B. BUGAT DALAM PERSPEKTIF POLITIK
Tindakan melampaui batas, kedzaliman, penuntutan yang berlebihan yang dicakup dalam makna al-Bugat disinyalir sebagai sebab-sebab runtuhnya pondasi
kedamaian, persatuan, dan stabilitas yang pada unjungnya akan merusak tatanan kehidupan sosial baik hubungannya antar individu sebagai masyarakat, maupun
individu dengan pemimpin atau pemerintahan. Karena itu dalam konteks pemerintahan, Bugat sangat erat kaitannya dengan permasalahan politik, sebab
permasalahan Bugat tidak bisa terlepas dari permasalahan kekuasaan dan pemerintahan.
Dalam pandangan Barat politik diartikan sebatas pengaturan kekuasaan, bahkan menjadikan kekuasaan sebagai tujuan dari politik. Hal ini bisa kita dapati dari salah
satu pendapat ahli politik di barat, yaitu Loewenstein yang berpendapat “politic is nicht anderes als der kamps um die Macht” politik tidak lain merupakan perjuangan
kekuasaan. Politik sangat erat kaitannya dengan masalah kekuasaan, pengambilan keputusan,
kebijakan publik dan alokasi atau distribusi. Pemikiran mengenai politik di dunia barat banyak dipengaruhi oleh Filsuf Yunani Kuno seperti Plato dan Aristoteles yang
beranggapan bahwa politik sebagai suatu usaha untuk mencapai masyarakat yang terbaik. Usaha untuk mencapai masyarakat yang terbaik ini menyangkut bermacam
macam kegiatan yang diantaranya terdiri dari proses penentuan tujuan dari sistem serta cara-cara melaksanakan tujuan itu.
Bugat yang didefinisikan sebagai kelompok yang tidak sejalan dengan pemerintahan yang menuntut lebih untuk diperlakukan dan diperhatikan pada praktik
di lapangan sering sulit dibedakan dengan apa yang disebut sebagai oposisi pemerintahan walaupun dalam tataran praktik, Bugat tidak dapat disamakan dengan
oposisi. Meluasnya komunitas masyarakat muslim dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad
saw., 632 M membuat terjadinya banyak perbedaan pandangan ditengah-tengah mereka dalam berbagai aspek sosial bahkan dalam ibadah sekalipun. Sehingga kaum
muslimin harus mendefinisikan mana perbedaan yang diperbolehkan dan mana yang dikategorikan sebagai pembangkangan atau pemberontakan. Keragaman pengalaman
ini menjadi dasar bagi konsep tentang peluang bagi sebagian masyarakat untuk menyatakan ketidaksetujuan dan oposisi yang sah di dalam komunitas muslim.
Dua gagasan penting yang menentukan batas-batas konseptual dalam warisan Islam menyangkut ketidaksetujuan, oposisi dan konflik masyarakat yang harusnya dikelola
adalah konsep fitnah al-Bugat atau kekacauan sipil dan ikhtilaf atau ketidaksetujuan. Al-Bugat dilarang sama sekali tetapi ikhtilaf diperbolehkan.
Dalam Alquran, istilah Bugat digunakan untuk menggambarkan konflik yang terjadi diantara dua kelompok kaum muslimin yang enggan tunduk pada ketentuan
syariat Allah. Bugat sebagai kelompok yang menolak perdamaian harus dilawan secara aktif bahkan dengan kekerasan jika diperlukan.
Adapun konsep ikhtilaf memberikan kemungkinan bagi adanya perbedaan pendapat dalam masyarakat. Dari konsep ikhtilaf inilah muncul berbagai tradisi hukum yang
berbeda-beda dan kemudian dirumuskan menjadi maz\hab hukum yang bermacam- macam. Perbedaan ini mencerminkan adanya dinamika dan kebebasan pemikiran
hukum yang khas dalam sejarah Islam yang pada umumnya berlangsung secara damai dan toleran.
Gagasan untuk menerima kemungkinan ikhtilaf ini disadari oleh banyak pemikir Islam terkemuka ssepanjang sejarah. Banyak yang berusaha pula menguraikan akar
perbedaan tersebut dan umumnya mereka menganggap hal itu sebagai sesuatu yang wajar, bahkan justru bermanfaat sebagai control social.
Pada awalnya gagasan ikhtilaf itu lebih dipahami sebagai perbedaan dalam bidang hukum. Tetapi jika perbedaan dalam hukum saja diakui, maka perbedaan pandangan
dalam lapangan yang lebih terbuka seperti politik dan kemasyarakatan tentu bukan masalah lagi. Dan sudah pasti ada batasan tertentu yang tidak dapat diabaikan karena
akan menurunkan derajat ikhtilaf ini menjadi fitnah al-Bugat. Abdul Qadir Audah
96
menyebutkan bahwa perbuatan Bugat dipandang sebagai jarimah siasiyah politis, jika memenuhi empat unsur berikut:
1. Perbuatan itu ditujukan untuk menjatuhkan Kepala Negara raisul daulah atau tidak lagi mematuhi pemerintahannya.
2. Para pemberontak telah memiliki kekuatan dengan adanya orang yang mereka taati dalam hal ini pemimpinnya.
3. Memiliki alasan yang mereka yakini sebagai dorongan untuk memberontak. 4. Telah terjadi pemberontakan dalam bentuk perang saudara dengan segala
perencanaan dan persiapan.
96
Abdul Qadir Audah, Tasyri’ al-Jinai…, Jilid I, h. 101
Dalam konteks ke-Indonesiaan, konflik yang terjadi berupa pemberontakan, ancaman disintegrasi, dan penggulingan kekuasaan tidak terlepas dari unsur-unsur politik yang
kemudian menyebabkan munculnya kelompok Bugat walaupun tidak secara tegas dikatakan bahwa para pembuat makar terhadap pemerintah saat itu disebut Bugat.
Sejarah membuktikan bahwa dari Presiden-presiden Indonesia yang terdahulu dipaksa mengakhiri jabatannya dengan jalan “digulingkan” melalui berbagai macam
cara, ada yang secara berterang, dan ada pula yang secara halus karena sengaja dikemas dengan bungkus konstitusi. Namun apapun namanya, yang dialami oleh
Empat Presiden RI tersebut di atas adalah suatu “penggulingan”. Kasus yang terjadi di Aceh misalnya, Mutiara Fahmi dalam tesisnya menyebutkan
bahwa Gerakan Aceh Merdeka GAM telah memenuhi persyaratan disebut sebagai Bugat karena itu pemerintah dibenarkan untuk memerangi mereka, setelah melalui
persyaratan dan prosedur ketat yang telah digariskan dalam syariat Islam, namun bukan cara-cara milteristik.
97
Pada akhirnya, Bugat merupakan gerakan yang tidak dapat dipisahkan dari muatan- muatan politis yang terjadi dari sekedar menuntut akan suatu hal kepada pemerintah
sebagaimana yang dipahami dari makna umum term al-Bugat tersebut.
C. PERSPEKTIF HUKUM TENTANG BUGAT