Wittgenstein I : Tractatus Logico Philosophus

Sewaktu Perang Dunia I, ia menjadi sukarelawan untuk tentara Austria, di dalam tugasnya sebagai sukarelawan itu, ia menulis buku tentang filsafat yang diselesaikannya pada tahun 1918. Dan ketika ia ditahan oleh tentara Italia, ia mengirim tulisannya itu kepada Frege dan Russell. Hal inilah yang membuat Wittgenstein dibebaskan oleh Russell. Ia menulis sebuah karya yang merupakan hasil dari perbincangannya dengan Russell, yaitu Logischphilosophiche Abhandlungen. Lalu tulisan ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Tractatus Logico Philosophus yang pada kata pengantarnya ditulis oleh Russell. Buku inilah yang sangat mempengaruhi kelompok Lingkaran Wina. Buku selanjutnya yang ia tulis adalah Philosophical Investigation, buku ini ia selesaikan pada tahun 1947. Buku ini berisi kritik terhadapa pemahaman dirinya sendiri terhadap isi dari Tractatus, maka dari itu saat ini, untuk mempermudah mengerti pemikiran Wittgenstein digunakan istilah Wittgenstein I Tractatus Logico Philosophus, dan Wittgenstein II Philosophical Investigation. Pada sebelum akhir kehidupannya ia sering sekali mengalami depresi, dikarenakan oleh penyakit jiwa yang ia alami, dan juga ketakutannya terhadap penyakit jiwa itu. Menurut Wittgenstein, hanya dengan berfilsafat ia bisa mangatasi depresinya itu. Kata-kata terakhir yang ia katakan adalah “Tell them I’ve had a Wonderful life” 1

3. Wittgenstein I : Tractatus Logico Philosophus

Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa bukti Wittgenstein I adalah bukunya yang berjudul Tractatus Logico Philosophus. Pada kata pengantar buku tersebut tertulis “Perhaps this book will be understood only by someone who has himself already had the thoughts that are expressed in it--or at least similar thoughts.” 2 . Hal ini ingin menjelaskan bahwa buku ini sebenarnya bisa dimengerti ketika kita mempunyai pengalaman. Hal ini bisa menjelaskan bahwa pemikiran Wittgenstein I berlandaskan pada pengalaman manusia. Isi buku Tractatus sebenarnya tidak menjelaskan teori apapun, tapi isinya lebih ke pengungkapan dan penggunaan bahasa sehingga bahasa itu bisa memiliki makna. Teori Wittgenstein I sangat mirip dengan atomisme logis Bertrand Russel. Di dalam pengantarnya tertulis “The whole sense of the book might be summed up the following words: what can be said at all can be said clearly, and what we cannot talk about we must pass over in silence.” 3 . hal ini menjelaskan bahwa apa yang bisa dikatakan berarti harus bisa dijelaskan secara 1 Filsafat Barat Kontemporer Jerman-Barat, Jakarta, 2002, hlm 44 2 Tractatus Logico Philosophus, Routledge, Inggris, 2001, hlm 2 3 Tractatus Logico Philosophus, Routledge, Inggris, 2001, hlm 2 faktual, dan apa yang tidak bisa dijelaskan berarti tidak memiliki makna, jadi lebih baik diam ketika terdapat bahasa yang tidak bisa dijelaskan. Inti pemikiran dari Wittgenstein I adalah picture theory yang bisa dianggap sebagai teori pemaknaan bahasa. Wittgenstein menjelaskan bahwa bahasa itu harus menggambarkan realitas yang ada, dan makna dari bahasa itu akan timbul dari realitas tersebut. Contohnya adalah apabila polisi melakukan olah TKP bukan di tempat kejadian, polisi akan menggunakan sesuatu benda yang bisa mengungkapkan kejadian yang sebenarnya terjadi. Hal ini menyebutkan bahwa bahasa merupakan analogi dari realitas. Di dalam penjelasannya Wittgenstein menjelaskan bahwa proposisi itu terdiri dari nama- nama, dan nama-nama itu menunjuk kepada suatu obyek di dalam realitas. Namun menurut Wittgenstein nama itu sendiri tidak memiliki makna, nama itu tidak bisa dikatakan benar atau salah di dalam penggunaannya. Namun ketika nama itu sudah masuk ke dalam proposisi maka nama itu secara langsung memiliki makna. Di dalam bukunya yaitu Tractatus Wittgenstein sendiri tidak menjelaskan apa yang disebut nama itu sendiri. Tapi menurut saya yang dimaksudkan Wittgenstein tentang nama itu contohnya seperti kursi, kita tahu kursi itu ada di dalam realitas kita, namun apabila kursi itu berdiri sendiri tanpa ada penjelasan maka kita tidak tahu kursi apakah itu. Namun ketika kita katakan kursi yang berwarna merah itu biasa digunakan untuk duduk tamu. Maka kita mengerti makna kursi itu sendiri dan tahu kursi mana yang dimaksud. Konsekuensi picture theory milik Wittgenstein adalah bahwa proposisi metafisis itu tidak bermakna, karena secara relaitas tidak bisa ditunjuk. Maka dari itu Wittgenstein bisa dianggap sebagai anti-metafisika. Pada akhir dari Tractatus ia menjelaskan bahwa ada beberapa hal yang dianggap “mistis”, yaitu 1. Subyek, The subject does not belong to the world: rather, it is a limit of the world 4 . Hal ini ingin menunjukkan bahwa sebenarnya kita yang menggunakan bahasa ini tidak termasuk dari dunia dikarenakan kita menggambarkan dunia dan seharusnya kita berada di luar dunia 2. Kematian, Death is not an event in life: we do not live to experience death 5 . Kematian bukanlah bagian dari kejadian-kejadian, jadi mana mungkin kematian itu bisa dijelaskan dengan bahasa. Kematian adalah batas dunia dari yang tiada. 4 Tractatus Logico Philosophus, 5.632 5 Tractatus Logico Philosophus, 6.4311 3. Allah, God does not reveal himself in the world 6 . Allah tidak dapat dipandang bahwa Ia berada di dalam dunia. Dan apabila Allah itu berada di dalam dunia, seharusnya Allah itu mempunyai makna, tapi kita masih tidak mengetahui makna Allah itu sendiri. 4. Bahasa, My propositions are elucidatory in this way: he who understands me finally recognizes them as senseless, when he has climbed out through them, on them, over them. He must so to speak throw away the ladder, after he has climbed up on it. 7 . Bahasa itu tidak mungkin bisa menggambarkan dirinya sendiri. Bahasa itu seperti cermin, jadi tidak mungkin cermin bisa memantulkan bayangannya sendiri. Dari penjelasan ini sebenarnya jelas bahwa Tractatus itu bukan berusaha menjelaskan bahasa, namun ingin menjelaskan bahwa buku tersebut itu tidak bermakna. Ia hanya ingin menunjukkan dunia lewat bahasa.

4. Wittgenstein II : Philosophical Investigations