Qawl Jadid Wittgenstein: Sebuah Presentasi atas Language Game

  

QAWL JADID WITTGENSTEIN:

Sebuah Presentasi atas Language Game

Makalah Dipresentasikan pada Seminar Kelas

Mata Kuliah Filsafat Epistmologi

  

Penulis:

Sokhi Huda

  

(NIM: F0.1.4.98.42)

Dosen Pembimbing:

DR. A. Khozin Afandi, MA.

  Program Pascasarjana

Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Desember 1999

QAWL JADID WITTGENSTEIN:

  • *

    Sebuah Presentasi atas Language Game

  Oleh: Sokhi Huda

  Jangan sekali-kali anda bertanya kepada Wittgenstein tentang apa arti sebuah kata, tetapi bagaimana sebuah kata digunakan. (Sokhi Huda)

A. Pendahuluan

  Ludwig Josef Johan Wittgenstein (1889-1951) adalah tokoh terkemuka filsafat

  1

  analitik . Karena aliran ini meminati analsis atas kalimat-kalimat, proposisi-proposisi dan juga logika, maka ia masyhur dengan gelar “analisis bahasa” (linguistic analysis),

  2

  salah satu aliran yang paling berpengaruh pada abad keduapuluh ini. Filsafat analitik, yang berasal dari Vienna Circle (Austria), berkembang hingga ke luar Jerman, terutama ke Inggris dan Polandia. Pada umumnya, para filosof analitik menolak metafisika, karena mereka sependapat bahwa metafisika tidak dapat “dipertanggungjawabkan” secara ilmiah. Ada dua metode yang digunakannya, yaitu: (1) verifikasi atau konfirmasi dan

  3 (2) klarifikasi.

  Filsafat analitik bahasa Wittgenstein terbagi ke dalam dua kurun, yakni Qawl

  

Qadim (kurun I) dan Qawl Jadid (kurun II). Periode I sebelum tahun 1930, yang

  dikenal lewat karya Tractus Logico-Philosophicus (1921), mempengaruhi lingkaran Wina dan Neopositivisme di Inggris. Periode II sesudah tahun 1930, yang masyhur

  4 melalui karya Philosophical Investigations (terbit setelah ia meninggal).

  Dengan latar di atas, makalah ini sengaja menggarap lahan Qawl Jadid filsafat analitik Wittgenstein. Penentuan garapan ini pada awalnya lebih ditentukan oleh alasan

  • Makalah dipresentasikan pada seminar kelas mata kuliah Filsafat Epistmologi, Program

    Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, Desember 1999, dalam bimbingan DR. A. Khozin Afandi,

    MA.
  • 1 Asmoro Acdmad, Filsafat Umum (Jakarta: Raja Grafindo Press, 1997), 125. Lihat juga FX.

    Mudji Sutrisno dan F. Budi Hardiman, ed., Para Filsuf Penentu Gerak Zaman Yogyakarta, Kanisius,

    1992), 93-94, bahwa Wittgenstein lahir di Wina dan wafat di Cambridge, seorang keturunan Yahudi

    dari keluarga kaya dan berpengaruh terhadap kehidupan ntelektual di Wina. Tokoh-tokoh lainnya

    adalah Bertrand Russel, Ramsey, Searle, dan Austin. 2 3 Sutrisno dan Hardiman, Para Filsuf..., 93.

      Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1996), 121. Metode (prinsip) teknis jobs sharing-kemitraan daripada alasan substansial komposisi. Meskipun demikian, alasan substansial terwakili oleh motto di atas.

      Pada qawl jadid-nya, Wittgenstein melakukan koreksi atas karya qawl qadim- nya. Dalam hal ini ia beralih dari teori mosaik (picture) ke teori makna dalam penggunaan dan permainan bahasa (language game). Untuk itu, penulis mengajukan sejumlah pertanyaan yang pantas untuk ukuran filsafat epistemologi:

      1. Konsep apa yang mendasari permainan bahasa?

      2. Apa dan bagaimana permainan bahasa itu?

      3. Bagaimana menentukan batas-batas permainan?

      4. Apa tugas filsafat dan filosof dalam permainan bahasa?

    B. Konsep Dasar Filsafat Analitik Wittgenstein

      Terdapat tiga poin pokok yang berkenaan dengan konsep dasar filsafat analitik wittgenstein. Pertama, ajaran pokoknya adalah bahwa filsafat tidak dapat melampaui batas-batas bahasa. Filsafat tidak dapat mendeskripsikan atau menjelaskan bagaimana

      5 bahasa disangkutkan dengan dunia. Hubungan ini hanya dapat ditunjukkan.

      Kedua, tujuan filsafat analitik adalah untuk menerjemahkan semua pernyataan- pernyataan yang rumit dan deskriptif menjadi proposisi-proposisi sederhana, kemudian diubah menjadi satuan-satuan yang penghabisan dan tidak dapat dianalisis

      6

      lagi yang merupakan satuan-satuan yang sederhana dari dunia sesungguhnya. Bahkan Wittgenstein mencita-citakan suatu bahasa yang ideal, lengkap, formal, dan dapat memberikan kemungkinan bagi penyelesaian masalah-masalah kefilsafatan. Usaha untuk mencapai cita-cita itu, dibuktikannya dengan sumbangannya yang terbesar

      7 dalam filsafat, yaitu pemikirannya tetang pentingnya bahasa.

      Tujuan dan cita-cita Wittgenstein itu dapat dipahami kaitannya dengan pengalaman hidupnya; pernah menjadi guru sekolah dasar, kemudian menjadi tukang

      8

      kebun di sebuah biara. Ketika berhadapan dengan para murid sekolah dasar, ia dituntut untuk mampu mentransformasikan pengetahuan melalui ungkapan bahasa 5 Ali Mudhofir, Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi (Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1996), 9. 6 yang sederhana, deskriptif dan mudah dipahami. Sedangkan ketika menjadi tukang kebun, ia dihadapkan pada tantangan pekerjaan yang praktis-solutif.

      Ketiga, tugas filsafat adalah membuat kejelasan apa yang dapat dan tidak dapat

      9

      dinyatakan secara sah , dari pemahaman tentang bermakna atau tidak suatu ungkapan bahasa.

    C. Teori Language Games Wittgenstein

    1. Makna dalam Penggunaan (Meaning in Use)

      Bagi Wittgenstein, masalah bahasa pertama-tama adalah masalah penggunaan beberapa bunyi tertentu. Dengan itu, kemudian menurutnya, bahwa di luar penggunaan dalam kenyataannya, sebuah tanda menjadi mati. Sebuah tanda menjadi hidup, menjadi bermakna, justru dalam penggunaan. Penggunaan sebuah tanda

      10 merupakan nafas kehidupan tanda yang bersangkutan.

      Peralihan dari persoalan makna kepada makna dalam penggunaan didasarkan pada pengertian umum bahwa makna sebuah kata adalah objek dilambangkannya. Kata menunjukkan sesuatu yang dapat diinderai keberadaannya, dan jangan

      11

      ditanyakan apa arti sebuah kata, tetapi bagaimana sebuah kata digunakan. Misalnya, “manusia”, “kambing”, “kuda”, “pohon”, “kursi”. Kata-kata ini bermakna, karena menamakan sesuatu. Akan tetapi terdapat banyak kata yang tidak dapat menunjukkan benda, misalnya, “sudah”, “boleh”, “karena”, “maka”, “dan”. Contoh lain dalam dunia pers, “kuda naik orang” bermakna “berita” (news). Sementara “orang naik kuda” tidak bermakna apapun untuk ukuran dunia tersebut, dan ini selevel dengan kata-kata “dan”, “sudah”, “boleh”, “karena”, “maka”.

      Pada bagian lain terdapat ungkapan-ungkapan bahasa dalam berbagai segmen; (1) “da’i sejuta umat” untuk K.H. Zainuddin MZ, dalam dunia dakwah; (2) “si burung camar” untuk penyanyi Vina Panduwinata dan “si raja dangdut” untuk Rhoma Irama, dalam dunia “tarik suara”; (3) “si burung merak” untuk W.S. Rendra dan “celurit emas” untuk Zawawi Imran, dalam dunia sastra; (4) “begawan politik” untuk Gus Dur, dalam percaturan politik di Indonesia. Penggunaan masing-masing ungkapan tersebut terkait dengan keabsahan aturan main bahasa masing-masing segmennya. Di 9 sinilah makna ungkapan bahasa memperoleh individualitasnya, tanpa campur tangan segmen lainnya.

    2. Permainan Bahasa (Language Games)

      Konsep makna bahasa yang mendasari teori permaianan bahasa Wittgenstein adalah, bahwa arti suatu pernyataan bergantung pada jenis penggunaan bahasa yang semuanya memiliki logika dan kebenaran tersendiri. Dalam Philisophical

      

    Investigations, ia menjelaskan bahwa permainan bahasa adalah suatu proses

      pemakaian kata, termasuk pula pemakaian bahasa yang sederhana. Setiap bentuk permainan bahasa memiliki ketentuan dan aturan sendiri yang tidak boleh dicampuradukkan, agar tidak menimbulkan kekacauan. Dengan demikian, jelas terlihat bahwa tidak mungkin ada ketentuan dan peraturan umum yang dapat mengatur bentuk permaian bahasa. Ini berarti bahwa arti sebuah kata tergantung pada pemakaiannya dalam kalimat, dan arti kalimat tergantung pada pemakaiannya dalam

      12

      bahasa. Dalam ungkapan singkat, teori permaianan bahasa menyatakan bahwa

      13 bahasa terlalu kaya hanya untuk dirujuk kepada fakta saja.

      Selanjutnya, Wittgenstein menyatakan bahwa bahasa bukanlah sebuah fenomena sederhana melainkan sebuah fenomena yang sangat kompleks. Di dalamnya terdapat jumlah permaian bahasa yang tak terhitung. Dengan bahasa yang sama kita dapat memaparkan sesuatu, memberi perintah, menanyakan, berterimakasih, berdoa, bernyanyi, dan sebagainya. Bahasa bagaikan alat-alat pertukangan dalam tas seorang tukang. Dalam bahasa, tidak ada penggunaan yang pasti dan ketat bagi setiap kata, sebagaimana tidak adanya satu penggunaan pasti dan sangat terbatas pada suatu alat.

      14 Kata-kata bagaikan buah catur yang dapat dimainkan ke segala macam arah.

      Ada tiga hal pokok dalam permainan bahasa, yaitu pertama, ada banyak permainan bahasa, tetapi tidak ada hakikat yang sama di antara permainan-permainan itu. Esensi setiap permainan berbeda. Setiap permainan menyatakan satu pernyataan tertentu. Antara permainan-permainan ini hanya dikenal satu kesamaan keluarga (property). Kedua, dalam aneka permainan bahasa terdapat kesamaan keluarga. Dengan itu, tidak mungkin ditemukan dengan persis batas-batas pemahaman 12 mengenai permainan. Yang mungkin dilakukan adalah melacak batas-batas untuk mengetahui apakah hal itu dapat disebut suatu permainan atau tidak. Batas-batas permainan itu sendiri kabur dan sulit dipahami. Ketiga, meskipun orang tidak tahu persis sebuah permainan, tetapi ia tahu apa yang dapat dibuat dengan sebuah permainan. Permainan memang merupakan sebuah konsep yang sangat halus dan sulit diidentifikasikan. Kita tidak dapat menjelaskan dengan tuntas konsep permainan. Kita

      15

      hanya menyampaikan contoh-contoh permainan yang berbeda-beda. Mengenai penjelasannya lebih lanjut, berikut contoh-contohnya, penulis hadirkan pada pembahasan tentang metode klarifikasi, pada poin 4.

      Ketiga pokok di atas menjadikan bahasa memperoleh dependensinya untuk mengatur dirinya sendiri dalam bentuk permainan yang diminatinya. Tentu saja, kerja bahasa ini melalui kerja manusianya. Apa yang dapat ditemukan dalam aneka bahasa adalah bukan metafisika ragam permainan, tetapi kesamaan marganya, yakni aspek logisitas bahasa. Memang, sebagaimana kritik final Fogelin, bahwa dalam permainan bahasa, Wittgenstein gagal untuk menyelesaikan sisi konstruktif pandangannya secara detail. Ini tidak aksidental, untuk bagian doktrin resminya bahwa filosof tidak

      16 memiliki urusan untuk mengkonstruksi teori-teori atau menawarkan tesis-tesis.

    3. Tugas Filsafat atau Filosof

      Berdasarkan pokok-pokok pikiran di atas, Wittgenstein berpendapat bahwa tugas filosof adalah mengadakan klasifikasi aneka macam penggunaan dan mengadakan verifikasi, apakah penggunaan kata dalam keadaan tertentu itu tepat atau keliru, bermakna atau tidak. Filsafat menjadi semacam sarana kritis untuk memeriksa pemakaian bahasa, bahkan menjadi terapi bagi pemakaian bahasa yang berlebih-

      17

      lebihan. Yang diacu Wittgenstein di sini adalah bahasa metafisis. Oleh karena itu, ia termasuk salah seorang filosof kontemporer yang kritis terhadap metafisika, dan mengucaplan selamat tinggal kepada cabang filsafat yang paling tua umurnya itu.

      15 16 Ibid.

    4. Metode Klarifikasi

      Wittgenstein yakin bahwa segala teka-teki dan kekacauan filsafati akan dapat diatasi oleh analisis bahasa. Wittgenstein mengatakan bahwa apabila suatu pertanyaan dapat diajukan, pertanyaan itupun seyogianya dapat dijawab. Akan tetapi kenyataannya, tidak semua pertanyaan yang diajukan itu benar-benar bermakna. Agar tidak terperangkap ke dalam persoalan-persoalan filsafati yang tidak berarti, yang bersumber dari pertanyaan-pertanyaan yang tidak bermakna itu, harus ditemukan peraturan-peraturan tentang permainan bahasa (language game) yang digunakan lewat

      18 ungkapan bahasa sehari-hari.

      Wittgenstein menawarkan sebuah keniscayaan bahwa bahasa, yang merupakan alat pengungkapan pesan, harus benar-benar komunikatif, dengan melibatkan bahasa sehari-hari yang telah tertanam di memori konsumen pesan. Sedangkan bagi penganalisis bahasa, diharapkan melengkapi kemampuannya –melalui investigasi— dengan pemahaman tentang peraturan-peraturan mengenai permainan bahasa yang pluralistik. Misalnya pertama, dalam bahasa Arab, kemampuan dalam segi mantiq (logika) bahasa hendaknya dilengkapi juga dengan balaghah (retorika) dan ma’ani (studi makna bahasa). Kedua, dalam bahasa Jawa, ada istilah-istilah kanonikal, seperti “candra sengkala” (tanda peristiwa tertentu), “wangsalan” (kata-kata berkait secara harmonis, seperti bentuk pantun atau prosa), “tembung purba” (kata singkatan yang tergabung dari beberapa anaknya). Ketiga, dalam dunia advertising ditemui ungkapan-ungkapan sponsorsip bahasa; seperti “losta masta” pada rokok Star Mild, “prinsip nomor 1!, buat apa nomor 2, 3, 4?!” pada rokok Prinsip, “pakai hitam?, siapa takut?!” pada sampo Clear, “yuk, kita ngejos!” pada Extra Joss.

      Secara kontras, ungkapan-ungkapan sponsorsip berikut pasti mandapat kritik tajam dari Wittgenstein, karena dianggapnya tidak bermakna, dalam arti tidak membuat jelas arti sponsornya. Misalnya, bahasa (1) peragaan “memijat punggung seorang cewek di pantai lepas” atau “mengaduk tepung dengan tangan”, yang keduanya dilakukan sambil berimajinasi, pada rokok Long Beach, (2) peragaan “penyelamatan terhadap darurat landing kapal terbang” pada rokok Gudang Garam Merah. Sementara ungkapan “pakai Daia, lupakan yang lain!” pada deterjen Daia, berada di luar otoritas Wittgenstein, karena lebih bermuatan intervensif daripada makna sponsorsip. Lain halnya dengan “membersihkan paling bersih” pada deterjen Rinso, atau “inovasi tiada henti” pada sepeda motor Susuki, keduanya masih konsis pada otoritasnya.

      Bagi Wittgenstein, hal yang penting bukanlah mengatur bagaimana suatu ungkapan bahasa itu harus berarti/bermakna, tetapi kita harus mengerti apa arti yang terkandung dalam suatu ungkapan bahasa itu. Untuk mengerti arti yang terkandung dalam suatu ungkapan bahasa itu, kita harus menganalisis bentuk-bentuk hidup (forms

      

    of life) hingga ke dasar terdalam dari setiap permainan bahasa. Wittgenstein

      menegaskan bahwa arti ditentukan oleh bagaimana suatu kata digunakan dalam konteksnya. Lewat analisis bahasa, seseorang akan dapat membuat jelas (clarify) arti

      19 bahasa sebagaimana yang dimaksudkan oleh orang yang menggunakan bahasa itu.

      Penekanan cara di atas adalah ketandasan antroposentrik. Apa yang diberikan oleh Wittgenstein adalah forms of life antropologi filsafati Kantian, bukan ‘sense-

      20

    data” kaum positivis. Di sini, teori makna dan pemahaman merupakan praktik

    ungkapan publik, dan semua hal yang membuat praktik itu mungkin.

      Apabila disimak lebih dalam seluruh ajaran Wittgenstein, terlihat dengan jelas bahwa filsfatnya tidak lain hanya menawarkan suatu metode, yang sering disebut sebagai metode analisis bahasa. Metode itu bersifat netral tanpa pengandaian filsafati, epistemologis, atau metafisik. Analisis bahasa itu didasarkan semata-mata pada penelitian bahasa secara logis tanpa mendeduksikan sesuatu sehingga pada prinsipnya hanya membuat jelas (clarify) apa yang dikatakan lewat suatu ungkapan bahasa. Oleh karena itu, metode analisis bahasa yang dikembangkan oleh Wittgenstein disebut juga

      21 sebagai metode klarifikasi.

      Sebagai jembatan, perlu penulis sajikan, bahwa dalam logika ditemui tiga

      22 komponen/unsur; yaitu (1) pengertian, (2) keputusan dan (3) penalaran/pemikiran.

      Metode klarifikasi tersebut, yang tanpa mendeduksikan sesuatu, merupakan gerak statis/pasif yang hanya bertumpu pada kegiatan “mengerti” (menangkap pengertian 19 20 Ibid.

      Roger Scruton, A Short History of Modern Philosophy: from Descartes to Wittgenstein (London, Melbourne and Henley: Ark Paperbacks, 1984), 279. 21 22 Rapar, Pengantar..., 123. melalui proses abstraksi) dalam ungkapan bahasa. Ini berbeda dengan apabila “mengerti” itu ditingkatkan pada level “memutuskan” (menentukan keputusan) terhadap pengertian-pengertian dalam bahasa, lebih-lebih ke level “penalaran” seperti induksi atau deduksi.

      Pada level “keputusan”, gerak logis bahasa bersifat aktif dengan melakukan penegasan atau pengingkaran terhadap pengertian-pengertian dalam bahasa. Kemudian dalam level “penalaran” gerak logis bahasa bersifat produktif dengan memproduk pengertian baru dari sejumlah proposisi-proposisi bahasa. Meskipun demikian, penulis memahami adanya nilai antisipatif yang disiapkan oleh Wittgenstein, yaitu penghindaran terhadap ketergesa-gesaan rasionalistik yang sering menjangkiti kalangan rasionalis melalui andalan logikanya. Muaranya demikian;

      

    pertama, dalam analisis bahasa, yang terpenting adalah memahami makna ungkapan

      bahasa, tanpa melakukan deduksi apapun terhadapnya. Kedua, apabila pemahaman ini dilakukuan dengan benar sesuai dengan permainan bahasa itu sendiri, bukan dengan permainan bahasa penganalisis, maka ketepatan hasilnya (berupa pengertian- pengertian) dapat dilanjutkan pada level-level berikutnya (keputusan dan penalaran) sebagai pengembangan kritis. Ketiga, pengembangan ini berada di luar jangkauan analisis bahasa, yaitu pada jangkauan analisis logika.

      Analisis logis bahasa sendiri terkait dengan kedirian yang dimiliki oleh setiap permainan bahasa. Inilah yang dimaksudkan bahwa setiap permainan yang variatif (pluralistik) aturannya memiliki kesamaan property, yakni kesamaan segi logisitas bahasa. Ini mengingatkan kita pada principium Aristoteles tentang asas-asas identitas (A=B, B=C, maka A=C), kontradiksi (A=B, B≠C, maka A≠C), dan penyisihan kemungkinan ketiga (sesuatu tidak dapat diakui benar dan salah sekaligus). Dengan ini, berarti analisis bahasa menafikan model “dialektika” Hegel yang menawarkan sintesis sebagai jalan tengah di antara tesis dan antitesis.

      Untuk sekadar perbandingan dan pengayaan, dalam metode analitik, selain metode klarifikasi yang disumbangkan Wittgenstein, terdapat juga metode verifikasi (disebut juga konfirmasi) yang disumbangkan oleh Ayer. Melalui karya Language,

    23 Truth, and Logic (1936)

      , didapati bahwa inti metode verifikasi Ayer, adalah, agar suatu pernyataan (statement) benar-benar mempunyai arti, pernyataan itu harus dapat diverifikasi (syntetic) oleh salah satu atau lebih dari kelima pancaindra. Secara menye- luruh, karya tersebut memaparkan tesis prinsipal positivisme logis yang

      24 menghubungkan gagasan-gagasan Lingkaran Wina dan analisis Linguistik Inggris.

      Di situ Ayer telah memasukkan unsur-unsur pengalaman kedalam bahasa, meskipun tidak begitu empiris. Di samping itu, ia memasukkan aspek “mengatur bagaimana suatu ungkapan bahasa itu berarti/bermakna melalui konfirmasinya dengan pancaindra”. Akan tetapi pada Wittgenstein, tidak demikian. Menurutnya, yang terpenting adalah “mengerti makna ungkapan bahasa melalui analisis terhadap forms

      

    of life dan analisis ini didapati dengan cara bagaimana suatu ungkapan bahasa

    digunakan dalam konteksnya”.

    D. Kesimpulan

      Teori permainan bahasa Wittgenstein didasari oleh konsepnya mengenai

      

    meaning in use yang menekankan pada bagaimana ungkapan bahasa digunakan dalam

      konteksnya melalui analisis atas forms of life yang memiliki potensi ungkapan praktis publik, bukan pada arti sebuah kata. Dengan ini, ia memusatkan perhatian pada makna dalam penggunaan.

      Permainan bahasa merupakan proses pemakaian bahasa yang sederhana, praktis, mudah dipahami, deskriptif. bagi aneka bahasa, aturan permainan ini bersifat pluralistik dan mandiri. Melalui pandangannya bahwa bahasa merupakan fenomena yang kompleks, teori permainan bahasa berhenti hanya pada metode klarifikasi, tidak mampu merampungkan detailnya permainan, kecuali pada dataran kesamaan properti bahasa; yakni aspek logisitasnya. Meskipun demikian, harus tetap diakui bahwa Wittgenstein telah memberikan sumbangan prestasius tentang pentingnya bahasa dan tugas filsafat analisis bahasa sebagai sarana kritis untuk memeriksa pemakaian bahasa

    • –apakah penggunaan bahasa dalam konteksnya tepat atau keliru—bahkan menjadi terapi bahasa yang berlebih-lebihan. Ini memperlihatkan caranya yang anti-metafisik, kontra ‘sense-data’ kaum positivis, dan bersifat antroposentrik Kantian.

      

    DAFTAR KEPUSTAKAAN

    Achmad, Asmoro. Filsafat Umum. Jakarta: Raja Grafindo Press, 1997.

      Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996. Fogelin, Robert J. Wittgenstein. London, Henley and Boston: Routledge & Kegan Paul, 1976.

      Hamlyn, D.W. The Penguin History of Western Philosophy. England-New York: Penguin Group, 1987. Mudhofir, Ali. Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi. Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1996. Poejawijatna. Logika Filsafat Berpikir. Jakarta: Rineka Cipta, Cet. VII, 1992. Poespoprodjo, W. Logika Scientifika: Pengantar Dialektika dan Ilmu. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991. Rapar, Jan Hendrik. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1996. Scruton, Roger. A Short History of Modern Philosophy: from Descartes to Wittgenstein. London, Melbourne and Henley: Ark Paperbacks, 1984. Sutrisno, FX. Mudji dan Hardiman, F. Budi, ed. Para Filsuf Penentu Gerak Zaman.

      Yogyakarta, Kanisius, 1992.