BIJAK MENGGUNAKAN MEDIA SOSIAL (Bagian 2)

BIJAK MENGGUNAKAN MEDIA SOSIAL (Bagian 2)
Oleh: Rahmat Ramdhani
Teknik Informatika STMIK Akakom Yogyakarta

Seperti yang sudah dibahas pada tulisan pertama, fakta bahwa kehidupan kita di zaman ini
sudah begitu dekat dengan internet khususnya situs jejaring sosial atau social media. Kehadiran
Facebook, Twitter, Path, Instagram, Linked In, dan media sosial lainnya tak pelak menjadi
boomerang bagi penggunanya sendiri jika salah dalam memanfaatkan media sosial yang
digunakan. Menggunakan media sosial akan menjadi permasalahan hukum apabila kita, baik
disengaja maupun tidak disegaja melakukan tindakan-tindakan yang merugikan pihak tertentu
dan kemudian akan dijerat dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (ITE) yang disetujui oleh Pemerintah dan DPR pada tanggal 25 Maret 2008
dan diundang-undangkan pada tanggal 21 April 2008. Seberapa besarkah peran dari UU No 11
Tahun 2008 tentang ITE ini mengatur kehidupan manusia khususnya bagi para pengguna media
sosial?. Ada tiga “ancaman” yang dibawa UU ITE yang berpotensi menimpa pengguna media
sosial, yaitu :
1. Ancaman pelanggaran kesusilaan [Pasal 27 ayat (1)].
2. Penghinaan dan/atau pencemaran nama baik [Pasal 27 ayat (3)].
3. Penyebaran kebencian berdasarkan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) [Pasal 28
ayat (2)].
Dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU ITE menyatakan : “Setiap Orang dengan sengaja

dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar
kesusilaan.” Dari Pasal 27 ayat (1) tersebut dapat kita pahami bahwa cakupan tersebut bisa saja
setiap pengguna media sosial yang memberikan gambar-gambar senonoh atau memberikan jasa
penjualan seks komersial sebagai tempat transaksi akan dikenakan dalam pasal ini.
Sementara dalam ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang menyatakan: “Setiap Orang
dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat
dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
Dari Pasal 27 ayat (3) UU ITE dapat kita pahami bahwa cakupan pasal tersebut sangat
luas. Mengenai perbuatan memberikan taut (hyperlink) ke sebuah situs yang memiliki muatan
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik juga dapat dijerat juga memenuhi unsur ketiga pasal
tersebut. Karena itu mungkin dapat dipahami mengapa sebagian orang melihat pasal tersebut
sebagai ancaman serius bagi pengguna internet pada umumnya. Walaupun di sisi lain, dalam UU
ITE juga dinyatakan bahwa suatu informasi/dokumen elektronik tidak dengan serta-merta atau
otomatis akan menjadi suatu bukti yang sah. Pasalnya, untuk menentukan apakah
informasi/dokumen eletronik dapat menjadi alat bukti yang sah masih memerlukan suatu

prosedur tertentu yaitu harus melalui sistem elektronik yang diatur berdasarkan undang-undang
tersebut.

Selanjutnya di dalam ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang menyatakan: “Setiap
Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk
menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu
berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”
Dari Pasal 28 ayat (2) UU ITE dapat kita pahami bahwa sebenarnya pembuatan pasal ini
adalah untuk mencegah terjadinya perbuatan anarkis, permusuhan ataupun pertikaian.
Cakupannya sangat luas yakni siapapun yang menggunakan sosial media yang kemudian
melanggar dari apa yang telah dituliskan dalam pasal diatas. Contoh penerapannya adalah
apabila ada seseorang yang mengupdate atau mengupload sesuatu yang ditujukan untuk
menghina suku, golongan, agama atau kelompok tertentu maka dapat dikenanakan hukuman
sesuai dengan ketentuan dalam pasal 28 ayat (2) ini.
UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE ini tidak peduli bagi siapapun yang melanggar
ketentuan yang telah dituliskan dalam undang-undang. Ancaman pidana bagi yang melanggar
UU ITE ini adalah hukuman penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
1.000.000.000 (satu milyar rupiah). Masih segar dalam ingatan kita tentang kasus Florence yang
melakukan penghinaan terhadap Yogyakarta melalui akun Path miliknya beberapa waktu lalu.
Meskipun Sri sultan Hamengku Buwono X selaku raja di keraton Yogyakarta menyatakan telah
memaafkan tentang kelakuan mahasiswa pasca sarjana di Universitas Gadjah Mada tersebut,
tetapi tetap saja Florence dikenakan sanksi sesuai dengan UU ITE dan ditambah lagi dengan
hukuman dari Universitas Gadjah Mada.

Di dunia internasional, baru-baru ini mantan pemain Manchester United, Rio Ferdinand
juga dikenai sanksi karena “kicauan” tak terpuji yang dia lakukan melalui akun Twitter miliknya.
Bahkan jauh sebelum itu telah kita dengar banyak remaja putri hilang atau pergi berhari-hari
tanpa diketahui keberadaannya setelah bepergian dengan pria yang dikenalnya melalui Facebook.
Bukan keberadaan media sosial yang kemudian kita salahkan dan UU ITE yang kita salahkan
akan tetapi diperlukan wawasan yang luas dan matang dalam bersosial media dan tak kalah
penting juga pengendalian diri kita saat menggunakan sosial media. Sekali lagi, bijaklah
menggunakan sosial media.