Tingkat Adopsi Inovasi Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah di Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor
TINGKAT ADOPSI INOVASI PENGELOLAAN TANAMAN
TERPADU PADI SAWAH DI KECAMATAN
LEUWILIANG KABUPATEN BOGOR
ISMILAILI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Tingkat Adopsi Inovasi
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah di Kecamatan Leuwiliang
Kabupaten Bogor” adalah benar karya saya dengan arahan dari Komisi
Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2015
Ismilailli
NRP I351120091
Abstract
Integrated crop management (ICM) can increase productivity, economic
benefit rice farming through the efficient use of inputs, and conserve land
resources for sustainable production systems. The purpose of this study is to
analyze the degree of adoption, perception of ICM, and factors that influence the
adoption of innovation ICM of paddy in Leuwiliang District. The research
location was in Barengkok village and Leuwimekar village, Leuwiliang Subdistrict. Research was implemented from May until July 2014. Respondents in
this study were 80 farmers. The respondent covered 40 farmers from the
Barengkok village and 40 farmers from Leuwimekar village. The data was
collected by using a questionnaire and in-depth interviews. Multiple regression
analysis test was used to analyze the data. The research results showed (1)
Perception of farmers towards ICM innovation in the use of high improved
varieties of rice is more advantage than regular varieties, ICM innovation
according to the needs of farmers, the use of cropping systems in Legowo (4:1 and
2:1) easy to apply and can be tested in a small scale and large scale area, and can
be the difference results is through ICM innovation increased productivity results
from 6.5 to 8.6 ton/ha, (2) The adoption level of integrated crop management
(ICM) of paddy in the Leuwiliang Sub district was in high category, and (3) The
factors of age, experience, land area, the availability of technology information,
knowledge and perceptions of farmers were significantly affected the adoption
level of ICM paddy
Keywords: adoption, perception, ICM of paddy
RINGKASAN
ISMILAILI. 2015. Tingkat Adopsi Inovasi Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi
Sawah di Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh NINUK
PURNANINGSIH sebagai Ketua Komisi Pembimbing, dan PANG S ASNGARI
sebagai Anggota Komisi Pembimbing.
Inovasi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) sejak tahun 2008 telah
diujicobakan pada lahan petani di Kabupaten Bogor. Hasil ujicoba tersebut
menunjukkan bahwa inovasi teknologi PTT dapat meningkatkan hasil panen padi
rata-rata 19 persen dan pendapatan petani rata-rata 15 persen (Balitpa, 2009).
Dengan demikian inovasi PTT mempunyai prospek yang baik untuk
dikembangkan lebih lanjut.
Kecamatan Leuwiliang memiliki luas areal lahan pertanian cukup luas yaitu
rata-rata seluas 28.4 Ha, dan kebutuhan benih lebih tinggi dibanding Kecamatan
lainnya di Kabupaten Bogor. Pada tahun 2013 adopsi komponen teknologi PTT
(varietas unggul, sistem tanam, bahan organik, pengairan berselang, pengendalian
gulma, hama penyakit, serta penanganan panen dan pascapanen) di Kecamatan
Leuwiliang sudah cukup baik. Varietas yang digunakan petani adalah Ciherang,
IR Super, Inpari, Cibogo, Hibrida dan Mekongga dengan sistem tanam jajar
Legowo 4:1 (20 cm x 10 cm x 40 cm) dan menggunakan bahan organik yang
terdiri dari pupuk kompos dan bokhasi. Hasil produktivitas tanaman padi melalui
teknologi inovasi PTT di Kecamatan Leuwiliang terdapat peningkatan hasil
produktivitas dari tahun 2009 sampai 2013 yaitu sekitar 2 ton/ha. Pada tahun 2009
hasil produktivitas padi PTT sekitar 6.5 ton/ha dan pada tahun 2013 meningkat
sebesar 8.6 ton/ha. Tujuan penelitian ini meliputi hal berikut: (1) menganalisis
persepsi petani terhadap inovasi PTT padi di Kecamatan Leuwiliang Kabupaten
Bogor, (2) menganalisis tingkat adopsi inovasi PTT padi sawah di Kecamatan
Leuwiliang Kabupaten Bogor, dan (3) menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi adopsi inovasi PTT padi di Kecamatan Leuwiliang Kabupaten
Bogor.
Penelitian dilakukan di Desa Barengkok dan Desa Leuwimekar, Kecamatan
Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Sampel penelitian adalah petani yang mengadopsi
inovasi PTT sebanyak 80 orang. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Mei
hingga Juli 2014. Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis
kuantitatif dilakukan secara statistik deskriptif dan inferensial. Statistik deskriptif
menggunakan distribusi frekuensi dan statistik inferensial menggunakan analisis
regresi berganda.
Litterer (Asngari 1984) mengungkapkan bahwa persepsi merupakan
pengertian manusia tentang obyek di sekitarnya. Persepsi petani tentang inovasi
PTT meliputi: (1) varietas unggul, (2) sistem tanam, (3) bahan organik, (4)
pengairan berselang, (5) pengendalian gulma, hama dan penyakit, dan (6)
penanganan panen dan pascapanen. Penilaian petani tentang inovasi PTT padi
menjadikan petani mau mengadopsi inovasi PTT padi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: persepsi petani terhadap komponen
teknologi inovasi PTT padi yang meliputi varietas unggul, sistem tanam, bahan
organik, pengairan berselang, pengendalian gulma hama penyakit, dan
pengananan panen dan pasca panen di Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor
termasuk dalam kategori sangat tinggi artinya bahwa persepsi petani terhadap
inovasi PTT padi dalam penggunaan varietas unggul lebih menguntungkan
dibandingkan dengan varietas biasa, inovasi PTT sesuai dengan kebutuhan petani,
penggunaan sistem tanam secara Legowo (4:1 dan 2:1) mudah diterapkan dan
dapat diujicobakan dalam skala luasan kecil maupun skala besar, serta dapat
dilihat perbedaan hasil yaitu melalui inovasi PTT hasil produktivitas meningkat
dari 6.5 menjadi 8.6 ton/ha. Tingkat adopsi inovasi Pengelolaan Tanaman Terpadu
(PTT) padi sawah di Kecamatan Leuwiliang termasuk kategori tinggi, artinya
bahwa inovasi PTT diterima dengan baik oleh petani padi. Faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat adopsi inovasi PTT padi di Kecamatan Leuwiliang adalah:
umur, pengalaman berusaha tani, luas penguasaan lahan, tingkat ketersediaan
informasi teknologi PTT, tingkat pengetahuan petani terhadap inovasi PTT dan
tingkat persepsi petani terhadap inovasi PTT padi.
Kata kunci: adopsi, persepsi, pengelolaan tanaman terpadu padi
SUMMARY
ISMILAILI. 2015. Rate of Adoption Innovation Integrated Crop Management
(ICM) of Paddy in Leuwiliang Sub District, Bogor Discrict. Supervised by
NINUK PURNANINGSIH and PANG S ASNGARI.
Innovation Integrated Crop Management (ICM) since 2008 has been tested
by farmers in Bogor. The test results indicate that the ICM technology innovation
can increase rice yields an average of 19 percent and an average income of
farmers 15 percent (Balipta, 2009). Thus ICM innovation has good prospects for
further development.
Sub-district Leuwiliang has a total area of agricultural land is quite wide
with an average area of 28.4 ha, and the need for a higher seed than other subdistrict in Bogor. In 2013 the adoption of the technology components ICM
(improved varieties, planting system, organic materials, intermittent irrigation,
weed control, pest and diseases and post-harvest crop handling in District
Leuwiliang is good enough. Varieties used by farmers is Ciherang, IR Super,
Inpari, Cibogo, Hibrida and Mekongga with row planting system Legowo 4:1 (20
cm x 10 cm x 40 cm) and using organic materials which consists of compost and
bokhasi. The results of the rice crop productivity through technological innovation
in District Leuwiliang ICM there is increased productivity results from 2009 to
2013 is about 2 ton/ ha. In 2009 the results of ICM rice productivity is about 6.5
ton/ha, and in 2013 an increase of 8.6 ton/ ha. The purpose of this study include
the following: (1) analyze the perception of farmers on rice ICM innovation, (2)
analyze the level of innovation adoption ICM paddy in District Leuwiliang Bogor
Regency, and (3) analyze the factors that influence adoption of ICM innovation
rice in Sub-district Leuwiliang Bogor Regency.
The research was conducted at Barengkok and Leuwimekar villages.
Respondents in this study were 80 farmers. The data was collected from May to
July 2014. Data analysis consisted of frequency distributions, while the inferential
statistical analysis using multiple regression.
Litterer (Asngari 1984) stated that “perception is the understanding or
view people have the world around them.” Farmers perception of ICM innovation
include (1) improved varieties, (2) planting system, (3) organic materials, (4)
intermittent irrigation, (5) weed control, pest and diseases, and (6) harvest and
post-harvest crop handling. Farmers decide to use innovation by understanding
the innovations ICM paddy.
The research results showed perception of farmers on ICM innovation
include improved varieties, planting system, organic materials, intermittent
irrigation, weed control, pest and diseases and post-harvest crop handling in
district Leuwiliang Bogor Discrict is in the category of extremely high, meaning
that perception of farmers towards ICM innovation in the use of high improved
varieties of rice is more advantage than regular varieties, ICM innovation
according to the needs of farmers, the use of cropping systems in Legowo (4:1 and
2:1) easy to apply and can be tested in a small scale and large scale area, and can
be the difference results is through ICM innovation increased productivity results
from 6.5 to 8.6 ton/ha. The adoption level of integrated crop management (ICM)
of paddy in the Leuwiliang Sub-district is in high category, meaning that ICM
innovation well received by farmers. The factors of age, experience, land area, the
availability of technology information, knowledge and perceptions of farmers
were significantly affected the adoption level of ICM paddy.
Keywords: adoption, perception, ICM of paddy
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
TINGKAT ADOPSI INOVASI PENGELOLAAN TANAMAN
TERPADU PADI SAWAH DI KECAMATAN
LEUWILIANG KABUPATEN BOGOR
ISMILAILI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Dwi Sadono, M.Si
Judul Tesis
Nama
NIM
: Tingkat Adopsi Inovasi Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi
Sawah di Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor
: Ismilaili
: I351120091
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Ninuk Purnaningsih, MSi
Prof Dr Pang S Asngari.
Ketua
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Sumardjo, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian:
07 Januari 2015
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga penelitian ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian
ini adalah “Tingkat Adopsi Inovasi Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah di
Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor.”
Terima kasih penulis ucapkan kepada berbagai pihak yang telah membantu
dan memberikan dukungan dalam penyelesaian tesis ini. Penghargaan dan ucapan
terima kasih penulis sampaikan kepada:
(1) Dr Ir Ninuk Purnaningsih, MSi sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan
Prof
Dr Pang S Asngari sebagai Anggota Komisi Pembimbing.
(2) Kepala Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan, Peternakan dan Kehutanan
(BP3K) Leuwiliang (Bapak Zainal Mutakhim), dan Penyuluh Pertanian Desa
Barengkok dan Desa Leuwimekar (Bapak Nana Supratna) serta semua
responden petani PTT padi di dua desa penelitian yang telah memberikan data
dan informasi selama penelitian.
(3) Kedua orang tua penulis, Ayahanda M Yahya Ali (Almarhum) dan Ibunda
Hj. Arnani, serta kakak dan adik terima kasih atas semua cinta, kasih sayang,
semangat, doa dan nasehatnya.
(4) Bapak Baharuddin Yahya terima kasih yang telah memberikan semua dana dan
biaya untuk keperluan penulis dalam menempuh program Magister.
(5) Rekan-rekan Program Pascasarjana Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN)
Angkatan 2012 (Nurul Dwi Novikarumsari, Mujiburrahmad, Annisa Yulia
Handayani, Rindi Metalisa, Lina Asnamawati, Firmansyah dan Aan
Hermawan) atas kebersamaan, kerjasama dan diskusi–diskusinya selama ini.
(6) Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
Penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan inovasi PTT padi di Indonesia.
Bogor, Februari 2015
Ismilaili
I351120091
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xi
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masalah Penelitian
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
1
1
3
4
5
TINJAUAN PUSTAKA
Adopsi Inovasi
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT)
Penelitian Terdahulu
Karakteristik Internal Petani
Karakteristik Eksternal Petani
Persepsi Petani terhadap Inovasi PTT
6
6
10
13
14
16
17
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS
Kerangka Berpikir
Hipotesis Penelitian
19
19
20
METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Populasi dan Sampel Penelitian
Data dan Instrumentasi
Pengumpulan Data
Variabel Penelitian
Konsep dan Operasionalisasi Variabel
Uji Validitas dan Realibilitas
Pengolahan Data
Analisis Data
21
21
21
21
22
23
23
24
31
32
33
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Wilayah Penelitian
Karakteristik Internal Petani
Karakteristik Eksternal Petani
Pengetahuan Petani terhadap Inovasi PTT
Persepsi Petani terhadap Inovasi PTT
34
34
36
40
42
48
Tingkat Adopsi Petani terhadap Inovasi PTT
55
Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Tingkat Adopsi Inovasi
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi
60
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
66
66
66
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
67
70
89
DAFTAR GAMBAR
1
2
Model tahapan keputusan inovasi
Kerangka berpikir penelitian
9
20
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
Populasi dan sampel penelitian di Kecamatan Leuwiliang
Hasil uji instrumen penelitian
Persentase petani menurut umur
Persentase petani menurut tingkat pendidikan formal
Persentase petani menurut frekuensi pendidikan non formal
Persentase petani menurut pengalaman berusahatani
Persentase petani menurut luas penguasaan lahan
Persentase tingkat ketersediaan informasi tentang inovasi PTT
Persentase tingkat ketersediaan sarana produksi tentang inovasi PTT
Persentase tingkat pengetahuan petani terhadap Inovasi PTT
Rataan skor tingkat pengetahuan petani tentang inovasi PTT
Persentase persepsi petani terhadap inovasi PTT padi
Rataan skor persepsi petani terhadap inovasi PTT
Persentase tingkat adopsi inovasi PTT di dua desa penelitian
Rataan skor tingkat adopsi inovasi PTT di dua desa penelitian
Pengaruh faktor internal terhadap adopsi inovasi PTT di dua desa
penelitian
Pengaruh faktor eksternal terhadap adopsi inovasi PTT di dua desa
penelitian
Pengaruh faktor tingkat pengetahuan terhadap tingkat adopsi inovasi
PTT di dua desa penelitian
Pengaruh faktor tingkat persepsi terhadap tingkat Adopsi Inovasi PTT
di dua desa penelitian
22
31
36
37
38
39
40
41
42
43
45
49
52
56
56
60
62
63
64
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
Hasil output uji beda Mann Whitney
Hasil output uji regresi
Dokumentasi penelitian
70
74
89
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Permasalahan pemenuhan kebutuhan pangan di Indonesia merupakan salah
satu aspek yang menjadi prioritas untuk diselesaikan, karena pangan dapat
berpengaruh kepada kualitas sumber daya manusia. Sumber daya manusia
merupakan salah satu modal penting untuk kemajuan Indonesia itu sendiri di masa
yang akan datang. Selain itu pangan juga merupakan komoditas politik yang dapat
mempengaruhi kualitas pemerintahan, terkelolanya pangan dengan baik
menunjukkan kemampuan pengelolaan negara dalam bidang pertanian berjalan
dengan baik.
Komoditas pangan terpenting di Indonesia saat ini adalah beras; hampir
seluruh masyarakat Indonesia saat ini menjadikan beras sebagai makanan pokok
sehari-hari, sehingga tuntutan akan peningkatan produksi beras ini menjadi sangat
tinggi. Dengan demikian wajar jika saat ini Kementrian Pertanian selaku
stakeholder dalam bidang pertanian berusaha meningkatkan produksi beras guna
memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
2012).
Pemerintah Republik Indonesia melalui Departemen Pertanian menetapkan
aksi program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) sebesar 2 juta ton
beras pada tahun 2007 dan selanjutnya kenaikan 5 persen untuk setiap tahunnya.
P2BN merupakan program yang mendukung ketahanan pangan dimaksudkan agar
terjadi surplus beras nasional sekitar 1 juta ton sebagai stok beras di Bulog (Badan
Urusan Logistik), sehingga harga beras lebih mudah dikontrol. Program P2BN
digulirkan selain dilatarbelakangi oleh kondisi pemerintah RI yang masih
mengimpor beras sekitar 3 persen untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional
pada tahun 2007, dilatarbelakangi pula oleh ketidakstabilan kondisi perberasan
nasional diantaranya disebabkan terjadinya penurunan luas areal tanam dan luas
areal panen akibat konversi lahan sawah produktif, serangan organisme
pengganggu tanaman (OPT), semakin terbatasnya sumberdaya air serta perubahan
iklim (dampak fenomena iklim) yang sulit diprediksi (Deptan 2008).
Salah satu syarat untuk bisa maju dan berkembang sebuah usaha adalah
inovasi yang terus menerus atau berkelanjutan. Inovasi dapat diartikan sebagai
usaha untuk melakukan perbaikan ataupun terobosan. Teknologi tepat guna adalah
inovasi teknologi yang memenuhi kriteria: (a) secara teknis teknologi dapat
diterapkan, (b) secara ekonomi dapat memberikan nilai tambah dan insentif yang
memadai, (c) secara sosial budaya dapat diterima oleh pengguna, dan (d)
teknologi ramah lingkungan. Hal ini berarti bahwa suatu teknologi inovasi
tersebut hendaknya mudah diterapkan, meningkatkan nilai dan pendapatan petani
serta diterima oleh pasar.
1
2
Inovasi teknologi memegang peranan penting dalam peningkatan
produktivitas, nilai tambah dan pendapatan petani, maka penguasaan dan
aplikasinya perlu dimiliki oleh masyarakat pengguna. Proses adopsi inovasi oleh
pengguna ditempuh melalui lima tahapan yaitu pengetahuan, persuasi, keputusan,
implementasi, dan konfirmasi (Rogers 2003). Khususnya dalam usahatani padi
sawah, model PTT merupakan salah satu alternatif pengelolaan padi secara
intensif. Penelitian Haryani (2009) menyatakan bahwa salah satu peningkatan
pendapatan petani yaitu melalui teknologi inovasi Pengelolaan Tanaman Terpadu
(PTT) pada padi sawah, dengan adanya inovasi PTT diharapkan dapat
meningkatkan produksi dan pendapatan petani dengan tidak merusak lingkungan
karena inovasi PTT adalah suatu inovasi yang ramah lingkungan.
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) adalah suatu pendekatan inovatif
dalam upaya peningkatan efisiensi usahatani padi sawah dengan menggabungkan
berbagai komponen teknologi yang saling menunjang dan dengan memperhatikan
penggunaan sumber daya alam secara bijak agar memberikan pengaruh yang lebih
baik terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman (Dinas Pertanian Tanaman
Pangan 2013).
Pengelolaan Tanaman Terpadu bertujuan untuk meningkatkan produktivitas
tanaman dari segi hasil dan kualitas melalui penerapan teknologi yang cocok
dengan
kondisi
setempat
(spesifik
lokasi),
meningkatkan
nilai
ekonomi/keuntungan usahatani padi melalui efisiensi penggunaan input,
melestarikan sumberdaya lahan untuk keberlangsungan sistem produksi, serta
menjaga kelestarian lingkungan. Dengan meningkatnya hasil produksi diharapkan
pendapatan petani akan meningkat (Deptan 2008).
Sejak tahun 2001, PTT telah diujicobakan pada lahan petani dengan
melibatkan petani setempat di Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi
Selatan. Hasil ujicoba tersebut menunjukkan bahwa inovasi teknologi baru ini
meningkatkan hasil padi sebesar 7–38 persen. Dengan demikian PTT mempunyai
prospek yang baik untuk dikembangkan lebih lanjut (Balitpa, 2003). Puslitbang
Tanaman Pangan dan Balai Penelitian Tanaman Padi (Balitpa) yang kini menjadi
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) telah menghasilkan inovasi
Pengelolaan Tanaman Terpadu atau lebih popular disingkat PTT. Pengujian di 28
kabupaten, salah satunya di Kabupaten Bogor, selama tahun 2008-2009
menunjukkan bahwa penerapan PTT di lahan sawah meningkatkan hasil panen
rata-rata 19 persen dan pendapatan petani rata-rata 15 persen. Data ini
menunjukkan penerapan PTT dapat diandalkan dalam mengatasi kemandegan
produksi padi dan meningkatkan pendapatan petani.
Pembangunan sektor pertanian di Kabupaten Bogor menjadi bagian penting
dan menjadi prioritas, karena berdasarkan data statistik pertanian produksi padi
tahun 2012 baru mampu memenuhi 60 persen dari kebutuhan pangan/beras
masyarakat. Salah satu pelaksanaan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman
3
Terpadu (SLPTT) padi sawah di Kabupaten Bogor yang terus berkelanjutan
adalah Kecamatan Leuwiliang. Wilayah Kecamatan Leuwiliang secara geografis
berupa pegunungan dengan pemanfaatan lahan untuk pemukiman, sawah, tegalan,
ladang, perkebunan, dan hutan. Perekenomian Kecamatan Leuwiliang tergolong
cukup maju dan kegiatan perekonomian paling dominan adalah di sektor
perdagangan dan pertanian. Hal ini dikarenakan mayoritas masyarakat Kecamatan
Leuwiliang bermata pencaharian sebagai petani dan sekaligus merangkap sebagai
pedagang untuk meningkatkan penghasilan dan pendapatan mereka dalam
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Pada tahun 2013 adopsi komponen teknologi PTT (varietas unggul, sistem
tanam, bahan organik, pengairan berselang, pengendalian gulma, hama penyakit,
serta penanganan panen dan pascapanen) di Kecamatan Leuwiliang sudah cukup
baik. Varietas yang digunakan petani adalah Ciherang, IR super, Inpari, Cibogo,
Hibrida dan Mekongga dengan sistem tanam jajar Legowo 4:1 (20 cm x 10 cm x
40 cm) dan menggunakan bahan organik yang terdiri dari pupuk kompos dan
bokhasi. Hasil produktivitas tanaman padi melalui teknologi inovasi PTT di
Kecamatan Leuwiliang terdapat peningkatan hasil produktivitas dari tahun 2009
sampai 2013 yaitu sekitar 2 ton/ha. Pada tahun 2009 hasil produktivitas padi PTT
sekitar 6.5 ton/ha dan pada tahun 2013 meningkat sebesar 8.6 ton/ha. Hal ini
melatarbelakangi pentingnya penelitian tentang tingkat adopsi inovasi PTT oleh
petani di Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Penelitian ini berfokus pada
bagaimana tingkat adopsi inovasi petani dalam memahami komponen teknologi
yang terdapat dalam pengelolaan tanaman padi secara terpadu? Berdasarkan
uraian diatas, perlu dikaji tingkat adopsi inovasi pengelolaan tanaman terpadu
padi sawah di Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor.
Masalah Penelitian
Permasalahan di Kabupaten Bogor yang harus segera diupayakan
pemecahannya adalah semakin besar kebutuhan pangan, ini merupakan dampak
dari semakin bertambahnya jumlah penduduk dan berkurangnya lahan
pertanian/sawah sebagai akibat dari terjadinya alih fungsi lahan untuk kepentingan
pembangunan. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah meningkatkan
produktivitas padi melalui kegiatan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman
Terpadu (SLPTT).
Terdapat 12 Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP3K)
di Kabupaten Bogor yang telah menyelenggarakan Sekolah Lapang Pengelolaan
Tanaman Terpadu (SLPTT) yaitu sebagai berikut: (1) BP3K Wilayah
Parungpanjang, (2) BP3K Wilayah Cibungbulang, (3) BP3K Wilayah Cibinong,
(4) BP3K Wilayah Dramaga, (5) BP3K Wilayah Ciawi, (6) BP3K Wilayah
Cigudeg, (7) BP3K Wilayah Leuwiliang; (8) BP3K Wilayah Ciseeng, (9) BP3K
4
Wilayah Jonggol, (10) BP3K Wilayah Cariu, (11) BP3K Wilayah Gunung Putri,
dan (12) BP3K Wilayah Caringin. Meskipun tidak terus menerus dilaksanakan di
wilayah yang sama setiap tahunnya sejak dilaksanakan dari tahun 2009-2013.
Namun, salah satu wilayah pelaksanaan SLPTT di Kabupaten Bogor yang terus
berkelanjutan adalah di Kecamatan Leuwiliang. Hal ini dikarenakan petani di
Kecamatan Leuwiliang memiliki luas areal lahan pertanian cukup luas yaitu ratarata seluas 28.4 Ha, dengan kebutuhan benih lebih tinggi dibanding kecamatan
lainnya di Kabupaten Bogor.
Pelaksanaan SLPTT di Kecamatan Leuwiliang menggunakan sarana
kelompok tani yang sudah terbentuk dan masih aktif berdasarkan domisili atau
hamparan, yang lokasi lahan usaha taninya masih dalam satu hamparan. Hal ini
untuk mempermudah interaksi antar anggota karena mereka saling mengenal satu
sama lainnya dan tinggal di lingkungan berdekatan sehingga bila teknologi
SLPTT sudah diadopsi secara individu akan mudah ditiru petani lainnya.
Keuntungan Penerapan Teknologi inovasi PTT adalah: (1) meningkatkan kualitas
dan kuantitas hasil usahatani, (2) Efisiensi biaya usahatani dengan penggunaan
teknologi yang tepat untuk masing-masing lokasi, dan (3) Kesehatan lingkungan
tumbuh pertanaman dan lingkungan kehidupan secara keseluruhan terjaga. Jumlah
petani yang mengadopsi inovasi PTT di Kecamatan Leuwiliang yaitu berjumlah
631 orang. Konsep Litterer (Asngari, 1984) digunakan untuk mengukur dan
menganalisis persepsi petani. Berdasarkan hal tersebut, maka dari uraian diatas
timbul pertanyaan sebagai berikut:
(1) Bagaimana persepsi petani terhadap inovasi PTT di Kecamatan Leuwiliang
Kabupaten Bogor?
(2) Sejauh mana tingkat adopsi inovasi PTT padi sawah di Kecamatan
Leuwiliang?
(3) Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap adopsi inovasi PTT?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka dirumuskan tujuan penelitian
sebagai berikut:
(1) Menganalisis persepsi petani terhadap inovasi PTT padi sawah di
Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor.
(2) Menganalisis tingkat adopsi inovasi PTT di Kecamatan Leuwiliang
Kabupaten Bogor.
(3) Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi adopsi inovasi PTT padi di
Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor.
5
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara
teoritis maupun praktis sebagai berikut:
(1) Secara teoritis penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi bagi
pengembangan ilmu, khususnya yang berkaitan dengan teknologi inovasi
PTT padi sawah sehingga dapat dijadikan acuan bagi peneliti lain untuk
penelitian lebih lanjut.
(2) Secara praktis, yaitu sebagai bahan pertimbangan bagi pengambil kebijakan
dalam usaha pengembangan tanaman padi, khususnya petani yang
membudidayakan tanaman padi.
6
TINJAUAN PUSTAKA
Adopsi Inovasi
Teori adopsi inovasi dalam penelitian ini mengacu pada teori Rogers (2003)
dalam buku yang berjudul Diffusion of Innovation. Adopsi merupakan proses
penerimaan suatu yang “baru” yaitu menerima sesuatu yang ditawarkan dan yang
diupayakan oleh pihak lain (penyuluh). Adopsi juga merupakan proses
penerimaan ide-ide baru yakni ide baru tersebut diterima melalui saluran
komunikasi. Adopter adalah individu atau sekelompok individu yang menerima
ide-ide tersebut.
Inovasi merupakan ide-ide baru, praktek-praktek baru, atau objek-objek
baru yang dapat dirasakan sebagai suatu yang baru oleh masyarakat atau individu
yang menjadi sasaran penyuluhan. Inovasi adalah gagasan, tindakan atau barang
yang dianggap baru oleh seseorang. Tidak menjadi soal, sejauh dihubungkan
dengan tingkah laku manusia, apakah ide itu betul-betul baru atau tidak jika
diukur dengan selang waktu sejak digunakannya atau ditemukannya pertama kali.
Kebaruan inovasi itu diukur secara subyektif, menurut pandangan individu yang
menangkapnya. Jika sesuatu ide dianggap baru oleh seseorang maka ia adalah
inovasi (bagi orang itu). “Baru” dalam ide yang inovatif tidak berarti harus baru
sama sekali. Suatu inovasi mungkin telah lama diketahui oleh seseorang beberapa
waktu yang lalu (yaitu ketika ia ”kenal” dengan ide itu) tetapi ia belum
mengembangkan sikap atau tidak suka terhadapnya, ia menerima atau
menolaknya.
Aspek kebaruan dari suatu inovasi terlihat ketika inovasi tersebut dapat
memberikan pengetahuan baru pada pihak adopter, selanjutnya muncul keyakinan
(persuasion) pada pihak adopter bahwa inovasi tersebut perlu untuk diadopsi dan
terakhir adanya keputusan untuk mengadopsi inovasi tersebut oleh pihak adopter.
Namun, kebaruan dari suatu inovasi tidak didasarkan pada kurun waktu yang
ditemukan inovasi, tetapi adanya anggapan sebagai sesuatu yang baru pada diri
adopter.
Mereka yang mengadopsi ide baru berada pada waktu yang berbeda yang
berarti bahwa mereka dapat pula diklasifikasikan pada posisi waktu dalam pola
adopsi. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tahap adopsi suatu inovasi,
antara lain sebagai berikut: (1) kepuasan pada pengalaman pertama, (2)
kemampuan petani dalam mengelola usahataninya, (3) ketersediaan dana dan
sarana agar yang diperlukan (tepat waktu, mutu, jumlah, dan harga), (4) analisis
keberhasilan/kegagalan, dan (5) tujuan dan minat keluarga.
Pada dasarnya, proses adopsi melalui tahapan-tahapan sebelum masyarakat
mau menerima/menerapkan dengan keyakinan sendiri, meskipun selang waktu
antar tahapan satu dengan yang lainnya itu tidak selalu sama (tergantung sifat
inovasi, karakteristik sasaran, keadaan lingkungan (fisik maupun sosial), dan
6
7
aktivitas/kegiatan yang dilakukan oleh penyuluh. Proses adopsi merupakan proses
pelaksanaan suatu teknologi yang dapat berjalan secara sistematis sehingga
memberikan keuntungan secara ekonomis dan memberikan dorongan untuk
masyarakat setempat.
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan adopsi, adalah:
sifat-sifat inovasi, jenis-jenis keputusan inovasi, saluran komunikasi, ciri-ciri
sistem sosial, kegiatan promosi oleh penyuluh, interaksi individual dan kelompok,
sumber informasi dan faktor diri adopter.
Setiap sifat inovasi secara empiris mungkin saling berhubungan satu sama
lain tetapi secara konseptual mereka itu berbeda. Kelima sifat inovasi tersebut
ialah:
(1) Keuntungan relatif adalah tingkatan suatu ide baru dianggap suatu yang lebih
baik daripada ide-ide yang ada sebelumnya. Tingkat keuntungan relatif
seringkali dinyatakan dengan atau dalam keuntungan ekonomis. Apabila
memang benar inovasi baru tersebut akan memberikan keuntungan yang
relatif besar dari nilai yang dihasilkan oleh teknologi lama, maka kecepatan
proses adopsi inovasi akan berjalan lebih cepat. Keuntungan relatif adalah
suatu program bisa memberikan manfaat atau memungkinkan petani
mencapai tujuannya dengan biaya yang relatif rendah dari sebelumnya, baik
itu dilihat dari segi ekonomi, sosial maupun kepuasan individu.
(2) Kompatibilitas adalah tingkat suatu inovasi dianggap konsisten dengan nilainilai yang ada, pengalaman masa lalu dan kebutuhan penerima. Inovasi yang
tidak sesuai dengan ciri-ciri sistem sosial yang menonjol akan tidak diadopsi
secepat dengan yang kompatibel. Kompatibilitas memberikan jaminan lebih
besar dan resiko lebih kecil bagi penerima, membuat ide baru itu lebih berarti
bagi penerima. Suatu inovasi mungkin kompatibel dengan: (a) nilai-nilai dan
kepercayaan sosiokultural, (b) ide-ide diperkenalkan terlebih dahulu, dan (c)
dengan kebutuhan klien terhadap inovasi.
(3) Kompleksitas adalah tingkat suatu inovasi dianggap relatif sulit untuk
dimengerti dan digunakan. Suatu ide baru mungkin dapat digolongkan ke
dalam continuum ”rumit–sederhana.” Inovasi tertentu begitu mudah dapat
dipahami oleh penerima tertentu, sedangkan bagi yang lainnya tidak.
Keberhasilan suatu inovasi sangat ditentukan oleh tingkat kerumitan oleh
karena itu kekompleksan suatu inovasi dibidang pertanian berhubungan
dengan tingkat adopsinya.
(4) Triabilitas/dapat dicoba adalah suatu tingkat suatu inovasi dapat dicoba
dengan skala kecil. Kemudahan inovasi untuk dapat dicoba oleh pengguna
berkaitan dengan keterbatasan sumber daya yang ada. Inovasi yang dapat
dicoba sedikit demi sedikit akan lebih cepat dipakai oleh pengguna dari
pada inovasi yang tidak dapat dicoba sedikit demi sedikit. Inovasi semakin
mudah dapat dicoba maka relatif cepat proses adopsi inovasi yang dilakukan
oleh petani.
8
(5) Observabilitas/dapat diamati adalah tingkat hasil-hasil suatu inovasi dapat
dilihat oleh orang. Hasil inovasi-inovasi tersebut mudah dikomunikasi dan
dilihat oleh orang lain. Jika inovasi tersebut mudah dilihat, maka calon-calon
pengadopsi lainnya tidak perlu lagi menjalani tahap percobaan, melainkan
ketahap berikutnya. Suatu inovasi akan cepat diterima oleh petani apabila
unsur-unsur dari karakteristik inovasi cenderung bersifat positif, sebaliknya
jika unsur-unsur karakteristik inovasi bersifat kontradiktif, maka akan
menyulitkan petani dalam mengadopsinya.
Pengambilan keputusan oleh petani terhadap penolakan atau penerimaan
suatu inovasi tidak terlepas dari pertimbangan-pertimbangan menguntungkan atau
tidaknya teknologi tersebut secara ekonomis bagi pengusahanya (petani). Untuk
itu dalam proses pengambilan keputusan ini memerlukan beberapa tahapan untuk
mempertimbangkan inovasi tersebut. Proses keputusan inovasi adalah proses
seseorang atau (unit pembuat keputusan lainnya) mengetahui suatu inovasi untuk
membentuk suatu sikap kearah inovasi untuk mengadopsi atau menolak, ke
implementasi dan penggunan gagasan, dan akhirnya melakukan konfirmasi
terhadap keputusannya. Lima langkah utama dalam proses keputusan inovasi
adalah sebagai berikut :
(1) Tahap pengetahuan, yakni dalam tahap ini, seseorang belum memiliki
informasi mengenai inovasi baru. Untuk itu informasi mengenai inovasi
tersebut harus disampaikan melalui berbagai saluran komunikasi yang ada,
bisa melalui media elektronik, media cetak, maupun komunikasi interpersonal
di antara masyarakat.
(2) Tahap persuasi, yakni tahap kedua ini terjadi lebih banyak dalam tingkat
pemikiran calon pengguna. Seseorang akan mengukur keuntungan yang akan
ia dapat jika mengadopsi inovasi tersebut secara personal. Berdasarkan
evaluasi dan diskusi dengan orang lain, ia mulai cenderung untuk mengadopsi
atau menolak inovasi tersebut.
(3) Tahap pengambilan keputusan, yakni dalam tahap ini, seseorang membuat
keputusan akhir apakah mereka akan mengadopsi atau menolak sebuah
inovasi. Namun bukan berarti setelah melakukan pengambilan keputusan ini
lantas menutup kemungkinan terdapat perubahan dalam pengadopsian.
(4) Tahap implementasi, yakni seseorang mulai menggunakan inovasi sambil
mempelajari lebih jauh tentang inovasi tersebut.
(5) Tahap konfirmasi, yakni setelah sebuah keputusan dibuat, seseorang
kemudian akan mencari pembenaran atas keputusan mereka. Apakah inovasi
tersebut diadopsi ataupun tidak, seseorang akan mengevaluasi akibat dari
keputusan yang mereka buat. Tidak menutup kemungkinan seseorang
kemudian mengubah keputusan yang tadinya menolak jadi menerima inovasi
setelah melakukan evaluasi.
9
Saluran komunikasi
Pengetahuan
Persuasi
Keputusan
Implementasi
Konfirmasi
Adopsi
berkelanjutan
Kondisi
sebelumnya:
1. Praktik-praktik
sebelumnya
2. Kebutuhan yang
dirasakan
3. Keinovatifan
4. Norma system
social.
Karakteristik dari
unit pengambil
keputusan:
1. Karakteristik
sosioekonomi
2. Variabel
personal
3. Perilaku
komunikasi
Karakteristik
inovasi
1. Keuntungan
relatif
2. Kompabilitas
3. Kompleksitas
4. Triabilitas
5. observabilitas
Adopsi
Berhenti/
menolak
Penolakan
Adopsi tidak
berkelajutan
Tetap
menolak
Gambar 1 Model Tahapan Keputusan Inovasi
Adopsi inovasi mengandung pengertian yang kompleks dan dinamis. Hal ini
disebabkan karena proses adopsi inovasi sebenarnya menyangkut proses
pengambilan keputusan, yakni dalam proses ini banyak faktor yang
mempengaruhinya. Proses pengambilan keputusan untuk melakukan adopsi
inovasi, yakni ada beberapa elemen yang penting yang perlu diperhatikan dalam
proses adopsi inovasi (a) adanya sikap mental untuk melakukan adopsi inovasi,
dan (b) adanya konfirmasi dari keputusan yang telah diambil. Inovasi merupakan
elemen utama dalam proses adopsi inovasi.
Inovasi memiliki tiga komponen yaitu ide atau gagasan, metode atau
praktek, dan produk (barang dan jasa) dan untuk dapat disebut inovasi maka
ketiga komponen tersebut harus mempunyai sifat baru, sifat tersebut tidak selalu
berasal dari penelitian yang mutakhir. Inovasi juga dapat berupa sesuatu yang
benar-benar baru atau sudah lama tetapi masih dianggap baru oleh petani atau
masyarakat desa.
Mengadopsi inovasi PTT berlangsung mulai dari petani tahu tentang adanya
teknologi PTT sampai petani mau mencoba serta menggunakan/menerapkan
teknologi tersebut secara terus menerus. Hal ini dapat dilihat dari tingkat adopsi
petani tentang komponen dari PTT seperti menggunakan varietas unggul/benih
bermutu dan bahan-bahan organik sebagai pupuk untuk tanaman padi.
Menurut Ellya (2002), variabel yang berhubungan positif dengan tingkat
adopsi antara lain: (a) variabel sosial ekonomi seperti tingkat pendidikan, status
soial dan luas usaha tani; (b) variabel rasionalitas, sikap terhadap perubahan dan
sikap terhadap ilmu pengetahuan; dan (c) varibel komunikasi seperti partisipasi
sosial, kekosmopolitan, hubungan dengan agen pembaharuan, keterdadahan media
massa, keterdadahan media interpersonal, aktivitas mencari informasi dan tingkat
kepemimpinan.
10
Berdasarkan penelitian Riyadi (2003), faktor yang mempengaruhi proses
adopsi inovasi adalah faktor personal dan faktor situasional. Faktor personal
mencakup: (1) umur, orang yang lebih tua cenderung kurang responsif terhadap
ide-ide baru dan pendidikan, dapat menciptakan dorongan mental untuk menerima
inovasi yang menguntungkan; dan (2) ciri-ciri psikologis, sifat orang yang kaku
lebih sulit menerima inovasi. Faktor situasional mencakup: (1) ukuran usaha tani,
berhubungan dengan positif dengan difusi inovasi; (2) status kepemilikan lahan
lebih leluasa membuat keputusan untuk mengadopsi sesuatu; (3) prestise
masyarakat, kedudukan seseorang dalam masyarakat berhubungan dengan positif
dengan adopsi inovasi; dan (4) sumber-sumber informasi, jumlah sumber
informasi yang digunakan berhubungan dengan tingkat adopsi inovasi.
Pengelolaan Tanaman Terpadu ( PTT )
Pengelolaan Tanaman Terpadu adalah tindakan secara terpadu yang
bertujuan untuk memperoleh pertumbuhan tanaman yang optimal, kepastian
panen, mutu produk tinggi dan kelestarian lingkungan. Pengelolaan Tanaman
Terpadu menggabungkan semua komponen terpilih yang serasi dan saling
komplementer, untuk mendapatkan hasil panen optimal dan kelestarian
lingkungan (Deptan 2008).
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) adalah suatu pendekatan inovatif
dalam upaya meningkatkan produktivitas dan efisiensi usahatani melalui
perbaikan sistem/ pendekatan dalam perakitan paket teknologi yang sinergis antar
komponen teknologi, dilakukan secara partisipatif oleh petani serta bersifat
spesifik lokasi (BP5K Bogor 2013).
Keterpaduan pengelolaan tanaman terpadu bukan hanya pada keterpaduan
antara tanaman, sumberdaya produksi dan teknologi, tetapi mencakup
keterpaduan yang lebih luas yaitu: (1) keterpaduan antar institusi, (2) keterpaduan
antar disiplin ilmu pengetahuan, (3) keterpaduan analisis dan interpretasi, serta (4)
keterpaduan program antar sub-sektor. Model pengelolaan tanaman terpadu
mengacu pada keterpaduan teknologi dan sumberdaya setempat yang dapat
menghasilkan efek sinergis dan efisiensi tinggi, sebagai wahana pengelolaan
tanaman dan sumberdaya spesifik lokasi.
Pengelolaan Tanaman Terpadu merupakan strategi atau model dalam usaha
meningkatkan produksi tanaman pangan melalui integrasi teknologi, sosial dan
ekonomi yang diharapkan mempunyai efek sinergisme. Tujuan penerapan PTT
adalah: (1) meningkatkan produktivitas tanaman padi, (2) meningkatkan nilai
ekonomi/keuntungan usahatani melalui efisiensi input, dan (3) melestarikan
sumberdaya untuk keberlanjutan sistem produksi (Deptan 2008).
Menurut Mahfud et al. (Kartono 2009), pengelolaan tanaman terpadu (PTT)
merupakan pendekatan yang mengutamakan hubungan sinergis antar komponen-
11
komponen produksi seperti umur bibit, pemupukan lain-lain mulai dari pra
produksi sampai dengan produksi. Pendekatan melalui inovasi PTT ini adalah
sebagai berikut:
(1) Mendapatkan model pengelolaan tanaman terpadu budidaya padi sawah
spesifik di lahan irigasi dan
(2) Meningkatkan produktivitas pendapatan petani. Tanaman padi yang
diusahakan dengan menerapkan PTT tumbuh lebih baik berproduksi lebih
dari 10 % lebih tinggi, usahatani lebih menguntungkan dan lebih efisien dari
pada cara petani dan dapat mempertahankan kesuburan tanah.
Pelaksanaan PTT menggunakan pendekatan partisipasi petani secara aktif,
dan dalam penerapan komponen teknologi PTT tersebut didasarkan pada
kesepakatan dengan petani. Prinsip PTT mencakup empat unsur, yaitu integrasi,
interaksi, dinamis dan partisipatif. Integrasi dimaksudkan bahwa dalam
implementasinya di lapangan, PTT mengitegrasikan sumber daya lahan, air,
tanaman, Organisme Pengganggu Tanaman (OPT), dan iklim untuk mampu
meningkatkan produktivitas lahan dan pendekatan yang ditempuh dalam
penerapan komponen teknologi PTT bersifat: (1) partisipatif, (2) dinamis, (3)
spesifik lokasi, (4) keterpaduan, dan (5) sinergis antar komponen.
Penerapan PTT berdasarkan empat prinsip, yaitu: (1) pendekatan terhadap
sumberdaya tanaman, lahan dan air dapat dikelola sebaik-baiknya; (2) PTT
memanfaatkan teknologi pertanian yang sudah dikembangkan dan diterapkan
dengan memperhatikan unsur sinergis antar teknologi; (3) PTT memperhatikan
kesesuaian teknologi dengan lingkungan; dan (4) bersifat partisipatif, yakni petani
turut memilih teknologi yang sesuai dengan keadaan setempat dan kemampuan
petani (Deptan 2008).
Deptan (2008) menjelaskan bahwa alternatif komponen teknologi yang
dapat diintroduksi dalam pengembangan model PTT terdiri atas:
(1) Varietas unggul merupakan salah satu teknologi utama yang mampu
meningkatkan produktivitas padi dan pendapatan petani. Dengan tersedianya
varietas padi yang telah dilepas pemerintah, kini petani dapat memilih
varietas yang sesuai dengan kondisi lingkungan setempat.
(2) Jumlah bibit dan sistem tanam (populasi): direkomendasikan menanam bibit
per rumpun dengan jumlah yang lebih sedikit, yaitu tidak lebih dari 3 bibit
per rumpun, karena kalau lebih banyak, kompetisi antar bibit dalam satu
rumpun lebih tinggi. Jarak tanam yang dianjurkan dengan menggunakan
model legowo 4:1 dengan jarak (20 cm x 10 cm) x 40 cm (36 rumpun/m 2),
dengan legowo 2:1 (40 cm x 20 cm x 10 cm). Cara tanam berselang-seling 2
baris dan 1 baris kosong. Sistem jajar legowo mempunyai beberapa
keuntungan, yaitu: (1) semua barisan rumpun tanaman berada pada bagian
pinggir yang biasanya memberi hasil lebih tinggi (efek tanaman pinggir), (2)
pengendalian hama, penyakit, dan gulma lebih mudah, (3) menyediakan
12
(3)
(4)
(5)
(6)
ruang kosong untuk pengaturan air, saluran pengumpulan keong mas, atau
untuk mina padi, dan (4) penggunaan pupuk lebih berdaya guna.
Bahan organik yang telah dikomposkan berperan penting dalam perbaikan
sifat kimia, fisika dan biologi tanah serta sumber nutrisi tanah. Sumber bahan
kompos antara lain berasal dari limbah organik seperti sisa-sisa tanaman
(jerami, batang, dahan), sampah rumah tangga, kotoran ternak, arang sekam,
dan abu dapur.
Pengairan berselang (Intermittent Irrigation) adalah pengaturan kondisi lahan
dalam kondisi kering dan tergenang secara bergantian. Kondisi ini bertujuan:
(1) menghemat air irigasi, (2) memberi kesempatan pada akar tanaman untuk
mendapatkan udara, (3) mencegah timbulnya keracunan besi, (4) mencegah
penimbunan asam organik dan gas H2S yang menghambat perkembangan
akar, (5) menyeragamkan pemasakan gabah dan mempercepat waktu panen,
(6) memudahkan pembenaman pupuk dalam tanah, dan (7) memudahkan
pengendalian hama keong mas, dan mengurangi kerusakan tanaman padi
karena hama tikus.
Pengendalian gulma, hama dan penyakit secara terpadu. Pengendalian gulma
dapat dilakukan dengan cara pengolahan tanah yang sempurna, mengatur air
di petakan sawah, menggunakan benih padi bersertifikat, hanya menggunakan
kompos sisa tanaman dan kompos pupuk kandang dan menggunakan
herbisida apabila infestasi gulma sudah tinggi. Pengendalian gulma secara
mekanis sangat dianjurkan, karena cara ini sinergis dengan pengelolaan
lainnya. Keuntungan penggunaan alat mekanis adalah: (1) ramah lingkungan
(tidak menggunakan bahan kimia), (2) lebih ekonomis, hemat tenaga kerja
dibandingkan dengan penyiangan biasa dengan tangan, (3) meningkatkan
sirkulasi udara di dalam tanah dan merangsang pertumbuhan akar padi akan
lebih baik, dan (4) apabila dilakukan bersamaan atau segera setelah
pemupukan akan membenamkan pupuk ke dalam tanah, sehingga pemberian
pupuk menjadi lebih efisien. Pengendalian hama dan penyakit secara terpadu
merupakan pendekatan pengendalian yang memperhitungkan faktor ekologi
sehingga pengendalian dilakukan agar tidak terlalu mengganggu
keseimbangan alami dan tidak menimbulkan kerugian besar. Cara
pengedalian diantaranya dilakukan monitoring populasi hama dan kerusakan
tanaman sehingga penggunaan teknologi pengendalian dapat ditetapkan.
Langkah-langkah pengendalian akan berbeda dari setiap hama yang akan
dikendalikannya.
Penanganan panen dan pasca panen: penanganan ini harus tepat untuk itu, ada
beberapa hal yang harus dilakukan, yaitu antara lain: (1) potong padi dengan
sabit gerigi, (2) panen dilakukan oleh kelompok pemanen yang profesional,
(3) perontokan segera dilakukan tidak boleh lebih dari 2 hari, karena akan
menyebabkan kerusakan beras, (4) menggunakan terpal sebagai alas yang
cukup, (5) pengeringan, dan (6) penggilingan dan penyimpanan.
13
Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian mengenai adopsi inovasi di bidang pertanian yang telah
dilakukan, diantaranya:
(1) Roswida (2003) meneliti mengenai tahapan proses keputusan adopsi inovasi
pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan agen hayati, memasukkan
karakteristik internal meliputi: tingkat pendidikan formal, pengalaman
usahatani, luas lahan usahatani, kekosmopolitan, keinovativan usahatani,
sikap kepemimpinan, sikap kewirausahaan, keanggotaan dalam
kelompoktani, sedangkan karakteristik eksternal meliputi ketersediaan
sumber informasi, intensitas penyuluhan, ketersediaan sarana, peluang pasar
dan intensitas promosi pestisida.
(2) Riyadi (2003) meneliti mengenai hubungan antara pelatihan hasil pelatihan
dengan tingkat penerapan teknologi padi sawah, memasukkan karakteristik
internal meliputi: umur, tingkat pendidikan formal, tingkat pendidikan non
formal, pengalaman usahatani, sedangkan karakteristik eksternal meliputi
penguasaan luas lahan dan kekosmopolitan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa faktor internal sangat menentukan kemampuan dan kemauan petani
untuk menerapkan teknologi padi sawah.
(3) Mulyadi (2007) meneliti mengenai proses adopsi inovasi pertanian suku
pedalaman, bahwa dalam saluran komunikasi berhubungan nyata dengan
keputusan mengadopsi inovasi, saluran komunikasi ini menggunakan saluran
komunikasi vertical (top-down) dari pemerintah, kepala suku, pendeta serta
menggunakan media massa.
(4) Warda (2011) meneliti mengenai pengaruh belajar sosial pada sekolah lapang
pengelolaan tanaman terpadu terhadap adopsi dan difusi teknologi padi.
Adapun metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif dengan jumlah sampel sebanyak 133 orang. Metode pengambilan
sampel secara stratified random sampling. Analisis data menggunakan
analisis tabulasi silang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar
petani mencapai tahap reproduksi motorik dalam belajar sosial dan sebagaian
besar tingkat adopsi tekologi PTT padi di Kecamatan Bantimurung termasuk
dalam kategori sedang. Selanjutnya hasil penelitian menunjukkan adanya
pengaruh belajar sosial terhadap adopsi dan difusi teknologi PTT padi di
Kecamatan Bantimurung.
(5) Mariano et al. (2012) meneliti tentang factors influencing farmers’ adoption
of modern rice technologies and good management practices. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tingkat pendidikan petani dalam penggunaan benih
bersertifikat, pengaturan air/irigasi, kepemilikan mesin berdampak positif
terhadap adopsi teknologi pengelolaan tanaman terpadu. Variabel penyuluhan
memiliki dampak terbesar terhadap pengadopsian teknologi dalam merubah
perilaku petani untuk meningkatkan produksi beras dalam jangka panjang.
14
(6) Kartono (2009) meneliti tentang persepsi dan penerapan inovasi pengelolaan
tanaman dan sumberdaya terpadu padi sawah. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa langkah yang efektif dalam upaya meningkatkan persepsi petani yang
lebih baik terhadap PTT padi adalah dengan memperhatikan pendapatan
petani, iklim usaha dan kegiatan penyuluhan yang intensif dan efektif.
Pada tahun 2008 Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) diterapkan dalam
program peningkatan produktivitas padi terpadu di Desa Pandan Sari Kabupaten
Bogor. Pelaksanaan ini dilakukan karena sesuai dengan masalah yang dihadapi di
lapangan, maka teknologi yang dikembangkan adalah dengan pendekatan PTT.
Komponen yang diterapkan yaitu: (1) pengendalian hama penyakit (PHT): sanitasi
dan pestisida nabati, (2) bibit muda berumur 15-18 HSS, (3) perbaikan cara tanam
dengan jajar legowo 4:1 dengan jarak 20x10 cm, (4) pemupukan berimbang
berdasarkan hasil analisis tanah, dan (5) pengairan berkala/berselang (BP5K
Bogor, 2013).
Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT) padi di Kabupaten
Bogor mulai diperkenalkan ke Balai Penyuluhan Pertanian pada tahun 2008.
Pelaksanaan SLPTT Padi dimulai dari tahun 2009 sampai sekarang. Salah satu
lokasi yang pelaksanaan SLPTT berkelanjutan di Kabupaten Bogor adalah
Kecamatan Leuwiliang.
Karakteristik Internal Petani
Pe
TERPADU PADI SAWAH DI KECAMATAN
LEUWILIANG KABUPATEN BOGOR
ISMILAILI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Tingkat Adopsi Inovasi
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah di Kecamatan Leuwiliang
Kabupaten Bogor” adalah benar karya saya dengan arahan dari Komisi
Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2015
Ismilailli
NRP I351120091
Abstract
Integrated crop management (ICM) can increase productivity, economic
benefit rice farming through the efficient use of inputs, and conserve land
resources for sustainable production systems. The purpose of this study is to
analyze the degree of adoption, perception of ICM, and factors that influence the
adoption of innovation ICM of paddy in Leuwiliang District. The research
location was in Barengkok village and Leuwimekar village, Leuwiliang Subdistrict. Research was implemented from May until July 2014. Respondents in
this study were 80 farmers. The respondent covered 40 farmers from the
Barengkok village and 40 farmers from Leuwimekar village. The data was
collected by using a questionnaire and in-depth interviews. Multiple regression
analysis test was used to analyze the data. The research results showed (1)
Perception of farmers towards ICM innovation in the use of high improved
varieties of rice is more advantage than regular varieties, ICM innovation
according to the needs of farmers, the use of cropping systems in Legowo (4:1 and
2:1) easy to apply and can be tested in a small scale and large scale area, and can
be the difference results is through ICM innovation increased productivity results
from 6.5 to 8.6 ton/ha, (2) The adoption level of integrated crop management
(ICM) of paddy in the Leuwiliang Sub district was in high category, and (3) The
factors of age, experience, land area, the availability of technology information,
knowledge and perceptions of farmers were significantly affected the adoption
level of ICM paddy
Keywords: adoption, perception, ICM of paddy
RINGKASAN
ISMILAILI. 2015. Tingkat Adopsi Inovasi Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi
Sawah di Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh NINUK
PURNANINGSIH sebagai Ketua Komisi Pembimbing, dan PANG S ASNGARI
sebagai Anggota Komisi Pembimbing.
Inovasi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) sejak tahun 2008 telah
diujicobakan pada lahan petani di Kabupaten Bogor. Hasil ujicoba tersebut
menunjukkan bahwa inovasi teknologi PTT dapat meningkatkan hasil panen padi
rata-rata 19 persen dan pendapatan petani rata-rata 15 persen (Balitpa, 2009).
Dengan demikian inovasi PTT mempunyai prospek yang baik untuk
dikembangkan lebih lanjut.
Kecamatan Leuwiliang memiliki luas areal lahan pertanian cukup luas yaitu
rata-rata seluas 28.4 Ha, dan kebutuhan benih lebih tinggi dibanding Kecamatan
lainnya di Kabupaten Bogor. Pada tahun 2013 adopsi komponen teknologi PTT
(varietas unggul, sistem tanam, bahan organik, pengairan berselang, pengendalian
gulma, hama penyakit, serta penanganan panen dan pascapanen) di Kecamatan
Leuwiliang sudah cukup baik. Varietas yang digunakan petani adalah Ciherang,
IR Super, Inpari, Cibogo, Hibrida dan Mekongga dengan sistem tanam jajar
Legowo 4:1 (20 cm x 10 cm x 40 cm) dan menggunakan bahan organik yang
terdiri dari pupuk kompos dan bokhasi. Hasil produktivitas tanaman padi melalui
teknologi inovasi PTT di Kecamatan Leuwiliang terdapat peningkatan hasil
produktivitas dari tahun 2009 sampai 2013 yaitu sekitar 2 ton/ha. Pada tahun 2009
hasil produktivitas padi PTT sekitar 6.5 ton/ha dan pada tahun 2013 meningkat
sebesar 8.6 ton/ha. Tujuan penelitian ini meliputi hal berikut: (1) menganalisis
persepsi petani terhadap inovasi PTT padi di Kecamatan Leuwiliang Kabupaten
Bogor, (2) menganalisis tingkat adopsi inovasi PTT padi sawah di Kecamatan
Leuwiliang Kabupaten Bogor, dan (3) menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi adopsi inovasi PTT padi di Kecamatan Leuwiliang Kabupaten
Bogor.
Penelitian dilakukan di Desa Barengkok dan Desa Leuwimekar, Kecamatan
Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Sampel penelitian adalah petani yang mengadopsi
inovasi PTT sebanyak 80 orang. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Mei
hingga Juli 2014. Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis
kuantitatif dilakukan secara statistik deskriptif dan inferensial. Statistik deskriptif
menggunakan distribusi frekuensi dan statistik inferensial menggunakan analisis
regresi berganda.
Litterer (Asngari 1984) mengungkapkan bahwa persepsi merupakan
pengertian manusia tentang obyek di sekitarnya. Persepsi petani tentang inovasi
PTT meliputi: (1) varietas unggul, (2) sistem tanam, (3) bahan organik, (4)
pengairan berselang, (5) pengendalian gulma, hama dan penyakit, dan (6)
penanganan panen dan pascapanen. Penilaian petani tentang inovasi PTT padi
menjadikan petani mau mengadopsi inovasi PTT padi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: persepsi petani terhadap komponen
teknologi inovasi PTT padi yang meliputi varietas unggul, sistem tanam, bahan
organik, pengairan berselang, pengendalian gulma hama penyakit, dan
pengananan panen dan pasca panen di Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor
termasuk dalam kategori sangat tinggi artinya bahwa persepsi petani terhadap
inovasi PTT padi dalam penggunaan varietas unggul lebih menguntungkan
dibandingkan dengan varietas biasa, inovasi PTT sesuai dengan kebutuhan petani,
penggunaan sistem tanam secara Legowo (4:1 dan 2:1) mudah diterapkan dan
dapat diujicobakan dalam skala luasan kecil maupun skala besar, serta dapat
dilihat perbedaan hasil yaitu melalui inovasi PTT hasil produktivitas meningkat
dari 6.5 menjadi 8.6 ton/ha. Tingkat adopsi inovasi Pengelolaan Tanaman Terpadu
(PTT) padi sawah di Kecamatan Leuwiliang termasuk kategori tinggi, artinya
bahwa inovasi PTT diterima dengan baik oleh petani padi. Faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat adopsi inovasi PTT padi di Kecamatan Leuwiliang adalah:
umur, pengalaman berusaha tani, luas penguasaan lahan, tingkat ketersediaan
informasi teknologi PTT, tingkat pengetahuan petani terhadap inovasi PTT dan
tingkat persepsi petani terhadap inovasi PTT padi.
Kata kunci: adopsi, persepsi, pengelolaan tanaman terpadu padi
SUMMARY
ISMILAILI. 2015. Rate of Adoption Innovation Integrated Crop Management
(ICM) of Paddy in Leuwiliang Sub District, Bogor Discrict. Supervised by
NINUK PURNANINGSIH and PANG S ASNGARI.
Innovation Integrated Crop Management (ICM) since 2008 has been tested
by farmers in Bogor. The test results indicate that the ICM technology innovation
can increase rice yields an average of 19 percent and an average income of
farmers 15 percent (Balipta, 2009). Thus ICM innovation has good prospects for
further development.
Sub-district Leuwiliang has a total area of agricultural land is quite wide
with an average area of 28.4 ha, and the need for a higher seed than other subdistrict in Bogor. In 2013 the adoption of the technology components ICM
(improved varieties, planting system, organic materials, intermittent irrigation,
weed control, pest and diseases and post-harvest crop handling in District
Leuwiliang is good enough. Varieties used by farmers is Ciherang, IR Super,
Inpari, Cibogo, Hibrida and Mekongga with row planting system Legowo 4:1 (20
cm x 10 cm x 40 cm) and using organic materials which consists of compost and
bokhasi. The results of the rice crop productivity through technological innovation
in District Leuwiliang ICM there is increased productivity results from 2009 to
2013 is about 2 ton/ ha. In 2009 the results of ICM rice productivity is about 6.5
ton/ha, and in 2013 an increase of 8.6 ton/ ha. The purpose of this study include
the following: (1) analyze the perception of farmers on rice ICM innovation, (2)
analyze the level of innovation adoption ICM paddy in District Leuwiliang Bogor
Regency, and (3) analyze the factors that influence adoption of ICM innovation
rice in Sub-district Leuwiliang Bogor Regency.
The research was conducted at Barengkok and Leuwimekar villages.
Respondents in this study were 80 farmers. The data was collected from May to
July 2014. Data analysis consisted of frequency distributions, while the inferential
statistical analysis using multiple regression.
Litterer (Asngari 1984) stated that “perception is the understanding or
view people have the world around them.” Farmers perception of ICM innovation
include (1) improved varieties, (2) planting system, (3) organic materials, (4)
intermittent irrigation, (5) weed control, pest and diseases, and (6) harvest and
post-harvest crop handling. Farmers decide to use innovation by understanding
the innovations ICM paddy.
The research results showed perception of farmers on ICM innovation
include improved varieties, planting system, organic materials, intermittent
irrigation, weed control, pest and diseases and post-harvest crop handling in
district Leuwiliang Bogor Discrict is in the category of extremely high, meaning
that perception of farmers towards ICM innovation in the use of high improved
varieties of rice is more advantage than regular varieties, ICM innovation
according to the needs of farmers, the use of cropping systems in Legowo (4:1 and
2:1) easy to apply and can be tested in a small scale and large scale area, and can
be the difference results is through ICM innovation increased productivity results
from 6.5 to 8.6 ton/ha. The adoption level of integrated crop management (ICM)
of paddy in the Leuwiliang Sub-district is in high category, meaning that ICM
innovation well received by farmers. The factors of age, experience, land area, the
availability of technology information, knowledge and perceptions of farmers
were significantly affected the adoption level of ICM paddy.
Keywords: adoption, perception, ICM of paddy
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
TINGKAT ADOPSI INOVASI PENGELOLAAN TANAMAN
TERPADU PADI SAWAH DI KECAMATAN
LEUWILIANG KABUPATEN BOGOR
ISMILAILI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Dwi Sadono, M.Si
Judul Tesis
Nama
NIM
: Tingkat Adopsi Inovasi Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi
Sawah di Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor
: Ismilaili
: I351120091
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Ninuk Purnaningsih, MSi
Prof Dr Pang S Asngari.
Ketua
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Sumardjo, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian:
07 Januari 2015
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga penelitian ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian
ini adalah “Tingkat Adopsi Inovasi Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah di
Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor.”
Terima kasih penulis ucapkan kepada berbagai pihak yang telah membantu
dan memberikan dukungan dalam penyelesaian tesis ini. Penghargaan dan ucapan
terima kasih penulis sampaikan kepada:
(1) Dr Ir Ninuk Purnaningsih, MSi sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan
Prof
Dr Pang S Asngari sebagai Anggota Komisi Pembimbing.
(2) Kepala Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan, Peternakan dan Kehutanan
(BP3K) Leuwiliang (Bapak Zainal Mutakhim), dan Penyuluh Pertanian Desa
Barengkok dan Desa Leuwimekar (Bapak Nana Supratna) serta semua
responden petani PTT padi di dua desa penelitian yang telah memberikan data
dan informasi selama penelitian.
(3) Kedua orang tua penulis, Ayahanda M Yahya Ali (Almarhum) dan Ibunda
Hj. Arnani, serta kakak dan adik terima kasih atas semua cinta, kasih sayang,
semangat, doa dan nasehatnya.
(4) Bapak Baharuddin Yahya terima kasih yang telah memberikan semua dana dan
biaya untuk keperluan penulis dalam menempuh program Magister.
(5) Rekan-rekan Program Pascasarjana Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN)
Angkatan 2012 (Nurul Dwi Novikarumsari, Mujiburrahmad, Annisa Yulia
Handayani, Rindi Metalisa, Lina Asnamawati, Firmansyah dan Aan
Hermawan) atas kebersamaan, kerjasama dan diskusi–diskusinya selama ini.
(6) Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
Penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan inovasi PTT padi di Indonesia.
Bogor, Februari 2015
Ismilaili
I351120091
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xi
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masalah Penelitian
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
1
1
3
4
5
TINJAUAN PUSTAKA
Adopsi Inovasi
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT)
Penelitian Terdahulu
Karakteristik Internal Petani
Karakteristik Eksternal Petani
Persepsi Petani terhadap Inovasi PTT
6
6
10
13
14
16
17
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS
Kerangka Berpikir
Hipotesis Penelitian
19
19
20
METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Populasi dan Sampel Penelitian
Data dan Instrumentasi
Pengumpulan Data
Variabel Penelitian
Konsep dan Operasionalisasi Variabel
Uji Validitas dan Realibilitas
Pengolahan Data
Analisis Data
21
21
21
21
22
23
23
24
31
32
33
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Wilayah Penelitian
Karakteristik Internal Petani
Karakteristik Eksternal Petani
Pengetahuan Petani terhadap Inovasi PTT
Persepsi Petani terhadap Inovasi PTT
34
34
36
40
42
48
Tingkat Adopsi Petani terhadap Inovasi PTT
55
Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Tingkat Adopsi Inovasi
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi
60
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
66
66
66
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
67
70
89
DAFTAR GAMBAR
1
2
Model tahapan keputusan inovasi
Kerangka berpikir penelitian
9
20
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
Populasi dan sampel penelitian di Kecamatan Leuwiliang
Hasil uji instrumen penelitian
Persentase petani menurut umur
Persentase petani menurut tingkat pendidikan formal
Persentase petani menurut frekuensi pendidikan non formal
Persentase petani menurut pengalaman berusahatani
Persentase petani menurut luas penguasaan lahan
Persentase tingkat ketersediaan informasi tentang inovasi PTT
Persentase tingkat ketersediaan sarana produksi tentang inovasi PTT
Persentase tingkat pengetahuan petani terhadap Inovasi PTT
Rataan skor tingkat pengetahuan petani tentang inovasi PTT
Persentase persepsi petani terhadap inovasi PTT padi
Rataan skor persepsi petani terhadap inovasi PTT
Persentase tingkat adopsi inovasi PTT di dua desa penelitian
Rataan skor tingkat adopsi inovasi PTT di dua desa penelitian
Pengaruh faktor internal terhadap adopsi inovasi PTT di dua desa
penelitian
Pengaruh faktor eksternal terhadap adopsi inovasi PTT di dua desa
penelitian
Pengaruh faktor tingkat pengetahuan terhadap tingkat adopsi inovasi
PTT di dua desa penelitian
Pengaruh faktor tingkat persepsi terhadap tingkat Adopsi Inovasi PTT
di dua desa penelitian
22
31
36
37
38
39
40
41
42
43
45
49
52
56
56
60
62
63
64
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
Hasil output uji beda Mann Whitney
Hasil output uji regresi
Dokumentasi penelitian
70
74
89
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Permasalahan pemenuhan kebutuhan pangan di Indonesia merupakan salah
satu aspek yang menjadi prioritas untuk diselesaikan, karena pangan dapat
berpengaruh kepada kualitas sumber daya manusia. Sumber daya manusia
merupakan salah satu modal penting untuk kemajuan Indonesia itu sendiri di masa
yang akan datang. Selain itu pangan juga merupakan komoditas politik yang dapat
mempengaruhi kualitas pemerintahan, terkelolanya pangan dengan baik
menunjukkan kemampuan pengelolaan negara dalam bidang pertanian berjalan
dengan baik.
Komoditas pangan terpenting di Indonesia saat ini adalah beras; hampir
seluruh masyarakat Indonesia saat ini menjadikan beras sebagai makanan pokok
sehari-hari, sehingga tuntutan akan peningkatan produksi beras ini menjadi sangat
tinggi. Dengan demikian wajar jika saat ini Kementrian Pertanian selaku
stakeholder dalam bidang pertanian berusaha meningkatkan produksi beras guna
memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
2012).
Pemerintah Republik Indonesia melalui Departemen Pertanian menetapkan
aksi program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) sebesar 2 juta ton
beras pada tahun 2007 dan selanjutnya kenaikan 5 persen untuk setiap tahunnya.
P2BN merupakan program yang mendukung ketahanan pangan dimaksudkan agar
terjadi surplus beras nasional sekitar 1 juta ton sebagai stok beras di Bulog (Badan
Urusan Logistik), sehingga harga beras lebih mudah dikontrol. Program P2BN
digulirkan selain dilatarbelakangi oleh kondisi pemerintah RI yang masih
mengimpor beras sekitar 3 persen untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional
pada tahun 2007, dilatarbelakangi pula oleh ketidakstabilan kondisi perberasan
nasional diantaranya disebabkan terjadinya penurunan luas areal tanam dan luas
areal panen akibat konversi lahan sawah produktif, serangan organisme
pengganggu tanaman (OPT), semakin terbatasnya sumberdaya air serta perubahan
iklim (dampak fenomena iklim) yang sulit diprediksi (Deptan 2008).
Salah satu syarat untuk bisa maju dan berkembang sebuah usaha adalah
inovasi yang terus menerus atau berkelanjutan. Inovasi dapat diartikan sebagai
usaha untuk melakukan perbaikan ataupun terobosan. Teknologi tepat guna adalah
inovasi teknologi yang memenuhi kriteria: (a) secara teknis teknologi dapat
diterapkan, (b) secara ekonomi dapat memberikan nilai tambah dan insentif yang
memadai, (c) secara sosial budaya dapat diterima oleh pengguna, dan (d)
teknologi ramah lingkungan. Hal ini berarti bahwa suatu teknologi inovasi
tersebut hendaknya mudah diterapkan, meningkatkan nilai dan pendapatan petani
serta diterima oleh pasar.
1
2
Inovasi teknologi memegang peranan penting dalam peningkatan
produktivitas, nilai tambah dan pendapatan petani, maka penguasaan dan
aplikasinya perlu dimiliki oleh masyarakat pengguna. Proses adopsi inovasi oleh
pengguna ditempuh melalui lima tahapan yaitu pengetahuan, persuasi, keputusan,
implementasi, dan konfirmasi (Rogers 2003). Khususnya dalam usahatani padi
sawah, model PTT merupakan salah satu alternatif pengelolaan padi secara
intensif. Penelitian Haryani (2009) menyatakan bahwa salah satu peningkatan
pendapatan petani yaitu melalui teknologi inovasi Pengelolaan Tanaman Terpadu
(PTT) pada padi sawah, dengan adanya inovasi PTT diharapkan dapat
meningkatkan produksi dan pendapatan petani dengan tidak merusak lingkungan
karena inovasi PTT adalah suatu inovasi yang ramah lingkungan.
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) adalah suatu pendekatan inovatif
dalam upaya peningkatan efisiensi usahatani padi sawah dengan menggabungkan
berbagai komponen teknologi yang saling menunjang dan dengan memperhatikan
penggunaan sumber daya alam secara bijak agar memberikan pengaruh yang lebih
baik terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman (Dinas Pertanian Tanaman
Pangan 2013).
Pengelolaan Tanaman Terpadu bertujuan untuk meningkatkan produktivitas
tanaman dari segi hasil dan kualitas melalui penerapan teknologi yang cocok
dengan
kondisi
setempat
(spesifik
lokasi),
meningkatkan
nilai
ekonomi/keuntungan usahatani padi melalui efisiensi penggunaan input,
melestarikan sumberdaya lahan untuk keberlangsungan sistem produksi, serta
menjaga kelestarian lingkungan. Dengan meningkatnya hasil produksi diharapkan
pendapatan petani akan meningkat (Deptan 2008).
Sejak tahun 2001, PTT telah diujicobakan pada lahan petani dengan
melibatkan petani setempat di Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi
Selatan. Hasil ujicoba tersebut menunjukkan bahwa inovasi teknologi baru ini
meningkatkan hasil padi sebesar 7–38 persen. Dengan demikian PTT mempunyai
prospek yang baik untuk dikembangkan lebih lanjut (Balitpa, 2003). Puslitbang
Tanaman Pangan dan Balai Penelitian Tanaman Padi (Balitpa) yang kini menjadi
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) telah menghasilkan inovasi
Pengelolaan Tanaman Terpadu atau lebih popular disingkat PTT. Pengujian di 28
kabupaten, salah satunya di Kabupaten Bogor, selama tahun 2008-2009
menunjukkan bahwa penerapan PTT di lahan sawah meningkatkan hasil panen
rata-rata 19 persen dan pendapatan petani rata-rata 15 persen. Data ini
menunjukkan penerapan PTT dapat diandalkan dalam mengatasi kemandegan
produksi padi dan meningkatkan pendapatan petani.
Pembangunan sektor pertanian di Kabupaten Bogor menjadi bagian penting
dan menjadi prioritas, karena berdasarkan data statistik pertanian produksi padi
tahun 2012 baru mampu memenuhi 60 persen dari kebutuhan pangan/beras
masyarakat. Salah satu pelaksanaan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman
3
Terpadu (SLPTT) padi sawah di Kabupaten Bogor yang terus berkelanjutan
adalah Kecamatan Leuwiliang. Wilayah Kecamatan Leuwiliang secara geografis
berupa pegunungan dengan pemanfaatan lahan untuk pemukiman, sawah, tegalan,
ladang, perkebunan, dan hutan. Perekenomian Kecamatan Leuwiliang tergolong
cukup maju dan kegiatan perekonomian paling dominan adalah di sektor
perdagangan dan pertanian. Hal ini dikarenakan mayoritas masyarakat Kecamatan
Leuwiliang bermata pencaharian sebagai petani dan sekaligus merangkap sebagai
pedagang untuk meningkatkan penghasilan dan pendapatan mereka dalam
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Pada tahun 2013 adopsi komponen teknologi PTT (varietas unggul, sistem
tanam, bahan organik, pengairan berselang, pengendalian gulma, hama penyakit,
serta penanganan panen dan pascapanen) di Kecamatan Leuwiliang sudah cukup
baik. Varietas yang digunakan petani adalah Ciherang, IR super, Inpari, Cibogo,
Hibrida dan Mekongga dengan sistem tanam jajar Legowo 4:1 (20 cm x 10 cm x
40 cm) dan menggunakan bahan organik yang terdiri dari pupuk kompos dan
bokhasi. Hasil produktivitas tanaman padi melalui teknologi inovasi PTT di
Kecamatan Leuwiliang terdapat peningkatan hasil produktivitas dari tahun 2009
sampai 2013 yaitu sekitar 2 ton/ha. Pada tahun 2009 hasil produktivitas padi PTT
sekitar 6.5 ton/ha dan pada tahun 2013 meningkat sebesar 8.6 ton/ha. Hal ini
melatarbelakangi pentingnya penelitian tentang tingkat adopsi inovasi PTT oleh
petani di Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Penelitian ini berfokus pada
bagaimana tingkat adopsi inovasi petani dalam memahami komponen teknologi
yang terdapat dalam pengelolaan tanaman padi secara terpadu? Berdasarkan
uraian diatas, perlu dikaji tingkat adopsi inovasi pengelolaan tanaman terpadu
padi sawah di Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor.
Masalah Penelitian
Permasalahan di Kabupaten Bogor yang harus segera diupayakan
pemecahannya adalah semakin besar kebutuhan pangan, ini merupakan dampak
dari semakin bertambahnya jumlah penduduk dan berkurangnya lahan
pertanian/sawah sebagai akibat dari terjadinya alih fungsi lahan untuk kepentingan
pembangunan. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah meningkatkan
produktivitas padi melalui kegiatan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman
Terpadu (SLPTT).
Terdapat 12 Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP3K)
di Kabupaten Bogor yang telah menyelenggarakan Sekolah Lapang Pengelolaan
Tanaman Terpadu (SLPTT) yaitu sebagai berikut: (1) BP3K Wilayah
Parungpanjang, (2) BP3K Wilayah Cibungbulang, (3) BP3K Wilayah Cibinong,
(4) BP3K Wilayah Dramaga, (5) BP3K Wilayah Ciawi, (6) BP3K Wilayah
Cigudeg, (7) BP3K Wilayah Leuwiliang; (8) BP3K Wilayah Ciseeng, (9) BP3K
4
Wilayah Jonggol, (10) BP3K Wilayah Cariu, (11) BP3K Wilayah Gunung Putri,
dan (12) BP3K Wilayah Caringin. Meskipun tidak terus menerus dilaksanakan di
wilayah yang sama setiap tahunnya sejak dilaksanakan dari tahun 2009-2013.
Namun, salah satu wilayah pelaksanaan SLPTT di Kabupaten Bogor yang terus
berkelanjutan adalah di Kecamatan Leuwiliang. Hal ini dikarenakan petani di
Kecamatan Leuwiliang memiliki luas areal lahan pertanian cukup luas yaitu ratarata seluas 28.4 Ha, dengan kebutuhan benih lebih tinggi dibanding kecamatan
lainnya di Kabupaten Bogor.
Pelaksanaan SLPTT di Kecamatan Leuwiliang menggunakan sarana
kelompok tani yang sudah terbentuk dan masih aktif berdasarkan domisili atau
hamparan, yang lokasi lahan usaha taninya masih dalam satu hamparan. Hal ini
untuk mempermudah interaksi antar anggota karena mereka saling mengenal satu
sama lainnya dan tinggal di lingkungan berdekatan sehingga bila teknologi
SLPTT sudah diadopsi secara individu akan mudah ditiru petani lainnya.
Keuntungan Penerapan Teknologi inovasi PTT adalah: (1) meningkatkan kualitas
dan kuantitas hasil usahatani, (2) Efisiensi biaya usahatani dengan penggunaan
teknologi yang tepat untuk masing-masing lokasi, dan (3) Kesehatan lingkungan
tumbuh pertanaman dan lingkungan kehidupan secara keseluruhan terjaga. Jumlah
petani yang mengadopsi inovasi PTT di Kecamatan Leuwiliang yaitu berjumlah
631 orang. Konsep Litterer (Asngari, 1984) digunakan untuk mengukur dan
menganalisis persepsi petani. Berdasarkan hal tersebut, maka dari uraian diatas
timbul pertanyaan sebagai berikut:
(1) Bagaimana persepsi petani terhadap inovasi PTT di Kecamatan Leuwiliang
Kabupaten Bogor?
(2) Sejauh mana tingkat adopsi inovasi PTT padi sawah di Kecamatan
Leuwiliang?
(3) Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap adopsi inovasi PTT?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka dirumuskan tujuan penelitian
sebagai berikut:
(1) Menganalisis persepsi petani terhadap inovasi PTT padi sawah di
Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor.
(2) Menganalisis tingkat adopsi inovasi PTT di Kecamatan Leuwiliang
Kabupaten Bogor.
(3) Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi adopsi inovasi PTT padi di
Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor.
5
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara
teoritis maupun praktis sebagai berikut:
(1) Secara teoritis penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi bagi
pengembangan ilmu, khususnya yang berkaitan dengan teknologi inovasi
PTT padi sawah sehingga dapat dijadikan acuan bagi peneliti lain untuk
penelitian lebih lanjut.
(2) Secara praktis, yaitu sebagai bahan pertimbangan bagi pengambil kebijakan
dalam usaha pengembangan tanaman padi, khususnya petani yang
membudidayakan tanaman padi.
6
TINJAUAN PUSTAKA
Adopsi Inovasi
Teori adopsi inovasi dalam penelitian ini mengacu pada teori Rogers (2003)
dalam buku yang berjudul Diffusion of Innovation. Adopsi merupakan proses
penerimaan suatu yang “baru” yaitu menerima sesuatu yang ditawarkan dan yang
diupayakan oleh pihak lain (penyuluh). Adopsi juga merupakan proses
penerimaan ide-ide baru yakni ide baru tersebut diterima melalui saluran
komunikasi. Adopter adalah individu atau sekelompok individu yang menerima
ide-ide tersebut.
Inovasi merupakan ide-ide baru, praktek-praktek baru, atau objek-objek
baru yang dapat dirasakan sebagai suatu yang baru oleh masyarakat atau individu
yang menjadi sasaran penyuluhan. Inovasi adalah gagasan, tindakan atau barang
yang dianggap baru oleh seseorang. Tidak menjadi soal, sejauh dihubungkan
dengan tingkah laku manusia, apakah ide itu betul-betul baru atau tidak jika
diukur dengan selang waktu sejak digunakannya atau ditemukannya pertama kali.
Kebaruan inovasi itu diukur secara subyektif, menurut pandangan individu yang
menangkapnya. Jika sesuatu ide dianggap baru oleh seseorang maka ia adalah
inovasi (bagi orang itu). “Baru” dalam ide yang inovatif tidak berarti harus baru
sama sekali. Suatu inovasi mungkin telah lama diketahui oleh seseorang beberapa
waktu yang lalu (yaitu ketika ia ”kenal” dengan ide itu) tetapi ia belum
mengembangkan sikap atau tidak suka terhadapnya, ia menerima atau
menolaknya.
Aspek kebaruan dari suatu inovasi terlihat ketika inovasi tersebut dapat
memberikan pengetahuan baru pada pihak adopter, selanjutnya muncul keyakinan
(persuasion) pada pihak adopter bahwa inovasi tersebut perlu untuk diadopsi dan
terakhir adanya keputusan untuk mengadopsi inovasi tersebut oleh pihak adopter.
Namun, kebaruan dari suatu inovasi tidak didasarkan pada kurun waktu yang
ditemukan inovasi, tetapi adanya anggapan sebagai sesuatu yang baru pada diri
adopter.
Mereka yang mengadopsi ide baru berada pada waktu yang berbeda yang
berarti bahwa mereka dapat pula diklasifikasikan pada posisi waktu dalam pola
adopsi. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tahap adopsi suatu inovasi,
antara lain sebagai berikut: (1) kepuasan pada pengalaman pertama, (2)
kemampuan petani dalam mengelola usahataninya, (3) ketersediaan dana dan
sarana agar yang diperlukan (tepat waktu, mutu, jumlah, dan harga), (4) analisis
keberhasilan/kegagalan, dan (5) tujuan dan minat keluarga.
Pada dasarnya, proses adopsi melalui tahapan-tahapan sebelum masyarakat
mau menerima/menerapkan dengan keyakinan sendiri, meskipun selang waktu
antar tahapan satu dengan yang lainnya itu tidak selalu sama (tergantung sifat
inovasi, karakteristik sasaran, keadaan lingkungan (fisik maupun sosial), dan
6
7
aktivitas/kegiatan yang dilakukan oleh penyuluh. Proses adopsi merupakan proses
pelaksanaan suatu teknologi yang dapat berjalan secara sistematis sehingga
memberikan keuntungan secara ekonomis dan memberikan dorongan untuk
masyarakat setempat.
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan adopsi, adalah:
sifat-sifat inovasi, jenis-jenis keputusan inovasi, saluran komunikasi, ciri-ciri
sistem sosial, kegiatan promosi oleh penyuluh, interaksi individual dan kelompok,
sumber informasi dan faktor diri adopter.
Setiap sifat inovasi secara empiris mungkin saling berhubungan satu sama
lain tetapi secara konseptual mereka itu berbeda. Kelima sifat inovasi tersebut
ialah:
(1) Keuntungan relatif adalah tingkatan suatu ide baru dianggap suatu yang lebih
baik daripada ide-ide yang ada sebelumnya. Tingkat keuntungan relatif
seringkali dinyatakan dengan atau dalam keuntungan ekonomis. Apabila
memang benar inovasi baru tersebut akan memberikan keuntungan yang
relatif besar dari nilai yang dihasilkan oleh teknologi lama, maka kecepatan
proses adopsi inovasi akan berjalan lebih cepat. Keuntungan relatif adalah
suatu program bisa memberikan manfaat atau memungkinkan petani
mencapai tujuannya dengan biaya yang relatif rendah dari sebelumnya, baik
itu dilihat dari segi ekonomi, sosial maupun kepuasan individu.
(2) Kompatibilitas adalah tingkat suatu inovasi dianggap konsisten dengan nilainilai yang ada, pengalaman masa lalu dan kebutuhan penerima. Inovasi yang
tidak sesuai dengan ciri-ciri sistem sosial yang menonjol akan tidak diadopsi
secepat dengan yang kompatibel. Kompatibilitas memberikan jaminan lebih
besar dan resiko lebih kecil bagi penerima, membuat ide baru itu lebih berarti
bagi penerima. Suatu inovasi mungkin kompatibel dengan: (a) nilai-nilai dan
kepercayaan sosiokultural, (b) ide-ide diperkenalkan terlebih dahulu, dan (c)
dengan kebutuhan klien terhadap inovasi.
(3) Kompleksitas adalah tingkat suatu inovasi dianggap relatif sulit untuk
dimengerti dan digunakan. Suatu ide baru mungkin dapat digolongkan ke
dalam continuum ”rumit–sederhana.” Inovasi tertentu begitu mudah dapat
dipahami oleh penerima tertentu, sedangkan bagi yang lainnya tidak.
Keberhasilan suatu inovasi sangat ditentukan oleh tingkat kerumitan oleh
karena itu kekompleksan suatu inovasi dibidang pertanian berhubungan
dengan tingkat adopsinya.
(4) Triabilitas/dapat dicoba adalah suatu tingkat suatu inovasi dapat dicoba
dengan skala kecil. Kemudahan inovasi untuk dapat dicoba oleh pengguna
berkaitan dengan keterbatasan sumber daya yang ada. Inovasi yang dapat
dicoba sedikit demi sedikit akan lebih cepat dipakai oleh pengguna dari
pada inovasi yang tidak dapat dicoba sedikit demi sedikit. Inovasi semakin
mudah dapat dicoba maka relatif cepat proses adopsi inovasi yang dilakukan
oleh petani.
8
(5) Observabilitas/dapat diamati adalah tingkat hasil-hasil suatu inovasi dapat
dilihat oleh orang. Hasil inovasi-inovasi tersebut mudah dikomunikasi dan
dilihat oleh orang lain. Jika inovasi tersebut mudah dilihat, maka calon-calon
pengadopsi lainnya tidak perlu lagi menjalani tahap percobaan, melainkan
ketahap berikutnya. Suatu inovasi akan cepat diterima oleh petani apabila
unsur-unsur dari karakteristik inovasi cenderung bersifat positif, sebaliknya
jika unsur-unsur karakteristik inovasi bersifat kontradiktif, maka akan
menyulitkan petani dalam mengadopsinya.
Pengambilan keputusan oleh petani terhadap penolakan atau penerimaan
suatu inovasi tidak terlepas dari pertimbangan-pertimbangan menguntungkan atau
tidaknya teknologi tersebut secara ekonomis bagi pengusahanya (petani). Untuk
itu dalam proses pengambilan keputusan ini memerlukan beberapa tahapan untuk
mempertimbangkan inovasi tersebut. Proses keputusan inovasi adalah proses
seseorang atau (unit pembuat keputusan lainnya) mengetahui suatu inovasi untuk
membentuk suatu sikap kearah inovasi untuk mengadopsi atau menolak, ke
implementasi dan penggunan gagasan, dan akhirnya melakukan konfirmasi
terhadap keputusannya. Lima langkah utama dalam proses keputusan inovasi
adalah sebagai berikut :
(1) Tahap pengetahuan, yakni dalam tahap ini, seseorang belum memiliki
informasi mengenai inovasi baru. Untuk itu informasi mengenai inovasi
tersebut harus disampaikan melalui berbagai saluran komunikasi yang ada,
bisa melalui media elektronik, media cetak, maupun komunikasi interpersonal
di antara masyarakat.
(2) Tahap persuasi, yakni tahap kedua ini terjadi lebih banyak dalam tingkat
pemikiran calon pengguna. Seseorang akan mengukur keuntungan yang akan
ia dapat jika mengadopsi inovasi tersebut secara personal. Berdasarkan
evaluasi dan diskusi dengan orang lain, ia mulai cenderung untuk mengadopsi
atau menolak inovasi tersebut.
(3) Tahap pengambilan keputusan, yakni dalam tahap ini, seseorang membuat
keputusan akhir apakah mereka akan mengadopsi atau menolak sebuah
inovasi. Namun bukan berarti setelah melakukan pengambilan keputusan ini
lantas menutup kemungkinan terdapat perubahan dalam pengadopsian.
(4) Tahap implementasi, yakni seseorang mulai menggunakan inovasi sambil
mempelajari lebih jauh tentang inovasi tersebut.
(5) Tahap konfirmasi, yakni setelah sebuah keputusan dibuat, seseorang
kemudian akan mencari pembenaran atas keputusan mereka. Apakah inovasi
tersebut diadopsi ataupun tidak, seseorang akan mengevaluasi akibat dari
keputusan yang mereka buat. Tidak menutup kemungkinan seseorang
kemudian mengubah keputusan yang tadinya menolak jadi menerima inovasi
setelah melakukan evaluasi.
9
Saluran komunikasi
Pengetahuan
Persuasi
Keputusan
Implementasi
Konfirmasi
Adopsi
berkelanjutan
Kondisi
sebelumnya:
1. Praktik-praktik
sebelumnya
2. Kebutuhan yang
dirasakan
3. Keinovatifan
4. Norma system
social.
Karakteristik dari
unit pengambil
keputusan:
1. Karakteristik
sosioekonomi
2. Variabel
personal
3. Perilaku
komunikasi
Karakteristik
inovasi
1. Keuntungan
relatif
2. Kompabilitas
3. Kompleksitas
4. Triabilitas
5. observabilitas
Adopsi
Berhenti/
menolak
Penolakan
Adopsi tidak
berkelajutan
Tetap
menolak
Gambar 1 Model Tahapan Keputusan Inovasi
Adopsi inovasi mengandung pengertian yang kompleks dan dinamis. Hal ini
disebabkan karena proses adopsi inovasi sebenarnya menyangkut proses
pengambilan keputusan, yakni dalam proses ini banyak faktor yang
mempengaruhinya. Proses pengambilan keputusan untuk melakukan adopsi
inovasi, yakni ada beberapa elemen yang penting yang perlu diperhatikan dalam
proses adopsi inovasi (a) adanya sikap mental untuk melakukan adopsi inovasi,
dan (b) adanya konfirmasi dari keputusan yang telah diambil. Inovasi merupakan
elemen utama dalam proses adopsi inovasi.
Inovasi memiliki tiga komponen yaitu ide atau gagasan, metode atau
praktek, dan produk (barang dan jasa) dan untuk dapat disebut inovasi maka
ketiga komponen tersebut harus mempunyai sifat baru, sifat tersebut tidak selalu
berasal dari penelitian yang mutakhir. Inovasi juga dapat berupa sesuatu yang
benar-benar baru atau sudah lama tetapi masih dianggap baru oleh petani atau
masyarakat desa.
Mengadopsi inovasi PTT berlangsung mulai dari petani tahu tentang adanya
teknologi PTT sampai petani mau mencoba serta menggunakan/menerapkan
teknologi tersebut secara terus menerus. Hal ini dapat dilihat dari tingkat adopsi
petani tentang komponen dari PTT seperti menggunakan varietas unggul/benih
bermutu dan bahan-bahan organik sebagai pupuk untuk tanaman padi.
Menurut Ellya (2002), variabel yang berhubungan positif dengan tingkat
adopsi antara lain: (a) variabel sosial ekonomi seperti tingkat pendidikan, status
soial dan luas usaha tani; (b) variabel rasionalitas, sikap terhadap perubahan dan
sikap terhadap ilmu pengetahuan; dan (c) varibel komunikasi seperti partisipasi
sosial, kekosmopolitan, hubungan dengan agen pembaharuan, keterdadahan media
massa, keterdadahan media interpersonal, aktivitas mencari informasi dan tingkat
kepemimpinan.
10
Berdasarkan penelitian Riyadi (2003), faktor yang mempengaruhi proses
adopsi inovasi adalah faktor personal dan faktor situasional. Faktor personal
mencakup: (1) umur, orang yang lebih tua cenderung kurang responsif terhadap
ide-ide baru dan pendidikan, dapat menciptakan dorongan mental untuk menerima
inovasi yang menguntungkan; dan (2) ciri-ciri psikologis, sifat orang yang kaku
lebih sulit menerima inovasi. Faktor situasional mencakup: (1) ukuran usaha tani,
berhubungan dengan positif dengan difusi inovasi; (2) status kepemilikan lahan
lebih leluasa membuat keputusan untuk mengadopsi sesuatu; (3) prestise
masyarakat, kedudukan seseorang dalam masyarakat berhubungan dengan positif
dengan adopsi inovasi; dan (4) sumber-sumber informasi, jumlah sumber
informasi yang digunakan berhubungan dengan tingkat adopsi inovasi.
Pengelolaan Tanaman Terpadu ( PTT )
Pengelolaan Tanaman Terpadu adalah tindakan secara terpadu yang
bertujuan untuk memperoleh pertumbuhan tanaman yang optimal, kepastian
panen, mutu produk tinggi dan kelestarian lingkungan. Pengelolaan Tanaman
Terpadu menggabungkan semua komponen terpilih yang serasi dan saling
komplementer, untuk mendapatkan hasil panen optimal dan kelestarian
lingkungan (Deptan 2008).
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) adalah suatu pendekatan inovatif
dalam upaya meningkatkan produktivitas dan efisiensi usahatani melalui
perbaikan sistem/ pendekatan dalam perakitan paket teknologi yang sinergis antar
komponen teknologi, dilakukan secara partisipatif oleh petani serta bersifat
spesifik lokasi (BP5K Bogor 2013).
Keterpaduan pengelolaan tanaman terpadu bukan hanya pada keterpaduan
antara tanaman, sumberdaya produksi dan teknologi, tetapi mencakup
keterpaduan yang lebih luas yaitu: (1) keterpaduan antar institusi, (2) keterpaduan
antar disiplin ilmu pengetahuan, (3) keterpaduan analisis dan interpretasi, serta (4)
keterpaduan program antar sub-sektor. Model pengelolaan tanaman terpadu
mengacu pada keterpaduan teknologi dan sumberdaya setempat yang dapat
menghasilkan efek sinergis dan efisiensi tinggi, sebagai wahana pengelolaan
tanaman dan sumberdaya spesifik lokasi.
Pengelolaan Tanaman Terpadu merupakan strategi atau model dalam usaha
meningkatkan produksi tanaman pangan melalui integrasi teknologi, sosial dan
ekonomi yang diharapkan mempunyai efek sinergisme. Tujuan penerapan PTT
adalah: (1) meningkatkan produktivitas tanaman padi, (2) meningkatkan nilai
ekonomi/keuntungan usahatani melalui efisiensi input, dan (3) melestarikan
sumberdaya untuk keberlanjutan sistem produksi (Deptan 2008).
Menurut Mahfud et al. (Kartono 2009), pengelolaan tanaman terpadu (PTT)
merupakan pendekatan yang mengutamakan hubungan sinergis antar komponen-
11
komponen produksi seperti umur bibit, pemupukan lain-lain mulai dari pra
produksi sampai dengan produksi. Pendekatan melalui inovasi PTT ini adalah
sebagai berikut:
(1) Mendapatkan model pengelolaan tanaman terpadu budidaya padi sawah
spesifik di lahan irigasi dan
(2) Meningkatkan produktivitas pendapatan petani. Tanaman padi yang
diusahakan dengan menerapkan PTT tumbuh lebih baik berproduksi lebih
dari 10 % lebih tinggi, usahatani lebih menguntungkan dan lebih efisien dari
pada cara petani dan dapat mempertahankan kesuburan tanah.
Pelaksanaan PTT menggunakan pendekatan partisipasi petani secara aktif,
dan dalam penerapan komponen teknologi PTT tersebut didasarkan pada
kesepakatan dengan petani. Prinsip PTT mencakup empat unsur, yaitu integrasi,
interaksi, dinamis dan partisipatif. Integrasi dimaksudkan bahwa dalam
implementasinya di lapangan, PTT mengitegrasikan sumber daya lahan, air,
tanaman, Organisme Pengganggu Tanaman (OPT), dan iklim untuk mampu
meningkatkan produktivitas lahan dan pendekatan yang ditempuh dalam
penerapan komponen teknologi PTT bersifat: (1) partisipatif, (2) dinamis, (3)
spesifik lokasi, (4) keterpaduan, dan (5) sinergis antar komponen.
Penerapan PTT berdasarkan empat prinsip, yaitu: (1) pendekatan terhadap
sumberdaya tanaman, lahan dan air dapat dikelola sebaik-baiknya; (2) PTT
memanfaatkan teknologi pertanian yang sudah dikembangkan dan diterapkan
dengan memperhatikan unsur sinergis antar teknologi; (3) PTT memperhatikan
kesesuaian teknologi dengan lingkungan; dan (4) bersifat partisipatif, yakni petani
turut memilih teknologi yang sesuai dengan keadaan setempat dan kemampuan
petani (Deptan 2008).
Deptan (2008) menjelaskan bahwa alternatif komponen teknologi yang
dapat diintroduksi dalam pengembangan model PTT terdiri atas:
(1) Varietas unggul merupakan salah satu teknologi utama yang mampu
meningkatkan produktivitas padi dan pendapatan petani. Dengan tersedianya
varietas padi yang telah dilepas pemerintah, kini petani dapat memilih
varietas yang sesuai dengan kondisi lingkungan setempat.
(2) Jumlah bibit dan sistem tanam (populasi): direkomendasikan menanam bibit
per rumpun dengan jumlah yang lebih sedikit, yaitu tidak lebih dari 3 bibit
per rumpun, karena kalau lebih banyak, kompetisi antar bibit dalam satu
rumpun lebih tinggi. Jarak tanam yang dianjurkan dengan menggunakan
model legowo 4:1 dengan jarak (20 cm x 10 cm) x 40 cm (36 rumpun/m 2),
dengan legowo 2:1 (40 cm x 20 cm x 10 cm). Cara tanam berselang-seling 2
baris dan 1 baris kosong. Sistem jajar legowo mempunyai beberapa
keuntungan, yaitu: (1) semua barisan rumpun tanaman berada pada bagian
pinggir yang biasanya memberi hasil lebih tinggi (efek tanaman pinggir), (2)
pengendalian hama, penyakit, dan gulma lebih mudah, (3) menyediakan
12
(3)
(4)
(5)
(6)
ruang kosong untuk pengaturan air, saluran pengumpulan keong mas, atau
untuk mina padi, dan (4) penggunaan pupuk lebih berdaya guna.
Bahan organik yang telah dikomposkan berperan penting dalam perbaikan
sifat kimia, fisika dan biologi tanah serta sumber nutrisi tanah. Sumber bahan
kompos antara lain berasal dari limbah organik seperti sisa-sisa tanaman
(jerami, batang, dahan), sampah rumah tangga, kotoran ternak, arang sekam,
dan abu dapur.
Pengairan berselang (Intermittent Irrigation) adalah pengaturan kondisi lahan
dalam kondisi kering dan tergenang secara bergantian. Kondisi ini bertujuan:
(1) menghemat air irigasi, (2) memberi kesempatan pada akar tanaman untuk
mendapatkan udara, (3) mencegah timbulnya keracunan besi, (4) mencegah
penimbunan asam organik dan gas H2S yang menghambat perkembangan
akar, (5) menyeragamkan pemasakan gabah dan mempercepat waktu panen,
(6) memudahkan pembenaman pupuk dalam tanah, dan (7) memudahkan
pengendalian hama keong mas, dan mengurangi kerusakan tanaman padi
karena hama tikus.
Pengendalian gulma, hama dan penyakit secara terpadu. Pengendalian gulma
dapat dilakukan dengan cara pengolahan tanah yang sempurna, mengatur air
di petakan sawah, menggunakan benih padi bersertifikat, hanya menggunakan
kompos sisa tanaman dan kompos pupuk kandang dan menggunakan
herbisida apabila infestasi gulma sudah tinggi. Pengendalian gulma secara
mekanis sangat dianjurkan, karena cara ini sinergis dengan pengelolaan
lainnya. Keuntungan penggunaan alat mekanis adalah: (1) ramah lingkungan
(tidak menggunakan bahan kimia), (2) lebih ekonomis, hemat tenaga kerja
dibandingkan dengan penyiangan biasa dengan tangan, (3) meningkatkan
sirkulasi udara di dalam tanah dan merangsang pertumbuhan akar padi akan
lebih baik, dan (4) apabila dilakukan bersamaan atau segera setelah
pemupukan akan membenamkan pupuk ke dalam tanah, sehingga pemberian
pupuk menjadi lebih efisien. Pengendalian hama dan penyakit secara terpadu
merupakan pendekatan pengendalian yang memperhitungkan faktor ekologi
sehingga pengendalian dilakukan agar tidak terlalu mengganggu
keseimbangan alami dan tidak menimbulkan kerugian besar. Cara
pengedalian diantaranya dilakukan monitoring populasi hama dan kerusakan
tanaman sehingga penggunaan teknologi pengendalian dapat ditetapkan.
Langkah-langkah pengendalian akan berbeda dari setiap hama yang akan
dikendalikannya.
Penanganan panen dan pasca panen: penanganan ini harus tepat untuk itu, ada
beberapa hal yang harus dilakukan, yaitu antara lain: (1) potong padi dengan
sabit gerigi, (2) panen dilakukan oleh kelompok pemanen yang profesional,
(3) perontokan segera dilakukan tidak boleh lebih dari 2 hari, karena akan
menyebabkan kerusakan beras, (4) menggunakan terpal sebagai alas yang
cukup, (5) pengeringan, dan (6) penggilingan dan penyimpanan.
13
Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian mengenai adopsi inovasi di bidang pertanian yang telah
dilakukan, diantaranya:
(1) Roswida (2003) meneliti mengenai tahapan proses keputusan adopsi inovasi
pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan agen hayati, memasukkan
karakteristik internal meliputi: tingkat pendidikan formal, pengalaman
usahatani, luas lahan usahatani, kekosmopolitan, keinovativan usahatani,
sikap kepemimpinan, sikap kewirausahaan, keanggotaan dalam
kelompoktani, sedangkan karakteristik eksternal meliputi ketersediaan
sumber informasi, intensitas penyuluhan, ketersediaan sarana, peluang pasar
dan intensitas promosi pestisida.
(2) Riyadi (2003) meneliti mengenai hubungan antara pelatihan hasil pelatihan
dengan tingkat penerapan teknologi padi sawah, memasukkan karakteristik
internal meliputi: umur, tingkat pendidikan formal, tingkat pendidikan non
formal, pengalaman usahatani, sedangkan karakteristik eksternal meliputi
penguasaan luas lahan dan kekosmopolitan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa faktor internal sangat menentukan kemampuan dan kemauan petani
untuk menerapkan teknologi padi sawah.
(3) Mulyadi (2007) meneliti mengenai proses adopsi inovasi pertanian suku
pedalaman, bahwa dalam saluran komunikasi berhubungan nyata dengan
keputusan mengadopsi inovasi, saluran komunikasi ini menggunakan saluran
komunikasi vertical (top-down) dari pemerintah, kepala suku, pendeta serta
menggunakan media massa.
(4) Warda (2011) meneliti mengenai pengaruh belajar sosial pada sekolah lapang
pengelolaan tanaman terpadu terhadap adopsi dan difusi teknologi padi.
Adapun metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif dengan jumlah sampel sebanyak 133 orang. Metode pengambilan
sampel secara stratified random sampling. Analisis data menggunakan
analisis tabulasi silang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar
petani mencapai tahap reproduksi motorik dalam belajar sosial dan sebagaian
besar tingkat adopsi tekologi PTT padi di Kecamatan Bantimurung termasuk
dalam kategori sedang. Selanjutnya hasil penelitian menunjukkan adanya
pengaruh belajar sosial terhadap adopsi dan difusi teknologi PTT padi di
Kecamatan Bantimurung.
(5) Mariano et al. (2012) meneliti tentang factors influencing farmers’ adoption
of modern rice technologies and good management practices. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tingkat pendidikan petani dalam penggunaan benih
bersertifikat, pengaturan air/irigasi, kepemilikan mesin berdampak positif
terhadap adopsi teknologi pengelolaan tanaman terpadu. Variabel penyuluhan
memiliki dampak terbesar terhadap pengadopsian teknologi dalam merubah
perilaku petani untuk meningkatkan produksi beras dalam jangka panjang.
14
(6) Kartono (2009) meneliti tentang persepsi dan penerapan inovasi pengelolaan
tanaman dan sumberdaya terpadu padi sawah. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa langkah yang efektif dalam upaya meningkatkan persepsi petani yang
lebih baik terhadap PTT padi adalah dengan memperhatikan pendapatan
petani, iklim usaha dan kegiatan penyuluhan yang intensif dan efektif.
Pada tahun 2008 Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) diterapkan dalam
program peningkatan produktivitas padi terpadu di Desa Pandan Sari Kabupaten
Bogor. Pelaksanaan ini dilakukan karena sesuai dengan masalah yang dihadapi di
lapangan, maka teknologi yang dikembangkan adalah dengan pendekatan PTT.
Komponen yang diterapkan yaitu: (1) pengendalian hama penyakit (PHT): sanitasi
dan pestisida nabati, (2) bibit muda berumur 15-18 HSS, (3) perbaikan cara tanam
dengan jajar legowo 4:1 dengan jarak 20x10 cm, (4) pemupukan berimbang
berdasarkan hasil analisis tanah, dan (5) pengairan berkala/berselang (BP5K
Bogor, 2013).
Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT) padi di Kabupaten
Bogor mulai diperkenalkan ke Balai Penyuluhan Pertanian pada tahun 2008.
Pelaksanaan SLPTT Padi dimulai dari tahun 2009 sampai sekarang. Salah satu
lokasi yang pelaksanaan SLPTT berkelanjutan di Kabupaten Bogor adalah
Kecamatan Leuwiliang.
Karakteristik Internal Petani
Pe