Sebab-Sebab Pluralitas IImu Pengetahuan

BAB VI EKSISTENSI ILMU PENGETAHUAN Di dalam dunia filsafat, dikenal bahwa segala sesuatu yang ada pasti berada dalam substansi dan eksistensi. Substansi adalah sifat hakikat suatu hal, sebagai inti-sari daripadanya, sehingga dengan demikian menentukan jenis sebagai apa hal sesuatu itu. Sedangkan eksistensi adalah bagaimana cara-cara keberadaan hal sesuatu itu. Suatu hal bisa berada dengan banyak cara, menurut ruang, waktu dan kondisi tertentu. Sebuah meja misalnya, dalam keadaan tertentu, menurut ruang dan waktu tertentu bisa menjadi berbagai macam fungsi. Ketika dipakai untuk menulis, makan, menerima tamu, dan melaksanakan ujian, bisa menjadi meja tulis, meja makan, meja tamu dan meja ujian. Jadi, eksistensi menunjuk cara-cara keberadaan hal sesuatu dalam wujud dan bentuk yang jamak. Seperti halnya contoh meja itu tadi, bersubstansitunggal, tetapi bereksistensi jamak menurut perwujudan dan bentuknya. Begitupun tentang ilmu pengetahuan. Bahwa i1mu pengetahuan itu satu dalam substansi, tetapi plural dalam eksistensi. Oalam Bab ini dimulai dengan bahasan tentang pluralisasi ilmu pengetahuan, yang kemudian ditutup dengan bahasan tentang dinamika singularisasi ilmu pengetahuan.

A. Sebab-Sebab Pluralitas IImu Pengetahuan

Pada mulanya ilmu pengetahuan itu hanya ada satu, yaitu filsafat. Kenyataan ini bisa dilihat pada predikat yang masih disandang sampai dewasa ini, yaitu filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan. Predikat yang demikian bukanlah diberikan secara bebas. Berdasarkan fakta, memang mengandung arti bahwa di dalam filsafat terkandung segala macam jenis objek materi ilmu pengetahuan dalam satu kesatuan. Objek materi dimaksud meliputi tiga hal, yaitu manusia, alam dan Sang Pencipta. Ketiganya berada di dalam keterhubungan mutlak, tidak bisa dipisah- pisahkan. Manusia dan alam tersatukan di dalam substansi kemakhlukan. Sedangkan manusia dan alam tersatukan di dalam diri Sang Pencipta. Oipandang dari sudut pandang, metoda dan sistem yang bersifat menyeluruh umum universal, di balik ketiga objek itu terdapat suatu kebenaran universal di dalam diri Sang Pencipta. Jadi, jelaslah bahwa pada mulanya ilmu pengetahuan itu berpangkal dari satu kebenaran, yaitu kebenaran universal mengenai segala sesuatu yang ada. Bagi manusia, kebenaran universal adalah merupakan suatu kebutuhan yang amat berg una untuk memperluas pandangan atau wawasan yang kemudian dapat membentuk suatu pandangan hidup atau filsafat hidup. Dengan filsafat hidup, berarti manusia dapat memahami arti dirinya substansinya. Selanjutnya, berdasar pada pemahaman atas dirinya itu, manusia dengan demikian dapat menempatkan keberadaannya eksisstensinya secara tepat dalam hubungannya dengan alam di dalam menjalani hidup dan kehidupannya. Jika demikian halnya, maka berarti manusia akan lebih mengetahui tujuan hidup ke mana ia harus mengarahkan hid up dan kehidupannya itu. Dengan adanya tujuan hidup inilah, kemudian manusia dapat menciptakan pedoman hidup, sikap hidup, cara hid up dan tingkah laku hidup sehari-hari. Akan tetapi, filsafat hidup itu seringkali justru berbenturan dengan realitas kehidupan sehari-hari. Menolong orang lain adalah suatu bentuk filsafat hidup yang baik. Tetapi ternyata tidak setiap perilaku menolong itu bisa membuahkan kebaikan. Karena bisa saja menolong justru menjadi penyebab dari perkembangan sifat pemalas. Kiranya, penerapan filsafat hidup harus mempertimbangkan ketepatan sasaran objek. Menolong orang lain haruslah mempertimbangkan secara bijak, apakah orang lain itu memang memerlukan pertolongan atau tidak. Jadi penerapan filsafat hidup seharusnya mempertimbangkan relevansinya dengan keadaan nyata real conditions, harus ada hubungan kausal. Jadi, dapat dipahami bahwa sesungguhnya yang diperlukan oleh manusia dalam rangka menentukan dasar dan tujuan hidup adalah pengetahuan yang benar secara menyeluruh, yang bersifat prinsipial dan cenderung tetap tidak berubah-ubah. Hal itu penting agar kehidupan manusia tidak terombang ambingkan oleh pluralitas kebutuhan yang selalu bergerak dan berubah-ubah ke arah pragmatisme positivistik. Meskipun di dalam kehidupannya, manusia mutlak membutuhkan pengetahuan yang benar secara umum dan universal. Tetapi, seiring dengan percepatan pertumbuhan penduduk dunia yang makin mengancam kelangsungan hid up, maka manusia memerlukan pelipat-gan daan produksi I barang-barang konsumtif sebagai kebutuhan hidup keseharian. Permintaan . volume kebutuhan konsumtif tersebut hanya bisa disediakan dengan cara mengembangkan teori-teori ilmiah, selanjutnya membangun sistem-sistem teknologi, untuk kemudian secara luas menggelar perindustrian. Oengan demikian mulai tampaklah duduk perkaranya mengapa ilmu pengetahuan itu cenderung menjadi khusus dan terpecah-pecah serta praktis teknologis. Karena pada dasarnya pengetahuan umum universal filosofis ternyata tidak mampu menjawab persoalan konkret keseharian seperti masalah pemenuhan kebutuhan makanan, minuman, pakaian, perumahan, dan peralatan hidup lainnya. Adapun kebenaran mengenai kecenderungan pluralitas ilmu pengetahuan seperti yang telah dis1mpulkan terse but, dapat diterangkan secara lebih detail menurut dua cara sebagai berikut. Pertama, dapat ditinjau dari segi manusia sebagai pendukung ilmu pengetahuan itu sendiri. Oi dalam diri manusia terdapat suatu kodrat yaitu adanya dorongan ingin tahu. Oorongan ingin tahu mengenai hal apa saja secara benar dan jelas, mulai dari taraf yang paling abstrak, umum dan universal sampai pad a taraf yang paling khusus dan sekonkret-konkretnya, mulai dari yang paling filosofis, teoretis sampai pada yang paling praktis dan teknis. Kodrat manusia demikian itu sesuai benar dengan perkembangan kebutuhan hidup dan kehidupannya. Pada mulanya, kebutuhan manusia itu bersifat sangat sederhana, tetapi semakin lama semakin menjadi kompleks. Apabila dahulu kebutuhan akan makanan, minuman, pakaian, dan peru mahan dapat disediakan dengan cara bergantung sepenuhnya kepada alam dan sumberdayanya, tetapi ternyata dalam perkembangan selanjutnya amat ditentukan oleh kemampuan kreatifitasnya. Adapun kemampuan kreatifitas yang dimaksud adalah sejauh mana keberhasilan membudiidayakan alam ini sedemikian rupa sehingga dapat memberikan kemudahan bagi upaya mencukupi segala macam kebutuhan hidup. Jadi tampaklah adanya suatu hubungan dealektik di dalam hidup dan kehidupan manusia, yaitu antara perkembangan kebutuhan hidup dan perkembangan alam pikiran manusia itu sendiri. Kebutuhan hidup manusia yang tenyata bergerak baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif, mendorong perkembangan pengetahuan mejadi semakin plural, metodis dan sistematis, untuk kemudian ditingkatkan menjadi pengetahuan-pengetahuan praktis yang bersifat lebih teknis. Kebutuhan akan pengetahuan yang demikian itu, lebih jelas dapat dilihat pada sejarah perkembangan alam pikiran dan kebudayaan man usia. Pada mulanya, alam pikiran dan kebudayaan manusia bersifat mitologis. Ketika itu, kehidupan manusia amat dimanjakan oleh alam dengan sumberdayanya yang cukup melimpah. Karena jumlah manusia memang masih sebanding dengan ketersediaan sumberdaya alam. Hubungan antara manusia dengan alamnya sang at erat dan akrab, bahkan hampir tidak ada jarak sama sekali. Sikap manusia yang demikian ini disebabkan karena alam dengan sumberdayanya mampu sepenuhnya menjadi tumpuan hidup dan kehidupannya. Terhadap keadaan ini para ahli mempredikati bahwa manusia berada di daam alam, dalam artian menyatu dengan alam. Penyatuannya itu dengan cara tunduk dan patuh terhaaap alam dan hukum-hukumnya. Lihatlah pad a kehidupan primitif yang nomaden, alam berkedudukan dan berfungsi menentukan terhadap kehidupan man usia. Sementara itu alam berkedudukan sebagai subjek dan manusia cenderung sebagai objek. Selanjutnya, ketika jumlah manusia menjadi semakin berlipat-ganda, manusia mulai bergeser pikirannya dan mulai mengambil jarak dengan alam. Alam pikiran dan kebudayaan yang bersifat mitologis berubah dan berkembang menjadi filosofis. Oi dalam alam pikiran demikian, alam dihadapi sebagai objek, bukan sebagai subjek lagi. Manusia, sebagai subjek, mulai mencari-cari rahasia-rahasia alam, apa yang menjadi inti atau hakikat alam itu sebenarnya. Oemikianlah ditemukan bahwa alam sebenarnya bukanlah sesuatu yang begitu spiritual dan misterius dengan kekuatan he bat, sehingga manusia harus tunduk dan patuh terhadapnya. Alam, hanyalah sesuatu yang material belaka yang berkedudukan di bawah manusia, karena manusia ad31ah makhluk spiritual. Lihatlah perkembangan alam pikiran para filosof Yunani Kuno yang pada umumnya menyimpulkan bahwa hakikat alam adalah air, api, udara, bilangan, dan bahkan atom belaka demokritos. Alam pikiran filosofis itu kemudian berpengaruh kuat terhadap perkembangan dan kemajuan pikiran dan kebudayaan manusia dan masyarakatnya. Semakin rahasia dan hakikat alam diketahui, maka manusia semakin leluasa dalam menguasai dan memanfaatkan alam. Ditunjang oleh kepadatan penduduk dunia dan menipisnya sumber daya alam, maka alam pikiran filosofis tadi berkembang menjadi semakin ilmiah, khusus, konkret, jelas dan pasti. Sedemikian rupa sehingga lebih praktis, pragmatis dan fungsional. Alam pikiran dan kebudayaan manusia berubah dan berkembang menjadi fungsional. Oari alam pikiran fungsional rnilah kecenderungan manusia untuk menguasai alam menjadi kuat, sehingga dapat memanfaatkannya seoptimal dan semaksimal mungkin. Inilah yang disebut era ilmu pengetahuan dan teknologi yang embrionya sudah dapat dilihat mulai abad ke-16 dan 17 -an, ketika rasionaisme dan empirisme meletakkan batu pertama pengetahuan yang konkret, jelas dan pasti. Alam pikiran fungsional ini, semakin berkembang di atas angin sampai pada abad dewasa ini. Akibatnya, beberapa paham seperti positivisme, materialisme dan pragmatisme mendapat sambutan hangat dari sementara manusia bangsaabangsa yang beralam fikiran murni sekuler dengan sistem kehidupan sosial feodalisme kapitalistik. Dengan sistem teknologi moderen, kelompok bangsa tersebut dapat memanfaatkanny,a baik secara eksploratif maupun secara eksploitatif. Demikianlah apa yang diketengahkan di atas, sebenarnya adalah merupakan akibat dari pertumbuhan jumlah manusia yang semakin tidak sebanding dengan sumber daya alam yang tersedia. Denganpotensi sumber daya alam yang semakin menipis, manusia harus mengolah pikirannya secara intensif dan efektif untuk menciptakan ilmu pengetahuan dan teknologi guna melipatgandakan sumber daya alam demi kelangsungan hidup dan kehidupannya. Akibatnya, pengetahuan dan ilmu pengetahuan otomatis menjadi berkembang dalam jenis dan sifat yang semakin plural. Berbeda dengan dahulu, ketika antara jumlah penduduk dunia masih sebanding dengan potensi sumber daya alam, pikiran dan sikap hidup manusia masih sederhana. Dengan demikian kebutuhan hiduppun masih sederhana, dan karena itu manusia tidak perlu mengolah pikiran untuk mencipta teknologi seperti itu. Dalam kondisi demikian, kebutuhan akan pengetahuan dan ilmu pengetahuan masih cukup sederhana baik jenis maupun sifatnya. Kedua, berkaitan dengan kodrat ingin tahu manusia itu tadi, perkembangan i1mu pengetahuan dapat ditinjau dari jenis, bentuk dan sifat objek materi ilmu pengetahuan. Suatu objek materi, terlepas apakah berupa benda materia ataupun non-materia, seperti pendapat-pendapat, ide-ide, paham-paham dan sebagainya, di dalam dirinya sendiri memiliki banyak segi. Ambillah contoh misalnya air. Secara fisis kuantitatif, air dapat dipahami secara jelas dan pasti. Akan tetapi, benarkah kita dapat mencapai pengetahuan tentang keairan hanya dengan mengetahui taraf persenyawaan antara unsur hidrogen dan oksigen saja? Lebih daripada itu, hal-ikhwal tentang air ternyata masih banyak seginya, terutama dalam hubungannya dengan kelangsungan hidup dan kehidupan ini. Air, jika ditinjau dari segi-segi sosial kegamaan, sosial budaya, ekonomi, politik, hukum, fisika, biologi dan sebagainya tentu mengandung arti, kedudukan dan fungsi yang berbeda-beda. Setiap segi yang terdapat pada objek materi, adalah memungkinkan kelahiran suatu jenis ilmu pengetahuan. Jadi dengan demikian sebenarnya didalam diri suatu objek materi mengandung potensi untuk menjadi bermacam-macam jenis ilmu pengetahuan yang jumlahnya tergantung kepada jenis dan jumlah segi yang ada di dalamnya. Selanjutnya, segi-segi yang dimiliki oleh objek materi itu berkaitan erat dengan batas kemampuan manusia, sebagai subjek, dalam rangka memahami kebenarannya. Oleh karena itu untuk kepentingan ini, segi-segi tersebut dirumuskan sebagai objek forma dan dari titik ini disusun tahapanntahapan sistematik cara-cara pendekatan atau metodologi dalam rangka mendapatkan kebenaran yang real, jelas dan pasti. Berdasarkan atas realita objektif yang demikian, maka ilmu pengetahuan cenderung semakin menjadi khusus dan plural Jadi, terbentuknya pluralitas ilmu pengetahuan ditentukan oleh bermacam-macam jenis segi yang ada di dalam objek dan juga oleh keterbatasan kemampuan manusia itu sendiri. Demikianlah ilmu pengetahuan yang pada mulanya hanya ada satu, kemudian berkembang menjadi semakin plural baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif. Secara kualitatif, ilmu pengetahuan berkembang dari yang filosofis menjadi teoretis ilmiah untuk kemudian semakin menjadi teknologisspraktis. Sedangkan secara kuantitatif, menjadi kelompok-kelompok ilmu pengetahuan alam, humaniora, sosial, dan i1mu-ilmu keagamaan. Kemudian dari masing- masing kelompok itu berkembang-kembang menjadi cabanggcabang dan ranting-ranting kecil seperti yang dapat disaksikan pad a kenyataan dewasa ini. Sekali lagi perkembangannya yang demikian adalah dilatar-belakangi oleh usaha manusia dalam mencukupi kebutuhan hidupnya, berdasarkan kodrat manusia yang selalu ingin tahu secara jelas dan benar mengenai segala- sesuatu.

B. Pluralitas Jenis dan Sifat IImu Pengetahuan