i ADAPTASI DALAM KOMUNIKASI ANTARBUDAYA

ADAPTASI DALAM KOMUNIKASI ANTARBUDAYA
(Studi pada Individu Dewasa Muda Perempuan yang Berpacaran Jarak Jauh
dengan Pria Eropa)

YUNITA TITI SASANTI
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Brawijaya
Malang

ABSTRAKSI
Penelitian ini membahas tentang adaptasi dalam komunikasi antarbudaya pada
individu dewasa muda perempuan yang berpacaran jarak jauh dengan pria Eropa.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami dan menganalisis perilaku
komunikasi, proses adaptasi, dan mengidentifikasi hambatan dan strategi mengatasi
hambatan dalam komunikasi antarbudaya yang dilakukan individu dewasa muda
perempuan dalam menjalin pacaran jarak jauh dengan pria Eropa. Penelitian ini
menggunakan teori komunikasi antarbudaya dan komunikasi antarpribadi. Penelitian ini
menggunakan metodologi kualitatif deskriptif.
Hasil dari penelitian ini ditemukan adanya toleransi dan pengertian dalam sebuah
hubungan pacaran membuat komunikasi yang dilakukan subyek penelitian cukup efektif
sehingga hubungan bisa bertahan sampai saat ini. Hal ini tidak terlepas peran media

online sebagai alat komunikasi dalam pacaran jarak jauh, yang mengakibatkan
ketergantungan pada media dalam menjalin hubungan serta komunikasi yang bersifat
terjadwal. Proses adaptasi yang dilakukan tidak terlepas pada unsur kebudayaan, seperti
agama, bahasa dan sistem kemasyarakatan sebagai bentuk penyesuain diri dalam
hubungan pacaran beda budaya. Proses adaptasi juga dapat mempengaruhi pergeseran
budaya seperti pada perilaku yang menyimpang dari nilai budaya yang dimiliki karena
tidak adanya filter pada diri sehingga subyek penelitian mudah mengadopsi budaya
pasangan. Hambatan komunikasi antarbudaya dalam hubungan pacaran jarak jauh
pernah terjadi yaitu pada berkurangnya keakraban fisik, pekerjaan serta dibutuhkannya
biaya yang cukup besar untuk mempertahankan hubungan tersebut sehingga
kemunduran dalam hubungan tidak bisa dihindari. Hambatan yang sangat terlihat dalam
penelitian ini adalah pada rintangan budaya yang mana adanya perbedaan bahasa dan
pergaulan. Namun hambatan ini mampu diatasi dengan kematangan emosional yang
dimiliki, pengertian, keterbukaaan diri, kompromi, toleransi dan sifat mengalah untuk
mempertahankan hubungan.
Kata Kunci : Adaptasi Komunikasi Antarbudaya, Komunikasi Antarpribadi, Hubungan
Pacaran Jarak Jauh

i


ABSTRACT
This study discusses the adaptation in intercultural communication among young
women individual having long distance relationship with European men. The objective
of this study is to understand and analyze the behavior of communication, adaptation
process, and identify any barriers and strategies to overcome the barriers in the
intercultural communication used by the young women individual in having long
distance relationship with European men. This study used theory of intercultural
communication and interpersonal communication. This study used descriptive
qualitative method.
Results of this study found that the existence of tolerance and understanding in a
dating relationship do make communication effective enough study subjects so that the
relationship can survive to this day. This is related to the role of online media as a
communication tool in a long-distance relationship, which resulted in a reliance on
media relations and communications that are scheduled. The adaptation process is done
can not be separated on cultural elements, such as religion, language and social system
as a form of self adjustment in different cultures dating relationships. The process of
adaptation can also affect a cultural shift as the behavior that deviates from the value of
the culture in the absence of the filter itself so easily adopt the culture of research
subjects couples. Barriers to intercultural communication in long-distance dating
relationship ever happened that the reduction of physical intimacy, work and

considerable expense needed to maintain the relationship so that deterioration in the
relationship can not be avoided. Barriers are very visible in this research is the cultural
barrier where the difference in language and socially. Yet this barrier is able to
overcome the emotional maturity owned, understanding, self greater openness,
compromise, tolerance and succumb to maintain relationships
Keywords: Adaptation of Intercultural Communication, Interpersonal Communication,
Long Distance Relationships

ii

kesulitan dalam beradaptasi dan
berkomunikasi pada saat menjalin
hubungan. Menjalani hubungan pacaran
sering kali individu tidak bisa
berdekatan
dengan
pasangannya,
sehingga mereka melakukan pacaran
jarak jauh. Menurut Melville (dalam
Nisa, 2010) pacaran jarak jauh

merupakan hubungan antara dua pihak
yang saling berkomitmen dimana
individu tidak berada secara berdekatan
satu sama lain, dan tidak dapat bertemu
ketika mereka saling membutuhkan,
karena bersekolah atau bekerja pada
kota yang berbeda, pulau yang berbeda
bahkan negara atau benua yang berbeda.
Tahap pacaran merupakan masa
dimana seseorang untuk lebih mengenal
budaya pasangan masing-masing agar
tidak terjadi suatu masalah atau kejutan
budaya (culture shock). Menurut Ward,
Bochne, Furnham; dan Wan (dalam
DeVito, 2007: 51), tekanan yang
dirasakan ketika berhadapan dengan
budaya baru ini disebut cuture shock,
yaitu reaksi psikologi yang dialami oleh
individu ketika berada dalam budaya
yang

berbeda
dari
budayanya.
Berpacaran beda budaya khususnya
antara budaya Barat (Eropa) dan budaya
Timur (Indonesia) terkadang ada
hambatan-hambatan yang terjadi dalam
berkomunikasi karena mempunyai latar
belakang yang berbeda, bahasa berbeda,
agama berbeda, sikap, perilaku dan
etnik yang berbeda (Nurwijaya, 2007:
5).
Menjalin hubungan pacaran beda
budaya tentunya dibutuhkan usaha
dalam meminimalisasi hambatan yang
ada,
komunikasi
antarbudaya
merupakan
jembatan

untuk
mengumpulkan
informasi
tentang
budaya baru (Martin dan Nakayama,
2004:
286).
Proses
komunikasi
antarbudaya dapat digunakan sebagai
langkah dalam membangun pemahaman
antara orang Indonesia dan Eropa yang

I.

PENDAHULUAN
Manusia memiliki berbagai macam
bentuk sosialisasi yaitu berkenalan,
melakukan pertemanan, bersahabat
bahkan bisa menjalin hubungan untuk

berpacaran.
Hubungan
pacaran
merupakan hubungan akrab yang
banyak dikenal saat ini, biasanya
hubungan pacaran sudah dimulai sejak
dewasa muda pada usia 18 tahun
(Hurlock dalam Santock, 2003: 54).
Secara umum, alasan seseorang untuk
berpacaran
adalah
merasakan
kebersamaan dengan orang lain. Selain
itu, adanya keinginan untuk merasakan
cinta, kasih sayang, penerimaan dari
lawan jenis serta adanya rasa aman yang
dirasakan oleh setiap pasangan tidak
terkecuali pada perempuan yang masih
berusia muda. Perkembangan pada
masa dewasa muda membuat seorang

perempuan ingin memiliki teman dekat
yang dapat membuatnya nyaman dan
bisa berbagi, kedekatan dan rasa
nyaman yang dimiliki membuat
individu dewasa muda menjalin sebuah
hubungan yaitu pacaran.
Proses seseorang pacaran tidak
pernah lepas dari masalah komunikasi
yaitu adanya masalah dalam pacaran.
Tidak ada sepasang orang yang sedang
berpacaran tanpa mengalami suatu
masalah sedikitpun. Khususnya bagi
pasangan yang berbeda budaya karena
pasangan yang beda budaya juga
memiliki ajaran budaya yang melekat.
Komunikasi antarbudaya bagi
pasangan yang menjalin hubungan
pacaran dengan bangsa lain atau budaya
yang berbeda yaitu budaya Barat
(Eropa) dengan budaya Indonesia yang

lebih ketimuran saat ini bukan hal yang
awam lagi (Sarwendah, 2009). Tidak
sedikit orang Indonesia khususnya
perempuan yang memiliki ketertarikan
dengan pria asing (foreign) dan
menjalin pacaran dengan orang yang
berbeda budaya, meskipun adanya

1

menjalin sebuah hubungan pacaran,
sehingga
semakin
baik
proses
komunikasi antarbudaya yang ia
lakukan, semakin cepat proses adaptasi
yang dia alami.
Kompetensi
komunikasi

antarbudaya merupakan salah satu
aspek penting dalam proses adaptasi.
Keberhasilan
adaptasi
seseorang,
tergantung pada seberapa fungsional
kompetensi antarbudaya yang dimiliki
dan
strategi
akomodasi
melalui
komunikasi yang dapat mengarah
kepada komunikasi antarbudaya yang
efektif;
stereotip,
etnosentrisme,
penarikan, pengabaian, dan sekumpulan
perilaku negatif lain (Dodd, 1998: 157).
Jika seseorang mampu melihat proses
adaptasi dengan positif, maka dia akan

mendorong
untuk
menggunakan
perbedaan budaya sebagai keunggulan.
Di sisi lain, pembelajaran akan variasi
budaya menjadikan masa adaptasi lebih
cepat dan mudah.
Perempuan dalam penelitian ini
sebagai
objek
penelitian
yang
difokuskan pada individu dewasa muda
karena
periode
transisi
seorang
perempuan antara masa remaja dan
masa dewasa yang merupakan masa
perpanjangan kondisi ekonomi dan
pribadi yang sementara. Masa muda
pada seorang perempuan merupakan
masa terpenting, dimana dirinya
dituntut untuk menyesuaikan diri
terhadap pola hidup dan harapan sosial
yang baru (Hurlock, 1997). Dua kriteria
yang diajukan untuk menunjukkan akhir
masa muda dan permulaan dari dewasa
awal adalah kemandirian ekonomi dan
kemandirian dalam membuat keputusan.
Pembuatan keputusan secara luas
tentang karir, nilai-nilai, keluarga dan
hubungan, serta tentang gaya hidup
(Santrock, 2002: 36).
Berdasarkan
latar
belakang
tersebut, peneliti memandang topik ini
sebagai hal yang menarik untuk diteliti.

Penelitian ini memfokuskan pada
adaptasi dalam komunikasi antarbudaya
yang dilakukan perempuan Indonesia
dewasa muda dalam menjalin pacaran
jarak jauh dengan pria Eropa. Hasil dari
penelitian ini digunakan sebagai
masukan bagi pasangan yang menjalin
hubungan pacaran beda budaya untuk
mengembangkan
komunikasi
antarbudaya yang efektif.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Komunikasi dalam Menjalin
Hubungan Antarbudaya IndonesiaEropa
Komunikasi dan budaya menjadi
satu hal yang tidak dapat dipisahkan,
hal ini didasarkan pada pernyataan
Liliweri (2009: 6) bahwa komunikasi
antarbudaya merupakan komunikasi
antarpribadi yang dilakukan oleh
mereka yang berbeda latar belakang
kebudayaan dan kedua budaya tersebut
melaksanakan proses komunikasi.
Komunikasi
antarbudaya
bisa
terjalin dengan siapa saja dan dalam
kondisi apapun seperti, pada sebuah
organisasi, kelompok maupun sebuah
hubungan
antarpribadi.
Menjalin
hubungan antarpribadi seperti menjalin
hubungan pacaran bisa dilakukan
dengan orang yang memiliki latar
belakang budaya yang berbeda seperti
hubungan pacaran Indonesia-Eropa.
Budaya Indonesia tidak terlepas
dari budaya timur yang bersumber pada
agama dan menjunjung tinggi normanorma kesopanan (Soelaeman, 2001:
52-52). Budaya Indonesia sangat
beraneka ragam yang mempunyai nilainilai dan aturan masing-masing,
misalnya budaya Jawa yang mana orang
Jawa terkenal dengan sopan santun dan
tata krama yang kental. Salah satu
buktinya adalah bahasa Jawa, dikenal
adanya tingkatan yang menunjukkan
tingkat kesopanan, keformalan, dan
keakraban yang berbeda. Misalnya,
orang Jawa menggunakan bahasa yang

2

budaya barunya beradaptasi lebih baik
tapi bisa juga merasakan culture shock
yang lebih besar. Interaksi antarbudaya
mendorong seseorang keluar dari cara
pandangannya yang sudah terbangun
sejak lahir dan hal ini akan
menimbulkan stres. Namun begitu di
sisi lain pembelajaran tentang budaya
baru membuat perempuan Indonesia
yang belajar akan budaya barat akan
lebih merasa nyaman karena mampu
memahami bagaimana sesuatu itu
dipandang berbeda dari budayanya yaitu
budaya timur.
Hal yang paling penting dalam
memprediksi adaptasi adalah frekuensi
partisipasi komunikasi dengan budaya
baru (Begley dalam Samovar Porter
dan McDaniel (eds.) 2006: 392).
Meskipun wawasan dan pengetahuan
budaya dapat dikumpulkan melalui
pembelajaran
sebelumnya,
namun
pengalaman akan bertambah melalui
percakapan setiap harinya dengan
orang-orang di lingkungan baru.
Implikasi dari hal ini adalah informasi
yang terkait dengan aturan budaya
komunikatif, isyarat nonverbal, dan adat
umum dapat dipelajari dan digunakan
selama proses komunikasi. Pada
akhirya, pengalaman komunikasi praktis
berkontribusi pada adaptasi yang
efektif.
2.2. Komunikasi Antarpribadi dalam
Menjalin Hubungan Pacaran
Jarak Jauh
Komunikasi
antarpribadi
(interpersonal communication) adalah
komunikasi antara orang-orang secara
tatap muka, yang memungkinkan setiap
pesertanya menangkap reaksi orang lain
secara langsung. Baik secara verbal
maupun nonverbal. Bentuk khusus dari
komunikasi antarpribadi ini adalah
komunikasi
diadik
(dyadic
communication) yang melibatkan hanya
dua orang, seperti suami-istri, dua
sejawad, dua sahabat dekat, guru-murid,

berbeda ketika berbicara dengan orang
tua dan dengan teman. Selain
dinyatakan dengan kosakata, tingkat
kesopanan, keformalan, dan keakraban
juga harus dinyatakan dengan sikap
tubuh. Karena itu masyarakat Jawa
sangat
menghargai
bahasa-bahasa
nonverbal (Kridalaksana, 2001: 7).
Sebaliknya budaya Eropa yang
manganut nilai budaya barat seperti
kebebasan berperilaku mulai seks
bebas, minuman keras, bebasnya
berpenampilan sampai gaya hidup
hedononisme yang tinggi tidak diikat
pada suatu peraturan yang ada dalam
sebuah agama (Soeleman, 2001: 50).
Setiap budaya memiliki unsur-unsur
kebudayaan
yang
memepengaruhi
perilaku mereka. Perilaku yang terjadi
dalam hubungan beda budaya tentunya
tidak
terlepas
dari
kompetensi
komunikasi
antarbudaya
untuk
mengurangi
kecemasan
dan
ketidakpastian
dalam
hubungan.
Adapun
beberapa
faktor
yang
menyebabkan
ketidakpastian
dan
kecemasan dalam suatu pertemuan
antarbudaya, faktor-faktor tersebut
adalah motivasi, pengetahuan, dan
kecakapan (Rahardjo, 2005: 69-70).
Sedangkan,
menurut
Gundykunst
faktor-faktor
tersebut
merupakan
kompetensi komunikasi antarbudaya,
yang secara konseptual diberi arti
sebagai kecakapan-kecakapan yang
dibutuhkan oleh suatu pihak untuk
berkomunikasi dengan orang lain yang
berbeda
latar
belakang
budaya
(Rahardjo, 2005: 71).
2.1.1.Proses
Adaptasi
dalam
Hubungan Antarbudaya
Kim
(dalam
Martin
dan
Nakayama2004:286) menggambarakan
proses adaptasi dalam model sistem
komunikasi dimana dia melihat bahwa
komunikasi memiliki dua sisi resiko
dalam adaptasi: pendatang yang
berkomunikasi lebih sering dengan

3

dan sebagainya (Mulyana, 2004: 73).
Berdasarkan definisi diatas dapat
disimpulkan komunikasi antar pribadi
(interpersonal communication) adalah
kajian tentang proses komunikasi antar
dua pribadi yang berbeda dan
diharapkan masing-masing peserta
komunikasi dapat menangkap reaksi
secara langsung baik verbal maupun
nonverbal.
Teori
komunikasi
antarpribadi mempelajari komunikasi
yang terjadi antara dua orang yang
memiliki suatu hubungan seperti
menjalin hubungan pacaran.
Dalam menjalin hubungan pacaran
harus dilandasi rasa cinta, yang menurut
Armstrong (2005) cinta terkait dengan
visi kebahagiaan. Sedangkan menurut
Dindia dan Timmerman (dalam Devito,
2007: 265) perasaan cinta ditandai
dengan kedekatan dan mempedulikan
secara intim, gairah, dan komitmen.
Cinta
kepada
seseorang
dapat
dikomunikasikan
dalam
bentuk
komunikasi verbal maupun non verbal
(Devito, 2007: 269).
Berdasarkan definisi dan uraian
mengenai
pacaran,
maka
dapat
disimpulkan bahwa pacaran merupakan
salah satu bentuk hubungan yang
ditandai dengan adanya rasa cinta,
komitmen, dan self-disclosure atau
pengungkapan diri. Pengungkapan diri
atau self disclousure merupakan bagian
dari hubungan antarpribadi, yang mana
menurut Canary (dalam Taylor, dkk,
2009) pengungkapan diri sebagai suatu
percakapan dimana kita berbagi
informasi dan perasaan pribadi dengan
orang lain. Sedangkan Gardner (2002)
menyatakan pengungkapan diri sebagai
suatu
bentuk
tindakan
bertukar
informasi dengan orang lain mengenai
diri yang mencakup keadaan pribadi,
disposisi, pengalaman masa lalu, dan
rencana masa depan.
Menjalin
hubungan
pacaran
terkadang seseorang tidak bisa bertemu

dengan pasangannya sehingga mereka
menjalin hubungan pacaran jarak jauh.
Pacaran jarak jauh pada intinya
mempunyai
pengertian
sebuah
hubungan romantis dengan komitmen
berpacaran, dimana antara kedua
individu terpisahkan oleh jarak yang
patut dipertimbangkan (Lestari, 2009:
25).
2.2.1.Negosiasi dalam Hubungan
Pacaran
Negosiasi merepresentasikan pertukaran
informasi
melalui
bahasa
yang
mengoordinasikan
dan
mengelola
makna. Dalam negosiasi, bahasa
beroperasi dalam dua level: level
logikal (untuk proposal atau penawaran)
dan level pragmatis (semantik, sintaksis,
dan gaya) (Lewicki Barry& Saunders,
2012: 223). Sheppard dan Tuchinsky
mencatat beberapa cara di mana suatu
konteks hubungan yang ada mengubah
dinamika negosiasi (Lewicki, Barry&
Saunders, 2012: 365-369):
1) Negosiasi dalam hubungan terjadi
setiap saat
2) Negosiasi seringkali bukanlah jalan
untuk
mendiskusikan
sebuah
masalah, tetapi cara untuk belajar
lebih banyak tentang pihak lain dan
meningkatkan
saling
ketergantungan
3) Resolusi dari masalah-masalah
distributif yang sederhana memiliki
implikasi untuk masa depan
4) Isu-isu distributif dalam negosiasi
hubungan dapat memanas secara
emosional
5) Negosiasi dalam hubungan dapat
saja tidak pernah berakhir
6) Dalam banyak negosiasi, orang lain
merupakan masalah utama
Dalam
beberapa
negosiasi,
pemeliharaan hubungan merupakan
tujuan
negosiasi
yang
terlalu
dipaksakan, dan pihak-pihak dapat
membuat konsesi terhadap masalah-

4

masalah substantial untuk memelihara
atau meningkatkan hubungan.
2.3.Hambatan
Komunikasi
Antarbudaya dalam Hubungan
Pacaran Jarak Jauh
Menurut Shannon dan Weaver
(dalam Cangara, 2008: 153), gangguan
komunikasi terjadi jika terdapat
intervensi yang mengganggu salah satu
elemen komunikasi, sehingga proses
komunikasi tidak berlangsung secara
efektif. Melihat bahwa komunikasi
antarbudaya bermula dari komunikasi
antarpribadi (Liliweri, 2003: 17) maka,
gangguan komunikasi antarpribadi juga
dapat menjadi gangguan pada saat
komunikasi antarbudaya berlangsung.
Gangguan komunikasi tersebut antara
lain sebagai berikut (Devito, 2007: 246249):
a. Beliefs about relationship
b. Excessive intimacy claim
c. Third-party relationship
d. Ralationship change
e. Undefined expectation
f. Work-ralated problem
g. Financial difficulties
Selain hambatan komunikasi yang
dikemukakan oleh Devito diatas, ada
beberapa hambatan komunikasi yang
dikemukakan oleh Cangara (1998: 156)
antara lain:
a. Rintangan kerangka berfikir
Rintangan kerangka berfikir terjadi
karena adanya perbedaan persepsi
antara
komunikator
dengan
komunikan. Perbedaan ini dikaitkan
karena
adanya
perbedaan
pengalaman.
b. Rintangan budaya
Rintangan
budaya
merupakan
rintagan yang terjadi disebabkan
karena adanya perbedaan norma,
kebiasaan, dan nilai-nilai yang dianut
oleh pihak-pihak yang terlibat dalam
komunikasi tersebut.

III. METODE PENELITIAN
Penelitian
ini
menggunakan
metodologi penelitian kualitatif dengan
jenis deskriptif. Fokus dalam penelitian
ini
adalah
adaptasi
komunikasi
antarbudaya, adaptasi disini peneliti
fokuskan pada unsur kebudayaan, yaitu:
adaptasi agama, adaptasi bahasa, dan
adaptasi sistem kemasyarakatan
Teknik pengumpulan data yang
digunkaan menggunakan wawancara
mendalam yang dilakukan peneliti
kepada informan dan di dukung leh
dokumentasi yang berupa data-data
pribadi milik informan yang berpacaran
jarak jauh dengan pria Eropa. Analisis
data didasarkan analisis data dari
Moleong yaitu memilah-milah data
dalam kategori, mencari hubungan antar
ketagori,
Menyederhanakan
dan
mengintegrasikan data ke dalam
struktur atau pola yang saling berkaitan
secara logis, membandingkan antar data
yang
disederhanakan,
menarik
kesimpulan.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.Perilaku Komunikasi
Antarbudaya dalam Hubungan
Pacaran Jarak Jauh
Menjalin hubungan pacaran adalah
suatu bentuk penyatuan dua pribadi
yang berbeda, yang mana setiap
pasangan
memiliki
tujuan
dari
hubungannya.
Menjalin
hubungan
pacaran apalagi menjalin pacaran
dengan orang yang memiliki latar
belakang kebudayaan yang berbeda
tidaklah mudah. Namun pada saat ini
menjalin hubungan pacaran dengan
orang yang memiliki latar belakang
budaya yang berbeda atau menjalin
hubungan pacaran jarak jauh bukan hal
yang awam lagi, seseorang menjalin
hubungan pacaran karena adanya rasa
cinta. Cinta juga merupakan emosi yang
membawa kebahagian dan perasaan
puas yang mendalam (Bachtiar, 2004:
36). Hal ini terjadi pada informan yang

5

memiliki kekasih bukan dari asal
budaya yang sama bahkan negara yang
berbeda melainkan dari budaya Eropa
dan berkewarganegaraan asing yang
notabennya memiliki culture
yang
sangat
kontras
dengan
culture
Indonesia.
Hubungan pacaran yang dilakukan
Mayda
dan
informan
lainnya
merupakan
bentuk
komunikasi
antarbudaya,
informan
melakukan
interaksi dan komunikasi dengan pria
Eropa yang memiliki perbedaan budaya.
Menjalin hubungan pacaran dengan
orang yang berbeda kebudayaan tidak
terlepas dari peran keluarga, latar
belakang
keluarga
mempengaruhi
seseorang dalam memilih pasangan.
Ketika perempuan Indonesia yaitu Ovy,
Umi, dan Mayda berkomunikasi dengan
pasangannya itulah yang disebut
komunikasi antarbudaya karena kedua
belah pihak “menerima” perbedaan
diantara mereka sehingga bermanfaat
untuk
menurunkan
tingkat
ketidakpastian dan kecemasan dalam
hubungan mereka.
Komunikasi terjadi pada informan
dan
pasangannya
bukan
hanya
dipengaruhi oleh budaya dari masingmasing individu melainkan juga
dipengaruhi adanya kesenjangan jarak
dalam hubungan pacaran jarak jauh
yang mereka jalani sampai saat ini.
Komunikasi yang terjalin dalam
hubungan pacaran jarak jauh mereka
memang tidaklah begitu lancar seperti
pasangan pada umumnya yang bisa
bertemu dan menghubungi kapan saja.
Adanya perbedaan waktu dan
pekerjaan yang membuat informan
melakukan komunikasi setiap hari pada
malam hari melalui media sosial.
Melalui media sosial seperti skype,
faceboook. Family contact day, dll
informan bisa berkomunikasi dengan
pasangannya yang berada di Eropa.
Perkembangan
alat
komunikasi

sekarang ini komunikasi bisa dilakukan
kapan saja, dimana saja dengan mudah.
Adanya perbedaan waktu antara
Indonesia
dan
Eropa
membuat
komunikasi yang terjalin antara
informan dan kekasihnya terjadwal pada
malam hari. Komunikasi yang terjalin
melalui media sosial ini dapat
menyebabkan ketergantungan pada
media, yang mana hanya melalui media
sosial informan bisa berkomunikasi
dengan kekasihnya, keluarga, dan
teman-teman kekasihnya yang berada di
Eropa. Perkembangan dan kemajuan
teknologi saat ini membuat seseorang
lebih
mudah
menjangkau
dan
berkomunikasi dengan orang yang
berada di negara yang berbeda. Melalui
perkembangan teknologi yang bisa
bebicara dan melihat orang lain yang
berada jauh seperti melalui skype dapat
membuat informan mengetahui keadaan
pasangan dan layaknya komunikasi face
to face meskipun pada kenyataanya
mereka berada pada jarak yang jauh.
Menjalin hubungan pacaran jarak
jauh beda budaya tidaklah mudah, hal
ini disebabkan adanya kecemasan dan
ketidakpastian dalam sebuah hubungan.
Oleh karena itu, dibutuhkan kompetensi
komunikasi
antarbudaya
untuk
mengetahui sejauh mana perilaku
komunikasi Umi, Ovy, dan Mayda
dalam upaya menyesuaikan diri
terhadap budaya Eropa dalam menjalin
hubungan pacaran jarak jauh.
a. Motivasi
Motivasi merupakan dimensi paling
penting dalam kompetensi komunikasi.
Jika kita tidak termotivasi dalam
berkomunikasi dengan orang lain maka
tidak akan ada gunanya kemampuan
yang dimiliki. Menurut (Martin &
Nakayama, 2007: 435) motivasi bisa
dinilai sebagai hasrat untuk membuat
komitmen dalam hubungan, untuk
belajar tentang diri dan orang lain, dan
untuk menyisakan keluwesan. Rasa

6

dimiliki informan mengenai budaya
Eropa dapat membantu informan dalam
menyesuaikan diri dengan kekasihnya
sehingga informan mampu mengurangi
kecemasan dan ketidakpastian dalam
hubungan yang dijalani. Pengetahuan
dipahami
sebagai
kualitas
dari
pemahaman kita tentang apa yang
dibutuhkan dan tindakan supaya
memiliki
kompetensi
komunikasi
antarbudaya (Rahardjo, 2005: 71).
Pengetahuan yang dimiliki Umi
mengenai budaya Eropa yang tidak
terlepas dari party dan vodkha tidak
mempengaruhi perilaku umi dalam
berkomunikasi dengan Kirill, karena
Kirill merupakan seorang muslim yang
tidak minum-minuman keras, sehingga
hal ini tidak menjadi masalah dalam
hubungan Umi. Namun mengenai party
yang sering dilakukan European Umi
tidak begitu mempermasalahkan, karena
saat Umi berada di Rusia dia pernah
diajak teman-temannya dan Kirill
mengikuti party di salah satu acara
temannya sebagai bentuk menghormati,
dan tentunya Umi masih menjaga
aturan-aturan seorang muslim yang
tidak minum-minuman keras seperti
vodkha dan berdansa.
c. Kecakapan
Kecakapan
dalam
perilaku
komunikasi bisa terlihat bagaimana
kemampuan seseorang untuk memberi
perhatian
atau
mengamati
dan
mendengarkan, kemampuan mengelola
kecemasan dan menyesuaikan perilaku
melalui bagaimana mereka berinteraksi
dan keterbukaan diri. Kecakapan
menyangkut pada kinerja perilaku yang
sebenarnya yang dirasakan efektif dan
pantas dalam konteks komunikasi
(Rahardjo, 2005: 71). Hal ini dilakukan
informan
melalui
pembicaraanpembicaraan yang mereka lakukan dan
topik
pembicaraan
yang
sesuai
membantu mereka untuk mengetahui
lebih dalam mengenai kekasihnya dan

nyaman dan senang dalam menjalin
hubungan serta keinginan untuk
mempertahankan hubungan, mampu
menurunkan
kecemasan
dan
ketidakpastian dapat menjadi motivasi.
Rasa bahagia dan nyaman juga
dirasakan oleh informan yang sebagai
bentuk motivasi mereka menjalin
hubungan pacaran.
Rasa bahagia dan nyaman bisa
dirasakan jika diantara keduanya
memiliki persamaan hobby, cara
berfikir,
pandangan
mengenai
kehidupan, dll. Menjalin hubungan
pacaran adalah sebuah bentuk visi
memperoleh kebahagiaan (Armstrong,
2005). Jika seseorang merasa bahagia
dalam hubungan yang dijalani maka
merekapun memiliki motivasi dalam
menjalin hubungan pacaran. Faktor
keluarga dalam pacaran beda budaya
juga merupakan motivasi, yang mana
orang tua Mayda dan Umi sudah
mengetahui dan menyetujui hubungan
mereka dengan pria Eropa.
b. Pengetahuan
Berdasarkan hasil wawancara dengan
seluruh informan, ternyata pengetahuan
mereka cukup luas mengenai budaya
Eropa. Pengetahuan mengenai budaya
baru yaitu budaya Eropa diperoleh
informan ketika mereka berkunjung ke
Eropa.
Penting
kiranya
untuk
membekali diri dengan pengetahuan
tentang budaya yang mana tempat
kekasih informan tinggal. Kesadaran
diri untuk memahami budaya Eropa
merupakan langkah awal dalam
menjalin hubungan pacaran.
Menurut pernyataan informan
bahwa budaya Eropa cenderung bebas,
individual, memiliki rasa ingin tahu
yang besar, dan tidak bisa terlepas dari
party dan vodkha . Komunikasi yang
Ovy, Umi, dan Mayda lakukan
merupakan bentuk mengumpulkan
informasi akan perbedaan dan kesamaan
budaya yang ada. Pengetahuan yang

7

dapat membantu menyesuaikan diri.
Seperti yang diungkapkan oleh Ovy
bahwa ia sering membicarakan atau
mendiskusikan mengenai perbedaan
yang ada untuk mengetahui cara berfikir
kekasihnya yang berbeda budaya.
Hal serupa juga sering dilakukan
oleh kedua informan lainnya bahwa
mereka memiliki rasa ingin tahu yang
besar mengenai budaya Eropa sebagai
kemampuan
untuk
mengelola
kecemasan dan menyesuaikan perilaku.
Menjalin
komunikasi
antarbudaya
dibutuhkan
kemampuan
untuk
bertoleransi pada ambiguitas, dalam
komunikasi antarbudaya seringkali
terjadinya perbedaan berperilaku yang
mengakibatkan
ambiguitas
dalam
hubungan. Menurut Ovy, Umi, dan
Mayda perbedaan perilaku seringkali
terjadi karena perbedaan cara berfikir
antara Indonesian dan European.
Penilaian terhadap budaya Eropa
dan European berdasarkan pengalaman
dan adanya kontribusi stereotip terhadap
penilaian yang mampu mempengaruhi
pola perilaku komunikasi mereka.
Namun, kontribusi stereotip yang
terdapat pada informan tidak begitu
mempengaruhi perilaku komunikasi
yang terjalin dalam hubungan dengan
pria Eropa, hal ini dikarenakan adanya
komunikasi yang baik dan toleransi
pada budaya masing-masing sebagai
kecakapan menyesuaikan diri yang
dimiliki informan.
4.2.Proses Adaptasi Komunikasi
Antarbudaya yang Dilakukan
Individu
Dewasa
Muda
Perempuan
yang
Menjalin
Pacaran Jarak Jauh dengan Pria
Eropa
Proses adaptasi berkaitan dengan
usaha menerima pola-pola dan aturanaturan komunikasi dominan yang ada di
budaya baru. Kim (dalam Mulyana dan
Rakhmat (eds), 2009: 137) menjelaskan
bahwa komunikasi befungsi sebagai alat

untuk menafsirkan lingkungan fisik dan
sosial kita sehingga komunikasi dapat
membantu individu menyesuaikan diri
dan berhubungan dengan lingkungan.
Berdasarkan
keselarasan
jawaban
dengan seluruh informan bahwa mereka
tidak begitu mengalami kesulitan
beradaptasi yang begitu berarti,
kesulitan hanya terjadi pada awal-awal
pacaran, selanjutnya mereka mampu
menghadapikesulitan-kesulitan tersebut.
Hal yang paling penting dalam
memprediksi adaptasi adalah frekuensi
partisipasi dengan budaya baru (Begley
dalam Samovar, Porter, dan McDaniel
(eds), 2006: 392). Menjalin hubungan
pacaran membuat Ovy, Umi, dan
Mayda terbiasa dengan pasangannya
dalam berkomunikasi, tentunya tidak
terlepas dari bantuan pihak lain seperti
komunikasi yang mereka lakukan
dengan keluarga, teman pasangan yang
seorang European dan peranan media
yang dapat memudahkan mereka
melakukan adaptasi.
Keberhasilan adaptasi seseorang,
tergantung pada seberapa fungsional
kompetensi komunikasi antarbudaya
yang dimiliki dan strategi akomodasi
melalui komunikasi
yang dapat
mengarah
kepada
komunikasi
antarbudaya yang efektif (Begley dalam
Samovar Porter dan McDaniel (eds.)
2006: 392). Proses adaptasi tidak
terlepas dari unsur-unsur kebudayaan
yang sudah ada, yang mana dalam
hubungan pacaran beda budaya ini
adaptasi perlu dilakukan karena
perbedaan budaya yang ada akan
mempengaruhi hubungan yang terjalin.
Kebudayaan yang dimiliki seseorang
akan berpengaruh pada tingkah laku,
cara berfikir dan bagaimana seseorang
menyikapi suatu permasalahan.
Adaptasi komunikasi antarbudaya
yang dilakukan informan yaitu melalui
bahasa, yang mana kekasih informan
yang seorang European menggunakan

8

bahasa Inggris dan bahasa dari asal
mereka untuk berkomunikasi. Menurut
(Soekanto, 1990: 176), bahasa terdiri
atas bahasa lisan dan bahasa tertulis,
kebudayaan yang beragam sangat
berpengaruh
pada
bahasa
yang
dipakainya. Bahasa merupakan salah
satu unsur kebudayaan yang dimiliki
setiap kelompok budaya, dalam
komunikasi antarbudaya dibutuhkan
penyesuaian bahasa yang merupakan
perilaku komunikasi.
Adaptasi bahasa yang digunakan
informan untuk berkomunikasi dengan
kekasihnya adalah bahasa Inggris
sebagai bahasa sehari-hari. Bahasa
mempunyai peran dan pengaruh yang
besar dalam proses komunikasi,
bagaimana
seseorang
mampu
menangkap apa yang dimaksud melalui
bahasa. Menurut Gudykunst dan Kim
(2003: 337), adaptasi dapat terjadi
dalam dimensi kognitif dalam dimensi
kognitif, terjadi penyesuaian bahasa
verbal dan nonverbal. Pada proses
adaptasi bahasa, informan terkadang
mengalami kesulitan untuk memahami
ekspresi verbal dari pasangannya seperti
cara pengucapan dan logat yang yang
berbeda.
Perbedaan
bahasa
(language
difference)
khususnya
yang
berhubungan dengan aksen, artikulasi
yang kurang jelas dan pronounciation
yang mengakibatkan terjadinya miss
communication
sebuah
hubungan,
dalam komunikasi antarbudaya juga
dipengaruhi oleh komunikasi verbal dan
non-verbal komunikasi verbal orang
Eropa tentunya berbeda dengan orang
Indonesia, di Eropa komunikasi verbal
bisa dilihat dari gaya berbicara yaitu,
pada masyarakat Anglo Saxon seperti di
Eropa bagian barat mereka berbicara
dengan
lawan
bicaranya
secara
bergantian sedangkan pada masyarakat
oriental seperti Indonesia pada saat
komunikasi terdiam itu karena adanya

misunderstanding (Trompenaars &
Turner, 2009: 74). Sedangkan pada
komunikasi non-verbal orang Eropa
menggunakan eye-contact seperti yang
ada di Indonesia sebagai komunikasi
non-verbal yang menandakan bahwa
komunikan
tertarik
untuk
berkomunikasi (Trompenaars & Turner,
2009: 74). Dari proses adaptasi yang
Umi, Ovy, dan Mayda lakukan
membuat
mereka
terinspirasi
mempelajari bahasa dari asal kekasih
mereka.
Menjalin hubungan pacaran beda
budaya tidak hanya dilakukan dengan
adaptasi bahasa saja, akan tetapi
adaptasi
mengenai
sistem
kemasyarakatan seperti pergaulan juga
perlu dilakukan. Seperti yang kita
ketahui bahwa budaya Eropa memiliki
cara pergaulan yang sangat berbeda
dengan budaya Indonesia. Hal ini
tentunya akan mempengaruhi informan
dalam menjalin hubungan pacaran
dengan pria Eropa, oleh karena itu
dibutuhkan adaptasi pergaulan dalam
menjalin hubungan pacaran. Pergaulan
di Eropa menganut budaya barat yaitu
kebebasan berperilaku mulai dari seks
bebas, minuman keras, hedonisme yang
tidak diikat pada suatu peraturan agama
sebagai bentuk public act display.
Berdasarkan pernyataan informan
diketahui bahwa budaya Eropa yang
merupakan budaya dari kekasihnya
sangat bertolak belakang dari nilai-nilai
budaya yang ada di Indonesia. Hal ini
tentunya dibutuhkan adaptasi dalam
menjalin hubungan pacaran. Adaptasi
yang informan lakukan terhadap budaya
kekasihnya yaitu, informan lebih
memberikan
penjelasan
terhadap
kekasihnya bahwa pergaulan di Eropa
yang bebas tidak bisa ia terapkan dalam
hubungan yang ia jalani. Proses adaptasi
yang informan lakukan tidak terlepas
dari negosiasi yang dilakukan dalam
hubungan pacaran. Negosiasi dalam

9

hubungan terjadi setiap saat. Negosiasi
seringkali bukanlah jalan untuk
mendiskusikan sebuah masalah, tetapi
cara untuk belajar lebih banyak tentang
pihak lain dan meningkatkan saling
ketergantungan
(Lewicki,
Barry&
Saunders, 2012: 365-369).
Proses negosiasi dalam hubungan
yang
informan
lakukan
tidak
sepenuhnya berhasil, hal ini bisa terlihat
dari pernyataan Mayda bahwa dia sudah
pernah
berciuman
dengan
Nic.
Berdasarkan hasil wawancara yang
peneliti dapatkan diketahui bahwa
Mayda dan Ovy sedikit banyak
berperilaku kebarat-baratan. Perilaku
kebarat-baratan merupakan gaya atau
tingkah laku yang menyerupai budaya
barat yang seperti Mayda dan Ovy
lakukan dengan berciuman dengan
kekasihnya. Menjalin hubungan pacaran
memang sangat dibutuhkan keintiman
dalam hubungan. Keintiman adalah
sebuah perasaan yang menandakan
adanya kedekatan dan konektivitas
antara individu satu dengan lainnya
(Gamble&Gamble, 2005: 268). Akan
tetapi
dalam
budaya
Indonesia
keintiman
tidak
selayaknya
diekspresikan dengan hal-hal yang
melanggar norma-norma dan nilai-nilai
budaya, seperti berciuman. Perilaku
tersebut merupakan sebuah bentuk
pergeseran budaya yang ada dalam
hubungan pacaran beda budaya.
Pergeseran budaya yang terjadi dalam
hubungan Ovy dan Mayda juga
merupakan pelanggaran atau keluar dari
keyakinan yang mereka miliki yaitu
sebagai seorang muslim. Adaptasi
dalam hubungan pacaran beda budaya
yang
mereka
jalani
ternyata
memepengaruhi cara berfikir dan
tingkah laku mereka yang tidak sesuai
dengan budaya Indonesia. Mayda dan
Ovy merasa berciuman adalah hal yang
wajar dan merupakan sebuah bentuk
show of the love. Hubungan pacaran

yang dilakukan orang Eropa atau
budaya barat memang sudah hal yang
biasa jika melakukan ciuman dengan
kekasihnya, hal ini tentunya sering kita
jumpai jika kita berapa di Eropa atau di
film-film barat karena berciuman adalah
sebuah ekspresi small gesture yang ada
di barat dalam menjalin hubungan
(Sarwendah, 2009). Apa yang dilakukan
Ovy dan Mayda merupakan bentuk
adaptasi
komunikasi
antarbudaya,
karena mereka melakukan penyesuain
diri terhadap budaya kekasihnya
meskipun hal tersebut tidak sesuai
dengan budaya Indonesia dan agama
yang diyakini Ovy dan Mayda.
Adaptasi pergaulan yang informan
lakukan dalam menjalin hubungan beda
budaya juga tercermin dari etika makan
yang ada di Eropa, berdasarkan hasil
wawancara yang peneliti lakukan
diketahui bahwa etika makan di Eropa
berbeda dengan di Indonesia. Etika
makan yang berbeda antara Indonesia
dan Eropa bisa terlihat dari tata cara
makan mulai dari makanan pembuka
sampai penutup dan adanya champagne
dalam menu makan. Tata aturan makan
di Eropa sangant berbeda dengan di
Indonesia apalagi di Jawa yang
notabenya informan tinggal di Jawa.
Masyarakat Jawa tidak mempunyai
aturan khusus mengenai tata cara makan
peralatan makan disediakan pun tidak
banyak macamnya (Kridalaksana, 2001:
26).
Hal tersebut tentunya membuat
informan harus beradaptasi dengan etika
makan yang ada di Eropa sebagai
bentuk menghargai budaya kekasih.
Namun, seperti yang kita ketahui bahwa
champagne
merupakan
minuman
berakohol yang tidak tersedia dalam
menu makan orang Indonesia apalagi
seorang muslim. Adaptasi antarbudaya
yang dilakukan Mayda terhadap budaya
kekasihnya justru mengalami perubahan
perilaku
yang
mengakibatkan

10

Menjalin hubungan pacaran seseorang
menginginkan
pasangannya
untuk
selalu mau mendengar, mencintai,
penuh perhatian, dan masih banyak lagi
yang harus dilakukan sebagai bentuk
kasih sayang. Pernyataan tersebut sesuai
dengan apa yang dinyatakan Devito
(2007, 247), bahwa seseorang memiliki
tuntutan
yang
lebih
terhadap
pasangannya
pasangannya
untuk
simpati dan empati, bersedia untuk
membuka diri secara total, atau berbagi
mengenai hal-hal yang istimewa secara
intensif.
Keintiman yang mereka dapatkan
lebih banyak tidak bisa dirasakan secara
langsung karena hanya melalui alat
komunikasi seperti chat, blacberry
messager, atau lewat skype sehingga
berkurangnya keakraban fisik yang
tidak bisa terpuaskan secara rutin dalam
menjalin pacaran jarak jauh. Meskipun
komunikasi yang terjalin melalui skype,
video call, dll keakraban, kedekatan,
dan rasa kangen dalam hubungan
pacaran jarak jauh bisa sedikit terobati,
karena mereka bisa berbicara dan
bertatap muka melalui media namun hal
tersebut tidak bisa menggantikan
keintiman dan kedekatan layaknya
komunikasi face to face. Adanya
hambatan dalam komunikasi tatap muka
tidak menjadikan hubungan Ovy, Umi,
dan Mayda berakhir karena adanya rasa
pengertian dan selalu mendiskusikan
permasalahan yang ada membuat
mereka mampu mempertahankan dan
menjaga hubungan jarak jauh tetap
harmonis karena sudah menjadi resiko
dalam hubungan yang terjalin tidak bisa
bertemu dan mengekspresikan apa yang
dirasakan secara langsung.
c.
Third-party Relationship
Sebuah hubungan akan terganggu
jika ada pihak ketiga dalam sebuah
hubungan tersebut, maka hubungan
yang utama akan mengalami masalah
(devito, 2007: 247). Berdasarkan hasil

pergeseran budaya seorang Indonesian
yang bergama muslim bertingkah laku
seperti European. Pergeseran budaya
tersebut terjadi karena tidak adanya
filter
pada
diri
Mayda
yang
mengakibatkan
Mayda
mudah
mengadopsi budaya Eropa yang
merupakan budaya kekasihnya sehingga
identitas diri Mayda sebagai perempuan
Indonesia yang bergama muslim luntur
oleh pengaruh budaya Eropa selama
menjalin hubungan pacaran dengan
European.
4.2.Hambatan
Komunikasi
dan
Strategi Mengatasi Hambatan
Komunikasi Antarbudaya dalam
Hubungan Pacaran Jarak Jauh
Melihat
bahwa
komunikasi
antarbudaya bermula dari komunikasi
antarpribadi
maka,
gangguan
komunikasi antarpribadi juga dapat
menjadi gangguan pada saat komunikasi
antarbudaya berlangsung. Ganguan
komunikasi tersebut antara lain sebagai
berikut:
a.

Belief About Relationship
Kepercayaan individu terhadap
sebuah hubungan akan mempengaruhi
dalam sebuah hubungan itu sendiri
(Devito, 2001: 246). Kepercayaan dapat
timbul dengan adanya keterbukaan
dalam menjalin hubungan pacaran.
Menurut pernyataan informan mereka
menanamkan
kepercayaan
kepada
pasangannya karena kepercayaan dalam
hubungan itu penting terlebih lagi
mereka menjalin hubungan pacaran
jarak jauh yang tidak bisa memonitor
perilaku pasangan. Oleh karena itu
mereka hanya bisa mengandalkan
kepercayaan kepada pasangan untuk
menjaga agar hubungan yang terjalin
dengan pasangan yang berada di Eropa
tetap berjalan baik.
b.
Excessive Intimacy Claim

11

wawancaran dengan seluruh informan
mereka tidak pernah mengalami adanya
hambatan karena pihak ketiga, hal ini
tidak terjadi pada informan penelitian
karena kepercayaan yang dimiliki oleh
masing-masing pasangan. Menjalin
hubungan pacaran jarak jauh memamng
tidaklah mudah, seringkali timbul rasa
khawatir dan curiga yang berlebihan,
apalagi ketika pasangan tidak bisa
dihubungi. Namun hal ini tidak terjadi
karena dalam menajalin hubungan
dibutuhkan keterbukaan diri dan raas
percaya satu sama lain.
d. Relationship Change
Kemunduran dalam hubungan
merupakan hal yang sering terjadi pada
hubungan pacaran, terlebih lagi pada
pacaran jarak jauh yang memang
mereka tidak bisa bertemu dan
berkomunikasi kapan saja ia inginkan.
Namun kemunduran yang terjadi pada
hubungan Ovy tidak berjalan lama
karena mereka mampu mengatasi
permasalahan tersebut. Kemunduran
dalam hubungan juga sempat terjadi
pada Umi dan Kirill yang pada saat itu
Kirill harus menjalankan wajib militer
sesuai peraturan di Rusia bahwa setiap
pria dewasa diwajibkan untuk wajib
militer. Kemunduruan hubungan yang
terjadi pada hubungan Umi dapat
terselesaikan
ketika
Kirill
telah
menyelesaikan
wamil
nya
dan
hubungan mereka pun kembali normal.
Hambatan ini mampu mereka atasi
karena adanya rasa saling mencintai dan
ingin mempertahankan hubungan, hal
ini pun tidak terlepas dari kematangan
emosional yang dimiliki sehingga
mampu menyelesaikan permasalahan
tersebut.
e.
Undefined Expectation
Seseorang memiliki harapan yang
terkadang tidak realistis misalnya saja
ketika seseorang mempunyai harapan
untuk selalu bersama, namun dalam
kenyataan tidak dapat terwujud, maka

akan mengakibatkan berkurangnya
perasaan diantara keduanya (Devito,
2007: 248). Hal ini dialami oleh seluruh
informan yang mana mereka berharap
bisa menghabiskan waktu bersama
pasangannya, namun karena jarak yang
tidak
memungkinkan
mereka
menghabiskan
waktu
bersama
pasangannya.
Menjalin
hubungan
pacaran
seringkali
adanya
ketidakpastian harapan siapa yang harus
berkorban dalam sebuah hubungan
(Ledere dalam Devito,2007:248). Hal
ini dirasakan oleh Umi yang merasa
bahwa
pengorbanan
dalam
hubungannya tidak imbang satu sama
lain. Menjalin hubungan pacaran
dibutuhkan pengertian satu sama lain,
jika pengertian dalam hubungan dapat
dilakukan maka permasalahan karena
ketidakseimbangan dalam pengorbanan
dan ketidak sesuaian harapan untuk
bertemu mampu diatasi dengan bersikap
mengalah
untuk
mempertahankan
hubungan.
f. Work-related Problem
Pekerjaan juga sering menjadi
faktor kemunduran sebuah hubungan,
hal ini berlaku untuk semua jenis
hubungan.
Hal
ini
menyangkut
pendapat pasangan dalam sebuah
hubungan, jika gaji wanita lebih tinggi
atau waktunya lebih dihabiskan dalam
pekerjaannya
maka
hal
ini
mengakibatkan kemunduran dalam
hubungan (Devito, 2007: 248). Masalah
pekerjaan juga menjadi kendala dalam
hubungan salah satu informan, yang
mana pekerjaan pasangan yang sibuk
sehingga mengganggu komunikasi yang
terjalin.
Masalah pekerjaan tidak membawa
pengaruh dalam hubungan Umi karena
mereka memiliki kesibukan masingmasing. Namun terkadang hal ini
menjadi permasalahan seperti yang
diungkapkan Umi bahwa komunikasi
yang terjalin dengan Kirill tidak lancar

12

dikarenakan disaat kirill sibuk Umi
mempunyai waktu luang, begitu juga
sebaliknya. Namun dengan adanya
kompromi dalam menjalin sebuah
hubungan
yang
menghasilkan
kesepakatan-kesepakatan
dalam
hubungan yang terjalin baik Umi
maupun Kirill mampu menyelesaikan
permasalahan tersebut. Permasalahan
ini tidak dialami oleh Ovy dan Mayda
karena mereka belum bekerja sehingga
mempunyai banyak waktu meskipun
kekasih mereka sudah bekerja tetapi
mereka tidak mempermasalahkan hal
tersebut karen mereka sudah terbiasa.
g. Financial Difficulties
Uang sangat penting dalam
sebuah hubunan karena uang dapat
memberikan kekuatan dalam sebuah
hubungan (Devito, 2007: 249). Setiap
individu secara sadar akan merasa
nyaman menjalin hubungan selama
hubungan tersebut memuaskan ditinjau
dari segi ganjaran. Oleh karena itu uang
juga dapat menjadi hambatan dalam
sebuah hubungan. Berdasarkan hasil
wawancara dengan informan financial
dalam konteks ini informan tidak terlalu
mempermasalahkan financial pasangan
mereka karena ketiga kekasih informan
sudah memiliki pekerjaan. Namun,
mereka perlu mengetahui segi financial
dari kekasihnya karena mempunyai
harapan hubungan sampai pernikahan,
belum lagi biaya
yang harus
dikeluarkan untuk bertemu sangat besar
kerena Indonesia-Eropa. Hal ini terjadi
pada kekasih Ovy yang kejar setoran
untuk bisa ke Indonesia dan bertemu
dengan keluarga Ovy. Biaya berkunjung
ketempat pasangan juga tidak sedikit
sehingga hal ini sedikit mempengaruhi
dalam hubungan Umi, Ovy, dan Mayda
mereka harus mengumpulkan uang
terlebih dahulu untuk bisa ke Eropa.
Namun,
mereka
tidak
terlalu
mengkhawatirkan akan hal ini menjadi
masalah dalam hubungan karena

mereka mampu menjalin komunikasi
untuk memecahkan permasalahan ini
dengan adanya kesepakatan dalam
hubungan.
h. Rintangan Kerangka Berfikir
Perbedaan kerangka berfikir terjadi
karena adanya perbedaan persepsi,
perbedaan ini dikarenakan adanya
perbedaan pengalaman (Cangara, 1998:
156). Pada komunikasi antarbudaya
yang ideal seseorang mengharapkan
banyak persamaan dalam pengalaman
dan persepsi, namun karakter budaya
cenderung memperkenalkan kepada
pengalaman-pengalaman yang tidak
sama. Perbedaan kerangka berfikir yang
dimiliki Umi dan Kirill juga
mempengaruhi hubungan yang mereka
jalani, yang menurut Kirill seorang
perempuan dewasa diwajibkan bekerja
hal itu sesuai dengan budaya yang ada
di Eropa, bahwa baik pria dan wanita
dewasa diwajibkan bekerja dan tidak
adanya perbedaan gender dalam sebuah
pekerjaan. Hal ini tentunya berbeda
dengan cara berfikir Umi yang mana di
Indonesia tidak diwajibkan bekerja
apalagi budaya Indonesia perempuan
yang sudah menikah lebih banyak
menghabiskan waktu dirumah sebagai
ibu rumah tangga dibandingkan harus
bekerja. Namun dengan adanya sikap
terbuka dan penjelasan yang reasonable
membuat pasangan mengerti bahwa
perbedaan budaya mempengaruhi cara
berfikir pasangan yang berbeda, dan hal
ini mampu mereka atasi dengan adanya
sikap mengerti dan bertoleransi
terhadap pasangan yang memiliki latar
belakang budaya yang berbeda.
i. Rintangan Budaya
Rintangan
budaya
merupakan
rintangan yang terjadi disebabkan
karena adanya perbedaan norma,
kebiasaan, dan nilai-nilai yang dianut
oleh pihak-pihak yang terlihat dalam
komunikasi (Cangara, 1998: 156).
Situasi ini dialami oleh Ovy dan Mayda

13

bahwa dalam hubungan pacaran beda
budaya yang mereka jalani tentunya
mengakibatkan perilaku yang berbeda
dalam hubungan. Seperti yang kita
ketahui bahwa budaya Eropa berbeda
dengan budaya Indonesia, di Eropa
sepasang kekasih berciuman ditempat
umum atau berpelukan adalah hal yang
wajar namun hal ini sangat berbeda
dengan di Indonesia yang menekankan
pada norma-norma yang berlaku.
Berdasarkan
hasil
wawancara
dengan Ovy diketahaui bahwa rintangan
budaya yang dialami adalah pada
bahasa
dan
bagaimana
seorang
European menajalin hubungan pacaran.
Bahasa merupakan salah satu identitas
dari suatu kebudayaan yang mana
kekasih Ovy kurang lancar dalam
berbahasa Inggris sehingga hal ini
dibutukan perhatian dan pemahaman
yang lebih dalam berkomunikasi.
Permasalahan pada bahasa ini juga
dialami oleh Mayda yang mana kekasih
Mayda yang berwarga negara Perancis
terkadang memiliki logat yang berbeda
dalam
berkomunikasi
sehingga
mengakibatkan ketidak pahaman atau
kebingungan dalam menerima pesan.
Rintangan
budaya
yang
begitu
mencolok adalah bagaimana hubungan
pacaran yang terjalin di Eropa berbeda
dengan di Indonesia. Di Eropa mereka
lebih ekpresif dalam mengungkapkan
rasa cinta “show the love relationship”
seperti berciuman atau berpelukan
ditempat umum sudah menjadi hal yang
biasa, menjalin hubungan pacaran di
Eropa dengan adanya free sex juga
bukan hal yang awam lagi karena
memang di Eropa tidak ada batas-batas
norma yang berpatokan pada agama
seperti di Indonesia, hal tersebut
tentunya sangat bertolak belakang
dengan kebudayaan yang dimiliki Ovy
dan Mayda yang mana mereka
merupakan seorang muslim dan tinggal
di jawa yang kental akan adat istiadat

dan nilai-nilai agama dan norma yang
berlaku. Hambatan pada bahasa mampu
mereka atasi dengan adanya sikap aktif
untuk menanyakan kembali pada
kekasih mereka jika ada yang tidak
mereka mengerti, akan tetapi dari hasil
keseluruhan wawancara dengan Ovy
dan Mayda diketahui bahwa mereka
mampu mengatasi perbedaan gaya
berpacaran seperti free sex
dalam
hubungan
yang dijalani dengan
terjalinnya
kesepakatan
dalam
hubungan dan toleransi, akan tetapi
mereka justru tidak mempermasalahkan
adanya ciuman dalam hubungan
pacaran. Akan tetapi hambatan tersebut
tidak terjadi pada Umi yang memang
kekasih Umi juga seorang muslim.
V. KESIMPULAN
1. Adanya toleransi dan pengertian
dalam sebuah hubungan pacaran
membuat komunikasi yang dilakukan
subyek penelitian cukup efektif
sehingga hubungan bisa bertahan
sampai saat ini. Hal ini tidak terlepas
oleh peran media online sebagai alat
komunikasi dalam pacaran jarak
jauh,
yang
mengakibatkan
ketergantungan pada media dalam
menjalin hubungan serta komunikasi
yang bersifat terjadwal. Motivasi
yang
tinggi
dimiliki
subyek
penelitian dalam menjalin hubungan
pacaran jarak jauh beda budaya
membuat subyek penelitian untuk
berperilaku adaptif
terhadap
perbedaan budaya dalam hubungan
pacaran beda budaya sehingga
terciptanya hubungan yang harmonis.
2. Proses
adaptasi
dipengaruhi
frekuensi partisipasi dengan budaya
baru
yang
membuat
subyek
penelitian secara
aktif untuk
menyesuaikan
diri
dengan
kebudayaan pasangannya. Adaptasi
yang dilakukan tidak terlepas pada
unsur kebudayaan, seperti agama,
bahasa dan sistem kemasyarakatan

14

sebagai bentuk penyesuain diri dalam
hubungan pacaran beda budaya.
Dalam proses adaptasi juga dapat
mempengaruhi pergeseran budaya
seperti
pada
perilaku
yang
menyimpang dari nilai budaya yang
dimiliki karena tidak adanya filter
pada diri sehingga subyek penelitian
mudah
mengadopsi
budaya
pasangan.
3. Hambatan komunikasi antarbudaya
dalam hubungan pacaran jarak jauh
pernah
terjadi
yaitu
pada
berkurangnya keakraban fisik karena
intensitas pertemuan yang minim,
pekerjaan serta dibutuhkannya biaya
yang
cukup
besar
untuk
mempertahankan hubungan tersebut
sehingga
kemunduran
dalam
hubungan tidak bisa dihindari.
Namun hambatan ini mampu diatasi
dengan kematangan emosional yang
dimiliki, pengertian, keterbukaaan
diri, kompromi dan sifat mengalah
untuk mempertahankan hubungan.
Hambatan yang sangat terlihat dalam
penelitian ini adalah pada rintangan
buday