Profession in Hollywood Movie (A Narrative Analysis in Nightcrawler Movie)

Undergraduate Thesis Year : 2016 + 108 pages

References : 25 books + 2 undergraduate thesis + 3 scientific articles + 3 websites

There are many journalism-themed movies which have colored the

Hollywood film industry today. One of them is Nightcrawler movie that the theme

of the profession of journalism in America. The profession of journalist in the film shows the difference between professional and unprofessional journalist. This film shows a character of journalist who is not hold on to journalistic idealism and always violates the ethic of journalism, because there is a missunderstanding of the profession of journalist. This study uses a model of Algirdas Greimas narrative analysis technique that uses two structure analysis, namely actantial model of birth structural analysis and analysis of the inner structure of binary oppositions. Greimas analogizes the narrative as a structure of meaning, like a sentence consisting of a series of words. Each word has a position and function of each. The results shows that Nightcrawler movie displays the media as the main focus behind the journalists who are bound or work under the umbrellas of the media. In the movie, several journalists are described as having a misunderstanding of the professionalism in journalism, as well as getting information or learning that is not in accordance with the profession of journalism. Media that give pressure and apply the inappropriate principles of journalism often makes the journalist leaves his/her idealism and violates the ethic of journalism.


(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Komunikasi pada dasarnya memiliki arti yang sangat luas dan tidak hanya

dilakukan oleh dua orang. Komunikasi memiliki banyak definisi, seperti saling

berbicara, menyebarkan informasi atau menyampaikan pesan, dan masih banyak

lagi. Media komunikasi juga sangat bervariasi, karena dalam menyebarkan

informasi, komunikasi juga dapat dilakukan dengan media massa. Seperti televisi,

radio, teks dalam media cetak dan sebagainya. Komunikasi juga dapat dikatakan

sebagai produksi dan pertukaran makna. Kelompok ini fokus dengan bagaimana

pesan atau teks, berinteraksi dengan manusia dalam rangka untuk memproduksi

makna (Fiske, 2013:3).

Sementara komunikasi melalui suatu media massa juga memproduksi

banyak makna. Makna dapat disampaikan dengan teks yang ada atau gambar visual

yang memiliki arti tertentu. Komunikasi massa sendiri hanya merupakan salah satu

proses komunikasi yang berlangsung pada peringkat masyarakat luas, yang

identifikasinya ditentukan oleh ciri khas institusionalnya. Gabungan antara tujuan,

organisasi, dan kegiatan yang sebenarnya. Produksi dan distribusi media juga

dilakukan oleh tim kerja dengan saluran komunikasinya sendiri (McQuail, 1994:7).

Film adalah salah satu media komunikasi massa yang digunakan untuk


(17)

media untuk menyampaikan ideologi, media untuk bersosialisasi, dan media untuk

menyampaikan kritik sosial yang ada di masyarakat. Sebuah kemasan yang bercitra

hiburan dan diisi dengan berbagai peristiwa ini, juga dapat mengkonstruksi

nilai-nilai sosial, serta memberikan penegasan terhadap ideologi tertentu. Bahkan sebuah

teori mengatakan bahwa film sebagai percobaan untuk menyatakan gambaran

kondisi lembaga perfilman dengan konsep yang mengarah kepada suatu teks serupa

dengan interpelasi ideologi dan subjektivitas (Gledhill & Williams, 2000:97).

Film juga dikatakan sebagai budaya masyarakat, sekaligus menjadi salah

satu media massa. Dalam memproduksi pesan, hegemoni, dan nilai-nilai sosial, film

masuk sebagai salah satu produk media massa itu sendiri. Namun saat ini, film tidak

hanya sekedar menjadi media komunikasi atau media untuk menyampaikan sebuah

pesan. Salah satu fungsi film adalah sebagai bentuk dasar komoditas dalam sebuah

industri, dimana penggunannya sendiri adalah publik atau masyarakat. Sejak

beberapa abad yang lalu, film juga dianggap sebagai media propaganda yang

efektif.

Penyebaran film di era globalisasi seperti saat ini memang sangatlah

mudah. Terlebih suatu film dikemas dengan kemasan yang menarik dan

memberikan tampilan modern yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern.

Setiap film pasti memiliki suatu ideologi dan identitas sosial yang berasal dari

masing-masing wilayah atau negara. Salah satu industri film terbesar di dunia yang

mampu membawa identitas negara mereka masuk ke berbagai negara lainnya


(18)

Industri film milik Amerika ini telah berhasil menyebarkan keyakinan dan

ideologi mereka di berbagai negara. Film Hollywood memiliki beberapa karakter

yang unik dengan ide dan konsep yang sangat luas. Dalam distribusinya, film

Hollywood berhasil menggeser film karya sineas-sineas lokal khusunya di

Indonesia. Hal ini yang menjadi permasalahan bagaimana keyakinan dan identitas

dari sebuh film dapat menyebar dengan begitu cepat.

Banyak ragam film yang berisikan tentang isu, kritik sosial, pendidikan,

budaya, dan lainnya. Dari berbagai film yang memiliki beberapa nilai tersebut, ada

beberapa film yang juga menggambarkan tentang komentar sosial masyarakat yang

terjadi di sekitar mereka dan sangat berpengaruh terhadap konstruksi sosial. Salah

satu film yang mengangkat tentang keadaan sosial atau suatu profesi yang sangat

dekat dengan masyarakat adalah film Nightcrawler. Film ini memberikan gambaran

mengenai media yang menjadi konsumsi publik dan gambaran nyata seorang tokoh

jurnalis Amerika. Berbicara tentang kewenangan media, kehidupan jurnalis,

bagaimana seorang jurnalis bekerja, dan untuk siapa jurnalis itu bekerja. Selain itu,

film ini membawa identitas jurnalis Amerika.

Nightcrawler juga berada pada tops US Box Office di tahun 2014, bahkan

sempat menjadi urutan pertama di Box Office setelah film ini dirilis

(https://www.theguardian.com/film/2014/nov/03/, diakses pada 28-05-2016).

Selain itu, film ini juga mendapat banyak penghargaan sepanjang tahun 2015

diberbagai festival film. Seperti Film Festival Internasional Toronto, yang

memenangkan Best Feature Film, Best Actor, Best Director, dan Best


(19)

Feature, dan masih banyak lagi (http://boldfilms.com/project/nightcrawler/, diakses pada 04-06-216).

Banyaknya prestasi yang diraih Nightcrawler, menandakan bahwa film

yang membahas jurnalisme di Amerika memang sangat diminati. Perkembangan

jurnalistik di Amerika sendiri menjadi hal yang sangat menarik diperbincangkan.

Bagaimana pers di Amerika dianggap berlebihan dalam mengemas suatu peristiwa.

Hal ini mulai menjadi sorotan masyarakat luas pasca penyerangan World Trade

Center (WTC) oleh teroris, yang kemudian mengubah idealisme jurnalis, karena

peristiwa tersebut diliput banyak pers dengan berbagai pandangan yang terkesan

berlebihan. Bahkan berita yang ditayangkan pun berani memprovokasi publik

mengenai hal tertentu. Sekaligus mengkonstruksi pemahaman publik akan suatu

peristiwa. Sejak saat itu jurnalisme di Amerika dikenal dengan kegiatan yang

melebih-lebihkan fakta yang sebenarnya. Masalah ini muncul dari perpecahan

media sejak tanggal 11 September 2001. Karena pada saat itu tidak ada satu pun

jaringan yang mempunyai kekuatan untuk menghadapi Pemerintah AS (Santana,

2005:220).

Sementara itu idealisme jurnalis dapat dilihat juga dari profesionalitas

seorang jurnalis yang independen dan berkode etik. Jurnalis memiliki hak dan

kebebasan dalam mengungkap atau mengangkat sebuah fakta ke permukaan, tanpa

terikat oleh kewenangan pihak-pihak tertentu. MacDougall menyebutkan bahwa

jurnalisme adalah kegiatan menghimpun berita, mencari fakta, dan melaporkan

peristiwa. Jurnalisme sangat diperlukan dalam suatu negara demokratis. Keperluan


(20)

berabad-abad. Dari pernyataan itulah lahir kata jurnalis, yaitu orang yang

melakukan pekerjaan jurnalistik (Kusumaningrat, 2006:15-16).

Jurnalisme tidak mudah dimasuki begitu saja tanpa pengetahuan dan

kesiapan mental yang matang. Jurnalis atau wartawan memiliki tuntutan atas apa

yang mereka kerjakan. Di lain sisi, tuntutan jurnalisme terhadap para wartawan

bukan hanya berupa ketekunan bekerja dan penguasaan atas pengetahuan,

melainkan juga upaya mencapai standar integritas sesuai dengan tanggung jawab

yang dibebankan kepada mereka (Santana, 2005:208).

Namun saat ini, permasalahan dalam jurnalisme semakin terlihat. Bahkan

publik mungkin juga mulai menyadari permasalahan yang ada. Pada dasarnya,

jurnalis dan media tidak dapat terlepas begitu saja. Alasan itu yang membuat

idealisme jurnalis tak lagi sama, dan kini menjadi suatu permasalahan yang rumit.

Bagaimana dan untuk siapa jurnalis bekerja, tergantung pada tuntutan yang ada.

Publik menilai bahwa jurnalis tak lagi memihak masyarakat, karena banyaknya

intervensi dari politik dan kewenangan media. Begitu pula yang terjadi di Amerika,

bagaimana jurnalisme di Amerika kerap menyudutkan atau melebih-lebihkan fakta.

Bahkan memalsukan berita hanya demi keuntungan semata.

Berbagai pemberitaan di Amerika memang sangat berpengaruh dalam

mengkonstruksi opini publik, karena dapat dengan mudah dikonsumsi oleh

masyarakat luas di dunia. Hal ini disebabkan Amerika adalah salah satu negara

adikuasa yang dianggap memiliki peranan penting di dunia. Namun, jurnalisme di


(21)

melontarkan kritik terhadap cara kerja jurnalis yang meliput kegiatan para calon

presiden AS saat melakukan kampanye. Obama berbicara pada acara penghargaan

kepada jurnalis untuk memperingati kematian Robin Toner, seorang wartawan

politik New York Times yang meninggal pada 2008. Obama mengatakan bahwa liputan kampanye 2016 adalah tontonan yang kasar dan menodai “merk Amerika” (https://m.tempo.co/read/news/2016/03/29/, diakses pada 28-05-2016.

Selain dalam hal politik, diskrimasi atas kelompok minoritas oleh wartawan

juga kerap terjadi di Amerika, dan dianggap sebagai pelanggaran etika jurnalistik.

Bagaimana media dan jurnalis kerap memberikan penilaian negatif tanpa adanya

bukti dan perlindungan. Kelompok minoritas di Amerika yang selalu menjadi

sorotan media adalah masyarakat kulit hitam dan minoritas umat muslim sebagai

ancaman terorisme. Berbagai pemberitaan yang muncul mengenai orang-orang

kulit hitam selalu menjadi topik yang menarik, terlebih ketika mereka dianggap

bersalah atas suatu kasus yang sedang terjadi. Dan yang lebih buruknya lagi, banyak

jurnalis yang menyajikan pemberitaan atas kelompok minoritas tersebut tanpa bukti

yang nyata.

Salah satu contohnya seperti pemberitaan kasus penembakan oleh salah satu

media The Boston Globe yang dibahas saat Nieman Fellowship, yang dalam

pertemuan itu juga dihadiri oleh Bill Kovach, dimana saat itu tim dari The Boston

Globe membuat praduga atas kasus penembakan yang menunjuk kelompok kulit hitam miskin di salah satu bagian kota Boston, yang diceritakan kembali oleh

Goenawan Mohamad dalam buku Sembilan Elemen Jurnalisme. Kemudian di tahun


(22)

di Amerika bermunculan yang isinya menyudutkan kelompok minoritas muslim di

Amerika hingga membuat provokasi terhadap umat muslim yang membahayakan.

Banyaknya pelanggaran yang dilakukan para jurnalis pada dasarnya masih

berkaitan dengan para eksekutif media terkemuka di Amerika, yang setiap tahunnya

memberikan bonus dari seluruh penghasilan wartawan. Keputusan ini sering tak

lagi didasarkan pada kualitas jurnalisme mereka. Sebagian besar berdasarkan pada

berapa banyak keuntungan perusahaan. Hal ini justru seolah-olah menjadi sesuatu

yang wajar. Terlihat jelas bagaimana media mengambil keuntungan besar dari

jurnalisme. Karena pada dasarnya, perlawanan untuk definisi dalam jurnalisme

bukanlah suatu prinsip yang mendalam namun lebih kepada harga jualnya.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa jurnalisme adalah bisnis, dan para redaktur

mempunyai tanggung jawab dalam menjaga anggaran dan menarik pelanggan

(Kovach & Rosenstiel, 2001:57). Media memang bergantung pada jurnalis dalam

meraih tingkat penonton. Namun media terkadang juga dapat menjadi masalah bagi

para jurnalis. Dimana para jurnalis meninggalkan prinsip-prinsip jurnalistik demi

mendapatkan keuntungan pribadi.

Tinggi atau rendahnya harga yang ditawarkan untuk satu berita dalam suatu

media, biasanya tergantung pada nilai berita itu sendiri. Berita yang berhasil

mengaduk emosi publik, membawa publik masuk lebih dalam pada suatu peristiwa,

memunculkan provokasi, mengangkat hal-hal yang terjadi di sekitar masyarakat,

serta memiliki cerita yang dramatis dan mengerikan, akan mendapatkan nilai yang


(23)

yang menggembirakan, terkadang tak memiliki nilai dimata media. Karena media

lebih suka membuat publik terkesan dengan hal-hal yang mengejutkan.

Alasan-alasan itu yang membuat jurnalisme menganut paham bahwa “Bad

news is good news”. Berita dengan sebuah konflik berkepanjangan, serta adanya korban dan hal mengerikannya lainnya, akan menjadi berita yang memiliki nilai

jual yang tinggi. Karena itu tidak sedikit wartawan yang memilih untuk mengangkat

berbagai peristiwa dengan nilai kriminal yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Semakin dekat peristiwa itu dengan khalayak, akan semakin membangun emosi

publik dengan mengkonstruksi pemahaman mereka. Terkadang publik juga

dibiarkan mengkonsumsi sebuah berita yang tak beretika untuk memunculkan

simpati, ketakutan, dan kekhawatiran yang mendalam.

Di antara ragam pemberitaan di Amerika, ada banyak media yang juga

mengambil keuntungan dari berita kriminal. Bahkan tidak sedikit wartawan yang

berhasil mengangkat rating suatu media melalui berita kriminal yang biasanya terjadi di tengah-tengah masyarakat. Salah satu contohnya adalah seorang reporter

asal Brazil, Wallace Souza, yang berhasil menaikan rating stasiun televisi swasta di Amerika secara drastis melalui berita-berita kriminalnya yang terdepan dan

sangat berani. Souza juga berhasil mengangkat namanya menjadi salah satu jurnalis

andalan publik yang tak pernah melewatkan berita kriminal terbaru yang

memberikan pemandangan tragis serta dramatis. Karir Souza juga melesat berkat

berita-berita kriminalnya. Tokoh Souza juga terlihat seperti yang digambarkan

dalam film Nightcrawler. Seorang jurnalis kriminal yang melesat melalui berita-beritanya yang sangat berani.


(24)

Nightcrawler juga berprinsip pada keyakinan yang sama dalam jurnalisme, dengan ungkapan “Bad news is good news”. Namun film ini memberikan ungkapan lain dengan penekanan-penekanan yang mengarah pada produksi berita yang akan

mengajak publik secara suka rela untuk menyaksikan berbagai cerita tragis dan

dramatis yang dikemas sedemikian rupa untuk menjadi sebuah berita yang menarik.

Beberapa teks juga menggambarkan bagaimana jurnalis berkerja di bawah tuntutan

suatu media swasta yang berusaha menyaingi media lainnya dengan berbagai

pemberitaan ekstrim.

Pada dialog di menit 00.20.25 – 00.20.58 Nina Romina (Rene Russo) yang

berperan sebagai Direktur Pemberitaan di stasiun TV KWLA, salah satu media

swasta di Amerika, berbicara pada Lou Bloom, seorang wartawan lepas yang

menjual hasil liputannya pada KWLA, Nina bertutur:

“We find our viewers are more interested in urban crime creeping into the suburb. What that means is a victim or victims, preferably well-off and white, injured at the hands of the poor, or a minority. To capture spirit of what we air is think of our news as a screaming woman, running down the street with her throat cut.”

Teks yang digunakan dalam dialog ini, memberikan penekanan-penekanan,

bagaimana mencari berita yang menarik dan disukai oleh publik. Dimana sebuah

berita menarik lebih mengedepankan hal yang berbau kriminalitas dan diskriminasi

kelompok minoritas. Terlihat jelas pada kalimat awal, yang artinya bahwa penonton

lebih tertarik pada berita-berita kejahatan di area perkotaan sampai pinggiran kota.

Itu berarti korban atau para korban, dan lebih baik lagi jika orang kulit putih, terluka


(25)

terakhir, yang artinya untuk menangkap semangat dalam siaran, adalah dengan

berpikir berita kami bagaikan wanita menjerit yang berlari ke jalanan dengan leher

tergorok. Pemilihan kata tersebut menimbulkan pertanyaan bagaimana seorang

wartawan yang mengangkat kredibilitasnya dengan keyakinan dan pemahaman

seperti itu tetap berjalan pada idealismenya dan etikanya dalam pekerjaannya

sebagai jurnalis. Serta bagaimana wartawan dapat memegang ideologi dan

profesionalitasnya di bawah tuntutan media.

Makna independensi dalam jurnalisme pada dasarnya bukan berarti tidak

memihak. Sikap netral atau tidak memihak bukanlah prinsip dasar dari jurnalisme.

Pekerjaan sebagai wartawan memang membawa beban yang berat. Mereka harus

dapat meyakini perusahaan dan meyakini publik akan kebenaran sebuah berita.

Karena tidak dapat dipungkiri bahwa mereka tetap mencari keuntungan dalam

pekerjaan jurnalistiknya. Kebutuhan finansial harus tetap dipenuhi, walau disatu

sisi tidak memungkinkan untuk seorang wartawan dapat melakukan keduanya.

Terkadang hal itu yang menjadikan publik bukan lagi prioritasnya. Faktanya nilai

berita dan harga jualnya tetap menjadi pilihan nomor satu dalam jurnalisme.

Sebagaimana dalam film ini juga memperlihatkan berbagai problematika

jurnalisme di Amerika. Yang menarik dalam film ini adalah penggambaran tentang

profesi jurnalis Amerika dan persaingan antar jurnalis. Film ini juga menceritakan

bagaimana media bergantung pada jurnalis lepas yang menjual hasil liputannya.

Melihat gambaran yang ditampilkan dalam film ini mengenai profesi jurnalis yang

dibangun dari perspektif masyarakat akan kecurigaan mereka, penulis tertarik untuk


(26)

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka penelitian ini

menentukan rumusan masalah, adapun masalah yang dirumuskan dalam penelitian

ini adalah “Bagaimana narasi profesi jurnalis dalam film Nightcrawler?”

C.Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami bagaimana film Hollywood

Nightcrawler yang memiliki cerita mengenai jurnalis ini menarasikan profesi jurnalis melalui cerita, alur, struktur narasi dan penokohan.

D.Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan nantinya dapat menjadi sumber referensi

khusunya dalam studi mengenai film dalam kajian ilmu komunikasi, dan

memberikan gambaran bagaimana profesi jurnalis digambarkan dalam film. Serta

diharapkan juga penelitian ini dapat menjadi penerapan teori yang telah diperoleh

selama mengikuti perkuliahan.

2. Manfaat Praktis

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi kerangka studi yang


(27)

para jurnalis nantinya, agar mengetahui bagaimana profesi jurnalis dan bagaimana

perkembangan jurnalisme di Amerika. Selain itu juga dapat memberikan masukan

kepada para pembuat film untuk menjadikan film sebagai media pembelajaran yang

bermanfaat melalui pesan yang disampaikan.

E.Kajian Literatur 1. Narasi dalam Film

Narasi merupakan rangkaian peristiwa yang disusun melalui hubungan sebab

akibat dalam ruang waktu tertentu. Narasi pada dasarnya adalah penggabungan

berbagai peristiwa yang menjadi satu jalinan cerita. Karena itu, titik sentral dalam

analisis naratif adalah mengetahui bagaimana peristiwa disusun dan jalinan antara

satu peristiwa dengan peristiwa lain di akhir, bagaimana peristiwa satu dan

peristiwa lain dirangkai menjadi satu kesatuan. Aspek ini dapat ditemukan pada

semua teks, baik fiksi (novel, film, puisi), maupun dalam teks berita (Eriyanto,

2013:15).

Narasi berbicara kepada khalayak (pembaca, pemirsa, atau pendengar).

sebuah narasi berbicara lewat narator- orang atau tokoh yang menceritakan sebuah

peristiwa atau kisah. Dalam narasi fiksi, kerap kali terjadi perspektif dari suatu

peristiwa yang disajikan lewat narator dalam bentuk teks (Eriyanto, 2013:112).

Narasi dalam film terlihat dari alur atau plot pada sebuah film yang

menggambarkan atau membangun suatu kisah melalui teks.

Salah satu karakteristik narasi yaitu memiliki stuktur bercerita. Jika sebuah


(28)

masing-masing bagian saling terhubung. Dalam narasi, peristiwa dilihat tidak datar

(flat), sebaliknya terdiri atas berbagai bagian. Narasi tidak identik dengan peristiwa

aktual yang sebenarnya, karena pembuat narasi bukan hanya memilih peristiwa

yang dipandang penting, tetapi juga menyusun peristiwa tersebut ke dalam babak

atau tahapan tertentu. Peristiwa dilihat mempunyai tahapan, karena mempunyai

awal dan akhir. Tahapan atau struktur narasi tersebut adalah cara pembuat narasi

dalam menghadirkan peristiwa kepada khalayak (Eriyanto, 2013:45).

Narasi teks pada media juga dapat mengkonstruksi audiens. Dari sebuah

perspektif teoritis, seorang audiens dapat disebut ke dalam sebuah fakta ilmiah. Di

lain sisi, dengan melihat hubungan yang tidak berkesinambungan antara teks dan

konstruksi audiens, mungkin dapat mengakses peran ideologi dari narasi dalam

media yang membuat kekuasaan pembaca yang dapat dibayangkan seolah-olah itu

adalah diri kita. Sebagai audiens untuk produk media, posisi kita dapat

dipindah-pindah oleh teks media sebagai sosok yang paling berkuasa (Fulton, 2005:5).

Naratif menurut Barthes juga dapat dikatakan sebagai mitos. Gagasan

Barthes tentang mitos bisa menjadi penafsiran ulang yang sederhana sebagai

ideologo naratif, rumus artikulasi dan nilai-nilai naturalisasi, serta kebenaran dan

kepercayaan. Apa yang dicapai narasi media adalah suatu hal yang tepat mengenai

macam-macam mitologi, serta penyajian kedudukan ideologi sebagai hal yang

wajar dan berdasarkan norma. Film Hollywood klasik dan drama televisi

memperkuat mitos sebagai adanya pembawaan moral yang halus dan gender,

perlawanan yang natural antara ‘baik’ dan ‘buruk’, serta antara ‘laki-laki’ dan ‘perempuan’, sebagai definisi yang jelas dan kategori yang tak bermasalah. Struktur


(29)

naratif mereka yang menyatakan mitos, atau ideologi dari sifat-sifat dasar

kehidupan, dimana hal itu adalah suatu pemecah dari kewajaran atau sesuatu yang

tak dapat dipungkiri yang mencapai titik penutupan yang dapat diterima (Fulton,

2005:7).

Naratif selalu membuka analisis teks, karena naratif terdiri dari verbal atau

tanda visual. Prinsip dasar struktur yang menyerupai penempatan dan pengaturan

cerita merupakan sebuah ladang tanda yang menjadi kesatuan naratif yang dikenal

dari cerita, tokoh, perintah keduniawian, konflik, dan masih banyak lagi, semua

fungsi sebagai tanda dalam cara kerja yang sama yang dilakukan oleh kata-kata dan

gambar (Cohan dan Shires, 2002:52). Dalam hal ini, naratif mendasar pada suatu

cerita yang menarasikan atau menggambarkan apa yang ingin disampaikan. Melihat

teks yang terstruktur dan tanda visual, dapat memberikan gambaran mengenai

sebuah pesan yang terdapat dalam suatu media, baik fiksi maupun non fiksi.

Dalam film panjangnya teks dari sebuah ringkasan, mungkin menjadi jarak

dari sebuah kalimat atau ungkapan, yang mana perbedaannya dapat terlihat jelas,

dan jika terlalu banyak lintasan kalimat atau ungkapan, maka tidak akan terlihat

jelas perbedaannya. Sebuah adegan yang memaparkan pertukaran dialog, yang

berdasarkan durasi cerita atau waktu narasi akan terlihat setara (Cohan dan Shires,

2002:88). Narasi pada film dapat dimaknai juga dengan melihat panjang atau

tidaknya teks tersebut. Selain itu, juga dapat dilihat dari kalimat dan ungkapan yang

terdapat pada setiap dialog antar tokoh.

Namun, permasalahan utama dalam film naratif adalah menggunakan ruang


(30)

merepresentasikan dunia yang tidak terbatas, dunia tiga dimensi. Tugas dari film

naratif, dilain kata, adalah untuk menaturalisasikan pengalaman yang menimbulkan

reaksi dengan membuat ilusi dimana penonton memperoleh hak untuk melihat

realitas dalam sebuah jendela, yang mana jendela itu adalah sebuah pengandaian

untuk melihat yang bukan objek atau gerak, melainkan lebih melihat kepada cerita.

Tugas ini tentu saja mungkin merupakan satu cara dari berbagai cara lainnya untuk

mengelompokan film ke dalam beberapa istilah dari gaya, bentuk, pendidikan,

sejarah dan tren nasional, yang mendasar kepada derajat dan tatakrama (Nadel,

2005:427).

Makna dari film sendiri menurut Graeme Turner adalah sebagai representasi

dari realitas masyarakat, bagi Turner, berbeda dengan film sekadar sebagai refleksi dari realitas. Sebagai refleksi dari realitas, film sekadar “memindah” realitas ke layar tanpa mengubah realitas itu. Sementara itu, sebagai representasi dari realitas, film membentuk dan “menghadirkan kembali” realitas berdasarkan kode-kode, konvensi-konvensi, dan ideologi dari kebudayaannya. Film merupakan bidang

kajian yang relevan bagi analisis struktural (Sobur, 2013:128).

Adanya narasi dalam film dapat memberikan gambaran tentang realitas

yang ada di sekitar masyarakat kepada khalayak. Film dapat membangun perspektif

dan kritik sosial dari realitas dan budaya masyarakat itu sendiri. Seperti halnya film

Nightcrawler yang membangun realitas profesi jurnalis Amerika. Profesi jurnalis merupakan salah satu hal yang dekat dengan masyarakat dan menjadi sorotan

publik. Terlebih film ini diangkat dari kritik sosial tentang jurnalis Amerika yang


(31)

2. Film Hollywood

Jika dibandingkan dengan media lainnya, film dianggap sebagai cermin

masyarakat yang menciptakan mereka. Beberapa pembuatan dasar film

menawarkan pesan politik. Film lain mencerminkan perubahan nilai-nilai sosial,

meski beberapa film lainnya hanya baik untuk hiburan. Sebelum penemuan televisi,

film merupakan bentuk utama hiburan dalam bentuk visual dengan penggunaan

efek khusus. Namun, efek khusus tidak dapat digunakan untuk setiap film dan

biayanya sangat mahal. Saat ini, faktor ekonomi menjadi hal penting dalam

pembuatan film. Film diciptakan saat industri Amerika menyambut baik akan setiap

hadirnya alat-alat baru yang hadir pada masa itu. Kamera gambar gerak dan

proyektor merupakan dua alat baru yang hadir di masa revolusi industri. (Biagi,

2010:171).

Pada awal abad ke-29, perusahaan-perusahaan besar film berbasis di New

York yang dijuluki ibu kota teater. Perusahaan film terdakang menuju Florida atau

Kuba untuk mengejar sinar matahari, karena lebih mudah untuk membangun set di

luar ruangan dan mengambil keuntungan dari cahaya itu. Akan tetapi hal itu segera

berubah.

Pada tahun 1903, Harry Chandler, pemilik Los Angeles Times yang juga

memiliki banyak real estat di Los Angeles dan temannya merayu para pengusaha

film dengan memberi penawaran harga tanah murah, tenaga kerja murah, dan cuaca

bersahabat. Hal ini membuat para pembuat film pindah menuju Hollywood (Biagi,


(32)

Pada tahun 1930, The Big Five Warner Bros, Metro Goldwyn Mayer,

Paramount, RKO, 20th Century Fox, mendominasi bisnis film. Mereka

mengumpulkan lebih dari dua pertiga pendapatan nasional film (box office). Pada

tahun 1930, Walt Disney menjadi satu-satunya pendatang baru di Hollywood yang

sukses besar. Penerimaan box office merosot pada tahun 1930-an sebagai dampak

depresi yang terjadi pada ekonomi Amerika. Menghadapi kebangkrutan, beberapa

teater mencoba menambah pemasukan mereka dengan membuat penawaran ganda,

yaitu dua film untuk satu harga tiket (Biagi 2010:181).

Hollywood kemudian mengubah sistem produksi dengan bintang glamor dan

skenario yang menarik, didukung oleh semangat sutradara muda berbakat,

produser, dan teknisi handal, ditambah penonton yang ingin terpuaskan, industri

film Hollywood mencapai puncaknya pada akhir tahun 1930-an dan awal tahun

1940-an (Biagi, 2010:182). Hingga saat ini, Hollywood masih menguasai perfilman

dunia, bahkan berhasil menggeser karya-karya film lokal. Studio-studio besar

Hollywood juga terus memproduksi film-film terbaru yang kemudian merajai box

office, hampir di seluruh bisokop dunia, khususnya bioskop nasional. Karena masing-masing studio besar Hollywood sedikitnya dapat memproduksi 20 film

dalam setahun. Film-film yang diproduksi juga membutuhkan tempat dalam

distribusinya, hal itu yang membuat film-film Hollywood dapat merajai perfilman

dunia.

Film layar lebar Amerika merupakan salah satu ekspor Amerika terkuat dan

pendapatan dari penjualan di luar negeri selama lebih dari sepertiga dari keuntungan


(33)

sesuatu beberapa tahun terakhir, maka seluruh dunia lapar akan film-film terbaru

yang ditawarkan (Biagi, 2010:192). Hollywood selalu mempelajari adanya

perkembangan teknologi, khususnya teknologi yang dapat memproduksi film.

Studio-studio besar di Hollywood terus memproduksi film dengan

teknologi-teknologi terbaru serta mengikuti perkembangan teknologi-teknologi itu sendiri. Tidak heran

jika dalam kemasan dan tampilan film Hollywood itu sendiri ememiliki efek yang

luar biasa, hasil dari perkembangan teknologi film yang ada.

Hollywood dianggap sebagai ikon paling terkemuka dari kebudayaan

populer. Hollywood juga menjadi trendsetter bagi industri-industri film yang berkembang di negara-negara lain (Junaedi, 2012:59). Tidak sedikit industri film di

dunia yang meniru apa yang diciptakan Hollywood, seperti genre film, tokoh, jalan

cerita dan sebagainya. Industri-industri film berusaha menciptakan sesuatu yang

telah dibuat dengan memberikan sentuhan baru. Hal ini bertujuan untuk mengikuti

trend yang ada dalam dunia perfilman.

Film Hollywood juga dibangun dengan pola yang sederhana. Selalu ada

tokoh protagonis dan antagonis, dimana di akhir cerita, tokoh protagonis yang

selalu menang (Junaedi, 2012:60). Pola ini selalu dipertahankan oleh film

Hollywood dan menjadi ciri khas tersendiri di setiap akhir cerita. Pola ini juga

dibangun dalam berbagai variasi cerita. Jadi, hampir disetiap film Hollywood

menggunakan pola yang sama.

Fungsi film juga tidak hanya sebagai media hiburan, namun juga media

pembelajaran. Film sendiri dapat mengkonstruksi pesan yang dapat mengubah


(34)

yang mereka lihat di dalam cerita-cerita fiksi atau ‘faksi’ di film-film dan televisi lebih membantu dalam membentuk sikap-sikap mereka daripada institusi-institusi

pendidikan. Hal ini menjadikan film sebagai bagian dari budaya populer dan bisnis

(Argenti, 2010:7). Hal ini juga yang menyebabkan Hollywood dapat dengan mudah

menyebarkan budaya, identitas ke negara-negara di seluruh dunia, yang terkadang

juga menjadi permasalahan global.

Proses produksi film Hollywood sendiri dari awal pembuatan hingga

peluncuran, berkisar satu sampai dua tahun. Selama masa itu, bahan-bahan film

yang masih mentah dan para pekerja, bergabung untuk membuat sebuah komoditas

film yang nantinya akan dibeli atau dijual ke berbagai pasar. Produksi film sendiri biasa disebut sebuah “project enterprise”, apabila tidak ada dua film yang dibuat dengan cara yang sama. Ide cerita untuk film-film Hollywood sendiri berasal dari

banyak sumber. Beberapa cerita berasal dari ide asli atau fiksi, beberapa

berdasarkan peristiwa yang nyata atau mengenai kehidupan seseorang.

Bagaimanapun nilai yang baik dari sebuah film Hollywood adalah yang diadaptasi

dari sumber-sumber yang lain, seperti buku, program televisi, buku komik,

pembuatan ulang film yang sudah ada (Wasko, 2003:15-16).

Di dalam poin ini, untuk meggambarkan perhatian pada isu kreatifitas,

sebuah topik yang menampilkan sebuah kesepakatan yang baik, dari yang di dalam

sampai di luar industri. Seperti yang kita lihat, terdapat faktor ekonomi yang

berkonstribusi untuk kepercayaan yang terus menerus, pada ide yang didaur ulang,

seperti cerita yang sudah terjamin, pembuatan ulang film yang sudah ada, serta


(35)

memiliki nilai budaya yang penting. Namun, hal ini juga berkaitan pada tuntutan

keras dari keaslian cerita dan kecerdasan biaya Hollywood (Wasko, 2003:16).

Hollywood tidak hanya sebagai wadah perfilman Amerika, namun juga

sebagai penyebaran budaya Amerika di seluruh dunia. Dalam sistem politik Hollywood biasa disebut sebagai “Americanizing” atau menjadikan semuanya seperti gaya dan budaya orang-orang Amerika. Ketika Hollywood dibentuk di awal

abad ke 20, Hollywood sudah memiliki produk-produk yang bersifat universal

berupa film-film bisu. Di awal tahun 1900, ekonomi, politik, dan budaya dari

produk-produk Hollywood dikendalikan oleh perusahaan asing, khususnya

perusahaan dari Eropa yang menempati perdagangan film impor teratas dan

membatasi film-film Amerika. Hal inilah yang yang membuat Hollywood berusaha

keras untuk menggali potensinya dalam memajukan industri film miliknya. Bahkan

hingga berhasil menggeser kedudukan film-film Eropa, dan meniadakan posisinya

di perfilman Amerika (Epstein, 2005:85-86).

Setelah berhasil berdiri sendiri dan menguasai perfilman Eropa, Hollywood

tidak hanya memperluas studio dan perusahaannya, namun juga memperluas

distribusinya. Amerikanisasi juga bergerak pada pembuatan film non Amerika yang

didaur ulang menjadi film Amerika dengan bintang-bintang yang juga berasal dari

Amerika. Hal ini dilakukan sebagai akses marketing penyebaran film ke seluruh

dunia (Epstein, 2005:88). Selain itu, pembuatan film-film non Amerika, dapat juga

menjadi salah satu cara penyebaran budaya dan identitas orang-orang Amerika.

Bahkan hal ini dilakukan ketika Hollywood mulai mendistribusikan produknya ke


(36)

Oleh karena itu, film Hollywood yang menguasai pasar perfilman dunia,

dapat dengan mudah menjajah dan menggeser film-film lokal dengan budaya dan

identitas yang dibawanya, serta cerita-cerita yang dekat dengan para penikmatnya.

Pesan dapat mudah tersampaikan kepada semua orang yang mengkonsumsi dan

tertarik pada karya film Hollywood yang selalu dibuat detail dengan teknologi yang

lebih maju, dan bahan-bahan dengan harga yang cukup tinggi. Hal ini yang menjadi

Hollywood bertahan di dunia.

3. Jurnalis dan Jurnalisme

Jurnalis sendiri merupakan julukan untuk orang yang bekerja dalam bidang

jurnalistik. Dalam pekerjaannya seorang jurnalis dituntut untuk bertanggungjawab,

tak hanya pada institusionalnya namun juga kepada masyarakat. Artinya, jurnalis

harus tetap berpegang pada idealismenya. Idealisme jurnalis, merujuk pada

profesionalisme jurnalistik sebagai bagian integral dari sensor dan kontrol diri

seorang jurnalis, sehubungan dengan strategi tindak tutur komunikasinya. Strategi

ini berhubungan dengan upaya menonjolkan, dan kemudian mengkonstruksi suatu

fakta atau realitas melalui tindak tutur lokusi, ilokusi, dan perlokusinya (Wibowo,

2009:4).

Sementara jurnalisme adalah kegiatan menghimpun berita, mencari fakta,

dan melaporkan peristiwa. Sejarah jurnalisme dimulai sejak tiga ribu tahun yang

lalu, pada masa Firaun di Mesir, Amenhotep III, mengirimkan ratusan pesan kepada

para perwiranya di provinsi-provinsi untuk memberitahukan apa yang terjadi di


(37)

(tindakan-dan kematian, lalu ditempel di tempat-tempat umum. Sementara selama abad

pertengahan di Eropa, siaran berita berita yang ditulis tangan merupakan media

informasi yang sangat penting bagi para usahawan. Tetapi jurnalisme sendiri baru

benar-benar dimulai ketika huruf-huruf lepas untuk percetakan mulai digunakan di

Eropa sekitar tahun 1440. Keperluan untuk mengetahui apa yang terjadi merupakan

kunci lahirnya jurnalisme selama berabad-abad (Kusumaningrat, 2006:16).

Jurnalisme memang memiliki keliaran dinamika dalam perkembangannya.

Dekade pasca PD II di antaranya menggambarkan pergulatan jurnalisme dengan

berbagai laporan dan analisis kampanye pemilihan, skandal-skandal politik,

hubungan-hubungan gelap, dan temuan “New Journalism” melalui penulis Truman

Capote, Tom Wolfe, dan Norman Mailer (Santana, 2005:13). Jurnalisme sendiri

pada dasarnya telah dikenal oleh banyak orang sejak abad pertengahan, namun

dengan cara yang berbeda. Dengan cara menulis berbagai informasi atau peristiwa

yang terjadi, kemudian menyebarkan informasi itu, tanpa sengaja mereka telah

mengenal jurnalisme.

Jurnalisme di abad ke-20, telah menancapkan merek yang cukup

berpengaruh sebagai sebuah profesi. Sebelum memasuki abad ke-19, banyak

jurnalis mengembangkan karir keterampilannya dengan pola asuhan, dimulai

dengan menjadi copyboys atau pembantu reporter. Universitas pertama yang

mengajarkan jurnalisme, dibuka oleh University of Missouri (Columbia), pada

tahun 1879-84. Berbagai studi di awal abad ke-20 memperlihatkan para wartawan,

sebagai kelompok idealis yang bertugas menyampaikan kepada masyarakat, punya


(38)

menyatakan pentingnya soal-soal etik diperhatikan. Para editor koran di komunitas

Amerika contohnya, menuntut hal itu (Santana 2005:14).

Seiring berjalannya waktu, jurnalisme mulai berkembang dan mengalami

perubahan. Jurnalisme dimudahkan dengan hadirnya teknologi yang memudahkan

publik dalam mengkonsumsi informasi terkini dengan cepat. Berbagai media massa

bermunculan untuk menyajikan publik akan berbagai informasi yang dibutuhkan.

Media yang sebelumnya hanya berupa media cetak, berkembang menjadi radio,

televisi, dan saat ini juga hadir dalam bentuk portal melalui internet.

Sementara itu pada pertengahan dekade tahun 1990-an, The Annenberg

Washington Program in Communications Policy of Northwestern University memproyeksi “Perubahan Media Berita”. Proyeksi ini menggambarkan perkembangan jurnalisme yang telah menggunakan multimedia. Koran tidak lagi

menjadi menjadi pemeran utama. Sebuah pola penerimaan informasi pun dirancang

sampai ke tingkat teknologi begitu rupa. Perubahan jurnalisme ini disebut

jurnalisme masa kini (Santana, 2005:2).

Definisi jurnalisme, dengan sendirinya berkembang sesuai dengan

perkembangan teknologi komunikasi. Setelah muncul internet, definisi jurnalisme

juga sudah mengalami perubahan. Jurnalisme yang awalnya dilekatkan pada orang

yang bekerja di media cetak, saat ini sudah berubah dengan munculnya citizen journalism. Masyarakat yang tidak mempunyai penerbitan dapat menjadi wartawan

atas dirinya sendiri dengan memakai website atau blog. Meskipun masih menjadi

perdebatan, perkembangan ini adalah realitas dalam lapangan kerja jurnalisme


(39)

Jurnalisme sendiri tidak hanya sebagai profesi, sejak abad ke-20, jurnalisme

sudah mendasar pada kode etik yang harus diterapkan oleh para jurnalis.

Bagaimana membuat berita yang baik tanpa adanya unsur SARA. Dengan adanya

etika jurnalisme, jurnalis dituntut untuk bertanggungjawab atas apa yang diliput dan

ditulis untuk kepentingan publik. Etika jurnalisme juga berpegang pada idealisme

jurnalis yang jujur dan profesional. Karna jurnalisme sejak awal dikenal sebagai

kegiatan bertukar informasi, melaporkan suatu peristiwa yang sebenarnya.

Jurnalisme adalah sebuah disiplin verifikasi yang memisahkan jurnalisme

dari hiburan, propaganda, fiksi, atau seni. Hanya jurnalisme yang sejak awal

berfokus untuk menceritakan apa yang terjadi setepat-tepatnya (Kovach

&Rosenstiel, 2001:86-87). Begitu pula degan penerapan kode etik jurnalistik yang

menuntut jurnalis untuk membut sebuah berita yang sebenar-benarnya dengan

mengumpulkan data yang setepat-tepatnya, agar publik dapat mengkonsumsi

informasi yang benar-benar nyata. Itu sebabnya jurnalisme membutuhkan verifikasi

dengan pengumpulan data yang didapat melalui wawancara.

Selain itu, untuk mengumpulkan informasi yang sahih dan relevan untuk

suatu tulisan, wartawan harus tahu apa yang menarik bagi pembacanya, apa dampak

dan apa yang perlu diketahui publik. Karena itu wartawan harus menemukan tema

untuk ceritanya. Setelah itu wartawan mencari aspek-aspek yang dramatik, luar

biasa, dan unik yang membedakan peristiwa yang diliput dengan

peristiwa-peristiwa lainnya yang serupa (Ishwara, 2011:57). Dalam usaha mengumpulkan

data, seorang wartawan atau jurnalis harus tetap berpegang pada etika dan


(40)

F. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan peneliti adalah jenis penelitian kualitatif.

Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang bersifat intepretif (menggunakan

penafsiran) yang melibatkan banyak metode, dalam menalaah masalah penelitian.

Sesuai dengan prinsip epistemologis, kualitatif lazim menelaah hal-hal yang berada

dalam lingkungan alamiah, berusaha memahami, atau menafsirkan, fenomena

berdasarkan makna-makna yang orang berikan kepada hal-hal tersebut (Denzim

dan Lincoln dalam Mulyana, 2008:5).

Sementara menurut Kirk dan Miller, kualitatif menunjuk pada segi alamiah

yang dipertentangkan dengan kuantum atau jumlah. Penelitian kualitatif diartikan

sebagai penelitian yang tidak mengadakan perhitungan. Definisi dari kualitatif

adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental

bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan

dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya

(Moleong, 2000:3).

Dalam penelitian ini peneliti membuat interpretasi dalam mendeskripsikan

data-data yang diteliti. Peneliti melakukan pendekatan dengan dasar interpretatif,

dalam konteks sosial dimana tanda-tanda dipergunakan. Serta meneliti makna yang

diproduksi dan ditampikan untuk audiens.

2. Objek Penelitian

Objek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah film


(41)

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan:

a. Dokumentasi

Dokumentasi dilakukan dengan cara mengidentifikasi penggambaran

profesi jurnalis melalui teks yang ada pada film Nightcrawler, yang berupa gambar

atau scene. Gambar diperoleh dengan cara memotong beberapa beberapa adegan

dalam beberapa scene pada film Nightcrawler yang menunjukan narasi profesi jurnalis.

b. Studi Pustaka

Untuk mendapatkan data pendukung yang diperlukan dalam penelitian ini,

peneliti mengambil data dari buku, majalah, artikel, internet, dan sumber-sumber

lain yang berhubungan dengan penelitian ini.

4. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan tahap pertengahan dari serangkaian tahap dalam

sebuah penelitian yang mempunyai fungsi yang sangat penting. Inti dari analisis

data adalah mengurai dan mengolah data mentah menjadi data yang dapat

ditafsirkan dan dipahami secara lebih spesifik dan diakui dalam suatu perspektif

ilmiah yang sama. Sehingga hasil dari analisis data yang baik adalah data olah yang

tepat dan dimaknai sama atau relatif sama dan tidak bias atau menimbulkan

perspektif yang berbeda-beda (Herdiansyah, 2010:158).

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis naratif. Analisis


(42)

plot, adegan, waktu, ruang, adegan dan tokoh. Dalam penelitian ini, peneliti

memilih menggunakan model aktan Algirdas Greimas.

Greimas menganalogikan narasi sebagai suatu struktur makna (semantic structure). Mirip sebuah kalimat yang terdiri atas rangkaian kata-kata, setiap kata dalam kalimat menempati posisi dan fungsinya masing-masing (sebagai subjek,

objek, predikat, dan seterusnya). Kata yang satu juga mempunyai relasi dengan kata

yang lain sehingga membentuk kesatuan yang koheren dan mempunyai makna.

Narasi menurut Greimas juga harus dilihat seperti sebuah semantik dalam kalimat.

Karakter dalam narasi menempati posisi dan fungsinya masing-masing. Lebih

penting dari posisi itu adalah relasi dari masing-masing karakter. Sebuah narasi

dikarakterisasi oleh enam peran, yang disebut oleh Greimas sebagai aktan (actant), dimana aktan tersebut berfungsi mengarahkan jalannya cerita (Eriyanto, 2013:95).

Untuk menganalisis narasi yang ada pada film yang diteliti, penulis

menggunakan struktur narasi Algirdas Greimas dengan narrative semiotics

(semantic structurale). Dengan metode ini, teks yang dianalisis dipandang sebagai sistem tanda yang selalu terdiri atas stuktur lahir (surface structure) pada tataran kata dan sintaksis, serta struktur batin (deep structure) yang memiliki makna

mendasar (underlying meaning). Struktur lahir merupakan bentuk teks yang segera

bisa dikenali dan siap diakses. Sementara struktur batin merupakan nilai mendasar

yang disematkan dalam teks. Sistem ini terdiri atas norma, nilai dan sikap yang

bersifat universal. Metode semiotik naratif bertujuan untuk mencoba

mengidentifikasi struktur naratif sebuah teks yang menjembatani struktur lahir


(43)

Gambar 1.

Model Aktan Algirdas Greimas

(Sumber Eriyanto, 2013:96)

Dari tabel di atas, subjek menduduki peran utama sebuah cerita, tokoh

utama yang mengarahkan jalannya sebuah cerita. Kedua, objek, yang merupakan

tujuan yang ingin dicapai subjek, dapat berupa orang atau keadaan yang ingin

dicapai. Ketiga, pengirim, yaitu penentu arah, memberikan aturan dan nilai-nilai

dalam narasi. Keempat, penerima, yaitu karakter yang berfungsi sebagai pembawa

nilai dari pengirim. Kelima, pendukung, karakter ini berfungsi sebagai pendukung

subjek dalam usahanya mencapai objek. Keenam, adalah penghalang, yang

berfungsi sebaliknya dengan pendukung, dimana karakter ini menghambat subjek

dalam mencapai tujuan (Eriyanto, 2013:96).

Greimas juga melihat keterkaitan antara satu karakter dengan karakter lain.

Dari fungsi-fungsi karakter dalam sebuah narasi, secara sederhana bisa dibagi ke

dalam tiga relasi struktural. Pertama, relasi struktural antara subjek versus objek,

yang disebut juga sebagai sumbu hasrat atau keinginan (axis of desire). Kedua, Pengirim

(Destinator)

Penghambat (Traitor) Pendukung

(Adjuvant)

Subjek

Penerima (Reciever) Objek


(44)

relasi antara pengirim versus penerima, yang disebut juga sebagai sumbu

pengiriman (axis of transmission), dimana pengirim memberikan nilai, aturan, atau perintah agar objek bisa dicapai. Ketiga, relasi struktural antara pendukung dan

versus penghambat yang disebut juga sebagai sumbu kekuasaan (axis of power),

yang dapat membantu subjek untuk mencapai objek (Eriyanto, 2013:97).

Ketiga relasi struktural itu, nantinya akan digunakan dalam penelitian ini

untuk melihat bagaimana hubungan dari masing-masing struktural digambarakan

dalam narasi film Nightcrawler. Peneliti juga akan memberikan gambaran

mengenai subjek, objek, pengirim, penerima, pendukung, serta penghambat. Dari

relasi-relasi dalam model aktan, dapat tergambar sebuah pesan dalam alur cerita

yang terdapat dalam film tersebut, khususnya mengenai profesi jurnalis yang

digambarkan dan dibangun dalam cerita fiksi. Selain relasi-relasi dalam model

aktan, ada tiga hal yang juga diperhatikan, yaitu cerita dan alur, waktu, serta ruang.

a. Cerita dan Alur

Bagian terpenting dalam analisis naratif adalah cerita (story) dan alur (plot). Kedua aspek ini penting untuk memahami narasi, bagaimana narasi bekerja, bagian

mana dari suatu peristiwa yang ditampilkan dalam narasi, dan bagian mana yang

tidak ditampilkan. Cerita dan alur berbeda. Alur adalah apa yang ditampilkan secara

eksplisit. Sementara cerita, adalah urutan kronologis dari suatu peristiwa.

b. Waktu

Dalam sebuah film khususnya, peristiwa yang seolah-olah berlangsung

selama tahunan atau puluhan tahun, hanya disajikan dalam beberapa jam saja.


(45)

dengan waktu ketika peristiwa disajikan dalam sebuah teks. Ada tiga aspek penting

untuk dilihat dalam analisis mengenai waktu, yakni durasi, urutan peristiwa (order), dan frekuensi peristiwa ditampilkan.

c. Ruang

Ruang dari sebuah narasi dibagi menjadi tiga, ruang cerita (story space), ruang alur (plot space), dan ruang teks (screen space). Ruang cerita adalah ruang yang tidak disajikan secara eksplisit dalam narasi, namun dapat dibayangkan oleh

khalayak. Ruang alur, adalah ruang yang disajikan secara eksplisit dalam narasi.

Sementa ruang teks, adalah ruang yang tidak hanya disajikan secara eksplisit, tetapi

juga ditampilkan keasliannya dalam narasi.

Selain ketiga hal tersebut, menurut Helen Fulton ada beberapa hal lainnya

yang juga perlu diperhatikan. Seperti bagaimana cara struktural dari narasi film

dapat membuat makna, tema, dan pusat perhatian. Hal tersebut dapat dianalisis

melalui suara, karakter, titik permasalahan, dan kepaduan cerita. Dengan menguji

atau melihat teknik produksi dari beberapa efek tersebut, kita dapat melihat

bagaimana mereka menyajikan kedudukan yang kompleks dari tanda atau petunjuk

untuk melihat audiens (Fulton, 2005:108). Dalam hal ini tentunya peneliti akan

mengamati beberapa efek yang menarasikan sebuah pesan dalam cerita dari film

tersebut. Kemudian akan dihubungkan dengan narasi lainnya untuk mengkaji

seperti apa profesi jurnalis yang digambarkan dalam film Nightcrawler.

Suara dalam film merupakan petunjuk yang paling beraneka ragam. Hal ini

dapat dilihat dari dialog, hubungan antar karakter dan efek suara yang terdapat


(46)

film, yang memiliki fungsi interpersonal dari teks, yang terlihat dari keseluruhan

interaksi dan dialog antar tokoh. Kemudian dalam sebuah film, pasti memiliki titik

permasalahan, terlihat dari narasi yang disampaikan, posisi narasi dalam suara, atau

dimana saat tokoh dalam suatu situasi yang berhubungan dengan tokoh lainnya.

Selain itu, narasi juga dapat dilihat dari teknik kamera atau pengambilan gambar.

Karena pada dasarnya, setiap pengambilan gambar memiliki makna yang

menarasikan sesuatu. Teknik kamera juga berhubungan dengan editing film,

bagaimana gambar disusun untuk menggambarkan sesuatu (Fulton, 2005:114).

Teknik pengambilan gambar dan editing juga dianggap memiliki peranan

dalam menarasikan suatu pesan yang ingin disampaikan. Narasi yang disampaikan

berupa gambar visual yang memiliki makna tertentu. Menurut Berger, cara kerja

kamera dan teknik editing juga mempengaruhi bagaimana tanda itu dibangun dan

memiliki arti atau makna yang tidak secara langsung divisualkan. Karena teknik

pengambilan gambar, merupakan bagian dari alur cerita yang disampaikan. Sebuah

cerita akan tersampaikan dengan jelas, jika gambar visual yang disajikan sesuai

dengan alur cerita tersebut.

Setelah memahami semua aspek naratif, peneliti akan menganalisis karakter

serta alur cerita menggunakan model aktan Algirdas Greimas, yang menjelaskan

bagaimana hubungan antar tokoh di dalam sebuah narasi yang terdapat dalam film

Nightcrawler. Bagaimana film ini membangun cerita dan menggambarkan karakter untuk membentuk suatu pesan. Kemudian peneliti akan melihat banyak fenomena


(47)

secara menyeluruh mengenai narasi profesi jurnalis, selanjutnya akan disajikan dan

dideskripsikan secara kualitatif.

G. Sistematika Penulisan

Dalam penyusunan skripsi ini digunakan sistematika penulisan yang terdiri

dari 4 bab. Bab I berisi tentang latar belakang masalah yang menjelaskan mengenai

narasi profesi jurnalis. Rumusan masalah yang nantinya akan menjadi patokan

penulis untuk bahan penelitian. Tujuan penelitian menggambarkan fungsi

penelitian yang dibuat. Kajian literatur ditulis sebagai sumber referensi, yang akan

mempermudah penulis dalam membuat penelitian. Dan yang terakhir, metode

penelitian dengan metode analisis naratif.

Bab II berisi mengenai penelitian terdahulu yang mengangkat tentang

jurnalisme, dan narasi dalam film. Jurnalisme di Amerika Serikat, membahas

tentang sejarah dan perkembangan jurnalisme di Amerika. Fenomena Jurnalisme

dalam Film Hollywood. Serta profil tentang film Nightcrawler.

Bab III berisi gambaran umum penelitian, dan analisa penelitian yang

diperoleh dari temuan data yang didapat oleh peneliti. Penulis menggabungkan

semua data dengan analisa penelitian, kemudian dihubungkan dengan beberapa

teori yang telah ditulis pada kajian literatur.

Bab IV berisi tentang kesimpulan dan saran dari seluruh isi bab-bab

sebelumnya. Bab ini sekaligus menjadi penutup dari skripsi yang telah dibuat

dengan menyimpulkan semua hal yang telah dicapai dalam penelitian yang


(48)

BAB II

GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

A.Penelitian Terdahulu

Ada banyak ragam penelitian yang menggunakan analisis naratif dalam

film, serta penelitian mengenai jurnalisme dan profesi jurnalis yang dilakukan oleh

para peneliti sebelumnya. Adapun beberapa penelitian terdahulu yang

menggunakan analisis naratif, dan beberapa penelitian yang membahas tentang

jurnalisme, seperti;

Pertama, jurnal “Hukum, Profesi Jurnalistik dan Etika Media Massa” (2011), oleh Abdul Choliq Dahlan, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Salatiga.

Penelitian ini membahas tentang media massa yang bukan hanya di Indonesia

melainkan juga di seluruh dunia. Penelitian ini menggambarkan bagaimana media

massa berada di bawah tekanan ekonomi persaingan yang keras dan ketat. Hukum

persaingan menuntut media untuk menampilkan informasi terbaru, tidak didahului

media lain. Dari tuntutan itu, media akan cenderung masuk menampilkan berbagai

hal yang spektakuler dan sensasional, tanpa memikirkan etika dan profesionalisme

jurnalis yang sering kali dikalahkan.

Wartawan sebagai profesi seharusnya memberikan konstribusi positif

terhadap peliputan dan pemberitaannya. Namun karena adanya tekanan dari


(49)

saling berkaitan, yang pada dasarnya dilihat berdasarkan realitas yang ada.

Khususnya tentang bagaimana ketiga hal tersebut terjadi dalam media Indonesia.

Kedua, jurnal “The Reconstruction of American Journalism” (2009), oleh

Leonard Downie, Arizona State University, dan Michael Schudson, Columbia

University. Penelitian ini membahas mengenai konstruksi ulang jurnalisme di Amerika. Peneliti melakukan penelitian dan menunjukan keyakinan bahwa

jurnalisme akan berkembang pesat ke depannya. Digambarkan bagaimana di masa

depan, jurnalisme dalam jaringan internet akan mendominasi media massa lainnya,

seperti majalah dan televisi.

Downie dan Schudson, melihat adanya perubahan jurnalisme di Amerika

yang lebih bergantung kepada jaringan internet, dikarenakan setiap orang di

Amerika memiliki ponsel pintar yang dapat dengan mudah mengakses informasi

dalam genggaman tangan. Oleh karena itu, internet dianggap memiliki potensi

besar untuk menggali dan mendistribusikan berita kepada khalayak yang lebih luas.

Jadi, penelitian ini lebih melihat kepada bagaimana mengkonstruksi ulang

jurnalisme di Amerika untuk masa depan.

Ketiga, jurnal “The Enduring Problem of Journalism: Telling the Truth” (2012), oleh Kathy Forde Roberts, Sekolah Jurnalisme dan Media Massa, South Carolina University. Penelitian ini membahas tentang permasalahan yang ada pada jurnalisme. Bagaimana seorang jurnalis yang selalu dihadapkan pada masalah

perspektif atau sudut pandang yang berbeda dari sebuah fakta, tetap berpegang pada


(50)

terhadap sebuah fakta. Hal inilah yang menjadi permasalahan bagi jurnalis, terlebih

ketika fakta tersebut berubah. Inilah yang terkadang membuat jurnalis

meninggalkan prinsipnya dan kehilangan nilai moral mereka.

Penelitian ini juga memberikan beberapa gambaran kasus dari suatu

peristiwa yang diliput banyak media. Serta memberikan perbedaan gambaran

bagaimana peristiwa tersebut dipandang dari perspektif yang berbeda. Bahkan

digambarkan juga bagaimana banyak jurnalis yang menyembunyikan fakta untuk

membuat peristiwa tersebut semakin menarik. Beberapa dari mereka sengaja tidak

mengatakan yang sebenarnya pada saat peliputan. Di sini, Forde lebih melihat dan

meneliti tentang seperti apa kebohongan jurnalisme dan apa yang membuat jurnalis

tidak mengatakan peristiwa yang sebenarnya.

Keempat, penelitian yang menggunakan analasis naratif, “Analisis Naratif

Film Captain Amerika: The First Avengers” dengan teori Vladimir Propp, oleh

A.M Ibrahim Rifwan dan Hadi Purnama, Ilmu Komunikasi Universitas Telkom.

Penelitian ini membahas mengenai fungsi karakter yang ada pada film Captain

Amerika. Peneliti menggunakan potongan-potongan adegan untuk dianalisis

dengan menggunakan kerangka yang dibuat oleh Propp.

Fokus penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan penggambaran tujuh

fungsi karakter dalam film Captain Amerika dan mengetahui karakter oposisi

berlawanan dari karakter pahlawan dan penjahat yang ada di dalam film. Penelitian


(51)

yang menggambarkan karakter pahlawan mempunyai wajah yang rupawan,

sementara karakter penjahat terlihat buruk rupa.

Kelima, “Analisis Naratif Karakter Perempuan Melalui Tokoh Katniss

dalam Film The Hunger Games” (2015), oleh Chrimery Herpradiantari, Ilmu

Komunikasi Universitas Katolik Widya Mandala. Penelitian ini membahas

mengenai tokoh perempuan bernama Katniss yang ada pada film The Hunger

Games, menggunakan unsur karakter model aktan, yaitu penekanan pada

hubungan.

Penelitian ini memperlihatkan sosok perempuan yang lebih mendominasi

dibandingkan tokoh lainnya dalam film. Perempuan yang berjuang bersama

laki-laki untuk meraih suatu tujuan. Penelitian ini menyimpulkan sosok perempuan yang

ditampilkan maskulin dan feminin, yang bebas bergerak di wilayah domestik dan

wilayah publik. Serta bagaimana seorang tokoh perempuan dapat menyeimbangkan

kekuatan dan kedudukannya dengan laki-laki tanpa bergantung atau meniadakan

sosok laki-laki pada film.

Dari beberapa penelitian di atas, terdapat perbedaan dengan penelitian yang

dilakukan peneliti. Karena penelitian ini menggunakan film Nightcrawler sebagai

objek penelitian yang menarasikan profesi jurnalis Amerika. Fokus penelitian ini

lebih melihat bagaimana film ini menggambarkan atau menarasikan profesi jurnalis

yang dianalisis dengan menggunakan analisis naratif Algirdas Greimas. Film ini

juga seperti mengkritik tentang jurnalisme di Amerika yang tidak hanya dari sisi


(52)

B. Jurnalisme di Amerika Serikat

Ketika berbicara mengenai jurnalisme yang ada di Amerika Serikat, ada dua

hal yang selalu menjadi sorotan. Jurnalisme yang baik dan beretika serta jurnalisme

yang buruk dan tidak beretika. Tergantung bagaimana seorang jurnalis memilih

jalannya. Jurnalisme di Amerika sendiri memiliki sejarah yang panjang, dimulai

pada tahun 1900, dimana pada saat itu media di Amerika mulai berkembang dengan

berbagai pemberitaan sensasional dan cerita seram.

Profesi jurnalis di Amerika juga sangat dihargai, Amerika menuntut para

jurnalis untuk berprestasi. Amerika memiliki penghargaan Pulitzer Prize, yang dianggap sebagai penghargaan tertinggi dalam bidang jurnalisme di Amerika

Serikat. Penghargaan ini diberikan dalam beberapa kategori yang berhubungan

dengan jurnalisme. Hanya laporan yang diterbitkan dan foto-foto hasil karya surat

kabar atau organisasi berita harian yang berbasis di Amerika saja yang berhak

menerima penghargaan jurnalisme. Penerima penghargaan ini dipilih oleh sebuah

badan independen yang secara resmi diatur oleh Columbia University Graduate School of Journalism (Sekolah Jurnalisme Universitas Columbia) di Amerika Serikat. Pulitzer pertama kali diberikan pada tahun 1917. Penghargaan ini diciptakan oleh Joseph Pulitzer, seorang jurnalis dan penerbit surat kabar

Hungaria-Amerika pada akhir abad ke-19 (www.pulitzer.org, diakses pada 04-06-2016).

Selain Joseph Pulitzer, Amerika juga memiliki banyak tokoh-tokoh jurnalis

yang terkenal melalui prestasinya dalam pekerjaannya di sebuah media, dan telah


(53)

Randolph Hearst, R.F Outcault, Lincoln Steffens, Ida Tarbell, Upton Sinclair, Ray

Stannard Baker, Nellie Bly, dan masih banyak lagi (history.journalism.ku.edu,

diakses pada 04-06-2016).

Selain rentetan nama jurnalis terkemuka, Amerika juga memiliki alat

komunikasi internasional yang dibuat canggih oleh Gugliemo Marconi pada zaman

itu, yang mengirim transmisi radio pertama melintasi Samudra Atlantik, dan

digunakan sebagai media penyebaran informasi dengan jangkauan yang lebih luas.

Menjadi satu alasan yang logis, jika jurnalisme di Amerika menjadi sorotan

masyarakat luas. Serta menjadi salah satu tekanan bagi para jurnalis dan media

untuk berlomba-lomba menyiarkan atau menerbitkan berita yang menarik. Bahkan

dalam persiangan ketat antar media, seorang jurnalis harus melepaskan

idealismenya dalam meliput suatu peristiwa, sekalipun tak beretika. Hal inilah yang

kerap merusak nama baik jurnalisme Amerika Serikat.

Amerika memang memiliki sederet nama jurnalis dan media terkemuka

yang mengangkat kredibilitas jurnalisme Amerika. Namun, selain prestasi dan

konstribusi yang diberikan beberapa jurnalis ternama, tidak sedikit juga dari mereka

yang justru menjatuhkan jurnalisme Amerika. Pada tahun 1895, Amerika untuk

pertama kali memperkenalkan istilah Yellow Journalism (jurnalisme kuning).

Istilah ini muncul karena adanya persaingan antar dua media, New York World milik

Joseph Pulitzer dan New York Journal milik William Randolph Hearst. Jurnalisme

kuning merupakan istilah yang diciptakan dari kompetisi pasar dalam media cetak.

Berawal dari tokoh kartun New York World yang dikenal sebagai Yellow Kid, yang


(1)

BAB IV

PENUTUP

A.Kesimpulan

Setelah meneliti analisis narasi dalam film Nightcrawler peneliti menemukan beberapa hal dan menjawab penelitian tentang Narasi Profesi Jurnalis dalam Film Hollywood (Analisis Naratif dalam Film Nightcrawler).

Pertama, berdasarkan strukturnya. Dalam struktur narasi analisis model Lacey dan Gilliepsy yang membagi sebuah teks dalam lima babak, peneliti menyimpulkan dari hasil analisis bahwa film ini menarasikan tentang seorang pengangguran yang berusaha mendapatkan pekerjaan dengan menjadi seorang wartawan lepas yang bekerjasama dengan media televisi swasta di Los Angeles. Lou Bloom memulai karirnya dalam bidang jurnalistik dengan mencari informasi mengenai berbagai pengetahuan yang berkaitan dengan jurnalisme.

Selain itu, Nina yang mempercayakannya untuk bekerja dengannya, juga selalu memberikan pelajaran tentang gambaran pekerjaan jurnalistik, baik di lapangan maupun media. Namun Lou mendapatkan pemahaman yang salah, hal itu juga disebabkan oleh tekanan yang dilakukan Nina demi rating KWLA. Hingga Lou mendapatkan masalah besar mengenai kesaksiannya atas suatu peristiwa. Dan Lou yang mengklaim dirinya sebagai jurnalis profesional, berhasil membebaskan dirinya sendiri dari tuduhan menyembunyikan fakta. Dia juga berhasil mengembangkan bisnisnya dalam bidang jurnalistik setelah memiliki pengalaman


(2)

111

yang cukup banyak dalam bidang tersebut dan kerjasamanya dengan televisi swasta yang bergantung pada videonya.

Kedua, berdasarkan karakternya dengan menggunakan analisis narasi model aktan. Dilihat dari penempatan karakter dan fungsi masing-masing, peneliti menyimpulkan bahwa karakter satu dengan karakter lainnya saling berhubungan dan mempengaruhi. Terlihat dari Lou Bloom yang menjadi tokoh utama mampu menjadikan profesinya dalam bidang jurnalisme sebagai sorotan yang menggambarkan bagaimana jurnalis bekerja di bawah pengaruh media. Diawali dengan masuknya Lou ke dalam dunia jurnalistik dan menjadikannya sebagai pekerjaan. Kemudian Lou menjual beritanya kepada Nina yang berperan sebagai direktur berita KWLA. Lou diawal film digambarkan sebagai sosok yang polos dan tidak tahu apa-apa tentang jurnalistik, namun dengan adanya Nina yang mempercayainya dan menekannya untuk mendapatkan video seperti yang diinginkannya, merubah Lou menjadi karakter yang buruk dan dinarasikan tidak sesuai dengan seorang wartawan yang seharusnya bepegang pada idealismenya.

Ketiga, makna yang terdapat dalam narasi, dilihat dari rangkaian dan relasi di antara kata, kalimat, gambar, dan adegan dari suatu narasi. Film Nightcrawler memberikan makna bahwa seorang tokoh wartawan lepas yang digambarkan dalam film ini sebagai Lou, adalah orang yang sama sekali tidak memiliki ilmu jurnalistik sebelumnya. Selain itu, Lou juga menyalahgunakan profesionalitasnya sebagai seorang jurnalis, karena adanya tekanan dari suatu media yang menjalin kerjasama dengannya. Lou yang menjadikan jurnalistik sebagai pekerjaan pokoknya untuk memberikan keuntungan bagi dirinya sendiri, selalu berusaha untuk memberikan


(3)

apa yang diinginkan Nina dalam memenuhi kebutuhan KWLA dan rating televisi tersebut. Dalam film ini, masing-masing karakter memiliki latar belakang yang berbeda dan adanya kebalikan antara karakter satu dengan yang lainnya.

Dari ketiga analisis di atas, peneliti mengetahui bahwa film Nightcrawler menarasikan tentang profesi jurnalisme di Amerika yang menggambarkan realitas miris tentang para jurnalis yang menyalahgunakan profesinya untuk mencari keuntungan pribadi. Memperlihatkan bahwa tidak selamanya jurnalis harus memiliki pengetahuan tentang jurnalistik dan pendidikan formal dalam bidang tersebut. Namun dapat dilihat bahwa jurnalisme tanpa pengetahuan yang mendalam, dapat merusak nama jurnalisme, karena tidak adanya profesionalitas dan idealisme sebagai seorang jurnalis. Minimnya pengetahuan yang didapatkan oleh seorang jurnalis yang memilih untuk terjun langsung ke lapangan, membuat banyaknya pelanggaran tentang etika jurnalistik. Bahkan mereka yang memiliki pengetahuan lebih mengenai jurnalisme, belum tentu akan berpegang pada idealismenya jika mengedepankan eksistensi dan keuntungan semata. Dan hal ini tidak sedikit dilakukan oleh mereka yang berada di balik sebuah media.

Selain itu film ini juga menyampaikan sebuah ideologi jurnalis di Amerika dan kritik terhadap rusaknya jurnalisme di Amerika. Film ini mencoba menggambarkan realitas tentang banyaknya jurnalis fiksi dengan menampilkan beberapa karakter yang memerankan serta mewakili beberapa tokoh jurnalis ternama di Amerika yang mencoreng nama jurnalisme Amerika. Media sebagai sorotan yang berada di balik para jurnalis, ternyata memiliki peranan penting dalam merubah atau mempertahankan idealisme jurnalis itu sendiri. Bagaimana media


(4)

113

melebih-lebihkan cerita dengan pemberitaan yang disesuaikan dengan ketertarikan masyarakat dan memunculkan kekhawatiran serta kegelisahan di tengah-tengah masyarakat tanpa memikirkan dampak buruknya, yang disebut bad news is good news. Jadi pada dasarnya, film ini mencoba mengatakan bahwa hampir tidak ada yang disebut sebagai jurnalis independen dan profesional. Karena ketika seseorang terjun ke dalam dunia jurnalistik, akan ada kepentingan-kepentingan tertentu yang melibatkan dirinya, terlebih ketika hal itu dianggap menguntungkan. Bahkan saat ini, hampir setiap orang dapat melakukan pekerjaan jurnalistik tanpa memiliki pendidikan formal, dan hal tersebut yang memunculkan banyaknya pelanggaran etika jurnalistik.

B.Saran

Penelitian tentang analisis naratif film Nightcrawler ini dilakukan untuk menambah variasi kajian Ilmu Komunikasi terutama film. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi pembelajaran bagi filmmaker untuk menjadikan film sebagai media yang bermanfaat. Selain itu juga menjadi pembelajaran bagi jurnalis untuk mengetahui bagaimana perkembangan jurnalisme saat ini.. Penelitian ini dapat juga dikaji dengan aspek yang berbeda dengan menggunakan analisis yang berbeda. Penelitian ini dapat dilakukan dengan menggunakan analisis wacana yang dapat melihat bagaimana idealisme jurnalis digambarkan dalam film ini. Selain itu film ini juga dapat diteliti dengan metode penelitian resepsi atau analisis resepsi untuk melihat pengaruh terhadap penonton atau penerimaan penonton khususnya mereka yang bekerja diranah jurnalistik.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Argenti, Paul A. 2010. Komunikasi Korporat. Jakarta: Salemba Humanika.

Berger, Arthur Asa. 2012. Media Analysis Techniques. London: SAGE Publications Ltd. Biagi, Shirley. 2010. Media/Impact, An Introduction to Mass Media. Jakarta: Salemba

Humanika.

Danesi, Macel. 2012. Pesan, Tanda, dan Makna, Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi. Yogyakarta: Jalasutra.

Epstein, Edward Jay. 2005. The Big Picture, The New Logic of Money and Power in Hollywood. New York: Random House.

Fiske, John. 2012. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Gledhill, Christine dan Linda Williams. 2003. Reinventing Film Studies. London: Arnold, A Member of the Hodder Headline Group.

Griffin, Em. 2003. A First Look At Communication Theory. New York: McGraw-Hill Higher Education.

Hachten, William A. 2005. The Troubles of Jurnalism, A Critical Look at Whats’s Right and Wrong With the Press. Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc. Hall, Stuart. 2003. Representation, Cultural Representations and Signifying Practices.

London: SAGE Publications Ltd.

Herdiansyah, Haris. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif, untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Salemba Humanika.

Hoed, Benny H. 2001. Dari Logika Tujul ke Erotisme. Magelang: Indonesia Tera. Ishwara, Luwi. 2011. Jurnalisme Dasar. Jakarta: Kompas.

Junaedi, Fajar. 2012. Menyulap Kekalahan, Operasi Militer AS dalam Film Hollywood & Layar TV. Yogyakarta: Mata Padi Presindo.

Kovach, Bill dan Tom Rosenstiel. 2001. Sembilan Elemen Jurnlisme, Apa yang Seharusnya Diketahui Wartawan dan Diharapkan Publik. New York: Crown Publishers.

Kusumaningrat, Hikmat dan Purnama Kusumaningrat. 2006. Jurnalistik, Teori dan Praktik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Moleong, Lexy J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Morissan. 2013. Teori Komunukasi, Individu Hingga Massa. Jakarta: Kencana.

Mulyana, Deddy dan Solatun. 2008. Metode Penelitian Komunikasi, Contoh-Contoh Penelitian Kualitatif dengan Pendekatan Praktis. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.


(6)

Santana, Septiawan. 2005. Jurnalisme Kontemporer. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Sobur, Alex. 2013. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.