KARAKTERISTIK TEPUNG ONGGOK MENGGUNAKAN TIGA METODE PENGERINGAN

(1)

ABSTRAK

KARAKTERISTIK TEPUNG ONGGOK MENGGUNAKAN TIGA METODE PENGERINGAN

Oleh

MARINDA SARI

Proses pengolahan singkong menjadi tepung tapioka menghasilkan limbah padat yang biasa disebut onggok (ampas singkong). Onggok dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan tepung. Tepung banyak digunakan sebagai bahan olahan sehari-hari seperti dalam pembuatan berbagai jenis kue. Pengolahan onggok menjadi tepung melalui tahap pengeringan. Pengeringan yang biasa dilakukan adalah pengeringan alami yang memerlukan waktu yang relatif lama dan sangat bergantung pada cuaca. Pengering hybrid biasa digunakan untuk mempersingkat waktu pengeringan.

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui karakteristik warna dan aroma tepung onggok yang dikeringkan menggunakan alat pengering hybrid dan pengeringan alami yang disukai konsumen dengan organoleptik terbaik. Penelitian ini dilakukan dengan tiga metode pengeringan menggunakan alat dan pengeringan alami sebagai kontrol. Pengeringan onggok dengan alat menggunakan energi matahari, pengeringan onggok dengan alat menggunakan


(2)

energi listrik, pengeringan onggok dengan alat menggunakan energi matahari ditambah energi listrik (hybrid) dan pengeringan alami.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Pengeringan dengan alat menggunakan energi matahari menghasilkan tepung onggok dengen kriteria warna yang cenderung lebih baik dibandingkan dengan metode pengeringan lainnya (2) Pengeringan dengan alat menggunakan energi listrik menghasilkan tepung onggok dengen kriteria aroma yang cenderung lebih baik dibandingkan dengan metode pengeringan lainnya (3) Produk terbaik berdasarkan uji organoleptik adalah tepung onggok yang dikeringkan dengan pengeringan alami dengan kriteria warna (agak putih), aroma (agak beraroma singkong), dan tingkat kesukaan (agak suka).


(3)

ABSTRACT

CHARACTERISTICS OF USE FLOUR ONGGOK THREE METHODS OF DRYING

By

MARINDA SARI

The production process of tapioca flour produces solid waste fiber called onggok. Onggok can be used as raw material for making onggok flour. The process of onggok flour production must throught a drying step. The conventional process takes a long time and extremely depends on the weather. The hybrid dryer (solar and electrical energy) is commonly uses to shorten the drying time.

The purpose of this study was to determine the characteristic of color and the flavor of onggok flour dried by hybrid dryer and natural dryer, as well as organoleptic properties preferred by consumers. This research was conducted with three drying methods: hybrid, electric, and solar. Onggok flour with natural drying was used as control.

The results showed that (1) drying process under solar dryer produced onggok flour with better color compared to those of other drying methods, (2) drying process using electric dryer produced onggok flour with better flavor compared to those of other drying methods,


(4)

(3) the best product based on organoleptik experiment is onggok flour dried by natural drying process with color criteria (a little white), the flavor criteria (slightly cassava flavored), and overall acceptance (a bit like).


(5)

KARAKTERISTIK TEPUNG ONGGOK MENGGUNAKAN TIGA METODE PENGERINGAN

Oleh MARINDA SARI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Teknologi Pertanian

pada

Jurusan Teknik Pertanian

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(6)

KARAKTERISTIK TEPUNG ONGGOK MENGGUNAKAN TIGA METODE PENGERINGAN

( Skripsi )

Oleh MARINDA SARI

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(7)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Ubi kayu ... 6

2. Alat pengering hybrid ... 10

3. Diagram alir penelitian ... 19

4. Grafik skor rata-rata panelis terhadap derajat putih tepung onggok ... 29

5. Grafik skor rata-rata panelis terhadap aroma tepung onggok ... 31

6. Grafik skor rata-rata panelis terhadap tingkat kesukaan tepung onggok ... 33

Lampiran 7. Onggok basah ... 40

8. Onggok kering ... 40

9. Pengeringan onggok dengan alat ... 41

10. Pengayakan tepung onggok... 41

11. Tepung sebelum diayak... 42

12. Tepung setelah diayak ... 42

13. Kett whitenessmeter ... 43

14. pH meter ... 43


(8)

16. Mesin penepung ... 44

17. Pengering hybrid (tampak samping) ... 45

18. Tepung onggok ... 45

19. Kipas penghisap ... 46

20. Kipas pendorong ... 46


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 3

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

A. Singkong ... 5

B. Onggok (Ampas tapioka) ... 6

C. Produk Olahan (Tepung) ... 7

D. Pengering Hybrid ... 9

E. Uji Organoleptik ... 12

F. Asam Sianida ... 13

III. METODELOGI PENELITIAN ... 15

A. Waktu dan Tempat ... 15

B. Alat dan Bahan ... 15

C. Metode Penelitian ... 15

D. Pembuatan Tepung Onggok ... 16

E. Parameter Pengamatan... 20

1. Derajat Putih ... 20

2. Derajat Keasaman (pH) ... 21

3. Uji Organoleptik atau Hedonik ... 22


(10)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 24

Produk Akhir (Tepung onggok) ... 24

A. Derajat Putih ... 24

B. Derajat Keasaman (pH)... 26

C. Uji Organoleptik atau Hedonik ... 28

1. Warna ... 28

2. Aroma ... 30

3. Tingkat Kesukaan ... 32

D. Penentuan Produk Terbaik ... 33

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 35

A. Simpulan ... 35

B. Saran ... 35

DAFTAR PUSTAKA ... 37

LAMPIRAN ... 39


(11)

(12)

i !

I

!

i

L

Judul

SMpsi

Ilarna f'lahasiswa

llqnor

Pokok Mahasisu? Jurusan

Rakultas

.:.

rlaBArnERISTlK

TEPUIIG oITGGOK FIENGGUNAI{AI{ TIGA ItIETCIDE

PENGEBINCAN gvt4r

h{&Ssrt

o814071050

Teknik Pertanian : Pertanian

farJl,

S.TP.,

![.$L,

NrP 197801O220n,312

1S1

_t-., ---,.:-.

Dr. Ir.

Agus

Harfdnto,

ll.P.


(13)

(14)

LEMBAR PERNYATAAI\I KEASLIAN IIASIL KARYA

Saya adakh Malinda Sari NPM" 0S!4071050. dengan ini menyatakan bahuna apa yang tstutis dfttsn kar1'6 ilmiah ini adalsh hroil kerja saya sendiri dengan arahan

dmbimbingan komisi serta berrdasarkan

@a

pengetahnm dan informasi yang

btah sayra drya*kan Kar5fir ilmiah ini tidak bedsi matsdal yang telah

dipubliknsikan sebeturmya

eu

dengan kda lain bukqnlah hasil dari plagrat dari

karya orang tain.

Dcmikianpe,tnyataaninisayabnratdandapatdipeftangg$Egian'abkan Apabiladi kemudianbari tsldapstkecuran$ndslg1n hasil kar1ra inf makasaya siap

mempefianggtmgtanmbkannya

Badar

Lmpung

Apdt 2013

Ymg mmbu$ p€,rnyataan


(15)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kotabumi Kecamatan Kotabumi Selatan Lampung Utara pada tanggal 15 September 1990, merupakan anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Bapak Herman Sidiq dan Ibu Farida Moerad.

Pendidikan yang pernah ditempuh adalah Sekolah Dasar (SD) Negeri 2 Gapura Kotabumi Lampung Utara (1996-2002), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 1 Kotabumi Lampung Utara (2002-2005), dan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 3 Kotabumi Lampung Utara (2005-2008).

Pada tahun 2008, penulis diterima sebagai mahasiswi di Universitas Lampung Fakultas Pertanian Jurusan Teknik Pertanian melalui jalur SNMPTN. Penulis pernah melaksanakan Praktik Umum di PT Perkebunan Nusantara VII (Persero) Unit Usaha Pematang Kiwah Natar Lampung Selatan, dengan judul

Mempelajari Proses Pengeringan Karet Remah (Crumb Rubber) di PT Perkebunan Nusantara VII (Persero) Unit Usaha Pematang Kiwah Natar, Kabupaten Lampung Selatan”.

Sebagai mahasiswa penulis aktif dalam organisasi Jurusan yaitu Himpunan Mahasiswa Teknik Pertanian (HIMATEKTAN) sebagai anggota kaderisasi.


(16)

SANWACANA

Puji syukur kehadirat Allah SWT, Rabb semesta alam yang telah melimpahkan taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beriring salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga akhir zaman.

Skripsi dengan judul “Karakteristik Tepung Onggok Menggunakan Tiga Metode Pengeringan” adalah salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Teknologi Pertanian di Universitas Lampung.

Dalam penyusunan skripsi ini telah melibatkan berbagai pihak, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ayah (Alm), Ibu dan adik dan duliku tersayang atas segala doa dan dukungannya.

2. Bapak Warji, S.Tp., M.Si. selaku Pembimbing I sekaligus Pembimbing Akademik yang telah banyak membantu menulis skripsi dan memberikan nasihat, masukan, saran serta pengarahan kepada penulis selama penulis menjadi mahasiswa dan dalam penyusunan skripsi ini.

3. Ibu Dwi Dian Novita, S.T.P., M.Si. selaku Pembimbing II yang telah memberikan nasihat, saran, serta pengarahan selama penyusunan skripsi.


(17)

4. Bapak Dr. Ir. Tamrin, M.S. selaku penguji yang telah memberikan kritik dan saran serta pengarahan kepada penulis selama penulis menyelesaikan skripsi. 5. Bapak Dr. Ir. Agus Haryanto, M.P. selaku Ketua Jurusan Teknik Pertanian

atas perhatian, kepedulian, arahan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi. 6. Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S. selaku Dekan Fakultas

Pertanian Universitas Lampung.

7. Seluruh Dosen dan Karyawan di Jurusan Teknik Pertanian atas bantuan, pengetahuan, teladan dan arahan yang telah diberikan.

8. Teman-teman baik dikampus maupun diluar, dikosan. Teman seperjuangan bik nanik, bik nisa terima kasih atas tumpangannya selama penyusunan skripsi, mbak puah, nita, dodow, leny, acit, anis, ira, sri buat yang bantuin selama penelitian dan yang belum Semangaattttt. Buat Andi Sutrisno, terima kasih karena selalu mendukung dan memberi semangat.

9. Teman-teman TEP angkatan 2008, 2009, 2007, 2006 dan seluruhnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu, terima kasih atas setiap doa, dukungan, semangat, motivasi dan kebersamaannya selama ini.

Penulis menyadari bahwa banyak terdapat kekeliruan dan kekurangan serta jauh dari kesempurnaan. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis, seluruh civitas akademika Keteknikan Pertanian serta masyarakat luas.

Bandar Lampung, April 2013 Penulis


(18)

MOTTO

“ Ya Allah Mudahkanlah jangan persukar. Ya Allah tiada

yang mudah selain yang Engkau mudahkan dan Engkau jadikan kesusahan itu mudah jika Engkau menghendakinya

menjadi mudah”

“ Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, maka

apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan) kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain dan hanya

kepada Tuhanlah hendaknya kamu berharap.”

( QS. Alam Nasyrah : 6-7)


(19)

Sujud syukurku kepada

ALLAH SWT

atas segala

Kuasa yang telah diberikan kepada hamba

Sebagai wujud ungkapan rasa cinta, kasih dan

sayang kupersembahkan karya kecil ini teruntuk

Ayah (Alm) dan Bunda Tercinta

Adikku Anim dan Duli Tersayang

Seluruh Keluarga Besar

Serta

Almamater Tercinta

Terima kasih karena sebagian hidup indahku

terukir olehmu


(20)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ubi kayu atau singkong (Manihot utilissima) merupakan bahan pangan yang banyak diproduksi di Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik (2012) bahwa produksi singkong pada tahun 2012 mencapai 23.922.075 ton. Jumlah produksi singkong yang cukup besar memungkinkan singkong diproduksi menjadi bahan pangan yang dapat mendampingi beras sebagai bentuk dari ketahanan pangan di Indonesia.

Singkong dapat dimanfaatkan secara optimal dengan mengolah singkong menjadi berbagai bahan olahan salah satunya adalah tepung. Pengolahan singkong menjadi tepung menghasilkan limbah padat berupa ampas singkong atau onggok. Limbah tersebut sangat menguntungkan sekiranya dapat dimanfaatkan menjadi bahan yang lebih berdayaguna. Onggok dapat dimanfaatkan menjadi tepung karena kandungan karbohidrat yang tersisa pada onggok masih cukup banyak (Retnowati dan Susanti, 2009). Kandungan karbohidrat pada onggok sebesar 65,9% (Kurniadi, 2010).

Prospek penjualan tepung maupun penggunaan tepung sampai saat ini dari segi pemasaran cukup menjanjikan dengan harga yang bersaing yaitu berkisar antara Rp. 5.500 – Rp. 6000 per kilogram untuk tepung tapioka sedangkan harga tepung onggok


(21)

berkisar antara Rp. 2000 – Rp. 2.500 per kilogram. Tepung onggok dapat menjadi tepung alternatif pengganti tepung tapioka dengan harga yang relatif lebih murah dibandingkan tepung tapioka. Tepung banyak digunakan sebagai bahan olahan sehari-hari seperti dalam pembuatan berbagai jenis kue.

Tepung onggok merupakan bahan pangan yang kaya akan karbohidrat. Karbohidrat

dalam tepung onggok yang dikonsumsi, agar tercerna dalam tubuh akan terpecah

menjadi glokusa. Glokusa merupakan senyawa yang dapat menyebabkan penyakit

salah satunya diabetes dan obesitas. Penyakit tersebut dapat dihindari dengan cara

pengaturan makanan dan diet. Cara tersebut dapat dilakukan dengan memilih jenis

makanan yang mengandung karbohidrat yang tepat dengan konsep indek glikemik

Indek glikemik menggambarkan kecepatan naiknya kadar glukosa darah setelah

pangan tersebut dikonsumsi. Indek glikemik berguna untuk menentukan respon

glukosa terhadap jenis makanan yang dimakan. Indek glikemik rendah sangat

dianjurkan bagi penderita diabetes dan obesitas agar makanan yang dikonsumsi tidak

terjadi pelonjakkan glukosa darah secara dratis. Indek glikemik memiliki sifat yang

mengenyangkan akan tetapi kecepatan penyerapan glukosa yang rendah atau lambat.

Tepung onggok juga rendah akan kalori dan lemak yang sangat baik bagi penderita

obesitas.

Salah satu tahapan dalam pembuatan tepung adalah pengeringan, dimana pengeringan itu bertujuan untuk mengurangi kadar air bahan sehingga umur simpan bahan menjadi lebih lama. Pengeringan itu sendiri dapat dilakukan dengan cara dijemur di bawah


(22)

sinar matahari atau menggunakan pengeringan buatan. Pengeringan secara alami banyak mengalami kendala dan dirasa kurang efektif. Pengeringan alami sangat bergantung pada cuaca dan bahan yang dikeringkan secara alami rentan terkena kotoran. Menurut Jarod (2011) telah di design alat pengering hybrid sebagai solusi masalah di atas. Alat pengering hybrid memiliki suhu yang lebih tinggi sehingga pengeringan lebih cepat dan ruangan pengering tertutup sehingga bahan yang dikeringkan relatif lebih bersih, maka dari itu dalam penelitian ini teknologi yang digunakan adalah pengeringan buatan yaitu alat pengering hybrid dengan alasan mempersingkat waktu agar lebih cepat dalam proses pengeringan onggok. Penggunaan alat pengering ini pun tidak tergantung cuaca dan tidak memerlukan tempat yang luas.

B. Perumusan Masalah

Mutu tepung onggok dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah bahan baku yang digunakan dan proses pengeringan dalam pengolahan onggok menjadi tepung. Pengolahan onggok menjadi tepung melalui tahap pengeringan. Pengeringan onggok dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pengeringan secara alami atau penjemuran dan pengeringan buatan menggunakan alat pengering. Pengeringan secara alami memerlukan waktu yang cukup lama karena sangat

bergantung pada cuaca. Pengeringan alami juga sangat rentan terhadap cemaran atau kotoran.


(23)

Alat pengering hybrid memiliki keunggulan seperti suhu lebih tinggi sehingga waktu relatif lebih cepat dibandingkan pengeringan alami, selain itu tidak memerlukan tempat yang luas dan ruang pengeringan tertutup sehingga produk yang dihasilkan relatif lebih bersih. Tepung onggok yang dihasilkan diharapkan menjadi tepung alternatif yang aman untuk dikonsumsi dan disukai masyarakat, oleh karena itu perlunya kajian mengenai mutu yang berkaitan dengan karakteristik tepung yaitu warna dan aroma tepung onggok yang dikeringkan dengan tiga metode pengeringan yaitu menggunakan alat pengering hybrid dan pengeringan alami atau penjemuran.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui karakteristik warna dan aroma tepung onggok yang dikeringkan menggunakan alat pengering hybrid dan pengeringan alami yang disukai konsumen dengan sifat organoleptik terbaik.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi ilmiah yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu dan tekhnologi pengolahan pangan, khususnya tentang karakteristik warna dan aroma tepung onggok yang dikering menggunakan alat pengering hybrid.


(24)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Singkong

Penyebaran ubi kayu atau singkong ke seluruh wilayah nusantara terjadi pada tahun 1914-1918. Pada tahun 1968, Indonesia menjadi negara pengghasil singkong nomor lima di dunia. Singkong dijadikan makanan pokok nomor tiga setelah padi dan jagung (Rukmana, 1997). Kandungan gizi singkong, gaplek, dan tepung tapioka dalam 100 gram bahan, kalorinya sebesar 154 untuk singkong, gaplek 338, sedangkan untuk tepung tapioka adalah 363 kalori, pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan gizi singkong, gaplek dan tepung tapioka (per 100 g bahan)

No Komposisi Singkong Gaplek Tepung tapioka

1. Kalori (kal) 146 338 362

2. Protein (g) 1,2 1,5 0,5

3. Lemak (g) 0,3 0,7 0,3

4. Karbohidrat (g) 34,7 81,3 86,9

5. Kalsium (mg) 33 80 0

6. Fosfor (mg) 40 60 0

7. Zat Besi (mg) 0,7 1,9 0

8. Vitamin A (SI) 0 0 0

9. Vitamin B1 (mg) 0,06 0,04 0

10. Vitamin C (mg) 30 0 0


(25)

Singkong yang tersedia di Lampung cukup banyak, sehingga industri pengolahan singkong di Lampung sangat berkembang pesat. Industri pengolahan singkong menggunakan singkong dalam kondisi yang baik. Singkong yang baik dalam artian singkong dalam keadaan segar dan tidak mengalami luka dan rusak. Singkong yang akan diolah biasanya ditumpuk terlebih dahulu disuatu tempat penampungan singkong yang terlihat seperti pada Gambar 1.

Gambar 1. Ubi kayu

B. Onggok (Ampas tapioka)

Ubi kayu merupakan tanaman penghasil pangan kedua terbesar setelah padi di

Indonesia, sehingga mempunyai prospek yang besar sebagai sumber karbohidrat

untuk bahan pangan dan keperluan industri.

Industri yang paling banyak menggunakan ubi kayu adalah industri tapioka.

Proses pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka menghasilkan produk


(26)

ubi kayu segar diperoleh sekitar 114 kg onggok (Ernie, 1989 dalam Kurniadi,

2010). Menurut Haroen (1993) dalam Kurniadi (2010) presentase dari produk

utama berupa tepung tapioka berkisar 20-24%, sementara limbah yang dihasilkan

selama proses pengolahan bertururt-turut untuk kulit luar, kulit dalam, dan onggok

adalah 2%, 15%, dan 5-15%. Setiap dari limnah tersebut dapat dimanfaatkan

menjadi produk olahan. Onggok itu sendiri masih mengandung karbohidrat yang

cukup tinggi, namun protein kasar dan lemaknya rendah. Komposisi kimia

onggok beragam, tergantung pada mutu bahan baku, efisiensi proses ekstraksi

pati, dan penanganan onggok tersebut (Ciptadi, 1983 dalam Kurniadi, 2010).

C. Produk Olahan (Tepung)

Ubi kayu dan ubi rambat mempunyai prospek yang cukup luas untuk dikembangkan sebagai substitusi beras dan untuk diolah menjadi makanan bergengsi. Menurut Rachman dan Ariani dalam Supriadi (2007) diperlukan dukungan pengembangan teknologi proses dan pengolahan serta strategi pemasaran yang baik untuk mengubah image pangan inferior menjadi pangan normal bahkan superior. Perubahan image tersebut dapat dilakukan dengan berbagai upaya, salah satunya dengan upaya peningkatan nilai tambah melalui agroindustri, selain meningkatkan pendapatan juga berperan dalam penyedian pangan yang beragam dan bermutu. Aspek keamanan, mutu dan keragaman merupakan kondisi yang harus dipenuhi dalam pemenuhan kebutuhan pangan penduduk secara cukup, merata dan terjangkau. Sumber daya alam yang melimpah di Indonesia cukup tersedia sehingga sangat baik untuk prospek pengembangan industri pangan di Indonesia. Pengembangan industri sebaiknya


(27)

memanfaatkan bahan baku dalam negeri dan menghasilkan produk-produk yang memiliki nilai tambah tinggi terutama produk siap saji, praktis dan

memperhatikan masalah mutu (Lukminto, 1997 dalam Supriadi, 2007).

Tabel 2. Standart mutu tepung singkong menurut SNI.

Sumber : SNI 01-2997-1992 dalam Rahman, 2007

Tepung yang diolah harus memperhatikan standar mutu seperti yang tertera di atas. Teknologi tepung merupakan salah satu proses alternatif produk setengah jadi yang dianjurkan karena lebih tahan lama disimpan, mudah dicampur atau dibuat komposit, diperkaya zat gizi atau difortifikasi, dibentuk dan lebih cepat

No Uraian Satuan Persyaratan

1. Keadaan -

a. bau - Khas singkong

b. rasa - Khas singkong

c. warna - Putih

2. Benda-benda asing - Tidak boleh ada

3. Derajat putih % b/b

(BaSO)4 = 100%

Minimal 85 Maksimal 1.5

4. Kadar abu %, b / b Maksimal 1,5

5. Kadar air %, b / b Minimal 12

6. Derajat asam ml N NaOH

100 gram

Maksimal 3

7. Asam sianida Mg/ kg Maksimal 3

8. Kehalusan % (lolos ayakan

80 mesh)

Minimal 90

9. Pati %, b / b Minimal 75

10. Bahan makanan tambahan Sesuai SNI 01-0222-1995 11. Cemaran mikroba

a. angka lempeng total Koloni

gram

Maksimal 1.0x10pangkat6

b. E.coli APM/gram < 3

c. kapang Koloni

gram

Maksimal 1.0x10pangkat4


(28)

dimasak sesuai tuntutan kehidupan modern yang serba praktis (Balit Pascapanen Pertanian, 2002 dalam Supriadi, 2007).

D. Pengering Hybrid

Pengeringan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu pengeringan secara alamiah dengan menggunakan sinar matahari dan pengeringan buatan dengan

menggunakan alat mekanis. Cara pengeringan yang dilakukan dengan

menggunakan alat mekanis yaitu pemanasan dengan menggunakan oven. Alat ini digunakan agar lebih efisien baik secara waktu maupun untuk menekan biaya produksi, karena tidak lagi tergantung pada keadaan cuaca, tidak harus

memerlukan tempat yang luas dan pengeringan dapat dikontrol. Suhu tinggi yang digunakan harus disesuaikan dengan keadaan masing-masing bahan yang

dikeringkan, sehingga bahan kering yang dihasilkan tidak dalam keadaan rusak. Pengeringan bertujuan untuk menurunkan kadar air suatu bahan sampai

memperoleh tingkat kadar air yang seimbang seperti yang diharapkan.

Pengeringan mekanis memerlukan energi untuk memanaskan bahan. Suhu yang digunakan untuk pengeringan semakin tinggi, maka makin tinggi energi yang dapat disuplai dan makin cepat laju pengeringannya. Pengeringan yang

menggunakan suhu yang tidak sesuai dengan keadaan bahan atau suhunya terlalu tinggi, akan mengakibatkan matang pada permukaan bahan sedangkan bagian dalam masih basah (case hardening). Air dalam bahan tidak lagi dapat menguap karena terhalang atau kecepatan pergerakan air bahan permukaan tidak seimbang. Pengontrolan suhu dan pengontrolan waktu pengeringan perlu dilakukan dengan


(29)

mengatur kontak alat pemanas atau oven, seperti udara panas yang dialirkan (Fatimah, 2008). Berikut disajikan gambar alat pengering hybrid.

Gambar 2. Alat pengering hybrid

Alat pengering hybrid tipe rak dapat digunakan untuk pengeringan bahan-bahan pangan, adapun spesifikasinya dijelaskan di bawah ini:

a. Ruang Pengering

Ruang pengering hasil rancangan terbuat dari rangka besi siku dan dinding transparan polycarbonate dengan ketebalan ± 1 mm. Ruang pengering berbentuk persegi panjang dengan ukuran dimensi 150 cm x 100cm x 130 cm menggunakan besi siku dengan ukuran tebal 5 mm dan lebar 5 cm. Ruang pengering diberi penutup atau atap melengkung dengan ukuran 190 cm x 137 cm dan tinggi dari rangka atas 22 cm. Pada salah satu sisinya, terdapat pintu pengeluaran. Di dalam ruang pengering terdapat dudukan rak pengering.


(30)

b. Rak Pengering

Rak pengering ini berjumlah 10 buah yang berbentuk persegi panjang dengan sisi 96 cm x 74 cm. Rak pengering dipasang bertingkat sebanyak lima tingkat. Salah satu rak disetiap tingkatnya terdapat celah berukuran 10 cm yang bertujuan untuk tempat lewatnya aliran udara panas yang dihasilkan oleh sinar matahari dan energi listrik sebagai sumber panas. Rak ini adalah tempat menaruh ubi parut yang akan dikeringkan. Pada rak pengering ini terdapat beberapa bagian penting antara lain rangka, kassa, dan pegangan. Pemasangan kassa pada rak pengering datar mengikuti bentuk rangka.

c. Pintu pemasukan dan pengeluaran

Pintu pemasukan dan pengeluaran merupakan bagian dari alat pengering pada sisi bagian depan alat. Pintu ini berfungsi sebagai tempat keluarnya masuknya rak pengering dengan dimensi 99 cm x 75 cm.

d. Kipas

Kipas yang digunakan pada alat pengering hybrid ini mempunyai dimensi 15 cm x 14 cm. Dan mempunyai spesifikasinya adalah 230V – 50/60 Hz, 14/12 W, 0,08/0,07 A. Digunakan dua buah kipas, kipas pertama dipasang pada sisi luar pada ruang pembakaran yang menghadap ke saluran udara hingga berfungsi sebagai penghembus udara panas yang dihasilkan ruang pembakaran (Gambar 21) untuk selanjutnya dihembuskan jika sumber panas yang digunakan adalah energi listrik dan jika menggunakan sinar matahari sebagai sumber panas, kipas ini berfungsi sebagai kipas penghisap. Kipas kedua dipasang pada salah satu sisi dinding alat pengering. Kipas ini berfungsi sebagai penghembus udara panas jika sumber panas yang digunakan adalah sinar matahari dan berfungsi sebagai kipas


(31)

penghisab jika sumber panas yang digunakan adalah energi listrik berupa elemen pemanas (Gambar 20). Elemen pemanas yang digunakan berupa kumparan. Elemen pemanas tersebut terdiri dari 3 set bahan baku elemen pemanas oven, yang masing-masing memiliki daya pemanas sebesar 600 watt (Jarod, 2011)

Menurut Makfoeld (1982) suhu pengeringan ubi kayu tidak boleh melebihi suhu gelatinasi patinya yaitu sekitar 70-80ºC, karena akan menyebabkan terjadinya kerusakan pada tepung yang dihasilkan sehingga warna tepung yang dihasilkan tidak begitu putih. Suhu semakin tinggi dan kecepatan aliran udara pengering, maka makin cepat proses pengeringan berlangsung. Makin tinggi suhu udara pengering maka makin besar energi panas yang dibawa udara, sehingga makin banyak jumlah massa cairan yang diuapkan dari permukaan bahan yang dikeringkan.

E. Uji Organoleptik

Uji organoleptik dilakukan untuk mengetahui tingkat penerimaan konsumen atau uji kesukaan atau hedonik terhadap aroma dan warna.

1. Aroma

Aroma didefinisikan sebagai sensasi bau yang ditimbulkan oleh rangsangan kimia senyawa volatil yang tercium oleh syaraf – syaraf oilfaktori yang berbeda

dirongga hidung ketika bahan pangan masuk ke mulut. Sensasi atau rangsangan tersebut senantiasa akan menimbulkan kelezatan yang dapat mempengaruhi tingkat atau daya terima panelis atau konsumen terhadap suatu produk pangan tertentu. Timbulnya aroma pada bahan yang berbeda tidak sama. Reaksi


(32)

browning enzimatik maupun non-enzimatik juga menghasilkan bau atau aroma yang kuat misalnya pencoklatan pada reaksi Maillard karena proses pemanasan. Reaksi milliard merupakan reaksi pencoklatan nonenzimatis. Reaksi ini

melibatkan senyawa karbonil yang dapat berasal baik dari gula pereduksi atau hasil oksidasi asam askorbat, hidrolisis pati dan oksidasi lipid. Oksidasi

melibatkan triasilgliserida yang umum terdapat pada bahan pangan atau fosfolipid yang ada di sebagian bahan pangan.

2. Warna

Warna merupakan salah satu faktor penentu tampilan suatu produk yang disukai oleh konsumen. Bahan makan yang dinilai bergizi, enak, dan teksturnya sangat baik tidak akan dimakan apabila memiliki warna yang tidak sedap dipandang atau memberi kesan telah menyimpang dari warna yang seharusnya. Warna juga dapat digunakan sebagai indikator kesegaran atau kematangan, baik atau tidaknya cara pencampuran atau cara pengolahan dapat ditandai dengan adanya warna yang seragam dan merata (Winarno, 1984).

F. Asam Sianida

Singkong mengandung racun berupa asam yang dalam jumlah besar cukup berbahaya. Racun singkong yang selama ini kita kenal adalah asam biru atau asam sianida. Daun maupun umbinya mengandung suatu glikosida cyanogenik, artinya suatu ikatan organik yang dapat menghasilkan racun biru yang bersifat sangat toksik (Sosrosoedirdjo, 1992).


(33)

Kandungan sianida dalam singkong sangat bervariasi. Kadar sianida rata-rata dalam singkong manis di bawah 50 mg/kg berat asal, sedangkan singkong pahit atau racun di atas 50 mg/kg. Menurut FAO, singkong dengan kadar 50 mg/kg masih aman untuk dikonsumsi manusia (Winarno, 1984).

Cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi kandungan asam sianida yang terdapat dalam singkong, yaitu dengan cara perendaman, pencucian, perebusan, pengukusan, penggorengan atau pengolahan lain, dengan adanya pengolahan dimungkinkan dapat mengurangi kadar sianida sehingga bila singkong dikonsumsi tidak akan membahayakan bagi tubuh (Sumartono, 1987 dalam Primasari, 2011). Menurut Primasari (2011) bahwa semakin lama waktu

perendaman singkong pada air semakin rendah kadar HCN dalam singkong segar, hal ini memungkin bahwa semakin lama waktu pengeringan singkong maka semakin rendah pula kadar HCN pada singkong.

Kupas kulit singkong sebelum diolah, direndam sebelum dimasak dan

difermentasi selama beberapa hari. Dengan perlakuan tersebut linamarin banyak yang rusak dan hidrogen sianidanya ikut terbuang keluar sehingga tinggal sekitar 10- 40 mg/kg (Winarno, 1984).

Asam sianida bebas yang terbentuk melalui proses hidrolisis mudah dihilangkan melalui proses pemerasan atau pengeringan karena dalam kondisi bebas asam sianida mudah larut dan menguap. Asam sianida merupakan senyawa racun yang mudah menguap, tidak berwarna dan sangat larut dalam air (Syafi’i dkk, 2008).


(34)

III. METODELOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Juli sampai Agustus 2012 di Laboratorium Mekanisasi Pertanian dan Rekayasa Bioproses dan Pasca Panen, Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.

B. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan duduk, alat pengering hybrid tipe rak, terpal, mesin penepung, dan ayakan 80 mesh. Bahan yang digunakan adalah onggok yang diambil dari PD. Semangat Jaya Kabupaten Pesawaran, Lampung. Sampel dapat dilihat pada Gambar 7 (Lampiran).

C. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tiga metode pengeringan. Ketiga metode pengeringan tersebut adalah :

A. Pengeringan onggok dengan alat menggunakan energi matahari B. Pengeringan onggok dengan alat menggunakan energi listrik

C. Pengeringan onggok dengan alat menggunakan energi matahari dan energi listrik (hybrid)


(35)

Sebagai kontrol dilakukan pengeringan secara alami. Onggok yang digunakan dalam setiap pengeringan sebanyak 5 kg, selanjutnya dilakukan pengamatan berupa derajat putih, keasaman (pH), dan uji organoleptik.

D. Pembuatan Tepung Onggok

Tahap pertama yang dilakukan dalam pembuatan tepung onggok yakni

menyiapkan bahan dasarnya yaitu onggok. Kemudian onggok ditimbang untuk mengetahui berat awal onggok sebelum dikeringkan. Onggok yang akan dikeringkan dengan alat dibagi menjadi sepuluh bagian dengan masing-masing bagian adalah 500 g onggok yang kemudian dimasukkan dalam ruang pengering. Siapkan 5 kg onggok lainnya yang akan dikeringakan dengan pengeringan alami.

Tahap persiapan alat, hal yang harus dilakukan adalah memeriksa setiap bagian alat dapat berfungsi dengan baik dan siapkan terpal guna pengeringan alami atau penjemuran. Langkah pertama untuk pengeringan dengan alat, onggok basah diletakkan pada masing-masing rak sebanyak 500 g secara merata dengan ketebalan 1 cm, kemudian dikeringkan dengan pengeringan energi matahari, pengeringan energi listrik, dan pengeringan hybrid. Untuk penjemuran alami langkah pertama adalah letakkan onggok basah di atas terpal sebanyak 5 kg, kemudian ratakan dangan ketebalan 1 cm. Setelah didapat onggok kering seperti pada Gambar 8 (Lampiran), kemudian dilakukan proses penggilingan dengan menggunakan mesin penepung Gambar 16 (Lampiran). Setelah itu diayak dengan menggunakan ayakan 80 mesh Gambar 15 (Lampiran). Kemudian tepung onggok ditimbang untuk mengetahui berat akhirnya. Proses pembuatan tepung onggok


(36)

dapat dilihat pada Gambar 3. Pengeringan onggok, pengayakan hingga tepung onggok dapat dilihat pada Gambar 9 sampai 12 (Lampiran).


(37)

Mulai

Onggok basah

Ditimbang 5 kg berat awal onggok sebelum dikeringkan

Pengeringan alami Pengeringan dengan alat (hybrid)

Diletakkan di atas terpal dengan ketebalan 1 cm

Dibagi menjadi 10 bagian, setiap bagian 500g onggok dengan ketebalan 1 cm

Pengeringan dengan matahari

Energi matahari Energi listrik Energi matahari dan listrik (hybrid)

Onggok kering

Penggilingan sampel

Tepung ubi kayu hasil giling

Pengayakan

Tepung onggok


(38)

Gambar 1. Diagram alir penelitian A

Uji laboratorium Uji organoleptik

Derajat putih Derajat keasaman Warna Aroma

Analisis data


(39)

E. Parameter Pengamatan

1. Derajat Putih

Pengukuran derajat putih tepung dengan menggunakan alat Digital Kett Whitenessmeter dapat dilihat pada Gambar 13 (Lampiran).

Menentukan derajat putih berdasarkan metode SNI (1994) dalam fatimah (2008), dengan menggunakan alat Digital Kett Whitenessmeter dengan standar BaSO4 =

100% Adapun prosedurnya adalah:

1. Dibuka over atas dan dipilih filter yang cocok dengan sampel (untuk pati digunakan filter berwarna biru)

2. Kemudian tekan tombol untuk memilih warna filter yang sesuai dengan filter yang digunakan (filter biru) dengan standarisasi 88,8 %

3. Setelah itu dilakukan pencocokan nilai pada bagian belakang alat dengan menekan tombol (+) atau (-) sampai sesuai dengan bilangan pada bagian belakang calibration plate

4. Calibration plate diletakkan pada sampling dish dengan permukaan putih menghadap keatas, ditutup dengan glass filter, dan diletakkan pada sampling case

5. sampling case yang sudah siap dimasukkan kedalam sample compartment sampai berhenti.

6. Kemudian ditunggu sekitar 5 menit sampai sinyal wait mati 7. Digital panel akan memunculkan angka sesuai dengan filter yang


(40)

8. Sampling case dilepas dan dimasukkan sampel kedalam sampling dish secukupnya serta ditutup dengan glass filter sampai rapat.

9. Sampling case dimasukkan kedalam sampling compartment dan nilai derajat putih akan muncul pada alat digital panel. Nilai yang terbaca sebagai nilai derajat putih tepung.

2. Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman atau pH digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman (atau kebasaan yang dimiliki oleh suatu larutan, yang dimaksudkan “keasaman” di sini adalah konsentrasi ion hidrogen (H+) dalam pelarut air. Nilai pH berkisar dari 0 hingga 14. Suatu larutan dikatakan netral apabila memiliki nilai pH=7. Nilai pH lebih dari 7 menunjukkan larutan memiliki sifat basa, sedangkan nilai pH kurang dari 7 menunjukkan sifat asam. Perbedaan pH disebabkan perbedaan jumlah asam organik antar varietas (Jugenheimer, 1976 dalam Aggriyawan. 2010). Setiap varietas singkong akan memiliki pH yang berda-beda. Menurut Fannema (1996) dalam Anggriyawan, 2010, sejumlah kecil asam organik terdapat pada tanaman sebagai hasil metabolisme lanjut atau dalam siklus TCA atau glikosilat yang terakumulasi dalam vakuola tanaman. Akumulasi asam organik ini akan memberikan keasaman dan mempengaruhi nilai pH tepung.

Pengukuran derajat keasaman menggunakan alat pH meter dapat dilihat pada Gambar 14 (Lampiran). Sebelum digunakan, alat distandarisasi dahulu dengan menggunakan larutan buffer pH 4.0 dan pH 7.0. Formula minuman (sampel) diambil + 100 ml dalam gelas piala. Elektroda pH meter dicelupkan ke dalam


(41)

sampel, kemudian dilakukan pembacaan pH sampel setelah dicapai nilai yang konstan.

3. Uji Organoleptik atau Hedonik

Pengamatan untuk menentukan kualitas tepung, dilakukan dengan uji sensori. Kualitas produk tepung onggok yang dihasilkan ditentukan oleh beberapa penilaian, maka penilaian yang dilakukan adalah penilaian terhadap kualitas dari produk akhir yang dihasilkan yaitu dengan cara menggunakan uji organoleptik menggunakan panel terlatih maupun tidak terlatih dengan bersifat kuantitatif data dianalisis secara subjektif, tidak ada keharusan untuk menggunakan panelis terlatih untuk mengevaluasi daya terima suatu sampel, sebab masalah daya terima bersifat subyektif saja.

Hasil uji sensori dibagi menjadi tiga pengamatan untuk tiap-tiap perlakuan, yaitu pengamatan warna tepung, aroma tepung dan tingkat kesukaan untuk perlakuan metode pengeringan. Uji ini melibatkan 30 orang panelis. Setiap panelis diminta untuk memberikan penilaian yang meliputi warna, aroma, dan tingkat kesukaan menurut skala hedonik terhadap sampel tepung ongok.

Penelitian ini dilakukan dalam uji hedonik atau uji kesukaan konsumen yaitu dengan cara bahan yang akan diuji disiapkan dengan kode, panelis diminta menilai produk sesuai tingkatan kesukaan, meliputi warna dan aroma. Skala penilaian dapat dilihat pada Tabel 3.


(42)

Tabel 1. Keterangan konversi angka (skor)

F. Analisis Data

Analisis data dilakukan secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.

No Uji Konversi Angka ( Skor )

1 2 3 4

1. Warna Tidak putih Agak putih Putih Sangat putih 2. Aroma

Tidak beraroma singkong

Agak beraroma singkong

Beraroma singkong

Sangat beraroma singkong 3. Tingkat


(43)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Pengeringan dengan alat menggunakan energi matahari menghasilkan tepung onggok dengen kriteria warna yang cenderung lebih baik dibandingkan dengan metode pengeringan lainnya.

2. Pengeringan dengan alat menggunakan energi listrik menghasilkan tepung onggok dengen kriteria aroma yang cenderung lebih baik dibandingkan dengan metode pengeringan lainnya.

3. Produk terbaik berdasarkan uji organoleptik adalah tepung onggok yang dikeringkan dengan pengeringan alami dengan kriteria warna (agak putih), aroma (agak beraroma singkong), dan tingkat kesukaan (agak suka).

B. Saran

Perlunya pertukaran posisi rak pengeringan agar keringnya bahan yang dikeringkan dapat merata.


(44)

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 2012. Statistik Industrial Indonesia 2012. Jakarta. Badan Pusat Statistik.

Direktorat Gizi Depkes RI. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1981. Dalam : Rukman, R. 1997. Ubi Kayu:Budi Daya dan Pasca Panen. Kansius. Yogyakarta. 66 hlm.

Fatimah, V. 2008. Laju Pengeringan Singkong Parut Pres dan Uji Mutu Tepung Casava pada Pembuatan Tepung Casava dari Singkong Segar. (Skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung. 82 hlm.

Jarod. 2011. Rancang Bangun Alat Pengering Sistem Hybrid Untuk

Mengeringkan Dodol Rumput Laut. (Skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung. 89 hlm.

Kurniadi, T. 2010. Kopolimerisasi Grafting Monomer Asam Akrilat Pada

Onggok Singkong dan Karakteristiknya. (Tesis). Institut Pertanian Bogor. Bogor. 50 hlm.

Makfoeld, D. 1982. Deskriptif Pengolahan Hasil Nabati. Agritech. Yogyakarta. 117 hlm

Rahman, M. 2007. Mempelajari Karakteristik Kimia dan Fisik Tepung Tapioka dan Mocal sebagai Penyulut Kacang pada Produk Kacang Salut. (Skripsi). Institut Pertanian Bogor. Bogor. 82 hlm.

Retnowati, D dan R. Susanti. 2009. Pemanfaatan limbah padat ampas singkong dan lindur sebagai bahan baku pembuatan etanol. (Tugas Akhir). Teknik Kimia Universitas Diponegoro. Semarang.

Rukmana, R. 1997. Ubi Kayu:Budi Daya dan Pasca Panen. Kansius. Yogyakarta. 66 hlm.

Anggriyawan, R. 2010. Pengaruh Metode Penggilingan Terhadap Sifat Fisik, Kimia, dan Fungsional Tepung Jagung Kuning Hibrida. (Skripsi).

Kementrian Pendidikan Nasional. Universitas Jenderal Soedirman Fakultas Pertanian. Purwokerto. 143 hlm.


(45)

Sostrosoedirdjo, R. S. 1992. Bercocok Tanam Ketela Pohon. Jakarta : CV. Yasaguna.

Supriadi, H. 2007. Potensi Kendala dan Peluang Pengembangan Agroindustri Berbasis Pangan Lokal Ubi Kayu.

Ntb.litbang.deptan.go.id/Ind/phocadownload/prosiding/2007/ 7_sosek.pdf. 19 April 2013.

Syafi’i, I., Harijono, dan E. Martati. 2008. Detoksifikasi umbi gadung (Dioscorea

hispida dennst) dengan pengasaman dan pemanasan pada pembuatan tepung. Jurnal Teknologi Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang 10(1): 62-68.

Primasari, A. 2011. Pengaruh Variasi Waktu Perendaman Terhadap Kandungan HCN pada Ketela Karet (Manihot Glaziovii Muell). (Skripsi). Universitas Muhammadiyah Semarang. Semarang.

Winarno, F.G. 1984. Kimia Pangan dan Gizi. PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 251 hlm.


(1)

8. Sampling case dilepas dan dimasukkan sampel kedalam sampling dish secukupnya serta ditutup dengan glass filter sampai rapat.

9. Sampling case dimasukkan kedalam sampling compartment dan nilai derajat putih akan muncul pada alat digital panel. Nilai yang terbaca sebagai nilai derajat putih tepung.

2. Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman atau pH digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman (atau kebasaan yang dimiliki oleh suatu larutan, yang dimaksudkan “keasaman” di sini adalah konsentrasi ion hidrogen (H+) dalam pelarut air. Nilai pH berkisar dari 0 hingga 14. Suatu larutan dikatakan netral apabila memiliki nilai pH=7. Nilai pH lebih dari 7 menunjukkan larutan memiliki sifat basa, sedangkan nilai pH kurang dari 7 menunjukkan sifat asam. Perbedaan pH disebabkan perbedaan jumlah asam organik antar varietas (Jugenheimer, 1976 dalam Aggriyawan. 2010). Setiap varietas singkong akan memiliki pH yang berda-beda. Menurut Fannema (1996) dalam Anggriyawan, 2010, sejumlah kecil asam organik terdapat pada tanaman sebagai hasil metabolisme lanjut atau dalam siklus TCA atau glikosilat yang terakumulasi dalam vakuola tanaman. Akumulasi asam organik ini akan memberikan keasaman dan mempengaruhi nilai pH tepung.

Pengukuran derajat keasaman menggunakan alat pH meter dapat dilihat pada Gambar 14 (Lampiran). Sebelum digunakan, alat distandarisasi dahulu dengan menggunakan larutan buffer pH 4.0 dan pH 7.0. Formula minuman (sampel) diambil + 100 ml dalam gelas piala. Elektroda pH meter dicelupkan ke dalam


(2)

sampel, kemudian dilakukan pembacaan pH sampel setelah dicapai nilai yang konstan.

3. Uji Organoleptik atau Hedonik

Pengamatan untuk menentukan kualitas tepung, dilakukan dengan uji sensori. Kualitas produk tepung onggok yang dihasilkan ditentukan oleh beberapa penilaian, maka penilaian yang dilakukan adalah penilaian terhadap kualitas dari produk akhir yang dihasilkan yaitu dengan cara menggunakan uji organoleptik menggunakan panel terlatih maupun tidak terlatih dengan bersifat kuantitatif data dianalisis secara subjektif, tidak ada keharusan untuk menggunakan panelis terlatih untuk mengevaluasi daya terima suatu sampel, sebab masalah daya terima bersifat subyektif saja.

Hasil uji sensori dibagi menjadi tiga pengamatan untuk tiap-tiap perlakuan, yaitu pengamatan warna tepung, aroma tepung dan tingkat kesukaan untuk perlakuan metode pengeringan. Uji ini melibatkan 30 orang panelis. Setiap panelis diminta untuk memberikan penilaian yang meliputi warna, aroma, dan tingkat kesukaan menurut skala hedonik terhadap sampel tepung ongok.

Penelitian ini dilakukan dalam uji hedonik atau uji kesukaan konsumen yaitu dengan cara bahan yang akan diuji disiapkan dengan kode, panelis diminta menilai produk sesuai tingkatan kesukaan, meliputi warna dan aroma. Skala penilaian dapat dilihat pada Tabel 3.


(3)

Tabel 1. Keterangan konversi angka (skor)

F. Analisis Data

Analisis data dilakukan secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.

No Uji Konversi Angka ( Skor )

1 2 3 4

1. Warna Tidak putih Agak putih Putih Sangat putih 2. Aroma

Tidak beraroma singkong

Agak beraroma singkong

Beraroma singkong

Sangat beraroma singkong 3. Tingkat


(4)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Pengeringan dengan alat menggunakan energi matahari menghasilkan tepung onggok dengen kriteria warna yang cenderung lebih baik dibandingkan dengan metode pengeringan lainnya.

2. Pengeringan dengan alat menggunakan energi listrik menghasilkan tepung onggok dengen kriteria aroma yang cenderung lebih baik dibandingkan dengan metode pengeringan lainnya.

3. Produk terbaik berdasarkan uji organoleptik adalah tepung onggok yang dikeringkan dengan pengeringan alami dengan kriteria warna (agak putih), aroma (agak beraroma singkong), dan tingkat kesukaan (agak suka).

B. Saran

Perlunya pertukaran posisi rak pengeringan agar keringnya bahan yang dikeringkan dapat merata.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 2012. Statistik Industrial Indonesia 2012. Jakarta. Badan Pusat Statistik.

Direktorat Gizi Depkes RI. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1981. Dalam : Rukman, R. 1997. Ubi Kayu:Budi Daya dan Pasca Panen. Kansius. Yogyakarta. 66 hlm.

Fatimah, V. 2008. Laju Pengeringan Singkong Parut Pres dan Uji Mutu Tepung Casava pada Pembuatan Tepung Casava dari Singkong Segar. (Skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung. 82 hlm.

Jarod. 2011. Rancang Bangun Alat Pengering Sistem Hybrid Untuk

Mengeringkan Dodol Rumput Laut. (Skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung. 89 hlm.

Kurniadi, T. 2010. Kopolimerisasi Grafting Monomer Asam Akrilat Pada

Onggok Singkong dan Karakteristiknya. (Tesis). Institut Pertanian Bogor. Bogor. 50 hlm.

Makfoeld, D. 1982. Deskriptif Pengolahan Hasil Nabati. Agritech. Yogyakarta. 117 hlm

Rahman, M. 2007. Mempelajari Karakteristik Kimia dan Fisik Tepung Tapioka dan Mocal sebagai Penyulut Kacang pada Produk Kacang Salut. (Skripsi). Institut Pertanian Bogor. Bogor. 82 hlm.

Retnowati, D dan R. Susanti. 2009. Pemanfaatan limbah padat ampas singkong dan lindur sebagai bahan baku pembuatan etanol. (Tugas Akhir). Teknik Kimia Universitas Diponegoro. Semarang.

Rukmana, R. 1997. Ubi Kayu:Budi Daya dan Pasca Panen. Kansius. Yogyakarta. 66 hlm.

Anggriyawan, R. 2010. Pengaruh Metode Penggilingan Terhadap Sifat Fisik, Kimia, dan Fungsional Tepung Jagung Kuning Hibrida. (Skripsi).

Kementrian Pendidikan Nasional. Universitas Jenderal Soedirman Fakultas Pertanian. Purwokerto. 143 hlm.


(6)

Sostrosoedirdjo, R. S. 1992. Bercocok Tanam Ketela Pohon. Jakarta : CV. Yasaguna.

Supriadi, H. 2007. Potensi Kendala dan Peluang Pengembangan Agroindustri Berbasis Pangan Lokal Ubi Kayu.

Ntb.litbang.deptan.go.id/Ind/phocadownload/prosiding/2007/ 7_sosek.pdf. 19 April 2013.

Syafi’i, I., Harijono, dan E. Martati. 2008. Detoksifikasi umbi gadung (Dioscorea

hispida dennst) dengan pengasaman dan pemanasan pada pembuatan tepung. Jurnal Teknologi Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang 10(1): 62-68.

Primasari, A. 2011. Pengaruh Variasi Waktu Perendaman Terhadap Kandungan HCN pada Ketela Karet (Manihot Glaziovii Muell). (Skripsi). Universitas Muhammadiyah Semarang. Semarang.

Winarno, F.G. 1984. Kimia Pangan dan Gizi. PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 251 hlm.