Ade Maman Suryaman, 2015 Penerapan Teknik Six Thinking Hats pada Isu
– Isu Kontemporer dalam Pembelajaran Sejarah untuk Meningkatkan Kreativitas Siswa: Studi Kasus di SMA Negeri 1 Cikarang
Utara Universitas Pendidikan Indonesia
| \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di dalam kelas, sejarah merupakan mata pelajaran yang menggunakan peristiwa
– peristiwa terpilih tertentu di masa lalu. Siswa pada umumnya mengalami kesulitan dalam pelajaran sejarah. Dari praobservasi yang telah
dilakukan, diketahui bahwa siswa terbiasa dituntut untuk membaca materi dari Buku Paket hingga Lembar Kerja Siswa LKS dan guru memberikan penjelasan
kemudian siswa mencatat. Siswa juga enggan belajar sejarah dikarenakan mata pelajaran ini dianggap tidak penting karena tidak mempengaruhi jurusan di
perguruan tinggi yang akan mereka pilih. Selain itu, kemampuan guru yang hanya menggunakan metode ceramah juga mempengaruhi ketertarikan siswa dalam
pelajaran sejarah, sehingga sejarah menjadi mata pelajaran yang dianggap sebelah mata.
Anggapan – anggapan yang salah tentang mata pelajaran sejarah seharusnya
menjadi sebuah tantangan yang harus dihadapi oleh guru sejarah itu sendiri. Kemampuan guru dalam melakukan inovasi pembelajaran menjadi penting ketika
sejarah tidak hanya menuntut siswa untuk belajar mengenai masa lalu bangsanya. Tetapi juga kegunaan sejarah bagi mereka kini maupun di masa yang akan datang.
Sulit bagi siswa untuk memahami suatu peristiwa sejarah di masa lampau kemudian merefleksikan nilai
– nilai kehidupan yang terkandung di dalam peristiwa tersebut untuk kepentingan masa kini maupun masa yang akan datang.
Hal tersebut terjadi karena sejarah merupakan mata pelajaran yang bersifat abstrak
Ade Maman Suryaman, 2015 Penerapan Teknik Six Thinking Hats pada Isu
– Isu Kontemporer dalam Pembelajaran Sejarah untuk Meningkatkan Kreativitas Siswa: Studi Kasus di SMA Negeri 1 Cikarang
Utara Universitas Pendidikan Indonesia
| \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
Hasan, 2012, hlm. 7. Siswa diminta untuk memahami masa lalu dengan membaca saja, tidak dengan mengimajinasikannya. Siswa membayangkan suatu
peristiwa di masa lampau, kemudian mereka menulis kembali apa yang mereka imajinasikan tersebut. Sehingga, mereka dapat memahami peristiwa tersebut
dengan penafsiran mereka sendiri dan dapat menemukan nilai – nilai kehidupan
yang berguna bagi dirinya di masa kini, dan akan datang. Dikarenakan sifatnya yang abstrak ini, siswa seharusnya merefleksikan
peristiwa sejarah tersebut dengan menggunakan imajinasi mereka sendiri. Hal ini didasarkan bahwa kemampuan siswa dalam melihat peristiwa sejarah di masa
lampau dan memaknainya berbeda – beda. Namun, banyak dari mereka hanya
mendapat pengetahuan saja. Pengetahuan ini diperoleh dari membaca Buku Paket, Lembar Kerja Siswa LKS maupun mencatat dari penjelasan yang diberikan oleh
guru mereka, sehingga kemampuan yang terasah hanya kognitif saja. Penguasaan materi pelajaran sejarah ini sebenarnya merupakan tujuan dari kompetensi
– kompetensi dasar yang termaktub dalam kurikulum pendidikan sejarah itu sendiri,
namum sebuah apresiasi yang baik jika nilai-nilai dari peristiwa di masa lampau dapat ditanamkan pada siswa.
Penguasaan materi sejarah yang terjadi di kelas – kelas hanya akan
memperkuat satu bidang kemampuan saja, yakni pengetahuan atau kognisi siswa. Sehingga, nantinya proses yang terjadi hanyalah transfer pengetahuan atau
Transfer of Knowledge
. Kemampuan siswa memahami peristiwa sejarah yang masih terbatas
transfer of knowledge
dikarenakan oleh beberapa hal, yakni: guru, inovasi pembelajaran, maupun tuntutan kurikulum. Guru, dalam hal ini
merupakan bagian yang penting dalam berlangsungnya pembelajaran sejarah yang berhasil di dalam kelas. Seorang guru mampu mengembangkan kemampuannya
dalam mengajar di kelas, namun ada kendala-kendala yang terkadang membuat pembelajaran di kelas hanya
Transfer of Knowledge
dengan metode pengajaran
Ade Maman Suryaman, 2015 Penerapan Teknik Six Thinking Hats pada Isu
– Isu Kontemporer dalam Pembelajaran Sejarah untuk Meningkatkan Kreativitas Siswa: Studi Kasus di SMA Negeri 1 Cikarang
Utara Universitas Pendidikan Indonesia
| \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
yang tidak berganti yakni ceramah Mulyana dan Gunawan, 2007, hlm. 1; Aman, 2011, hlm. 8.
Penguasaan siswa dalam hal kognisi yakni ingatan dan pemahaman siswa mengenai materi pembelajaran sejarah ini menjadi sebuah keprihatinan.
Keprihatinan ini muncul dikarenakan pergeseran pandangan bahwa pembelajaran sejarah tidak hanya mengingat dan memahami peristiwa di masa lalu saja, tetapi
juga siswa memaknai peristiwa tersebut. Mereka sepatutnya memahami peristiwa di masa lampau, tetapi juga mampu memaknai peristiwa itu. Hal ini nantinya
diharapkan akan memiliki andil bagi siswa di lingkungan sosial di masa kini maupun masa yang akan datang.
Pembelajaran yang mendalam
deep learning
salahsatunya adalah ketika siswa tidak hanya mampu mengingat dan memahami suatu peristiwa dalam
pembelajaran sejarah. Tetapi juga mereka dapat memaknai peristiwa tersebut dan merefleksikannya bagi dirinya sendiri maupun menjadi contoh bagi yang lain.
Pemaknaan akan peristiwa sejarah oleh siswa ini akan membentuk
deep learning
atau pembelajaran yang mendalam. Siswa yang belajar dengan
deep learning
ini akan mampu menghubungkan konsep
– konsep yang bertautan. Kemampuan siswa dalam menghubungkan konsep
– konsep yang bertautan merupakan ciri siswa yang kreatif. Hal ini muncul dari kreativitas mereka dalam
mencari, mengolah informasi, mengkomunikasikan, kemudian membentuk suatu pemikiran baru hingga disampaikan ke muka kelas. Kreativitas siswa pun
bermacam – macam, ini dikarenakan karakteristik berpikir mereka yang berbeda –
beda. Perbedaan berpikir siswa jika dituangkan dalam kelas akan mewarnai pembelajaran sejarah yang aktif dan kreatif. Kreativitas siswa dapat dimunculkan,
namun sayangnya dalam pembelajaran pada umumnya dan pembelajaran sejarah khususnya, guru seringkali mengabaikan pentingnya hal ini.
Ade Maman Suryaman, 2015 Penerapan Teknik Six Thinking Hats pada Isu
– Isu Kontemporer dalam Pembelajaran Sejarah untuk Meningkatkan Kreativitas Siswa: Studi Kasus di SMA Negeri 1 Cikarang
Utara Universitas Pendidikan Indonesia
| \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
Ada dua faktor yang menjadi kendala seorang guru dalam mengajar, pertama faktor internal dan yang kedua adalah faktor eksternal. Ada beberapa hal
yang menjadi kendala pembelajaran dalam faktor internal. Kendala tersebut adalah keinginan untuk melakukan inovasi pembelajaran, seperti yang dijumpai
oleh peneliti pada Pra-observasi, biasanya seorang guru enggan melakukan inovasi pembelajara di kelas. Keengganan seorang guru melakukan inovasi
pembelajaran dikarenakan: tidak adanya motivasi diri, kesibukan selain di sekolah, dan usia yang sudah tua dan menganggap tidak perlu untuk melakukan
inovasi pembelajaran. Faktor eksternal yang mempengaruhi guru tersebut adalah, kurangnya
sosialisasi maupun seminar mengenai pembelajaran sejarah. Hal ini menjadi kendala karena ketika guru bersedia untuk mengikuti, terkadang pihak sekolah
tidak mengizinkan, atau ada guru lain yang diberi surat tugas untuk mengikuti acara tersebut. Selain itu, dari pengamatan yang dilakukan oleh peneliti, guru
yang menjadi subjek berada di Sekolah di mana sebagian besar adalah guru-guru yang berusia di atas 50 tahun, sehingga membuat guru tersebut berpikir tidak
perlu melakukan inovasi karena mengikuti guru-guru lainnya yang sebentar lagi akan pensiun profil guru SMA Negeri 1 Cikarang Utara, 2014.
Pada penelitian ini, peneliti mengamati bahwa guru yang menjadi salahsatu subjek penelitian telah dengan baik dalam mengajar sejarah. Walau menggunakan
metode ceramah, guru ini telah mampu memberikan sebuah pandangan kepada siswa bahwa sejarah dapat dikaitkan dengan pengalaman mereka dan juga isu-isu
kontemporernya. Penggunaan metode ceramah yang dilakukan memiliki beberapa kelemahan, antara lain: guru menjadi pusat pembelajaran, sehingga yang terjadi
adalah
Transfer of Knowledge
, padahal paradigma pembelajaran sejarah dewasa ini sudah bertambah yakni dengan adalah
Transfer of Values
yakni penanaman nilai-nilai dari yang mereka pahami dari peristiwa di masa lampau tersebut. Selain
itu, siswa cenderung pasif, hanya mendengarkan dan mencatat. Ada siswa yang
Ade Maman Suryaman, 2015 Penerapan Teknik Six Thinking Hats pada Isu
– Isu Kontemporer dalam Pembelajaran Sejarah untuk Meningkatkan Kreativitas Siswa: Studi Kasus di SMA Negeri 1 Cikarang
Utara Universitas Pendidikan Indonesia
| \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
bertanya, hanya sekedar melakukan klarifikasi dan menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru.
Sebenarnya, guru yang diteliti telah menggunakan metode maupun teknik pembelajaran. Teknik pembelajaran yang digunakan adalah
Six Thinking Hats
. Teknik ini diciptakan oleh de Bono pada tahun 1995 Utari, 2013, hlm. 6. Dia
menganalogikan cara berpikir dengan topi karena mengidentifikasikan peran yang diembannya. Keenam topi tersebut adalah: topi putih yakni informasi; topi hitam
adalah risiko atau dampak negatif;, topi hijau adalah dampak positif atau kreatifitas; topi merah adalah intuisi atau imajinasi; topi hijau adalah kreatifitas
atau solusitindak lanjut, dan topi biru adalah pengendali ketua kelompok dan yang memberi kesimpulan de Bono, 1995, hlm. 14-15. Teknik ini mencoba
untuk melihat kemampuan berpikir siswa. Dalam pembelajaran sejarah, teknik ini dapat dilakukan dalam kelompok.
Tiap-tiap kelompok terdiri atas 6 orang siswa. Tahap-tahap dalam pembelajaran dengan menggunakan teknik ini adalah peserta didik diberi masing-masing topi
yang berwarna berbeda, yakni: putih, merah, biru, hijau, kuning dan hitam, kemudian, mereka diminta untuk membentuk kelompok yang terdiri atas enam
warna berbeda. Langkah pertama dalam teknik ini adalah peserta didik yang menggunakan topi merah untuk mengenali reaksi pertama anak apa, perasaan atau
intuisi pada 2-3 detik pertama. Ini sering kali diabaikan, dan penting bagi anak untuk mengakses dan mengenali reaksi pertama mereka. Setelah itu
mengumpulkan data, fakta, segala bentuk informasi dengan menggunakan topi putih. Setelah selesai, topi diganti dengan topi hitam, supaya anak mengetahui
risiko yang akan dihadapi apa saja. kemudian menemukan risiko yang mungkin terjadi, berganti dengan topi kuning. Jangan sampai anak menjadi terlalu pesimis,
topi kuning punya andil dalam menyeimbangkannya. Gunakan topi kuning untuk mengetahui manfaat, semua sisi positif. Setelah itu mulai berpikir kreatif dalam
pemecahannya dengan menggunakan topi hijau. Setelah semuanya rampung
Ade Maman Suryaman, 2015 Penerapan Teknik Six Thinking Hats pada Isu
– Isu Kontemporer dalam Pembelajaran Sejarah untuk Meningkatkan Kreativitas Siswa: Studi Kasus di SMA Negeri 1 Cikarang
Utara Universitas Pendidikan Indonesia
| \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
gunakan topi biru dalam pengambilan keputusan de Bono, 1995. Teknik yang dikembangkan oleh de Bono ini dilakukan modifikasi oleh guru yang diobservasi,
sehingga akan nampak perbedaan dengan tidak meninggalkan dasar-dasar teknik pembelajaran ini.
Pada praobservasi kedua, peneliti melihat ketika menggunakan teknik
Six Thinking Hats
ini terjadi perubahan. Perubahan di sini sangat nampak berbeda, yakni siswa menjadi kreatif yakni, lebih aktif, berani mengemukakan temuan-
temuannya, dan kondisi kelas yang lebih menyenangkan. Keaktifan ini menunjukkan kemampuan kecerdasan yang diminta pada topi
– topi tersebut, sehingga memperlihatkan keragaman dalam informasi yang mereka sampaikan.
Selain itu, guru menjadi fasilitator dalam mengatur jalannya diskusi dalam kelas dan melakukan klarifikasi atas temuan-temuan maupun pendapat yang
disampaikan. Penggunaan Teknik
Six Thinking Hats
dalam pembelajaran sejarah akan membantu kepada bentuk pembelajaran sejarah yang berlangsung dengan baik.
Pembelajaran sejarah di dalam kelas yang berhasil akan terwujud ketika terjadi perubahan yang baik pada diri siswa. Perubahan ini terlihat dengan dikuasainya
materi pelajaran sejarah maupun kompetensi-kompetensi yang diharapkan. Selain itu, proses penanaman nilai-nilai atau
Transfer of Values
menjadi hal yang penting bagi siswa. Penguasaan materi maupun pencapaian kompetensi serta proses
penanaman nilai-nilai yang terjadi di dalam kelas ini merupakan perubahan yang hendak dicapai dalam suatu proses pembelajaran. Pencapaian ini nantinya akan
berguna bagi mereka untuk menjadi generasi bangsa Indonesia yang cerdas, terampil, dan peduli akan lingkungan sosialnya.
Pembelajaran sejarah yang baik akan dicapai melalui proses belajar yang aktif, interaksi dua arah antara guru dan siswa, hingga keluaran yang dihasilkan
yakni kemampuan siswa berpikir kreatif. Proses belajar mengajar yang baik dapat dicapai apabila memenuhi beberapa kriteria, yakni: proses interaksi belajar
Ade Maman Suryaman, 2015 Penerapan Teknik Six Thinking Hats pada Isu
– Isu Kontemporer dalam Pembelajaran Sejarah untuk Meningkatkan Kreativitas Siswa: Studi Kasus di SMA Negeri 1 Cikarang
Utara Universitas Pendidikan Indonesia
| \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
mengajar dua arah, suasana kelas yang menyenangkan, metode maupun teknik pembelajaran yang variatif, hingga kemampuan guru dalam mengajar. Proses
interaksi dua arah dimaksudkan tidak hanya guru yang melakukan transfer pengetahuan atau
transfer of knowledge
dan cenderung terpusat pada guru saja, tetapi di sini memungkinkan siswa untuk memiliki kesempatan untuk
menunjukkan kemampuannya dalam berpikir kreatif dalam rangka pencapaian kompetensi-kompetensi yang diharapkan. Jadi, paradigma tentang pembelajaran
yang terpusat pada guru berubah menjadi pembelajaran yang terpusat pada siswa
Student Centered
. Pembelajaran yang terpusat pada siswa akan membentuk kompetensi-kompetensi siswa seperti: percaya diri, bertanggung jawab, bekerja
sama, jujur, berani, maupun kompetensi-kompetensi yang diharapkan dalam sebuah silabus pembelajaran. Hal ini menghindarkan sebuah pembelajaran yang
cenderung membuat siswa menguasai materi tanpa menguasai kompetensi- kompetensi, maupun nilai-nilai diharapkan.
Suasana kelas yang menyenangkan juga mempengaruhi pembelajaran sejarah yang aktif di kelas. Siswa cenderung memahami dengan baik apabila
suasana kelas yang menyenangkan. Suasana kelas menyenangkan dapat teridentifikasi mulai dari kondisi kelas yang rapi, bersih, dan tidak gaduh. Selain
itu, suasana kelas yang menyenangkan dapat dilihat dari kesiapan mereka untuk belajar dan kemauan untuk belajar. Kondisi psikologis mereka pun dapat
mempengaruhi suasana kelas. Guru yang siap untuk mengajar dengan segala persiapannya pun dapat mempengaruhi suasana kelas.
Metode maupun teknik pembelajaran merupakan komponen yang tidak bisa terlepas dalam pembelajaran sejarah yang menyenangkan bagi siswa. Penggunaan
metode maupun teknik pembelajaran yang beragam akan membantu menstimulasi siswa untuk belajar sejarah yang lebih menyenangkan dan tidak terlalu
berpedoman pada buku paket atau
textbook
. Metode yang beragam akan membantu pencapaian materi-materi maupun kompetensi yang hendak dicapai.
Ade Maman Suryaman, 2015 Penerapan Teknik Six Thinking Hats pada Isu
– Isu Kontemporer dalam Pembelajaran Sejarah untuk Meningkatkan Kreativitas Siswa: Studi Kasus di SMA Negeri 1 Cikarang
Utara Universitas Pendidikan Indonesia
| \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
Selain itu, penggunaan metode maupun teknik ini juga dapat membentuk suasana kelas yang menyenangkan, yakni pembelajaran yang interaktif, terpusat pada
siswa, dan proses penanaman nilai-nilai terjadi dalam diri mereka. Penggunaan teknik pembelajaran
Six Thinking Hats
ini juga diiringi dengan pemanfaatan materi sejarah dengan isu-isu kontemporer. Menurut Seixas 2000:
20-21, pembelajaran sejarah terbagi atas tiga pendekatan: memori kolektif, disipliner dan postmodern. Pendekatan memori kolektif menyatukan identitas
kelompok, mempromosikan pengalaman kolektif bersama dan membangun dasar berbagi dalam berpikir, mempercayai, dan bertindak. Pendekatan disipliner ialah
pembelajaran sejarah dengan menggunakan berbagai versi, dengan menggunakan pendekatan ini, siswa akan mencapai suatu kesimpulan di mana mereka
mengkonstruksi interpretasi sendiri dari yang telah dipaparkan. Terakhir, pendekatan postmodern, pendekatan ini menghubungkan kisah masa lalu untuk
kegunaan politik dan sosial di masa kini. Senada dengan yang diungkapkan Seixas pada pendekatan postmodern,
pembelajaran sejarah dengan menggunakan teknik
Six Thinking Hats
ini dianggap mampu untuk membentuk siswa yang memahami dirinya sendiri, bangsanya pada
umumnya dan dapat menghubungkan masa lalu dan masa kini maupun masa yang akan datang. Penggunaan teknik pembelajaran
Six Thinking Hats
di kelas membantu dalam aktivitas belajar peserta didik. Seperti yang diungkap oleh
Saroja Dhanapal dan Khoo Tabitha Wern Ling yang berjudul
A Study to Investigate How Six Thinking Hats Enhance the Learning of Environmental
Studies
. Dalam artikelnya ini adanya peningkatan kemampuan peserta didik di dalam kelas ketika menggunakan teknik ini. Mereka menemukan bahwa
penggunaan Teknik
Six Thinking Hats
merupakan teknik yang tepat digunakan untuk mendorong cara berpikir tingkat tinggi. Kemudian, artikel karya Gary L.
Geissler, Steve W. Edison, dan Jane P. Wayland yang berjudul
Improving Students Critical Thinking, Creativity, and Communication Skills
dalam
Journal
Ade Maman Suryaman, 2015 Penerapan Teknik Six Thinking Hats pada Isu
– Isu Kontemporer dalam Pembelajaran Sejarah untuk Meningkatkan Kreativitas Siswa: Studi Kasus di SMA Negeri 1 Cikarang
Utara Universitas Pendidikan Indonesia
| \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
of Instructional Pedagogies
. Hlm. 1-10. Mereka mengindikasikan hal serupa dengan artikel sebelumnya walau dengan subjek dan metode penelitian yang
berbeda. Artikel ini mengidentifikasikan bahwa teknik
Six Thinking Hats
dapat memahami masing-masing perspektif dan mampu menyajikan fokus yang spesifik
ketika menghadapi sebuah topik. Setelah menggunakan teknik ini, banyak dari responden menyatakan bahwa mereka dapat meningkatkan partisipasi kelas
berikutnya. Penguatan
pembelajaran sejarah
tidak hanya
dilakukan dengan
menggunakan teknik pembelajaran
Six Thinking Hats
, tetapi juga dengan mengangkat isu-isu kontemporer sejarah. Hal ini nantinya tidak hanya membentuk
generasi yang tahu akan masa lalunya, tetapi juga memahami secara kritis dan mendalam kebenaran akan masa lalunya serta kegunaannya untuk masa yang akan
datang. Materi pembelajaran sejarah yang dipadukan dengan isu-isu kontemporer sejarah digunakan untuk melihat konsep maupun peristiwa sejarah dilihat dari dua
pandangan: sejarah resmi
official history
maupun sejarah pinggiran
peripherial history
. Upaya untuk melihat suatu peristiwa sejarah dari dua pandangan dikarenakan sejarah mengalami perkembangan dalam penafsiran maupun sumber-
sumbernya, sehingga sejarah resmi dapat dilihat juga melalui interpretasi yang berbeda maupun sumber-sumber yang berkembang sejarah pinggiran.
Pemanfaatan isu-isu kontemporer yang digunakan dalam pembelajaran sejarah ini diangkat untuk membentuk suatu kesadaran sejarah. Hal ini senada
dengan pendapat Kellner dalam Segall, 2006, hlm. 129
this suggest that history is not about the past, but rather about our ways of creating meanings from and
about it
. Kesadaran sejarah merupakan salahsatu cara menciptakan makna dari peristiwa di masa lampau. Pemaknaan akan peristiwa sejarah pada materi sejarah
cenderung berupaya membentuk nasionalisme siswa. Padahal, banyak nilai yang terkandung dalam suatu peristiwa sejarah itu sendiri. Hal ini dianggap sebagai
sebuah pemahaman temporal dari sebuah pengalaman sejarah. Ini menyangkut
Ade Maman Suryaman, 2015 Penerapan Teknik Six Thinking Hats pada Isu
– Isu Kontemporer dalam Pembelajaran Sejarah untuk Meningkatkan Kreativitas Siswa: Studi Kasus di SMA Negeri 1 Cikarang
Utara Universitas Pendidikan Indonesia
| \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
bagaimana masa lalu dan masa yang akan datang dibentuk dan dihubungkan untuk kepentingan pembentukan masa lalu
Pada akhirnya, kesadaran sejarah tersebut akan membentuk kemampuan siswa yang lebih adaptif dan responsif memandang masalah-masalah sekitar
lingkungan sosial yang dihadapinya melalui masa lalunya. Kemampuan kesadaran sejarah menuntut siswa untuk mendalami dirinya sendiri maupun lingkungan
sekitar – serta menghubungkannya dengan konsep-konsep dalam pembelajaran
sejarah. Siswa mampu menghubungkan masa lalu dengan isu – kontemporernya
maupun masa kini terutama dengan menghubungkan pengalaman sendiri siswa tersebut. Keterhubungan tersebut akan membentuk pemahaman siswa bahwa
belajar masa lalu juga memiliki manfaat yang besar, terutama bagi diri mereka sendiri.
Berangkat dari alasan-alasan maupun konsep-konsep yang disajikan, maka peneliti mencoba untuk melakukan penelitian. Penelitian ini berbentuk penelitian
pendidikan. Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi kasus
Case Study
sebagai metode penelitiannya. Penelitian dengan metode ini mencoba untuk melihat kegiatan-kegiatan siswa dalam pembelajaran sejarah yang diamati
dan dicatat kemudian diinterpretasikan secara mendalam. Penelitian studi kasus adalah sebuah metode penelitian yang jika dengan pendekatan kualitatif
didasarkan atas suatu kasus khusus dari sebuah generalisasi yang terjadi dalam latar alamiah yakni tanpa adanya pemberian perlakuan
treatment
. Kasus khusus yang dimaksud adalah penerapan sebuah teknik pembelajaran yakni teknik
Six Thinking Hats
di beberapa kelas XI yang diteliti pada pembelajaran spesifik yakni pembelajaran pada mata pelajaran sejarah Indonesia. Kasus tersebut diteliti secara
mendalam dan ekstensif melalui penelitian lapangan di mana peneliti terjun langsung ke lapangan, kemudian dilakukan analisis dengan berbagai cara.
Sehingga, peneliti mencapai pada suatu topik penelitian yang berjudul Penerapan Teknik
Six Thinking Hats
pada Isu-isu Kontemporer dalam Pembelajaran
Ade Maman Suryaman, 2015 Penerapan Teknik Six Thinking Hats pada Isu
– Isu Kontemporer dalam Pembelajaran Sejarah untuk Meningkatkan Kreativitas Siswa: Studi Kasus di SMA Negeri 1 Cikarang
Utara Universitas Pendidikan Indonesia
| \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
Sejarah untuk Meningkatkan Kreativitas Siswa Studi Kasus di SMA Negeri 1 Cikarang Utara.
B. Perumusan Masalah