SALURAN TAK TAHAN EROSI
Gambar 6.6. Hubungan antara sudut geser dalam ( ) dengan
ukuran dimensi butir
Gambar 6.7. Hubungan antara diameter rata-rata dan permisible
unit tractive force
Note :
12 inch = 1 ft
1 ft = 0,305 m
1 lb/ft 2 = 4,22 kg/cm 2
Gambar 6.8. Hubungan antara Void Ratio dan Unit Tractive Force
Prosedur untuk merencanakan saluran dengan memakai metode Gaya seret (tractive force) :
1. Memilih penampang melintang berdasarkan pengalaman atau tabel- tabel perencanaan
2. Mengumpulkan contoh material pembentuk tubuh saluran
3. Menetapkan sifat dari material tersebut
4. Dengan menggunakan analisa gaya seret memeriksa penampang yang memberikan kemungkinan stabilitas yang besar
5. untuk saluran yang terdiri dari bahan noncohesive, pengaruh menggelindingnya butir-butir tanah harus diperhitungkan sehubungan dengan pengaruh distribusi gaya.
6. untuk saluran dengan bahan cohesive, pengaruh menggelindingnya butir-butir bisa diabaikan dan pengaruh distribusi gaya seret saja yang merupakan kriteria perencanaan
7. Tentukan proporsi penampang dengan mengingat praktis, ekonomis,dll
Contoh perhitungan
Rencanakan saluran dengan penampang trapesium yang mengalirkan debit sebesar 11,32 m 3 /det, kemiringan dasar saluran S = 0,0016. Saluran tersebut digali pada tanah yang mengandung kerikil kasar
nonkoloidal dimana 25% dari tanah tersebut mempunyai diameter 1
4 inch (2,95 cm). Koefisien kekasaran Manning = 0,025
Penyelesaian : Untuk saluran dengan penampang trapesium, gaya seret satuan
maksimum yang bekerja pada tebing saluran biasanya lebih kecil daripada gaya yang bekerja pada dasar saluran.
Oleh karena itu gaya yang bekerja pada tebing merupakan faktor pengontrol.
Diambil : miring talud z = 2
b = 5y
Maximum tractive force pada tebing 0,775 wyS : = 0,775 x 62,4 x 0,0016y
= (0,078y) lb/ft 2 = 1,204y kg/m 2
Bila dianggap bahwa butir-butir material sangat bulat dengan diameter
1,25 inch didapatkan 33 , 5 Dengan 33 , 5 dan z = 2 atau 26 , 5 didapatkan :
K = 0,587 Untuk diameter butir 1,25 inch maka gaya seret yang diijinkan adalah :
= 0,4 x 1,25
= 0,5 lb/ft 2 = 2,4414 kg/m 2 ( s)
Gaya seret yang diijinkan pada tebing saluran : = 0,587 x 0,5
= 0,294 lb/ft 2 = 1,436 kg/m 2
Untuk kestabilan persamaan (1) = (2), didapatkan : 1,240 y = 1,436
y = 1,15
B = 5y = 5 x 1,15 = 5,75 m Dengan B dan y diketahui maka bisa dicari :
A = 9,243 m 2
R = 0,85 m n = 0,025 S = 0,0016
Dapat dicari Q berdasarkan rumus Manning :
Q = 13,30 m 3 /det Q yang direncanakan
Setelah dicoba-coba diperoleh dimansi penampang seperti ini : z=2
B = 4,1 y y = 1,164 m = 3,82 ft
B = 4,773 m
Q = 11,72 m 3 /det Q yang direncanakan
Dengan mengambil z yang lain dapat dicari dimensi yang lain Kontrol dimensi saluran :
z=2
B = 4,1y Maka gaya seret satuan maksimum pada dasar saluran 0,97 wyS :
= 0,97 x 62,4 x 3,82 x 0,0016 = 0,370 lb/ft 2 atau
= 1,807 kg/m 2 < 2,4414 kg/m 2 ( s ijin)
versityPENT MODUL
BANGUNAN PENGUKUR DAN
PENGATUR
7.1. Bangunan Bagi
Bangunan bagi adalah bangunan yang dilengkapi dengan pintu-pintu yang mengatur dan mengukur air yang mengalir ke berbagai saluran. Terdapat dua fungsi dari bangunan bagi yaitu sebagai bangunan pengatur dan bangunan sadap. Air yang mengalir ke berbagai saluran disadap dengan bangunan sadap berpintu. Bangunan pengatur diperlukan untuk menjaga adanya perubahan- perubahan muka air di saluran. Sehingga adanya bangunan pengatur diharapkan dapat dijaga fungsi muka air atau pun debit yang diinginkan yang dapat dialirkan ke bangunan-bangunan sadap.
Aspek penting dalam perencanaan bangunan bagi adalah kepekaan terhadap variasi muka air. Guna memenuhi kehilangan energy dan sekaligus mencegah penggerusan, disarankan untuk membatasi kecepatan di bangunan sampai ±1,5 m/dt.
7.2. Bangunan Sadap
Bangunan sadap berfungsi sebagai bangunan yang menyadap aliran air di saluran primer, guna dialirkan ke saluran sekunder (bangunan sadap sekunder) ataupun yang menyadap aliran air di saluran sekunder guna dialirkan ke saluran tersier (bangunan sadap tersier).
Bangunan sadap adalah berupa pintu yang dapat berfungsi sebagai pengatur dan pengukur aliran air. Ada tiga tipe bangunan pintu yang dapat dipakai untuk bangunan sadap sekunder dan tersier yaitu :
- Alat ukur Romijn - Alat ukur Crump de Gruyter - Pintu aliran bawah dengan alat ukur ambang
Tipe mana yang akan dipilih bergantung pada ukuran saluran sekunder yang akan dilewati air serta besarnya kehilangan tinggi energy yang diijinkan.
Untuk kehilangan energy kecil, alat ukur Romijn dapat dipakai untuk Q±2 m 3 /dt (dalam hal ini dapat dipakai dua atau tiga pintu Romijn yang diletakkan bersebelahan). Bila tersedia kehilangan tinggi yang memadai, maka alat ukur Crump de Guyter dapat dipilih. Bangunan ini dapat direncanakan dengan pintu tunggal atau banyak pintu dengan debit (Q) 0,9 m 3 /dt untuk setiap pintu. Kapasitas satu bangunan sadap sekunder Q± 0,250 m 3 /dt. Di Bangunan sadap tersier yang paling cocok adalah alat ukur Romijn, jika muka air di hulu diatur dengan bangunan pengatur dan jika terdapat masalah dengan kehilangan energy. Bila kehilangan energy tidak begitu menjadi masalah dan muka air banyak mengalami fluktuasi, maka dapat dipilih alat ukur Crump de Gruyter. Karena harga antara Q max /Q min untuk alat ukur Crump de Gruyter lebih kecil dibandingkan pintu Romijn.
Gambar 7.1 Saluran primer dengan bangunan pengatur dan sadap
ke saluran sekunder
7.3. Bangunan Ukur
Bangunan Ukur adalah bangunan yang dapat digunakan untuk mengukur aliran yang melewatinya. Pada jaringan irigasi bangunan ukur ini dipasang pada setiap pangkal saluran tersier dihilir pintu sadap. Pada bangunan bagi, dimana dihilir bangunan terdapat lebih dari satu saluran sekunder atau primer, hanya Bangunan Ukur adalah bangunan yang dapat digunakan untuk mengukur aliran yang melewatinya. Pada jaringan irigasi bangunan ukur ini dipasang pada setiap pangkal saluran tersier dihilir pintu sadap. Pada bangunan bagi, dimana dihilir bangunan terdapat lebih dari satu saluran sekunder atau primer, hanya
7.3.1 Alat Ukur Ambang Lebar (Board Crested Weir)
Alat ukur ambang lebar ini merupakan alat ukur yang strukturnya berupa ambang lebar dengan aliran atas (overflow), dan berfungsi sebagai pengukur debit tetapi tidak dapat berfungsi sebagai pengatur debit. Besarnya debit yang lewat diukur berdasar tinggi muka air diatas ambang. Agar pengukuran dapat dilakukan dengan baik, maka aliran nya harus bersifat aliran yang melimpah sempurna, dimana muka air hilir cukup rendah sehingga kenaikan muka air hilir tidak mempengaruhi muka air di hulu. Bang
Penggunaan alat ukur ambang lebar dapat ditempatkan di awal saluran primer, pada titik cabang saluran, dan tepat di pintu sorong pada titik masuk petak tersier. Rumus debit bangunan ukur ambang lebar adalah sebagai berikut.
Q = 1,76.b.h 3/2 Dimana : Q
= debit (m 3 /dt)
h = tinggi energy di hulu (m)
b = lebar ambang (m) Kondisi aliran bangunan ambang lebar diharapkan tidak dalam keadan
tenggelam, yaitu dengan syarat H hilir <H hulu . Persamaan debit untuk alat ukur ambang lebar dengan bagian pengontrol segiempat sangat tergantung besarnya kecepatan debit Cd.
Q = Cd.Cv.2/3.
Dimana : Q
= debit (m 3 /dt)
Cd = koefisien debit
Cd = 0,93 + 0,10 H 1 /L untuk 0,1 < H 1 /L < 1,0
H 1 = tinggi energy di hulu (m) L = panjang mercu (m) Cv
= koefisien kecepatan dating
g = percepatan gravitasi (m 2 /dt)
bc = lebar mercu (m)
h 1 = kedalaman air hulu terhadap ambang ukur (m)
Gambar 7.2. Alat ukur ambang lebar
Kelebihan alat ukur ambang lebar adalah :
a. Strukturnya mudah dan kuat
b. Bentuk hidrolis luwes dan sederhana
c. Benda-benda hanyut bisa dilewatkan dengan mudah
d. Eksploitasi mudah Kekurangan alat ukur ambang lebar adalah :
a. Bangunan tersebut hanya dapat dipakai sebagai bangunan pengukur saja
b. Aliran tidak boleh tenggelam, agar supaya pengukurannya teliti
7.3.2.Alat Ukur Ambang Tajam (Sharp Crested Weir)
Alat ukur Cipoletti, Thompson, dan Rechbock merupakan alat ukur ambang tajam.
a) Alat Ukur Cipoletti
Alat ukur Cipoletti dibuat berdasar prinsip aliran melimpah sempurna lewat ambang tajam dan merupakan modifiasi dari alat ukur fully contracted sharp crested.
Alat ukur debit ini digunakan untuk mengukur debit pada saluran yang tidak begitu besar dan umumnya digunakan pada saluran tersier (saluran yang langsung ke sawah). Alat ini juga sesuai digunakan di daerah pegunungan dimana tanahnya mempunyai kemiringan yang cukup besar, karena fungsi alat w2
Guna mengurangi kontraksi tepi, maka cipoletti membuat standar bentuk alat ukur tersebut yaitu dengan peluap horizontal berbentuk trapezium dengan kemiringan 1:4, sehingga apabila H naik akan diimbangi dengan bertambahnya lebar permukaan air. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut
Q = 1,86.B.H 3/2 Dimana : Q
= debit yang melewati alat cipoletti (m 3 /dt)
B = lebar ambang (m)
H = tinggi air di atas ambang (m)
Beberapa persyarat khusus yang harus dipenuhi dalam pembuatan alat ukur Cipoletti agar rumus berlaku sempurna:
1. H tidak boleh lebih dari 60 m.
2. Tebal ambang ≤0,1 H
3. Panjang peluap (B) ≤ 3 H
Gambar 7.3. Alat ukur Cipoletti
Keuntungan alat ukur cipoletti, diantaranya sebagai berikut :
a. Strukturnya sederhana
b. Sedimen terapung dapat lewat dengan mudah
c. Pengukuran debit mudah Kerugian alat ukur cipoletti
a. Kehilangan tinggi tekan besar
b. Tidak ada pengatur
b) Alat Ukur Thompson
Alat ukur Thonson ini juga didasarkan pada prinsip aliran yang melimpah sempurna melalui ambang tajam, tipis, berbentuk segitiga siku-siku. Alat ukur ini umumnya terbuat dari plat besi yang ditanamkan pada pasangan batu.
Dalam penggunannya alat ukur Thomson ini digunakan untuk mengukur air dengan debit relatif kecil, seperti di saluran yang mengalirkan air ke kebun tebu dan di laboratorium. Pintu ukur ini sering juga digunakan pada saluran kuarter atau tersier yang melayani areal kecil. Agar mendapat hasil yang baik, maka pintu ukur ini harus memenuhi syarat perbandingan besarnya h1, p dan b.
Rumus Thompson yang digunakan adalah : Q = 4/15.c.b.H.(2.g.H) 0.5
Gambar 7.3. Alat ukur Thompson
7.4. Alat Ukur Pintu Sorong
Alat ukur pintu sorong adalah alat ukur debit yang berdasarkan pengukuran dari bukaan pintu. Terdapat dua kondisi pengaliran yang terjadi di pintu sorong yaitu kondisi tidak tenggelam dan kondisi tenggelam.
7.4.1.Kondisi Tenggelam
Rumus debit yang digunakan untuk bukaan pintu sorong adalah sebagai berikut :
Q = K . µ . a . b . (2gh 1 ) 0,5
Dimana : Q
= debit yang melalui pintu (m 3 /dt)
K = faktor aliran tenggelam µ
= koefisien debit
a = tinggi bukaan pintu (m)
b = lebar pintu (m)
g = percepatan gravitasi (m/dt²), (≈ 9,8)
h 1 = kedalaman air di depan pintu di atas ambang (m)
Gambar 7.4. Aliran di bawah pintu sorong dengan dasar horizontal
Gambar 7.5. Koefisien K untuk debit tenggelam (dari Schmidt)
Lebar standar untuk pintu pembilas bawah (undersluice) adalah 0,50 ; 0,75 ; 1,00 ; 1,25 dan 1,50 m.
7.4.2.Kondisi Tidak Tenggelam
Rumus debit yang digunakan untuk bukaan pintu sorong kondisi tidak tenggelam adalah sebagai berikut :
Q = K . µ . a . b . (2gz) 0,5
Dimana : Q
= debit yang melalui pintu (m 3 /dt)
a = tinggi bukaan pintu (m)
b = lebar pintu (m)
g = percepatan gravitasi (m/dt²), (≈ 9,8) z
= kehilangan energi pada bukaan (m) µ
= koefisien debit
Untuk bukaan di bawah permukaan dengan kehilangan tingi energi kecil, µ = 0,80.
Gambar 7.6. Koefisien debit µ masuk permukaan pintu datar atau
lengkung
Kelebihan pintu sorong diantaranya : - Tinggi muka air hulu dapat dikontrol dengan tepat.
- Pintu bilas kuat dan sederhana. - Sedimen yang diangkut oleh saluran hulu dapat melewati pintu bilas.
Kerugian pintu sorong diantaranya : - Kebanyakan benda – benda hanyut bisa tersangkut di pintu
- Kecepatan aliran dan muka air hulu dapat dikontrol dengan baik jika aliran moduler
versityPENT MODUL
BANGUNAN PEMBAWA
8.1. Bangunan Pembawa untuk Aliran Subkritis
Bangunan pembawa adalah merupakan bagian dari saluran terbuka yang digunakan untuk membawa air dari bagian hulu ke bagian hilir yang melintasi bangunan lainnya, misalnya sungai, jalan, dll.
Aliran sub kritis :
Dengan :
V a = kecepatan aliran dalam bangunan
A = luas aliran
B = lebar permukaan air terbuka Ada beberapa macam bangunan pembawa sesuai fungsi dan tujuan,
diantaranya yaitu: a)
Gorong-gorong b)
Talang c)
Sifon d)
Flume
8.2. Kehilangan energi
Kehilangan energi yang diperhitungkan dalam mendesain bangunan pembawa tersebut. Ada beberapa prinsip kehilangan energi yang diperlukan sebagai dasar perhitungan.
a. Kehilangan energi akibat gesekan
Dimana :
H f = kehilangan akibat gesekan, m
= kecepatan dalam bangunan, m/dt
= panjang bangunan, m
= jari – jari hidrolis,m (A/P)
A = luas basah, m²
= keliling basah, m
C = koefisien Chezy (=k R 1/6 )
k = koefisien kekasaran Strickler, m1/3/dt (lihat tabel 5.1)
g = percepatan gravitasi, m/dt² ( 9,8)
b. Kehilangan energi di bagian peralihan
1. Di bagian masuk ( V a V 1 )
2. Di bagian keluar Sama dengan rumus 1 hanya m diganti dengan k
c. Kehilangan energi di bagian siku dan tikungan
Koefisien kehilangan energi pada bagian siku dan tikungan. Di bagian siku
Tabel 7.1. Harga – harga K b untuk bagian siku sebagai fungsi sudut dan potongannya.
POTONGAN
SUDUT δ
75° 90° Bulat
0,02 0,03 0,04 0,05 0,11 0,24 0,47 0,80 1,1 Segiempat
Di bagian tikungan
10 0 20 40 60 80 100 120 sudut tikungan dalam derajat
Gambar 8.1. Harga-harga K
b untuk tikungan 90 pada
saluran tertutup (USBR)
an K 0.4 kung
Perbandingan R b /D
Gambar 8.2. Faktor koreksi untuk koefisien kehilangan di
tikungan pada saluran tertutup
8.3. Gorong –gorong
Gorong-gorong merupakan suatu bangunan yang direncanakan jika saluran irigasi tersebut berada di bawah jalan. Panjang gorong-gorong tergantung dari panjang jalan yang dilintasinya
a. L <20 m
Q . A . 2 gz
Dimana:
= koefisien debit z = kehilangan tinggi energi pada gorong-gorong
Tabel 7.2. Harga – harga dalam gorong – gorong pendek Tinggi dasar di
Tinggi dasar di bangunan lebih
bangunan sama
tinggi
dengan di saluran
daripada di saluran
Segi empat 0,80
Segi empat segi empat
segi empat
b. L>20 m
Jika gorong-gorong mempunyai panjang > 20 m, maka prinsip kehilangan energy diperhitungkan
Kehilangan energi akibat gesekan
Dengan : L = panjang bangunan
C = Kosfisien Chezy = K.R 1/6 K = Koef kekasaran strikler lihat table 5.1. ( KP -04) Contoh untk baja beton = 76 , baja = 80 , pasangan batu 60
Kehilangan energi di bagian peralihan
1. Di bagian masuk
2. Di bagian keluar Sama dengan rumus 1 hanya m diganti dengan k
Gambar 7.4. Potongan Melintang Gorong-gorong
8.4. Talang
Talang digunakan kalau saluran irigasi harus melintasi sungai, saluran pembuang alami, lembah atau cekungan. Bagian atas talang seringkali juga dimanfaatkan untuk lalu lintas, sehingga talang sering terkesan sebagai jembatan. Talang harus dilengkapi dengan pintu penguras samping untuk mengalirkan air pada waktu talang diperbaiki. Kondisi aliran ada talang subkritis dengan nilai Fr<0,7.
Gambar 7.1. Talang
Kehilangan energy yang diperhitungkan untuk desain talang, yaitu : Kehilangan energi akibat gesekan
Dengan : L = panjang bangunan
C = Kosfisien Chezy= K.R 1/6 Dengan : K = Koef kekasaran strikler Contoh untuk beton = 76 , baja = 80
Kehilangan energi di bagian peralihan
1. Di bagian masuk
2. Di bagian keluar Sama dengan rumus 1 hanya m diganti dengan k
Total kehilangan tinggi muka air di talang ( Δh) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Δh = h 1 +h 2 +h 3
dimana :
h 1 = kehilangan tinggi muka air di bagian masuk (m)
h 2 = kehilangan tinggi muka air di sepanjang talang (m) =
L 2 xS 2
h 3 = kehilangan tinggi muka air di bagian keluar (m)
Pada talang harus diperhitungkan panjang talang itu sendiri dan panjang bagian peralihan.
Panjang Talang
Panjang talang atau panjang box talang satu ruas untuk membuat standarisasi penulangan beton maka dibuat konstruksi maksimum
10 m dan minimum 3 m dan disesuaikan dengan lebar sungai yang dilintasinya.
Panjang Peralihan (L1)
Panjang peralihan adalah panjang transisi antara saluran dengan box talang. Panjang saluran transisi ditentukan oleh sudut antara
12 o 30’ – 25 o garis as.
Gambar 8.5. Panjang Saluran Transisi
Panjang peralihan atau transisi dihitung dengan rumus sebagai berikut :
cotg
dimana :
lebar permukaan air di saluran
lebar permukaan air di bagian talang
panjang peralihan atau transisi antara talang dengan saluran
sudut antara garis as talang dengan garis pertemuan permukaan air
Per enc
ana an Jaring
lindungan talut lindungan dasar
jalan inspeksi
dari pasangan dari pasangan batu
batu kosong
an Irigasi
bagian penerus
denah
Brawi
peralihan masuk
5 bentang dalam beton bertulang yang dicor ditempat
peralihan keluar
ja y
aU
kisi - kisi
niv
penyaring
ersity
tumpuan dan pilar
dari pasangan batu
potongan memanjang
8.5. Sipon
Sipon digunakan kalau saluran irigasi harus melintasi sungai, saluran pembuang alami, lembah, jalan atau cekungan dimana aliran dialirkan lewat bawah sungai, saluran pembuang alami, lembah, jalan atau cekungan. Dengan demikian sipon merupakan saluran tertutup dan berlaku ketentuan aliran melalui pipa. Dengan demikian pembangunan sipon harus dikerjakan dengan baik, karena adanya tinggi tekan dibagian bawah dan kemungkinan terjadinya kebocoran cukup tinggi. Pencegahan terjadinya sampah masuk kedalam sipon harus lebih diperhatikan, karena kalau sampai terjadi penyumbatan, penanganannya lebih sulit.
Kalau sungai yang akan dilintasi oleh sipon cukup dalam, maka tinggi tekanan pada bagian bawah sipon juga cukup tinggi. Untuk itu pada bagian tengah sipon tidak dilewatkan dibawah sungai, tapi dibuatkan bangunan pendukung, sehingga seperti jembatan. Jembatan sipon ini sering juga diberi nama talang sipon.
Gambar 8.7. Sipon Metro Kepanjen Malang
Kehilangan energy yang diperhitungkan untuk desain talang, yaitu : Kehilangan energi akibat gesekan
Dengan : L = panjang bangunan
C = Kosfisien Chezy= K.R 1/6 Dengan : K = Koef kekasaran strikler Contoh untuk beton = 76 , baja = 80
Kehilangan energi di bagian peralihan
1. Di bagian masuk
2. Di bagian keluar Sama dengan rumus 1 hanya m diganti dengan k
Kehilangan energi di bagian siku dan tikungan
Kehilangan energi pada bagian kisi-kisi penyaring.
h f =c
sin
b
Keterangan :
V = kecepatan melalui kisi-kisi
C = koefisien berdasarkan : factor bentuk (2,4 untuk segi empat, dan 1,8 untuk jeruji bulat) s = tebal jeruji
b = jarak bersih antar jeruji sudut kemiringan dari bidang horisontal
Gambar 8.8. Kisi-kisi Penyaring
Total kehilangan tinggi muka air di sifon ( Δh) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Δh = h 1 +h 2 +h 3 +h 4 +h 5
dimana :
h 1 = kehilangan tinggi muka air di bagian masuk (m)
h 2 = kehilangan tinggi muka air di sepanjang talang (m) =
L 2 xS 2
h 3 = kehilangan tinggi muka air di bagian keluar (m)
h 4 = kehilangan tinggi muka air di bagian siku dan tikungan (m)
h 5 = kehilangan tinggi muka air pada kisi penyaring (m)