BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Efektifitas Organisasi

(1)

BAB

 

II

 

TINJAUAN

 

PUSTAKA

 

 

2.1

Efektifitas Organisasi

Suatu organisasi yang berhasil dapat diukur dengan melihat pada sejauhmana organisasi tersebut dapat mencapai tujuan yang sudah ditetapkan. Konsep Efektifitas yang dikemukakan para ahli organisasi dan manajemen memiliki makna yang berbeda, tergantung pada kerangka acuan yang dipergunakan.

Dalam penelitian ini perspektif efektifitas organisasi yang digunakan adalah perpektif tujuan, dimana tolok ukur yang digunakan adalah bagaimana organisasi mencapai tujuan, termasuk merealisir visi dan misi organisasi sesuai dengan mandat yang diembannya (disesuaikan dengan tujuan RSJ Daerah Provinsi Sumatera Utara yakni Meningkatkan efisiensi dan efektifivitas pelaksanaan pelayanan kesehatan jiwa dan kesehatan umum). Jadi tolok ukur efektifitas Organisasi RSJ Daerah Provinsi Sumatera Utara meliputi efektifitas organisasi dalam menyelenggarakan pelayanan publik, dalam hal ini pelaksanaan pelayanan kesehatan jiwa dan kesehatan umum.

Steers mengemukakan lima kriteria dalam pengukuran efektifitas organisasi yaitu:

a. Produktivitas 

b. Kemampuan adaptasi atau fleksibilitas  c. Kepuasan kerja 

d. Kemampuan berlaba 


(2)

Sementara menurut Gibson mengatakan pula bahwa efektifitas organisasi dapat pula diukur sebagai berikut:

a. Kejelasan tujuan yang hendak dicapai  b. Kejelasan strategi pencapaian tujuan 

c. Proses analisis dan perumusan kebijaksanaan yang mantap  d. Perencanaan yang matang 

e. Penyusunan program yang tepat  f. Tersedianya sarana dan prasarana 

g. Sistem pengawasan dan pengendalian yang bersifat mendidik (Dalam Siagian, Sondang.  P , 1998). 

Definisi-definisi tersebut melihat efektifitas organisasi dengan menggunakan tujuan akhir atau tujuan yang diinginkan. Namun organisasi dengan efektifitas organisasi dari sudut pencapaian tujuan dalam pengertian sebagai misi akhir adalah pekerjaan yang sulit, karena sering tujuan yang dikejar oleh suatu organisasi tidak dapat ditentukan secara pasti. Dari sudut ini maka organisasi tidak pernah mencapai tujuannya dalam pengertian yang akhir atau selalu ditandai dengan tingkat

keberhasilan yang rendah. Karenanya kemudian berkembang dari pemikiran lain mengenai penilaian kebutuhan organisasi dengan perspektif dari berbagai multi disiplin pengetahuan.

Kenyataan dalam upaya mencapai tujuan akhir, organisasi harus mengenali kondisi-kondisi yang dapat menghalangi tercapainya tujuan. Jadi dapat diterima pandangan yang menilai efektifitas organisasi sebagai ukuran seberapa jauh sebuah organisasi berhasil mencapai tujuan yang layak dicapai.

Dalam pengertian ini, pemusatan perhatian pada tujuan yang layak dicapai dan optimal, akan tampak lebih realistik untuk tujuan evaluasi daripada menggunakan tujuan akhir atau tujuan yang diinginkan sebagai dasar ukuran. Sehingga keberhasilan dapat dilihat dari berbagai kriteria yang dikembangkan oleh para ahli namun karena masing-masing organisasi adalah unik, maka tidak ada rangkaian teratur yang dapat diterima secara umum.

Memperhatikan pendapat ahli diatas dapat dipahami bahwa konsep efektifitas organisasi merupakan suatu konsep yang bersifat multidimensional.

Multidimensional ini terjadi karena antara satu ahli dengan yang lainnya memiliki dasar ilmu yang berbeda walaupun tujuan akhir dari efektifitas adalah pencapaian


(3)

tujuan. Berdasarkan uraian diatas disimpulkan bahwa dalam pengertian efektifitas organisasi tercakup pengertian kemampuan melaksanakan tugas, fungsi (operasi kegiatan, program atau misi) suatu organisasi.

2.2.  Pandangan Faktor‐faktor Penyumbang Efektifitas 

Banyak pendapat yang mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas organisasi, namun pada dasarnya pendapat-pendapat tersebut telah terangkum dalam hasil penelitian Richard M. Steers, seperti teori mengenai pembinaan organisasi yang menekankan adanya perubahan yang berencana dalam organisasi yang bertujuan untuk meningkatkan efektifitas organisasi. Jadi

keberhasilan pembinaan organisasi akan mengakibatkan keberhasilan organisasi. (Steers, 1985)

Lain halnya yang dikemukanan oleh Dydiet Hardjito yang mengemukakan bahwa keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuannya dipengaruhi oleh

komponen-komponen organisasi yang meliputi (1) struktur, (2) tujuan; (3) manusia, (4) hukum (5) prosedur pengoperasian yang berlaku; (6) teknologi, (7) lingkungan, (8) kompleksitas (9) spesialisasi; (10) kewenangan; (11) pembagian tugas (Hardjito, 2001).

Dalam mencapai efektifitas suatu organisasi sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berbeda-beda tergantung pada sifat dan bidang kegiatan atau usaha suatu organisasi. Sejalan dengan hal tersebut maka Komberly dan Rottman berpendapat bahwa efektifitas organisasi ditentukan oleh lingkungan, teknologi, pilihan strategi, proses dan kultur. (Dalam Gibson, 1995).

Suatu pendekatan didalam arti bagaimana pendekatan atau teori terhadap pencapaian suatu tujuan. Persepektif efektifitas menekankan tentang peran sentral dari pencapaian tujuan organisasi, dimana dalam menilai organisasi apakah dapat bertahan hidup maka dilakukan evaluasi yang relevan bagi suatu tujuan tertentu.

Demikian banyak rangkaian kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi efektifitas organisasi seperti apa yang dikemukakan diatas, akan tetapi untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi kriteria adalah sangat sulit sekali, karena harus melihat pada hasil-hasil penelitian terdahulu. Dengan dikemukakannya empat faktor yang berpengaruh terhadap efektifitas organisasi oleh Steers, dapat digambarkan sebagai berikut :

Tabel 1. Faktor‐faktor Penyumbang Efektifitas Organisasi 

 


(4)

ORGANISASI  LINGKUNGAN  PEKERJA  PRAKTEK 

MANAJEMEN 

1. Struktur :  Desentralisasi  Spesialisasi  Formalisasi  Rentang  Kendali  2. Teknologi : 

Operasi  Bahan  Pengetahuan 

1. Ekstern :  Kekomplekan  Kestabilan  Ketidaktentuan   2. Intern : 

Orientasi  pada  karya  

Pekerja sentris  Orientasi  pada  imbalan 

Hukuman 

Keamanan  vs  resiko 

Keterbukaan  vs  pertahanan  

1. Keterikatan  pada  organisasi :  Ketertarikan   Kemantapan kerja Keikatan 

(komitmen)  2. Prestasi kerja : 

Motivasi  Tujuan  Kebutuhan  Kemampuan  Kejelasan peran 

   

1. Penyusunan  tujuan strategis  2. Pencarian 

pemanfaatan  dan sumber daya  3. Menciptakan 

lingkungan  prestasi   4. Kepemimpinan 

dan pengambilan 5. Inovasi  dan 

adaptasi  organisasi 

 

Sumber: Steers (1985: 8) 

 

Adapun pengaruh 4 faktor tersebut terhadap efektifitas organisasi sebagai berikut:

1)  Karakteristik Organisasi 

Karakteristik organisasi terdiri dari struktur dan teknologi. Struktur diartikan sebagai hubungan yang relatif tetap sifatnya, merupakan cara suatu organisasi menyusun orang-orangnya untuk menciptakan sebuah organisasi yang meliputi faktor-faktor seperti deentralisasi pengendalian, jumlah spesialisasi pekerjaan, cakupan perumusan interaksi antar pribadi dan seterusnya. Secara singkat struktur diartikan sebagai cara bagaimana orang-orang akan dikelompokkan untuk


(5)

Teknologi menyangkut mekanisme suatu organisasi untuk mengubah masukan mentah menjadi keluaran jadi. Teknologi dapat memiliki berbagai bentuk, termasuk variasi-variasi dalam proses mekanisme yang digunakan dalam produksi, variasi dalam pengetahuan teknis yang dipakai untuk menunjang kegiatan menuju sasaran. Ciri organisasi yang berupa struktur organisasi meliputi faktor luasnya desentralisasi. Faktor ini akan mengatur atau menentukan sampai sejauh mana para anggota organisasi dapat mengambil keputusan. Faktor lainnya yaitu spesialisasi pekerjaan yang membuka peluang bagi para pekerja untuk mengembangkan diri dalam bidang keahliannya sehingga tidak mengekang daya inovasi mereka.

Faktor formalisasi berhubungan dengan tingkat adaptasi organisasi terhadap lingkungan yang selalu berubah, semakin formal suatu organisasi semakin sulit organisasi tersebut untuk beradaptasi terhadap lingkungan. Hal tersebut berpengaruh terhadap efektifitas organisasi karena faktor tersebut menyangkut para pekerja yang cendenrung lebih terikat pada organisasi dan merasa lebih puas jika mereka mempunyai kesempatan mendapat tanggung jawab yang lebih besar dan mengandung lebih banyak variasi jika peraturan dan

ketentuan yang ada dibatasi seminimal mungkin.

Harvey (dalam Steers, 1985) menemukan bahwa semakin mantap teknologi sebuah organisasi, makin tinggi pula tingkat penstrukturannya yaitu tingkat spesialisasi, sentralisasi, spesifikasi tugas dan lain-lain. Efektifitas organisasi sebagian besar merupakan hasil bagaimana tingkat Indonesia dapat sukses

memadukan teknologi dengan struktur yang tepat. Keselarasan antara struktur dan teknologi yang digunakan sangat mendukung terhadap pencapaian tujuan

organisasi.

2)  Karakteristik Lingkungan 

Karakteristik lingkungan ini mencakup dua aspek yaitu internal dan eksternal. Lingkungan internal dikenal sebagai iklim organisasi. Yang meliputi macam-macam atribut lingkungan yang mempunyai hubungan dengan segi-segi dan efektifitas khususnya atribut lingkungan yang mempunyai hubungan dengan segi-segi tertentu dari efektifitas khususnya atribut diukur pada tingkat individual. Lingkungan eksternal adalah kekuatan yang timbul dari luar batas organisasi yang memperngaruhi keputusan serta tindakan di dalam organisasi seperti kondisi ekonomi, pasar dan peraturan pemerintah. Hal ini mempengaruhi: derajat kestabilan yang relatif dari lingkungan, derajat kompleksitas lingkungan dan derajat kestabilan lingkungan.

Steers menyimpulkan dari penelitian yang dilakukan para ahli bahwa keterdugaan, persepsi dan reasionalitas merupakan faktor penting yang mempengaruhi hubungan lingkungan. Dalam hubungan terdapat suatu pola


(6)

dimana tingkat keterdugaan dari keadaam lingkungan disaring oleh para pengambil keputusan dalam organisasi melalui ketetapan persepsi yang tepat mengenai lingkungan dan pengambilan keputusan yang sangat rasional akan dapat memberikan sumbangan terhadap efektifitas organisasi. (Steers, 1985)

3) Karakteristik Pekerja 

Karakteristik pekerja berhubungan dengan peranan perbedaan individu para pekerja dalam hubungan dengan efektifitas. Para individu pekerja mempunyai pandangan yang berlainan, tujuan dan kemampuan yang berbeda-beda pula. Variasi sifat pekerja ini yang sedang menyebabkan perilaku orang yang berbeda satu sama lain. Perbedaan tersebut mempunyai pengaruh langsung terhadap efektifitas organisasi. Dua hal tersebut adalah rasa keterikatan terhadap organisasi dan prestasi kerja individu.

Menurut Katz dan Kahn (Dalam Steers, 1985), peranan tingkah laku dalam efektifitas organisasi harus memenuhi tiga persyaratan sebagai berikut:

a. Setiap organisasi harus mampu membawa dan mempertahankan suatu armada kerja  yang mantap yang terjadi dari pekerja pria dan wanita yang terampil. Berarti di samping  mengadakan penerimaan dari penempatan pegawai, organisasi juga harus mampu  memelihara para pekerja dengan imbalan yang pantas dan memadai sesuai dengan  kontribusi individu dan yang relevan bagi pemuasan kebutuhan individu. 

b. Organisasi harus dapat menikmati prestasi peranan yang dapat diandalkan dari para  pekerjanya. Sering terjadi manajer puncak yang seharusnya memikul tanggung jawab  utama dalam merumuskan kebijakan perusahaan, membuang terlalu banyak waktu  untuk keputusan dan kegiatan sehari‐hari yang sepele dan mungkin menarik, akan  tetapi tidak relevan dengan perannya sehingga berkurang waktu yang tersedia bagi  kegiatan ke arah tujuan yang lebih tepat. Setiap anggota bukan hanya harus bersedia  berkarya, tetapi juga harus bersedia melaksanakan tugas khusus yang menjadi tanggung  jawab utamanya . 


(7)

Di samping prestasi peranan yang dapat diandalkan organisasi yang efektif menuntut agar para pekerja mengusahakan bentuk tingkah laku yang spontan dan inovatif, job description tidak akan dapat secara mendetail merumuskan apa yang mereka kerjakan setiap saat, karena bila terjadi keadaan darurat atau luar biasa individu harus mampu bertindak atas inisiatif sendiri dan atau luar biasa individu harus mampu bertindak atas inisiatif sendiri dan atau mengambil keputusan dan mengadakan tanggapan terhadap yang paling baik bagi organisasinya.

4) Kebijakan dan praktek manajemen 

Karena manajer memainkan peranan sentral dalam keberhasilan suatu organisasi melalui perencanaan, koordinasi dan memperlancar kegiatan yang ditujuan ke arah sasaran. Kebijakan yang baik adalah kebijakan tersebut secara jelas membawa kita ke arah tujuan yang diinginkan. Pada intinya manajemen adalah tentang memutuskan apa yang harus dilakukan kemudian

melaksanakannya melalui sumber daya manusia yang ada. Dari faktor kebijakan dan praktek manajemen ini, sedikitnya

diindentifikasikan menjadi enam variabel yang menyumbang efektifitas yaitu: 1) penyusunan tujuan strategis, 2) pencarian dan pemanfaatan sumber daya, 3) menciptakan lingkungan prestasi, 4) proses komunikasi, 5) kepemimpinan dan pengambilan keputusan dan 6) inovasi dan adaptasi.

Dari keempat faktor yang mempengaruhi efektifitas organisasi yang

dinyatakan oleh Steers tersebut dapat dijelaskan secara ringkas bahwa: 1) struktur yang dibangun dan teknologi yang digunakan dalam organisasi akan sangat berpengaruh terhadap proses dan pencapaian tujuan, 2) organisasi sebagai organisasi yang terbuka, kelangsungan hidupnya akan sangat tergantung kepada lingkungan sekitarnya baik yang berada di dalam organisasi maupun diluar organisasi, 3) bahwa manusia sebagai unsur penting dari organisasi memiliki kemampuan, pandangan motivasi dan budaya yang berbeda, dan 4) kebijakan dan praktek manajemen yang ditetapkan oleh pimpinan dalam mengatur dan

mengendalikan organisasi sangat berpengaruh bagi organisasi maupun bagi pencapaian tujuan.

Berdasarkan penjelasan atas faktor-faktor di atas beserta variabelnya dapat dipahami demikian banyak faktor yang berpengaruh pada efektifitas suatu organisasi dapat dilihat atau ditinjau dari;

1. Struktur organisasi yaitu sistem pengelompokan pekerjaan yang ditata dalam suatu struktur agar organisasi tersebut dapat digerakan secara maksimal dalam suatu jalinan kerja yang efektif dan efisien. Elemen yang diperhatikan dalam


(8)

penelitian ini adalah bagaimana kesesuaian penempatan individu pada struktur yang ada dengan kualifikasi pendidikan yang dimilikinya, dan bagaimana pemanfaatan teknologi dalam organisasi tersebut.

2. Adanya kerjasama, merupakan unsur yang terpenting dalam organisasi, karena dengan adanya hubungan yang baik/kerjasama yang baik maka keberhasilan pencapaian tujuan organisasi akan lebih cepat. Kerjasama ini bukan hanya terjadi antara individu atau antara unit/bagian saja melainkan adanya kerjasama dengan dinas instansi terkait lainnya. Adanya kerjasama dengan dinas, instansi terkait lainnya akan dapat diketahui berbagai masukan tentang informasi dalam hal peningkatan pendapatan daerah. Elemen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kerjasama rutin yang dilakukan Inspektorat dengan instansi teknis lainnya. 3. Kemampuan administratif pegawai, sebagai bentuk dari kemampuan sumber daya

manusia merupakan unsur penentu dalam keberhasilan organisasi dalam produktivitas kerja. Sumber daya manusia dalam hal ini adalah pegawai, perlu terus dikembangkan baik dari segi pendidikan formalnya maupun pendidikan jenjang kariernya. Dengan kualitas pegawai yang semakin meningkat diharapkan adanya perubahan kerja, etos kerja pegawai meningkat sehingga timbul rasa memiliki organisasi dan tercipta rasa kepuasan baik individu sendiri maupun keseluruhan organisasi. Elemen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kondisi pegawai menurut jenjang pendidikan formal, dan keadaan pegawai berdasarkan jenjang pendidikan karier.


(9)

4. Perencanaan Program Kerja memegang peranan dalam memulai sesuatu kegiatan atau melakukan suatu pekerjaan. Perencanaan yang baik merupakan perencanaan yang melibatkan baik unsur-unsur pimpinan maupun bawahan dalam menentukan kebijakan manajemen organisasi. Bukan hanya keterlibatan bawahan saja melainkan dalam menyusun suatu rencana program kerja memperhatikan faktor-faktor baik internal maupun eksternal dalam membahas suatu perencanaan yang sifatnya strategik. Elemen yang dianalisis adalah deskripsi program kerja masing-masing bagian, dan pertemuan rutin yang membahas mengenai pelaksanaan tugas.

5. Kepuasan kerja merupakan suatu kondisi yang dirasakan oleh seluruh anggota organisasi yang mampu memberikan kenyamanan dan motivasi bagi peningkatan kinerja organisasi secara keseluruhan untuk mencapai efektifitas organisasi. Elemen yang menjadi fokus penelitian ini adalah lamanya penyelesaian pekerjaan yang dilakukan karyawan dan sistem insentif yang diberlakuan bagi anggota organisasi yang berprestasi atau melakukan pekerjaan yang melebihi beban kerja yang ada.

 

2.3.   Pengertian Efektifitas Kerja 

  Efektifitas berasal dari kata efektif, batasan konsep ini sulit untuk diperinci, karena  masing‐masing disiplin ilmu memberikan pengertian‐pengertian sendiri‐sendiri. Menurut  Richard M Steelers (1988 : 1) 


(10)

  “Bagi seorang ahli ekonomi atau analis keuangan efektifitas semakna dengan keuntungan, atau laba investasi. Bagi seorang manajer produksi, efektifitas seringkali berarti kuantitas keluaran (output) barang atau jasa. Bagi seorang ilmuwan bidang riset, efektifitas dijabarkan dengan jumlah paten, penamaan atau produk baru suatu organisasi. Dan bagi sejumlah sarjana ilmu sosial efektifitas seringkali ditinjau dari sudut kualitas kehidupan bekerja, singkatnya, pengertian efektifitas mempunyai arti yang berbeda bagi setiap orang, tergantung kepada kerangka acuan yang dipakai”.

 

 

Berbicara mengenai efektifitas, menurut Kumorotomo adalah menyangkut apakah  tujuan dari didirikannya organisasi pelayanan publik tersebut tercapai.   Hal tersebut erat  kaitannya  dengan  rasional  teknis,  nilai,  misi  tujuan  organisasi  serta  fungsi  agen  pembangungan (Kumorotomo, 1996). 

  Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa tindakan yang efektif adalah tindakan pencapaian tujuan tanpa  memperhitungkan bagaimana atau seberapa pengorbanan yang diberikan/ditimbulkan asalkan tujuan dapat tercapai.  Dengan demikian dapat terjadi penghamburan usaha (tenaga, waktu, fikiran, ruang benda dan uang) dari yang  melaksanakan pekerjaan. 

  Menurut pengertian di atas berarti efektifitas adalah kemampuan untuk memilih  sasaran yan tepat. Seseorang yang efektif adalah pegawai yang memilih pekerjaan yang  benar untuk dijalankan, tanggung jawab pegawai membutuhkan semangat yang efektif. 

  Efektifitas  adalah  merupakan  kunci  keberhasilan  dalam  suatu  organisasi  atau  perusahaan. Menurut H.Emerson (1995 : 23)  efektifitas adalah pengukuran dari tercapainya  sasaran atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya, (Effectiveness is measurin in term of attaining prescrebd goals or objectives).   Dari beberapa defenisi efektifitas, yang dikemukakan 


(11)

dapat dikatakan bahwa efektifitas, apabila sasaran ataupun tujuan yang ingin dicapai telah  dapat direalisasikan tepat pada waktunya. 

  Dan kalau tujuan atau sasaran itu tidak selesai sesuai dengan waktu yang telah  ditentukan, maka pekerjaan tersebut tidaklah efektif lagi. Oleh karena itu disini pengertian  yang dikandung efektifitas berkaitan dengan masalah waktu. Dengan kata lain, seseorang  atau pegawai yang bekerja pada suatu kantor menyelesaikan pekerjaannya sesuai dengan  waktu  yang  telah ditetapkan sebelumnya.  Pentingnya  unsur  waktu  dalam  kehidupan  organisasi atau perusahaan lebih terlihat lagi apa yang dikemukakan oleh SP.Siagian (1982 :  151) bahwa : 

  “Secara sederhana dapat dikaitkan bahwa efektifitas kerja berarti penyelesaian pekerjaan tepat pada waktu yang telah ditetapkan artinya apakah pelaksanaan suatu tugas dinilai baik atau tidak sangat tergantung pada bilamana tugas itu diselesaikan dan tidak terutama menjawab pertanyaan bagaimana cara melaksanakannya dan beberapa biaya yang dikeluarkan untuk itu”.

  Pada dasarnya pekerjaan yang ada di instansi pemerintah lebih menekankan kepada  faktor efektifitas daripada faktor efisien. Sekalipun diusahakan secara efisien. 

  Efektifitas  dalam  pekerjaan  pemerintah  menurut  pendapat  Soewarno  Handayaningrat  (1996 :16) bahwa : 

Suatu tujuan atau sasaran yang telah tercapai sesuai dengan rencana adalah efektif tetapi belum tentu efisien suatu pekerjaan pemerintah sekalipun tidak efektif, dalam arti input dan output tetapi tercapainya efek atau pengaruh besar terhadap kepentingan masyarakat banyak, baik politik, ekonomi, sosial dan sebagainya


(12)

Sedangkan menurut Gibson, et.al,. (1993: 27) yang dialihbahasakan oleh Djoerban  Wahid, mengemukakan pengertian efektifitas adalah  

“Pencapaian sasaran yang telah disepakati atas usaha bersama. Tingkat pencapaian sasaran itu menunjukan tingkat efektifitas”.

Hal lain juga menyebutkan bahwa efektifitas kerja pegawai yaitu suatu keadaan tercapainya tujuan yang diharapkan atau dikehendaki melalui penyelesaian pekerjaan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan. Adapun pengertian efektifitas menurut para ahli diantaranya sebagai berikut :

Sondang P. Siagian (2001 : 24) memberikan definisi sebagai berikut :

“Efektifitas adalah pemanfaatan sumber daya, sarana dan prasarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah barang atas jasa kegiatan yang dijalankannya. Efektifitas menunjukan keberhasilan dari segi tercapai tidaknya sasaran yang telah ditetapkan. Jika hasil kegiatan semakin mendekati sasaran, berarti makin tinggi efektifitasnya.

Sementara itu Abdurahmat (2003:92)

Efektifitas adalah pemanpaatan sumber daya, sarana dan prasaranadalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah pekerjaan tepat pada waktunya.

Dari beberapa pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa suatu pekerjaan dapat dilaksanakan secara tepat, efektif, efisien apabila pekerjaan tersebut dilaksanakan dengan tepat sesuai dengan yang telah direncanakan.

Pengertian efektifitas tersebut lebih menekankan pada tercapainya sasaran dan  tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya dengan tidak begitu menghiraukan masalah  penggunaan biaya dan bahan‐bahan atau material yang digunakan, yang penting sasaran  dan tujuan bias dicapai dan pekerjaan tergolong itu dikatakan efektif. 

 

  Demikianlah begitu pentingnya efektifitas dalam suatu instansi, terlebih‐lebih dalam instansi atau organisasi  pemerintah, sehingga efektif mengandung arti tercapainya suatu akibat yang dikehendaki. Jadi perbuatan seseorang yang 


(13)

efektif adalah perbuatan yang menimbulkan akibat sebagaimana yang dikehendakinya yaitu mencapai tujuan yang telah  ditetapkan. 

   

2.4.  Nilai‐nilai dalam Efektifitas Kerja 

  1. Etos Kerja 

Setiap organisasi yang selalu ingin maju, akan melibatkan anggota untuk meningkatkan mutu kinerjanya, diantaranya setiap organisasi harus memiliki etos kerja.

  Etos menurut   Geertz, (wahyudi, 2005) diartikan sebagai sikap yang mendasar  terhadap diri dan dunia yang dipancarkan hidup”. Etos adalah aspek evaluatif, yang bersifat  menilai. Dengan demikian, yang dipersoalkan dalam pengertian etos adalah kemungkinan‐ kemungkinan  sumber  motivasi  seseorang  dalam berbuat,  apakah  pekerjaan  dianggap  sebagai keharusan demi hidup, apakah pekerjaan terikat pada identitas diri, atau (dalam  lingkup empiris) apakah yang menjadi sumber pendorong partisipasi dalam pembangunan.  Etos juga merupakan landasan ide, cita, atau pikiran yang akan menentukan sistem tindakan  (system of action). Karena etos menentukan penilaian manusia atas suatu pekerjaan, ia akan  menentukan pula hasil‐hasilnya. Semakin progresif etos kerja suatu masyarakat, semakin  baik hasil‐hasil yang akan dicapai baik secara kuantitatif maupun kualitatif. 

David C. Mac Clelland mengartikan etos kerja dengan Need of Achierement (N. Ach) yakni virus mental yang mendorong untuk meraih hasil atau prestasi hidup


(14)

yang lebih baik dari keadaan sebelumnya, atau dengan kata lain: sebuah semangat dan sikap mental yang selalu berpandangan bahwa kehidupan hari ini harus lebih baik dari kehidupan kemarin, dan hari esok harus lebih baik dari hari ini.

Berpijak pada pengertian bahwa etos kerja menggambarkan suatu sikap, maka dapat ditegaskan bahwa etos kerja mengandung makna sebagai aspek evaluatif yang dimiliki oleh individu (kelompok) dalam memberikan penilaian terhadap kegiatan kerja. Mengingat kandungan yang ada dalam pengertian etos kerja, adalah unsur penilaian, maka secara garis besar dalam penilaian itu, dapat digolongkan menjadi dua, yaitu penilaian positif dan negatif.

Berpangkal tolak dari uraian itu, maka menurut bahwa suatu individu atau kelompok masyarakat dapat dikatakan memiliki etos kerja yang tinggi, apabila menunjukkan tanda-tanda sebagai berikut :

a. Mempunyai penilaian yang sangat positif terhadap hasil kerja manusia.

b. Menempatkan pandangan tentang kerja, sebagai suatu hal yang amat luhur bagi eksistensi manusia.

c. Kerja yang dirasakan sebagai aktivitas yang bermakna bagi kehidupan manusia.

d. Kerja dihayati sebagai suatu proses yang membutuhkan ketekunan dan sekaligus sarana yang penting dalam mewujudkan cita-cita,


(15)

Sedangkan bagi individu atau kelompok masyarakat, yang dimiliki etos kerja yang rendah, maka akan menunjukkan ciri-ciri yang sebaliknya, yaitu;

a. Kerja dirasakan sebagai suatu hal yang membebani diri, b. Kurang dan bahkan tidak menghargai hasil kerja manusia,

c. Kerja dipandang sebagai suatu penghambat dalam memperoleh kesenangan, d. Kerja dilakukan sebagai bentuk keterpaksaan,

e. Kerja dihayati hanya sebagai bentuk rutinitas hidup.

Etos kerja yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok masyarakat, akan menjadi sumber motivasi bagi perbuatannya. Apabila dikaitkan dengan situasi kehidupan manusia yang sedang “membangun”, maka etos kerja yang tinggi akan dijadikan sebagai prasyaraat yang mutlak, yang harus ditumbuhkan dalam kehidupan itu. Karena hal itu akan membuka pandangan dan sikap kepada manusianya untuk menilai tinggi terhadap kerja keras dan sungguh-sungguh, sehingga dapat mengikis sikap kerja yang asal-asalan, tidak berorientasi terhadap mutu atau kualitas yang semestinya.

Nitisemito (1996) mengatakan bahwa indikasi turun/ rendahnya semangat dan kegairahan kerja antara lain :

1. Turun/ rendahnya produktivitas 2. Tingkat absensi yang naik/ rendah

3. Labour turnover (tingkat perputaran buruh) yang tinggi 4. Tingkat kerusuhan yang naik


(16)

5. Kegelisahan dimana-mana 6. Tuntutan yang sering terjadi 7. Pemogokan

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan etos kerja adalah sikap yang mendasar baik yang sebelum, proses dan hasil yang bisa mewarnai manfaat suatu pekerjaan. Jadi etos kerja dalam penelitian ini mengacu kepada apa yang dikemukakan Pandji Anoraga dan Sri Suryanti seperti di atas.

Daya pendorong bagi pendisiplinan jajaran kerja diberikan oleh Herzberg. Dasar bagi gagasannya adalah bahwa faktor-faktor yang memenuhi kebutuhan orang akan pertumbuhan psikologis, khususnya tanggung jawab dan etos kerja untuk mencapai tujuan yang efektif.

Herzberg yang dikutip oleh James I. Gibson (1989) menunjukkan bahwa untuk mencapai tujuan organisasi yang baik diperlukan orang yang memiliki kemampuan yang tepat, termasuk etos kerja.

Beberapa penelitian riset mendukung asumsi bahwa etos kerja merupakan faktor penting yang menentukan pelaksanaan pekerjaan yang lebih baik dan bertambahnya kepuasan. Ford menyatakan bahwa 17-18 percobaan di sebuah organisasi memperlihatkan peningkatan yang positif sesudah adanya etos kerja. Penelitian tersebut menyatakan bahwa etos kerja memberikan prestasi yang lebih baik dan kepuasan yang lebih baik pula.


(17)

2. Disiplin Kerja

Disiplin adalah kegiatan manajemen untuk menjalankan standar-standar organisasional. Secara etiomologis, kata “disiplin” berasal dari kata Latin “diciplina” yang berarti latihan atau pendidikan kesopanan dan kerohanian serta pengembangan tabiat (Moekijat, 2003).

Menurut Nitisemito (1996) menyatakan masalah kedisiplinan kerja, merupakan masalah yang perlu diperhatikan, sebab dengan adanya kedisiplinan, dapat mempengaruhi efektifitas dan efisiensi pencapaian tujuan organisasi.

Sedangkan menurut Nasution (2005) memandang disiplin melalui adanya hukuman. Disiplin kerja, pada dasarnya dapat diartikan sebagai bentuk ketaatan dari perilaku seseorang dalam mematuhi ketentuan-ketentuan ataupun peraturan-peraturan tertentu yang berkaitan dengan pekerjaan, dan diberlakukan dalam suatu organisasi atau perusahaan. Jadi disiplin kerja adalah bentuk ketaatan sikap dan tingkah laku PNS yang dapat mempengaruhi efektifitas kinerja Pemerintahan Sumatera Utara.

Dilihat dari sisi manajemen, terjadinya disiplin kerja itu akan melibatkan dua kegiatan pendisiplinan :

1. Preventif, Pada pokoknya, dalam kegiatan ini bertujuan untuk mendorong disiplin diri di antara para karyawan, agar mengikuti berbagai standar atau aturan. Sehingga penyelewengan kerja dapat dicegah.

2. Korektif, Kegiatan yang ditujukan untuk menangani pelanggaran terhadap aturan dan mencoba untuk menghindari pelanggaran-pelanggaran lebih lanjut


(18)

(Heldjrachman dkk, 1990).

Perlu disadari bahwa untuk menciptakan disiplin kerja dalam organisasi/ perusahaan dibutuhkan adanya :

a. Tata tertib/ peraturan yang jelas.

b. Penjabaran tugas dari wewenang yang cukup jelas.

c. Tata kerja yang sederhana, dan mudah diketahui oleh setiap anggota dalam organisasi.

Menurut Byars and Rue (1995) menyatakan ada beberapa hal yang dapat dipakai, sebagai indikasi tinggi rendahnya kedisplinan kerja karyawan, yaitu : Ketepatan waktu, kepatuhan terhadap atasan, peraturan terhadap perilaku terlarang, ketertiban terhadap peraturan yang berhubungan langsung dengan produktivitas kerja. Sedangkan Mangkunegara (2007) mengemukakan tipe permasalahan dalam kedisiplinan, antara lain : kehadiran, perilaku dalam bekerja (dalam lingkungan kerja), ketidakjujuran, aktivitas di luar lingkungan kerja. Jadi penelitian ini menganalisis nilai-nilai dalam disiplin kerja yaitu mengenai ketepatan waktu dan kepatuhan terhadap atasnya.

   

2.5.  Faktor‐ faktor yang Mempengaruhi Efektifitas Kerja 

  Ada beberapa faktor yang mempengaruhi efektifitas kerja yaitu : 


(19)

  Karakteristik organisasi terdiri dari stuktur dan tehnologi organisasi yang dapat  mempengaruhi segi‐segi tertentu dari efektifitas dengan berbagai cara. Yang dimaksud  dengan struktur adalah hubungan yang relative tepat sifatnya seperti susunan sumberdaya  manusia meliputi bagaimana cara organisasi menyusun orang‐orang dalam menyelesaikan  pekerjaan,  sedangkan tehnologi  adalah mekanisme  suatu organisasi untuk  mengubah  masukan bahan baku menjadi keluaran (output). 

Karakteristik organisasi ini sangat berhubungan dengan budaya organisasi. Budaya organisasi sebagai konstruksi dari dua tingkat karakteristik, yaitu karakteristik organisasi yang kelihatan (observable) dan yang tidak kelihatan (unobservable). Pada level observable, Budaya Organisasi mencakup beberapa aspek organisasi seperti arsitektur, seragam, pola prilaku, peraturan, legenda, mitos, bahasa, dan seremoni yang dilakukan organisasi. Sementara pada level unobservable, Budaya Organisasi mencakup shared values, norma-norma, kepercayaan, asumsi-asumsi para anggota organisasi untuk mengelola masalah-masalah dan keadaan-keadaan di sekitarnya. Budaya Organisasi juga dianggap sbagai alat untuk menentukan arah organisasi. Mengarahkan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, bagaimana mengalokasikan sumber daya dan mengelola sumber daya organisasi, dan sebagai alat untuk menghadapi masalah dan peluang dari lingkungan.

Peneliti mensikapi beberapa pengertian Budaya Organisasi di atas, bahwa secara garis bessar budaya organisasi memiliki dua sifat, yaitu budaya organisasi yang bersifat kasatmata, jelas terlihat, berupa seragam, logo dan lain sebagainya,


(20)

serta budaya organisasi yang tidak terlihat berupa nilai-niali yang ada, difahami dan dilaksanakan oleh sebagahagian besar orang dalam organisasi. Kedua sifat tersebut berfungsi sebagai identitas organisasi, sehingga orang di luar organisasi akan mudah mengenal organisasi dari identitas tersebut, dan juga penentu arah setiap perilaku orang-orang dalam organisasi.

Pengertian-pengertaian tersebut mempertajam kajian peneliti terhadap budaya organisasi yang memperjelas bahwa budaya organisasi juga merupakan identitas khas yang membedakan organisasi yang satu dengan organisasi lainnya, bahkan budaya organisasi juga merupakan keyakinan setiap orang di dalam organisasi akan jati diri yang secara idiologis dapat memperkuat eksistensi organisasi baik ke dalam sebagai pengikat atau simpul organisasi dan keluar sebagai identitas sekaligus kemampuan untuk beradaptasi dengan berbagai situasi dan kondisi yang dapat merugikan atau menguntungkan organisasi. Dengan memahami lebih dalam tentang budaya organiasi, bahwa dengan budaya organisasi, suatu organisasi memiliki kepribadian, sebagaimana kepribadian, sebagaimana halnya individu.

Dengan demikian, memandang organisasi dalam perspektif budaya sama dengan memandang sosok manusia, dengan segala karekteristiknya. Organisasi bisa sakit bisa juga sehat. Organisasi bisa imun juga bisa rentan terhadap penyakit organisasi. Organisasi bisa juga tumbuh berkembang, bisa juga mati perlahan atau cepat hilang, musnah dilikuidasi atau dibunuh. Organisasi juga bisa belajar ( lerning organization). Karena itu bebagai definisi budaya organisasi yang banyak diutarakan


(21)

para pakar, cenderung lebih mengutamakan komponen-komponen kognitif seperti asumsi, kepercayaan, dan nilai. Walaupun ada juga definisi lainya yang menyentuh komponen atau aspek perilaku dan artifak ( artifact), yang kemudian menimbulkan perbedaan antara tingkatan-tingkatan budaya organisasi yang nampak (visible), dan yang tersembunyi (hidden).

Kajian terhadap pengertian budaya organisasi juga mempertegas dan memperjelas peran budaya organisasi sebagai alat untuk menentukan arah organisasi, mengarahkan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, bagaimana mengalokasikan dan memanage sumber daya organisasional (SDM, Teknologi, Uang, Material, Informasi, Metode, dan sebagainya ), tetapi juga sebagai alat untuk menghadapi masalah dan peluang yang datang dari lingkungan organisasi, terutama kekuatan ini bersumber dari nilai-nilai fundamental organisasi. Budaya organisasi merupakan sensitivitas terhadap kebutuhan pelanggan dan karyawan; kemauan untuk menerima resiko; kebebasan atau minat karyawan untuk memberi ide-ide baru; keterbukaan untuk melakukan komunikasi secara bebas dan bertanggung jawab. Dengan demikian bahwa, etos kerja dan disipilin kerja PNS akan menjadi budaya organisasi PNS.

2.  Karakteristik Lingkungan 

  Lingkungan luar dan lingkungan dalam juga berpengaruh atas efektifitas hal ini  dapat  dilihat  dari  ketepatan  persepsi  atas  keadaan  lingkungan,  tingkat  rasionalisme  organisasi dalam menyesuaikan perubahan lingkungan. 


(22)

  Sumber daya manusia termasuk anggota organisasi merupakan factor yang sangat  berperan karena perilaku merekalah yang dalam jangka panjang akan memperlancar atau  merintangi tercapainya tujuan organisasi. Pekerja merupakan sumberdaya yang langsung  berhubungan dengan pengelolaan semua sumber daya yang ada dalam organisasi. Oleh  sebab itu efektifitas kerja sangat dipengaruhi perilaku pekerja karena perilaku pekerja  sangat berperan dalam pencapaian tujuan organisasi. Pekerja merupakan modal utama di  dalam organisasi yang akan berperan dalam efektifitas, karena walaupun tehnologi yang  digunakan canggih dan didukung oleh adanya struktur yang baik, namun tanpa adanya  pekerjaan maka semuanya tidak akan mecapai hasil yang maksimal. 

 

 

4.  Karakteristik Kebijaksanaan dan Praktek Manajemen 

    Dengan makin rumitnya proses teknologi dan perkembangannya lingkungan maka  peranan manajemen dalam proses mengkoordinasi orang harus bisa menciptakan suasana  kerja yang nyaman dan kondusif. 

 

2.6.  Hambatan‐hambatan Terhadap Efektifitas Kerja 

  Setiap  usaha  bagaimanapun  bentuknya  tidak  selalu  berjalan  dengan  lancar,  adakalanya mendapat hambatan‐hambatan yang timbul akibat gejala‐gejala yang terjadi 


(23)

dalam tubuh organisasi sebagai wadah. Untuk itu akan dikemukakan perincian mengenai  masalah‐masalah yang dianggap ada kaitannya dalam usaha meningkatkan efektifitas kerja  pegawai.  

  Adapun hambatan‐hambatan tersebut adalah sebagai berikut : 

1.  Struktur organisasi yang tidak jelas 

  Struktur ini dapat dianggap sebagai sebuah kerangka yang merupakan titik pusat  sekitarnya, apakah manusia dapat menghubungkan usaha‐usaha mereka  dengan baik.  Dapat dibayangkan apabila ditemui struktur organisasi yang kurang teratur, maka efektifitas  kerja yang diharapkan akan jauh dari kenyataan. Hal ini adalah logis sebab dengan tidak  adanya hubungan kerjasama yang baik dalam arti fungsi staf akan menjadikan pengkaburan  dalma batas wewenang dan tanggung jawab pelaksanaan tugas. Ketidakjelasan batas  wewenang dan tanggung jawab seseorang mengakibatkan ia merasa tidak terikat dengan  berbagai macam aturan‐aturan. 

 

2.  Fasilitas kerja yang tidak memadai 

  Kurangnya fasilitas fisik dalam suatu lingkungan kerja seperti ; bangunan tempat  kerja, ruang kerja dari masing‐masing kelompok kerja, kebebasan udara, peralatan kerja dan  berbagai fasilitas yang berkaitan dengan kepercayaan, juga tempat peristirahatan pelepas  lelah dan sarana angkutan dapat mempengaruhi efektifitas kerja. Hal ini dianggap penting  dalam mengurangi rasa jenuh dan bosan dalam bekerja. 


(24)

3.  Penempatan pegawai yang tidak sesuai dengan keahlian 

  Prinsip “the right man in the right place” haruslah benar‐benar diperhatikan karena  bagaimana seseorang dapat bekerja dengan baik apabila dia sendiri mengerti dengan jelas  tentang apa dan bagaimana pekerjaan itu dilaksanakan. Orang yang tidak mengerti dengan  apa yang dikerjakan mustahil akan dapat bekerja dengan baik, karena ia akan selalu merasa  pekerjaan itu sebagai paksaan terhadap dirinya. 

4.  Formasi yang tidak lengkap 

  Dengan adanya data yang lengkap, maka batas wewenang dan tanggung jawab  pelaksanaan tugas akan tampak dengan jelas. Juga melalui formasi yang lengkap dengan  jumlah, susunan dan pangkat untuk jangka waktu tertentu dapat ditetapkan. Dengan  formasi yang lengkap akan memberikan kemudahan‐kemudahan bagi pelaksanaan disiplin  juga merupakan hal yang dapat membantu terselenggarakannya efektifitas kerja. 

 

 

5.  Kurangnya komunikasi 

  Komunikasi adalah merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan satu  dengan yang lainnya dengan keseluruhan proses manajemen, sebab di dalam kehidupan  organisasi atau perusahaan para pegawai tidak mungkin hidup terisolasi dari rekan kerja  dan  lingkungannya.  Keputusan  yang  hendak  dijalankan,  rencana  kerja  yang  harus 


(25)

dilaksanakan semuanya memerlukan hubungan baik antara individu maupun antara satuan  kerja. 

  Dengan  perkataan lain, para pegawai  mutlak  membutuhkan  komunikasi pada  tingkat  pelaksanaan  sampai  tingkat  pimpinan.  Dalam  arti  lain,  bahwa  komunikasi  seharusnya dengan melalui dua arah (two way communication) yang diartikan sebagai :  komunikasi dari atas ke bawah dan komunikasi dari bawah ke atas. Dan juga dapat  dikatakan, bahwa dengan komunikasi yang lancar akan tercipta organisasi/perusahaan yang  bersifat demokratis, sebab didalamnya hasil penyimpulan dari ide‐ide, pendapat‐pendapat,  dan saran‐saran dari seluruh pegawai yang ada. Disiplin pihak, dikatakan bahwa dengan  berkomunikasi perumusan kebijaksanaan dapat terlaksana dengan singkat kata, komunikasi  yang kurang lancar akan dapat menghambat upaya penggerakan manusia sebab kurangnya  informasi dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugas. 

6.   Harmonisasi Lingkungan Kerja Yang kurang baik 

  Setiap pegawai pasti menginginkan integrasi yang baik dengan ia menggabungkan  dirinya ke dalam perusahaan atau organisasi. Akan tetapi sudah menjadi kodrat alam bahwa  pada hakekatnya manusia masing‐masing mempunyai pandangan‐pandangan, ide‐ide, sikap  dan tindakan pada akhirnya mengakibatkan terjadinya semacam konflik yang sering timbul  dalam situasi kerja yang adakalanya sumber konflik tersebut bukan datang dari situasi kerja.  Ketegangan‐ketegangan ini menimbulkan kelompok‐kelompok kecil dalam perusahaan yang  cenderung hanya mementingkan  kelompoknya saja, dengan demikian efektifitas kerja 


(26)

maupun efektifitas organisasi/ perusahaan sulit dicapai karena tujuan perusahaan menjadi  kabur. 

  Keenam  hambatan‐hambatan  yang  tersebut  diatas,  merupakan  hambatan‐ hambatan yang bersumber dari dalam organisasi itu sendiri, dan apabila kita tinjau dari  faktor kultur ataupun kebiasaan‐kebiasaan dapat menjadi penghambat efektifitas kerja  pegawai.  Juga  dapat  dikatakan  bahwa  nilai‐nilai  etnis  group  dalam  organisasi  dapat  memberikan pengaruh dalam meningkatkan efektifitas kerja. Artinya, hubungan darah yang  ditarik dengan berdasarkan etnis group ataupun hubungan kesukuan. 

  Gejala  ini  jelas  tampak  pada  organisasi  yang  masih  kecil  dan  pegawainya  homogenestik. Untuk jelasnya seorang pimpinan akan merasa segan menegur bawahannya,  sebab hal ini bertentangan dengan nilai‐nilai hubungan kesukuan (famili) yang ada antara  sang manajer dengan bawahannya. 

 

 

2.7.  Perspektif  Pelayanan Publik  

Pelayanan publik (public service) oleh birokrasi publik merupakan salah satu perwujudan dari fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat di samping abdi negara. Pelayanan publik oleh birokrasi publik dimaksudkan untuk mensejahterakan masyarakat (warga negara) dari suatu negara sejahtera (walfare state). Pelayanan umum oleh Lembaga Administrasi Negara (1998) diartikan sebagai segala bentuk


(27)

kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara/daerah dalam bentuk barang atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  Penyelenggaraan pelayanan umum menurut Lembaga Administrasi Negara (1998)  dapat dilakukan dengan berbagai macam pola antara lain : 

1. Pola Pelayanan fungsional, yaitu pola pelayanan umum yang diberikan oleh suatu  instansi      pemerintah sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya. 

2. Pola pelayanan satu pintu, yaitu pola pelayanan umum yang diberikan secara  tunggal oleh satu instansi pemerintah berdasarkan pelimpahan wewenangan dari  instansi pemerintah lainnya yang bersangkutan. 

3. Pola pelayanan satu atap,  yaitu pola pelayanan umum yang dilakukan secara  terpadu  pada  suatu  tempat/tinggal  oleh  beberapa  instansi  pemerintah  yang  bersangkutan sesuai kewenangannya masing‐masing. 

4. Pola pelayanan secara terpusat, yaitu pola pelayanan umum yang dilakukan oleh  satu instansi pemerintah yang bertindak selaku koordinator terhadap pelayanan instansi  pemerintah lainnya yang terkait dengan bidang pelayanan umum yang bersangkutan.  

Nurmadi (1999:4) mencirikan pelayanan kepada publik sebagai berikut : tidak dapat  memilih konsumen, peranannya dibatasi oleh peraturan perundang‐undangan, politik  menginstitusionalkan konflik, pertanggung jawaban yang kompleks, sangat sering diteliti,  semua tindakan harus mendapat justifikasi, tujuan dan output sulit diukur atau ditentukan. 


(28)

Thery (dalam Thoha, 2002) menggolongkan lima unsur pelayanan yang memuaskan,  yaitu  :  merata  dan  sama,  diberikan  tepat  pada  waktunya,  memenuhi  jumlah  yang  dibutuhkan,  berkesinambungan,  dan  selalu  meningkatkan  kualitas  serta  pelayanan 

(proggresive service). Setiap orang mengharapkan pelayanan yang unggul, yaitu suatu sikap  atau cara pegawai dalam melayani pelanggan secara memuaskan. 

Moenir  menyatakan  kualitas  pelayanan  yang  baik  adalah  sebagai  berikut  :  kemudahan  dalam  pengurusan  kepentingan,  mendapatkan  pelayanan  yang  wajar,  mendapatkan pelayanan yang sama tanpa pilih kasih dan mendapatkan perlakuan yang jujur  dan terus terang (Moenir, H.A.S., 1992). 

Pelayanan publik yang profesional, artinya pelayanan publik yang dicirikan oleh  adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan (aparatur pemerintah). Efektif  lebih  mengutamakan  pada  pencapaian  apa  yang  menjadi  tujuan  dan  sasaran.  Bila  jasa/layanan  yang diterima (perceived service)  sesuai  dengan  yang diharapkan, maka  kualitas jasa/layanan yang dipersepsikan baik dan memuaskan. Jika jasa yang diterima  melampaui harapan pelanggan, maka kualitas jasa dipersepsikan sebagai kualitas yang ideal.  Sebaliknya  bila jasa/layanan  yang  diterima lebih  rendah  dari  pada diharapkan, maka  kualitas/layanan akan dipersepsikan buruk. 

Dengan demikian, baik atau buruknya kualitas jasa/layanan tergantung kepada  kemampuan penyedia jasa dalam memenuhi harapan pelanggan secara konsisten dan  berakhir pada persepsi pelanggan. Ini berarti bahwa citra kualitas yang baik bukanlah 


(29)

berdasarkan sudut pandang penyelenggara, tetapi harus dilihat dari sudut pandang atau  persepsi pelanggan. 

Salah  satu  semangat  reformasi  adalah  menghilangkan  kekuasaan  yang  tidak  berpihak kepada rakyat, semangat untuk meningkatkan sektor pelayanan kepada publik.  Jadi kalau pada era reformasi sekarang ini ternyata pelayanan kepada publik masih juga  belum tergarap dengan baik, itu berarti pengingkaran terhadap nilai‐nilai reformasi. Itulah  sebabnya lembaga pelayanan publik yang terpilih memegang mandat untuk memperbaiki  palayanan  kepada  masyarakat  dan  keberhasilan  mereka  adalah  untuk  mendekatkan  harapan dan kenyataan tersebut. 

Profesionalisme aparat dan citra pelayanan publik adalah dua hal yang saling  berkaitan. Meningkatkan profesionalisme dalam  menjalankan fungsi dan peran sesuai  bidang tugas yang diemban. Aparat sudah seharusnya berusaha meningkatkan kualitas diri  yang menyangkut keahlian memahami hakekat dan tanggung jawab profesi. Pelayanan  publik profesional artinya bercirikan adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi  layanan. 

Untuk mencapai pelayanan publik yang profesioanl maka perlu memahmi prinsip‐ prinsip pelayanan publik yang baik yaitu, kesederhanaan, kejelasan, kepastian, waktu,  akurasi serta  kenyamaan.  Prinsip  pelayanan  publik  di  atas harus disesuaikan  dengan  perkembangan  dan  kebutuhan  masyarakat.  Pada  tanggal  2  September  2003  dan  4  September 2003 pemerintah telah mencanangkan sebagai bulan peningkatan pelayanan  publik dan hari pelanggan. 


(30)

Merujuk dari dua kegiatan pencanangan tersebut diharapkan dapat mengarahkan  kepada satu tujuan yaitu bagaimana mewujudkan pelayanan publik yang prima sesuai   dengan tuntutan dan harapan masyarakat. Berbagai sorotan dan keluhan masyarakat serta  dunia usaha terhadap kelemahan pelayanan publik khususnya yang menyangkut prosedure  pelayanan seperti kurang efisien, kurang tranparan, kurang informatif, kurang akomodatif  dan tidak konsisten.    

Hal  tersebut  harus  secepatnya  diatasi  karena  persepsi  masyarakat  terhadap  pelayanan publik dapat berubah secara drastis. Pelayanan yang baik merupakan hak penuh  masyarakat  yang  harus  dijawab  dengan  kewajiban  pemerintah  untuk  memberikan  pelayanan yang prima.  

Aparatur pemerintah berada pada posisi yang penting tetapi di sisi lain berapa pada  posisi yang sulit. Karena aparatur pelayanan masyarakat merupakan ujung tombak yang  langsung berhadapan dengan masyarakat dan dunia usaha. Menghadapi masyarakat dan  dunia usaha yang tinggi tuntutannya serta selalu mendapatkan tudingan negatif dari  masyarakat seperti kurang mampu memberikan pelayanan, lamban dan kurang inisiatif. 

Bentuk pelayanan publik yang diberikan kepada masyarakat menurut Lembaga  Administrasi Negara (1998) dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis pelayanan yaitu : 

1. Pelayanan Pemerintahan, yaitu merupakan pelayanan masyarakat yang erat dalam  tugas‐tugas umum pemerintahan seperti pelayanan Kartu Keluarga/KTP, IMB, Pajak  Daerah, Retribusi Daerah dan Imigrasi. 


(31)

2. Pelayanan Pembangunan, merupakan pelayanan masyarakat yang terkait dengan  penyediaan sarana dan prasarana untuk memberikan fasilitas kepada masyarakat dalam  aktifitasnya sebagai warga masyarakat, seperti penyediaan jalan, jembatan, pelabuhan  dan lainnya. 

3. Pelayanan Utilitas merupakan penyediaan utilitas seperti listrik, air, telepon, dan  transportasi. 

4. Pelayanan Kebutuhan Pokok,  merupakan pelayanan yang menyediakan  bahan‐ bahan kebutuhan pokok masyarakat dan kebutuhan perumahan seperti penyediaan  beras, gula, minyak, gas, tekstil dan perumahan murah. 

5. Pelayanan Kemasyarakatan, merupakan pelayanan yang berhubungan dengan sifat  dan kepentingan yang lebih ditekankan kepada kegiatan‐kegiatan sosial kemasyarakatan  seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, penjara, rumah yatim piatu  dan lainnya. 

Secara konseptual menurut Munir ( 1998:88) dalam tulisannya Manajemen  Pelayanan Publik Umum di Indonesia lebih rinci mengidentifikasikan adanya 5 (lima) faktor  yang dianggap mempunyai bobot pengaruh relatif yang sangat besar untuk mendukung  pelayanan umum, organisasi‐organisasi kedinasan sebagai berikut : 

1. Faktor  kesadaran  yang  menjiwai  perilaku  yang  memandu  kehendak  dalam  lingkungan organisasi kerja yang baik yang tidak menganggap sepele, melayani  dengan penuh keikhlasan, kesungguhan dan disiplin. 

2. Faktor aturan dalam arti ketaatan dan penggunaan kewenangan bagi pelaksanaan  hak, kewajiban, dan tanggung jawab. Adanya pengetahuan dan pengalaman yang 


(32)

memadai serta kemampuan berbahasa yang baik dengan pemahaman pelaksanaan  tugas yang cukup. Adanya kedisiplinan (disiplin waktu dan disiplin kerja), keinsyafan  dan bertindak adil. 

3. Faktor organisasi dalam arti adanya organisasi pelayanan yang bersistim simbiotik  yang mengalir ke semua komponen cybernetik, metodik, dan prosedural. Pilihan  prosedur dan metoda sesuai dengan uraian pekerjaan tugas yang menyangkut  standar, waktu, alat yang digunakan, bahan dan kondisi pekerjaan yang dilengkapi  dengan  mekanisme  prosedural  yang  dibuat  atas  dasar  penelitian/kepentingan  lingkungan. Demikian pula akan dipilih metoda untuk penyelesaian tahap demi  tahap. 

4. Faktor pendapatan yang merupakan imbalan bagi para fungsionaris yang diukur  layak dan patut. 

5. Faktor sarana pelayanan yang menyangkut segala peralatan, perlengkapan kerja  dan fasilitas utama untuk membantu pelaksanaan pekerjaan. 

Secara umum fungsi sarana pelayanan antara lain : 

a. Mempercepat proses pelaksanaan kerja (hemat waktu);  b. Meningkatkan produktifitas barang dan jasa; 

c. Ketepatan  ukuran/kualitas  produk  terjamin  penyerahan  gerak  pelaku  pelayanan dengan fasilitas ruangan yang cukup; 

d. Menimbulkan rasa kenyamanan; 


(33)

Pelayanan publik yang dilakukan pemerintah saat ini perlu lebih diorientasikan  kepada patokan atau kaidah akuntabilitas publik secara langsung dengan cara penyajian  manajemen kualitas pelayanan yang terintegrasi. Hal ini mencoba menguraikan pemikiran  yang bersifat asumtif dan hipotesis yang menyatakan bahwa semakin baik akuntabilitas  publik semakin baik pemerintahan.  

 

2.8. Kualitas Pelayanan 

Pengertian  kualitas  mengadung  banyak  penafsiran  dan  arti,  J.  Supranto   mendefenisikan bahwa kualitas adalah sebuah kata yang bagi penyedia jasa merupakan  sesuatu  yang  harus  dikerjakan  dengan  baik.  Keunggulan  suatu  produk  jasa  adalah  tergantung dari keunikan serta kualitas yang diperlihatkan oleh jasa tersebut apakah sudah  sesuai dengan keinginan dan harapan pelanggan (Supranto, 2001.) 

Pelayanan  menurut  kamus  besar  Bahasa  Indonesia    adalah  usaha  melayani  kebutuhan orang lain sedang pelayan adalah membantu menyiapkan/ mengurus apa yang  diperlukan seseorang ( Kamus Besar Bahasa Indonesia 1999: 571) 

Sejalan dengan uraian tersebut, maka pengertian pelayanan menurut Munir  adalah  serangkaian kegiatan karena itu ia merupakan proses, sebagai proses pelayanan langsung  secara rutin dan berkesinambungan meliputi seluruh kehidupan orang dalam masyarakat  (Moenir, H.A.S., 1992). Dari defenisi yang telah diuraikan, maka ditarik kesimpulan bahwa 


(34)

kualitas pelayanan merupakan serangkaian proses meliputi kebutuhan masyarakat yang  dilayani secara berkesinambungan. 

Toha berpendapat bahwa untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, organisasi publik (birokrasi publik) harus mengubah posisi dan peran (revitalisasi) dalam memberikan layanan publik. Dari yang suka mengatur dan memerintah berubah menjadi suka melayani, dari yang suka menggunakan pendekatan kekuasaan berubah menjadi suka mendorong menuju ke arah yang sesuai, kolaboratis dan dialogis dan dari cara-cara sloganis menuju cara kerja realistik pragmatik (Thoha, 2002).

Sejalan dengan kondisi tersebut  diharapkan aparatur dapat memberikan pelayanan  cepat,  murah  dengan  prosedur  yang  jelas  dan  menyentuh  kehidupan  masyarakat,  sebagaimana yang dikemukakan Parasuraman, Zeithaml dan Berry, bahwa pelayanan harus  memenuhi kriteria sebagai berikut : 

1. Tangibles; yaitu fasilitas secara fisik, peralatan dan penampilan dari personil 

2. Reliability; yaitu kemampuan untuk merealisasikan apa yang telah dijanjikan oleh  penyedia jasa secara mandiri dan akurat. 

3. Responsivines; yaitu adanya keinginan untuk membantu konsumen dan pelayanan  yang cepat. 

4. Assurance; yaitu pemahaman dan sikap karyawan dan kemampuan mereka untuk  menimbulkan kepercayaan dan keyakinan konsumen. 


(35)

5. Emphaty, yaitu dapat merasakan apa yang konsumen rasakan sehingga dapat melayani dengan baik ( Supriatna, Tjahya, 2000).

2.9. Pengertian Pegawai Negeri Sipil 

  Berdasarkan Undang‐Undang   Nomor 43 Tahun 1999 Pegawai Negeri Sipil adalah  salah satu jenis Kepegawaian Negeri di samping Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI)   dan anggota Polisi Republik Indonesia (POLRI). Pegawai Negeri Sipil merupakan warga  negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh  pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas  negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang‐undangan yang berlaku. .  Secara singkat definisi PNS adalah person yang dipekerjakan oleh negara dan diserahi tugas  oleh negara. 

 

 

   


(1)

Merujuk dari dua kegiatan pencanangan tersebut diharapkan dapat mengarahkan  kepada satu tujuan yaitu bagaimana mewujudkan pelayanan publik yang prima sesuai   dengan tuntutan dan harapan masyarakat. Berbagai sorotan dan keluhan masyarakat serta  dunia usaha terhadap kelemahan pelayanan publik khususnya yang menyangkut prosedure  pelayanan seperti kurang efisien, kurang tranparan, kurang informatif, kurang akomodatif  dan tidak konsisten.    

Hal  tersebut  harus  secepatnya  diatasi  karena  persepsi  masyarakat  terhadap  pelayanan publik dapat berubah secara drastis. Pelayanan yang baik merupakan hak penuh  masyarakat  yang  harus  dijawab  dengan  kewajiban  pemerintah  untuk  memberikan  pelayanan yang prima.  

Aparatur pemerintah berada pada posisi yang penting tetapi di sisi lain berapa pada  posisi yang sulit. Karena aparatur pelayanan masyarakat merupakan ujung tombak yang  langsung berhadapan dengan masyarakat dan dunia usaha. Menghadapi masyarakat dan  dunia usaha yang tinggi tuntutannya serta selalu mendapatkan tudingan negatif dari  masyarakat seperti kurang mampu memberikan pelayanan, lamban dan kurang inisiatif. 

Bentuk pelayanan publik yang diberikan kepada masyarakat menurut Lembaga  Administrasi Negara (1998) dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis pelayanan yaitu : 

1. Pelayanan Pemerintahan, yaitu merupakan pelayanan masyarakat yang erat dalam  tugas‐tugas umum pemerintahan seperti pelayanan Kartu Keluarga/KTP, IMB, Pajak  Daerah, Retribusi Daerah dan Imigrasi. 


(2)

2. Pelayanan Pembangunan, merupakan pelayanan masyarakat yang terkait dengan  penyediaan sarana dan prasarana untuk memberikan fasilitas kepada masyarakat dalam  aktifitasnya sebagai warga masyarakat, seperti penyediaan jalan, jembatan, pelabuhan  dan lainnya. 

3. Pelayanan Utilitas merupakan penyediaan utilitas seperti listrik, air, telepon, dan  transportasi. 

4. Pelayanan Kebutuhan Pokok,  merupakan pelayanan yang menyediakan  bahan‐ bahan kebutuhan pokok masyarakat dan kebutuhan perumahan seperti penyediaan  beras, gula, minyak, gas, tekstil dan perumahan murah. 

5. Pelayanan Kemasyarakatan, merupakan pelayanan yang berhubungan dengan sifat  dan kepentingan yang lebih ditekankan kepada kegiatan‐kegiatan sosial kemasyarakatan  seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, penjara, rumah yatim piatu  dan lainnya. 

Secara konseptual menurut Munir ( 1998:88) dalam tulisannya Manajemen  Pelayanan Publik Umum di Indonesia lebih rinci mengidentifikasikan adanya 5 (lima) faktor  yang dianggap mempunyai bobot pengaruh relatif yang sangat besar untuk mendukung  pelayanan umum, organisasi‐organisasi kedinasan sebagai berikut : 

1. Faktor  kesadaran  yang  menjiwai  perilaku  yang  memandu  kehendak  dalam  lingkungan organisasi kerja yang baik yang tidak menganggap sepele, melayani  dengan penuh keikhlasan, kesungguhan dan disiplin. 


(3)

memadai serta kemampuan berbahasa yang baik dengan pemahaman pelaksanaan  tugas yang cukup. Adanya kedisiplinan (disiplin waktu dan disiplin kerja), keinsyafan  dan bertindak adil. 

3. Faktor organisasi dalam arti adanya organisasi pelayanan yang bersistim simbiotik  yang mengalir ke semua komponen cybernetik, metodik, dan prosedural. Pilihan  prosedur dan metoda sesuai dengan uraian pekerjaan tugas yang menyangkut  standar, waktu, alat yang digunakan, bahan dan kondisi pekerjaan yang dilengkapi  dengan  mekanisme  prosedural  yang  dibuat  atas  dasar  penelitian/kepentingan  lingkungan. Demikian pula akan dipilih metoda untuk penyelesaian tahap demi  tahap. 

4. Faktor pendapatan yang merupakan imbalan bagi para fungsionaris yang diukur  layak dan patut. 

5. Faktor sarana pelayanan yang menyangkut segala peralatan, perlengkapan kerja  dan fasilitas utama untuk membantu pelaksanaan pekerjaan. 

Secara umum fungsi sarana pelayanan antara lain : 

a. Mempercepat proses pelaksanaan kerja (hemat waktu);  b. Meningkatkan produktifitas barang dan jasa; 

c. Ketepatan  ukuran/kualitas  produk  terjamin  penyerahan  gerak  pelaku  pelayanan dengan fasilitas ruangan yang cukup; 

d. Menimbulkan rasa kenyamanan; 


(4)

Pelayanan publik yang dilakukan pemerintah saat ini perlu lebih diorientasikan  kepada patokan atau kaidah akuntabilitas publik secara langsung dengan cara penyajian  manajemen kualitas pelayanan yang terintegrasi. Hal ini mencoba menguraikan pemikiran  yang bersifat asumtif dan hipotesis yang menyatakan bahwa semakin baik akuntabilitas  publik semakin baik pemerintahan.  

 

2.8. Kualitas Pelayanan 

Pengertian  kualitas  mengadung  banyak  penafsiran  dan  arti,  J.  Supranto   mendefenisikan bahwa kualitas adalah sebuah kata yang bagi penyedia jasa merupakan  sesuatu  yang  harus  dikerjakan  dengan  baik.  Keunggulan  suatu  produk  jasa  adalah  tergantung dari keunikan serta kualitas yang diperlihatkan oleh jasa tersebut apakah sudah  sesuai dengan keinginan dan harapan pelanggan (Supranto, 2001.) 

Pelayanan  menurut  kamus  besar  Bahasa  Indonesia    adalah  usaha  melayani  kebutuhan orang lain sedang pelayan adalah membantu menyiapkan/ mengurus apa yang  diperlukan seseorang ( Kamus Besar Bahasa Indonesia 1999: 571) 

Sejalan dengan uraian tersebut, maka pengertian pelayanan menurut Munir  adalah  serangkaian kegiatan karena itu ia merupakan proses, sebagai proses pelayanan langsung  secara rutin dan berkesinambungan meliputi seluruh kehidupan orang dalam masyarakat  (Moenir, H.A.S., 1992). Dari defenisi yang telah diuraikan, maka ditarik kesimpulan bahwa 


(5)

kualitas pelayanan merupakan serangkaian proses meliputi kebutuhan masyarakat yang  dilayani secara berkesinambungan. 

Toha berpendapat bahwa untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik,

organisasi publik (birokrasi publik) harus mengubah posisi dan peran (revitalisasi)

dalam memberikan layanan publik. Dari yang suka mengatur dan memerintah

berubah menjadi suka melayani, dari yang suka menggunakan pendekatan kekuasaan

berubah menjadi suka mendorong menuju ke arah yang sesuai, kolaboratis dan

dialogis dan dari cara-cara sloganis menuju cara kerja realistik pragmatik (Thoha,

2002).

Sejalan dengan kondisi tersebut  diharapkan aparatur dapat memberikan pelayanan  cepat,  murah  dengan  prosedur  yang  jelas  dan  menyentuh  kehidupan  masyarakat,  sebagaimana yang dikemukakan Parasuraman, Zeithaml dan Berry, bahwa pelayanan harus  memenuhi kriteria sebagai berikut : 

1. Tangibles; yaitu fasilitas secara fisik, peralatan dan penampilan dari personil 

2. Reliability; yaitu kemampuan untuk merealisasikan apa yang telah dijanjikan oleh  penyedia jasa secara mandiri dan akurat. 

3. Responsivines; yaitu adanya keinginan untuk membantu konsumen dan pelayanan  yang cepat. 

4. Assurance; yaitu pemahaman dan sikap karyawan dan kemampuan mereka untuk  menimbulkan kepercayaan dan keyakinan konsumen. 


(6)

5.

Emphaty, yaitu dapat merasakan apa yang konsumen rasakan sehingga dapat

melayani dengan baik ( Supriatna, Tjahya, 2000).

2.9. Pengertian Pegawai Negeri Sipil 

  Berdasarkan Undang‐Undang   Nomor 43 Tahun 1999 Pegawai Negeri Sipil adalah  salah satu jenis Kepegawaian Negeri di samping Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI)   dan anggota Polisi Republik Indonesia (POLRI). Pegawai Negeri Sipil merupakan warga  negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh  pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas  negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang‐undangan yang berlaku. .  Secara singkat definisi PNS adalah person yang dipekerjakan oleh negara dan diserahi tugas  oleh negara.