Perekonomian Daerah Pesisir di Era Otonomi Daerah

12

2.2. Perekonomian Daerah Pesisir di Era Otonomi Daerah

Salah satu produk hukum dalam era reformasi adalah undang-undang No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 dan 33 tahun 2004. Dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 terdapat aturan mengenai kewenangan daerah propinsi dalam pengelolaan wilayah laut dalam batasan 12 mil yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau kearah perairan kepulauan dan pemerintah kotakabupaten berhak mengelola sepertiganya atau 4 mil. Pilihan kebijakan otonomi daerah ini merupakan langkah strategis untuk menciptakan keadilan ekonomi dan politik serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan Kusumastanto, 2002. Akibat kebijakan otonomi daerah yang memberikan kewenangan kepada pemerintahan di daerah, maka pemerintah daerah memiliki hak untuk mengambil dan merumuskan kebijakan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan. Namun demikian, di daerah masih ada persoalan klasik yang menjadi problem utama dari pengembangan ekonomi masyarakat pesisir. Di sektor perikanan, masalah tersebut adalah adanya ketergantungan ekonomi nelayan dan petani ikan pembudidaya terhadap pelaku ekonomi yang bermodal besar. Bentuk ketergantungan ini adalah 1 ketergantungan finansial-industri, yakni masyarakat nelayan dan pembudidaya sebagai unsur utama dalam proses produksi yakni sebagai pelaku atau tenaga kerja dimana aktivitas ekonomi secara dominan dikuasai oleh kekuatan industri dan secara finansial dikendalikan pemilik modal besar, dan 2 ketergantungan teknologi industri yang unit bisnis dan industri di 13 wilayah pesisir, bisa jadi dimiliki oleh nelayan lokal tradisional, kecil atau menengah, tetapi teknologinya dikuasai atau dimiliki oleh perusahaan multinasional dengan modal besar Kusumastanto, 2002. Salah satu sektor memiliki peluang pasar internasional yang cukup signifikan dalam pertumbuhan ekonomi adalah sektor perikanan, khususnya budidaya udang. Investasi disektor ini memang sangat menjanjikan kalangan pengusaha karena berdasarkan perhitungan nilai indeks ICOR-nya efisiensi rasio modal output ternyata memberikan nilai 2.75 yang lebih kecil dari komoditi sektor perikanan lainnya. Dengan nilai yang demikian mencerminkan bahwa investasi dalam kegiatan budidaya pertambakan ini paling efisien, karena keefisienan suatu investasi usaha ditandai oleh nilai ICOR yang lebih kecil Kusumastanto, 2002. 2.3. Sumber Modal Usaha Secara teoritis modal usaha diperlukan oleh setiap masyarakat dalam meningkatkan produksinya, haruslah bersumber dari kemampuan sendiri. Dihimpun dari tabungan yang diperoleh dari surplus pendapatan. Masalah timbul karena sebagian besar petani petambak tergolong penduduk miskin, mempunyai pendapatan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sehingga tidak mempunyai surplus yang dapat diakumulasikan menjadi modal. Untuk membantu menyelesaikan kendala modal usaha, pemerintah melalui beberapa program memberikan bantuan kredit modal usaha Gunawan, 1998. Pemberian bantuan dana sebagai modal usaha masyarakat menurut Gunawan 1998, merupakan injeksi untuk mempercepat pertumbuhan perekonomian masyarakat penerimanya. Karenanya, bantuan ini harus dikelola 14 dengan prinsif, 1 mudah diterima dan dipergunakan oleh sipenerima acceptable, 2 terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan accountable, 3 memberikan pendapatan mamadai secara ekonomis profitable, 4 hasilnya dapat dilanjutkan sustainable, dan 5 pengelolaan dan keberhasilannya dapat digulirkan dan dikembangkan ke dalam lingkup yang lebih luas replicable. Pada dasarnya kredit dapat diperoleh oleh siapapun, menurut Rintuh 2003, untuk dapat memperoleh kredit, yang penting adalah adanya kepercayaan dan dapat dipercaya memenuhi kredit dari pemberi kredit dan memahami jalur pengajuan kredit. Kredit yang digunakan untuk kegiatan konsumtif lebih sulit untuk mendapat persetujuan bila dibandingkan kredit yang penggunaannya untuk usaha produktif walaupun ada beberapa pengecualian untuk kredit konsumtif namun dalam pengajuannya harus menggunakan jaminan yang lebih besar dan prosedurnya lebih ketat. Kiat yang perlu dimiliki oleh calon debitur penerima kredit adalah memahami cara berpikir pemberi kredit atau kreditur. Pada dasarnya kredit diberikan berdasarkan kepercayaan, sehingga kreditur memberi kredit pada debitur yang dipercaya. Dalam pengembalian kredit sangat baik bila dana pengembalian bukan dari sumber dana lain seperti hutang ke tempat lain atau menjual barang tetapi dari keuntungan penggunaan kredit. Calon debitur terutama dari kelompok ekonomi rakyat, kadang-kadang merasa sulit berhubungan dengan bank, apalagi untuk minta pinjaman. Mereka enggan karena bentuk bangunan kantor kreditur yang megah dan penjaganya yang angker, selain mereka sendiri tidak memahami prosedur berhubungan dengan kreditur. Sangat baik bila lembaga yang memberi kredit adalah lembaga kredit yang juga memberi pembinaan usaha. Lembaga yang mudah dan cepat mengucurkan kredit biasanya 15 mewajibkan adanya agunan yang jauh lebih besar dari kredit atau bunganya jauh lebih tinggi sedangkan lembaga yang lain persyaratannya jauh lebih ketat sehingga terkesan sulit. Kesulitan tersebut banyak didukung oleh usaha itu sendiri, diantaranya: 1. Ketidaktahuan dari usaha kecil sendiri tentang lembaga mana yang menyediakan kredit bagi usaha kecil 2. Usaha kecil tidak terbiasa membuat pembukuan atau mereka tidak memiliki pembukuan 3. Alasan dan tujuan penggunaan pinjaman tidak jelas sehingga pemberi bantuan kredit ragu-ragu 4. Tidak memisahkan antara kekayaan keluarga rumah tangga dan kekayaan usaha yang berakibat pada campur aduknya penggunaan barang-barang usaha dan keuangan usaha dengan yang dimiliki keluarga Lembaga keuangan yang terlibat didalam lembaga keuangan mikro cukup beragam. Lembaga pembiayaan tersebut dapat berupa bank umum atau Bank Pengkreditan Rakyat BPR, modal ventura, Program Pengembangan Usaha Kecil dan Koperasi PUKK, Pegadaian dan lain sebagainya. Dari aspek pemberian kredit maupun kemampuan menghimpun dana masyarakat bahwa BRI Bank Rakyat Indonesia Unit merupakan lembaga keuangan mikro yang paling dominan disusul oleh BPR dan Pegadaian Rintuh, 2003.

2.4. Penerapan Sistem Bunga Bank