Bagi kami orang desa warisan dari Kakek dan Nenek tidak hanya berupa harta benda

Bagi kami sebagai orang yang hidup di desa atau kampung warisan dari Kakek dan Nenek tidak hanya
berupa harta benda, tanah warisan tatapi kami juga meyakini bahwa pengetahuan dan keterampilan
merupakan warisan terindah dari mereka. Ini adalah kisah nyata keluarga kami yang hidup apa
adanya disebuah kampung di Manggarai Barat, Flores, NTT, lebih tepatnya di Pela/Wae Togo Desa
Watu Waja, Kecamatan Lembor Selatan, Kabupaten Manggarai Barat. Desa ini masih menyimpan
budaya dan kultur yang begitu kental.
Sejak kecil saya diajarkan oleh ayah bagaimana cara membuat sangkar ayam dari bambu bahkan ayah
pernah mengajarkan bagaimana cara membuat gubuk disawah maupun di ladang. Nama ayah ku
Aventinus Nanggot (48), beliau adalah seorang petani yang sangat kreatif dalam membuat kerajinan
tangan, salah satunya adalah membuat sangkar ayam kampung yang terbuat dari anyaman bambu.
Itu adalah salah satu keterampilan yang diwariskan oleh orangtuanya sejak kecil yang tentunya
melaui banyak latihan.
Terlihat di foto bahwa ayah sedang membuat sangkar ayam dari anyaman bambu. Membuat sangkar
ayam dari anyaman bambu tidaklah mudah dan harus berhati-hati, karena dilihat dari karakteristik
mambu yang ketika tidak dibersihkan dengan baik bisa membuat kulit anda terluka seperti disilet.
Jadi butuh keterampilan dan kecerdasan dalam membuat sangkar ayam ini. Percaya atau tidak di
desa saya banyak orang yang tidak bisa membuat sangkar ayam dari anyaman bambu. Hal ini
dikarenakan kurangnya pengetahuan dan keterampilan yang didapat dari nenek moyang mereka
sendiri.
Jika dilihat sepintas dari foto tersebut membuat sangkar ayam terlihat mudah, tetapi ketika kamu
membuatnya sendiri pasti akan terasa sulit. Membuat sangkar ayam ini butuh kesabaran penuh

karena begitu banyaknya step yang harus dilewati dan selalu berhati-hati agar kulit mu tidak terluka
oleh bambu tersebut. Waktu yang diperlukan untuk membuat satu sangkar ayam ini tidak boleh lebih
dari satu hari karena apabila lebih dari satu hari anyaman bambu yang digunakan sulit untuk
dibentuk dengan kata lain sudah kaku dan tidak lentur lagi sehingga mempersulit kita
membentukknya seperti Gua.
Kebiasaan ini masih melekat dikeluarga kami dan saya sendiri pun belum begitu mahir membuat
sangkar ayam tersebut. Saya butuh belajar lagi sehingga kebiasaan, pengetahuan dan keterampilan
yang diwarisakan oleh nenek moyang tetap terbawa dan terjaga serta tidak bisa di hilangkan.
Menanak nasi, memasak sayur dan airpun masih menggunakan tungku (tungku dalam bahasa
daerahnya; hapo/sapo). Didesa saya tidak seorangpun menggunakan kompor gas seperti dikota-kota
besar. Kami hanya bermodal tungku dan kayu kering, bahkan listrik pun belum terjangkaui oleh PLN.
Jadi ketika kamu marah-marah disaat listrik padam,” ingatlah kami yang hidup di kegelapan setiap
malamnya. Listrikmu padam hanya beberapa saat saja, ditempatku setiap malam”.
Difoto terlihat Ibu ku sedang menanak nasi menggunakan tungku bukan kompor gas. Maka
bersyukurlah kalian bisa menanak nasi menggunakan kompor gas tanpa meniup api seperti yang
kami lakukan. Nama Ibu ku Bernadeta Alus (40), beliau juga bekerja sebagai ibu rumah tangga
sekaligus seorang petani. Kami selalu menghabiskan waktu setiap harinya di ladang/kebun dan
sawah.
Listrik dan segalanya kalian sudah miliki. Jadi, kalian harus bersyukur punya segalanya dan tidak perlu
berkeluh kesah ketika apa yang kamu inginkan tidak tercapai.