Komplikasi Pasca TG

KOMPLIKASI PASCA TG
DR. SYAH MIRSYA WARLI, SPU
Fakultas Kedokteran
Bagian Ilmu Bedah
Universitas Sumatera Utara
I. Komplikasi medikal
1. Acute Renal Failure (ARF)
ARF pasca TG dapat disebabkan oleh iskemi ginjal donor selama vasospasme
agonal atau disebabkan oleh faktor resipien yaitu injury sewaktu preservasi dan
reperfusi yang menyebabkan akumulasi sel radang yang kemudian akan berinteraksi
dengan sel endotel vaskular ginjal dan sel epitel tubulus. Penatalaksanaan acute
tubular necrosis (ATN) post TG meliputi perbaikan KU, dialisis intermitten, hindari
obat-obatan nefrotoksis dan observasi ketat sampai GFR ≥ 30 ml/mt. Lamanya ATN
post TG cadaver bervariasi dari 1-3 minggu1.
2.

Masalah gastrointestinal
Insiden ulkus peptik pasca TG dapat dikurangi dengan pemberian profilaksis.
H2 bloker dan antasida diberi selama 8 minggu pertama saat pasien mendapat
kortikosteroid dalam dosis besar. Komplikasi gastrointestinal lain dapat berupa
pankreatitis akut, divertikulitis, ulkus oesofagus (karena infeksi kandida atau herpes

simpleks), perdarahan saluran cerna bagian bawah1 dan perforasi kolon karena CMV
colitis2,3. Hasil penelitian menunjukkan tingginya insiden batu empedu pada resipien
TG terutama pada resipien penderita DM. Patogenesis pastinya belum diketahui,
mungkin karena penurunan motilitas kandung empedu pada pasien DM dan
kolelitiasis yang berhubungan dengan pemakaian cyclosporine1.
3.

Masalah tromboemboli
Trombosis vena dan emboli pulmonal cukup tinggi frekwensinya pada bulanbulan pertama post TG. Faktor risiko untuk tromboemboli adalah resipien usia tua,
imobilisasi pasca operasi, pemakaian kortikosteroid dosis tinggi, terapi dengan
cyclosporine dan peningkatan viskositas darah karena eritrositosis4. Pemberian
Losartan (angiotensin II type I reseptor antagonis) dapat menurunkan kadar
hematokrit pada eritrositosis post TG5. Suplementasi minyak ikan dapat mengurangi
risiko karena efeknya pada clumping sel darah merah, agregasi platelet dan sintesis
tromboksan A2. Resipien yang pernah mengalami tromboemboli, diberi antikoagulan
(heparin diikuti coumarin) selama 3-6 bulan. Menurunkan dosis steroid yang dipakai
untuk imunosupresi profilaksis juga dapat menurunkan insiden tromboemboli1.
4.

Hipertensi / penyakit vaskular

Aterosklerosis merupakan penyebab mortalitas dan morbiditas yang penting
pada resipien TG. Insiden berkisar 1%-3%. Hal ini dipengaruhi oleh hipertensi,
hiperlipidemia, obesitas, perokok dan diabetes sebelum atau sesudah TG6.
Hipertensi merupakan komplikasi yang sering terjadi dan berhubungan
dengan meningkatnya kejadian graft failure7. Insidennya bervariasi antara 50%70%, lebih banyak pada pasien yang mendapat terapi cyclosporine dibandingkan
azathioprine1 dan lebih sering pada resipien donor cadaver dibandingkan living
donor4. Prevalensi hipertensi lebih rendah bila ada salah satu dari : (1) ginjal berasal
dari living related donor, (2) nefrektomi bilateral pada resipien dan (3) kadar serum
kreatinin stabil < 2,0 mg/dL6.

©2003 Digitized by USU digital library

1

Patogenesisnya dapat dibagi menjadi faktor intrinsik (rejeksi akut dan
kronik, recurrent renal disease) dan faktor ekstrinsik (stenosis a. renalis, hipertensi
dari native kidney atau pemakaian steroid dan cyclosporine). Cyclosporine dapat
menyebabkan hipertensi melalui hipervolumia karena retensi garam, meningkatnya
aktifitas syaraf simpatis ginjal yang menyebabkan vasokonstriksi arteriol aferen dan
endothelin mediated direct vasoconstriction 1.

Untuk menentukan apakah hipertensi disebabkan oleh stenosis arteri renalis,
native kidney atau karena pemakaian cyclosporine dapat dilakukan captopril test.
Bila serum kreatinin segera meningkat setelah pemberian 12,5 mg captopril mungkin
terjadi stenosis arteri renalis. Jika tekanan darah kembali normal tanpa ada
perubahan kadar serum kreatinin setelah pemberian captopril, hipertensi mungkin
disebabkan karena tingginya output renin dari native kidney. Pada hipertensi yang
diinduksi cyclosporine tidak menunjukkan perubahan tekanan darah atau fungsi
ginjal setelah pemberian captopril6.
5.

Hiperlipidemia
Peningkatan kadar serum lipid sering dijumpai pada resipien TG dan khas
mulai terjadi 3 bulan setelah TG yang kemudian terus menetap. Hiperkolesterolemia
terjadi pada 16%-78% resipien, hipertrigliseridemia terjadi pada 9%-66% resipien.
Hiperkolesterolemia yang terjadi berhubungan dengan usia, gender wanita, terapi
diuretik, proteinuria serta terapi steroid dan cyclosporine. Hipertrigliseridemia
berhubungan dengan pemakaian beta blocker, diuretik dan steroid6.
Banyak teori yang menerangkan terjadinya hiperlipidemia pada resipien TG.
Kroop dkk menduga disebabkan oleh gangguan fungsi ginjal karena nefrotoksisitas
cyclosporine A. Marcell dkk menyebutkan adanya kompetisi antara cyclosporine A

dengan Low Density Lipoprotein-C (LDLC) terhadap reseptor sehingga meningkatkan
metabolisme lipid akan mempercepat
kadar serum LDLC8. Adanya gangguan
terjadinya penyakit arteri koroner yang menyebabkan kematian pada resipien4.
6.

Diabetes
Insiden diabetes post TG berkisar 3% - 40%, lebih banyak ditemukan pada
ras Afrika-Amerika dan Hispanic. Terjadinya hiperglikemia disebabkan oleh resistensi
insulin1 dan imunosupresi yang menyebabkan infeksi viral pada pankreas4. Pada
keadaan ini graft survival lebih jelek dan disertai meningkatnya mortalitas karena
komplikasi infeksi6.
7.

Malignansi
Pada resipien TG risiko malignansi meningkat sampai 100 kali orang
dimana resipien yang mempunyai riwayat malignansi mempunyai
normal9,10
kemungkinan 2 kali lebih besar. Keganasan yang tersering adalah pada bibir dan
kulit (37%) diikuti limfoma (16%)6,11. Untuk keganasan urologis yang tersering pada

resipien TG adalah renal cell carcinoma11.
Faktor utama
yang menyebabkan
tingginya insiden keganasan pada
resipien TG, terutama adalah pemakaian obat imunosupresi12,13. Selain itu infeksi
virus post TG, protracted antigenic stimulation dari allograft, transfer malignansi dari
organ donor juga berperan1. Keterpajanan terhadap sinar matahari dan merokok
merupakan faktor risiko independen terjadinya lip lesion14.
8.

Penyakit hati
Penyakit hati juga merupakan komplikasi yang sering terjadi post TG.
Penyebab tersering adalah infeksi virus hepatitis B atau C (HBV atau HCV)15.
Prevalensinya berkisar 15%. Progresi penyakit ini dipermudah oleh terapi
imunosupresi16.

©2003 Digitized by USU digital library

2


9.

Komplikasi muskuloskeletal
Gout akut merupakan komplikasi klinis yang penting terutama pada
pemakaian cyclosporine. Hiperurisemia disebabkan oleh berkurangnya laju filtrasi
glomerulus sehingga mengganggu ekskresi urat6.
10.

Komplikasi urologis
Infertilitas ditemukan pada 85% pasien uremia17 yang disebabkan oleh
berhentinya spermatogenesis dan aplasia sel germinal karena hipogonadisme dan
hiperprolaktinemia.
Lebih dari 50% pasien ini mengalami peningkatan jumlah
sperma dan perbaikan motilitas dalam 6 bulan setelah TG18.
Dosis tinggi steroid dapat menyebabkan
terhentinya spermatogenesis
dangan menurunnya densitas sperma dan gangguan motilitas. Azathioprine
dilaporkan menyebabkan depresi temporer spermatogenesis dan menurunnya
viabilitas sperma. Cyclosporine menyebabkan hirsutisme dan ginekomasti karena
ketidakseimbangan rasio androgen-estrogen17.

Batu saluran kemih terkadang dijumpai post TG. Penyebab tersering adalah
hiperparatiroid sekunder yang persisten, infeksi saluran kemih berulang dengan
refluks, transplantasi ke urinary conduit, pemakaian nonabsorbable suture atau
staples dan penyakit ginjal primer (oxalosis atau renal tubular asidosis distal).
Komplikasi lain dapat terjadi refluks vesikoureteral18.
11.

Infeksi
Karena pemakaian imunosupresi, resipien TG rentan terhadap terjadinya
infeksi dimana 75% resipien TG terkena infeksi pada tahun pertama post TG. Risiko
infeksi dipengaruhi oleh imunosupresi dan interaksi lingkungan. Pada bulan pertama
TG infeksi sering disebabkan oleh reaktivasi infeksi resipien terutama ISK dan TB,
transmisi infeksi dari donor, infeksi luka operasi, kateter intra vena dan kateter
urine. Pada satu sampai enam bulan pertama infeksi sering disebabkan virus seperti
herpes6.
II. Komplikasi operasi
1. Komplikasi urologis
Komplikasi urologis paling sering disebabkan oleh iskemia yang dapat
sekunder karena pengangkatan ginjal donor, teknik anastomosis, variasi suplay
darah, rejeksi atau obat-obatan. Kebocoran urine pada anastomosis ureterovesikel

sekunder terhadap kesalahan operasi atau nekrosis distal ureter. Timbul dengan
gejala nyeri, edema dan ada cairan dari luka yang biasanya disertai penurunan
pengeluaran urine. Obstruksi saluran kemih paling sering karena iskemia yang
menyebabkan terbentuknya fibrosis dan striktur di ureter. Juga dapat disebabkan
oleh infeksi, hematom, limfokel atau terputarnya ureter. Umumnya tanpa gejala dan
diketahui dari peningkatan kadar serum kreatinin dan pada USG terlihat dilatasi
kaliks19. Selain itu dapat terjadi fistel urine dan perdarahan saluran kemih18.
2.

Komplikasi vaskular
Dapat terjadi trombosis arteri renalis karena terputarnya pembuluh sewaktu
operasi. Trombosis vena renalis ditandai dengan graft tenderness dan edema yang
disertai hematuria. Sering juga dengan penurunan pengeluaran urine, proteinuria
dan peningkatan kadar serum kreatinin. Hal ini dapat sekunder karena teknik operasi
atau adanya obstruksi parsial vena iliaka oleh urinoma, limfokel atau hematom19.
3.

Limfokel
Sering terjadi karena robeknya pembuluh limfe sewaktu diseksi perivaskular
atau robekan hilus yang dapat diidentifikasi dengan injeksi metilen blue. Dapat


©2003 Digitized by USU digital library

3

mengganggu fungsi ginjal karena terbentuk hidronefrosis. Intervensi dibutuhkan
kalau terjadi obstruksi ureter, lymphedema atau infeksi20. Terapi yang paling reliabel
adalah drainase interna dengan membuat hubungan antara limfokel dengan kavum
peritoneum. Sebelum drainase harus disingkirkan dahulu kemungkinan urinoma19.
III.

GRAFT REJECTION
Transplantasi organ antara dua individu akan menimbulkan respon imun yang
kuat. Hanya organ dari identical twin monozygot yang tidak menimbulkan respon
imun21. Renal graft rejection didefinisikan sebagai gangguan fungsi dan struktur
ginjal yang disebabkan oleh adanya respon imun aktif dari resipien dan penyebab
disfungsi non imunologik yang independen22. Insiden rejeksi lebih rendah pada
resipien dari living donor dibanding donor cadaver. Berdasarkan data UNOS, 24%
resipien TG cadaver mengalami satu atau lebih episode rejeksi selama masa rawatan
awal dan 52% dalam 6 bulan berikutnya6.

Diagnosis rejeksi
Diagnostik
Kreatinin serum
BUN
Volume urine
Pertambahan BB
Kidney swelling
Demam
Biopsi
USG
Scan ginjal

Grave signs
meningkat > 25%
meningkat > 40%
< 750 ml/24 jam
meningkat > 5 lb/24
jam
jelas


Suggestive sign
meningkat < 25%
meningkat < 40%
< 1250 ml/24 jam
meningkat < 5 lb/24
jam
Meragukan
> 100 0F oral

histologi positif
penurunan
perfusi
dan fungsi tubulus

Membesar
cepat
Meragukan

dengan

Diagnosis rejeksi ditegakkan minimal dengan 2 grave sign, 1 grave dan 2 suggestive
sign atau 4 suggestive sign. Kalau pasien didialisis, 4 tanda pertama tidak bermakna.
Biopsi dilakukan bila dicurigai ada nefrotoksisitas cyclosporine23. Penulis lain
mengemukakan hipertensi sebagai tanda awal dari suatu rejeksi6.
Rejeksi hiperakut
Terjadi dalam beberapa menit sampai beberapa jam post TG. Graft yang
awalnya berwarna pink berubah cepat setelah anastomosis menjadi berbintik-bintik,
iskemi dan anemia. Pada pemeriksaan histologis terlihat adanya trombus fibrin,
platelet dan nekrosis fibrinoid pada dinding pembuluh darah. Keadaan ini dapat
dicegah dengan transfusi darah pre TG dan tissue typing yang akurat24.
1.

Rejeksi akut
Episode rejeksi akut terjadi dalam 5-7 hari post TG dimana frekwensi
terjadinya berkurang setelah 3 bulan, biasanya disebabkan oleh withdrawl obat
imunosupresi24. Berdasarkan klassifikasi Banff dibagi menjadi 3 katagori : grade I
(ringan), grade II (sedang) dan grade III (berat). Pada rejeksi grade I ditemukan
infiltrasi interstisial yang luas dengan tubulitis moderate. Pada rejeksi grade II
ditemukan infiltrasi interstisial yang luas dengan invasi tubulus atau interstisial
arteritis ringan sampai berat (atau keduanya). Rejeksi grade III dengan infiltrasi
interstisial luas dengan tubulitis berat, intimal arteritis berat atau transmural
arteritis, perubahan fibrinoid dan nekrosis sel otot polos25.
2.

©2003 Digitized by USU digital library

4

Faktor yang mempengaruhi timbulnya rejeksi akut diantaranya HLA
mismatch, sensitisasi sebelumnya (lebih tinggi pada pasien dengan PRA > 50%),
retransplant, ras (lebih sering pada resipien Afrika-Amerika) dan usia resipien (paling
tinggi pada kelompok < 16 tahun)6. Pada resipien anak (< 1 tahun), insidens rejeksi
akut sangat rendah, mungkin karena proses auto immun. Hal ini menyebabkan
rejeksi kronik juga sangat jarang timbul pada resipien anak < 1 tahun26.
Gambaran klinik klasik berupa hipertensi, oliguri, edem dan demam. Pada
pasien yang diterapi dengan cyclosporine A , tanda utama adalah peningkatan kadar
kreatinin serum > 20%6. Keadaan ini di DD dengan iskemia ATN, nefrotoksis CsA,
obstruksi saluran kemih dan infeksi. Penatalaksanaannya pulse methyl prednisolon
500-1000 mg/hari/iv selam 3-5 hari. Bila resisten dipakai anti limfosit antibodi
seperti ALS atau OKT 39.
Accelerated rejection
Merupakan episode rejeksi agresif yang timbul dalam 5-6 hari post TG,
dibedakan dengan rejeksi hiperakut adalah onsetnya yang tidak terlalu cepat. Hal ini
mungkin disebabkan oleh sensitasi sebelumnya. Pada pemeriksaan patologis
ditemukan nekrosis fibrinoid pada pembuluh darah kecil24.
3.

Rejeksi kronik
Rejeksi kronik didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana ditemukan
penurunan GFR yang lambat tapi progresif, minimal 3 bulan setelah TG27, disertai
gejala klinis proteinuria dan hipertensi28. Keadaan ini merupakan penyebab utama
kegagalan graft pada tahun pertama29,30. Menurut klasifikasi Banff disebut chronic
allograft nephropathy, yang terbagi dalam 3 grade, ringan, sedang, dan berat25.
Mekanisme terjadinya rejeksi kronik disebabkan oleh Ag-dependent yang
merupakan mekanisme utama7 dan Ag-independent (non imun). Ag-dependent oleh
karena adanya korelasi antara
rejeksi kronik dengan HLA mismatching, graft
cadaver, episode rejeksi akut dan regimen imunosupresi30. Episode rejeksi akut
merupakan faktor risiko terjadinya rejeksi kronik31,32, dimana pasien yang pernah
mengalami episode rejeksi akut mempunyai risiko 6,45-7,7 kali lebih besar untuk
mendapat rejeksi kronik27. Faktor Ag-independen yang berhubungan dengan rejeksi
kronik adalah pre-transplant hiperlipidemi, waktu cold ischemia yang panjang,
delayed graft function, infeksi post-tranplantasi ginjal, usia donor, jenis kelamin,
resipien obesitas33 dan ras, dimana graft cadaver dari ras kulit hitam survivalnya
lebih rendah dibanding graft cadaver dari ras kulit putih34. Graft dari donor yang
sangat muda, tua dan wanita kurang baik dibandingkan graft dari donor usia 15-55
tahun atau pria. Faktor risiko utama untuk terjadinya rejeksi kronik adalah episode
rejeksi akut35.
4.

©2003 Digitized by USU digital library

5

DAFTAR PUSTAKA
1. Rao VK : Post transplant medical complications. Surg Cl North Am 78: 113-32,
1998.
2. Stelzner M : Colonic perforation after renal transplantation. J Am Coll Surg 184:
63-69, 1997.
3. Lederman ED : Complicated diverticulitis following renal transplantation. Dis
Colon Rectum 41: 613-18, 1998.
4. Braun WE : Long term complications of renal transplantation. Kidney Int 37:
1363-78, 1990.
5. Julian BA, Brantley RR, Barker CV : Losartan, an angiotensin II Type I receptor
antagonist, lowers hematocrit in post transplant erythrocytosis. J Am Soc Nephrol
9: 1104-08, 1998.
6. Peddi VR, First MR : Primary care of patients with renal transplants. Med Cl North
Am 81 : 767-83, 1997.
7. Opelz G, Wujciak T, Ritz E : Association of chronic kidney graft failure with
recipient blood pressure. Kidney Int 53 : 217-22, 1998.
8. Yoshimura N, Oka T, Okamoto M : The effects of pravastatin on hyperlipidemia in
renal transplan recipients. Transplantation 53 : 94-99, 1992.
9. Sayegh MH, Carpenter CB : Renal transplantation. Imm All Cl North Am 16 : 24361, 1996.
10. Doublet JD, Peraldi MN, Gattegnobe et al : Renal celll carcinoma of native kidney:
Prospective studies of 129 renal transplant patients. J Urol 158: 42-44, 1997.
11. Shoskes D : Urological malignancies in renal transplant recipients. Curr Op Urol 5
: 91-94, 1995.
12. Nakamoto T, Igawa M, Mitani S et al : Metastatic renal cell carcinoma arising in a
native kidney of renal transplant recipient. J Urol 152: 943-45, 1994.
13. King GN, Healy CM, Glover MT et al : Increased prevalence of dysplastic and
malignant lip lesions in renal transplant recipients. N Eng J Med 332 : 1052-57,
1995.
14. van Zuuren EJ, de visscher JGAM, Bafinck JMB : Carcinoma of the lip kidney
transplant recipient. J Am Acad Derm 38: 497-99, 1998.
15. Yagisawa T, Toma H : The impact of viral infections in renal transplantation. Curr
Op in Urol 7: 126-30, 1997.
16. Suthanthiram M, Strom TB : Renal transplantation. Ann Engl J Med 331: 365375, 1994.
17. Gritsch HA, Vivas C, Jordan ML : Infertility and impotence following renal
transplantation. Curr Op Urol 6 : 115-19, 1996.
18. Reinberg Y, Bumgardner GL, Aliabadi H : Urological aspects of renal
transplantation. J.Urol 143 : 1087-92, 1990.
19. Odland MD : Surgical Technique/post transplant surgical complication. Surg Cl
North Am 78: 55-60, 1998.
20. Nicol DL : Urologic aspects of renal transplantation. Curr Op Urol 5 : 86-90,
1995.
21. O’Connell PJ, Strom TB : Prevention of renal allograft rejection in Current
Therapy in Nephrology and Hypertension (Galssock ed), 3rd ed, BC Decker, 41528, 1992.
22. Suthamthiram M : Acute rejection of renal allografts : Mechanistic insights and
therapeutic options. Kidney Int : 1289-304, 1997.
23. Nourman DJ : Treatment of allograft rejection in Current thrapy in nephrology
and hypertension (Glassock ed), 3rd ed, BC Decker, 421-28, 1992.

©2003 Digitized by USU digital library

6

24. Perkins DL, Carpenter CB : Immunobiology of transplantation in The Kidney
(Brenner ed) 5th ed, WB Saunders, 2576-601, 1996.
25. Solez K, Axelsen RA, Benediktson H et al : International standardization of
criteria for the histologic diagnosis of renal allograft rejection : The Banff working
classification of kidney transplant pathology. Kidney Int 44 : 411-22, 1993.
26. Humar A, Nevins TE, Remucal M et al : Kidney transplantation in children
younger than 1 year using cyclosporine immunosuppression. Ann Surg 228, 42126, 1998.
27. Nickerson P, Jeffry J, Goug J et al : Identification of clinical and histopathologic
risk factor from diminished renal function 2 years post transplant. J Am Soc
Nephrol 9:482-86, 1998.
28. Fine RM : Long term follow up of renal transplantation : Chronic rejection and
recurrent of nephritis in Nephrology Proceeding 11th Congress of Nephrology
(Hatano ed), Springer Verlag, 1263-68, 1991.
29. Weber M, Deng S, Oltholff K et al : Organ transplantationin the 21th century. Urol
Cl North Am 25: 51-59, 1998.
30. Lawen JG, Belitsky P : Maintenance immunosuppression and chronic rejection in
renal allografts. Curr Op Urol 5 : 98-104, 1995.
31. Remuzzi G, Perico N : Protecting single kidney allograft from long term functional
deterioration. J Am Soc Nephrol 9: 1321-29, 1998.
32. Tulius SG, Nieminen M, Bechstein WO et al : Contribution of early acute rejection
episodes to chronic rejection in a rat kidney transplantation model. Kidney Int 53
: 465-72, 1998.
33. Bia MJ : Non immunologic causes of late renal allograft loss. Kidney Int 47 :
1470-80, 1995.
34. Butkus DE, Meydrech EF, Raju SS : Racial differences in the survival of cadaveric
renal allografts. N Eng J Med 327 : 840-44, 1992.
35.Paul : Chronic renal transplant loss. Kidney Int 47:1491-99, 1995

©2003 Digitized by USU digital library

7