2. Ahli waris
Pengertian ahli waris disini adalah orang atau orang-orang yang berhak meneruskan peranan
dalam pengurusan harta pusaka. Pengertian ini didasarkan pada asas kolektif dalam pemilikan dan
pengolahan harta serta hubungan seorang pribadi dengan harta yang diusahakannya itu sebagai hak
pakai. Menurut adat Minangkabau pemegang harta secara praktis adalah perempuan karena ditangannya
terpusat kekerabatan matrilineal.
24
Dalam beberapa literatur tradisional adat yaitu tambo dijelaskan bahwa menurut asalnya
warisan adalah untuk anak sebagaimana berlaku dalam kewarisan bilateral atau parental. Perubahan
ke sistem matrilineal berlaku kemudian suatu sebab tertentu.
Ahli waris atas harta pencaharian seseorang yang tidak mempunyai anak dan istri adalah ibunya.
24
DH. Bagindo Tanameh, Hukum Adat dan Adat Minangkabau, Pusaka Asli, Jakarta 1990, halaman 48
Kalau ibu sudah tidak ada, maka hak turun kepada saudaranya yang perempuan dan untuk selanjutnya
kepada ponakan yang semuanya berada dirumah ibunya.
25
Sedangkan ahli waris terhadap harta pencaharian seorang perempuan adalah kaumnya yang
dalam hal ini tidak berbeda antara yang punya anak dengan yang tidak mempunyai anak.
Perbedaannya hanya antara yang dekat dengan yang jauh. Kalau sudah
mempunyai anak,
maka anaknya yang paling dekat.
26
Seandainya belum punya anak, maka yang paling dekat adalah ibunya,
kemudian saudaranya serta anak dari saudaranya. Adat Minangkabau tidak mengakui kewarisan istri
terhadap harta mendiang suaminya begitu
pula sebaliknya.
27
Hal ini didasarkan kepada ketentuan bahwa harta
tidak boleh beralih keluar kaum, sedangkan suami atau istri berada diluar lingkungan
kaum berdasarkan perkawinan eksogami. Namun dalam
perkembangannya, setelah Islam
masuk ke
Minangkabau barulah dikenal hak kewarisan janda atau duda, itupun tertentu pada harta pencaharian.
25
Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, terjemahan Subakti Pusponoto, Pradya Paramita, Jakarta, 1989, halaman 212
26
Ter Haar, Op cit, Halaman 197
27
Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia, Soeroengan, Jakarta 1980, halaman 122
3. Cara-cara Pewarisan