Penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah Di Kecamatan Toili, Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah

PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU
PADI SAWAH DI KECAMATAN TOILI, KABUPATEN
BANGGAI, SULAWESI TENGAH

RISKI ROSADILLAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Penerapan Pengelolaan
Tanaman Terpadu Padi Sawah di Kecamatan Toili, Kabupaten Banggai Sulawesi
Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2017
Riski Rosadillah
NIM I351140121

RINGKASAN
RISKI ROSADILLAH. Penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah di
Kecamatan Toili, Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah. Dibimbing oleh ANNA
FATCHIYA dan DJOKO SUSANTO.
Kondisi Indonesia pada saat ini di bidang pertanian khususnya usahatani padi
sawah banyak mengalami permasalahan, diantaranya terjadi penurunan luas areal
tanam dan panen akibat konversi lahan sawah produktif, produktifitas yang semakin
menurun, serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) sulit dikendalikan, dan
semakin terbatasnya sumberdaya air/perubahan iklim dampak fenomena iklim yang
sulit diprediksi. Untuk mengatasi berbagai masalah tersebut diperlukan langkah
nyata, salah satu program yang diperkenalkan oleh Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) yaitu komponen teknologi pengelolaan
tanaman terpadu (PTT). PTT adalah suatu pendekatan inovasi dalam upaya
peningkatan efisiensi usahatani padi sawah dengan menggabungkan berbagai
komponen teknologi menggunakan komponen-komponen yaitu: varietas unggul,

benih bermutu, sistem tanam, pengairan berselang, pemupukan berimbang,
pengendalian gulma, hama dan penyakit tanaman, panen dan pasca panen.
Kecamatan Toili merupakan salah satu wilayah yang menerapkan inovasi
pengelolaan tanaman terpadu mulai tahun 2008 melalui Sekolah Lapang
Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT). Mengingat Kecamatan Toili sebagai
sentral produksi di Kabupaten Banggai. Dilihat berdasarkan luas pertanaman padi
di Kabupaten Banggai seluas 40.410 ha dengan produksi 185.478 ton dan luas
pertanaman padi di Kecamatan Toili seluas 12.887 ha dengan produksi 52.494
ton sehingga menjadi sangat penting untuk menerapkan inovasi PTT dengan luas
lahan yang dimiliki.
Luas lahan pertanaman padi di Kecamatan Toili dibandingkan dengan hasil
produksi masih tergolong rendah. Rendahnya produktivitas padi sawah ini salah
satunya diduga disebabkan oleh rendahnya tingkat penerapan teknologi oleh
petani yang belum sesuainya dengan anjuran. Sejauhmana penerapan petani padi
sawah dalam menerapkan tujuh komponen pengelolaan tanaman terpadu dan
faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan penerapan PTT tersebut dikaji
dalam penelitian ini.
Secara khusus tujuan penelitian adalah: (1) menganalisis penerapan tujuh
komponen pengelolaan tanaman terpadu padi sawah yaitu varietas unggul, benih
bermutu, sistem tanam, pengairan berselang, pemupukan berimbang, pengendalian

gulma, hama dan penyakit tanaman, panen dan pasca panen di Kecamatan Toili
Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah, dan (2) menganalisis faktor-faktor yang
berhubungan dengan penerapan tujuh komponen pengelolaan tanaman terpadu padi
sawah di Kecamatan Toili Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah. Penelitian
dilakukan di Kecamatan Toili dengan memilih empat desa yang paling banyak
jumlah petani menerapkan PTT yaitu Desa Tolisu, Desa Tirta Sari, Desa Sindang
Baru, dan Desa Mekar Kencana. Sampel penelitian adalah petani yang menerapkan
PTT padi sawah sebanyak 80 orang. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Juli
hingga Agustus 2016 dan menggunakan analisis deskriptif dan korelasi rank
Spearman.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) penerapan tujuh komponen
pengelolaan tanaman terpadu padi sawah oleh petani menunjukkan bahwa terdapat
lima komponen teknologi yang tergolong tinggi yaitu: benih bermutu, sistem tanam,
pengairan berselang, pengendalian gulma, hama dan penyakit terpadu, panen dan
pasca panen, sedangkan kategori sedang pada dua komponen yaitu varietas unggul
dan pemupukan berimbang, dan (2) faktor-faktor yang berhubungan dengan tujuh
komponen penerapan pengelolaan tanaman terpadu diatas adalah varietas unggul
berhubungan nyata dengan pengalaman berusahatani, dukungan penyuluhan, dan
observabilitas. Benih bermutu berhubungan nyata dengan motivasi, dukungan

ketersediaan sarana produksi, dukungan penyuluhan, dukungan kelompok tani,
kompatibilitas, dan observabilitas. Sistem tanam berhubungan nyata dengan luas
penggarapan lahan, dukungan ketersediaan informasi, dukungan kelompok tani,
kompatibilitas, dan observabilitas. Pemupukan berimbang berhubungan nyata
dengan keuntungan relatif dan kompatibilitas. Pengendalian gulma hama dan
penyakit tanaman berhubungan nyata dengan dukungan ketersediaan sarana
produksi dan kompatibilitas.
Kata kunci: padi sawah, adopsi, inovasi, pengelolaan tanaman terpadu, petani.

SUMMARY
RISKI ROSADILLAH. Application of Integrated Crop Management of Rice Field
in Toili Sub District, Banggai District, Central Sulawesi. Supervised by ANNA
FATCHIYA and DJOKO SUSANTO.
There were many problems in agriculture, especially for rice farming in
Indonesia, including a decline in acreage planting and harvesting as a result of
conversion of wet land productive, productivity decreases, plant pest organisme
(PPO) were difficult to control, and increasingly limited water resources/climate
change impacts of climate phenomena that were difficult to predict. The real effort
is needed to resolve the problem, the programs of technology component of
integrated crop management (ICM) was introduced by the Agency for Agricultural

Research and Development (Research and Development). ICM is an innovative
approach to increase the efficiency of rice field farming business by combining the
various components of the technology (high-yielding varieties, seedlings, young
seedlings, Legowo row planting system, balanced fertilization, use of organic
materials, pest and disease control, harvest and post-harvest).
Toili Sub District is one of the area that applied the integrated crop
management (ICM) innovation since in 2008 with the Field School of Integrated
Crop Management (FS-ICM). Very important to be implemented in Toili as a center
of production of rice in Banggai. Looked by the area planted with rice in Banggai
District of 40.410 ha with a production of 185.478 tonnes and rice planting area in
Toili Sub District area of 12. 887 ha with a production of 52.494 tonnes so ICM is
very important to be implemented.
Land area for rice cultivation in the District Toili compared with the results
of the production is still low.It caused by low level of technology implementation
by farmers. The extent of adoption by the farmers in implementing the components
of integrated crop management and the factors are associated with the ICM
application were examined in this study.
Specifically this study aims to : (1) analyze application of integrated crop
management (ICM) components of rice field that high-yielding varieties, seedlings,
young seedlings, Legowo row planting system, balanced fertilization, use of

organic materials, pest and disease control, harvest and post-harvest in Toili Sub
District, Banggai District, Central Sulawesi and (2) analyze factors which
associated with the implementation the components of integrated crop management
of rice field in the Toili Sub District, Banggai District, Central Sulawesi. The study
was conducted in Tolisu, Tirta Sari, Sindang Baru, and Mekar Kencana villages in
Toili Sub District, Banggai District, Central Sulawesi from July to August 2016.
Samples were 80 farmers who apply ICM. The Data collection were analyzed by
descriptive analysis and Spearman rank correlation.
The results showed that: (1) Application of the seven components of
integrated crop management in paddy rice by farmers showed that there are five
component technologies were high, they were quality seeds, planting systems,
intermittent irrigation, weed control, integrated pest and disease, harvest and postharvest. Meanwhile, there were two medium components: high-yielding varieties
and balanced fertilization, (2) the factors which related to the implementation of the
seven components of integrated crop management above were high yielding

varieties related with farming experience, extension support, and observability.
Quality seeds related with motivation, support availability of production, support
counseling, support farmers groups, compatibility, and observability. Planting
systems related with cultivation, support the availability of information, support of
farmers groups, compatibility, and observability. Balanced fertilization related with

relative advantages and compatibility. Weed control pests and diseases related with
support availability of production and compatibility.
Key words: field paddy, adoption, innovation, integrated crop management, farmers,

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU
PADI SAWAH DI KECAMATAN TOILI, KABUPATEN
BANGGAI, SULAWESI TENGAH

RISKI ROSADILLAH

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017

Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Dr Ir Basita Ginting Sugihen, MS

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Sang Pencipta dan
Pemilik siang dan malam yang telah menciptakan manusia dengan sempurna di
antara makhluk ciptaan Allah lainnya. Alhamdulillah dengan diberikan nikmat,
kesehatan, dan kesempatan sehingga hasil tesis dari hasil penelitian ini dapat
diselesaikan.
Penulis ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada seluruh pihak-pihak
yang telah membantu dan memberikan dukungan dalam meneyeselaikan tesis ini.

Khususnya kepada Dr Ir Anna Fatchiya MSi dan Prof (Ris) Dr Djoko Susanto SKM
selaku komisi pembimbing atas segala dukungan, arahan, dan nasihat yang telah
diberikan kepada penulis baik saat penelitian maupun penulisan tesis ini. Penulis
juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada seluruh dosen dan staf
kependidikan Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan yang telah mendidik
dan mambantu penulis selama penyelesaian studi di IPB. Teriring pula rasa terima
kasih kepada petani penerapan pengelolaan tanaman terpadu padi sawah, penyuluh,
dan kelompok tani di Kecamatan Toili yang telah memberikan informasi serta
menyediakan waktu dan pikirannya untuk menjadi responden dalam penelitian ini.
Wujud syukur yang tak terhitung nilai dan harganya serta ungkapan terima
kasih penulis sampaikan kepada orang tua tercinta Ayahanda AKBP Saifullah SH
dan Hj Rosdiana Masulili SPd atas kasih sayang, doa, nasihat, didikan, pengorbanan
dan perhatian yang tiada henti-henti dicurahkan kepada penulis sampai saat ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kakanda Nanda Ardiansyah Sip atas
kasih sayang dan semangat yang diberikan kepada penulis. Tak lupa pula penulis
mengucapakan terima kasih kepada suami tercinta Mbarep Aji Prio Utomo SP atas
segala kasih sayang, bantuan, motivasi dan semangat yang telah diberikan kepada
penulis selama ini.
Kepada seluruh rekan-rekan Program Pascasarjana Ilmu Penyuluhan
Pembangunan (PPN) angkatan 2014 penulis mengucapkan terima kasih atas

kebersamaan, kerjasama, dan diskusi-diskusi selama ini. Kepada para sahabatsahabat terbaikku Reska, Nofia, Trisnawati, Melvika, Irmawati, dan gengs centes
IPB yang telah memberikan bantuan, dukungan, dan semangat kepada penulis
selama ini penulis ucapkan terima kasih.
Penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi pembaca pada umumnya
dan penulis khususnya.

Bogor, Maret 2017
Riski Rosadillah

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN


vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
3
4
4

2 TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Adopsi Inovasi
Pengelolaan Tanaman Terpadu
Faktor-faktor Berhubungan Penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu
Faktor Internal Petani
Faktor Eksternal Petani

5
5
9
15
15
18

3 KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS
Kerangka Berpikir
Hipotesis Penelitian

20
20
21

4 METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Populasi dan Sampel Penelitian
Data dan Instrumentasi
Pengumpulan Data
Konsep dan Operasionalisasi Peubah
Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen
Analisis Data

22
22
22
22
23
23
24
27
28

5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Wilayah Penelitian
Faktor Internal Petani
Faktor Eksternal Petani
Sifat-sifat Inovasi Pengelolaan Tanaman Terpadu
Penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah
Hubungan Faktor Internal Petani dengan Penerapan Pengelolaan
Tanaman Terpadu Padi Sawah
Hubungan Faktor Eksternal Petani dengan Penerapan Pengelolaan
Tanaman Terpadu Padi Sawah
Hubungan Sifat-sifat Inovasi Petani dengan Penerapan Pengelolaan
Tanaman Terpadu Padi Sawah

30
30
31
36
41
44

6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

61
61
61

51
54
57

DAFTAR PUSTAKA

62

LAMPIRAN

67

RIWAYAT HIDUP

74

DAFTAR TABEL
1 Faktor pribadi dan lingkungan yang mempengaruhi dalam setiap tahapan
adopsi
6
2 Populasi dan sampel penelitian di Kecamatan Toili
23
3 Sub peubah, definisi operasional, indikator, dan pengukuran faktor
internal petani
24
4 Sub peubah, definisi operasional, indikator, dan pengukuran faktor
eksternal petani
25
5 Sub peubah, definisi operasional, indikator, dan pengukuran sifat-sifat
inovasi pengelolaan tanaman terpadu
25
6 Sub peubah, definisi operasional, indikator, dan pengukuran penerapan
tujuh komponen pengelolaan tanaman terpadu padi sawah
26
7 Luas lahan berdasarkan jenis lahan di Kecamatan Toili, 2015
31
8 Distribusi petani berdasarkan kategori faktor internal petani
32
9 Distribusi petani berdasarkan kategori faktor eksternal petani
36
10 Distribusi petani berdasarkan tingkat dan sumber-sumber informasi
37
11 Distribusi petani berdasarkan tingkat dan sifat-sifat dukungan ketersediaan
sarana produksi
38
12 Distribusi petani berdasarkan tingkat dan kegiatan dukungan penyuluhan 39
13 Distribusi petani berdasarkan tingkat dan kegiatan dukungan kelompok
tani
40
14 Distribusi petani berdasarkan kategori sifat-sifat inovasi pengelolaan
tanaman terpadu
41
15 Distribusi petani berdasarkan kategori tujuh komponen penerapan
pengelolaan tanaman terpadu padi sawah
44
16 Distribusi petani berdasarkan tingkat dan kegiatan penerapan varietas
unggul
45
17 Distribusi petani berdasarkan tingkat dan kegiatan penerapan benih
bermutu
46
18 Distribusi petani berdasarkan tingkat dan kegiatan penerapan sistem tanam 47
19 Distribusi petani berdasarkan tingkat dan kegiatan penerapan pengairan
berselang
47
20 Distribusi petani berdasarkan tingkat dan kegiatan penerapan pemupukan
berimbang
48
21 Distribusi petani berdasarkan tingkat dan kegiatan penerapan
pengendalian gulma, hama dan penyakit tanaman
49
22 Distribusi petani berdasarkan tingkat dan pengetahuan materi panen dan
pasca panen
50
23 Nilai koefisien korelasi penerapan pengelolaan tanaman terpadu padi
sawah berdasarkan faktor internal petani
52
24 Nilai koefisien korelasi penerapan pengelolaan tanaman terpadu padi
sawah berdasarkan faktor eksternal petani
54
25 Nilai koefisien korelasi penerapan pengelolaan tanaman terpadu padi
sawah berdasarkan sifat-sifat inovasi petani
57

DAFTAR GAMBAR
1 Paradigma proses keputusan inovasi
2 Kerangka berpikir penerapan pengelolaan tanaman terpadu padi sawah
di Kecamatan Toili, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah

8
21

DAFTAR LAMPIRAN
1 Uji validitas dan reliabilitas instrumen
2 Peta Kabupaten Banggai
3 Dokumentasi penelitian

68
71
72

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan pertanian merupakan proses dinamis dalam mengolah dan
memanfaatkan sumberdaya alam untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Semakin terbatasnya sumberdaya alam baik dilihat dari segi kualitas maupun
kuantitas maka pemanfaatan sumberdaya alam harus dilakukan secara bijaksana
dan terencana dengan baik, sehingga dapat menjamin kelestarian lingkungan hidup.
Tahap awal pembangunan pertanian sudah banyak berdampak pada berbagai
macam aspek, dimulai pada tahun 1969 pada masa Pemerintahan Orde Baru
pembangunan dilaksanakan melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita)
yang semuanya dititik beratkan pada sektor pertanian. Hasil yang didapatkan pada
masa Pemerintahan Orde Baru ini yaitu pertama, peningkatan produksi khususnya
di sektor pangan yang berpuncak pada pencapaian swasembada pangan. Kedua,
sektor pertanian telah meningkatkan penerimaan devisa. Ketiga, sektor pertanian
telah mampu menyediakan bahan-bahan baku industri sehingga melahirkan
agroindustri (Winarto 1999).
Pada zaman sebelum dan sesudah orde baru konsep revolusi hijau yang di
Indonesia dikenal sebagai gerakan bimbingan masyarakat (Bimas). Bimas sebagai
program nasional bertujuan untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya
swasembada beras. Revolusi hijau mendasarkan diri pada empat pilar penting:
penyediaan air melalui sistem irigasi, pemakaian pupuk kimia secara optimal,
penerapan pestisida sesuai dengan tingkat serangan organisme pengganggu, dan
penggunaan varietas unggul sebagai bahan tanam berkualitas. Pada negara lain
misalnya di India teknologi baru dari revolusi hijau lebih mudah diterima oleh
petani karena telah mengumpulkan banyak kekuatan ekonomi dan politik
(Das 1999).
Program bimas terbukti dapat meningkatkan produksi. Menurut Winarto
(1999) produksi beras pada Pelita III meningkat sebesar 6.2 persen setiap tahunnya
dan keberhasilan puncak dicapai pada awal pelita IV tahun 1984, sehingga
Indonesia berhasil berswasembada beras. Di satu sisi program Bimas dalam
peningkatan produksi beras belum dapat meningkatkan kesejahteraan dan
kemandirian petani. Seperti dinyatakan oleh Winarto (1999) bahwa intervensi dari
pemerintah dalam pengaturan terhadap kegiatan petani mengakibatkan petani tidak
bebas dalam menentukan jenis komoditi yang akan diusahakan.
Berjalannya waktu revolusi hijau mendapat kritik seiring dengan
meningkatnya kesadaran masyarakat akan kelestarian lingkungan. Menurut
Winarto (1999) revolusi hijau berdampak pada kelestarian lingkungan, seperti
organisme penyubur tanah musnah, kesuburan tanah merosot/tandus tanah
mengandung residu (endapan pestisida), hasil pertanian mengandung residu
pestisida, keseimbangan ekosistem rusak, dan terjadi peledakan serangan dan
jumlah hama.
Menurut Babu et al. (2009) bahwa kerusakan dipandang bukan karena
revolusi hijau tetapi karena akses dalam penggunaan teknologi yang tidak
memandang kaidah-kaidah yang sudah ditentukan. Menyadari hal ini pada tahap
selanjutnya pemerintah membuat program Peningkatan Produksi Beras Nasional

2
(P2BN) dengan sasaran peningkatan produksi setara 2 juta ton beras pada tahun
2007 dan selanjutnya kenaikan 5 persen untuk setiap tahunnya (Departemen
Pertanian 2008).
Gerakan P2BN merupakan upaya yang terkoordinasi untuk memasyarakatkan
teknologi dan inovasi baru melalui pendekatan program pengelolaan tanaman
terpadu (PTT) padi sawah. Inovasi PTT yang diciptakan sebagai strategi budi daya
padi sawah memiliki kuntungan-keuntungan sebagai berikut: (a) komponen
teknologi (pengelolaan sumberdaya tanaman, lahan, dan air) dirakit dalam paket
sehingga efek secara kumulatif lebih besar dari efek secara individual, (b) agar
tercapai sinergisme yang besar antar komponen dan antar paket teknologi harus ada
interaksi positif dengan lingkungan tumbuh padi, (c) keberlanjutan adopsi teknologi
dalam rangka meningkatkan produktivitas dan pendapatan, rekomendasi teknologi
dan pengembangannya harus memperhatikan modal usahatani, potensi sumberdaya
dan akses ke pasar dan (d) keberhasilan pengembangan PTT pada tingkat regional
harus memperhatikan potensi sumberdaya alam dan kesesuaiannya, infrastruktur,
dan kondisi sosial ekonomi petani. Menurut Ayinde et al. (2015) menyatakan
inovasi dalam sektor pertanian di Afrika telah didominasi oleh pendekatan sempit
mempekerjakan transfer teknologi dan teori adopsi.
Inovasi memegang peranan yang penting dalam peningkatan produktivitas
dan kelestarian lingkungan sehingga dalam penerapannya perlu dikuasai oleh
masyarakat penggunannya. Rogers (2003) menjelaskan proses adopsi inovasi
ditempuh melalui lima tahapan yaitu pengetahuan, persuasi, keputusan,
implementasi, dan konfirmasi.
Balitbang Pertanian (2010) memperkenalkan inovasi PTT dengan komponen
teknologi yang terdiri atas: varietas unggul, benih bermutu, sistem tanam, pengairan
berselang, pemupukan berimbang, pengendalian gulma, hama, dan penyakit
tanaman, panen dan pasca panen. Prinsip utama penerapan komponen PTT pada
padi sawah sebagai berikut : (1) partisipasi, petani berperan aktif dalam pemilihan
dan pengujian teknologi yang sesuai dengan kondisi setempat, (2) spesifik lokasi,
memperhatikan kesesuaian teknologi dengan lingkungan fisik, sosial budaya, dan
ekonomi petani setempat, (3) terpadu, sumberdaya tanaman, tanah, dan air dikelola
dengan baik secara terpadu, (4) sinergis atau serasi, pemanfaatan teknologi terbaik,
memperhatikan keterkaitan antara komponen teknologi yang saling mendukung,
dan (5) dinamis, penerapan teknologi selalu disesuaikan dengan perkembangan dan
kemajuan IPTEK serta kondisi sosial ekonomi setempat.
Kabupaten Banggai merupakan salah satu wilayah yang menerapkan inovasi
pengelolaan tanaman terpadu mulai tahun 2008. Mengingat Kabupaten Banggai
sebagai sentral produksi di Provinsi Sulawesi Tengah menjadi sangat penting untuk
menerapkan inovasi PTT. Menurut Badan Pusat Statistik (2015) luas lahan
pertanaman padi di Indonesia seluas 13.203.643 ha dengan produksi mencapai
65.756.904 ton. Sedangkan, luas lahan pertanaman padi di Provinsi Sulawesi
Tengah seluas 221.846 ha dengan produksi 1.041.789 ton, Kabupaten Banggai
seluas 40.410 ha dengan produksi 185.478 ton dan luas pertanaman padi di
Kecamatan Toili seluas 12.887 ha dengan produksi 52.494 ton.
Berdasarkan hasil di atas Kabupaten Banggai dibanding dengan daerahdaerah lain penghasil padi sawah, produksi tersebut tergolong masih rendah,
diharapkan jumlah produksi di Kabupaten Banggai bisa lebih tinggi mengingat luas
lahan padi sawah sangat luas dan sebagian besar masyarakat di daerah ini berprofesi

3
sebagai petani padi sawah. Rendahnya produktivitas usahatani padi sawah diduga
masih kurangnya tingkat penerapan teknologi di tingkat petani yang belum sesuai
dengan anjuran. Selain itu masalah pada pengembangan varietas unggul yang
dibudidayakan dengan input kimia secara tidak terkendali untuk memacu
produksi padi ternyata menurunkan kualitas lahan, lingkungan, dan efisiensi
sistem produksi, sehingga keuntungan yang diperoleh petani dari usahatani padi
relatif tidak seimbang dengan biaya dan tenaga yang diinvestasikan
(Dinas Pertanian Sulawesi Tengah 2008).
Berdasarkan uraian tersebut maka penelitian mengkaji sejauh mana
penerapan tujuh komponen pengelolaan tanaman terpadu padi sawah oleh petani
dan faktor-faktor yang berhubungan di Kecamatan Toili, Kabupaten Banggai,
Provinsi Sulawesi menjadi penting untuk dilakukan.

Perumusan Masalah
Teknologi yang diperkenalkan di Kabupaten Banggai adalah pengelolaan
tanaman terpadu sejak tahun 2008 melalui sekolah lapang pengelolaan tanaman
terpadu (SL-PTT) dilaksanakan di delapan kecamatan dari sembilan kecamatan
yang ada dan 54 desa/kelurahan meliputi 200 kelompok tani dengan luas areal 5.000
ha (Dinas Pertanian Sulawesi Tengah 2008). Salah satu kecamatan yang
diterapkan teknologi pengelolaan tanaman terpadu yaitu dilaksanakan di
Kecamatan Toili yang merupakan sentral produksi yang ada di Kabupaten Banggai.
Wilayah Kecamatan Toili secara geografis berupa pegunungan dengan
pemanfaatan lahan pemukiman, sawah, tegalan, ladang, perkebunan, dan hutan.
Perekenomian Kecamatan Toili tergolong sedang dan kegiatan perekonomian
paling dominan adalah di sektor pertanian. Hal ini dikarenakan mayoritas
masyarakat Kecamatan Toili bermata pencaharian sebagai petani untuk
meningkatkan penghasilan dan pendapatan mereka dalam memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari. Pada tahun 2013 adopsi penerapan PTT dengan varietas yang
digunakan petani adalah IR super, Inpari, Cibogo, Hibrida dan Mekongga dengan
sistem tanam jajar Legowo 2:1 (25 cm x 12.5 cm x 50 cm) dan menggunakan bahan
organik yang terdiri dari pupuk kompos dan bokhasi. Hasil produktivitas tanaman
padi melalui komponen penerapan PTT di Kecamatan Toili terdapat peningkatan
hasil produktivitas dari tahun 2010 sampai 2014 yaitu sekitar 2,5 ton per ha (Dinas
Pertanian Sulawesi Tengah 2008).
Komponen teknologi dari pendekatan PTT padi sawah yang dapat
memberikan keuntungan terhadap peningkatan produktivitas hasil, mempermudah
pengendalian hama dan penyakit, penggunaan pupuk lebih efisien, dan dapat
meningkatkan pendapatan usahatani antara 3050 persen (Balitbang Pertanian
2010). Keberhasilan suatu teknologi baru ditentukan oleh sejauhmana teknologi
tersebut diterapkan oleh petani, sehingga dengan adanya teknologi yang diterapkan
mampu mengatasi permasalahan petani. Meskipun dengan adanya keuntungankeuntungan yang ada pada teknologi tersebut belum tentu bisa diterima begitu saja
oleh petani, karena adanya beberapa faktor dan sifat-sifat inovasi yang menentukan
suatu teknologi itu bisa diterima atau tidak yaitu faktor internal petani, faktor
eksternal petani dan sifat-sifat inovasi pengelolaan tanaman terpadu.

4
Berdasarkan hal tersebut maka penelitian diarahkan untuk mengkaji
penerapan pengelolaan tanaman terpadu padi sawah di Kecamatan Toili. Secara
spesifik penelitian dilaksanakan untuk menjawab apakah semua petani padi sawah
menerapkan pengelolaan tanaman terpadu dan beberapa pertanyaan penelitian
berikut ini:
1. Bagaimana penerapan tujuh komponen pengelolaan tanaman terpadu padi sawah
di Kecamatan Toili Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah pada kalangan petani?
2. Faktor-faktor dan sifat-sifat inovasi apa yang berhubungan dengan penerapan
tujuh komponen pengelolaan tanaman terpadu padi sawah di Kecamatan Toili
Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah?

Tujuan Penelitian
Keberhasilan pengembangan teknologi pengelolaan tanaman terpadu padi
sawah terutama penerapan menjadi karya para petani sebagai subyek
pembangunan. Petani menjadi fokus perhatian dalam mempersiapkannya menjadi
mandiri dan mampu menentukan nasibnya sendiri. Berbagai teknologi untuk
pengembangan petani telah dilakukan, namun petani tetap mempertahankan pola
usahatani yang diketahui. Oleh karena itu, secara umum penelitian bertujuan untuk
mengkaji tingkat penerapan petani terhadap tujuh komponen pengelolaan tanaman
terpadu.
Secara khusus tujuan penelitian sebagai berikut:
1. Menganalisis penerapan tujuh komponen pengelolaan tanaman terpadu padi
sawah di Kecamatan Toili Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah pada kalangan
petani.
2. Menganalisis faktor-faktor dan sifat-sifat inovasi yang berhubungan dengan
penerapan tujuh komponen pengelolaan tanaman terpadu padi sawah di
Kecamatan Toili Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para pihak,
antara lain sebagai berikut:
1. Diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan
mengenai adopsi inovasi pengelolaan tanaman terpadu khususnya, maupun bagi
masyarakat luas pada umumnya.
2. Sebagai bahan pertimbangan bagi pihak-pihak yang terkait baik pemerintah
maupun swasta dalam penyusunan program penyuluhan yang tepat bagi petani
padi sawah.
3. Sebagai bahan informasi dan penyadaran bagi petani padi sawah tentang
perlunya teknologi baru sebagai pemecahan masalah, pengembangan tanaman,
dan peningkatan produktivitas hasil.

5

2 TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Adopsi Inovasi
Inovasi menurut Rogers (2003) adalah ide-ide baru, praktek-praktek baru,
atau objek yang dirasakan sebagai sesuatu yang baru oleh individu atau masyarakat.
van den Ban dan Hawkins (2005) menyatakan bahwa inovasi adalah suatu gagasan,
metode atau obyek, yang dianggap sebagai sesuatu yang baru, tetapi tidak selalu
merupakan hasil dari penelitian mutakhir. Sejauh dalam penyuluhan pertanian,
inovasi merupakan sesuatu yang dapat mengubah kebiasaan.
Leeuwis (2009) menyatakan bahwa inovasi dipahami sebagai keseluruhan
kerja baru, yang dapat merupakan cara baru melakukan sesuatu atau melakukan halhal baru, dan hal tersebut baru dapat dianggap sebuah inovasi jika betul-betul dapat
dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Lebih jauh dikatakan bahwa melihat
inovasi dengan cara ini akan membantu kita untuk memahami bahwa suatu inovasi
tidak hanya terdiri atas peralatan teknis atau prosedur baru, namun juga praktekpraktek baru yang diadaptasi manusia, serta kondisi-kondisi yang mendukung
terlaksananya praktek-praktek tersebut.
Mardikanto (2009) menyatakan bahwa inovasi adalah sesuatu ide, produk,
informasi teknologi, kelembagaan, perilaku nilai-nilai dan praktek-praktek baru
yang belum banyak diketahui, diterima dan digunakan/diterapkan/dilaksanakan
oleh sebagian besar warga masyarakat dalam suatu lokalitas tertentu, yang dapat
digunakan atau mendorong terjadinya perubahan-perubahan di segala aspek
kehidupan masyarakat demi selalu terwujudnya perbaikan mutu hidup setiap
individu dan seluruh warga masyarakat yang bersangkutan.
Adopsi sebagai rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh seseorang terhadap
suatu inovasi sejak mengenal, menaruh minat, dan menilai sampai menerapkan.
Menurut van de Ban dan Hawkins (2005) mengatakan adopsi dapat diartikan
sebagai penerapan atau penggunaan suatu ide, alat-alat atau teknologi baru yang
disampaikan berupa pesan komunikasi (lewat penyuluhan).
Kesesuaian inovasi merupakan ide-ide baru, praktek-praktek baru, atau
objek-objek baru yang dapat dirasakan sebagai suatu yang baru oleh masyarakat
atau individu yang menjadi sasaran penyuluhan. Tidak menjadi soal, sejauh
dihubungkan dengan tingkah laku manusia, apakah ide itu betul-betul baru atau
tidak jika diukur dengan selang waktu sejak digunakannya atau ditemukannya
pertama kali. Kebaruan inovasi itu diukur secara subyektif, menurut pandangan
individu yang menangkapnya.
Adopsi adalah proses sejak pertama kali seseorang mendengar hal yang baru
sampai orang tersebut menolak atau menerima hal baru tersebut. Adopsi dalam
proses penyuluhan (pertanian) dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku
baik yang berupa (a) pengetahuan (cognitive), (b) sikap (affective), maupun (c)
keterampilan (psychomotoric) pada diri seseorang setelah menerima inovasi yang
disampaikan penyuluh. Mereka yang mengadopsi ide baru berada pada waktu yang
berbeda yang berarti bahwa mereka dapat pula diklasifikasikan pada posisi waktu
dalam pola adopsi. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tahap adopsi suatu
inovasi, antara lain sebagai berikut: (1) kepuasan pada pengalaman pertama, (2)
kemampuan petani dalam mengelola usahataninya, (3) ketersediaan dana dan

6
sarana agar yang diperlukan (tepat waktu, mutu, jumlah, dan harga), (4) analisis
keberhasilan/kegagalan, dan (5) tujuan dan minat keluarga.
Tabel 1 Faktor pribadi dan lingkungan yang mempengaruhi dalam setiap tahapan
adopsi
Tahapan adopsi
Faktor pribadi
Faktor lingkungan
Sadar
 Kontak dengan sumber Tersedianya media
sumber informasi di luar
komunikasi
masyarakat
 Adanya kelompokkelompok masyarakat
 Kontak dengan individu dan
kelompok dalam
 Bahasa dan
masyarakatnya
kebudayaan
Minat
 Tingkat kebutuhan
 Adanya sumber
informasi secara rinci
 Kontak dengan sumber
informasi
 Dorongan dari warga
masyarakat setempat
 Keaktifan mencari sumber
informasi
Menilai
 Pengetahuan tentang
 Penerangan tentang
keuntungan relatif dari
keuntungan relatif
praktek
 Pengalaman dari petani
 Tujuan dari usahataninya
lain
 Tipe pertanian dan
derajat
komersialitasnya
Mencoba
 Keterampilan spesifik
 Penerapan tentang
cara-cara praktek yang
 Kepuasan pada cara-cara
spesifik
lama
 Faktor-faktor alam
 Keberanian menanggung
resiko
 Faktor-faktor harga
input dan produk
Menerapkan
 Kepuasan pada pengalaman
 Analisa
pertama
keberhasilan/kegagalan
 Kemampuan mengelola
 Tujuan dan minat
dengan cara baru
keluarga
Sumber: Mardikanto (2009)

Kecepatan adopsi adalah tingkat kecepatan penerimaan inovasi oleh anggota
sistem sosial. Ada beberapa faktor terjadi kecepatan adopsi, yaitu sifat-sifat inovasi,
jenis-jenis keputusan inovasi, saluran komunikasi, ciri-ciri sistem sosial, kegiatan
promosi oleh penyuluh, interaksi individual dan kelompok, sumber informasi, dan
faktor dari adopter.
Salah satu faktor yang mempengaruhi percepatan adopsi adalah sifat dari
inovasi. Inovasi yang akan diintroduksikan mempunyai kesesuaian (daya adaptif)
terhadap kondisi biofisik, sosial, ekonomi, dan budaya yang ada dalam masyarakat
penerima (adopter) tersebut. Jadi inovasi yang ditawarkan tersebut hendaknya
inovasi yang tepat guna, untuk dapat memperkirakan sejauh mana suatu inovasi
dapat diadopsi, maka perlu diperhatikan lima ciri inovasi sebagai berikut:

7
(1) Keuntungan relatif (relative advantages), yaitu cara-cara atau gagasan baru
dapat memberikan sesuatu keuntungan relatif bagi mereka yang kelak
menerimanya.
(2) Keserasian (compatibility), yaitu apakah inovasi yang hendak di difusikan itu
serasi dengan nilai-nilai, sistem kepercayaan, gagasan yang lebih dahulu
diperkenalkan sebelumnya, kebutuhan, selera, adat istiadat dan sebagainya dari
masyarakat yang bersangkutan.
(3) Kerumitan (complexity), yakni apakah inovasi tersebut dirasakan rumit. Pada
umumnya masyarakat tidak atau kurang berminat pada hal-hal yang rumit,
sebab selain sukar untuk dipahami, juga cenderung dirasakan merupakan
tambahan beban yang baru.
(4) Dapat dicobakan (trialability), yakni bahwa sesuatu inovasi akan lebih cepat
diterima, bila dapat dicobakan dulu dalam ukuran kecil sebelum orang terlanjur
menerimanya secara menyeluruh. Ini adalah cerminan prinsip manusia yang
selalu ingin menghindari suatu resiko yang besar dari perbuatannya.
(5) Dapat dilihat (observability), jika suatu inovasi dapat disaksikan dengan mata,
dapat terlihat langsung hasilnya, maka orang akan lebih mudah untuk
mempertimbangkan dalam menerimanya, ketimbang bila inovasi itu berupa
sesuatu yang abstrak, yang hanya dapat diwujudkan dalam pikiran, atau hanya
dapat dibayangkan. Kelima karakteristik tersebut menentukan bagaimana
tingkat penerimaan terhadap sesuatu inovasi yang di difusikan di tengah-tengah
suatu masyarakat.
Elemen yang penting yang perlu diperhatikan dalam proses adopsi inovasi
(1) adanya sikap mental untuk melakukan adopsi inovasi, dan (2) adanya
konfirmasi dari keputusan yang telah diambil, menurut Rogers (2003) proses
keputusan adopsi inovasi memiliki lima tahap, yaitu: knowledge (pengetahuan),
persuasion (persuasi), decision (keputusan), implementation (penerapan) dan
confirmation (penegasan). Kelima langkah ini dapat diuraikan sebagai berikut:
(1)Knowledge stage (tahap pengetahuan), pada tahap ini merupakan pengetahuan
akan keberadaan suatu inovasi. Pengetahuan jenis ini akan memotivasi individu
untuk belajar lebih banyak tentang inovasi dan kemudian akan mengadopsinya.
Pada tahap ini inovasi mencoba diperkenalkan pada masyarakat tetapi tidak ada
informasi yang pasti tentang produk tersebut. Cara menyampaikan keberadaan
inovasi akan lebih efektif disampaikan melalui berbagai saluran komunikasi
yang ada, seperti seperti radio, televisi, koran, atau majalah. Sehingga
masyarakat akan lebih cepat mengetahui akan keberadaan suatu inovasi.
(2) Persuasion stage (tahap persuasi), tahap persuasi terjadi ketika individu
memiliki sikap positif atau negatif terhadap inovasi. Tetapi sikap ini tidak
secara langsung akan menyebabkan apakah individu tersebut akan menerima
atau menolak suatu inovasi. Suatu individu akan membentuk sikap ini setelah
dia tahu tentang inovasi, maka tahap ini berlangsung setelah knowledge stage
dalam proses keputusan inovasi. Pada tahap ini bersifat efektif karena
menyangkut perasaan individu, karena itu individu akan terlibat lebih jauh lagi.
Tingkat ketidak yakinan pada fungsi-fungsi inovasi dan dukungan sosial akan
mempengaruhi pendapat dan kepercayaan individu terhadap inovasi.
(3) Decision stage (tahap keputusan), pada tahapan ini individu membuat
keputusan apakah menerima atau menolak suatu inovasi. Menurut Rogers
adoption (menerima) berarti bahwa inovasi tersebut akan digunakan secara

8
penuh, sedangkan menolak berarti “not to adopt an innovation”. Jika inovasi
dapat dicobakan secara parsial, umpamanya pada keadaan suatu individu, maka
inovasi ini akan lebih cepat diterima karena biasanya individu tersebut
pertama-tama ingin mencoba dulu inovasi tersebut pada keadaannya dan
setelah itu memutuskan untuk menerima inovasi tersebut. Walaupun begitu,
penolakan inovasi dapat saja terjadi pada setiap proses keputusan inovasi ini.
Rogers menyatakan ada dua jenis penolakan, yaitu (a) active rejection, terjadi
ketika suatu individu mencoba inovasi dan berfikir akan mengadopsi inovasi
tersebut namun pada akhirnya dia menolak, dan (b) passive rejection, individu
tersebut sama sekali tidak berfikir untuk mengadopsi inovasi.
(4) Implementation stage (tahap implementasi), pada tahap ini inovasi sudah mulai
dipraktekan sambil mempelajari lebih jauh tentang inovasi tersebut. Maka
pengguna akan memerlukan bantuan teknis dari agen perubahan untuk
mengurangi tingkat ketidakpastian akan inovasi yang akan di adopsi.
(5) Confirmation stage (tahap konfirmasi), setelah keputusan diambil, individu
mulai mencari dukungan untuk keputusan mereka. Apakah inovasi tersebut
diadopsi ataupun tidak, seseorang akan mengevaluasi akibat dari keputusan
yang mereka buat. Tidak menutup kemungkinan seseorang kemudian
mengubah keputusan yang tadinya menolak menjadi menerima inovasi setelah
melakukan evaluasi.
Adopsi inovasi mengandung pengertian yang kompleks dan dinamis. Hal ini
disebabkan karena proses adopsi inovasi sebenarnya adalah menyangkut proses
pengambilan keputusan, sehingga dalam proses ini banyak faktor yang
mempengaruhinya. Adopsi inovasi merupakan proses berdasarkan dimensi waktu.
Dalam penyuluhan pertanian, banyak kenyataan petani biasanya tidak menerima
begitu saja tetapi membutuhkan tahapan tertentu agar dapat menerapkannya.
Adopsi adalah suatu proses perubahan yang terjadi dalam diri seseorang dan orang
tersebut dapat menerima atau menolak suatu teknologi atau inovasi yang
diprogramkan dan sangat berhubungan dengan ada tidaknya perubahan perilaku
yang di miliki oleh petani tersebut.
Sumber-sumber informasi
Saluran
Pengenalan

Persuasi

Keputusan

Implementasi

Konfirmasi
Adopsi
berkelanjutan

Peubah penerima:
1. Praktik-praktik
sebelumnya
2. Kebutuhan
yang dirasakan
3. Keinovatifan
4. Norma sistem
sosial

Karakteristik dari
unit pengambil
keputusan:
1. Karakteristik
sosiol ekonomi
2. Peubah
personal
3. Perilaku
komunikasi

Sifat-sifat
inovasi:
1. Keuntungan
relatif
2. Kompatibilitas
3. Kompleksitas
4. Triabilitas
5. Observabilitas

Adopsi

Rejeksi
(penolakan)

Adopsi tidak
berkelanjutan
Pengadopsian
Terlambat
Tetap rejeksi

Gambar 1 Paradigma proses keputusan inovasi (Rogers 2003)

9
Pengadopsian inovasi pada penelitian dapat mengacu pada konsep yang
diterapkan oleh kementerian pertanian mengenai penerapan teknologi PTT yaitu
pengelolaan tanaman terpadu yang meliputi: (1) petani menggunakan varietas
unggul, (2) petani melakukan persemaian padi dan menggunakan bibit muda
dengan usia ± 21 hari, (3) petani memberikan pemupukan dasar pada lahan
pertanian dengan menggunakan pupuk organik dan apabila diperlukan dapat
dicampur dengan pupuk urea, (4) menggunakan jarak tanam sistem tanam jajar
legowo 2:1, 4:1, dan tegel (5) petani dapat menggunakan tali tambang ataupun tali
plastik sebagai alat untuk membuat jarak tanam sistem jajar legowo, (6) melakukan
penyiangan pada lahan sawah sebanyak 2 kali selama musim tanam berlangsung,
penyiangan pertama dilakukan saat padi berusia 14 hari setelah tanam (HST) dan
penyiangan kedua 42 HST, dan (7) memberikan pemupukan secara berimbang pada
lahan sawah, sebanyak 2 kali selama musim tanam berlangsung. Pemberian
pemupukan pertama dan kedua pada saat tanaman berusia 15 HST dan 45 HST.
Pada saat penerapannya, petani diharapkan dapat melakukan koordinasi
dengan kelompok taninya masing-masing, sebab penerapan PTT akan lenih baik
jika diterapkan secara bersama-sama oleh petani. Peran kelompok tani sangat besar
dalam mendukung keberhasilan progran PTT (Far-far 2011).
Menurut Zulvera (2014) mengatakan faktor-faktor yang berhubungan dengan
tingkat adopsi petani sayuran adalah: karakteristik internal petani, dukungan
penyuluhan, dan dukungan lingkungan. Hasil analisis SEM menunjukkan bahwa
faktor penentu rendahnya tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik oleh
petani adalah perilaku petani berkaitan dengan sistem pertanian sayuran organik,
dukungan lingkungan, sifat inovasi dan dukungan penyuluhan. Hasil uji persamaan
struktural juga memperlihatkan bahwa rendahnya tingkat keberdayaan petani
dipengaruhi secara nyata oleh tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik dan
dukungan lingkungan.
Ismilaili (2015), melalui inovasi PTT hasil produktivitas meningkat dari 6.5
menjadi 8.6 ton/ha. Tingkat adopsi inovasi PTT padi sawah di Kecamatan
Leuwiliang termasuk kategori tinggi, artinya bahwa inovasi PTT diterima dengan
baik oleh petani padi.

Pengelolaan Tanaman Terpadu
Padi (Oryza sativa L) dibudidayakan dengan tujuan mendapatkan hasil yang
setinggi-tingginya dengan kualitas sebaik mungkin. Demi mendapatkan hasil yang
sesuai dengan harapan maka tanaman yang akan ditanam harus sehat dan subur.
Tanaman yang sehat ialah tanaman yang tidak terserang oleh hama dan penyakit,
tidak mengalami defisiensi hara, baik unsur hara yang diperlukan dalam jumlah
besar maupun dalam jumlah kecil. Tanaman subur ialah tanaman yang
pertumbuhan dan perkembangannya tidak terhambat, entah oleh kondisi biji atau
kondisi lingkungan. Adapun menanam padi dapat dilakukan di sawah dengan
pengairan sepanjang musim dan ada juga yang ditanam di tanah tegalan (tanah
kering). Pendekatan inovasi yang dinamis adalah upaya peningkatan efisiensi
usahatani padi sawah dengan menggabungkan berbagai komponen teknologi yang
saling menunjang dan dengan memperhatikan penggunaan sumberdaya alam secara
bijak agar memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap pertumbuhan dan

10
produktivitas tanaman selain itu peningkatan pendapatan petani melalui perakitan
komponen teknologi secara partisipatif.
Prinsip pengelolaan tanaman terpadu (PTT) adalah pendekatan dalam
pengelolaan lahan, air, tanaman, organisme pengganggu tanaman (OPT) dan iklim
secara terpadu dan berkelanjutan dalam upaya peningkatan produktivitas,
pendapatan petani dan kelestarian lingkungan. PTT dirancang berdasarkan
pengalaman implementasi berbagai sistem intensifikasi padi yang pernah
dikembangkan di Indonesia (Deptan Pertanian 2008).
Pengelolaan tanaman terpadu padi sawah bertujuan untuk meningkatkan
produktivitas tanaman dari segi hasil dan kualitas melalui penerapan teknologi yang
cocok dengan kondisi setempat (spesifik lokasi) serta menjaga kelestarian
lingkungan. Komponen teknologi PTT padi sawah dirakit berdasarkan kajian
kebutuhan dan peluang (KKP) yang akan mempelajari permasalahan yang dihadapi
petani dan cara-cara mengatasi permasalahan tersebut dalam upaya meningkatkan
produksi sehingga komponen teknologi yang dipilih akan sesuai dengan kebutuhan
setempat. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2010) telah menyediakan
beberapa pilihan komponen teknologi PTT padi sawah yang dikelompokkan
menjadi komponen teknologi dasar dan komponen teknologi pilihan. Komponen
teknologi dasar adalah sekumpulan teknologi yang dianjurkan untuk diterapkan
semuanya sehingga diharapkan dapat meningkatkan produksi dengan input yang
efisien sebagaimana menjadi tujuan dari PTT. Komponen teknologi dasar PTT padi
sawah meliputi :
(1) Penggunaan varietas padi unggul atau varietas padi berdaya hasil tinggi dan
bernilai ekonomi tinggi yang sesuai dengan karakteristik lahan, lingkungan dan
keinginan petani
(2) Benih bermutu dan berlabel/bersertifikat
(3) Pemupukan berimbang berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah
(4) Pengendalian hama dan penyakit secara terpadu (PHT).
Komponen teknologi pilihan adalah teknologi-teknologi penunjang yang
tidak mutlak harus diterapkan tetapi lebih didasarkan pada spesifik lokasi maupun
kearifan lokal dan telah terbukti serta berpotensi meningkatkan produktivitas.
Secara spesifik lokasi dan kearifan lokal komponen teknologi ini dapat diperoleh
dari sumberdaya alam yang tersedia ataupun dari pengalaman petani sendiri.
Komponen teknologi pilihan PTT padi sawah meliputi :
(1) Pengolahan tanah sesuai musim dan pola tanam
(2) Penggunaan bibit muda (< 21 hari setelah sebar)
(3) Tanam dengan jumlah bibit terbatas yaitu antara 13 bibit perlubang
(4) Pengaturan populasi tanaman secara optimum (jajar legowo)
(5) Pemberian bahan organik berupa kompos atau pupuk kandang serta
pengembalian jerami ke sawah sebagai pupuk dan pembenah tanah
(6) Pengairan berselang (intermiten irrigation) secara efektif dan efisien
(7) Pengendalian gulma dengan landak atau gasrok
(8) Panen dan penanganan pasca panen yang tepat.
Balitbang Pertanian (2010) menciptakan komponen teknologi PTT yaitu
pengelolaan tanaman terpadu yang terdiri dari varietas unggul, persemaian, bibit
muda, sistem tanam, pemupukan berimbangan, penggunaan bahan organik,
pengendalian hama penyakit, panen dan pasca panen. Adapun teknis PTT padi
sawah menurut Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan Sulteng (2008)

11
dengan menggabungkan komponen teknologi dasar dan teknologi pilihan sebagai
berikut:
(a) Pengolahan tanah sesuai musim dan pola tanam
Pengolahan tanah dapat dilakukan secara sempurna dengan dua kali
pembajakan dan satu kali garu atau minimal, atau tanpa olah tanah. Pemilihan
cara yang akan dilakukan disesuaikan dengan keperluan dan kondisi. Faktor
yang menentukan adalah kemarau panjang, pola tanam dan jenis/struktur tanah.
Dua minggu sebelum pengolahan tanah, taburkan bahan organik secara merata
di atas hamparan sawah. Bahan organik yang digunakan dapat berupa pupuk
kandang (2 ton per ha) atau kompos jerami (5 ton per ha).
(b) Varietas unggul
Pemilihan varietas merupakan salah satu komponen utama yang mampu
meningkatkan produktivitas padi. Varietas padi yang akan ditanam dipilih
varietas unggul baru (VUB) yang mampu beradaptasi dengan lingkungan untuk
menjamin pertumbuhan tanaman yang baik, tahan serangan penyakit, berdaya
hasil dan bernilai jual tinggi serta memiliki kualitas rasa yang dapat diterima
pasar. Varietas unggul baru dapat berupa padi inbrida seperti ciherang,
mekongga, inpari (10, 11, dan 13) atau hibrida seperti rokan, hipa 3, bernas
super dan intani. Tanam varietas unggul baru ini secara bergantian untuk
memutus siklus hidup hama dan penyakit. Hasil penelitian Saidah dan Manopo
(2010) di Poso Sulawesi Tengah menunjukkan bahwa penerapan PTT pada
padi gogo dengan menggunakan tiga varietas yang berbeda memberikan hasil
yang berbeda. Varietas Limboto memperoleh hasil yang tertinggi yaitu 4 ton
per ha GKP, disusul Towuti (3.87 ton per ha GKP), dan lokal (1.57 ton per ha
GKP). Introduksi varietas unggul yang sesuai sebagai komponen model PTT
padi gogo dapat meningkatkan presentase hasil 158-166.67 persen.
(c) Benih bermutu
Benih bermutu adalah benih dengan tingkat kemurnian dan daya tumbuh yang
tinggi, berukuran penuh dan seragam, daya kecambah di atas 80 % (vigor
tinggi), bebas dari biji gulma, penyakit dan hama atau bahan lain. Gunakan
selalu benih yang telah memiliki sertifikasi atau label untuk mendapatkan
benih dengan tingkat kemurnian tinggi dan berkualitas atau benih bermutu
yang diproduksi oleh petani. PTT padi sawah menganjurkan untuk menyeleksi
atau memilih benih bermutu agar didapatkan benih yang benar-benar
berkualitas (bernas) dan vigor tinggi dengan cara membuat larutan garam dapur
(30 gram garam dapur dalam 1 liter air) atau larutan pupuk ZA (1kg pupuk ZA
dalam 2.7 liter air). Benih dimasukkan ke dalam larutan garam atau pupuk ZA
(volume larutan 2 kali volume benih) kemudian diaduk dan benih yang
mengambang atau terapung di permukaan larutan dibuang.
Keperluan penanaman seluas 1 hektar benih yang dibutuhkan kurang lebih
sebanyak 20 kg. Benih bernas (yang tenggelam) dibilas dengan air sampai
bersih dari garam kemudian direndam dengan air bersih selama 24 jam.
Selanjutnya diperam dalam karung atau wadah lainnya selama 48 jam dan
dijaga kelembabannya dengan membasahi wadah dengan air. Benih padi
hibrida tidak diberi perlakuan perendaman dalam larutan garam tetapi langsung
direndam dalam air dan selanjutnya diperam. Lahan persemaian untuk 1 ha
luasan lahan pertanaman sebaiknya 400 meter persegi (4 persen dari luas
tanam) dengan lebar bedengan 1-1.2 meter dan antar bedengan dibuat parit

12
sedalam 25-30 cm. Saat pembuatan bedengan taburkan bahan organik 2 kg
meter-1 persegi seperti kompos, pupuk kandang atau campuran berbagai bahan
antara lain kompos, pupuk kandang, serbuk kayu, abu dan sekam padi. Tujuan
pemberian bahan organik ini untuk memudahkan pencabutan bibit padi
sehingga kerusakan akar bisa dikurangi.
(d) Sistem tanam
Penggunakan bibit muda atau kurang dari 21 HSS dan jumlah bibit 1-3 batang
per lubang karena bibit lebih muda akan menghasilkan anakan lebih banyak
dibanding menggunakan bibit lebih tua. Pada daerah endemik keong