BAB VI EKSISTENSI ILMU PENGETAHUAN

(1)

BAB VI

EKSISTENSI ILMU PENGETAHUAN

Di dalam dunia filsafat, dikenal bahwa segala sesuatu yang ada pasti berada dalam "substansi" dan "eksistensi". Substansi adalah sifat hakikat suatu hal, sebagai inti-sari daripadanya, sehingga dengan demikian menentukan jenis sebagai apa hal sesuatu itu. Sedangkan eksistensi adalah bagaimana cara-cara keberadaan hal sesuatu itu. Suatu hal bisa berada dengan banyak cara, menurut ruang, waktu dan kondisi tertentu. Sebuah meja misalnya, dalam keadaan tertentu, menurut ruang dan waktu tertentu bisa menjadi berbagai macam fungsi. Ketika dipakai untuk menulis, makan, menerima tamu, dan melaksanakan ujian, bisa menjadi meja tulis, meja makan, meja tamu dan meja ujian. Jadi, eksistensi menunjuk cara-cara keberadaan hal sesuatu dalam wujud dan bentuk yang jamak. Seperti halnya contoh meja itu tadi, bersubstansitunggal, tetapi bereksistensi jamak menurut perwujudan dan bentuknya. Begitupun tentang ilmu pengetahuan. Bahwa i1mu pengetahuan itu satu dalam substansi, tetapi plural dalam eksistensi. Oalam Bab ini dimulai dengan bahasan tentang pluralisasi ilmu pengetahuan, yang kemudian ditutup dengan bahasan tentang dinamika singularisasi ilmu pengetahuan.

A. Sebab-Sebab Pluralitas IImu Pengetahuan

Pada mulanya ilmu pengetahuan itu hanya ada satu, yaitu "filsafat". Kenyataan ini bisa dilihat pada predikat yang masih disandang sampai dewasa ini, yaitu 'filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan'. Predikat yang demikian bukanlah diberikan secara bebas. Berdasarkan fakta, memang mengandung arti bahwa di dalam filsafat terkandung segala macam jenis objek materi ilmu pengetahuan dalam satu kesatuan. Objek materi dimaksud meliputi tiga hal, yaitu manusia, alam dan Sang Pencipta. Ketiganya berada di dalam keterhubungan mutlak, tidak bisa dipisah-pisahkan. Manusia dan alam tersatukan di dalam substansi kemakhlukan. Sedangkan manusia dan alam tersatukan di dalam diri Sang Pencipta. Oipandang dari sudut pandang, metoda dan sistem yang bersifat menyeluruh (umum universal), di balik ketiga objek itu terdapat suatu kebenaran universal di dalam diri Sang Pencipta. Jadi, jelaslah bahwa pada mulanya ilmu pengetahuan itu berpangkal dari satu kebenaran, yaitu kebenaran universal mengenai segala sesuatu yang ada.

Bagi manusia, kebenaran universal adalah merupakan suatu kebutuhan yang amat berg una untuk memperluas pandangan atau wawasan yang kemudian dapat membentuk suatu pandangan hidup atau filsafat hidup. Dengan filsafat hidup, berarti manusia dapat memahami arti dirinya (substansinya). Selanjutnya, berdasar pada pemahaman atas dirinya itu, manusia


(2)

dengan demikian dapat menempatkan keberadaannya (eksisstensinya) secara tepat dalam hubungannya dengan alam di dalam menjalani hidup dan kehidupannya. Jika demikian halnya, maka berarti manusia akan lebih mengetahui tujuan hidup ke mana ia harus mengarahkan hid up dan kehidupannya itu. Dengan adanya tujuan hidup inilah, kemudian manusia dapat menciptakan pedoman hidup, sikap hidup, cara hid up dan tingkah laku hidup sehari-hari. Akan tetapi, filsafat hidup itu seringkali justru berbenturan dengan realitas kehidupan sehari-hari. 'Menolong' orang lain adalah suatu bentuk filsafat hidup yang baik. Tetapi ternyata tidak setiap perilaku menolong itu bisa membuahkan kebaikan. Karena bisa saja menolong justru menjadi penyebab dari perkembangan sifat pemalas. Kiranya, penerapan filsafat hidup harus mempertimbangkan ketepatan sasaran objek. Menolong orang lain haruslah mempertimbangkan secara bijak, apakah orang lain itu memang memerlukan pertolongan atau tidak. Jadi penerapan filsafat hidup seharusnya mempertimbangkan relevansinya dengan keadaan nyata (real conditions), harus ada hubungan kausal.

Jadi, dapat dipahami bahwa sesungguhnya yang diperlukan oleh manusia dalam rangka menentukan dasar dan tujuan hidup adalah pengetahuan yang benar secara menyeluruh, yang bersifat prinsipial dan cenderung tetap tidak berubah-ubah. Hal itu penting agar kehidupan manusia tidak terombang ambingkan oleh pluralitas kebutuhan yang selalu bergerak dan berubah-ubah ke arah pragmatisme positivistik.

Meskipun di dalam kehidupannya, manusia mutlak membutuhkan pengetahuan yang benar secara umum dan universal. Tetapi, seiring dengan percepatan pertumbuhan penduduk dunia yang makin mengancam kelangsungan hid up, maka manusia memerlukan pelipat-gan daan produksi I' barang-barang konsumtif sebagai kebutuhan hidup keseharian. Permintaan '. volume kebutuhan konsumtif tersebut hanya bisa disediakan dengan cara mengembangkan teori-teori ilmiah, selanjutnya membangun sistem-sistem teknologi, untuk kemudian secara luas menggelar perindustrian. Oengan demikian mulai tampaklah duduk perkaranya mengapa ilmu pengetahuan itu cenderung menjadi khusus dan terpecah-pecah serta praktis teknologis. Karena pada dasarnya pengetahuan umum universal (filosofis) ternyata tidak mampu menjawab persoalan konkret keseharian seperti masalah pemenuhan kebutuhan makanan, minuman, pakaian, perumahan, dan peralatan hidup lainnya.

Adapun kebenaran mengenai kecenderungan pluralitas ilmu pengetahuan seperti yang telah dis1mpulkan terse but, dapat diterangkan secara lebih detail menurut dua cara sebagai berikut. Pertama, dapat ditinjau dari segi 'manusia' sebagai pendukung ilmu pengetahuan itu sendiri. Oi dalam diri manusia terdapat suatu kodrat yaitu adanya dorongan ingin tahu. Oorongan ingin tahu mengenai hal apa saja secara benar dan jelas, mulai dari taraf yang paling


(3)

abstrak, umum dan universal sampai pad a taraf yang paling khusus dan sekonkret-konkretnya, mulai dari yang paling filosofis, teoretis sampai pada yang paling praktis dan teknis.

Kodrat manusia demikian itu sesuai benar dengan perkembangan kebutuhan hidup dan kehidupannya. Pada mulanya, kebutuhan manusia itu bersifat sangat sederhana, tetapi semakin lama semakin menjadi kompleks. Apabila dahulu kebutuhan akan makanan, minuman, pakaian, dan peru mahan dapat disediakan dengan cara bergantung sepenuhnya kepada alam dan sumberdayanya, tetapi ternyata dalam perkembangan selanjutnya amat ditentukan oleh kemampuan kreatifitasnya. Adapun kemampuan kreatifitas yang dimaksud adalah sejauh mana keberhasilan membudiidayakan alam ini sedemikian rupa sehingga dapat memberikan kemudahan bagi upaya mencukupi segala macam kebutuhan hidup.

Jadi tampaklah adanya suatu hubungan dealektik di dalam hidup dan kehidupan manusia, yaitu antara perkembangan kebutuhan hidup dan perkembangan alam pikiran manusia itu sendiri. Kebutuhan hidup manusia yang tenyata bergerak baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif, mendorong perkembangan pengetahuan mejadi semakin plural, metodis dan sistematis, untuk kemudian ditingkatkan menjadi pengetahuan-pengetahuan praktis yang bersifat lebih teknis.

Kebutuhan akan pengetahuan yang demikian itu, lebih jelas dapat dilihat pada sejarah perkembangan alam pikiran dan kebudayaan man usia. Pada mulanya, alam pikiran dan kebudayaan manusia bersifat mitologis. Ketika itu, kehidupan manusia amat dimanjakan oleh alam dengan sumberdayanya yang cukup melimpah. Karena jumlah manusia memang masih sebanding dengan ketersediaan sumberdaya alam. Hubungan antara manusia dengan alamnya sang at erat dan akrab, bahkan hampir tidak ada jarak sama sekali. Sikap manusia yang demikian ini disebabkan karena alam dengan sumberdayanya mampu sepenuhnya menjadi tumpuan hidup dan kehidupannya. Terhadap keadaan ini para ahli mempredikati bahwa manusia berada di da/am alam, dalam artian menyatu dengan alam. Penyatuannya itu dengan cara tunduk dan patuh terhaaap alam dan hukum-hukumnya. Lihatlah pad a kehidupan primitif yang nomaden, alam berkedudukan dan berfungsi menentukan terhadap kehidupan man usia. Sementara itu alam berkedudukan sebagai subjek dan manusia cenderung sebagai objek.

Selanjutnya, ketika jumlah manusia menjadi semakin berlipat-ganda, manusia mulai bergeser pikirannya dan mulai mengambil jarak dengan alam. Alam pikiran dan kebudayaan yang bersifat mitologis berubah dan berkembang menjadi filosofis. Oi dalam alam pikiran demikian, alam dihadapi sebagai objek, bukan sebagai subjek lagi. Manusia, sebagai subjek, mulai mencari-cari rahasia-rahasia alam, apa yang menjadi inti atau hakikat alam itu sebenarnya. Oemikianlah ditemukan bahwa alam sebenarnya bukanlah sesuatu yang begitu spiritual dan misterius dengan kekuatan he bat, sehingga manusia harus tunduk dan patuh terhadapnya. Alam, hanyalah sesuatu yang material belaka yang berkedudukan di bawah


(4)

manusia, karena manusia ad31ah makhluk spiritual. Lihatlah perkembangan alam pikiran para filosof Yunani Kuno yang pada umumnya menyimpulkan bahwa hakikat alam adalah air, api, udara, bilangan, dan bahkan atom belaka (demokritos). Alam pikiran filosofis itu kemudian berpengaruh kuat terhadap perkembangan dan kemajuan pikiran dan kebudayaan manusia dan masyarakatnya. Semakin rahasia dan hakikat alam diketahui, maka manusia semakin leluasa dalam menguasai dan memanfaatkan alam.

Ditunjang oleh kepadatan penduduk dunia dan menipisnya sumber daya alam, maka alam pikiran filosofis tadi berkembang menjadi semakin ilmiah, khusus, konkret, jelas dan pasti. Sedemikian rupa sehingga lebih praktis, pragmatis dan fungsional. Alam pikiran dan kebudayaan manusia berubah dan berkembang menjadi fungsional. Oari alam pikiran fungsional rnilah kecenderungan manusia untuk menguasai alam menjadi kuat, sehingga dapat memanfaatkannya seoptimal dan semaksimal mungkin. Inilah yang disebut era ilmu pengetahuan dan teknologi yang embrionya sudah dapat dilihat mulai abad ke-16 dan 17 -an, ketika rasiona!isme dan empirisme meletakkan batu pertama pengetahuan yang konkret, jelas dan pasti. Alam pikiran fungsional ini, semakin berkembang di atas angin sampai pada abad dewasa ini. Akibatnya, beberapa paham seperti positivisme, materialisme dan pragmatisme mendapat sambutan hangat dari sementara manusia (bangsaabangsa) yang beralam fikiran murni sekuler dengan sistem kehidupan sosial feodalisme kapitalistik. Dengan sistem teknologi moderen, kelompok bangsa tersebut dapat memanfaatkanny,a baik secara eksploratif maupun secara eksploitatif.

Demikianlah apa yang diketengahkan di atas, sebenarnya adalah merupakan akibat dari pertumbuhan jumlah manusia yang semakin tidak sebanding dengan sumber daya alam yang tersedia. Denganpotensi sumber daya alam yang semakin menipis, manusia harus mengolah pikirannya secara intensif dan efektif untuk menciptakan ilmu pengetahuan dan teknologi guna melipatgandakan sumber daya alam demi kelangsungan hidup dan kehidupannya. Akibatnya, pengetahuan dan ilmu pengetahuan otomatis menjadi berkembang dalam jenis dan sifat yang semakin plural. Berbeda dengan dahulu, ketika antara jumlah penduduk dunia masih sebanding dengan potensi sumber daya alam, pikiran dan sikap hidup manusia masih sederhana. Dengan demikian kebutuhan hiduppun masih sederhana, dan karena itu manusia tidak perlu mengolah pikiran untuk mencipta teknologi seperti itu. Dalam kondisi demikian, kebutuhan akan pengetahuan dan ilmu pengetahuan masih cukup sederhana baik jenis maupun sifatnya.

Kedua, berkaitan dengan kodrat ingin tahu manusia itu tadi, perkembangan i1mu pengetahuan dapat ditinjau dari jenis, bentuk dan sifat objek materi ilmu pengetahuan.

Suatu objek materi, terlepas apakah berupa benda materia! ataupun non-materia!, seperti pendapat-pendapat, ide-ide, paham-paham dan sebagainya, di dalam dirinya sendiri memiliki banyak segi. Ambillah contoh misalnya 'air'. Secara fisis kuantitatif, air dapat dipahami secara


(5)

jelas dan pasti. Akan tetapi, benarkah kita dapat mencapai pengetahuan tentang keairan hanya dengan mengetahui taraf persenyawaan antara unsur hidrogen dan oksigen saja? Lebih daripada itu, hal-ikhwal tentang air ternyata masih banyak seginya, terutama dalam hubungannya dengan kelangsungan hidup dan kehidupan ini. Air, jika ditinjau dari segi-segi sosial kegamaan, sosial budaya, ekonomi, politik, hukum, fisika, biologi dan sebagainya tentu mengandung arti, kedudukan dan fungsi yang berbeda-beda. Setiap segi yang terdapat pada objek materi, adalah memungkinkan kelahiran suatu jenis ilmu pengetahuan. Jadi dengan demikian sebenarnya didalam diri suatu objek materi mengandung potensi untuk menjadi bermacam-macam jenis ilmu pengetahuan yang jumlahnya tergantung kepada jenis dan jumlah segi yang ada di dalamnya.

Selanjutnya, segi-segi yang dimiliki oleh objek materi itu berkaitan erat dengan batas kemampuan manusia, sebagai subjek, dalam rangka memahami kebenarannya. Oleh karena itu untuk kepentingan ini, segi-segi tersebut dirumuskan sebagai objek forma dan dari titik ini disusun tahapanntahapan sistematik cara-cara pendekatan atau metodologi dalam rangka mendapatkan kebenaran yang real, jelas dan pasti. Berdasarkan atas realita objektif yang demikian, maka ilmu pengetahuan cenderung semakin menjadi khusus dan plural Jadi, terbentuknya pluralitas ilmu pengetahuan ditentukan oleh bermacam-macam jenis segi yang ada di dalam objek dan juga oleh keterbatasan kemampuan manusia itu sendiri.

Demikianlah ilmu pengetahuan yang pada mulanya hanya ada satu, kemudian berkembang menjadi semakin plural baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif. Secara kualitatif, ilmu pengetahuan berkembang dari yang filosofis menjadi teoretis ilmiah untuk kemudian semakin menjadi teknologisspraktis. Sedangkan secara kuantitatif, menjadi kelompok-kelompok ilmu pengetahuan alam, humaniora, sosial, dan i1mu-ilmu keagamaan. Kemudian dari masing-masing kelompok itu berkembang-kembang menjadi cabanggcabang dan ranting-ranting kecil seperti yang dapat disaksikan pad a kenyataan dewasa ini. Sekali lagi perkembangannya yang demikian adalah dilatar-belakangi oleh usaha manusia dalam mencukupi kebutuhan hidupnya, berdasarkan kodrat manusia yang selalu ingin tahu secara jelas dan benar mengenai segala-sesuatu.

B. Pluralitas Jenis dan Sifat IImu Pengetahuan

Sebagaimana telah dibahas di atas, bahwa pemahaman tentang pluralitas jenis dan sifat ilmu pengetahuan dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara, yaitu menurut baik 'objek materi' maupun 'objek forma'. Dengan kata lain, suatu jenis ilmu pengetahuan dengan sifat khususnya adalah sangat ditentukan oleh objeknya, dalam artian termasuk jenis objek apa dan menurut segi yang bersifat bagaimana penyelidikan ilmu pengetahuan itu dilakukan.


(6)

Adapun menurut 'objek materinya', ilmu pengetahuan biasanya dibedakan atas 'limu pengetahuan Alam' (natural sciences), yang objek materinya berupa badan-badan benda mati (anorganic), benda hidup tetumbuhan (vagefafiva), dan hewan (zoologia); 'Ilmu Pengetahuan Kemanusiaan' (human sciences) dan 'limu Pengetahuan Sosial' (social sciences), yang objek materinya berupa manusia dalam pelbagai taraf hidupnya; serta 'Ilmu Pengetahuan Ketuhanan' (theology), yang objek materianya adalah Tuhan Sang Pencipta.

Secara lebih tegas dapat dijelaskan demikian. IImu Pengetahuan Alam mempelajari gejala-gejala (fenomena-fenomena) alam, baik yang organik (badan benda hidup) maupun yang an-organik (badan benda mati). Yang pertama melahirkan i1mu hayat atau 'biological sciences', meliputi zoologi, botani, mikrobiologi, biokimia dan biofisika. Sedangkan yang kedua melahirkan ilmu alam atau 'physical sciences', meliputi fisika, kimia, astronomi dan ilmu bumi. Klasifikasi yang lebih rind lagi (Oardiri: 1986).

Selanjutnya, Ilmu Pengetahuan Kemanusiaan memperlajari masalah manusia dan kebudayaannnya. Oleh sebab itu, ilmu pengetahuan ini berintikah masalah-masalah nilai-nilai manusiawi. Hal ini berarti bahwa cakupan ilmu pengetahuan ini meliputi segala sikap dan tingkah laku moral manusia baik terhadap diri sendiri, sesamanya, masyarakatnya, alam lingkungannya, maupun terhadap causa primanya. Oengan i1mu pengetahuan ini diharapkan adanya perkembangan sikap dan watak kebudayaan yang mampu menumbuhkan kesadaran akan nilai-nilai kemanusiaan sebagai titik sentral ilmu pengetahuan jenis apapun. Hal ini wajar karena i1mu pengetahuan adalah dari, oleh dan untuk kebahagiaan hidup dan kehidupan man usia. Adapun yang tercakup di dalamnya meliputi antropologi, ilmu kebudayaan, psikologi, sejarah, filsafat (etika), ilmu bahasa dan sebagainya.

Khususnya dalam kaitannya dengan taraf kehidupan sosial (tingkah laku manusia dalam kehidupan bersama), kemudian melahirkan suatu cabang besar yaitu IImu Pengetahuan Sosial (social sciences). Jenis ilmu pengetahuan ini menitik-beratkan pada objek kajian yaitu kehidupan manusia dalam pelbagai perwujudan dan keadaan serta kepentingan sosial man usia. Oi dalam dirinya sendiri, i1mu pengetahuan ini terbentuk dari antropologi, sosiologi dan psikologi. Ketiga komponen ilmu ini selanjutnya menjadi basis perkembangan i1mu pengetahuan sosial lainnya seperti politik, hukum, ekonomi, administrasi, demografi, manajemen, komunikasi dan sebagainya.

Sedangkan Ilmu Pengetahuan Ketuhanan (theology), sering disebut ilmu pengetahuan keagamaan, mempelajari Tuhan sebagai causa prima, keberadaan dunia, kehidupan manusia dan alam semesta menurut ajarannajaran agama. Adapun jalan yang ditempuh adalah melalui kemampuan pikiran baik secara analisis deduktif terhadap ajaran-ajaran agama dan kepercayaan maupun secara analisis induktif terhadap fakta-fakta konkret yang menggejala di dalam re~litas ini.


(7)

Webster's New Collegiate Dictionary menjelaskan Theologi sebagai "the study of God and his relations to the world especially by analysis of the origins and teachings of an organized religious community". Selanjutnya dalam Encyclopedia Americana, 1977, dijelaskan bahwa "Theology, a term employed by classical authors to describe treatises on the nature and worship of gods It is now applied to relations of God and man, and has special reference of the present condition and ultimate destiny of mankind".

Keempat jenis ilmu pengetahuan itu masing-masing berada di dalam substansinya sendiri-sendiri yang tentu saja berbeda-beda. Adapun perbeedaannya itu adalah memang merupakan bawaan kodrat dari jenis dan sifat objek materi masing-masing. Selain itu, juga ditentukan oleh jenis dan sifat objek forma atau sudut pandang yang berbeda-beda. Ilmu pengetahuan alam misalnya, karena objek materinya berupa hal-hal yang konkret, artinya yang berada di dalam ruang dan waktu tertentu, > berbentuk, berbobot, dapat diindera dan karena itu dapat diukur secara pasti, maka ilmu pengetahuan ini cenderung bersifat kuantitatif. Sedangkan ilmu pengetahuan humaniora dan ketuhanan, mengingat objeknya yang bersifat spiritual, maka cenderung bersifat kualitatif.

Sedangkan ilmu pengetahuan sosial lebih cenderung berada di antara kedua ilmu pengetahuan terdahulu, karena memang objek materinya ada yang bersifat fisis konkret dan ada yang spiritual abstrak. T egasnya ilmu pengetahuan sosial bisa bersifat kuantitatif ataukah kualitatif, sepenuhnya tergantung kepada objek forma atau sudut pandang yang ditentukan. Sedangkan menurut 'objek formanya', ilmu pengetahuan dapat dibedakan menjadi ilmu pengetahuan filosofis, ilmu pengetahuan teoretis dan ilmu pengetahuan teknologis-praktis (terapan).

Ilmu Pengetahuan Filosofis, menyelidiki objek materinya dari sudut pandang yang umum seumum-umumnya (universal), artinya dari pelbagai sudut sehingga dapat diperoleh suatu kebenaran yang sifatnya universal (kebenaran hakiki). IImu Pengetahuan Teoretis, menyelidiki objeknya dari sudut pandang yang bersifat umum-khusus dengan mempergunakan metode ilmiah, sehingga dapat diperoleh suatu pengetahuan umum menurut sudut pandang itu yang tersusun secara sistematik dan utuh. Sedangkan yang Ilmu Pengetahuan T eknologis, menyelidiki objek materinya dari sudut pandang yang bersifat praktis, jadi lebih khusus dan konkret dengan mempergunakan metoda-metoda yang bersifat empirik-eksperimental, sehingga dapat diperoleh pengetahuan khusus yang teknis dan praktis, siap dipakai untuk memproduksi barang-barang kebutuhan hidup sehari-hari.


(8)

C. Ke Arah Kesatuan IImu Pengetahuan

Kecenderungan pluralitas ilmu pengetahuan seperti dijelaskan di atas, adalah memang wajar karena di sam ping faktor keingintahuan manusia yang tak pernah berbatas juga karena sifat bawaan daripada objek materi penyelidikan itu sendiri.

Tetapi, sejauh mana pun pluralitas i1mu pengetahuan berkembang, ternyata tetap terikat oleh dua faktor, sehingga pluralitas itu tetap di dalam suatu entitas yang utuh sebagai ilmu pengetahuan.

Faktor pertama adalah manusia sebagai pendukung (subjek) ilmu pengetahuan. Tegasnya, bagaimanapun pluralitas dan perbedaan i1mu pengetahuan adalah tetap dari manusia, oleh manusia dan untuk kepentingan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupannya. Mengapa dan untuk apa penyelidikan-penyelidikan ilmu pengetahuan alam, sosial, humaniora dan ilmu pengetahuan ketuhanan itu? Ternyata semuanya itu bermuara pada kepentingan manusia dalam usahanya mempertahankan dan mengembangkan kehidupan untuk mencapai tujuan kebahagiaan.

Kecenderungan kesatuan pluralitas ilmu pengetahuan demikian itu dapat disebut kecenderungan etis. Oi mana keterikatan etis ini adalah merupakan tanggung-jawab bagi setiap pendukung ilmu pengetahuan jenis apapun untuk tetap diarahkan pada orientasi yang sama, yaitu bagi terwujudnya 'kebahagiaan hidup dan kehidupan seluruh umat manusia dan masyarakatnya di dalam ekosistem alam yang utuh'.

Sedangkan faktor kedua, yang justru menentukan kecenderungan ke arah kesatuan pluralitas ilmu pengetahuan itu adalah karena sifat hakikat atau bawaan daripada 'objek materi' dan 'objek forma ilmu pengetahuan itu sendiri. Kejelasannya dapat diuraikan sebagai berikut. Menurut objek materinya. Seperti telah dibahas di atas, tinjauan dari segi ini, memang ilmu pengetahuan itu cenderung menjadi plural. Akan tetapi sesungguhnya pluralitasnya itu tetap di dalam satu keterikatan yang bulat dan utuh di dalam eksistensi objek materi. Jika dipikirkan secara seksama, sebenarnya berjenis-jenis dan berbeda-bedanya objek materi, seperti halnya objek manusia dalam pelbagai perwujudannya, benda-benda hidup lain dan benda-benda yang tidak hidup, semuanya adalah merupakan unsur-unsur hakiki dari keseluruhan realitas yang satu dan utuh ini. Secara ontologis, semua unsur itu (manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan mineral) adalah terkait dalam suatu hubungan kausal ekologis yang utuh. Dalam kenyataan, diri manusia tersusun dari zat-zat yang berasal dari unsur-unsur mineral, nabati dan hewania. Jadi sebenarnya tidak ada satupun benda di dunia ini yang bisa eksis secara terpisah-pisah dan berdiri sendiri-sendiri. Sehingga dengan demikian objek materi antara ilmu pengetahuan alam, sosial, humaniora dan ilmu pengetahuan ketuhanan sesungguhnya secara ekologis terkait


(9)

secara mutlak di dalam keutuhan ontologis. Titik objek materi ini memperjelas kecenderungan kesatuan di antara pluralitas ilmu pengetahuan.

Selanjutnya, menurut objek forma. Demikian pula tinjauan dari segi ini pluralitas ilmu pengetahuan itu justru semakin jelas menunjukkan keterikatannya dalam satu kesatuan. Suatu objek materi, mamang menungkinkan bagi adanya pluralitas ilmu pengetahuan karena di dalamnya terkandung banyak segi. Setiap segi, membentuk suatu objek forma yang kemudian menentukan adanya suatu bidang studi. Dari satu objek materi memungkinkan terbentuknya pluralitas ilmu pengetahuan. Tetapi sebenarnya, secara episternologis pluralitas ilmu pengetahuan itu semuanya berada dalam satu sasaran, yaitu untuk mencapai kebenaran objektif dari objek materi. Jadi sebenarnya, terhadap suatu objek materi, perbedaan objek forma bagi setiap ilmu pengetahuan yang berbeda-beda itu justru semakin membuat kejelasan kebenaran objek materi. Bahkan dapat dikatakan bahwa terhadap suatu objek materi, semakin banyak tinjauan objek formanya semakin membuka keluasan pandangan, yang amat berguna bagi pertumbuhan kebenaran dan bahkan 'sikap ilmiah'. Demikianlah perbedaan objek forma memang memungkinkan adanya pluralitas ilmu pengetahuan, tetapi sekaligus menyungguhkan objektivitas kebenaran. Kenyataan objek materi demikian itu, kemudian membentuk sifat interdisipliner ilmu pengetahuan. Selanjutnya, interdisipliner ilmu pengetahuan membentuk sikap ilmiah, yang kemudian berguna bagi pemecahan persoalan secara objektif.

Menurut metodenya. Secara epistemologis, pluralitas i1mu pengetahuan yang ditentukan oleh baik objek materi dan objek forma seperti tersebut di atas, selanjutnya diperkuat lagi dengan penggunaan metode ilmiah yang berbeda-beda dalam jenis, bentuk dan sifatnya. Akan tetapi pluralitas metode i1miah itu dapat dikategorikan ke dalam dua hal, yaitu apakah metode itu dilakukan secara induktif-empirik ataukah secara deduktiffrasional. Lebih daripada itu, dengan cara manapun mutlak diperlukan kemampuan berpikir (metode berpikir) baik yang analitik maupun yang sintetik.

Metode induksi, adalah dalam rangka menemukan pengetahuan umum dari data-data dan fakta-fakta khusus. Sedangkan metode deduksi, adalah dalam rangka menemukan pengetahuan khusus (baru) dari prinsippprinsip umum. Kedua metode ini sesungguhnya mempunyai satu tujuan yaitu mencapai 'kebenaran'. Oleh sebab itu, keduanya harus dioperasikan secara dialektik verifikatif, saling memberikan pengujian-pengujian. Pad a hakikatnya keduanya terikat dalam suatu sistem integral pad a kemampuan berpikir analitik dan sintetik.

Adapun kemampuan berpikir baik yang analistis maupun yang sintesis, kenyataannya selalu berada dan dipergunakan secara bersamaasama dalam jenis metode ilmiah manapun. Yang pertama beliungsi menjamin akurasi penguraian selengkap mung kin suatu data atau fakta, sehingga suatu objek menjadi jelas. Sedangkan yang kedua beliungsi menjamin akurasi hubungann antara satu fakta atau data dengan fakta atau data-data lainnya, sehingga pada


(10)

akhirnya dapat diharapkan lahirnya penemuan-penemuan baru. Kedua kemampuan berpikir inipun di dalam praktek penelitian seharusnya dipergunakan secara dialektis verifikatif pula. Jadi dengan demikian pluralitas ilmu pengetahuan itu masinggmasing saling bertemu dalam satu keterikatan kesatuan di dalam azas dan prinsip-prinsip metode induksi-deduksi dan atau analisa-sintesa. Dengan klclta lain, ilmu pengetahuan jenis apapun kiranya tidak dapat menghindari keterikatannya dengan metode-metode itu, dalam usaha pengembangan penelitiannya dalam rangka mencapai kebenaran ilmiah.

Dari segi sistem. Secara epistemologis, kita telah mengenal banyak sistem di dalam ilmu pengetahuan. Tetapi pad a dasarnya hanya ada dua sistem pokok, yaitu sistem terbuka dan sistem tertutup. Yang pertama pada umumnya berlaku bagi ilmu pengetahuan yang bersifat kualitatif seperti humaniora, sosial dan keagamaan, sedangkan yang kedua amat populer di kalangan ilmu pengetahuan kuantitatif seperti pada kelompok ilmu pengetahuan alam. Namun demikian untuk hal-hal yang khusus, dapat berlaku dan dapat dipergunakan di dalam jenis ilmu pengetahuan apapun. Misalnya ketika metode induksi dan analisa dipergunakan, maka sistem terbuka lebih berperan TetapL ketika metode deduksi dan sintesa dipakai, maka sistem tertutup menjadi penting dan perlu.

Kejelasan mengenai keterikatan pluralitas ilmu pengetahuan dalam suatu sistem, dapat dilihat pada uraian berikut. Ilmu pengetahuan yang tergolong ke dalam ilmu sosial, humaniora dan keagamaan, mempunyai objek materi berupa sesuatu yang spiritual. Karena objek demikian tidak bisa ditentukan besar dan bobotnya, maka cenderung lebih berada di dalam sistem terbuka. Tetapi, ketika ilmu pengetahuan itu memerlukan defenisi, postulat atau dalil dan sebagainya, maka ilmu-ilmu ini harus mengubah sistemnya menjadi tertutup Oengan demikian berarti bahwa ilmu pengetahuan humaniora, sosial dan keagamaan sudah berada di dalam kesatuannya dengan ilmu pengetahuan alam. Sebaliknya, karena bawaan objek materi yang fisis, maka ilmu pengetahuan alam lebih berada pada sistem tertutup. Akan tetapi pada taraf-taraf tertentu ia harus berada di dalam sistem terbuka. Oengan sistem terbuka, maka ilmu pengetahuan alam justru lebih pesat berkembang. Bioteknologi, misalnya, adalah hasil penggunaan sistem terbuka dari 'biologi' dan 'teknologi'. Oemikian ilmu pengetahuan alam sebenarnya tetap berada di dalam kesatuannya dengan ilmu-i1mu sosial, humaniora dan keagamaan

Kemudian dari segi kebenaran ilmiah, dapat dijelaskan berdasarkan ketiga teori kebenaran, yaitu teori koheren, koresponden, dan teori pragmatik, secara epistemologis meskipun masing-masing mempunyai perbedaan ukuran, tetapi sebenarnya tetap terikat dalam derajad ilmiah. Oalam arti bahwa ketiga teori tersebut tidak satu pun yang tidak berlaku bagi jenis ilmu pengetahuan mana pun. Karena kenyataannya setiap ilmu pengetahuan selalu mempersoalkan


(11)

masalah kebenaran ideal seperti yang ditekankan oleh teori koresponden, dan pada akhirnya mempersoalkan kebenaran pragmatik seperti yang ditekankan oleh teori pragmatik.

Akhirnya, secara etis, perkembangan pluralitas ilmu pengetahuan dan teknologi bukannya untuk dipertanggung-jawabkan secara terpisahhpisah, melainkan harus dipertanggung tersebut tidak satupun yang tidak berlaku bagi jenis ilmu pengetahuan manapun. Karena kenyataannya setiap ilmu pengetahuan selalu memper-soalkan masalah-masalah kebenaran idea! seperti yang ditekankan o[eh teori koheren, kebenaran real seperti yang ditekankan oleh teori korresponden, dan pada akhirnya tentu mempersoalkan kebenaran pragmatik seperti yang ditekankan oleh teori pragmatik.-jawabkan secara epistemologis dan ontologis. Secara epistemologis, ilmu pengetahuan dan teknologi harus diperrtanggung-jawabkan menurut dasar interdisipliner, agar tepat sasaran yaitu berg una bagi kehidupan manusia. Sedangkan secara ontologis, ilmu pengetahuan dan teknologi harus dipertanggunggjawabkan menurut dasar multidisipliner, agar tepat sasaran yaitu berguna bagi kelangsungan ekosistem alam.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa perkembangan pluralitas i1mu pengetahuan pada hakikatnya mencerminkan upaya kreatif manusia. Pad a mulanya, manusia terdorong untuk sekedar mengetahui segala sesuatu secara umum. Pada taraf ini manusia merasa puas dengan pencapaian pengetahuan umum deskriptif. Selanjutnya, atas dorongan ingin tahu secara lebih memuaskan, kegiatan penyelidikannya sampai pada taraf pengetahuan khusus, konkret dan rinci. Dari pengetahuan demikian, manusia mendapatkan kepastian hipotetik tentang hakikat keberadaan segala sesuatu ini. Pengetahuan inilah yang kemudian mendorong kreatifitas manusia merumuskan sistem teknologi dengan kemampuan reproduksi tinggi yang bermanfaat bagi kelangsungan hidup dan kehidupan. Pluralitas ilmu pengetahuan mencerminkan upaya kreatif manusia sebagai khalifatullah, yang pad a akhirnya tertuju pad a satu sasaran yaitu mutlak bagi kelangsungan kehidupan manusia di dalam alam yang ekologis.


(1)

Adapun menurut 'objek materinya', ilmu pengetahuan biasanya dibedakan atas 'limu pengetahuan Alam' (natural sciences), yang objek materinya berupa badan-badan benda mati (anorganic), benda hidup tetumbuhan (vagefafiva), dan hewan (zoologia); 'Ilmu Pengetahuan Kemanusiaan' (human sciences) dan 'limu Pengetahuan Sosial' (social sciences), yang objek materinya berupa manusia dalam pelbagai taraf hidupnya; serta 'Ilmu Pengetahuan Ketuhanan' (theology), yang objek materianya adalah Tuhan Sang Pencipta.

Secara lebih tegas dapat dijelaskan demikian. IImu Pengetahuan Alam mempelajari gejala-gejala (fenomena-fenomena) alam, baik yang organik (badan benda hidup) maupun yang an-organik (badan benda mati). Yang pertama melahirkan i1mu hayat atau 'biological sciences', meliputi zoologi, botani, mikrobiologi, biokimia dan biofisika. Sedangkan yang kedua melahirkan ilmu alam atau 'physical sciences', meliputi fisika, kimia, astronomi dan ilmu bumi. Klasifikasi yang lebih rind lagi (Oardiri: 1986).

Selanjutnya, Ilmu Pengetahuan Kemanusiaan memperlajari masalah manusia dan kebudayaannnya. Oleh sebab itu, ilmu pengetahuan ini berintikah masalah-masalah nilai-nilai manusiawi. Hal ini berarti bahwa cakupan ilmu pengetahuan ini meliputi segala sikap dan tingkah laku moral manusia baik terhadap diri sendiri, sesamanya, masyarakatnya, alam lingkungannya, maupun terhadap causa primanya. Oengan i1mu pengetahuan ini diharapkan adanya perkembangan sikap dan watak kebudayaan yang mampu menumbuhkan kesadaran akan nilai-nilai kemanusiaan sebagai titik sentral ilmu pengetahuan jenis apapun. Hal ini wajar karena i1mu pengetahuan adalah dari, oleh dan untuk kebahagiaan hidup dan kehidupan man usia. Adapun yang tercakup di dalamnya meliputi antropologi, ilmu kebudayaan, psikologi, sejarah, filsafat (etika), ilmu bahasa dan sebagainya.

Khususnya dalam kaitannya dengan taraf kehidupan sosial (tingkah laku manusia dalam kehidupan bersama), kemudian melahirkan suatu cabang besar yaitu IImu Pengetahuan Sosial (social sciences). Jenis ilmu pengetahuan ini menitik-beratkan pada objek kajian yaitu kehidupan manusia dalam pelbagai perwujudan dan keadaan serta kepentingan sosial man usia. Oi dalam dirinya sendiri, i1mu pengetahuan ini terbentuk dari antropologi, sosiologi dan psikologi. Ketiga komponen ilmu ini selanjutnya menjadi basis perkembangan i1mu pengetahuan sosial lainnya seperti politik, hukum, ekonomi, administrasi, demografi, manajemen, komunikasi dan sebagainya.

Sedangkan Ilmu Pengetahuan Ketuhanan (theology), sering disebut ilmu pengetahuan keagamaan, mempelajari Tuhan sebagai causa prima, keberadaan dunia, kehidupan manusia dan alam semesta menurut ajarannajaran agama. Adapun jalan yang ditempuh adalah melalui kemampuan pikiran baik secara analisis deduktif terhadap ajaran-ajaran agama dan kepercayaan maupun secara analisis induktif terhadap fakta-fakta konkret yang menggejala di dalam re~litas ini.


(2)

Webster's New Collegiate Dictionary menjelaskan Theologi sebagai "the study of God and his relations to the world especially by analysis of the origins and teachings of an organized religious community". Selanjutnya dalam Encyclopedia Americana, 1977, dijelaskan bahwa "Theology, a term employed by classical authors to describe treatises on the nature and worship of gods It is now applied to relations of God and man, and has special reference of the present condition and ultimate destiny of mankind".

Keempat jenis ilmu pengetahuan itu masing-masing berada di dalam substansinya sendiri-sendiri yang tentu saja berbeda-beda. Adapun perbeedaannya itu adalah memang merupakan bawaan kodrat dari jenis dan sifat objek materi masing-masing. Selain itu, juga ditentukan oleh jenis dan sifat objek forma atau sudut pandang yang berbeda-beda. Ilmu pengetahuan alam misalnya, karena objek materinya berupa hal-hal yang konkret, artinya yang berada di dalam ruang dan waktu tertentu, > berbentuk, berbobot, dapat diindera dan karena itu dapat diukur secara pasti, maka ilmu pengetahuan ini cenderung bersifat kuantitatif. Sedangkan ilmu pengetahuan humaniora dan ketuhanan, mengingat objeknya yang bersifat spiritual, maka cenderung bersifat kualitatif.

Sedangkan ilmu pengetahuan sosial lebih cenderung berada di antara kedua ilmu pengetahuan terdahulu, karena memang objek materinya ada yang bersifat fisis konkret dan ada yang spiritual abstrak. T egasnya ilmu pengetahuan sosial bisa bersifat kuantitatif ataukah kualitatif, sepenuhnya tergantung kepada objek forma atau sudut pandang yang ditentukan. Sedangkan menurut 'objek formanya', ilmu pengetahuan dapat dibedakan menjadi ilmu pengetahuan filosofis, ilmu pengetahuan teoretis dan ilmu pengetahuan teknologis-praktis (terapan).

Ilmu Pengetahuan Filosofis, menyelidiki objek materinya dari sudut pandang yang umum seumum-umumnya (universal), artinya dari pelbagai sudut sehingga dapat diperoleh suatu kebenaran yang sifatnya universal (kebenaran hakiki). IImu Pengetahuan Teoretis, menyelidiki objeknya dari sudut pandang yang bersifat umum-khusus dengan mempergunakan metode ilmiah, sehingga dapat diperoleh suatu pengetahuan umum menurut sudut pandang itu yang tersusun secara sistematik dan utuh. Sedangkan yang Ilmu Pengetahuan T eknologis, menyelidiki objek materinya dari sudut pandang yang bersifat praktis, jadi lebih khusus dan konkret dengan mempergunakan metoda-metoda yang bersifat empirik-eksperimental, sehingga dapat diperoleh pengetahuan khusus yang teknis dan praktis, siap dipakai untuk memproduksi barang-barang kebutuhan hidup sehari-hari.


(3)

C. Ke Arah Kesatuan IImu Pengetahuan

Kecenderungan pluralitas ilmu pengetahuan seperti dijelaskan di atas, adalah memang wajar karena di sam ping faktor keingintahuan manusia yang tak pernah berbatas juga karena sifat bawaan daripada objek materi penyelidikan itu sendiri.

Tetapi, sejauh mana pun pluralitas i1mu pengetahuan berkembang, ternyata tetap terikat oleh dua faktor, sehingga pluralitas itu tetap di dalam suatu entitas yang utuh sebagai ilmu pengetahuan.

Faktor pertama adalah manusia sebagai pendukung (subjek) ilmu pengetahuan. Tegasnya, bagaimanapun pluralitas dan perbedaan i1mu pengetahuan adalah tetap dari manusia, oleh manusia dan untuk kepentingan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupannya. Mengapa dan untuk apa penyelidikan-penyelidikan ilmu pengetahuan alam, sosial, humaniora dan ilmu pengetahuan ketuhanan itu? Ternyata semuanya itu bermuara pada kepentingan manusia dalam usahanya mempertahankan dan mengembangkan kehidupan untuk mencapai tujuan kebahagiaan.

Kecenderungan kesatuan pluralitas ilmu pengetahuan demikian itu dapat disebut kecenderungan etis. Oi mana keterikatan etis ini adalah merupakan tanggung-jawab bagi setiap pendukung ilmu pengetahuan jenis apapun untuk tetap diarahkan pada orientasi yang sama, yaitu bagi terwujudnya 'kebahagiaan hidup dan kehidupan seluruh umat manusia dan masyarakatnya di dalam ekosistem alam yang utuh'.

Sedangkan faktor kedua, yang justru menentukan kecenderungan ke arah kesatuan pluralitas ilmu pengetahuan itu adalah karena sifat hakikat atau bawaan daripada 'objek materi' dan 'objek forma ilmu pengetahuan itu sendiri. Kejelasannya dapat diuraikan sebagai berikut. Menurut objek materinya. Seperti telah dibahas di atas, tinjauan dari segi ini, memang ilmu pengetahuan itu cenderung menjadi plural. Akan tetapi sesungguhnya pluralitasnya itu tetap di dalam satu keterikatan yang bulat dan utuh di dalam eksistensi objek materi. Jika dipikirkan secara seksama, sebenarnya berjenis-jenis dan berbeda-bedanya objek materi, seperti halnya objek manusia dalam pelbagai perwujudannya, benda-benda hidup lain dan benda-benda yang tidak hidup, semuanya adalah merupakan unsur-unsur hakiki dari keseluruhan realitas yang satu dan utuh ini. Secara ontologis, semua unsur itu (manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan mineral) adalah terkait dalam suatu hubungan kausal ekologis yang utuh. Dalam kenyataan, diri manusia tersusun dari zat-zat yang berasal dari unsur-unsur mineral, nabati dan hewania. Jadi sebenarnya tidak ada satupun benda di dunia ini yang bisa eksis secara terpisah-pisah dan berdiri sendiri-sendiri. Sehingga dengan demikian objek materi antara ilmu pengetahuan alam, sosial, humaniora dan ilmu pengetahuan ketuhanan sesungguhnya secara ekologis terkait


(4)

secara mutlak di dalam keutuhan ontologis. Titik objek materi ini memperjelas kecenderungan kesatuan di antara pluralitas ilmu pengetahuan.

Selanjutnya, menurut objek forma. Demikian pula tinjauan dari segi ini pluralitas ilmu pengetahuan itu justru semakin jelas menunjukkan keterikatannya dalam satu kesatuan. Suatu objek materi, mamang menungkinkan bagi adanya pluralitas ilmu pengetahuan karena di dalamnya terkandung banyak segi. Setiap segi, membentuk suatu objek forma yang kemudian menentukan adanya suatu bidang studi. Dari satu objek materi memungkinkan terbentuknya pluralitas ilmu pengetahuan. Tetapi sebenarnya, secara episternologis pluralitas ilmu pengetahuan itu semuanya berada dalam satu sasaran, yaitu untuk mencapai kebenaran objektif dari objek materi. Jadi sebenarnya, terhadap suatu objek materi, perbedaan objek forma bagi setiap ilmu pengetahuan yang berbeda-beda itu justru semakin membuat kejelasan kebenaran objek materi. Bahkan dapat dikatakan bahwa terhadap suatu objek materi, semakin banyak tinjauan objek formanya semakin membuka keluasan pandangan, yang amat berguna bagi pertumbuhan kebenaran dan bahkan 'sikap ilmiah'. Demikianlah perbedaan objek forma memang memungkinkan adanya pluralitas ilmu pengetahuan, tetapi sekaligus menyungguhkan objektivitas kebenaran. Kenyataan objek materi demikian itu, kemudian membentuk sifat interdisipliner ilmu pengetahuan. Selanjutnya, interdisipliner ilmu pengetahuan membentuk sikap ilmiah, yang kemudian berguna bagi pemecahan persoalan secara objektif.

Menurut metodenya. Secara epistemologis, pluralitas i1mu pengetahuan yang ditentukan oleh baik objek materi dan objek forma seperti tersebut di atas, selanjutnya diperkuat lagi dengan penggunaan metode ilmiah yang berbeda-beda dalam jenis, bentuk dan sifatnya. Akan tetapi pluralitas metode i1miah itu dapat dikategorikan ke dalam dua hal, yaitu apakah metode itu dilakukan secara induktif-empirik ataukah secara deduktiffrasional. Lebih daripada itu, dengan cara manapun mutlak diperlukan kemampuan berpikir (metode berpikir) baik yang analitik maupun yang sintetik.

Metode induksi, adalah dalam rangka menemukan pengetahuan umum dari data-data dan fakta-fakta khusus. Sedangkan metode deduksi, adalah dalam rangka menemukan pengetahuan khusus (baru) dari prinsippprinsip umum. Kedua metode ini sesungguhnya mempunyai satu tujuan yaitu mencapai 'kebenaran'. Oleh sebab itu, keduanya harus dioperasikan secara dialektik verifikatif, saling memberikan pengujian-pengujian. Pad a hakikatnya keduanya terikat dalam suatu sistem integral pad a kemampuan berpikir analitik dan sintetik.

Adapun kemampuan berpikir baik yang analistis maupun yang sintesis, kenyataannya selalu berada dan dipergunakan secara bersamaasama dalam jenis metode ilmiah manapun. Yang pertama beliungsi menjamin akurasi penguraian selengkap mung kin suatu data atau fakta, sehingga suatu objek menjadi jelas. Sedangkan yang kedua beliungsi menjamin akurasi hubungann antara satu fakta atau data dengan fakta atau data-data lainnya, sehingga pada


(5)

akhirnya dapat diharapkan lahirnya penemuan-penemuan baru. Kedua kemampuan berpikir inipun di dalam praktek penelitian seharusnya dipergunakan secara dialektis verifikatif pula. Jadi dengan demikian pluralitas ilmu pengetahuan itu masinggmasing saling bertemu dalam satu keterikatan kesatuan di dalam azas dan prinsip-prinsip metode induksi-deduksi dan atau analisa-sintesa. Dengan klclta lain, ilmu pengetahuan jenis apapun kiranya tidak dapat menghindari keterikatannya dengan metode-metode itu, dalam usaha pengembangan penelitiannya dalam rangka mencapai kebenaran ilmiah.

Dari segi sistem. Secara epistemologis, kita telah mengenal banyak sistem di dalam ilmu pengetahuan. Tetapi pad a dasarnya hanya ada dua sistem pokok, yaitu sistem terbuka dan sistem tertutup. Yang pertama pada umumnya berlaku bagi ilmu pengetahuan yang bersifat kualitatif seperti humaniora, sosial dan keagamaan, sedangkan yang kedua amat populer di kalangan ilmu pengetahuan kuantitatif seperti pada kelompok ilmu pengetahuan alam. Namun demikian untuk hal-hal yang khusus, dapat berlaku dan dapat dipergunakan di dalam jenis ilmu pengetahuan apapun. Misalnya ketika metode induksi dan analisa dipergunakan, maka sistem terbuka lebih berperan TetapL ketika metode deduksi dan sintesa dipakai, maka sistem tertutup menjadi penting dan perlu.

Kejelasan mengenai keterikatan pluralitas ilmu pengetahuan dalam suatu sistem, dapat dilihat pada uraian berikut. Ilmu pengetahuan yang tergolong ke dalam ilmu sosial, humaniora dan keagamaan, mempunyai objek materi berupa sesuatu yang spiritual. Karena objek demikian tidak bisa ditentukan besar dan bobotnya, maka cenderung lebih berada di dalam sistem terbuka. Tetapi, ketika ilmu pengetahuan itu memerlukan defenisi, postulat atau dalil dan sebagainya, maka ilmu-ilmu ini harus mengubah sistemnya menjadi tertutup Oengan demikian berarti bahwa ilmu pengetahuan humaniora, sosial dan keagamaan sudah berada di dalam kesatuannya dengan ilmu pengetahuan alam. Sebaliknya, karena bawaan objek materi yang fisis, maka ilmu pengetahuan alam lebih berada pada sistem tertutup. Akan tetapi pada taraf-taraf tertentu ia harus berada di dalam sistem terbuka. Oengan sistem terbuka, maka ilmu pengetahuan alam justru lebih pesat berkembang. Bioteknologi, misalnya, adalah hasil penggunaan sistem terbuka dari 'biologi' dan 'teknologi'. Oemikian ilmu pengetahuan alam sebenarnya tetap berada di dalam kesatuannya dengan ilmu-i1mu sosial, humaniora dan keagamaan

Kemudian dari segi kebenaran ilmiah, dapat dijelaskan berdasarkan ketiga teori kebenaran, yaitu teori koheren, koresponden, dan teori pragmatik, secara epistemologis meskipun masing-masing mempunyai perbedaan ukuran, tetapi sebenarnya tetap terikat dalam derajad ilmiah. Oalam arti bahwa ketiga teori tersebut tidak satu pun yang tidak berlaku bagi jenis ilmu pengetahuan mana pun. Karena kenyataannya setiap ilmu pengetahuan selalu mempersoalkan


(6)

masalah kebenaran ideal seperti yang ditekankan oleh teori koresponden, dan pada akhirnya mempersoalkan kebenaran pragmatik seperti yang ditekankan oleh teori pragmatik.

Akhirnya, secara etis, perkembangan pluralitas ilmu pengetahuan dan teknologi bukannya untuk dipertanggung-jawabkan secara terpisahhpisah, melainkan harus dipertanggung tersebut tidak satupun yang tidak berlaku bagi jenis ilmu pengetahuan manapun. Karena kenyataannya setiap ilmu pengetahuan selalu memper-soalkan masalah-masalah kebenaran idea! seperti yang ditekankan o[eh teori koheren, kebenaran real seperti yang ditekankan oleh teori korresponden, dan pada akhirnya tentu mempersoalkan kebenaran pragmatik seperti yang ditekankan oleh teori pragmatik.-jawabkan secara epistemologis dan ontologis. Secara epistemologis, ilmu pengetahuan dan teknologi harus diperrtanggung-jawabkan menurut dasar interdisipliner, agar tepat sasaran yaitu berg una bagi kehidupan manusia. Sedangkan secara ontologis, ilmu pengetahuan dan teknologi harus dipertanggunggjawabkan menurut dasar multidisipliner, agar tepat sasaran yaitu berguna bagi kelangsungan ekosistem alam.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa perkembangan pluralitas i1mu pengetahuan pada hakikatnya mencerminkan upaya kreatif manusia. Pad a mulanya, manusia terdorong untuk sekedar mengetahui segala sesuatu secara umum. Pada taraf ini manusia merasa puas dengan pencapaian pengetahuan umum deskriptif. Selanjutnya, atas dorongan ingin tahu secara lebih memuaskan, kegiatan penyelidikannya sampai pada taraf pengetahuan khusus, konkret dan rinci. Dari pengetahuan demikian, manusia mendapatkan kepastian hipotetik tentang hakikat keberadaan segala sesuatu ini. Pengetahuan inilah yang kemudian mendorong kreatifitas manusia merumuskan sistem teknologi dengan kemampuan reproduksi tinggi yang bermanfaat bagi kelangsungan hidup dan kehidupan. Pluralitas ilmu pengetahuan mencerminkan upaya kreatif manusia sebagai khalifatullah, yang pad a akhirnya tertuju pad a satu sasaran yaitu mutlak bagi kelangsungan kehidupan manusia di dalam alam yang ekologis.