INDUKSI AKAR SARANG SEMUT (Myrmecodia pendans Merr. & L.M. Perry) DENGAN PERLAKUAN ARANG AKTIF DAN IBA PADA MEDIUM MS SECARA IN VITRO

(1)

INDUKSI AKAR SARANG SEMUT (

Myrmecodia pendans

Merr.

& L.M. Perry) DENGAN PERLAKUAN ARANG AKTIF DAN

IBA PADA MEDIUM MS SECARA

IN VITRO

SKRIPSI

Oleh : Dwi Putra 20120210046

Program Studi Agroteknologi

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2017


(2)

INDUKSI AKAR SARANG SEMUT (

Myrmecodia pendans

Merr.

& L.M. Perry) DENGAN PERLAKUAN ARANG AKTIF DAN

IBA PADA MEDIUM MS SECARA

IN VITRO

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Pertanian

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta untuk memenuhi sebagian syarat memperoleh derajat Sarjana Pertanian

Oleh : Dwi Putra 20120210046

Program Studi Agroteknologi

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2017


(3)

ii

Skripsi yang berjudul

INDUKSI AKAR SARANG SEMUT (Myrmecodia pendans Merr. & L.M. Perry) DENGAN PERLAKUAN ARANG AKTIF DAN IBA PADA

MEDIUM MS SECARA IN VITRO

Yang dipersiapkan dan disusun oleh : Dwi Putra

20120210046

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal 22 Desember 2016

Skripsi tersebut telah diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan guna memperoleh derajat Sarjana Pertanian

Pembimbing Utama Anggota Penguji

Dr. Innaka Ageng R, S.P.,M.P. Etty Handayani, S.P., M.Si. NIK19721012200004133050 NIK19730624199804133047 Pembimbing Pendamping

Ir. Bambang Heri Isnawan, M.P. NIK19650814199409133021

Yogyakarta, Januari 2017 Dekan

Fakultas Pertanian

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Ir. Sarjiyah, M.S. NIP196109181991032001


(4)

iii

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan :

1. Karya tulis saya, skripsi ini, adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik, baik di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta maupun di perguruan tinggi lainnya.

2. Karya tulis ini murni gagasan, rumusan dan penelitian saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing.

3. Karya tulis ini murni gagasan, rumusan dan penelitian saya setelah mendapatkan arahan dan saran dari Tim Pembimbing. Oleh karena itu, saya menyetujui pemanfaatan karya tulis ini dalam berbagai forum ilmiah, maupun pengembangannya dalam bentuk karya ilmiah oleh Tim Pembimbing.

4. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka.

5. Pernyataan ini saya buat sesungguhnya dan apabila dikemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah saya peroleh karena karya tulis ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di perguruan tinggi ini.

Yogyakarta, Januari 2017 Yang membuat pernyataan

Dwi Putra 20120210046


(5)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Dengan segala rasa syukur kehadirat Allah SWT, kupersembahkan karya kecilku ini untuk:

1. Kedua orangtuaku Bapak Tukino dan Ibu Sukinem, terimakasih atas doa, nasihat, dukungan, pengorbanan dan kasih sayang yang selama ini engkau berikan.

2. Kakakku Sri Lestari yang telah memberikan doa dan nasihat serta menjadi motivasi untuk adikmu ini.

3. Keluarga Besar HIMAGRO UMY dan FKK HIMAGRI yang telah memberikan banyak pelajaran dalam berproses, kalian LUAR BIASA. 4. Shobikha Tritina Hakima yang telah mendampingi dan memberikan

dukungan serta motivasi dari awal hingga akhir skripsi ini terselesaikan. 5. Teman-teman seperjuangan Agroteknologi 2012, khususnya Pak ketua

Mufli Andika Hasibuan, Vidya MS, Putri Nurul Ma’rifah, Vina Khairusy Syifa terimakasih atas apa yang telah kalian berikan selama ini.


(6)

v

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Segala puji syukur senantiasa penulis ucapkan kepada Allah SWT Tuhan Semesta Alam. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada Nabi Allah, Nabi Muhammad SAW yang telah mengantarkan kita dari jaman jahiliyah menuju jaman yang terang seperti sekarang. Alhamdulillahirabbil’alamin, pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Induksi Akar Sarang Semut (Myrmecodia pendans Merr. & L.M. Perry) Dengan Perlakuan Arang Aktif dan IBA pada Medium MS Secara In Vitro”. Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Dari awal hingga terselesaikannya skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Innaka Ageng Rineksane, S.P., M.P., selaku dosen pembimbing utama sekaligus Kepala Program Studi Agroteknologi yang telah memberikan bimbingan dan motivasi kepada penulis sejak persiapan penelitian hingga penyelesaian skripsi ini.

2. Ir. Bambang Heri Isnawan, M.P., selaku dosen pembimbing pendamping dan juga dosen pembimbing akademik yang telah memberikan arahan dan semangat kepada penulis sejak persiapan penelitian hingga penyelesaian skripsi ini.

3. Etty Handayani, S.P., M.Si., selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dalam penulisan skripsi.

4. Ir. Sarjiyah, M.S., selaku dekan Fakultas Petanian yang telah memberikan semangat kepada penulis dalam penyelesaian studi.


(7)

vi

5. Keluarga Laboratorium Agroteknologi : Ibu Harini, Ibu Marsih, Bapak Supri, Bapak Samsuri, Bapak Yuli, Bapak Sukir dan Bapak Rudi atas bantuan dan masukannya selama penelitian dam belajar. 6. Ibu dan Bapak yang telah memberikan dukungan moril dan materil

kepada penulis sejak awal studi hingga penyelesaian studi.

Penulis semoga skripsi ini membawa manfaat yang besar baik bagi penulis maupun pembaca. Amin Ya Robbal’Alamin.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Yogyakarta, Januari 2017


(8)

vii DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

INTISARI ... xii

ABSTRACT ... xiii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

A. Sarang Semut ... 5

B. Kultur In Vitro ... 6

C. Medium MS ... 8

D. Arang Aktif ... 10

E. Zat Pengatur Tumbuh ... 14

F. Hipotesis ... 16

III. TATA CARA PENELITIAN ... 17

A. Waktu dan Tempat Penelitian... 17

B. Bahan dan Alat Penelitian ... 17

C. Metode Penelitian ... 17

D. Cara Penelitian ... 18

E. Parameter yang Diamati ... 21

F. Analisis Data... 24

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25


(9)

viii

B. Pertambahan Tinggi Tunas ... 28

C. Pertambahan Jumlah Daun ... 32

D. Jumlah Akar ... 37

E. Akar Terpanjang ... 40

F. Diameter Akar ... 42

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 46

A. Kesimpulan ... 46

B. Saran ... 46

DAFTAR PUSTAKA ... 47


(10)

ix

DAFTAR TABEL

Tabel : Halaman

1. Perlakuan Konsentrasi Arang Aktif dan Konsentrasi IBA untuk

Induksi Akar Sarang Semut ... 18 2. Pengaruh Arang Aktif dan IBA terhadap Pertambahan Tinggi

Tunas Tanaman Sarang Semut (cm) pada 12 MST ... 29 3. Pengaruh Arang Aktif dan IBA terhadap Pertambahan Jumlah

Daun Tanaman Sarang Semut pada 12 MST ... 33 4. Pengaruh Arang Aktif dan IBA terhadap Jumlah Akar Tanaman

Sarang Semut pada 12 MST ... 37 5. Pengaruh Arang Aktif dan IBA terhadap Akar Terpanjang

Tanaman Sarang Semut pada 12 MST ... 40 6. Pengaruh Arang Aktif dan IBA terhadap Diameter Akar


(11)

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar : Halaman

1. Rumus Bangun IBA ... 15 2. Pengaruh Arang Aktif terhadap Pertambahan Tinggi Tunas

Tanaman Sarang Semut pada 1-12 MST ... 30 3. Pengaruh Berbagai Konsentrasi IBA terhadap Pertambahan

Tinggi Tunas Tanaman Sarang Semut ... 31 4. Pengaruh Arang Aktif dan IBA terhadap Pertambahan Tinggi

Tunas Sarang Semut pada 12 MST ... 32 5. Pengaruh Arang Aktif terhadap Pertambahan Jumlah Daun

Tanaman Sarang Semut pada 1-12 MST. ... 34 6. Pengaruh IBA terhadap Pertambahan Jumlah Daun Tanaman

Sarang Semut pada 1-12 MST. ... 35 7. Pengaruh Arang Aktif dan IBA terhadap Pertambahan Jumlah

Daun Sarang Semut pada 12 MST ... 36 8. Pengaruh Arang Aktif dan IBA terhadap Jumlah Akar Sarang

Semut pada 12 MST ... 39 9. Pengaruh Arang Aktif dan IBA terhadap Akar Terpanjang Sarang

Semut pada 12 MST ... 42 10.Pengaruh Arang Aktif dan IBA terhadap Diameter Akar Sarang


(12)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran : Halaman

1. Layout Penelitian ... 51 2. Perhitungan Kebutuhan Medium MS, IBA dan Arang aktif... 52 3. Tabel Sidik Ragam Pertambahan Tinggi Tunas, Pertambahan

Jumlah Daun dan Jumlah Akar. ... 53 4. Tabel Sidik Ragam Jumlah Akar, Akar Terpanjang dan Diameter

Akar ... 54 5. Tanaman Sarang Semut Perlakuan Tanpa Arang Aktif pada 1 dan

31 MST ... 55 6. Tanaman Sarang Semut Perlakuan Arang Aktif 2 g/L pada 1 dan


(13)

(14)

xii INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan pengaruh arang aktif, pengaruh dan konsentrasi terbaik IBA serta mengetahui interaksi kombinasi arang aktif dan IBA dalam menginduksi perakaran sarang semut pada medium MS secara in vitro. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur In Vitro, Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada bulan April hingga Agustus 2016.

Penelitian ini menggunakan metode eksperimen yang disusun dalam Rancangan Acak Kelompok Lengkap dengan rancangan perlakuan faktorial (2 x 4). Masing- masing perlakuan diulang lima kali. Faktor 1 adalah konsentrasi arang aktif yaitu 0 g/L dan 2 g/L. Faktor 2 adalah konsentrasi IBA yaitu: 0 mg/L, 2 mg/L, 4 mg/L, 6 mg/L. Parameter yang diamati yaitu persentase eksplan hidup, persentase eksplan browning, persentase eksplan kontaminasi, pertambahan tinggi tunas, pertambahan jumlah daun, jumlah akar, akar terpanjang dan diameter akar.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa arang aktif tidak berpengaruh terhadap pertambahan tinggi tunas, pertambahan jumlah daun dan akar terpanjang. Penggunaan IBA dengan konsentrasi 2 mg/L memberikan pengaruh terbaik terhadap akar terpanjang (2,05 cm). Interaksi terjadi antara kombinasi arang aktif dan IBA terhadap .jumlah akar dan diameter akar. Perlakuan arang aktif 2 g/L + IBA 4 mg/L memberikan hasil terbaik terhadap diameter akar (1,58 cm).


(15)

xiii ABSTRACT

A research aimed to determine the effect of activated charcoal, the influence and the best concentration of IBA also the interaction between active charcoal and IBA in inducing roots of ant plant on MS medium in vitro. The research was carried out at In Vitro Laboratory, Faculty of Agriculture, University Muhammadiyah Yogyakarta in April until August 2016.

This research used an experimental method which arranged in a completely randomized block design (CRBD) with a factorial treatment (2x4). Each treatment was repeated five times. The first factor was the concentration of activated charcoal 0 g/L and 2 g/L. The second factor was the concentration of IBA 0 mg/L, 2 mg/L, 4 mg/L, 6 mg/L. The parameters observed were the percentage of life explants, the percentage of browning explants, the percentage of contamination explants, the accretion of shoot height, the accretion of leaves number, the number of roots, the longest roots and the diameter of root.

The results showed that the activated charcoal has no effect in the accretion of shoot height, the accretion of leaves number and the longest roots. Concentration of IBA 2 mg/L gave the best effect for the longest root (2,05 cm). The interaction occured between activated charcoal and IBA on the number of roots and diameter of root. The use of Activated charcoal 2 g/L + IBA 4 mg/L gave the best results for diameter of root (1,58 cm).


(16)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sarang semut merupakan salah satu epifit dari famili Rubiaceae yang menggantung atau menempel pada tanaman lain yang lebih besar dan tidak bersifat parasit. Tanaman berumbi yang berongga pada bagian batang ini biasanya tumbuh menempel pada beberapa jenis tanaman seperti kayu putih, cemara gunung, kaha dan beech. Tanaman ini dinamakan sarang semut karena pada habitat liarnya, tanaman ini dihuni oleh semut pada bagian rongga batang tanaman. Koloni semut yang tinggal di dalam rongga batang spesies Myrmecodia pendans Merr. & L.M. Perry adalah Iridomyrmex cordatus. Tanaman sarang semut tersebar di Semenanjung Malaysia, Filipina, Kamboja, Sumatera, Kalimantan, Jawa, Papua, Papua Nugini, Cape York hingga Kepulauan Solomon. Di Papua, populasi sarang semut sangat banyak ditemui di dataran tinggi karena tumbuhan ini menghendaki ketinggian tempat di atas 600 mdpl untuk berkembang biak (Wikipedia, 2011).

Tanaman sarang semut merupakan salah satu tanaman yang digunakan sebagai bahan baku obat karena mengandung flavonoid, tannin dan polifenol (Subroto dan Saputro, 2006). Hal ini menyebabkan tanaman sarang semut memiliki nilai ekonomis tinggi yang dibuktikan dengan harga jual Rp 150.000/100 gram dan dapat mencapai Rp 1.000.000/kg (Detik Forum, 2015). Besarnya manfaat sarang semut terutama di bidang medis menyebabkan tumbuhan ini dieksploitasi keberadaannya untuk digunakan oleh manusia, tetapi eksploitasi tumbuhan sarang semut ini tidak diiringi dengan penanaman kembali


(17)

sehingga populasi tumbuhan sarang semut semakin sedikit. Tumbuhan sarang semut adalah tumbuhan yang sulit untuk dilestarikan, dikarenakan tumbuhan sarang semut hidup dengan menempel pada tanaman inangnya. Setiap buah sarang semut hanya memiliki 1 biji dan belum diketahui perbanyakan secara vegetatif.

Perbanyakan tanaman sarang semut secara alami mengalami beberapa kendala, seperti semut Iridomyrmex cordatus yang memakan biji sarang semut (Huxley, 1997). Upaya pelestarian terhadap tumbuhan sarang semut dapat dilakukan dengan cara perbanyakan secara in vitro. Perbanyakan secara in vitro

merupakan perbanyakan dengan menanam bagian kecil dari tanaman dalam medium buatan serta lingkungan yang steril dan terkendali.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tanaman sarang semut dapat dilestarikan secara in vitro. Penelitian kultur in vitro sarang semut yang telah dilakukan oleh Masrukhan et al. (2012) dengan menggunakan eksplan daun, hasilnya menunjukkan bahwa eksplan terbaik adalah daun yang ditanam pada medium VW tanpa dekstrak kurma dengan kontaminasi 50%, sedangkan eksplan bonggol mengalami tingkat kontaminasi mencapai 100%. Sementara Supriyadi (2014) melakukan multiplikasi tanaman sarang semut dari eksplan biji dengan penambahan Thidiazuron dan NAA. Hasil terbaik diperoleh pada perlakuan Thidiazuron 1 mg/l dan NAA 0,1 mg/L.

Penelitian lebih lanjut dilakukan Nurjaman (2015) tentang pengaruh jenis eksplan dan Thidiazuron terhadap multiplikasi tunas adventif, menghasilkan bahwa Thidiazuron dapat menginduksi multiplikasi sarang semut dengan konsentrasi terbaik pada Thidiazuron 3 mg/L + 0,5 mg/L NAA dengan jumlah


(18)

3

tunas sebanyak 15,33 tunas. Putri (2015) melanjutkan penelitian tentang peningkatan pertumbuhan tanaman sarang semut dengan penambahan GA3dan NAA dalam medium MS secara in vitro menunjukkan persentase jumlah akar 57,58%, jumlah eksplan berakar sebanyak 5,76 dan jumlah tunas 2,1 tunas pada konsentrasi GA31 mg/L + NAA 0,5 mg/L.

Lutfi (2015) melanjutkan penelitian tanaman sarang semut terkait pengaruh sukrosa dan IBA terhadap peningkatan kuantitas akar serta aklimatisasi planlet tanaman sarang semut. Penambahan sukrosa dan IBA belum mampu meningkatkan kuantitas akar planlet tanaman sarang semut secara in vitro. Induksi akar dimaksudkan untuk menghasilkan akar pada eksplan karena salah satu persyaratan penting untuk dapat dijadikan planlet adalah mempunyai sistem perakaran yang baik sehingga berdasarkan penelitian tersebut dibutuhkan penelitian lebih lanjut terkait pengakaran (rooting) pada eksplan sarang semut.

Upaya untuk pengakaran dapat dilakukan padamedium MS dengan penambahan arang aktif dan IBA. Pemberian arang aktif dapat meningkatkan jumlah akar terbanyak dibandingkan dengan perlakuan lainnya yaitu dengan arang aktif teknis dan arang kayu (Widiastoety dkk., 1997 dalam Lutfi, 2015). IBA merupakan jenis auksin yang paling sering digunakan dalam menginduksi akar dibandingkan jenis auksin lainnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Haque

et al. (1997) jumlah akar terbanyak dihasilkan dari tunas yang dikulturkan pada medium MS ½ konsentrasi dengan penambahan IBA 0,2 mg/L. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian tentang pengaruh arang aktif dan IBA dalam proses pengakaran eksplan sarang semut secara in vitro.


(19)

B. Perumusan Masalah

Penelitian perbanyakan tanaman sarang semut hingga saat ini hanya sampai tahap pembentukan dan pemanjangan tunas, sedangkan salah satu persyaratan penting untuk dapat dijadikan planlet adalah mempunyai sistem perakaran yang baik sehingga dibutuhkan penelitian lebih jauh terkait pengakaran eksplan sarang semut. IBA merupakan salah satu Auksin yang memiliki kemampuan lebih baik dalam menginduksi akar, sedangkan arang aktif mampu mengurangi intensitas cahaya sehingga merangsang zat tumbuh endogen bekerja lebih aktif dalam melakukan proses inisiasi akar. IBA dan arang aktif akan dikombinasikan untuk menginduksi akar eksplan sarang semut pada medium MS.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu:

1. Menentukan pengaruh arang aktif dalam menginduksi perakaran tanaman sarang semut pada medium MS secara in vitro.

2. Menentukan pengaruh dan konsentrasi terbaik IBA dalam menginduksi perakaran tanaman sarang semut pada medium MS secara in vitro.

3. Mengetahui interaksi antara arang aktif dan IBA yang terbaik dalam menginduksi perakaran tanaman sarang semut pada medium MS secara in vitro.


(20)

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Sarang Semut

Sarang semut (Myrmecodia pendans) merupakan tumbuhan epifit dari

Hydnophytinae (Rubiceae), yang telah lama dikenal dan dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai salah satu obat tradisional dan memiliki potensi sebagai antioksidan alami. Sarang semut tumbuh pada pohon inang setinggi 8 m berada di ketinggian 1100-2500 m dari permukaan laut, dan sudah dikenal oleh masyarakat lokal Asia Tenggara. Tanaman berumbi yang berongga pada bagian batang ini biasanya tumbuh menempel pada beberapa jenis tanaman seperti kayu putih, cemara gunung, kaha dan beech. Adapun klasifikasi ilmiah dari tanaman sarang semut adalah Kingdom Plantae, Subkingdom Tracheobionta, Super Divisi

Spermatophyta, Divisi Magnoliophyta, Kelas Magnoliopsida, Sub kelas

Asteridae, Ordo Rubiales, Famili Rubiaceace, Genus Myrmecodia dan Spesies

Myrmecodia pendans (Wikipedia, 2011).

Bagian dalam batang sarang semut berbentuk rongga bersekat-sekat, menyerupai labirin dan biasa dijadikan tempat tinggal koloni semut. Koloni semut yang tinggal di dalam rongga batang spesies Myrmecodia pendans adalah

Iridomyrmex cordatus. Keunikan sarang semut terletak pada interaksi semut yang bersarang pada umbi yang terdapat lorong-lorong di dalamnya. Kestabilan suhu di dalamnya membuat koloni semut betah berlama-lama bersarang di dalam tanaman ini. Dalam jangka waktu yang lama terjadilah reaksi kimia secara alami antara senyawa yang dikeluarkan semut dengan zat yang terkandung di dalam buah sarang semut. Akar sarang semut tidak berfungsi sebagai penyerap unsur hara,


(21)

hanya sebagai pengikat terhadap pohon inangnya. Sarang semut mengandung flavonoid, tanin, antioksidan tokoferol (vitamin E) dan beberapa mineral penting untuk tubuh seperti kalsium, natrium, kalium, seng, besi, fosfor dan magnesium. Flavonoid merupakan antioksidan alam yang mampu bertindak sebagai pereduksi radikal hidroksil, superoksida dan radikal peroksil (Harun dan Syari 2002 dalam

Nurjaman, 2015).

Kegunaan sarang semut sebagai obat tradisional menuntut terjadinya eksploitasi terhadap tanaman tersebut. Jika hal tersebut tidak diimbangi dengan pelestarian, maka dapat mengakibatkan terjadinya kepunahan mengingat tanaman sarang semut sulit untuk dikembangbiakkan secara konvensional. Perbanyakan sarang semut yang secara alami menggunakan biji mengalami beberapa kendala. Ketika buah sarang semut jatuh, semut jenis Iridomyrmex cordatus akan membawa biji dari buah sarang semut ke dalam rongga-rongga sarang semut untuk dimakan sehingga hanya biji yang selamat yang bisa tumbuh. Selain itu, biji sarang semut yang dapat berkecambah hanya biji dalam kondisi segar. Oleh karena itu diperlukan perbanyakan alternatif dalam pelestarian sarang semut yang salah satunya dapat melalui perbanyakan secara in vitro.

B. Kultur In Vitro

Kultur in vitro adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, jaringan, atau organ yang steril, ditumbuhkan pada medium buatan yang steril, dalam botol kultur yang steril dan dalam kondisi yang aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan


(22)

7

beregenerasi menjadi tanaman yang lengkap. Secara teori, perbanyakan tanaman melalui kultur in vitro dapat dibedakan menjadi dua, yaitu Organogenesis atau perbanyakan melalui tunas-tunas baru dari tunas axilar, serta secara Embriogenesis somatik, yaitu pembentukan tunas adventif dan embrio somatik adventif. Pembentukan tunas adventif maupun embrio somatik dapat melalui cara morfogenesis langsung maupun tidak langsung (Mulyaningsih dan Nikmatullah, 2006 dalam Nurjaman, 2015).

Perbanyakan secara in vitro dapat menghasilkan tanaman dengan sifat sama seperti induknya, pembiakan ini termasuk pembiakan secara vegetatif, yaitu individu baru terjadi dari bagian tubuh suatu induk. Oleh karena itu, individu yang baru terbentuk mempunyai sifat yang sama dengan induknya. Perbanyakan tanaman dengan teknik ini membuat tanaman bebas dari penyakit karena dilakukan secara aseptik. Beberapa keuntungan yang lain dari perbanyakan kultur

in vitro antara lain: perbanyakan generatif dan vegetatif yang cepat dan efisien, mempermudah seleksi mutan, menghindari sterilitas yang menghambat hibridisasi, produksi tanaman bebas pathogen dan sebagai pelestarian plasma nutfah (Widiastoety et al.,1997 dalam Lutfi, 2015 ).

Perbanyakan kultur in vitro telah dilakukan pada tanaman sarang semut. Masrukhan et al. (2012) telah melakukan kultur in vitro tanaman sarang semut menggunakan eksplan daun dan bonggol. Hasil terbaik pada penelitian itu yaitu eksplan daun yang ditanam pada medium VW tanpa ekstrak kurma dengan persentase kontaminasi 50%, sedangkan eksplan bonggol mengalami tingkat kontaminasi mencapai 100%. Pengujian dilakukan menggunakan tiga jenis


(23)

medium yaitu medium Vacint Went (VW), medium Murashige and Skoog (MS) dan New Dogashima Medium (NDM). Pada penelitian ini akar mampu tumbuh dari eksplan daun pada medium VW, karena medium VW merupakan medium dengan kandungan unsur hara yang paling sederhana dibandingkan dengan medium lainnya. Sementara Supriyadi (2014) melakukan multiplikasi tanaman sarang semut dari eksplan biji dengan penambahan Thidiazuron dan NAA pada medium MS. Hasil terbaik diperoleh pada perlakuan Thidiazuron 1 mg/L dan NAA 0,1 mg/L. Selain itu, Nurjaman (2015) melakukan penelitian tentang pengaruh jenis eksplan dan Thidiazuron terhadap multiplikasi tunas adventif, menghasilkan bahwa Thidiazuron dapat menginduksi multiplikasi sarang semut dengan konsentrasi terbaik pada Thidiazuron 3 mg/L+0,5 mg/L NAA dengan jumlah tunas sebanyak 15,33 tunas. Keberhasilan teknik in vitro tergantung juga pada kebutuhan hara sel dan jaringan yang dikulturkan. Hara terdiri dari komponen yang utama dan komponen tambahan. Komponen utama meliputi garam mineral, sumber karbon (gula), vitamin dan zat pengatur tumbuh. Komponen lain seperti senyawa nitrogen organik, berbagai asam organik dan metabolit serta ekstra tambahan tidak mutlak dibutuhkan, tetapi dapat menguntungkan ketahanan sel dan perbanyakannya.

C. Medium MS

Medium adalah faktor utama dalam perbanyakan in vitro. Keberhasilan perbanyakan dan perkembangbiakan tanaman dengan metode kultur in vitro

secara umum sangat tergantung pada jenis medium yang digunakan. Ada dua penggolongan medium tumbuh: medium padat dan medium cair. Medium padat


(24)

9

pada umumnya berupa padatan gel, seperti agar, dimana nutrisi dicampurkan pada agar. Medium cair adalah nutrisi yang dilarutkan di air. Medium cair dapat bersifat tenang atau dalam kondisi selalu bergerak, tergantung kebutuhan. Komposisi medium yang digunakan dalam kultur jaringan dapat berbeda komposisinya. Perbedaan komposisi medium dapat mengakibatkan perbedaan pertumbuhan dan perkembangan eksplan yang ditumbuhkan secara in vitro.

Medium yang digunakan pada kultur in vitro berpengaruh besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan eksplan yang akan dihasilkan. Oleh karena itu, bermacam-macam medium kultur in vitro dibuat untuk menyesuaikan dengan berbagai jenis kebutuhan nutrisi eksplan yang digunakan. Medium tumbuh untuk eksplan berisi kualitatif komponen bahan kimia yang hampir sama, hanya berbeda pada tingkat konsentrasi tiap-tiap persenyawaan. Medium dasar yang sering digunakan dalam kultur in vitro adalah medium MS dan modifikasinya (Chen et al., 2004 dalam Nurjaman, 2015)

Medium Murashige dan Skoog (MS) paling banyak digunakan dalam Kultur in vitro. Medium MS diciptakan oleh Toshio Murashige dan Skoog Folke K. pada tahun 1962. Medium MS merupakan perbaikan komposisi medium Skoog, terutama kebutuhan garam anorganik yang mendukung pertumbuhan optimum pada kultur in vitro tembakau. Medium MS mengandung 40 mM N dalam bentuk NO3 dan 29 mM N dalam bentuk NH4+. Kandungan lainnya berupa Kalium 20 mM dan P 1,25 mM. Komposisi medium yang digunakan dalam kultur

in vitro memiliki kandungan dan komposisi yang berbeda. Perbedaan komposisi pada medium menghasilkan pertumbuhan dan perkembangan yang berbeda pada


(25)

eksplan. Medium Murashige dan Skoog (MS) sangat sering digunakan karena cukup memenuhi unsur hara makro, mikro dan vitamin untuk pertumbuhan tanaman (Marlina, 2004, dalam Nurjaman, 2015).

D. Arang Aktif

Arang aktif atau sering juga disebut sebagai Karbon aktif, adalah suatu jenis karbon yang memiliki luas permukaan yang sangat besar. Karbon aktif adalah karbon padat yang memiliki luas permukaan yang cukup tinggi berkisar antara 100 sampai dengan 2000 m2/g. Arang aktif memiliki pori – pori yang sangat kompleks dengan ukuran mikro dibawah 20 A (Angstrom), ukuran meso 20 sampai 50 Angstrom dan ukuran makro yang melebihi 500 A, pembagian ukuran pori berdasarkan IUPAC (International Union of Pure and Applied Chemistry).

Karbon aktif sangat cocok digunakan untuk aplikasi yang membutuhkan luas kontak yang besar seperti pada bidang adsorpsi (penjerapan), dan pada bidang reaksi katalisis, karena karbon aktif memiliki luas permukaan yang sangat besar. Secara umum karbon aktif ini dibuat dari bahan dasar batu bara dan biomasa. Proses pembuatan arang aktif dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu pengaktifan secara fisika dan secara kimia. Pengaktifan secara fisika pada dasarnya dilakukan dengan cara memanaskan bahan baku pada suhu yang cukup tinggi (600 – 9000 C) pada kondisi miskin udara (oksigen), kemudian pada suhu tinggi tersebut dialirkan medium pengaktif berupa uap air dan CO2. Pada


(26)

11

pengaktifan kimiawi, bahan baku sebelum dipanaskan dicampur dengan bahan kimia tertentu seperti KOH, NaOH dan K2CO3 (Wikipedia, 2014).

Penambahan arang aktif kedalam medum kultur mempunyai pengaruh memacu atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan, tergantung pada medum, jaringan yang digunakan, dan atau tujuan penelitian. Pengaruh arang aktif didalam medium kultur in vitro adalah sebagai berikut:

1. Memberikan lingkungan gelap pada medium

Sinar merupakan faktor utama dalam lingkungan kultur dan terbukti berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan secara in vitro. Kebutuhan sinar untuk diferensiasi meliputi kombinasi dari beberapa komponen termasuk intensitas, periode harian, dan kualitas. Intensitas cahaya yang rendah dapat merangsang zat tumbuh endogen bekerja lebih aktif dalam melakukan proses inisiasi akar. Dengan tersuspensinya arang aktif dalam medium padat, maka jumlah sinar yang melewati medium juga berkurang. Proskauer dan Berman (1970) menemukan bahwa dalam keadaan tersebut menyebabkan rhizoid dan lumut tumbuh di dalam medium dan filamen hijaunya berkembang diatas permukaan. Pan dan Staden (1998) mengemukakan bahwa pengurangan sinar pada dasar tunas akan memberikan lingkungan kodusif unuk akumulasi photosensitif auksin atau co-faktor. Arang aktif juga mempengaruhi aktivitas dan/atau stabilitas zat pengatur tumbuh dengan mengurangi cahaya di dalam kultur in vitro (Nissen dan Sutter, 1990). Menurut Wareing dan Phillips (1986) auksin dapat bekerja dengan aktif bila dalam keadaan gelap walaupun sintesisnya harus berlangsung dalam keadaan terang.


(27)

2. Menyerap zat penghambat tertentu yang diproduksi baik oleh medium ataupun eksplan di dalam kultur

Masalah yang sering terjadi pada fase awal kultur in vitro adalah pencoklatan dan diikuti kematian jaringan karena produksi polyphenol yang berlebihan. Phenol sering dikonotasikan sebagai zat penghambat yang harus dihilangkan dari kultur in vitro. Arang aktif berguna untuk menyerap racun atau senyawa inhibitor yang disekresikan oleh plantlet ke dalam medium. Arang aktif dapat menyerap senyawa fenol yang keluar dari jaringan tanaman yang terluka pada saat inisiasi. Pan dan Staden (1998) menyatakan arang aktif menghilangkan pewarnaan dengan menyerap phenol dan rendered oksodase phenol dan menginaktifkan peroksidase. Disamping itu, arang aktif dapat mengurangi pencoklatan medium akibat pemanasan tinggi setelah sterilisisasi (Madhusudhanan dan Rahiman, 2000 dalam Widiastoety dan Marwoto, 2004). Arang aktif mengurangi pencoklatan pada eksplan palm dan kultur medium (Tisserat, 1979) sehingga memacu eksplan untuk tumbuh secara organogenesis. Arang aktif juga mengontrol pencoklatan medium dan menstimilasi pertumbuhan tunas Strelitzia regnae dan Anemone aronaria (Mensuali-Sodi et al., 1993). Pan dan Staden (1998) menyatakan bahwa arang aktif juga menyerap vitamin, thiamin-HCl dan asam nikotinik. Arang aktif yang diinkubasi di dalam medium, dapat menyerap 5-hydroksymethyl-fulfural (HMF). Senyawa tersebut diperkirakan berasal dari sukrosa didalam medium yang diautoklaf dalam kondisi


(28)

13

asam. Selanjutnya HMF jugs memperlihatkan daya penghambatan didalam embriogenesis kultur anther tembakau, kecuali dengan pemberian arang aktif. 3. Menyerap zat pengatur tumbuh dan komponen organik lainnya

Zat pengatur tumbuh khususnya auksin dan sitokinin seringkali digunakan dalam kultur in vitro. Konsentrasi dan kombinasi auksin dan sitokinin didalam medium kultur merupakan kunci kesuksesan regenerasi tanaman. Nissen dan Sutter (1990) mengemukakan bahwa arang aktif juga dapat menyerap zat pengatur tumbuh (BA, IAA, IBA, NAA, dan kinetin dalam konsentrasi tinggi baik pada medium cair maupun padat). Fridborg dan Ericsson (1975) mengemukakan bahwa arang aktif juga dapat menghilangkan zatpengatur tumbuh khususnya auksin dari medium.

Tunas beberapa tanaman di dalam kultur in vitro terbukti lebih cepat membentuk akar dengan penambahan arang aktif ke dalam medium. Arang aktif juga dilaporkan memacu pertumbuhan akar pada saat akar sudah berinisiasi. Pemacuan tersebut disebabkan arang aktif berperan sebagai zat penghambat (melindungi jaringan dari pencoklatan), menyerap auksin, atau pengaruhya dalam membuat lingkungan medium menjadi gelap (George dan Sherington, 1984). Penelitian Widiastoety dan Marwoto (2004) menunjukkan bahwa pemberian arang aktif proanalisis dan norit dapat meningkatkan jumlah akar terbanyak dibandingkan dengan perlakuan lainnya yaitu dengan arang aktif teknis dan arang kayu. Hal ini disebabkan arang aktif proanalisis dan norit dalam medium tumbuh mampu mengurangi cahaya yang masuk dalam medium tumbuh, karena


(29)

mengandung persentase arang aktif yang lebih tinggi yaitu sekitar 99% pada arang aktif proanalisis dan 25% pada norit.

E. Zat Pengatur Tumbuh

Zat pengatur tumbuh adalah senyawa organik bukan hara yang dibuat untuk memacu pembentukan fitohormon (hormon tumbuhan) yang sudah ada di dalam tanaman atau menggantikan fungsi dan peran hormon bila tanaman kurang dapat memproduksi hormon dengan baik. Hormon adalah sekumpulan senyawa organik bukan hara (nutrien) yang dalam kadar sangat kecil mampu mendorong, menghambat, atau mengubah pertumbuhan, perkembangan, dan pergerakan (taksis) tumbuhan. Setiap hormon mempengaruhi respon pada banyak bagian tumbuhan. Respon itu bergantung pada spesies, bagian tumbuhan, fase perkembangan, konsentrasi hormon, interaksi antar hormon yang diketahui, dan berbagai faktor lingkungan. Jadi jaringan yang berbeda akan memberikan respon yang berbeda terhadap zat kimia yang berbeda (Wikipedia, 2013).

ZPT yang sering digunakan pada kultur in vitro yaitu auksin dan sitokinin. Jika konsentrasi auksin lebih besar dari pada sitokinin maka akar akan tumbuh, dan apabila konsentrasi sitokinin lebih besar daripada auksin maka tunas akan tumbuh. Interaksi dan perimbangan antara zat pengatur tumbuh yang diberikan dalam medium dan yang diproduksi oleh sel secara endogen menentukan arah perkembangan suatu kultur. Auksin adalah salah satu golongan fitihormon, baik alamiah maupun sintetik yang mampu menginduksi pemanjangan sel dan juga dalam kasus tertentu pembelahan sel. Golongan senyawa ini juga mempengaruhi


(30)

15

dominansi apikal, penghambatan pucuk aksilar dan adventif, serta inisiasi pengakaran (Wattimena, 1992 dalam Nurjaman, 2015).

IBA merupakan jenis auksin yang paling sering digunakan dalam menginduksi akar dibandingkan jenis auksin lainnya. Selain karena kemampuannya dalam merangsang terbentuknya akar pada eksplan, IBA (Gambar 1) memiliki kemampuan yang tinggi dalam mengendalikan inisiasi akar. Disamping itu, IBA juga memiliki kestabilan yang baik dibanding IAA dan tingkat toksisitas yang rendah dibandingkan NAA (Wikipedia, 2016).

Gambar 1. Rumus Bangun IBA

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Haque et al. (1997) jumlah akar terbanyak dihasilkan dari tunas yang dikulturkan pada medium MS ½ konsentrasi dengan penambahan IBA 0,2 mg/L. Pada pengakaran, ukuran tunas saat dipindahkan ke dalam medium pengakaran adalah ± 2cm (Ndoye et al., 2003). Akar yang terbentuk secara in vitro seringkali tebal atau gemuk (memiliki diameter lebih besar) dan memiliki rambut-rambut akar. Perlakuan perendaman biji dalam larutan Rooton F 2 g/L selama 30 menit cenderung menghasilkan akar jumlah akar terbanyak (Rineksane, 2000., dalam Nurjaman, 2015). Selain itu, pada perlakuan tersebut mampu menghasilkan akar primer terpanjang. Hal ini


(31)

dikarenakan dalam Rooton F terkandung IBA yang berperan dalam meningkatkan jumlah dan panjang akar (Poerwanto, 1994 dalam Rineksane, 2000). Penambahan IBA dengan konsentrasi 0,5 mg/L memberikan hasil terbaik pada pengakaran tanaman Pelargonium tomentosum (Gati dan Mariska dalam Rostiana-Seswita, 2007). Pada penelitian Rostiana dan Seswita (2007), penambahan IBA dengan konsentrasi rendah (0,2 – 0,4 mg/L) dalam menginduksi tunas Piretrum mampu menghasilkan jumlah akar yang banyak dibandingkan dengan perlakuan pemberian NAA.

Sementara itu, pengaplikasian IBA 2 ppm dalam kultur ex vitro pada tunas

Sansiviera dapat meningkatkan jumlah akar sekunder, panjang akar dan bobot basah akar. Khawar dan Ozcan (2002) berhasil menginduksi akar tanaman Lens culinaris menggunakan IBA pada konsentrasi 0,25 – 2 mg/L pada medium MS dengan hasil terbaik diperoleh pada perlakuan IBA 0,25 mg/L dengan persentase perakaran sebesar 25% selama empat minggu (Riyadi dan Sumaryono, 2010). Hasil penelitian pada pucuk tanaman Azalea dilaporkan bahwa penggunaan ZPT yang mengandung senyawa auksin seperti IBA dan NAA sangat berperan dalam mempercepat dan merangsang pembentukan akar dalam jumlah cukup serta mempercepat penyembuhan luka akibat pemotongan (Sadjadiputra, 1988 dalam

Riyadi dan Sumaryono, 2010).

F. Hipotesis

Penggunaan medium MS dengan penambahan arang aktif dan IBA 2 mg/L diduga memberikan respon terbaik pada perakaran sarang semut.


(32)

17

III. TATA CARA PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur In Vitro Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Penelitian dimulai pada bulan April sampai bulan Agustus 2016.

B. Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari : tunas sarang semut hasil kultur in vitro, medium MS, arang aktif, IBA, alkohol, dan aquades steril. Alat yang digunakan dalam penelitian yaitu : botol kultur, gelas ukur, erlenmayer, alumunium foil, kertas payung, plastik, karet pengikat, pembakar spiritus, petridish, skalpel, LAF (Laminar Air Flow) dan Autoklaf.

C. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode eksperimental yang disusun dalam Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) dengan rancangan perlakuan faktorial 2 x 4. Faktor 1 adalah konsentrasi arang aktif yaitu 0 g/L dan 2 g/L arang aktif. Faktor 2 adalah penambahan IBA yaitu: 0 mg/L, 2 mg/L, 4 mg/L, 6 mg/L. Setiap perlakuan tersebut diulang 5 kali, sehingga terdapat 40 unit percobaan. Penelitian dilakukan dua tahap yaitu tahap pertama homogenisasi planlet dan tahap kedua peningkatan kuantitas akar. Tahap homogenisasi dilakukan selama 2 minggu untuk mendapatkan planlet yang seragam. Planlet yang telah dihomogenisasikan kemudian disubkultur pada


(33)

medium perlakuan MS dengan penambahan Arang aktif (0 g/L dan 2 g/L) dan IBA (0 mg/L, 2 mg/L, 4 mg/L, 6 mg/L).

Tabel 1. Perlakuan Konsentrasi Arang Aktif dan Konsentrasi IBA untuk Induksi Akar Sarang Semut

IBA Arang aktif

0 mg/L (B1)

2 mg/L (B2)

4 mg/L (B3)

6 mg/L (B4) 0 g/L (A1) A1B1 A1B2 A1B3 A1B4 2 g/L (A2) A2B1 A2B2 A2B3 A2B4 Keterangan: A1B1 = Arang aktif 0 g/L + IBA 0 mg/L

A1B2 = Arang aktif 0 g/L + IBA 2 mg/L A1B3 = Arang aktif 0 g/L + IBA 4 mg/L A1B4 = Arang aktif 0 g/L + IBA 6 mg/L A2B1 = Arang aktif 2 g/L + IBA 0 mg/L A2B2 = Arang aktif 2 g/L + IBA 2 mg/L A2B3 = Arang aktif 2 g/L +IBA 4 mg/L A2B4 = Arang aktif 2 g/L +IBA 6 mg/L

D. Cara Penelitian

1. Sterilisasi Alat

Sterilisasi dilakukan dengan dua cara, yaitu sterilisasi basah atau uap air yang bertekanan dan sterilisasi bakar. Sterilisasi basah menggunakan tekanan dilakukan dengan memasukkan alat-alat yang telah dibungkus dengan kertas payung dalam autoklaf pada suhu 1210C bertekanan 1 atm selama 30 menit. Alat-alat yang disterilkan antara lain: botol-botol kultur, pinset, skalpel, aluminium foil, petridish, dan Erlenmeyer. Sterilisasi bakar digunakan lampu spiritus yang dilakukan di LAF. Cara yang digunakan yaitu dengan mencelupkan alat yang digunakan dalam alkohol 70% kemudian membakar pada lampu spiritus. Alat yang dibakar yaitu pinset dan skalpel yang berfungsi pada saat penanaman


(34)

19

eksplan. Penyeterilan LAF dilakukan dengan menyemprotkan alkohol 70% ke seluruh permukaan kemudian dilap hingga kering dan dinyalakan lampu UV selama satu jam sebelum LAF digunakan.

2. Pembuatan Medium Tanam

Medium tanam yang digunakan dalam penelitian ini adalah medium padat yaitu menggunakan medium MS0 dan MS dengan arang aktif yang dikombinasikan dengan IBA dalam jumlah yang bervariasi sesuai perlakuan. Persiapan pembuatan medium dimulai dengan mempersiapkan alat yang akan digunakan yaitu timbangan analitik, tabung Erlenmeyer, gelas ukur, pengaduk kaca, cawan timbang, sendok, kertas pH, botol medium, alumunium foil, dan kompor. Selanjutnya dilakukan penimbangan bahan sesuai perlakuan, untuk medium MS0 menggunakan bahan medium MS, sukrosa, agar, dan aquades sedangkan untuk medium MS perlakuan memerlukan bahan yaitu medium MS, sukrosa, agar, mio-inositol, vitamin, aquades, arang aktif (0 g/L dan 2 g/L) serta IBA (0 mg/L, 2 mg/L, 4 mg/L dan 6 mg/L).

Bahan yang telah ditimbang sesuai perlakuan dimasukkan kedalam labu erlenmeyer satu persatu mulai dari aquades, MS, sukrosa, mio-inositol, vitamin, dan IBA sambil diaduk sampai larut. Selanjutnya pH diukur menggunakan kertas pH, dan dilihat angkanya pada skala warna. Bila pH masih dibawah 5.7 maka ditambahkan KOH secara perlahan, tetapi bila pH melebihi 6.0 ditambahkan HCl secara perlahan sampai pH mencapai 5,8. Setelah dilakukan pengecekan pH selanjutnya agar dan arang angkif dimasukkan secara berurutan, kemudian ditambahkan aquadest sampai volume yang ditentukan sambil menggoyangkan


(35)

botol memutar sehingga bahan-bahan larut. Labu elenmeyer yang berisi bahan medium kemudian dipanaskan menggunakan kompor gas sambil diaduk menggunakan pengaduk kaca sampai mendidih dan agarnya larut semua. Medium yang telah mendidih dituang kedalam botol kultur sebanyak 20 ml/botol kemudian ditutup menggunakan plastik bening dan diikat dengan karet. Botol yang sudah berisi media selanjutnya dimasukkan kedalam autoklaf untuk disterilisasi ±2 jam. Botol berisi medium yang telah steril diangkat kemudian dipindahkan dan disusun di ruang inkubasi dan diamati sampai ±3 hari untuk melihat apakah terjadi kontaminasi pada medium atau tidak.

3. Sterilisasi Eksplan

Sterilisasi eksplan bertujuan untuk menghilangkan mikroorganisme penyebab kontaminasi seperti bakteri dan jamur. Sterilisasi eksplan dilakukan dengan cara mengeluarkan eksplan sarang semut dari botol kultur. Tunas eksplan dipotong kemudian dimasukkan ke dalam larutan Clorox 1% selama lima menit. Kemudian eksplan tersebut ditempatkan pada petridish yang telah diberi larutan antiseptik (4 – 5 tetes dilarutkan dalam aquadest secukupnya). Setelah itu eksplan tersebut dibilas pada petridish yang berisi aquadest kemudian ditiriskan pada kertas saring dalam petridish.

4. Inokulasi

Pada penelitian ini inokulasi dilakukan dua tahap, tahap pertama yaitu inokulasi tunas sarang semut pada medium MS0 kemudian yang kedua adalah inokulasi tunas sarang semut dari medium MS0 ke medium perlakuan. Inokulasi


(36)

21

atau penanaman dilakukan di dalam LAF (Laminar Air Flow) yang telah disterilkan dengan alkohol 70% dan disinari dengan ultraviolet selama 60 menit. Alat tanam yang digunakan dalam proses inokulasi yaitu dissecting kits (skalpel, pinset dan gunting) dimana alat-alat tersebut harus dalam keadaan steril dan dimasukkan dalam botol jam yang berisi alkohol 70%. Jika akan digunakan untuk melakukan inokulasi, maka alat tersebut terlebih dahulu dibakar di atas pembakar bunsen dan ditunggu hingga dingin, kemudian digunakan untuk mengambil eksplan yang akan ditanam. Eksplan yang telah diambil dan direndam dalam antiseptik selanjutnya dimasukkan kedalam botol berisi medium sesuai perlakuan yang sudah disterilkan. Selanjutnya botol yang sudah diinokulasi ditutup alumunium foil, diikat karet dan dibungkus plastik wrap.

5. Inkubasi

Pada proses inkubasi, botol-botol yang sudah diinokulasi segera diletakkan di rak-rak ruang inkubasi. Ruang inkubasi dilengkapi lampu neon (TL) dengan kekuatan 40 watt yang dinyalakan selama 24 jam sebagai pengganti sinar matahari. Suhu ruang inokulasi diatur menggunakan AC yang bersuhu 20-280 C. Rak-rak yang berada di ruang inkubasi dibersihkan dengan menyemprotkan alkohol 70%. Inkubasi diakukan selama 12 minggu dimulai setelah inokulasi selesai.

E. Parameter yang Diamati

Pengamatan dilakukan setiap minggu selama 12 minggu. Variabel pengamatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: persentase eksplan hidup, persentase eksplan terkontaminasi, persentase eksplan browning,


(37)

pertambahan tinggi tunas, pertambahan jumlah daun, jumlah akar, akar terpanjang dan diameter akar.

1. Persentase Eksplan Hidup (%)

Persentase eksplan hidup menyatakan banyaknya eksplan yang hidup pada setiap satuan percobaan dari seluruh jumlah eksplan yang ditanam. Pengamatan dilakukan setiap minggu selama 12 minggu dengan cara menghitung banyaknya eksplan hidup. Eksplan dapat dikatakan hidup apabila eksplan tersebut berwarna hijau, tidak terkontaminasi, browning atau kecoklatan lebih dari 50%. Persentase eksplan hidup dihitung dengan rumus sebagai berikut:

2. Persentase Eksplan Kontaminasi (%)

Persentase eksplan terkontaminasi menyatakan banyaknya eksplan yang terkontaminasi pada setiap satuan perlakuan dari seluruh jumlah eksplan yang ditanam. Pengamatan dilakukan setiap minggu selama 12 minggu dengan cara menghitung eksplan yang terkontaminasi baik oleh bakteri maupun jamur. Persentase eksplan terkontaminasi dihitung dengan rumus sebagai berikut:


(38)

23

3. Persentase Eksplan Browning (%)

Persentase eksplan browning menyatakan banyaknya eksplan yang

browning pada setiap satuan percobaan dari seluruh jumlah eksplan yang ditanam. Eksplan dikategorikan browning jika pada tiap eksplan mengalami pencoklatan lebih dari 50%. Pengamatan dilakukan setiap minggu selama 12 minggu dengan cara menghitung eksplan yang browning (mengalami pencoklatan). Persentase eksplan browning dihitung dengan rumus sebagai berikut:

4. Pertambahan Tinggi Tunas

Pengamatan dilakukan dilakukan setiap minggu selama 12 minggu dengan cara mengukur tinggi tunas mulai dari pangkal tunas sampai titik tumbuh tunas pada semua unit percobaan. Tinggi tunas pada minggu ke-1 sampai dengan minggu ke-12 dikurangkan dengan tinggi tunas pada saat inokulasi sehingga diperoleh selisih pertambahan tinggi tunas setiap minggunya. Alat yang digunakan untuk mengukur tinggi tunas yaitu penggaris atau mistar.

5. Pertambahan Jumlah Daun

Pengamatan dilakukan setiap minggu selama 12 minggu dengan cara menghitung jumlah daun pada semua unit percobaan. Jumlah daun pada minggu ke-1 sampai dengan minggu ke-12 dikurangkan dengan jumlah daun pada saat inokulasi sehingga diperoleh selisih jumlah daun setiap minggunya.


(39)

6. Jumlah Akar

Pengamatan dilakukan pada akhir masa pengamatan (minggu ke-12) dengan cara menghitung jumlah akar pada semua unit percobaan.

7. Akar Terpanjang

Pengamatan dilakukan pada akhir masa pengamatan (minggu ke-12) dengan cara mengeluarkan seluruh eksplan dari dalam botol dan mengukur akar terpanjang pada semua unit percobaan. Akar diukur mulai dari titik pangkal akar sampai ujung akar. Alat yang digunakan untuk mengukur akar terpanjang yaitu penggaris atau mistar.

8. Diameter Akar

Pengamatan dilakukan pada akhir masa pengamatan (minggu ke-12) dengan cara mengukur diameter akar terpanjang menggunakan penggaris yang diletakkan melintang pada sisi akar.

F. Analisis Data

Data dianalisis menggunakan sidik ragam (Analisys of variance) pada taraf kesalahan α=5% untuk mengetahui pengaruh perlakuan. Bila ada beda nyata antar perlakuan, maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan Uji Jarak Ganda Duncan / UJGD (Duncan’s Multiple Range Test / DMRT). Hasil analisis ditampilkan dalam bentuk tabel, grafik dan foto.


(40)

25

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengamatan terhadap proses induksi akar pada eksplan dilakukan selama 12 minggu. Pengamatan dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan dan pengaruh pada setiap perlakuan yang diberikan. Parameter yang diamati meliputi persentase eksplan hidup, persentase eksplan browning, persentase eksplan kontaminasi, pertambahan tinggi tunas, pertambahan jumlah daun, jumlah akar, diameter akar dan akar terpanjang.

A. Persentase Eksplan Hidup, Browning dan Kontaminasi

Secara garis besar keberhasilan kultur in vitro dapat dilihat dari eksplan hidup, eksplan terkontaminasi, dan eksplan browning. Persentase eksplan hidup merupakan kemampuan eksplan untuk dapat tumbuh pada suatu medium perlakuan dalam kultur in vitro. Eksplan dapat dikatakan hidup apabila tidak mengalami kontaminasi atau jika mampu membentuk akar baru maupun tunas dan tidak mengalami browning permanen (Supriyadi, 2014). Hasil pengamatan menunjukkan seluruh eksplan yang diinokulasi dapat hidup dengan persentase eksplan hidup mencapai 100%. Persentase eksplan hidup yang tinggi pada penelitian ini dikarenakan eksplan yang digunakan merupakan eksplan yang sudah steril hasil penelitian Putri (2015). Dalam kondisi in vitro, eksplan yang bebas dari kontaminan dan tumbuh baik dapat diperbanyak melalui subkultur berulang-ulang (Haris et al., 2009). Selain itu, eksplan yang digunakan adalah tunas dimana jaringan yang masih muda pada tunas memiliki daya regenerasi yang lebih tinggi dibandingkan jaringan tanaman yang tua karena sel-sel pada jaringan muda lebih aktif membelah diri serta relatif mengandung sedikit kontaminan (Yusnita et al.,


(41)

2003). Menurut Gunawan (1987) pertumbuhan dan perkembangan eksplan juga dipengaruhi oleh media yang digunakan salah satunya adalah media Murashige & Skoog (MS). Media MS merupakan media yang cocok untuk pertumbuhan dan perkembangan hampir semua jenis tanaman. Penggunaan zat pengatur tumbuh yang ditambahkan pada medium dan asal eksplan yang digunakan dapat mempengaruhi tingginya kemampuan eksplan untuk bertahan hidup (Ferita et al., 2003 dalam Nurjaman, 2015). Penggunaan IBA juga berpengaruh terhadap eksplan hidup dimana auksin dapat meningkatkan sintesa protein. Adanya kenaikan sintesa protein, maka dapat digunakan sebagai sumber tenaga dalam pertumbuhan (Hendaryono dan Wijayani, 1994). Selain itu sebelum inokulasi, eksplan tunas sarang semut disterilkan kembali menggunakan larutan Clorox 1% yang diencerkan pada aquadest steril 100 ml selama 5 menit serta selanjutnya disterilkan kembali dengan larutan antiseptik yang memiliki senyawa Povidon Iodin. Kedua senyawa tersebut dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan mikrobia (Putri, 2015).

Browning merupakan perubahan warna eksplan dari hijau menjadi coklat (Nurjaman, 2015). Beberapa macam tanaman khususnya tanaman tropika mempunyai kandungan senyawa fenol yang tinggi yang teroksidasi ketika sel dilukai atau terjadi senesens (George dan Sherrington 1984). Senyawa fenol yang teroksidasi menyebabkan jaringan yang diisolasi menjadi coklat atau kehitaman dan gagal tumbuh. Pencoklatan jaringan terjadi karena aktivitas enzim oksidase yang mengandung tembaga seperti polifenol oksidase dan tirosinase yang dilepaskan atau disintesis dan tersedia pada kondisi oksidatif ketika jaringan


(42)

27

dilukai. Pengamatan eksplan browning meliputi keseluruhan eksplan yang berwarna coklat. Hasil pengamatan menunjukkan seluruh eksplan yang diinokulasi tidak ada yang mengalami browning atau pencoklatan. Persentase

browning sebesar 0% diduga karena penggunaan eksplan jaringan muda yang tidak mengandung banyak fenolik. Hal ini didukung oleh George dan Sherrington (1984) bahwa pencoklatan pada jaringan muda lebih sedikit dibandingkan dengan jaringan yang tua. Selain itu pemotongan yang hanya dilakukan pada akar eksplan saat proses inokulasi tidak menimbulkan kerusakan yang besar pada jaringan eksplan. Kerusakan jaringan yang terlalu besar akibat pelukaan pada saat inokulasi dapat memacu aktivitas fenilalanin amonialiase (FAL) yang nantinya akan memproduksi senyawa fenolik (Putri, 2015).

Kontaminasi merupakan hambatan yang terjadi pada perbanyakan tanaman secara in vitro, adanya kontaminasi dapat menyebabkan pertumbuhan eksplan menjadi terhambat atau bahkan menyebabkan eksplan mati. Kontaminasi disebabkan oleh bakteri atau jamur yang bersaing dengan eksplan untuk mendapatkan nutrisi sehingga pertumbuhan eksplan akan terhambat oleh adanya kontaminan tersebut. Kontaminasi yang disebabkan jamur ditandai dengan adanya miselium berwarna putih, abu abu, dan ada juga yang berwarna merah muda yang tumbuh di sekitar eksplan. Kontaminasi yang disebabkan oleh adanya jamur umumnya baru akan terlihat pada minggu ke-2 dan ke-3 setelah tanam. Kontaminasi yang disebabkan bakteri dapat dilihat dengan adanya lendir berwarna putih keruh di sekitar eksplan. Kontaminasi yang disebabkan bakteri dapat terlihat pada minggu ke-1 setelah tanam, karena pertumbuhan bakteri lebih cepat


(43)

dibandingkan dengan jamur. Tujuan pengamatan pada parameter ini yaitu untuk mengetahui tingkat kontaminasi yang terjadi pada semua perlakuan dan sumber kontaminannya. Hasil pengamatan pada penelitian induksi akar Sarang semut dengan perlakuan Arang aktif dan IBA pada medium MS secara in vitro mulai dari 1 minggu setelah tanam sampai dengan 12 minggu setelah tanam menunjukkan seluruh eksplan yang diinokulasi tidak ada yang mengalami kontaminasi. Persentase eksplan kontaminasi 0%, diduga karena eksplan yang digunakan merupakan eksplan steril. Selain itu sebelum inokulasi, eksplan tunas sarang semut disterilkan kembali menggunakan larutan Clorox 1% dan larutan antiseptik yang memiliki senyawa povidon iodin. Peralatan dan ruangan yang digunakan sebagai tempat inokulasi juga sudah disterilkan terlebih dahulu sehingga mampu menekan resiko kontaminasi akibat aktivitas mikroorganisme baik itu jamur maupun bakteri.

B. Pertambahan Tinggi Tunas

Tinggi tunas adalah ukuran tanaman yang biasa diamati atau dilihat baik sebagai indikator pertumbuhan maupun sebagai peubah yang digunakan untuk mengukur kondisi lingkungan sekitar atau perlakuan yang dilakukan. Penambahan tinggi tunas disebabkan oleh dua proses yaitu pembelahan sel (peningkatan jumlah) dan pembesaran sel (peningkatan ukuran) pada tunas eksplan (Gardner et al., 1991). Pertambahan tinggi tunas diamati untuk melihat ada tidaknya pengaruh antar perlakuan terhadap tinggi tunas. Hasil analisis pertambahan tinggi tunas minggu ke-12 setelah inokulasi disajikan pada tabel 2.


(44)

29

Tabel 2. Pengaruh Arang Aktif dan IBA terhadap Pertambahan Tinggi Tunas Tanaman Sarang Semut (cm) pada 12 MST

Konsentrasi IBA (mg/L)

0 2 4 6

Arang aktif 0 g/L 0,98 1,13 1,11 1,15 1,09 a Arang aktif 2 g/L 1,09 1,09 1,12 1,04 1,09 a 1,04 p 1,11 p 1,12 p 1,09 p (-) Keterangan: Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom

atau baris menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji F pada taraf kesalahan α=5%.

(-) tidak ada interaksi antara perlakuan penggunaan arang aktif dan konsentrasi IBA terhadap tinggi tunas.

Hasil analisis pada tabel 2 dan lampiran 3a menunjukkan tidak ada interaksi antara penggunaan arang aktif dengan konsentrasi IBA terhadap pertambahan tinggi tunas. Hal ini menunjukkan penggunaan arang aktif dan berbagai konsentrasi IBA tidak saling mempengaruhi satu sama lain terhadap pertambahan tinggi tunas eksplan tanaman sarang semut. Penggunaan arang aktif tidak memberikan pengaruh nyata terhadap selisih tinggi tunas yang diperoleh pada minggu ke-12 setelah inokulasi. Rata – rata selisih tinggi tunas antara perlakuan arang aktif 0 mg/L dengan 2 mg/L memiliki nilai yang sama yaitu 1,09. Tidak adanya beda nyata antara perlakuan menggunakan arang aktif 0 g/L dengan 2 g/L dikarenakan arang aktif tidak berperan langsung terhadap pertambahan tinggi tunas, selain itu arang aktif berdasarkan sifatnya lebih berpengaruh terhadap proses pengakaran.

Penggunaan berbagai konsentrasi IBA juga tidak memberikan pengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi tunas tanaman sarang semut. Hal ini menunjukkan penggunaan IBA dengan konsentrasi 0 mg/L, 2 mg/L, 4 mg/L dan 6 mg/L tidak berpengaruh secara signifikan terhadap proses pertambahan tinggi


(45)

tunas. Penggunaan IBA diduga cenderung lebih berperan pada pembentukan akar. Pemberian IBA merangsang pembentukan akar dikarenakan pergerakan auksin mengikuti proses geotropisme yaitu ke bagian bawah, sehingga konsentrasi auksin meningkat pada bagian bawah dan akibatnya merangsang pembentukan akar (Wetter dan Constabel., 1991).

Pertambahan tinggi tunas mulai dari 1 minggu setelah inokulasi sampai dengan 12 minggu setelah inokulasi disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Pengaruh Arang Aktif terhadap Pertambahan Tinggi Tunas Tanaman Sarang Semut pada 1-12 MST

Pada gambar 2 dapat diketahui pertambahan tinggi tunas sarang semut dengan perlakuan arang aktif 0 g/L dan 2 g/L berlangsung lambat. Hal ini dikarenakan pada minggu ke-1 sampai minggu ke-4 eksplan masih dalam tahap penyesuaian terhadap medium inokulasi baru dengan berbagai konsentrasi arang aktif. Selain itu eksplan mengalokasikan energi dan nutrisi yang diserap untuk memperbaiki jaringan tanaman yang terluka akibat pemotongan akar pada saat

0 0.5 1 1.5 2 2.5

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

T

in

ggi

tun

as (c

m

)

Minggu ke

Arang aktif 0 g/l


(46)

31

inokulasi. Pertambahan tinggi tunas pada minggu 5 sampai dengan minggu ke-12 cenderung semakin cepat. Hal ini dikarenakan eksplan tanaman sarang semut sudah mampu menyesuaikan dengan keadaan medium yang telah diberi perlakuan arang aktif. Pengaruh berbagai konsentrasi IBA terhadap tinggi tunas dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 3. Pengaruh Berbagai Konsentrasi IBA terhadap Pertambahan Tinggi Tunas Tanaman Sarang Semut

Pada gambar 3 dapat diketahui pertambahan tinggi tunas sarang semut dengan perlakuan IBA 0 mg/L, 2 mg/L, 4 mg/L dan 6 mg/L berlangsung lambat. Hal ini juga dikarenakan pada minggu ke-1 sampai minggu ke-4 eksplan masih dalam tahap penyesuaian terhadap medium inokulasi baru dengan berbagai konsentrasi arang aktif dan IBA. Pada minggu ke-5 pertambahan tinggi tunas mulai terlihat signifikan. Hal ini dikarenakan eksplan tanaman sarang semut sudah mampu menyesuaikan dengan keadaan medium sehingga tanaman mampu menyerap nutrisi pada medium dengan maksimal dalam pertambahan tinggi tunas. Pertambahan tinggi tunas pada minggu ke-5 sampai dengan minggu ke-12 cenderung semakin cepat. Pada minggu ke-8 perlakuan menggunakan IBA 2 mg/L

0 0.5 1 1.5 2 2.5

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

T

in

ggi

tun

as (c

m

)

Minggu ke

IBA 0 mg/l IBA 2 mg/l IBA 4 mg/l IBA 6 mg/l


(47)

dan 4 mg/L mengalami pertambahan tinggi tunas lebih besar dari perlakuan lain. Hal ini menunjukkan respon tanaman sarang semut terhadap IBA dengan konsentrasi 2 mg/L dan 4 mg/L lebih cepat untuk pertambahan tinggi tunas dibandingkan konsentrasi IBA yang lainnya. Pengaruh Arang aktif dan IBA terhadap tinggi tunas dapat dilihat pada gambar 4.

Gambar 4. Pengaruh Arang Aktif dan IBA terhadap Pertambahan Tinggi Tunas Sarang Semut pada 12 MST

C. Pertambahan Jumlah Daun

Daun merupakan organ vegetatif tanaman yang dapat menentukan terbentuknya organ generatif berikutnya. Jumlah daun merupakan jumlah

Arang aktif 0 g/L + IBA 0 mg/L

Arang aktif 0 g/L + IBA 5 mg/L

Arang aktif 0 g/L + IBA 4 mg/L

Arang aktif 0 g/L + IBA 2 mg/L

Arang aktif 2 g/L + IBA 0 mg/L

Arang aktif 2 g/L + IBA 6 mg/L

Arang aktif 2 g/L + IBA 4 mg/L

Arang aktif 2 g/L + IBA 2 mg/L


(48)

33

keseluruhan daun yang tumbuh pada setiap perlakuan yang diuji. Pertambahan jumlah daun sangat berpengaruh pada pertumbuhan planlet karena daun merupakan tempat untuk menghasilkan fotosintat yang diperlukan dalam pertumbuhan dan perkembangan planlet. Jumlah daun diamati untuk melihat ada tidaknya pengaruh antar perlakuan terhadap pertambahan jumlah daun selama periode penelitian. Hasil analisis pertambahan jumlah daun minggu ke-12 dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Pengaruh Arang Aktif dan IBA terhadap Pertambahan Jumlah Daun Tanaman Sarang Semut pada 12 MST

IBA (mg/L)

0 2 4 6

Arang aktif 0 g/L 8,40 4,60 7,00 6,60 6,75 a Arang aktif 2 g/L 7,20 6,40 5,60 7,80 6,65 a 7,80 p 5,50 p 6,30 p 7,20 p (-) Keterangan: Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom

atau baris menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji F pada taraf kesalahan α=5%

(-) tidak ada interaksi antara perlakuan penggunaan arang aktif dan konsentrasi IBA terhadap jumlah daun.

Hasil analisis pada tabel 3 dan lampiran 3b menunjukkan tidak ada interaksi antara penggunaan arang aktif dengan konsentrasi IBA terhadap pertambahan jumlah daun. Penggunaan arang aktif tidak memberikan pengaruh nyata terhadap selisih jumlah daun yang diperoleh pada minggu ke-12 setelah inokulasi. Perlakuan menggunakan arang aktif 0 g/L dengan 2 g/L tidak berbeda nyata dikarenakan arang aktif tidak berperan langsung dalam penambahan jumlah daun. Medium tanpa arang aktif memberikan rata-rata jumlah daun sebesar 6,75; sedangkan penggunaan arang aktif dengan konsentrasi 2 g/L memberikan rata-rata jumlah daun sebesar 6,65.


(49)

Penggunaan berbagai konsentrasi IBA juga tidak memberikan pengaruh nyata terhadap pertambahan jumlah daun tanaman sarang semut. Berdasarkan tabel 3 jumlah daun yang lebih baik yaitu pada perlakuan tanpa IBA walaupun tidak berbeda nyata dengan perlakuan IBA 2 mg/L, 4 mg/L dan IBA 6 mg/L. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lutfi (2015) dimana penggunaan IBA dengan berbagai konsentrasi tidak memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah daun tanaman sarang semut secara in vitro. Penggunaan IBA diduga cenderung lebih berperan pada pembentukan akar. Menurut Salisbury dan Ross (1995), IBA memiliki aktivitas auksin yaitu tetap berada pada daerah pemberian perlakuan dan translokasinya lemah, sehingga bahan aktifnya akan tertahan di dekat tempat aplikasinya. Pengaruh arang aktif terhadap pertambahan jumlah daun mulai dari 1-12 minggu setelah tanam disajikan pada gambar 5.

Gambar 5. Pengaruh Arang Aktif terhadap Pertambahan Jumlah Daun Tanaman Sarang Semut pada 1-12 MST.

Berdasarkan gambar 5 dapat diketahui pertambahan jumlah daun pada minggu 1 sampai dengan minggu 12 mengalami fluktuasi. Pada minggu ke-1 sampai minggu ke-4 jumlah daun mengalami pertambahan yang lambat dikarenakan eksplan masih dalam tahap penyesuaian terhadap medium inokulasi baru. Pada minggu ke-5 jumlah daun mulai mengalami pertambahan, akan tetapi

0 2 4 6 8

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Ju

m

lah

d

au

n

Minggu ke

Arang aktif 0 g/l Arang aktif 2 g/l


(50)

35

jumlah daun mengalami penurunan pada minggu ke-6 sampai minggu ke-7. Penurunan jumlah daun dikarenakan gugurnya daun yang sudah tua pada eksplan. Pada minggu ke-8 sampai minggu ke-12 terjadi peningkatan jumlah daun yang cepat dikarenakan eksplan tanaman sarang semut sudah memiliki akar dan mampu menyesuaikan dengan keadaan medium yang baru sehingga tanaman mampu menyerap nutrisi pada medium dengan optimal. Pengaruh berbagai konsentrasi IBA terhadap pertambahan jumlah daun mulai dari 1-12 minggu setelah tanam disajikan pada gambar 6.

Gambar 6. Pengaruh IBA terhadap Pertambahan Jumlah Daun Tanaman Sarang Semut pada 1-12 MST.

Berdasarkan gambar 6 dapat dilihat pengaruh IBA 0 mg/L, 2 mg/L, 4 mg dan 6 mg/L terhadap jumlah daun. Pertambahan jumlah daun dengan berbagai konsentrasi IBA pada minggu ke-1 sampai dengan minggu ke-12 mengalami fluktuasi. Pada perlakuan IBA 2 mg/L minggu ke-1 sampai minggu ke-6 mengalami peningkatan yang teratur dibandingkan perlakuan lain. Pada minggu ke-7 dan ke-8 perlakuan IBA 2 mg/L kecepatan pertambahan daun menurun dan kembali cepat seperti semula pada minggu ke-9 sampai minggu ke-12. Sementara pada perlakuan IBA 0 mg/L, 4 mg/L dan 6 mg/L tidak mengalami pertambahan

0 2 4 6 8 10

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Ju

m

lah

d

au

n

Minggu ke

IBA 0 mg/l IBA 2 mg/l IBA 4 mg/l IBA 6 mg/l


(51)

yang signifikan bahkan cenderung mengalami penurunan jumlah daun hingga minggu ke-4. Perlakuan IBA 0 mg/L, 4 mg/L dan 6 mg/L mulai mengalami peningkatan jumlah daun kembali pada minggu ke-5 sampai minggu ke-12. Gambar 6 menunjukkan penggunaan berbagai konsentrasi IBA menyebabkan kecepatan pertambahan jumlah daun yang berbeda-beda, dimana hal ini disebabkan respon yang berbeda dari masing-masing eksplan. Pengaruh berbagai konsentrasi arang aktif dan IBA terhadap pertambahan jumlah daun pada minggu ke-12 MST dapat dilihat pada gambar 7.

Gambar 7. Pengaruh Arang Aktif dan IBA terhadap Pertambahan Jumlah Daun Sarang Semut pada 12 MST

Arang aktif 0 g/L + IBA 0 mg/L

Arang aktif 0 g/L + IBA 6 mg/L

Arang aktif 0 g/L + IBA 4 mg/L

Arang aktif 0 g/L + IBA 2 mg/L

Arang aktif 2 g/L + IBA 0 mg/L

Arang aktif 2 g/L + IBA 2 mg/L

Arang aktif 2 g/L + IBA 6 mg/L

Arang aktif 2 g/L + IBA 4 mg/L


(52)

37

D. Jumlah Akar

Akar merupakan bagian tanaman yang berfungsi untuk menyerap air dan garam-garam mineral (zat-zat hara) serta menyokong dan memperkokoh berdirinya tanaman. Jumlah akar adalah banyaknya akar yang muncul pada planlet dengan selang waktu tertentu, jumlah akar diamati untuk melihat ada tidaknya pengaruh antar perlakuan yang diberikan terhadap pertambahan jumlah akar. Hasil analisis jumlah akar minggu ke-12 disajikan pada tabel 4.

Tabel 4. Pengaruh Arang Aktif dan IBA terhadap Jumlah Akar Tanaman Sarang Semut pada 12 MST

Konsentrasi IBA (mg/l)

0 2 4 6

Arang aktif 0 g/l 1,68 b 3,53 a 3,74 a 3,83 a 3,20 Arang aktif 2 g/l 2,31 b 1,93 b 2,47 b 2,21 b 2,23 2,00 2,73 3,11 3,02 (+) Keterangan: Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom

atau baris menunjukkan tidak berbeda nyata menurut UJGD pada taraf α=5%

(+) ada interaksi antara perlakuan penggunaan arang aktif dan konsentrasi IBA terhadap jumlah akar.

Hasil analisis pada tabel 4 dan lampiran 3c menunjukkan ada interaksi antara penggunaan arang aktif dan konsentrasi IBA terhadap jumlah akar. Hal ini menunjukkan bahwa arang aktif yang dikombinasikan dengan IBA saling mempengaruhi terhadap jumlah akar tanaman sarang semut. Pada perlakuan IBA 0 mg/L penggunaan arang aktif 2 g/L berpengaruh sama dengan perlakuan tanpa arang aktif, sedangkan pada perlakuan IBA 2 mg/L, 4 mg/L dan 6 mg/L tanpa arang aktif menunjukkan jumlah akar nyata lebih banyak dibandingkan perlakuan IBA 2 mg/L, 4 mg/L dan 6 mg/L dengan arang aktif 2 mg/L. Pada perlakuan tanpa arang aktif dengan konsentrasi IBA 2 mg/L, 4 mg/L dan 6 mg/L nyata


(53)

memberikan jumlah akar lebih banyak dibandingkan IBA 0 mg/L. Perlakuan arang aktif 2 g/L dengan konsentrasi IBA 0 mg/L, 2 mg/L, 4 mg/L dan 6 mg/L berpengaruh sama terhadap jumlah akar. Berdasarkan tabel 4 kombinasi perlakuan arang aktif 0 g/L + IBA 2 mg/L, arang aktif 0 g/L + 4 mg/L dan arang aktif 0 g/L + 6 mg/L menunjukkan jumlah akar terbaik dan nyata memiliki akar lebih banyak dibandingkan perlakuan lain. Sementara jumlah akar paling sedikit terdapat pada perlakuan arang aktif 0 g/L + IBA 0 mg/L walaupun tidak berbeda nyata dengan seluruh kombinasi perlakuan menggunakan arang aktif 2 g/L.

Arang aktif memiliki kemampuan menyerap zat-zat lain yang berada disekitarnya. Arang aktif 2 g/L yang dikombinasikan dengan berbagai konsentrasi IBA diduga mampu mengurangi suplai nutrisi maupun IBA itu sendiri dalam proses pembentukan akar. Nissen and Sutter (1990) mengemukakan bahwa arang aktif juga dapat menyerap zat pengatur tumbuh (BA, IAA, IBA, NAA, dan kinetin dalam konsentrasi tinggi baik pada medium cair maupun padat). Berdasarkan tabel 4 dan Penggunaan IBA dengan konsentrasi 2 mg/L, 4 mg/L dan 6 mg/L memiliki pengaruh lebih baik terhadap jumlah akar dibandingkan penggunaan IBA 0 mg/L. Hal ini menunjukkan penggunaan IBA 2 mg/L, 4 mg/L dan 6 mg/L memberikan pengaruh penting dalam pertambahan jumlah akar. Hal ini didukung oleh pernyataan Salisbury dan Ross (1995) yaitu IBA memegang peranan penting pada proses pembelahan dan pembesaran sel, terutama pada awal pembentukan akar. Selanjutnya, dinyatakan bahwa IBA yang diabsorbsi tanaman akan bergantung pada konsentrasi yang diberikan dan akan menentukan pembelahan sel. Jika IBA yang akan diabsorbsi tinggi, proses pembelahan sel akan


(54)

39

berlangsung cepat sehingga pembentukan kalus akan lebih cepat dan luas. Kalus pada proses selanjutnya akan merupakan bagian yang membentuk primordia akar. Semakin luas bagian yang membentuk kalus, berarti semakin banyak primordia akar yang terbentuk sehingga inisiasi akar lebih banyak. Kondisi ini mengakibatkan pertumbuhan akar pada perlakuan dengan konsentrasi IBA tertentu lebih baik jika dibandingkan perlakuan konsentrasi IBA yang lebih rendah. Pengaruh Arang Aktif dan IBA terhadap Jumlah Akar Sarang Semut pada 12 MST dapat dilihat pada gambar 8.

.

Gambar 8. Pengaruh Arang Aktif dan IBA terhadap Jumlah Akar Sarang Semut pada 12 MST

Arang aktif 0 g/L + IBA 0 mg/L

Arang aktif 0 g/L + IBA 4 mg/L

Arang aktif 0 g/L + IBA 2 mg/L

Arang aktif 0 g/L + IBA 6 mg/L

Arang aktif 2 g/L + IBA 2 mg/L

Arang aktif 2 g/L + IBA 0 mg/L

Arang aktif 2 g/L + IBA 6 mg/L

Arang aktif 2 g/L + IBA 4 mg/L


(55)

E. Akar Terpanjang

Akar terpanjang merupakan parameter yang digunakan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh antar perlakuan yang diberikan terhadap akar terpanjang tanaman sarang semut. Hasil analisis akar terpanjang minggu ke-12 disajikan pada tabel 5.

Tabel 5. Pengaruh Arang Aktif dan IBA terhadap Akar Terpanjang Tanaman Sarang Semut pada 12 MST

Konsentrasi IBA (mg/L)

0 2 4 6

Arang aktif 0 g/L 1,36 2,05 1,48 2,33 1,80 a Arang aktif 2 g/L 1,59 2,05 1,45 2,06 1,79 a 1,47 q 2,05 p 1,46 q 2,20 p (-) Keterangan: Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom

atau baris menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji F pada taraf kesalahan α=5%

(-) tidak ada interaksi antara perlakuan penggunaan arang aktif dan konsentrasi IBA terhadap panjang akar

Hasil analisis pada tabel 5 dan lampiran 4b menunjukkan tidak ada interaksi antara penggunaan arang aktif dengan konsentrasi IBA terhadap panjang akar. Hal ini menunjukkan tidak adanya hubungan saling mempengaruhi antara kombinasi arang aktif dan IBA terhadap panjang akar. Penggunaan arang aktif tidak memberikan pengaruh nyata terhadap panjang akar yang diperoleh pada minggu ke-12 setelah inokulasi. Berdasarkan tabel 5 dapat dilihat tidak ada beda nyata antara perlakuan menggunakan arang aktif 0 g/L dengan Arang aktif 2 g/L. Pertambahan panjang akar disebabkan terjadinya proses pembelahan sel pada meristem ujung akar, selanjutnya diikuti oleh proses pemanjangan dan pembesaran sel. Perlakuan tanpa atau dengan arang aktif yang tidak berbeda nyata diduga karena keberadaan arang aktif pada medium menghambat proses


(56)

41

pemanjangan akar, dimana arang aktif menyerap zat pengatur tumbuh dan komponen organik dalam medium kultur sehingga terjadi pengurangan jumlah nutrisi untuk proses pemanjangan akar. Nissen dan Sutter (1990) mengemukakan bahwa arang aktif juga dapat menyerap zat pengatur tumbuh (BA, IAA, IBA, NAA, dan kinetin dalam konsentrasi tinggi baik pada medium cair maupun padat). Fridborg dan Ericsson (1975) mengemukakan bahwa arang aktif juga dapat menghilangkan zat pengatur tumbuh khususnya auksin dari medium.

Sementara pada perlakuan menggunakan IBA pada konsentrasi 6 mg/L menunjukkan panjang akar terbaik walaupun tidak berbeda nyata dengan perlakuan IBA 2 mg/L, akan tetapi keduanya nyata lebih panjang dibandingkan dengan perlakuan IBA 0 mg/L dan 4 mg/L (Tabel 5). Hal tersebut dikarenakan IBA yang diberikan sampai dengan konsentrasi 6 mg/L mampu mempercepat proses pembelahan maupun pemanjangan sel dalam pemanjangan akar. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wetter dan Constabel (1991) yaitu penambahan zat pengatur tumbuh IBA pada konsentrasi tertentu akan berpengaruh terhadap pemanjangan sel, tetapi pada konsentrasi terlalu tinggi bersifat sebaliknya. Hasil penelitian pada pucuk tanaman Azalea dilaporkan bahwa penggunaan ZPT yang mengandung senyawa auksin seperti IBA dan NAA sangat berperan dalam mempercepat dan merangsang pembentukan akar dalam jumlah cukup serta mempercepat penyembuhan luka akibat pemotongan (Sadjadiputra, 1988 dalam

Riyadi dan Sumaryono, 2010). Penggunaan konsentrasi IBA 6 mg/L diduga mampu mempercepat penyembuhan luka akibat pemotongan saat inokulasi sehingga mampu beradaptasi dan menyerap nutrisi lebih cepat dibandingkan


(57)

dengan konsentrasi IBA lainnya yang lebih rendah. Sementara perlakuan dengan panjang akar paling rendah adalah perlakuan dengan IBA 4 mg/L, hal ini dikarenakan eksplan pada perlakuan IBA 4 mg/L memiliki jumlah akar lebih banyak dibandingkan perlakuan lain sehingga proses pemanjangan akar terhambat (Gambar 9). Hal ini didukung oleh pernyataan Gunawan (1987) yaitu pertambahan jumlah akar pada eksplan akan menurunkan laju perpanjangan akar.

Gambar 9. Pengaruh Arang Aktif dan IBA terhadap Akar Terpanjang Sarang Semut pada 12 MST

F. Diameter Akar

Diameter akar merupakan parameter yang digunakan untuk mengetahui besarnya diameter pada akar yang muncul. Diameter akar dapat menjadi parameter seberapa besar perlakuan yang diberikan memberikan pengaruh

Arang aktif 0 g/L + IBA 0 mg/L

Arang aktif 0 g/L + IBA 2 mg/L

Arang aktif 0 g/L + IBA 4 mg/L

Arang aktif 0 g/L + IBA 6 mg/L

Arang aktif 2 g/L + IBA 0 mg/L

Arang aktif 2 g/L + IBA 4 mg/L

Arang aktif 2 g/L + IBA 6 mg/L

Arang aktif 2 g/L + IBA 2 mg/L


(58)

43

terhadap pembesaran akar baik melalui pertambahan maupun pembesaran sel. Hasil analisis diameter akar minggu ke-12 disajikan pada tabel 6.

Tabel 6. Pengaruh Arang Aktif dan IBA terhadap Diameter Akar Tanaman Sarang Semut pada 12 MST

Konsentrasi IBA (mg/L)

0 2 4 6

Arang aktif 0 g/L 0,07 b 1,32 b 1,17 b 1,29 b 1,21 Arang aktif 2 g/L 1,17 b 1,12 b 1,58 a 1,29 b 1,29 1,12 1,22 1,38 1,29 (+) Keterangan: Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom

atau baris menunjukkan tidak berbeda nyata menurut UJGD pada taraf kesalahan α=5%

(+) ada interaksi antara perlakuan penggunaan arang aktif dan konsentrasi IBA terhadap diameter akar

Hasil analisis pada tabel 6 dan lampiran 4c menunjukkan ada interaksi antara penggunaan arang aktif dan konsentrasi IBA terhadap diameter akar. Hal ini menunjukkan bahwa arang aktif yang dikombinasikan bersama IBA saling berpengaruh terhadap diameter akar eksplan sarang semut, dikarenakan adanya arang aktif sebagai penyerap zat beracun dan memberikan warna gelap pada medium serta IBA sebagai salah satu jenis auksin yang mampu menginduksi pemanjangan sel, pembelahan sel serta inisiasi pengakaran. Pada penggunaan konsentrasi IBA 0 mg/L, 2 mg/L dan 6 mg/L perlakuan tanpa arang aktif dan arang aktif 2 g/L memberikan pengaruh sama terhadap diameter akar, sementara pada konsentrasi IBA 4 mg/L perlakuan arang aktif 2 g/L berpengaruh nyata lebih baik terhadap diameter akar dibandingkan perlakuan tanpa arang aktif. Pada perlakuan tanpa arang aktif, konsentrasi IBA 0 mg/L, 2 mg/L, 4 mg/L dan 6 mg/L memberikan pengaruh yang sama terhadap diameter akar. Pada perlakuan arang aktif 2 g/L, konsentrasi IBA 4 mg/L menunjukkan diameter terbaik dibandingkan


(1)

Lampiran 1. Layout Penelitian A2B3 (5) A1B4 (5) A1B2 (5) A2B1 (5) A2B2 (5) A1B3 (5) A2B3 (5) A1B1 (5) A1B1 (4) A2B2 (4) A2B3 (4) A1B4 (4) A2B4 (4) A1B3 (4) A1B2 (4) A2B1 (4) A2B2 (3) A1B2 (3) A1B4 (3) A2B3 (3) A1B1 (3) A2B4 (3) A1B3 (3) A1B2 (3) A1B4 (2) A1B2 (2) A2B1 (2) A2B3 (2) A1B3 (2) A2B2 (2) A2B4 (2) A1B1 (2) A1B2 (1) A2B2 (1) A2B3 (1) A1B4 (1) A2B1 (1) A1B2 (1) A1B3 (1) A2B4 (1) Keterangan :

A1B1 = Arang aktif 0 g/L + IBA 0 mg/L A1B2 = Arang aktif 0 g/L + IBA 2 mg/L A1B3 = Arang aktif 0 g/L + IBA 4 mg/L A1B4 = Arang aktif 0 g/L + IBA 6 mg/L A2B1 = Arang aktif 2 g/L + IBA 0 mg/L A2B2 = Arang aktif 2 g/L + IBA 2 mg/L A2B3 = Arang aktif 2 g/L +IBA 4 mg/L A2B4 = Arang aktif 2 g/L +IBA 6 mg/L

Setiap perlakuan tersebut diulang 5 kali ulangan, sehingga terdapat 40 unit percobaan


(2)

Lampiran 2. Perhitungan Kebutuhan Medium MS, IBA dan Arang aktif A. Kebutuhan Medium MS

1. MS = 4.33 g/L

Kebutuhan MS/perlakuan =

2. Agar = 7 gram/L

Kebutuhan Agar/perlakuan =

3. Sukrosa = 30 gram/L

Kebutuhan sukrosa/perlakuan =

4. Mio = 10 ml/L

Kebutuhan Mio/perlakuan =

5. Vitamin = 10 ml/L

Kebutuhan Vitamin/perlakuan =

B. Kebutuhan IBA (Indole Butyric Acid) IBA = 1ppm:10 ml/L

1. Perlakuan IBA 0 mg/L= 0 ppm × 10 ml/L = 0 ml/L =

2. Perlakuan IBA 2 mg/L = 2 ppm × 10 ml/L = 20 ml/L =

3. Perlakuan IBA 4 mg/L = 4 ppm × 10 ml/L = 40 ml/L =

4. Perlakuan IBA 6 mg/L = 6 ppm × 10 ml/L = 60 ml/L =

C. Kebutuhan Arang Aktif

1. Kebutuhan Arang aktif perlakuan tanpa Arang Aktif =

2. Kebutuhan Arang aktif perlakuan Arang Aktif 2 g/L =


(3)

Lampiran 3. Tabel Sidik Ragam Pertambahan Tinggi Tunas, Pertambahan Jumlah Daun dan Jumlah Akar.

a. Tabel Sidik Ragam Pertambahan Tinggi Tunas Tanaman Sarang Semut Pada 12 MST

Keterangan : ns = tidak singnifikan pada taraf α 5% s = singnifikan pada taraf α 5%

b. Tabel Sidik Ragam Pertambahan Jumlah Daun Tanaman Sarang Semut Pada 12 MST

Keterangan : ns = tidak singnifikan pada taraf α 5% s = singnifikan pada taraf α 5%

c. Tabel Sidik Ragam Jumlah Akar Tanaman Sarang Semut Pada 12 MST

Keterangan : ns = tidak singnifikan pada taraf α 5% s = singnifikan pada taraf α 5%

Sumber DF Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah F Hitung Prob Model 11 0,08129289 0,00739026 1,20 0,3341 ns Perlakuan 7 0,03242408 0,00463201 0,75 0,6329 ns Arang Aktif 1 0,00013707 0,00013707 0,02 0,8827 ns IBA 3 0,01411337 0,00470446 0,76 0,5253 ns Arang Aktif X IBA 3 0,01817364 0,00605788 0,98 0,4161 ns Kelompok 4 0,04886882 0,01221720 1,98 0,1255 ns

Galat 28 0,17302380 0,00617942

Total 39 0,25431670

Sumber DF Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah F Hitung Prob Model 11 101,9500000 9,2681818 2,19 0,0461 s

-Perlakuan 7 50,80000000 7,25714286 1,72 0,1459 ns Arang Aktif 1 0,10000000 0,10000000 0,02 0,8789 ns

IBA 3 30,60000000 10,20000000 2,41 0,0879 ns

Arang Aktif X IBA 3 20,10000000 6,70000000 1,58 0,2154 ns Kelompok 4 51,15000000 12,78750000 3,02 0,0343 s_

Galat 28 118,4500000 4,2303571

Total 39 220,4000000

Sumber DF Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah F Hitung Prob Model 11 26,14196562 2,37654233 5,35 0,0002 s_

Perlakuan 7 25,66885173 3,66697882 8,26 <0,0001 s_

Arang Aktif 1 9,38020635 9,38020635 21,13 <0,0001 s_

IBA 3 7,60728682 2,53576227 5,71 0,0035 s_

Arang Aktif X IBA 3 8,68135856 2,89378619 6,52 0,0017 s_

Kelompok 4 0,47311389 0,11827847 0,27 0,8970 ns

Galat 28 12,42978384 0,44392085


(4)

Lampiran 4. Tabel Sidik Ragam Jumlah Akar, Akar Terpanjang dan Diameter Akar

a. Tabel Sidik Ragam Jumlah Akar Tanaman Sarang Semut Pada 31 MST

Keterangan : ns = tidak singnifikan pada taraf α 5% s = singnifikan pada taraf α 5%

b. Tabel Sidik Ragam Akar Terpanjang Tanaman Sarang Semut Pada 12 MST

Keterangan : ns = tidak singnifikan pada taraf α 5% s = singnifikan pada taraf α 5%

c. Tabel Sidik Ragam Diamater Akar Tanaman Sarang Semut Pada 12 MST

Keterangan : ns = tidak singnifikan pada taraf α 5% s = singnifikan pada taraf α 5%

Sumber DF Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah F Hitung Prob Model 11 26,37978462 2,39816224 5,99 <0,0001 s_

Perlakuan 7 23,52516121 3,36073732 8,40 <0,0001 s_

Arang Aktif 1 7,78052922 7,78052922 19,44 0,0001 s_

IBA 3 12,48296095 4,16098698 10,40 <0,0001 s

-Arang Aktif X IBA 3 3,26167104 1,08722368 2,72 0,0636 ns Kelompok 4 2,85462341 0,71365585 1,78 0,1602 ns

Galat 28 11,20383330 0,40013690

Total 39 37,58361792

Sumber DF Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah F Hitung Prob Model 11 4,74152085 0,43104735 1,86 0,0908 ns Perlakuan 7 4,70027841 0,67146834 2,89 0,0208 ss

Arang Aktif 1 0,00210207 0,00210207 0,01 0,9248 ns

IBA 3 4,39058010 1,46352670 6,31 0,0021 ss

Arang Aktif X IBA 3 0,30759624 0,10253208 0,44 0,7248 ns Kelompok 4 0,04124244 0,01031061 0,04 0,9960 ns

Galat 28 6,49466045 0,23195216

Total 39 11,23618130

Sumber DF Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah F Hitung Prob Model 11 0,89567019 0,08142456 2,41 0,0294 ss

Perlakuan 7 0,87701588 0,12528798 3,71 0,0058 ss

Arang Aktif 1 0,05765909 0,05765909 1,71 0,2018 ns

IBA 3 0,34639114 0,11546371 3,42 0,0307 ss

Arang Aktif X IBA 3 0,47296566 0,15765522 4,67 0,0091 ss

Kelompok 4 0,01865431 0,00466358 0,14 0,9667 ns

Galat 28 0,94488742 0,03374598


(5)

Lampiran 5. Tanaman Sarang Semut Perlakuan Tanpa Arang Aktif pada 1 dan 31 MST

Arang aktif 0 g/L

+ IBA 4 mg/L

Arang aktif 0 g/L + IBA 4 mg/L

Arang aktif 0 g/L + IBA 6 mg/L

Arang aktif 0 g/L + IBA 6 mg/L Arang aktif 0 g/L

+ IBA 2 mg/L Arang aktif 0 g/L

+ IBA 2 mg/L Arang aktif 0 g/L

+ IBA 0 mg/L Arang aktif 0 g/L


(6)

Lampiran 6. Tanaman Sarang Semut Perlakuan Arang Aktif 2 g/L pada 1 dan 31 MST

Arang aktif 2 g/L

+ IBA 0 mg/L

Arang aktif 2 g/L + IBA 0 mg/L

Arang aktif 2 g/L + IBA 2 mg/L

Arang aktif 2 g/L + IBA 2 mg/L

Arang aktif 2 g/L + IBA 4 mg/L

Arang aktif 2 g/L + IBA 4 mg/L

Arang aktif 2 g/L + IBA 6 mg/L

Arang aktif 2 g/L + IBA 6 mg/L