ANGKA KEJADIAN KOMPLIKASI PASCA BEDAH KATARAK DENGAN TEKNIK FAKOEMULSIFIKASI DI RS PKU MUHAMMADIYAH 1 YOGYAKARTA

(1)

KARYA TULIS ILMIAH

ANGKA KEJADIAN KOMPLIKASI PASCA BEDAH

KATARAK DENGAN TEKNIK FAKOEMULSIFIKASI DI RS

PKU MUHAMMADIYAH 1 YOGYAKARTA

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana Kedokteran pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas

Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun oleh

ICHWAN PUTRA WIJAYA

20120310245

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(2)

i

KARYA TULIS ILMIAH

ANGKA KEJADIAN KOMPLIKASI PASCA BEDAH

KATARAK DENGAN TEKNIK FAKOEMULSIFIKASI DI RS

PKU MUHAMMADIYAH 1 YOGYAKARTA

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana Kedokteran pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas

Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun oleh

ICHWAN PUTRA WIJAYA

20120310245

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(3)

ii

HALAMAN PENGESAHAN KTI

ANGKA KEJADIAN KOMPLIKASI PASCA BEDAH

KATARAK DENGAN TEKNIK FAKOEMULSIFIKASI DI RS

PKU MUHAMMADIYAH 1 YOGYAKARTA

Disusun oleh :

ICHWAN PUTRA WIJAYA 20120310245

Telah disetujui dan diseminarkan pada tanggal 11 Mei 2016

Dosen Pembimbing Dosen Penguji

dr.H.Imam Masduki,Sp.M.,MS.c dr.Nur Shani Meida,Sp.M., M.Kes NIK : 17303

Mengetahui,

Kaprodi Pendidikan Dokter Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

dr. Alfaina Wahyuni, M.Kes., Sp.OG. NIK : 173 027


(4)

iii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini Nama : Ichwan Putra Wijaya

NIM : 20120310245

Program Studi : Pendidikan Dokter

Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa Karya Tulis Ilmiah yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir Karya Tulis Ilmiah ini.

Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan Karya Tulis Ilmiah ini hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Yogyakarta, 03 Mei 2016 Yang membuat pernyataan,


(5)

iv

KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah (KTI) yang berjudul “Angka Kejadian Komplikasi Pasca Bedah Katarak Dengan Teknik Fakoemulsifikasi di RS PKU Muhammadiyah 1 Yogyakarta”. Karya Tulis Ilmiah ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh derajat Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah ini, penulis banyak mendapatkan bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih yang tulus kepada semua pihak yang telah membantu, khususnya kepada:

1. dr. H. Ardi Pramono, M.Kes., Sp. An., selaku dekan prodi Pendidikan Dokter FKIK Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

2. dr. H. Imam Masduki,Sp.M., MS.c selaku pembimbing Karya Tulis Ilmiah yang telah berkenan memberikan bantuan, pengarahan, dan bimbingan dari awal sampai selesainya Proposal Karya Tulis Ilmiah ini.

3. dr. Nur Shani Meida, Sp.M., M.Kes. selaku Penguji Karya Tulis Ilmiah yang berkenan membimbing dan membantu penyelesaian Karya Tulis Ilmiah ini.

4. Terimakasih kepada Perpustakaan FKIK UMY. dan semua tempat yang tidak bisa penulis sebutkan satu-satu yang secara tidak langsung sudah membantu selesainya penulisan Karya Tulis Ilmiah ini.


(6)

v

5.Ayah dan Ibu yang telah mencurahkan kasih sayang yang tiada henti bagi penulis.

6.Keluarga dan teman-teman yang selalu mendukung dan membantu dalam selesainya penulisan Karya Tulis Ilmiah ini.


 Semoga pengalaman dalam membuat Karya Tulis Ilmiah ini dapat memberikan hikmah bagi semua pihak. Mengingat penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini masih jauh dari kata sempurna, penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat menjadi masukan berharga sehingga menjadi acuan untuk penelitian selanjutnya.

Yogyakarta, 03 Mei 2016 Penulis


(7)

vi

Daftar Isi

KARYA TULIS ILMIAH ...i

HALAMAN PENGESAHAN KTI ……….ii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN………..iii

KATA PENGANTAR ………...iv

DAFTAR ISI ………...v

DAFTAR TABEL ………...………viii

DAFTAR GAMBAR ……….ix

DAFTAR SINGKATAN ………x

DAFTAR LAMPIRAN ………..xi

INTISARI ………...xii

ABSTRACT………..xii

i BAB I PENDAHULUAN ………...1

A. Latar Belakang Masalah ………...………..1

B. Rumusan Masalah ………...3

C. Tujuan Penelitian ………4

D. Manfaat Penelitian ………..4

E. Keaslian Penelitian ………...4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………....7

A. Tinjauan Pustaka ………....7

1. Lensa Kristalina ……….7

2. Katarak ………...9

3. Teknik Bedah Katarak ………...…...11

4. Fakoemulsifikasi ………...12

5. Komplikasi Bedah Katarak ………...14


(8)

vii

C. Hipotesis ………...……18

BAB III METODE PENELITIAN ………...……19

A Desain Penelitian ………...…………...19

B. Populasi dan Sampel Penelitian ………19

C. Lokasi dan Waktu Penelitian ………21

D. Variabel Penelitian ………21

E. Definisi Operasional ………...…..22

F. Instrumen Penelitian ………...…………..22

G. Cara Pengumpulan Data ………...22

H. Analisis Data ……….24

I. Etika Penelitian ……….25

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………..27

A. Hasil Penelitian ……….27

B. Pembahasan ………..30

C. Kekuatan Penelitian ………..32

D. Keterbatasan Penelitian ………32

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………...34

A. Kesimpulan ………...34

B. Saran ……….34

DAFTAR PUSTAKA ………...36


(9)

viii

DAFTAR TABEL

1. Tabel 1. Jumlah dan Jenis kelamin………...29 2. Tabel 2. Riwayat Bedah dan Penyakit yang ditemukan………...29 3. Tabel 3. Daftar komplikasi dan Presentase Terjadinya………...…..30


(10)

ix

DAFTAR GAMBAR

1. Skema Kerangka Konsep………...17


(11)

x

DAFTAR SINGKATAN

CME - Cystoid Macular Edema (hal 4, 13, 16, 27, 31, 32) ECCE – Extra Capsular Cataract Extraction (hal 4, 11) EKEK – Ekstraksi Katarak Ekstrakapsular (hal 6)

MSICS – Manual Small Incision Cataract Surgery (hal 5, 11, 12) NEI – National Eye Institutes (hal 14)

OCT – Optical Koherence Tomography (hal 4)

PKU – Pelayanan Kesehatan Umat (hal Xii, Xiii, 3, 19, 21, 23, 24, 25, 26, 27, 29, 32, 34)

SICS – Small Incision Cataract Surgery (hal 5) SMK – Sindroma Mata Kering (hal 5)


(12)

xi

DAFTAR LAMPIRAN


(13)

xii

INTISARI

Latar belakang: Katarak merupakan penyebab utama kebutaan dan gangguan penglihatan di seluruh dunia, oleh karena itu bedah katarak menjadi tindakan bedah yang paling banyak dilakukan oleh dokter spesialis mata.Tujuan: Untuk mengetahui komplikasi yang paling sering muncul paska bedah katarak dengan teknik fakoemulsifikasi. Metode: Restrospektif analitik dengan melihat rekam medis pasien yang menjalani operasi katarak dengan fakoemulsifikasi di RS PKU Muhammadiyah unit 1 Yogyakarta pada periode Juni 2013 – Juni 2014. Analisis data yang digunakan analisis deskriptif yang merupakan prosedur statistik untuk menguji generalisasi hasil penelitian yang didasarkan atas satu variable. Hasil: Lebih banyak pasien Perempuan ( 56,5 %) daripada Laki-laki (43,5%). Terlihat adanya komplikasi Edema Macular Sistoid yang berjumlah 1 orang (1,1%) dari total 92 rekam medis dan tidak di temukan komplikasi lainnya. Kesimpulan: bedah katarak menggunakan teknik Fakoemulsifikasi di RS PKU Muhammadiyah 1 Yogyakarta menghasilkan angka komplikasi pasca bedah sebesar 1,1 % dari semua pasien yang di operasi.


(14)

xiii

ABSTRACT

Background : Cataract is the main caused of blindness and visual impairment in this world, therefore cataract surgery become the best solution that usually done by oculist Aim : To find out the most common complications that appear post-cataract surgery with phacoemulsification technique Method : Retrospective analytic view medical records of patients who undergo the cataract surgery with phacoemulsification technique in PKU Muhammadiyah unit 1 Yogyakarta hospital in the period of june 2013-june 2014. Data analysis used descriptive analysis that is statistical procedure to test the generalizability of research result based on one variable. Result : There are more female patients (56,5%) than male patients (43,5%). Found complication of Macular Edema Cistoid in one patient (1,1%) of the total 92 medical records and not found another complication. Conclusion : Cataract surgery using phacoemulsification technique in PKU Muhammadiyah unit 1 Yogyakarta hospital produce post-cataract surgery complication rate of 1,1% of all patients in surgery.


(15)

(16)

(17)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Angka kebutaan di Indonesia adalah yang tertinggi yaitu 1,5% dari jumlah penduduk dibandingkan dengan angka kebutaan negara-negara di Regional Asia Tenggara (Bangladesh 1%, India 0,7%, Thailand 0,3%). Penyebab utamanya adalah katarak yakni sebanyak 2 juta orang dan setiap tahun bertambah sekira 240 ribu penderita katarak baru. Menurut data survei kesehatan rumah tangga kesehatan nasional (SKTR-SUSKERNAS), prevalensi katarak di Indonesia sebesar 4,99%, prevalensi katarak di Jawa dan Bali sebesar 5,48% lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya (Departemen Kesehatan RI, 2009; Kementerian Kesehatan RI, 2005).

Katarak merupakan penyebab utama kebutaan dan gangguan penglihatan di seluruh dunia, oleh karena itu bedah katarak menjadi tindakan bedah yang paling banyak dilakukan oleh dokter spesialis mata. Sejalan perkembangan ilmu kedokteran dan teknologi, maka terjadi pula perubahan yang evolutif maupun revolusioner dalam pembedahan katarak. Hal itu sejalan dengan perubahan paradigma oftalmologi dari rehabilitasi kebutaan menjadi optimalisasi fungsi penglihatan. Optimalisasi fungsi penglihatan akan meningkatkan kualitas kehidupan karena mata merupakan jalur utama informasi sehari-hari


(18)

2

(Purba dkk., 2010; Ilyas, 2004).

Tindakan bedah katarak bertujuan untuk menghasilkan optimalisasi fungsi penglihatan bercirikan pemulihan yang cepat, terukur dengan efek samping yang minimal, stabilitas jangka panjang, serta memberikan kepuasan pada penderita (Soekardi dan Hutauruk, 2004). Banyak teknik untuk melakukan bedah katarak tetapi yang paling sering dilakukan saat ini adalah fakoemulsifikasi. Tidak semua bedah katarak mencapai tujuan, banyak faktor yang mempengaruhinya termasuk komplikasi pembedahan. Terdapat 20 pasien dari 396 kasus bedah (5%) yang menglami komplikasi pasca bedah fakoemulsifikasi (Richard dkk,1998). Komplikasi operasi katarak sangat bervariasi tergantung waktu serta ruang lingkupnya (Henderson dkk., 2007; Purba dkk., 2010). Komplikasi dapat terjadi pada periode intraoperatif diantaranya iris prolaps, trauma iris, hifema, robek kapsul posterior dan vitreous loss. Komplikasi pasca operasi diantaranya edema kornea dan endoftalmitis, bullous keratopathy, malposisi/ dislokasi lensa intra okular (LIO), cystoid macular edema (CME), ablasio retina, uveitis, peningkatan tekanan intra okular dan posterior capsular opacification (American Academy of Ophthalmology , 2011-2012c).

Kendala yang terjadi dalam penanganan kesehatan mata antara lain belum memadainya jumlah tenaga kesehatan terkait dibanding jumlah penduduk, belum meratanya distribusi tenaga kesehatan terkait (70 persen dokter mata berada di kota besar, terutama di Jawa), terbatasnya puskesmas (hanya 28 persen) yang memiliki fasilitas pemeriksaan kesehatan mata dasar, serta lemahnya manajemen


(19)

3

penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan dari pusat maupun daerah. (Gizi.net, 2010)

Terdapat ayat pada Al Quran yang membahas tentang penglihatan yaitu :

Artinya : “Alangkah tajam pendengaran mereka dan alangkah terang penglihatan mereka pada hari mereka datang kepada kami. Tetapi orang-orang yang zalim pada hari ini (di dunia) berada dalam kesesatan yang nyata” (QS Maryam ayat 38).

Pembahasan : manusia banyak yang terlena oleh dunia, padahal dunia beserta isinya akan ditinggalkan penghuninya dan akan diwarisi oleh Allah, lalu mereka dikembalikan kepada-Nya untuk diberikan balasan. Oleh karena itu, barang siapa yang mengerjakan kebaikan, maka pujilah Allah, dan barang siapa yang mengerjakan selain itu, maka janganlah ada yang ia cela selain dirinya. Maka dari itu kita harus merawat mata dan menggunakannya untuk melihat hal hal yang positif.

B. Rumusan Masalah

Apa saja dan berapa angka kejadian komplikasi yang terjadi pasca bedah katarak dengan teknik fakoemulsifikasi di RS PKU Muhammadiyah 1 Yogyakarta?


(20)

4

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum :

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui komplikasi yang ada paska bedah katarak dengan teknik fakoemulsifikasi.

2. Tujuan Khusus :

Untuk mengetahui komplikasi yang paling sering muncul paska bedah katarak dengan teknik fakoemulsifikasi.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi pasien atau masyarakat dan umum

Hasil penelitian diharapkan dapat menambah pengetahuan masyarakat tentang komplikasi yang ada dan tersering setelah dilakukan bedah katarak dengan teknik fakoemulsifikasi.

2. Bagi peneliti selanjutnya

Dapat menjadi referensi atau data untuk penelitian yang lebih lanjut.

E. Keaslian Penelitian

1. Insiden Cystoid Macular Edema Pasca Bedah Katarak Teknik Fakoemulsifikasi Lebih Rendah Secara Klinis Daripada Teknik Manual Small Insicion Cataract Surgery , oleh Mia Purnama, Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, 2014. Untuk mengetahui perbedaan insiden CME menggunakan OCT pada pasien pasca bedah katarak dengan teknik fakoemulsifikasi dan pasien pasca bedah katarak dengan teknik MSICS. Penelitian ini merupakan suatu penelitian randomized open label clinical


(21)

5

trial untuk mengetahui perbedaan insiden cystoid macular edema (CME) pada pasien pasca bedah katarak teknik fakoemulsifikasi dan pada pasien pasca bedah katarak teknik manual small incision cataract surgery (MSICS). Hasil penelitian diperoleh insiden cystoid macular edema (CME) pada pasien katarak senilis yang dilakukan ektraksi katarak dengan teknik fakoemulsifikasi lebih rendah secara klinis daripada teknik MSICS.

2. Pengaruh Jenis Insisi pada Operasi Katarak terhadap Terjadinya Sindroma Mata Kering, oleh Retnaniadi S dan Herwindo Dicky P, Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol. 27 No. 1, Februari 2012. Untuk mengetahui hubungan jenis insisi pada operasi katarak terhadap terjadinya sindroma mata kering (SMK). Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional pada 36 sampel yang dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan jenis insisi pada operasi katarak, yaitu kelompok Extra Capsular Cataract Extraction (ECCE), kelompok Small Incision Cataract Surgery (SICS), dan kelompok fakoemulsifikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok ECCE paling banyak menyebabkan SMK, kelompok Fakoemulsifikasi lebih sedikit dari kelompok ECCE, dan kelompok SICS paling sedikit menyebabkan SMK.

3. Pengaruh Operasi Katarak Insisi Lebar Terhadap Sensibilitas Kornea dan Kejadian Dry Eye, oleh Paramastri Arintawati, Norma D.Handojo, Siti Sundari Suteja, Medical Hospitalia, Vol 1 (2):103-107 2012. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui derajat penurunan sensibilitas kornea pada


(22)

6

penderita pasca operasi katarak dan hubungannya dengan kejadia dry eye. Penelitian ini dilakukan dengan metode quasi experiment, one group pre-post test design. Hasil penelitian ini terdapat penurunan sensibilitas kornea yang bermakna pada penderita pasca operasi EKEK namun tidak berhubungan dengan perubahan hasil uji pemeriksaan dry eye.


(23)

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

a. Tinjauan Pustaka

1. LENSA KRISTALINA

ANATOMI

Lensa adalah suatu struktur bikonveks, avaskular tak berwarna dan transparan. Tebal sekitar 4 mm dan diameternya 10 mm. Dibelakang iris lensa digantung oleh zonula ( zonula Zinnii) yang menghubungkannya dengan korpus siliare. Di sebelah anterior lensa terdapat humor aquaeus dan disebelah posterior terdapat vitreus. Lensa terdiri dari enam puluh lima persen air, 35% protein, dan sedikit sekali mineral yang biasa ada di jaringan tubuh lainnya. Kandungan kalium lebih tinggi di lensa daripada di kebanyakan jaringan lain. Asam askorbat dan glutation terdapat dalam bentuk teroksidasi maupun tereduksi. Tidak ada serat nyeri, pembuluh darah ataupun saraf di lensa. ( American Academy of Opthalmology. 2005-2006)

Kapsul Lensa

Kapsul lensa adalah suatu membran semipermeabel yang dapat dilewati air dan elektrolit. Disebelah depan terdapat selapis epitel subkapsular. Nukleus len


(24)

8

lebih keras daripada korteksnya. Sesuai dengan bertambahnya usia, serat-serat lamelar subepitel terus diproduksi, sehingga lensa lama-kelamaan menjadi kurang elastic.

FISIOLOGI LENSA

Fungsi utama lensa adalah memfokuskan berkas cahaya ke retina. Untuk memfokuskan cahaya yang datang dari jauh, otot- otot siliaris relaksasi, menegangkan serat zonula dan memperkecil diameter anteroposterior lensa sampai ukurannya yang terkecil, daya refraksi lensa diperkecil sehingga berkas cahaya paralel atau terfokus ke retina. Untuk memfokuskan cahaya dari benda dekat, otot siliaris berkontraksi sehingga tegangan zonula berkurang. Kapsul lensa yang elastik kemudian mempengaruhi lensa menjadi lebih sferis diiringi oleh peningkatan daya biasnya. Kerjasama fisiologik tersebut antara korpus siliaris, zonula, dan lensa untuk memfokuskan benda dekat ke retina dikenal sebagai akomodasi. Seiring dengan pertambahan usia, kemampuan refraksi lensa perlahan-lahan berkurang.

Metabolisme Lensa Normal

Transparansi lensa dipertahankan oleh keseimbangan air dan kation (sodium dan kalium). Kedua kation berasal dari humour aqueous dan vitreous. Kadar kalium di bagian anterior lensa lebih tinggi di bandingkan posterior. Dan kadar natrium di bagian posterior lebih besar. Ion K bergerak ke bagian posterior dan keluar ke aqueous humour, dari luar Ion Na masuk secara difusi dan bergerak ke bagian anterior untuk menggantikan ion K dan keluar melalui pompa aktif


(25)

Na-9

K ATPase, sedangkan kadar kalsium tetap dipertahankan di dalam oleh Ca-ATPase. Metabolisme lensa melalui glikolsis anaerob (95%) dan HMP-shunt (5%). Jalur HMP shunt menghasilkan NADPH untuk biosintesis asam lemak dan ribose, juga untuk aktivitas glutation reduktase dan aldose reduktase. Aldose reduktse adalah enzim yang merubah glukosa menjadi sorbitol, dan sorbitol dirubah menjadi fructose oleh enzim sorbitol dehidrogenase. (Diah dkk, 2011)

2. KATARAK

Katarak merupakan suatu kelainan mata berupa kekeruhan pada lensa, disebabkan oleh pemecahan protein oleh proses oksidasi dan foto-oksidasi (Sihota dan Tandan, 2007). Katarak adalah suatu keadaan patologik lensa dimana lensa menjadi keruh akibat hidrasi cairan lensa atau denaturasi protein lensa. Kekeruhan itu terjadi akibat gangguan metabolisme normal lensa yang dapat timbul pada berbagai usia tertentu. Katarak dapat dapat terjadi pada saat perkembangan serat lensa berhenti dalam perkembangannya dan telah memulai proses degenerasi (Ilyas, 2006).

Klasifikasi katarak berdasarkan onset usia terjadinya dibagi menjadi katarak kongenital, katarak juvenil, dan katarak senilis (Ilyas, 2004). Katarak senilis merupakan jenis katarak yang paling banyak ditemukan. Pasien katarak senilis diperkirakan mencapai 90% dari seluruh kasus katarak (American Academy of Ophthalmology, 2011-2012a). Katarak senilis adalah kekeruhan lensa yang terjadi karena proses degenerasi dan biasanya mulai timbul pada usia diatas 40 tahun (Ilyas, 2004; Sihota dan Tandan, 2007). Berdasarkan maturitasnya katarak


(26)

10

senilis dibagi menjadi 4 stadium yaitu stadium insipien, stadium imatur, stadium matur dan stadium hipermatur (Ilyas, 2004).

Pada stadium dini pembentukan katarak, protein dalam serabut-serabut lensa dibawah kapsul mengalami denaturasi. Lebih lanjut, protein tadi berkoagulasi membentuk daerah keruh menggantikan serabut-serabut protein lensa yang dalam keadaan normal seharusnya transparan

Bila suatu katarak telah menghalangi cahaya dengan hebat sehingga mengganggu penglihatan , keadaan itu dapat diperbaiki dengan cara mengangkat lensa melalui operasi. Bila ini dilakukan, mata kehilangan sebagian besar daya biasnya, dan harus digantikan dengan lensa konveks yang kuat didalam mata, namun biasanya ditanam sebuah lensa plastic buatan di dalam mata pada tempat lensa dikeluarkan (Guyton & Hall edisi 11)

Klasifikasi Katarak

Menurut Ilyas (2006), katarak dapat diklasifikasikan ke dalam golongan sebagai berikut yaitu : a) katarak perkembangannya (developmental) dan degenerative, b) katarak kongenital, juvenile dan senil, c) katarak komplikata, d) katarak traumatik.

Penyebab terjadinya kekeruhan lensa dapat digolongkan sebagai berikut yaitu : a) Primer, berdasarkan gangguan perkembangan dan metabolism dasar lensa, b) Sekunder, akibat tindakan pembedahan lensa, c) Komplikasi penyakit.


(27)

11

berikut yaitu: a) Katarak Kongenital yaitu katarak yang terlihat pada usia dibawah 1 tahun, b) Juvenil yaitu katarak yang terlihat pada usia 1 tahun dan dibawah usia 40 tahun, c) Katarak Persenil yaitu katarak sesudah usia 30-40 tahun, d) Katarak Senil yaitu katarak yang mulai terjadi pada usia lebih dari 40 tahun.

3. TEKNIK BEDAH KATARAK

a. Fakoemulsifikasi

Fakoemulsifikasi adalah teknik ekstraksi katarak menggunakan sayatan kecil sekitar 1,5 mm sampai 3 mm dengan implantasi lensa intra okular lipat (foldable) sehingga penutupan luka dapat tanpa jahitan. Cara kerja sistem fakoemulsifikasi adalah menghancurkan lensa melalui ultrasonic probe yang mempunyai tip needle yang mampu bergetar dengan frekuensi yang sangat tinggi yaitu setara dengan frekuensi gelombang ultrasound (American Academy of Ophthalmology , 2011-2012c).

b.Manual Small Incision Cataract Surgery

Manual Small incision cataract surgery (MSICS) merupakan teknik alternatif dari fakoemulsifikasi. Teknik ini memberikan keuntungan dalam pengaturan, medis, sosial ekonomi, biaya dan tidak bergantung pada mesin. Aspek-aspek ini yang memungkinkan teknik ini dilakukan di beberapa negara berkembang. MSICS merupakan bagian dari teknik ECCE, namun MSICS memiliki beberapa keuntungan dibandingkan ECCE konvensional diantaranya stabilitas luka dan stabilitas refraksi yang lebih baik karena insisi luka yang kecil 5-6 mm, kenyamanan pasien karena penyembuhan visual yang lebih cepat,


(28)

12

kesempatan terjadinya kolaps bilik mata depan intra operatif yang minimal serta komplikasi intra operatif lainnya dan minimalnya kunjungan pasca operasi .MSICS tidak memerlukan investasi alat yang mahal, dan transfer keterampilan terhadap operator pemula juga dapat dilakukan dengan baik. Hal ini menjadi pertimbangan penggunaan teknik MSICS sebagai teknik yang aman dan efektif untuk bedah katarak terutama di negara berkembang (Dhanapal dkk., 2010; Natchiar, 2000)

4. FAKOEMULSIFIKASI

Operasi fakoemulsifikasi katarak adalah prosedur di mana perangkat ultrasonik digunakan untuk memecah dan kemudian menghapus lensa keruh dari mata untuk meningkatkan daya penglihatan. Penyisipan sebuah lensa intraokular (IOL) biasanya segera di lakukan setelah proses bedah dengan fakoemulsifikasi.

Definisi

Fakoemulsifikasi adalah variasi dari ekstraksi katarak ekstrakapsular, suatu prosedur dimana lensa dan bagian depan kapsul akan dihapus (www.surgeryencyclopedia.com)

Fakoemulsifikasi adalah teknik ekstraksi katarak menggunakan sayatan kecil sekitar 1,5 mm sampai 3 mm dengan implantasi lensa intra okular lipat (foldable) sehingga penutupan luka dapat tanpa jahitan. Cara kerja sistem fakoemulsifikasi adalah menghancurkan lensa melalui ultrasonic probe yang mempunyai tip needle yang mampu bergetar dengan frekuensi yang sangat tinggi yaitu setara dengan frekuensi gelombang ultrasound (American Academy of


(29)

13

Ophthalmology, 2011-2012c). Massa lensa yang sudah dihancurkan akan diaspirasi melalui rongga pada tip fakoemulsifikasi untuk kemudian dikeluarkan dari dalam mata melalui selang aspirasi pada mesin fakoemulsifikasi (Soekardi dan Hutauruk, 2004; Khurana, 2007). Teknologi mesin fakoemulsifikasi saat ini sudah memungkinkan mengeluarkan lensa dengan teknik fako bimanual, sehingga insisi kornea hanya sebesar 1,5 mm saja (Purba dkk., 2010).

Tujuan

Tujuan dari teknik operasi ini adalah agar penderita katarak dapat memperoleh tajam penglihatan terbaik tanpa koreksi dengan cara membuat sayatan sekecil mungkin untuk mengurangi induksi astigmatisme pasca operasi (Soekardi dkk, 2004). Prosedur ini efisien, terutama jika operasi yang lancar umumnya dikaitkan dengan hasil penglihatan yang baik. Seperti insiden CME pada teknik fakoemulsifikasi yang mengalami komplikasi intra operatif lebih rendah karena konstruksi insisi luka yang kecil dan stabilitas yang lebih besar dibandingkan dengan teknik bedah katarak lain (Nishino dkk., 2008). Kelemahan fakoemulsifikasi diantaranya mesin yang mahal, learning curve lebih lama, dan biaya pembedahan yang tinggi (Khurana, 2007).

Demografi

Seiring bertambahnya usia, katarak cenderung akan terbentuk. National Eye Institute (NEI) melaporkan dalam studi 2002 bahwa lebih dari setengah dari semua penduduk Amerika Serikat yang berusia 65 tahun dan lebih memiliki


(30)

14

katarak. Orang yang merokok memiliki risiko yang lebih tinggi terkena katarak. Peningkatan paparan sinar matahari tanpa pelindung mata juga menjadi penyebab terjadinya katarak. Katarak juga dapat terjadi karena cedera, paparan racun, atau penyakit seperti diabetes. Katarak kongenital disebabkan oleh cacat genetik atau masalah perkembangan, atau paparan beberapa penyakit menular selama kehamilan.

Menurut NEI, katarak lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria, dan ras Kaukasia memiliki katarak lebih sering daripada ras lain. Orang-orang yang tinggal dekat atau di daerah khatulistiwa juga berada pada risiko yang lebih tinggi untuk terjadi katarak karena peningkatan paparan sinar matahari.

Lebih dari 1,5 juta operasi katarak yang dilakukan di Amerika Serikat setiap tahun. Hindia melaporkan bahwa pemerintah federal, melalui Medicare, menghabiskan lebih dari $ 3.400.000.000 setiap tahun mengobati katarak. (www.surgeryencyclopedia.com)

5. KOMPLIKASI BEDAH KATARAK

Terdapat banyak komplikasi yang bisa terjadi dari operasi katarak dan komplikasi ini dibagi menjadi :

a. Intraoperation

Selama fakoemulsifikasi, ruangan anterior mungkin akan menjadi dangkal karena pemasukan yang tidak adekuat dari keseimbangan solution garam kedalam ruangan anterior, kebocoran akibat insisi yang terlalu lebar, tekanan luar


(31)

15

bola mata, tekanan positif pada vitreus, perdarahan pada suprachoroidal (Ilyas, 2007)

b. Postoperation

Komplikasi selama postoperative dibagi dalam Early Complication Post Operation dan Late Complication Post Operation meliputi : a) Hilangnya vitreous yaitu jika kapsul posterior mengalami kerusakan selama operasi maka gel vitreous dapat masuk kedalam bilik anterior, yang merupakan resiko terjadinya glaucoma atau traksi pada retina. Keadaan ini membutuhkan pengangkatan dengan satu instrument yang mengaspirasi dan mengeksisi gel (vitrektomi) (Ilyas, 2007). b) Endoftalmitis yaitu peradangan di bagian dalam mata, termasuk rongga sentral mata yang berisi cairan vitreus. Peradangan juga mempengaruhi jaringan sekitarnya yang bertanggung jawab untuk penglihatan. Dalam kebanyakan kasus, peradangan dipicu oleh infeksi bakteri, jamur, virus atau parasit.( http://kamuskesehatan.com/arti/endoftalmitis). c) Ablasio retina. Adalah terpisah atau terlepasnya retina dari jaringan penyokong dibwahnya. Penyebabnya adalah retina merupakan selaput transparan di mata bagian belakang yang mengolah gambar yang difokuskan di retina oleh kornea dan lensa. Ablasio retina bisa bermula pada suatu area yang kecil, biasanya akibat robekan pada retina. Jika tidak segera diobati, seluruh retina dapat ikut terlepas. Ketika retina terlepas, maka retina terpisah dari lapisan yang mensuplai darah ke retina. Jika tidak dilekatkan kembali, maka dapat terjadi kerusakan menetap pada retina akibat kekurangan darah (http://medicastore.com). d) Edema macular sistoid. CME


(32)

16

adalah pembentukan ruang kista yang berisi cairan antara lapisan outer plexiform dan lapisan inner nuclear retina yang dihasilkan dari terganggunya sawar darah retina pada makula. Efek pada fungsi penglihatan tergantung pada derajat keparahannya. CME dapat menyebabkan penglihatan kabur atau terganggu (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012b). e) edema kornea permanen. Kornea berfungsi sebagai media pembiasan kuat, memberikan kontribusi bagi kekuatan focus maksimum dari mata. Kornea disimpan transparan untuk kejelasan visi maksimum dengan memasok oksigen dari air mata dan pemompaan air dari lapisan endotelium. Ketika ada hidrasi yang berlebihan atau akumulasi cairan di bagian kornea, maka hal itu menyebabkan pembengkakan kornea masalah mata yang umum disebut sebagai edema kornea.

Penyebab dan gejala

Disebabkan oleh masalah yang berhubungan dengan dehidrasi, infeksi virus, gangguan endotel, operasi mata, luka trauma, tekanan okular meningkat, dan lain-lain. Di antaranya, distrofi Fuch endotel adalah penyebab paling umum dari edema ini. Ada gangguan herediter, ditandai dengan hilangnya lambat dan bertahap dari sel endotel. Perempuan memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap distrofi endotel dibandingkan pria. Infeksi oleh virus herpes dapat menyebabkan respon inflamasi pada kornea, yang menyebabkan edema. Edema kornea juga dapat terjadi segera atau beberapa tahun setelah dilakukan dalam setiap jenis

operasi mata. Ini dapat terjadi karena penurunan lapisan endoteloleh radiasi USG,

kerusakan membran descemet, dan / atau infus obat beracun di kornea.Selain itu, obat topikal dan sistemik yang kuat dapat menyebabkan kondisi edema kornea.


(33)

17

Gejala awal yang paling menonjol dari edema kornea adalah terdistorsi atau pandangan kabur, ketidaknyamanan mata, fotofobia (sensitivitas meningkat terhadap cahaya), dankepekaan terhadap partikel asing. Gejala dapat berkembang menjadi rasa sakit parah di mata karena kerusakan saraf kornea. Pseudophakic bulosa keratopati (PBK) yang menghasilkan pembentukan berisi cairan bula atau

lepuh biasanya timbul setelah operasi katarak(www.scribd.com).

6. Kerangka Konsep

Pada penelitian ini memiliki kerangka konsep sebagai berikut:

Katarak

1. Hilangnya vitreous

2. Endoftalmitis

3. Ablasio retina

4. Edema macular sistoid 5. Edema kornea

permanen

Operasi dengan teknik facoemulsifikasi

Komplikasi pasca operasi


(34)

18

7. Hipotesis

Insiden komplikasi pasca bedah katarak dengan teknik fakoemulsifikasi sangat rendah yaitu di bawah 5% dari jumlah pasien katarak yang di operasi.


(35)

19

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah restrospektif analitik dengan melihat rekam medis pasien yang menjalani operasi katarak dengan fakoemulsifikasi di RS PKU Muhammadiyah unit 1 Yogyakarta.

B. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi Penelitian

Populasi pada penelitian ini adalah penderita katarak yang melakukan operasi menggunakan teknik fakoemulsifikasi di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta unit I pada periode juni 2013 sampai dengan juni 2014.

2. Sampel Penelitian a. Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah dengan menggunakan data sekunder yaitu rekam medis pasien katarak yang dioperasi menggunakan fakoemulsifikasi di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta unit I yaitu rekam medis pasien katarak pada periode Juni 2013 sampai juni 2014.


(36)

20

b. Besarnya Sampel

Pada penelitian ini menggunakan sampling jenuh. Pengertian Sampling Jenuh atau Definisi Sampling Jenuh adalah teknik penentuan sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel. Hal ini sering dilakukan bila jumlah populasi relatif kecil, kurang dari 30 orang, atau penelitian yang ingin membuat generalisasi dengan kesalahan yang sangat kecil. (http://gerrytri.blogspot.com/2013)

Jumlah sampel pada penelitian ini berjumlah 106 rekam medis dari jumlah pasien katarak periode Juni 2013 – Juni 2014.

c. Kriteria Sampel

Kriteria sampel pada penelitian ini ada dua macam, yaitu : 1) Kriteria Inklusi

- Pasien katarak senilis yang dioperasi dengan fakoemulsifikasi - Pasien laki laki atau perempuan

- Berusia >45 tahun

2) Kriteria Eksklusi :

- Tidak datang lagi pada saat evaluasi - Riwayat diabetes melitus

- Riwayat bedah intraokuler - Riwayat trauma mata


(37)

21

- Riwayat infeksi intraokuler - Riwayat glaukoma

- Rekam medis yang tidak lengkap

C. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta unit I.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juli hingga Oktober 2015.

D. Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah setiap hal dalam suatu penelitian yang datanya ingin diperoleh (Sukardi, 2005). Terdapat dua variabel pada penelitian ini, yaitu: 1. Variabel bebas

Variabel bebas pada penelitian ini adalah operasi menggunakan teknik fakoemulsifikasi.

2. Variabel terikat

Variabel terikat pada penelitian ini adalah komplikasi pasca operasi katarak.


(38)

22

E. Definisi Operasional

Definisi operasional yang digunakan pada penelitian ini adalah :

1. Fakoemulsifikasi adalah teknik ekstraksi katarak dengan insisi luka di kornea 1,5-3 mm menggunakan mesin fakoemlusifikasi dengan implantasi LIO akrilik yang dapat dilipat (foldable).

2. Operator adalah dokter spesialis mata yang berpengalaman dalam bedah katarak.

3. Komplikasi pasca operatif adalah komplikasi yang terjadi setelah dilakukan operasi termasuk diantaranya hilangnya vitreus, endoftalmitis, ablasio retina, edema makular sistoid, edema kornea permanen.

F. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat dan bahan yang digunakan dalam suatu penelitian. Instrumen dalam penelitian ini adalah rekam medis.

G. Cara Pengumpulan Data

1. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subjek dan proses pengumpulan karakteristik subjek yang diperlukan dalam suatu penelitian (Nursalam, 2003). Pengumpulan data dalam penelitian ini dilaksanakan dalam beberapa tahap, yaitu:


(39)

23

a. Tahap persiapan

Kegiatan dalam tahap persiapan ini adalah telaah masalah, penetapan topik penelitian, telaah pustaka, penyusunan proposal, penyusunan instrumen penelitian, dan penyelesaian ijin penelitian. Tahap persiapan ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai bulan April 2015.

b. Tahap pelaksanaan

Tahap pelaksanaan dilakukan pada bulan Mei sampai Agustus 2015. Diawali dengan pemberian surat ijin penelitian kepada pihak rumah sakit yang akan dijadikan tempat penelitian, dalam hal ini RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Kemudian peneliti melakukan pengambilan data sekunder melalui rekam medis.

Kriteria ekslusi Pasien Katarak Senilis

Kriteria inklusi

Semua pasien katarak senilis yang di operasi dengan teknik fakoemulsifikasi di RS PKU MUHAMMADIYAH 1 Yogyakarta

Rekam medis

Sampel penelitian


(40)

24

Gambar 1. Rencana Alur Pelaksanaan Penelitian

c. Tahap akhir

Pada tahap akhir, setelah pengumpulan dan pengolahan data selesai dilakukan, peneliti menyusun laporan penelitian dan kesimpulan dan dilanjutkan dengan seminar hasil yang akan dilakukan pada bulan Mei tahun 2016.

2. Jenis Data

Data dalam penelitian ini didapatkan dari laporan rekam medik di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta unit I dalam rentang waktu dari Juni 2013- Juni 2014. Data tersebut menunjukkan jumlah pasien yang mengalami katarak.

H. Analisis Data

Analisa data adalah mengelompokkan data berdasarkan variabel dan jenis responden, mentabulasi data berdasarkan variabel dari seluruh responden, menyajikan data dari tiap variabel yang diteliti, melakukan perhitungan untuk menjawab rumusan masalah, dan melakukan perhitungan untuk menguji hipotesis. Analisa data dilakukan untuk menjawab hipotesis penelitian, oleh karena itu diperlukan uji statistik yang sesuai dengan variabel penelitian (Sudaryanto, 1993).

Analisis deskriptif merupakan prosedur statistik untuk menguji generalisasi hasil penelitian yang didasarkan atas satu variabel. Uji ini bergantung pada jenis data (nominal-ordinal-interval/rasio). Jenis teknik statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis deskriptif harus sesuai dengan jenis data atau variabel berdasarkan skala pengukurannya. Berikut ini diberikan tabel yang


(41)

25

berisikan jenis variabel dan teknik statistik yang dapat dan sering dipakai dalam analisis komparasi (Hasan, 2002).

I. Etika Penelitian

Dalam melakukan penelitian, peneliti memperhatikan masalah etik, diantaranya :

1. Informed consent (lembar persetujuan), diberikan pihak rumah sakit yang sebelumnya telah dijelaskan terlebih dahulu tentang jalannya penelitian .

2. Anonimity (kerahasiaan identitas), kerahasiaan identitas pasien pada rekam medis dijaga oleh peneliti dan hanya digunakan semata-mata untuk kepentingan penelitian.

3. Confidentiality (kerahasiaan informasi), kerahasiaan informasi pasien dijamin peneliti hanya kelompok data yang valid yang akan dilaporkan sebagai hasil penelitian.


(42)

26

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Gambaran Umum Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama bulan Mei sampai bulan Agustus 2015 di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta unit 1 yang terletak di pusat kota Yogyakarta.

2. Prosedur Operatif

Fakoemulsifikasi adalah teknik ekstraksi katarak menggunakan sayatan kecil sekitar 1,5 mm sampai 3 mm dengan implantasi lensa intra okular lipat (foldable) sehingga penutupan luka dapat tanpa jahitan. Cara kerja sistem fakoemulsifikasi adalah menghancurkan lensa melalui ultrasonic probe yang mempunyai tip needle yang mampu bergetar dengan frekuensi yang sangat tinggi yaitu setara dengan frekuensi gelombang ultrasound (American Academy of Ophthalmology Staff ).

Penatalaksanaan Preoperatif Disarankan menggunakan sikloplegik dan topikal nonsteroid (NSAID) beberapa hari sampai 1 minggu sebelum operasi katarak. Pemberian topikal NSAID mengurangi inflamasi dan mencegah pupil miosis intraoperasi dan dapat mencegah terjadinya CME dan edema makula. Untuk persiapan lainnya sama dengan persiapan operasi fakoemulsifikasi pada umumnya.


(43)

27

(Chakrabarti A, 2000).

Penatalaksanaan Pascaoperatif sebaiknya dilakukan follow up rutin dan ketat untuk mengetahui terjadinya komplikasi berupa cystoid macular edema (CME), progresifitas retinopati diabetik pada penyulit diabetes mellitus, inflamasi dan glaukoma sekunder. Dapat diberikan steroid topikal, NSAID dan sikloplegik. Komplikasi pasca operasi dapat terjadi awal atau lebih lambat. Pada minggu-minggu awal waspada terjadinya blefaroptosis, edema kornea sedang sampai berat, peningkatan tekanan intraokular, kebocoran luka insisi, iritis ataupun endoftalmitis. Sedangkan komplikasi jangka panjang dapat terjadi pseudophakic bullous keratopathy, iritis kronis, neovaskularisasi iris, posterior capsular opacification

(PCO), edema makula persisten, retinal detachment dan pedarahan vitreus (Chakrabarti A, 2000).

1. Karakteristik responden

Penelitian dilakukan dengan cara melihat data sekunder pasien berupa rekam medis pasien katarak yang di operasi menggunakan fakoemulsifikasi yang telah memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Semua pasien melakukan rawat jalan.

Berikut adalah tabel yang berisi jumlah dan jenis kelamin dari rekam medis yang didapatkan dalam rentang waktu periode Juni 2013 samapai Juni 2014 :


(44)

28

Tabel 1. Jumlah dan Jenis kelamin

Pada table 1. diatas menunjukan bahwa penderita katarak yang datang ke RS PKU Muhammadiyah 1 Yogyakarta pada periode tersebut berjumlah 106 pasien dan yang memenuhi kriteria inklusi maupun ekslusi berjumlah 92 pasien. Dari data tersebut terlihat bahwa lebih banyak pasien Perempuan ( 56,5 %) daripada Laki-laki (43,5%). Sedangkan daftar riwayat penyakit dan riwayat bedah dapat dilihat di table berikut:

Table 2. Riwayat bedah dan penyakit yang ditemukan Riwayat Bedah dan Penyakit Jumlah

Diabetes Melitus 12

Bedah Intraokuler 1

Trauma Mata 0

Penyakit Pada Retina 0

Infeksi Intraokuler 0

Glaukoma 1

Total 14

Jenis Kelamin Jumlah Presentase

Laki laki 40 43,5 %

Perempuan 52 56,5%


(45)

29

Terlihat pada table 2 terdapat beberapa jenis riwayat penyakit maupun bedah yang termasuk dalam kriteria ekslusi. Diabetes Melitus merupakan riwayat penyakit yang paling banyak berjumlah 12 pasien dan ditemukan riwayat glaucoma dan riwayat bedah introkuler yang masing masing berjumlah 1 pasien. Sedangkan daftar komplikasi yang dimaksud dapat dilihat di table berikut beserta presentase terjadinya pasca bedah :

Table 3. Daftar komplikasi dan presentase terjadinya.

Komplikasi Jumlah Presentase

Hilangnya Vitreous 0 0

Endoftalmitis 0 0

Ablasio Retina 0 0

Edema Macular Sistoid 1 1,1%

Edema Kornea Permanen 0 0

TOTAL: 92 1 1,1%

Pada table 3. terlihat adanya komplikasi Edema Macular Sistoid yang berjumlah 1 orang (1,1%) dari total 92 rekam medis dan tidak di temukan komplikasi lainnya.

B. Pembahasan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 92 rekam medis yang digunakan hanya terdapat 1 komplikasi (1,1%) yaitu CME. Hal ini sesuai dengan penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa dari 396 kasus bedah katarak hanya terdapat 20 pasien yang mengalami komplikasi atau sekitar 5 %.


(46)

30

Hanya CME yang terjadi di karenakan Cystoid macular edema (CME) merupakan salah satu komplikasi pasca operasi katarak tersering yang muncul terlambat dan menyebabkan terbatasnya perbaikan tajam penglihatan. CME juga merupakan penyebab paling umum kehilangan penglihatan yang tidak terduga setelah pembedahan katarak yang lancar (Akcay dkk.2012). Cystoid macular edema biasanya muncul pada 3-12 minggu pasca operasi dengan puncak insiden 4-10 minggu, namun pada beberapa kasus dapat muncul terlambat beberapa bulan bahkan beberapa tahun setelah pembedahan (Lobo, 2011; Mentes dkk., 2003).

Insiden CME klinis dilaporkan terjadi sekitar 1-12% tergantung beberapa faktor seperti prosedur pembedahan, komplikasi intra operatif, dan manajemen pasca operasi. Insiden CME klinis di Amerika serikat didapatkan 0,1% sampai 4% pasien

pasca fakoemulsifikasi (Ray & D’amico, 2002; Norregaard dkk., 1999). Insiden CME klinis pada Fakoemulsifikasi tanpa komplikasi intra operatif dengan kapsul posterior yang utuh tingkat kejadian sekitar 0-2% (Mentes dkk., 2003). Teknik pembedahan fakoemulsifikasi menurunkan insiden CME menjadi 1% (Norregaard dkk, 1999). Angka kejadian CME klinis pada pembedahan katarak teknik fakoemulsifikasi sekitar 0,1-2,35%. (Loewenstein & Zur, 2010)

Kebanyakan CME pasca operasi katarak sembuh spontan dalam 6 bulan, namun pada beberapa kasus cenderung menetap (Kwon dkk., 2011). Mata dengan CME 90% akan sembuh dalam kurun waktu 2 tahun (Benitah & Arroyo, 2010). CME pasca operasi yang berlebihan atau terus menerus dapat menyebabkan sawar darah retina (SDR) terganggu sehingga menjadi berkelanjutan sehingga


(47)

31

meningkatkan resiko terjadinya peradangan kronis sehingga pasien tidak mendapatkan penglihatan yang optimal (Reddy & Kim, 2011; Lu dkk., 2012).

C. Kekuatan Penelitian

Pada penelitian Angka Kejadian Komplikasi Pasca Bedah Katarak dengan Teknik Fakoemulsifikasi di RS PKU MUHAMMADIYAH 1 Yogyakarta memiliki hasil yang sama dari penelitian sebelumnya yang menunjukan hasil yang memuaskan yaitu angka kejadian komplikasi kurang dari 5%.

D. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Rekam medis yang di gunakan untuk penelitian kali ini adalah rekam medis yang berada pada era sebelum BPJS sehingga data yang didapat terbatas.

2. Pada penelitian ini, tidak diteliti gaya hidup pasien seperti pola makan, olah raga dan konsumsi rokok yang mungkin saja dapat berpengaruh terhadap komplikasi katarak.

3. Pada penelitian ini, tidak diteliti pengaruh usia dan jenis kelamin dengan efektivitas terapi.


(48)

32

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Penelitian ini menunjukkan hasil bahwa bedah katarak menggunakan teknik Fakoemulsifikasi di RS PKU Muhammadiyah 1 Yogyakarta menghasilkan angka komplikasi pasca bedah sebesar 1,1 % dari semua pasien yang di operasi, hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yaitu angka kejadian kurang dari 5%.

B. Saran

Sesuai dengan hasil dan pembahasan penelitian “Angka Kejadian Komplikasi Pasca Bedah Katarak dengan Teknik Fakoemulsifikasi di RS PKU Muhammadiyah 1 Yogyakarta, maka peneliti menyarankan beberapa hal, diantaranya yaitu :

1. Klinisi dan masyarakat umum

Perlu di pertimbangkan untuk menggunakan teknik fakoemulsifikasi dalam setiap bedah katarak yang memiliki angka komplikasi pasca bedah yang sangat rendah.

2. Peneliti selanjutnya

a. Perlu dilakukan penelitian jangka panjang untuk mengamati komplikasi yang terjadi pasca bedah katarak dengan teknik fakoemulsifikasi.


(49)

33

b. Perlu dilakukan penambahan sampel dan variabel yang lebih banyak agar data yang diperoleh dapat di olah menggunakan SPSS.


(50)

DAFTAR PUSTAKA

Akcay B.I.S., Bozkurt T.K., Guney E., Unlu C., Erdogan G., Akcali G. dan Bayramlar H. 2012. Quantitative analysis of macular thickness following uneventful and complicated cataract surgery. Clinical Ophthalmology, 6: 1507-1511

American Academy of Ophthalmology Staff. 2011-2012a. Fundamental and Principles of Ophthalmology. United State of America: American Academy of Ophthalmology. p. 79-81

American Academy of Ophthalmology Staff. 2011-2012b. Retina and Vitreous.

United State of America: American Academy of Ophthalmology. p. 167- 169 American Academy of Ophthalmology Staff. 2011-2012c. Lens and Cataract. United

State of America: American Academy of Ophthalmology. p. 193- 195

Benitah N.R. dan Arroyo J.G. 2010. Pseudophakic cystoid macular edema. Int Ophthalmol Clin, 50: 139-153

Bobrow JC. Lens and Cataract. American Academy of Opthalmology. Section 11. Edition 2005-2006. San Francisco, USA. p. 19-23, 5-10, 91-105, 199 – 204. Chakrabarati A. (2000). Phacoemulsification in eye with white cataract. J Cataract

Refract Surg

Definisi ablasio retina di unduh dari

http://medicastore.com/penyakit/984/Ablasio_Retina.html (24 April 2015) Definisi dari sampel jenuh diunduh dari

http://gerrytri.blogspot.com/2013/06/teknik-pengambilan-sampel-dalam.html (12 April 2015)

Definisi dan demografi Fakoemulsifikasi diunduh dari

http://www.surgeryencyclopedia.com/Pa-St/Phacoemulsification-for-Cataracts.html (23 maret 2015)

Definisi edema kornea diunduh dari https://www.scribd.com/doc/86625295/Edema-Kornea (24 April 2015)

Definisi endoftalmitis diunduh dari http://kamuskesehatan.com/arti/endoftalmitis/ (24 April 2015)

Departemen Kesehatan RI. (2009). Data Penduduk Sasaran Program Kesehatan Tahun 2007-2011. Pusat Data dan Informasi Departemen Kesehatan RI. Jakarta Dhanapal P. dan Yadalla D. 2010. Eyenet Magazine, how to perform manual small


(51)

Diah. M.,&Fitriah, H (2011, Oktober). Katarak junevil. INSPIRASI no XIV, 38-48 Guyton, A.C., & Hall, J.E., (2012). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. EGC:

Jakarta

Hasan, M. Iqbal. 2002. Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Jakarta: Gralia Indonesia.

Henderson B.A., Kim J.Y., Ament C.S., Ponce Z.K.F., Grabowska A. Dan Cremers S.L. (2007). Clinical pseudophakic cystoid macular edema: Risk factors for development and duration after treatment. J Cataract Refract Surg, 33 :1550-1558

Ilyas S. Penuntun ilmu penyakit mata. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.2006

Ilyas, S. Penglihatan Turun Perlahan Tanpa Mata Merah. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007.p.200-11

Ilyas S. 2004. Ilmu penyakit mata. Edisi ke-3. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. p.205-8 Khurana A.K. 2007. Comprehensive Ophthalmologi. Fourth edition. New Delhi: New Age International. p. 89-202

Kementerian Kesehatan RI. (2005). Rencana Strategi Nasional Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan Untuk Mencapai Vision 2020. Keputusan Menteri Kesehatan. Jakarta

Kwon S.I., Hwang D.J., Seo J.Y. dan Park I.W. 2011. Evaluation of Changes of Macular Thickness in Diabetic Retinopathy after Cataract Surgery. Korean J Ophthalmol, 25(4): 238-242

Lobo C.L. (2011). Pseudophakic Cystoid Macular Edema. Ophthalmologica, 10:1-7

Loewenstein A. · Zur D. Coscas G (ed). 2010. Macular Edema. Dev Ophthalmol. Basel, Karger, vol 47, pp 148–159

Lu Z., Xin Q.Y., Ming L.M. dan Ling W.Y. 2012. Quantitative evaluation by optical coherence tomography of prophylactic efficiency of Praponulin on macular edema after cataract surgery. Chinese medical Journal, 125: 4523- 4525

Mentes J., Erakgun T. dan Afrashi F, Kerci G. 2003. Incidence of cystoid macular edema after uncomplicated phacoemulsification. Ophthalmologica, 217:408-412 Natchiar G. 2000. Manual Small Incision Cataract Surgery: an alternative technique

to instrumental phacoemulsification. India: Aravind Eye Hospital & Postgraduate Institute of Ophthalmology. p. 3-41


(52)

NN. 11 Klasifikasi Katarak diunduh dari http://www.news-medical.net/health/Cataract (23 maret 2015)

Norregaard J.C., Bernth P. dan Bellan L. 1999. Intraoperative clinical practice and risk of early complications after cataract extraction in the United states, Canada, Denmark, and Spain. Ophthalmology, 4: 42-48

Paramastri A., Norma D.H., Siti S.S,. (2012). Pengaruh Operasi Katarak Insisi Lebar terhadap Sensibilitas Kornea dan Kejadian Dry Eye. Medical Hospitalia vol 1 (2) :103-107

Purba D.M., Hutauruk J.A., Riyanto S.B., Istiantoro D.V. dan Manurung F.M. 2010.

A sampai Z Seputar Fakoemulsifikasi. Jakarta: Info JEC. p. 17-51

Purnama, Mia (2014). Insiden Cystoid Macular Edema Pasca Bedah Katarak Teknik Fakoemulsifikasi Lebih Rendah Secara Klinis Daripada Teknik Manual Small Insicion Cataract. Tesis strata dua, Universitas Udayana, Denpasar

Ray S. dan D’Amico D.J. 2002. Pseudophakic cystoid macular edema. Semin Ophthalmol, 17: 167-80

Reddy R. dan Kim S.J. 2011. Critical appraisal of ophthalmic ketorolac in treatment of pain and inflammation following cataract surgery. Clinical Ophthalmology 5: 751-758

Retnaniadi, S., & Herwindo D.P. (2012, Februari). Pengaruh Jenis Insisi pada Operasi Katarak terhadap Terjadinya Sindroma Mata Kering. Jurnal Kedokteran Brawijaya,34-37

Reza. dalam http//pencegahan_katarak_sedinimungkin/Gizi.net. Diakses tanggal 24/3/2015

Richard.P., Corey., Randall.J., Olson.MD, (1998,January). Surgical outcomes of cataract extraction performed by residents using phacoemulsification. Journal of Cataract & Refractive Surgery,vol 24 p 66-72

Sihota R. dan Tandan R. 2007. Parson’s Diseases of The Eye. Indian: Elsevier. p. 247-69

Soekardi I. dan Hutauruk J.A. 2004. Transisi Menuju Fakoemulsifikasi, Langkah- langkah menguasai teknik & menghindari komplikasi. Edisi 1. Jakarta.

Kelompok Yayasan Obor Indonesia. P1-7

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Data. Yogyakarta: DutaWacana University Press.


(53)

(54)

Lampiran 1. Tema dan Kesimpulan KTI

JUDUL KTI: ANGKA KEJADIAN KOMPLIKASI PASCA BEDAH KATARAK DENGAN TEKNIK FAKOEMULSIFIKASI DI RS PKU MUHAMMADIYAH 1 YOGYAKARTA

NAMA : Ichwan Putra Wijaya

NIM : 20120310245

DOSEN PEMBIMBING : dr.H.Imam Masduki,Sp.M.,MS.c

KESIMPULAN

Dari penelitian yang telah dilakukan menunjukkan hasil bahwa bedah katarak menggunakan teknik Fakoemulsifikasi di RS PKU Muhammadiyah 1 Yogyakarta menghasilkan angka komplikasi pasca bedah sebesar 1,1 % dari semua pasien yang di operasi, hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yaitu angka kejadian kurang dari 5%.

Yogyakarta, Mei 2016 Mengetahui,

Dosen Pembimbing Penulis

dr.H.Imam Masduki,Sp.M.,MS.c Ichwan Putra Wijaya


(55)

The Incident of Postoperation Complication with Phacoemulsification at PKU Muhammadiyah Yogyakarta 1

Angka Kejadian Komplikasi Pasca Bedah Katarak dengan Teknik Fakoemulsifikasi di RS PKU Muhammadiyah 1 Yogyakarta

Ichwan Putra Wijaya*, Imam Masduki **

Intisari

Latar belakang : Katarak merupakan penyebab utama kebutaan dan gangguan penglihatan di seluruh dunia, oleh karena itu bedah katarak menjadi tindakan bedah yang paling

banyak dilakukan oleh dokter spesialis mata. Tujuan : Untuk mengetahui komplikasi yang paling

sering muncul paska bedah katarak dengan teknik fakoemulsifikasi. Metode : Restrospektif analitik dengan melihat rekam medis pasien yang menjalani operasi katarak dengan fakoemulsifikasi di RS PKU Muhammadiyah unit 1 Yogyakarta pada periode Juni 2013 – Juni 2014. Analisis data yang digunakan analisis deskriptif yang merupakan prosedur statistik untuk menguji generalisasi hasil penelitian yang didasarkan atas satu variable. Hasil : Lebih banyak pasien Perempuan ( 56,5 %) daripada Laki-laki (43,5%). Terlihat adanya komplikasi Edema Macular Sistoid yang berjumlah 1 orang (1,1%) dari total 92 rekam medis dan tidak di temukan komplikasi lainnya. Kesimpulan: bedah katarak menggunakan teknik Fakoemulsifikasi di RS PKU Muhammadiyah 1 Yogyakarta menghasilkan angka komplikasi pasca bedah sebesar 1,1 % dari semua pasien yang di operasi.

Kata kunci : katarak, facoemulsifikasi, komplikasi pasca bedah

Abstract

Background : Cataract is the main caused of blindness and visual impairment in this

world, therefore cataract surgery become the best solution that usually done by oculist. Aim : To find out the most common complications that appear post-cataract surgery with phacoemulsification technique Method : Retrospective analytic view medical records of patients who undergo the cataract surgery with phacoemulsification technique in PKU Muhammadiyah unit 1 Yogyakarta hospital in the period of june 2013-june 2014. Data analysis used descriptive analysis that is statistical procedure to test the generalizability of research result based on one variable. Result : There are more female patients (56,5%) than male patients (43,5%). Found complication of Macular Edema Cistoid in one patient (1,1%) of the total 92 medical records and not found another complication. Conclusion : Cataract surgery using phacoemulsification technique in PKU Muhammadiyah unit 1 Yogyakarta hospital produce post-cataract surgery complication rate of 1,1% of all patients in surgery.

Key words : Cataract, Phacoemulsification, Post-cataract surgery complication

*Mahasiswa Prodi Pendidikan Dokter - Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

**Staf Pengajar Prodi Pendidikan Dokter - Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta


(56)

2

Pendahuluan

Angka kebutaan di Indonesia adalah yang tertinggi yaitu 1,5% dari jumlah

penduduk dibandingkan dengan angka

kebutaan negara-negara di Regional Asia Tenggara (Bangladesh 1%, India 0,7%, Thailand 0,3%). Penyebab utamanya adalah katarak yakni sebanyak 2 juta orang dan setiap tahun bertambah sekira 240 ribu penderita katarak baru. 5 10

Katarak merupakan penyebab utama kebutaan dan gangguan penglihatan di seluruh dunia, oleh karena itu bedah katarak menjadi tindakan bedah yang paling banyak dilakukan oleh dokter spesialis mata. Sejalan

perkembangan ilmu kedokteran dan

teknologi, maka terjadi pula perubahan yang

evolutif maupun revolusioner dalam

pembedahan katarak. Hal itu sejalan dengan

perubahan paradigma oftalmologi dari

rehabilitasi kebutaan menjadi optimalisasi

fungsi penglihatan. Optimalisasi fungsi

penglihatan akan meningkatkan kualitas kehidupan karena mata merupakan jalur utama informasi sehari-hari. 8 17

Tindakan bedah katarak bertujuan untuk menghasilkan optimalisasi fungsi penglihatan bercirikan pemulihan yang cepat, terukur dengan efek samping yang minimal, stabilitas jangka panjang, serta memberikan kepuasan pada penderita.21

Banyak teknik untuk melakukan bedah katarak tetapi yang paling sering dilakukan saat ini adalah fakoemulsifikasi. Tidak semua bedah katarak mencapai tujuan,

banyak faktor yang mempengaruhinya

termasuk komplikasi pembedahan. Terdapat 20 pasien dari 396 kasus bedah (5%) yang

menglami komplikasi pasca bedah

fakoemulsifikas.20 Komplikasi operasi katarak sangat bervariasi tergantung waktu serta ruang lingkupnya.7 17 Komplikasi dapat terjadi pada periode intraoperatif diantaranya iris prolaps, trauma iris, hifema, robek kapsul posterior dan vitreous loss. Komplikasi pasca operasi diantaranya edema kornea dan endoftalmitis, bullous keratopathy, malposisi/ dislokasi lensa intra okular (LIO), cystoid macular edema (CME), ablasio retina, uveitis,

peningkatan tekanan intra okular dan

posterior capsular opacification.2

Bahan dan Cara

Penelitian ini adalah restrospektif analitik. Populasi pada penelitian ini adalah

penderita katarak yang melakukan operasi menggunakan teknik fakoemulsifikasi di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta unit I pada periode juni 2013 sampai dengan juni 2014.

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah dengan menggunakan data sekunder yaitu rekam medis pasien

katarak yang dioperasi menggunakan

fakoemulsifikasi di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta unit I pada periode Juni 2013 – Juni 2014.

Sebagai kriteria inklusi pada

penelitian ini pasien dengan katarak senilis yang dioperasi dengan fakoemulsifikasi, pasien laki laki atau perempuan, berusia >45 tahun.

Sebagai kriteria eksklusi pada

penelitian ini adalah tidak datang lagi saat evaluasi, riwayat diabetes melitus, riwayat bedah intra okuler, riwayat trauma mata, riwayat penyakit pada retina, riwayat infeksi intraokuler, riwayat glaukoma, rekam medis yang tidak lengkap.

Penelitian ini dilakukan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta unit I.

Tahap pelaksanaan dilakukan pada bulan Mei sampai Agustus 2015. Diawali dengan pemberian surat ijin penelitian kepada pihak rumah sakit yang akan dijadikan tempat

penelitian, dalam hal ini RS PKU

Muhammadiyah Yogyakarta. Kemudian

peneliti melakukan pengambilan data

sekunder melalui rekam medis.

Analisa data dilakukan untuk

menjawab hipotesis penelitian, oleh karena itu diperlukan uji statistik yang sesuai dengan variabel penelitian.22

Analisis deskriptif merupakan prosedur statistik untuk menguji generalisasi hasil penelitian yang didasarkan atas satu variabel. 6

Hasil Penelitian

Penelitian dilakukan dengan cara melihat data sekunder pasien berupa rekam medis pasien katarak yang di operasi menggunakan fakoemulsifikasi yang telah memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Semua pasien melakukan rawat jalan.

Berikut adalah tabel yang berisi jumlah dan jenis kelamin dari rekam medis yang didapatkan dalam rentang waktu periode Juni 2013 samapai Juni 2014 :


(57)

3 Tabel 1. Jumlah dan Jenis kelamin

Pada tabel 1. diatas menunjukan bahwa penderita katarak yang datang ke RS PKU Muhammadiyah 1 Yogyakarta pada periode tersebut berjumlah 106 pasien dan yang memenuhi kriteria inklusi maupun ekslusi berjumlah 92 pasien. Dari data tersebut terlihat bahwa lebih banyak pasien Perempuan ( 56,5 %) daripada Laki-laki (43,5%). Sedangkan daftar riwayat penyakit dan riwayat bedah dapat dilihat di table berikut:

Tabel 2. Riwayat bedah dan penyakit yang ditemukan

Terlihat pada tabel 2 terdapat beberapa jenis

riwayat penyakit maupun bedah yang

termasuk dalam kriteria ekslusi. Diabetes Melitus merupakan riwayat penyakit yang paling banyak berjumlah 12 pasien dan ditemukan riwayat glaucoma dan riwayat bedah introkuler yang masing masing berjumlah 1 pasien. Sedangkan daftar komplikasi yang dimaksud dapat dilihat di table berikut beserta presentase terjadinya pasca bedah :

Table 3. Daftar komplikasi dan presentase terjadinya.

Pada tabel 3. terlihat adanya

komplikasi Edema Macular Sistoid yang berjumlah 1 orang (1,1%) dari total 92 rekam medis dan tidak di temukan komplikasi lainnya.

Diskusi

Fakoemulsifikasi adalah teknik

ekstraksi katarak menggunakan sayatan kecil sekitar 1,5 mm sampai 3 mm dengan implantasi lensa intra okular lipat (foldable) sehingga penutupan luka dapat tanpa jahitan.

Cara kerja sistem fakoemulsifikasi adalah menghancurkan lensa melalui ultrasonic probe yang mempunyai tip needle yang mampu bergetar dengan frekuensi yang sangat tinggi yaitu setara dengan frekuensi gelombang ultrasound.2 Massa lensa yang sudah dihancurkan akan diaspirasi melalui rongga pada tip fakoemulsifikasi untuk kemudian dikeluarkan dari dalam mata melalui selang aspirasi pada mesin fakoemulsifikasi.9 21 Teknologi mesin

fakoemulsifikasi saat ini sudah

memungkinkan mengeluarkan lensa dengan teknik fako bimanual, sehingga insisi kornea hanya sebesar 1,5 mm saja.17

Penatalaksanaan Preoperatif

Disarankan menggunakan sikloplegik dan topikal nonsteroid (NSAID) beberapa hari sampai 1 minggu sebelum operasi katarak.

Pemberian topikal NSAID mengurangi

inflamasi dan mencegah pupil miosis

intraoperasi dan dapat mencegah terjadinya

Jenis Kelamin

Jumlah Presentase

Laki laki 40 43,5 %

Perempuan 52 56,5%

Total 92 100%

Komplikasi Jumlah Presentas

e

Hilangnya Vitreous

0 0

Endoftalmitis 0 0

Ablasio Retina 0 0

Edema Macular Sistoid 1 1,1% Edema Kornea Permanen 0 0

TOTAL: 92 1 1,1%

Riwayat Bedah dan Penyakit Jumlah

Diabetes Melitus 12

Bedah Intraokuler 1

Trauma Mata 0

Penyakit Pada Retina 0

Infeksi Intraokuler 0

Glaukoma 1


(1)

The Incident of Postoperation Complication with Phacoemulsification at PKU Muhammadiyah Yogyakarta 1

Angka Kejadian Komplikasi Pasca Bedah Katarak dengan Teknik Fakoemulsifikasi di RS PKU Muhammadiyah 1 Yogyakarta

Ichwan Putra Wijaya*, Imam Masduki ** Intisari

Latar belakang : Katarak merupakan penyebab utama kebutaan dan gangguan penglihatan di seluruh dunia, oleh karena itu bedah katarak menjadi tindakan bedah yang paling banyak dilakukan oleh dokter spesialis mata. Tujuan : Untuk mengetahui komplikasi yang paling sering muncul paska bedah katarak dengan teknik fakoemulsifikasi. Metode : Restrospektif analitik dengan melihat rekam medis pasien yang menjalani operasi katarak dengan fakoemulsifikasi di RS PKU Muhammadiyah unit 1 Yogyakarta pada periode Juni 2013 – Juni 2014. Analisis data yang digunakan analisis deskriptif yang merupakan prosedur statistik untuk menguji generalisasi hasil penelitian yang didasarkan atas satu variable. Hasil : Lebih banyak pasien Perempuan ( 56,5 %) daripada Laki-laki (43,5%). Terlihat adanya komplikasi Edema Macular Sistoid yang berjumlah 1 orang (1,1%) dari total 92 rekam medis dan tidak di temukan komplikasi lainnya. Kesimpulan: bedah katarak menggunakan teknik Fakoemulsifikasi di RS PKU Muhammadiyah 1 Yogyakarta menghasilkan angka komplikasi pasca bedah sebesar 1,1 % dari semua pasien yang di operasi.

Kata kunci : katarak, facoemulsifikasi, komplikasi pasca bedah

Abstract

Background : Cataract is the main caused of blindness and visual impairment in this world, therefore cataract surgery become the best solution that usually done by oculist. Aim : To find out the most common complications that appear post-cataract surgery with phacoemulsification technique Method : Retrospective analytic view medical records of patients who undergo the cataract surgery with phacoemulsification technique in PKU Muhammadiyah unit 1 Yogyakarta hospital in the period of june 2013-june 2014. Data analysis used descriptive analysis that is statistical procedure to test the generalizability of research result based on one variable. Result : There are more female patients (56,5%) than male patients (43,5%). Found complication of Macular Edema Cistoid in one patient (1,1%) of the total 92 medical records and not found another complication. Conclusion : Cataract surgery using phacoemulsification technique in PKU Muhammadiyah unit 1 Yogyakarta hospital produce post-cataract surgery complication rate of 1,1% of all patients in surgery.

Key words : Cataract, Phacoemulsification, Post-cataract surgery complication

*Mahasiswa Prodi Pendidikan Dokter - Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

**Staf Pengajar Prodi Pendidikan Dokter - Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta


(2)

2 Pendahuluan

Angka kebutaan di Indonesia adalah yang tertinggi yaitu 1,5% dari jumlah penduduk dibandingkan dengan angka kebutaan negara-negara di Regional Asia Tenggara (Bangladesh 1%, India 0,7%, Thailand 0,3%). Penyebab utamanya adalah katarak yakni sebanyak 2 juta orang dan setiap tahun bertambah sekira 240 ribu penderita katarak baru. 5 10

Katarak merupakan penyebab utama kebutaan dan gangguan penglihatan di seluruh dunia, oleh karena itu bedah katarak menjadi tindakan bedah yang paling banyak dilakukan oleh dokter spesialis mata. Sejalan perkembangan ilmu kedokteran dan teknologi, maka terjadi pula perubahan yang evolutif maupun revolusioner dalam pembedahan katarak. Hal itu sejalan dengan perubahan paradigma oftalmologi dari rehabilitasi kebutaan menjadi optimalisasi fungsi penglihatan. Optimalisasi fungsi penglihatan akan meningkatkan kualitas kehidupan karena mata merupakan jalur utama informasi sehari-hari. 8 17

Tindakan bedah katarak bertujuan untuk menghasilkan optimalisasi fungsi penglihatan bercirikan pemulihan yang cepat, terukur dengan efek samping yang minimal, stabilitas jangka panjang, serta memberikan kepuasan pada penderita.21

Banyak teknik untuk melakukan bedah katarak tetapi yang paling sering dilakukan saat ini adalah fakoemulsifikasi. Tidak semua bedah katarak mencapai tujuan, banyak faktor yang mempengaruhinya termasuk komplikasi pembedahan. Terdapat 20 pasien dari 396 kasus bedah (5%) yang menglami komplikasi pasca bedah fakoemulsifikas.20 Komplikasi operasi katarak sangat bervariasi tergantung waktu serta ruang lingkupnya.7 17 Komplikasi dapat terjadi pada periode intraoperatif diantaranya iris prolaps, trauma iris, hifema, robek kapsul posterior dan vitreous loss. Komplikasi pasca operasi diantaranya edema kornea dan endoftalmitis, bullous keratopathy, malposisi/ dislokasi lensa intra okular (LIO), cystoid macular edema (CME), ablasio retina, uveitis, peningkatan tekanan intra okular dan posterior capsular opacification.2

Bahan dan Cara

Penelitian ini adalah restrospektif analitik. Populasi pada penelitian ini adalah

penderita katarak yang melakukan operasi menggunakan teknik fakoemulsifikasi di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta unit I pada periode juni 2013 sampai dengan juni 2014.

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah dengan menggunakan data sekunder yaitu rekam medis pasien katarak yang dioperasi menggunakan fakoemulsifikasi di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta unit I pada periode Juni 2013 – Juni 2014.

Sebagai kriteria inklusi pada penelitian ini pasien dengan katarak senilis yang dioperasi dengan fakoemulsifikasi, pasien laki laki atau perempuan, berusia >45 tahun.

Sebagai kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah tidak datang lagi saat evaluasi, riwayat diabetes melitus, riwayat bedah intra okuler, riwayat trauma mata, riwayat penyakit pada retina, riwayat infeksi intraokuler, riwayat glaukoma, rekam medis yang tidak lengkap.

Penelitian ini dilakukan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta unit I.

Tahap pelaksanaan dilakukan pada bulan Mei sampai Agustus 2015. Diawali dengan pemberian surat ijin penelitian kepada pihak rumah sakit yang akan dijadikan tempat penelitian, dalam hal ini RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Kemudian peneliti melakukan pengambilan data sekunder melalui rekam medis.

Analisa data dilakukan untuk menjawab hipotesis penelitian, oleh karena itu diperlukan uji statistik yang sesuai dengan variabel penelitian.22

Analisis deskriptif merupakan prosedur statistik untuk menguji generalisasi hasil penelitian yang didasarkan atas satu variabel. 6

Hasil Penelitian

Penelitian dilakukan dengan cara melihat data sekunder pasien berupa rekam medis pasien katarak yang di operasi menggunakan fakoemulsifikasi yang telah memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Semua pasien melakukan rawat jalan.

Berikut adalah tabel yang berisi jumlah dan jenis kelamin dari rekam medis yang didapatkan dalam rentang waktu periode Juni 2013 samapai Juni 2014 :


(3)

3 Tabel 1. Jumlah dan Jenis kelamin

Pada tabel 1. diatas menunjukan bahwa penderita katarak yang datang ke RS PKU Muhammadiyah 1 Yogyakarta pada periode tersebut berjumlah 106 pasien dan yang memenuhi kriteria inklusi maupun ekslusi berjumlah 92 pasien. Dari data tersebut terlihat bahwa lebih banyak pasien Perempuan ( 56,5 %) daripada Laki-laki (43,5%). Sedangkan daftar riwayat penyakit dan riwayat bedah dapat dilihat di

table berikut:

Tabel 2. Riwayat bedah dan penyakit yang ditemukan

Terlihat pada tabel 2 terdapat beberapa jenis riwayat penyakit maupun bedah yang termasuk dalam kriteria ekslusi. Diabetes Melitus merupakan riwayat penyakit yang paling banyak berjumlah 12 pasien dan ditemukan riwayat glaucoma dan riwayat bedah introkuler yang masing masing berjumlah 1 pasien. Sedangkan daftar komplikasi yang dimaksud dapat dilihat di table berikut beserta presentase terjadinya pasca bedah :

Table 3. Daftar komplikasi dan presentase terjadinya.

Pada tabel 3. terlihat adanya komplikasi Edema Macular Sistoid yang berjumlah 1 orang (1,1%) dari total 92 rekam medis dan tidak di temukan komplikasi lainnya.

Diskusi

Fakoemulsifikasi adalah teknik ekstraksi katarak menggunakan sayatan kecil sekitar 1,5 mm sampai 3 mm dengan implantasi lensa intra okular lipat (foldable) sehingga penutupan luka dapat tanpa jahitan.

Cara kerja sistem fakoemulsifikasi adalah menghancurkan lensa melalui ultrasonic probe yang mempunyai tip needle yang mampu bergetar dengan frekuensi yang sangat tinggi yaitu setara dengan frekuensi gelombang ultrasound.2 Massa lensa yang sudah dihancurkan akan diaspirasi melalui rongga pada tip fakoemulsifikasi untuk kemudian dikeluarkan dari dalam mata melalui selang aspirasi pada mesin fakoemulsifikasi.9 21 Teknologi mesin fakoemulsifikasi saat ini sudah memungkinkan mengeluarkan lensa dengan teknik fako bimanual, sehingga insisi kornea hanya sebesar 1,5 mm saja.17

Penatalaksanaan Preoperatif Disarankan menggunakan sikloplegik dan topikal nonsteroid (NSAID) beberapa hari sampai 1 minggu sebelum operasi katarak. Pemberian topikal NSAID mengurangi inflamasi dan mencegah pupil miosis intraoperasi dan dapat mencegah terjadinya Jenis

Kelamin

Jumlah Presentase

Laki laki 40 43,5 %

Perempuan 52 56,5%

Total 92 100%

Komplikasi Jumlah Presentas e Hilangnya

Vitreous

0 0

Endoftalmitis 0 0

Ablasio Retina 0 0

Edema Macular Sistoid

1 1,1%

Edema Kornea Permanen

0 0

TOTAL: 92 1 1,1%

Riwayat Bedah dan Penyakit Jumlah

Diabetes Melitus 12

Bedah Intraokuler 1

Trauma Mata 0

Penyakit Pada Retina 0

Infeksi Intraokuler 0

Glaukoma 1


(4)

4 CME dan edema makula. Untuk persiapan lainnya sama dengan persiapan operasi fakoemulsifikasi pada umumnya seperti pemberian tetes mata midriatyl untuk melebarkan pupil, menjalani pembiusan dengan anestesi lokal dengan cara menyuntikan obat anestesi atau anestesi topikal dengan cara meneteskan obat anestesi pada mata, pemeriksaan bola mata dengan mengukur bentuk bola mata, tekanan bolamata.4

Penatalaksanaan Pascaoperatif sebaiknya dilakukan follow up rutin dan ketat untuk mengetahui terjadinya komplikasi berupa cystoid macular edema (CME), progresifitas retinopati diabetik pada penyulit diabetes mellitus, inflamasi dan glaukoma sekunder. Dapat diberikan steroid topikal, NSAID dan sikloplegik. Komplikasi pasca operasi dapat terjadi awal atau lebih lambat. Pada minggu-minggu awal waspada terjadinya blefaroptosis, edema kornea sedang sampai berat, peningkatan tekanan intraokular, kebocoran luka insisi, iritis ataupun endoftalmitis. Sedangkan komplikasi jangka panjang dapat terjadi pseudophakic

bullous keratopathy, iritis kronis,

neovaskularisasi iris, posterior capsular opacification (PCO), edema makula persisten,

retinal detachment dan pedarahan vitreus.4 Cystoid macular edema (CME) merupakan salah satu komplikasi pasca operasi katarak tersering yang muncul terlambat dan menyebabkan terbatasnya perbaikan tajam penglihatan. CME juga merupakan penyebab paling umum kehilangan penglihatan yang tidak terduga setelah pembedahan katarak yang lancar.1 Cystoid macular edema biasanya muncul pada 3-12 minggu pasca operasi dengan puncak insiden 4-10 minggu, namun pada beberapa kasus dapat muncul terlambat beberapa bulan bahkan beberapa tahun setelah pembedahan.12 15

Insiden CME klinis dilaporkan terjadi sekitar 1-12% tergantung beberapa faktor seperti prosedur pembedahan, komplikasi intra operatif, dan manajemen pasca operasi. Insiden CME klinis di Amerika serikat didapatkan 0,1% sampai 4% pasien pasca fakoemulsifikasi.16 18

Insiden CME klinis pada Fakoemulsifikasi tanpa komplikasi intra operatif dengan kapsul posterior yang utuh tingkat kejadian sekitar 0-2%.15 Teknik pembedahan fakoemulsifikasi menurunkan insiden CME menjadi 1%.16 Angka kejadian CME klinis pada pembedahan katarak teknik fakoemulsifikasi sekitar 0,1-

2,35%.

13

Kebanyakan CME pasca operasi katarak sembuh spontan dalam 6 bulan, namun pada beberapa kasus cenderung menetap.11 Mata dengan CME 90% akan sembuh dalam kurun waktu 2 tahun.3 CME pasca operasi yang berlebihan atau terus menerus dapat menyebabkan sawar darah retina (SDR) terganggu sehingga menjadi berkelanjutan sehingga meningkatkan resiko terjadinya peradangan kronis sehingga pasien tidak mendapatkan penglihatan yang optimal.14 19

Kesimpulan

Penelitian ini menunjukkan hasil bahwa bedah katarak menggunakan teknik Fakoemulsifikasi di RS PKU Muhammadiyah 1 Yogyakarta menghasilkan angka komplikasi pasca bedah sebesar 1,1 % dari semua pasien yang di operasi, hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yaitu angka kejadian kurang dari 5%.

Saran

a. Perlu di pertimbangkan untuk

menggunakan teknik

fakoemulsifikasi dalam setiap bedah katarak yang memiliki angka komplikasi pasca bedah yang sangat rendah.

b. Perlu dilakukan penelitian lebih jangka panjang untuk mengamati komplikasi yang terjadi pasca bedah

katarak dengan teknik

fakoemulsifikasi. Referensi

1. Akcay B.I.S., Bozkurt T.K., Guney E., Unlu C., Erdogan G., Akcali G. dan Bayramlar H. 2012. Quantitative analysis of macular thickness following uneventful and complicated cataract surgery. Clinical Ophthalmology, 6: 1507-1511


(5)

5 2. American Academy of Ophthalmology

Staff. 2011-2012c. Lens and Cataract. United State of America: American Academy of Ophthalmology. p. 193- 195

3. Benitah N.R. dan Arroyo J.G. 2010. Pseudophakic cystoid macular edema. Int Ophthalmol Clin, 50: 139-153 4. Chakrabarati A. Phacoemulsification in

eye with white cataract. J Cataract Refract Surg, 2000

5. Departemen Kesehatan RI. 2009. Data Penduduk Sasaran Program Kesehatan Tahun 2007-2011. Pusat Data dan Informasi Departemen Kesehatan RI. Jakarta

6. Hasan, M. Iqbal. 2002. Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Jakarta: Gralia Indonesia. 7. Henderson B.A., Kim J.Y., Ament C.S.,

Ponce Z.K.F., Grabowska A. Dan Cremers S.L. 2007. Clinical pseudophakic cystoid macular edema: Risk factors for development and duration after treatment, J Cataract Refract Surg, 33:1550-1558

8. Ilyas S. 2004. Ilmu penyakit mata. Edisi ke-3. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. p.205-8

9. Khurana A.K. 2007. Comprehensive Ophthalmologi. Fourth edition. New Delhi: New Age International. p. 89-202 10. Kementerian Kesehatan RI. 2005.

Rencana Strategi Nasional Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan Untuk Mencapai Vision 2020. Keputusan Menteri Kesehatan. Jakarta

11. Kwon S.I., Hwang D.J., Seo J.Y. dan Park I.W. 2011. Evaluation of Changes of Macular Thickness in Diabetic Retinopathy after Cataract Surgery. Korean J Ophthalmol, 25(4): 238-242 12. Lobo C.L. 2011. Pseudophakic Cystoid

Macular Edema. Ophthalmologica, 10:1-7

13. Loewenstein A. · Zur D. Coscas G (ed): Macular Edema. Dev Ophthalmol . Basel, Karger, 2010, vol 47, pp 148–159 14. Lu Z., Xin Q.Y., Ming L.M. dan Ling W.Y. 2012. Quantitative evaluation by optical coherence tomography of prophylactic efficiency of Praponulin on macular edema after cataract surgery. Chinese medical Journal, 125: 4523- 4525

15. Mentes J., Erakgun T. dan Afrashi F, Kerci G. 2003. Incidence of cystoid macular edema after uncomplicated phacoemulsification. Ophthalmologica, 217:408-412

16. Norregaard J.C., Bernth P. dan Bellan L. 1999. Intraoperative clinical practice and risk of early complications after cataract extraction in the United states, Canada, Denmark, and Spain. Ophthalmology, 4: 42-48

17. Purba D.M., Hutauruk J.A., Riyanto S.B., Istiantoro D.V. dan Manurung F.M. 2010. A sampai Z Seputar Fakoemulsifikasi. Jakarta: Info JEC. p. 17-51

18. Ray S. dan D’Amico D.J. 2002. Pseudophakic cystoid macular edema. Semin Ophthalmol, 17: 167-80

19. Reddy R. dan Kim S.J. 2011. Critical appraisal of ophthalmic ketorolac in treatment of pain and inflammation following cataract surgery. Clinical Ophthalmology 5: 751-758

20. Richard.P., Corey., Randall.J., Olson.MD, (1998,January). Surgical

outcomes of cataract extraction

performed by residents using

phacoemulsification. Journal of

Cataract & Refractive Surgery,vol 24 p 66-72

21. Soekardi I. dan Hutauruk J.A. 2004. Transisi Menuju Fakoemulsifikasi, Langkah- langkah menguasai teknik & menghindari komplikasi. Edisi 1. Jakarta. Kelompok Yayasan Obor Indonesia. P1-7


(6)

6 22. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka

Teknik Analisis Data. Yogyakarta: DutaWacana University Press.


Dokumen yang terkait

Perbandingan Kejadian Astigmatisma Pasca Operasi Katarak Dengan Menggunakan Tehnik Fakoemulsifikasi Dan Small Incision Cataract Surgery

8 77 79

SKIRINING KEJADIAN DEHIDRASI PADA BALITA DENGAN DIARE DI RS PKU MUHAMMADIYAH I YOGYAKARTA

0 8 91

HUBUNGAN LINGKAR LENGAN ATAS (LILA) PADA IBU HAMIL DENGAN ANGKA KEJADIAN PREEKLAMPSIA DI RS. PKU Hubungan Lingkar Lengan Atas (LILA) Ibu Hamil dengan Angka Kejadian Preeklampsia di RS. PKU Muhammadiyah Surakarta.

1 5 14

HUBUNGAN LINGKAR LENGAN ATAS (LILA) PADA IBU HAMIL DENGAN ANGKA KEJADIAN PREEKLAMPSIA DI RS. PKU MUHAMMADIYAH Hubungan Lingkar Lengan Atas (LILA) Ibu Hamil dengan Angka Kejadian Preeklampsia di RS. PKU Muhammadiyah Surakarta.

0 1 14

HUBUNGAN PARITAS DENGAN ANGKA KEJADIAN PREEKLAMPSIA di RS PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA HUBUNGAN PARITAS DENGAN ANGKA KEJADIAN PREEKLAMPSIA di RS PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA.

0 1 15

DAFTAR PUSTAKA HUBUNGAN PARITAS DENGAN ANGKA KEJADIAN PREEKLAMPSIA di RS PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA.

1 1 4

HUBUNGAN LAMA KERJA PERAWAT DENGAN KEPUASAN PASIEN PASCA BEDAH DI RUANG PERAWATAN BEDAH RS PKU MUHAMMADIYAH GOMBONG

0 0 7

HUBUNGAN JARAK KEHAMILAN DENGAN KEJADIAN ABORTUS DI RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA TAHUN 2008

0 0 7

HUBUNGAN ANTARA SENAM DIABETES DENGAN KEJADIAN KOMPLIKASI KAKI DIABETIK PADA PENDERITA DIABETES MELITUS DI RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

0 1 14

HUBUNGAN KARAKTERISTIK IBU HAMIL DENGAN KEJADIAN KOMPLIKASI PERSALINAN DI RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA TAHUN 2012 NASKAH PUBLIKASI - Hubungan Karakteristik Ibu Hamil dengan Kejadian Komplikasi Persalinan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Tahun 2012 - DI

0 1 9