Menggagas Koalisi Sederhana

Menggagas Koalisi Sederhana
Iding R. Hasan*
(Pikiran Rakyat, Rabu 16 April 2014)

Setelah Pemilu Legislatif (Pileg) 9 April 2014 usai digelar kini fokus perhatian
partai-partai politik (parpol) bergeser ke penjajakan koalisi antar satu dengan lainnya.
Tidak adanya parpol yang dominan atau memenuhi syarat pengusulan pasangan calon
presiden (capres)-calon wakil presiden (cawapres) secara sendiri membuat koalisi
menjadi pilihan mutlak.
Berbagai kalkulasi politik coba dibuat oleh sejumlah kalangan terkait koalisi
tersebut. Ada yang berpendapat bahwa sebaiknya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDIP) sebagai pemenang pemilu, meski masih menunggu keputusan resmi dari Komisi
Pemilihan Umum (KPU, membuat koalisi besar. Argumentasinya bukan hanya sekadar
mempermudah jalan capresnya, yaitu Joko Widodo (Jokowi) menuju kursi Presiden RI,
tetapi juga supaya bisa menguasai parlemen secara dominan.
Sebagian lain berpandangan bahwa PDIP tidak perlu membuat koalisi besar.
Dengan raihan suara yang hampir menyentuh level 20 persen versi hitung cepat (quick
count) sebenarnya partai kepala banteng tersebut tidak perlu repot-repot membuat koalisi

besar. Cukup dengan mengajak satu atau dua parpol langkah PDIP tidak akan mengalami
kesulitan.


Pertimbangan Ideologis
Koalisi antar parpol dalam sebuah sistem politik biasanya didasarkan pada tiga
pertimbangan: ideologis, strategis dan taktis. Namun dalam praktiknya, terutama dalam
politik Indonesia, kecenderungan koalisi lebih banyak didasarkan pada pertimbangan
strategis dan taktis. Pertimbangan ideologis justeru kerapkali terabaikan kalau tidak
dibuang sama sekali.
Kecenderungan tersebut tampaknya tidak lepas dari orientasi pragmatis dari
hampir setiap parpol di Indonesia. Bahwa politik semata-mata dipahami sebagai,
meminjam ungkapan Harold D. Lasswell siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimana
(who gets what, when and how). Masuk ke dalam dunia politik tanpa mendapatkan
kekuasaan dianggap sia-sia belaka. Akibatnya, bagi-bagi kekuasaan menjadi tujuan
utama dari koalisi seperti itu.
Itulah fenomena koalisi antar parpol di Indonesia. Contoh paling nyata adalah
koalisi pendukung pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono yang
tergabung dalam Sekretariat Gabungan (Setgab) di parlemen. Tidak ada pertimbangan
ideologis di sana, kecuali pertimbangan strategis dan taktis sebagai cerminan dari
pragmatisme politik. Kekuasaan Demokrat sebagai pemimpin koalisi berlangsung aman
dan parpol-parpol anggotanya mendapatkan kue kekuasaan.
Sayangnya koalisi tambun yang hanya didasarkan pada orientasi pragmatisme

politik memang sangat rapuh sehingga mudah sekali terjadi perpecahan. Demikianlah

dalam perjalanannya kerap terjadi saling serang antar parpol anggota Setgab. Jelas hal
tersebut tidak kondusif bagi jalannya pemerintahan SBY-Boediona seperti yang sering
kita saksikan.

Koalisi Sederhana
Menurut hemat penulis, lebih baik bagi PDIP untuk membuat koalisi sederhana
dengan hanya menggandeng dua parpol saja. Pertimbangan ideologis mesti menjadi dasar
utama pembentukan koalisi tersebut, baru setelah itu pertimbangan strategis dan taktis.
Kedua pertimbangan ini juga penting terkait dengan mekanisme dan berjalannya koalisi
nanti.
Di antara parpol-parpol yang tepat digandeng PDIP adalah Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB) dan Partai Nasional Demokrat (Nasdem). Keduanya memiliki basis
ideologis yang sama dengan PDIP yaitu nasionalis.
PKB meskipun sering diklaim sebagai partai Islam atau berbasis massa Islam
karena identik dengan NU tetapi sebenarnya merupakan partai nasionalis. Selain itu,
secara historis PKB dan warga nahdliyin secara umum relatif lebih dekat dengan PDIP,
berbeda dengan PPP, PAN, PKS dan PBB. PKB juga termasuk anggota koalisi yang
paling patuh dibandingkan dengan anggota lainnya seperti yang terlihat di Setgab

kemarin.
Sementara Nasdem jelas berada di sayap yang sama dengan PDIP selain juga
kedekatan elite antar keduanya relatif baik, yakni antara Megawati Soekarnoputri dan
Surya Paloh. Meskipun partai pendatang baru tetapi suara Nasdem cukup bagus yakni di

kisaran 6 persen.bahkan mampu mengalahkan partai lama Hanura yang hanya berada di
kisaran 5 persen.
Dari perspektif di atas agaknya cukup tepat kalau PDIP menggandeng PKB dan
Nasdem untuk koalisi untuk menyongsong pemerintahan Indonesia ke depan. Meskipun
jumlah suara ketiganya tidak menjadi mayoritas mutlak, yakni sekira 35 persen, tetapi
peluangnya untuk menang pada Pilpres Juli 2014 cukup besar.
Apalagi karakteristik pilpres berbeda dengan pileg. Pada pilpres kekuatan figur
jauh lebih dominan. Boleh jadi efek Jokowi yang banyak dipertanyakan pada pileg
kemarin justeru pada pilpres akan lebih terasa. Logikanya banyak pemilih yang suka pada
figur (Jokowi) tetapi tidak suka pada partainya (PDIP.
Dengan demikian, koalisi sederhana sudah cukup mampu mengamankan PDIP
untuk menjadi partai penguasa setidaknya untuk periode 2014-2019. PDIP akan fokus
mengelola negara karena koalisi sederhana relatif lebih solid dan tidak rentan dengan
konflik internal.


*Penulis, Doktor Komunikasi Unpad dan Deputi Direktur Bidang Politik The Political
Literacy Institute.