PERANAN DINAS PARIWISATA DAN KEBUDAYAAN KABUPATEN LAMPUNG SELATAN DALAM MELESTARIKAN SENI BUDAYA (Studi Identifikasi Masalah Kelembagaan dalam Pelestarian Kesenian Daerah Lampung di Kabupaten Lampung Selatan)

ABSTRAK
PERANAN DINAS PARIWISATA DAN KEBUDAYAAN
KABUPATEN LAMPUNG SELATAN DALAM MELESTARIKAN
SENI BUDAYA
(Studi Identifikasi Masalah Kelembagaan dalam Pelestarian Kesenian
Daerah Lampung di Kabupaten Lampung Selatan)

Oleh
IKE SUMARTATI YULIASARI

Kesenian Lampung di Kabupaten Lampung Selatan semakin hari semakin
ditinggalkan, hal ini terlihat dari tidak adanya kepedulian generasi penerus dan
motivasi dari lembaga adat untuk mempelajari dan melaksanakan latihan rutin. Dalam
tugas pokok dan fungsi yang diemban oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Kabupaten

Lampung

Selatan,

terdapat


uraian

untuk

melestarikan

dan

mengembangkan seni dan budaya yang ada di Kabupaten Lampung Selatan.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peranan Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan Kabupaten Lampung Selatan dalam melestarikan seni budaya.
Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan kualitatif, dengan melakukan
wawancara mendalam terhadap narasumber dan juga observasi langsung ke lapangan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten
Lampung Selatan mempunyai peranan yang sangat penting dalam pelestarian
kesenian Lampung di Kabupaten Lampung Selatan.
Kata kunci: Peranan Lembaga Pemerintah dalam Melestarikan Seni Budaya Lampung

di Kabupaten Lampung Selatan.

PERAN DINAS PARIWISATA DAN KEBUDAYAAN KABUPATEN
LAMPUNG SELATAN DALAM MELESTARIKAN SENI BUDAYA
(Studi Identifikasi Masalah Kelembagaan dalam Pelestarian Kesenian Daerah
Lampung di Kabupaten Lampung Selatan)

Oleh
IKE SUMARTATI YULIASARI

(Tesis)
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar
MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN
Pada
Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Pemerintahan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Lampung

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2015

PERAN DINAS PARIWISATA DAN KEBUDAYAAN
KABUPATEN LAMPUNG SELATAN DALAM MELESTARIKAN SENI BUDAYA
(Studi Identifikasi Masalah Kelembagaan dalam Pelestarian Kesenian Daerah
Lampung di Kabupaten Lampung Selatan)

(Tesis)

Oleh
IKE SUMARTATI YULIASARI

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2015


SANWACANA

Bismillah,

Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah subhanahuwata’ala, Alhamdulillah,
atas kehendakNya jualah Penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Shalawat dan
salam semoga senantiasa selalu tercurah kepada panutan dan tauladan Penulis,
Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam, keluarga beliau, shahabat beliau,
para tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan juga generasi setelah mereka yang senantiasa
berupaya untuk menegakkan dan mengaplikasikan sunnah dalam kehidupan
sehari-hari.

Tesis dengan judul “Peran Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten
Lampung Selatan dalam Melestarikan Seni Budaya (Studi Identifikasi Masalah
Kelembagaan dalam Pelestarian Kesenian Daerah Lampung di Kabupaten
Lampung Selatan)” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister
Ilmu Pemerintahan di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini, Penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Ibu DR. Bartoven Vivit Nurdin, S.Sos., M.Si, selaku Pembimbing Utama

pada penyusunan tesis ini, atas kesediaan waktu, tenaga, dan fikiran yang
diberikan dalam rangka penyusunan tesis ini.
2. Bapak Drs. Budi Harjo, MIP,Arizka Warganegara, S.Sos., MA., selaku
Pembimbing Pembantu pada penyusunan tesis ini.

3. Ibu DR. Ari Darmastuti, MA., selaku Penguji Utama pada ujian tesis dan
juga selaku Ketua Prodi MIP. Terimakasih atas segala masukan dan saran
yang diberikan pada seminar proposal, seminar hasil penelitian, dan ujian
tesis;
4. Bapak Drs. Yana Ekana PS., M.Si., selaku Koordinator Sekretariat Prodi
MIP. Terimakasih atas segala bimbingan dan kemudahan yang diberikan
kepada Penulis;
5. Ibu Fauziah Arief, SH, selaku Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan.
Terimakasih atas do’a dan dukungannya serta ijin yang diberikan kepada
Penulis dalam mengikuti perkuliahan dan bimbingan di kampus.
6. Marsono, S.Sn, suamiku tercinta, yang senantiasa memberi dorongan dan
semangat untuk menyelesaikan studi di Pasca Sarjana.
7. Anak-anakku tersayang Punden, Terra, Lala, yang selalu memberi
semangat yang luarbiasa.
8. Saudaraku, adik-adikku yang berada di Yogyakarta.

9. Bapak Budiman Yakub gelar Khadin Kesuma Yudha, terimakasih atas
kesediaan dan waktu yang Bapak berikan kepada Penulis mengenai
berbagai Kesenian Daerah Lampung.
10. Staf administrasi MIP FISIP Unila:. Terimakasih atas segala pelayanan
dan bantuan yang diberikan kepada Penulis dalam pengurusan administrasi
perkuliahan, seminar, ujian, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan
MIP FISIP Unila.
11. Rekan-rekan MIP FISIP Unila Angkatan 2010, semuanya. Terimakasih
atas kebersamaan kalian. Hari-hari bersama kalian sangat mengesankan
dan penuh dengan ilmu pengetahuan.
12. Mas Aep Syaifuddin Cuming yang sudah banyak membantu dan memberi
semangat dalam menyelesaikan tesis ini

Akhir kata, Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan,
akan tetapi sedikit harapan semoga tesis yang sederhana ini dapat berguna dan
bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, Juli 2015
Penulis,


Ike Sumartati Yuliasari

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Yogyakarta, pada tanggal 13
Juli1967, sebagai putri pertama

dari Bapak RM.

Sumitro Condromulyono dan Ibu Isti Sulamtari yang
keduanya sudah almarhum.
Pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) Pamardisiwi Yogyakarta lulus
tabun 1973, Sekolah Dasar (SD) Negeri Maguwoharjo I Yogyakarta
lulus tahun 1979, kemudian Sekolah Menengah Pertama (SMP) di
SMP Negeri 1 Yogyakarta, diselesaikan pada tabun 1982, Setelab lulus
dari SMP, melanjutkan

Sekolah Menengab Atas (SMA) Marsudi

Luhur Yogyakarta lulus tahun


1985. Maksud hati ingin menjadi

Mahasiswa PTN, namun nasib belum mujur, sehingga penulis akhimya
bekerja selama hampir dua tabun di perusahaan swasta di Yogyakarta.
Tabun 1987, penulis terdaftar sebagai mabasiswa Fakultas Kesenian
Jurusan Seni Tari Program Studi Komposisi Tari pada lnstitut Seni
Indonesia

Yogyakarta.

Penulis

berhasil

menyelesaikan

skripsi

dengan menciptakan sebuah karya tari dan mendapat predikat sebagai

karya tari terbaik, dan lulus pada tabun 1993.
Tabun 1994, Penulis merantau ke Pulau Sumatra, tepatnya di Propinsi
Lampung, untuk melamar sebagai tenaga honorer di Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Lampung Tengah. Pada
bulan Desember 1995, Penulis mengikuti ujian penerimaan CPNSD
yang diselenggarakan oleh Pemerintah Propinsi Lampung, untuk
formasi sarjana kesenian. Penulis diterima sebagai CPNSD

Kabupaten Lampung Selatan, Propinsi Lampung mulai tanggal 01
April 1996.
Saat in penulis bertugas sebagai abdi Negara di Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan. Pada tahun 2010, Penulis m,endaftar sebagai Mahasiswa
Pascasarjana Universitas Lampungf jurusan Magister Ilmu Pemerintahan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan dinyatakan lulus,
Alhamdulillah..

DAFTAR ISI
Halaman
BAB I PENDAHULUAN
A.


Latar Belakang Masalah ...................................................................................

1

B.

Perumusan Masalah........................................................................................... 7

C.

Tujuan Penelitian .............................................................................................. 8

D.

Kegunaan Penelitian ......................................................................................... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.


Organisasi .........................................................................................................

9

B.

Birokrasi ...........................................................................................................

14

C.

Kelembagaan ..... ..............................................................................................

19

D.

A framework of potential roles for governments in private certification…….. 22

E.

Pariwisata dan Kebudayaan ………………………………………………….. 25

BAB III METODE PENELITIAN
A.

Metode Penelitian.............................................................................................. 29

B.

Fokus Penelitian................................................................................................

29

C.

Pemilihan Informan...........................................................................................

30

D.

Fenomena Yang Diamati................................................................................... 31

E.

Jenis dan Teknis Pengumpulan Data ................................................................ 32

F.

Teknik Pengolahan dan Analisis Data .............................................................. 33

G.

Lokasi Penelitian ..............................................................................................

H.

Kerangka Pikir .................................................................................................. 34

i

33

BAB IV GAMBARAN UMUM
A.

Gambaran Umum Kabupaten Lampung Selatan .............................................. 35

B.

Kondisi Sosial Budaya ....................................................................................

C.

Jumlah, Perkembangan, dan Kepadatan Penduduk .......................................... 40

D.

Komposisi Penduduk Menurut Usia Produktif ...............................................

40

E.

Besaran Organisasi Kabupaten Lampung selatan ...........................................

42

F.

Perumpunan Bidang Pemerintahan di Kabupaten Lampung Selatan ............... 43

G.

Struktur Organisasi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Lampung
Selatan ..............................................................................................................

H.

39

47

Uraian Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Kabupaten Lampung Selatan ............................................................................ 48

BAB V PEMBAHASAN
A.

Kondisi Seni Budaya di Kabupaten Lampung Selatan ....................................

B.

Peran Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Lampung Selatan
Dalam Melestarikan Seni Budaya.....................................................................

C.

56

67

Identifikasi Masalah Kelembagaan dalam Pelestarian Seni Budaya ................ 74

BAB VI KESIMPULAN
A.

Simpulan ..........................................................................................................

76

B.

Saran ................................................................................................................

78

DAFTAR PUSTAKA

ii

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pariwisata merupakan salah satu subsektor ekonomi yang cukup mendapatkan
perhatian dalam upaya meningkatkan perekonomian daerah yang mampu mensejahterahkan
tingkat kehidupan masyarakat. Penyelenggaraan kegiatan kepariwisataan tidak lah terlepas
dari sumber daya yang dimiliki serta keterlihatan para stakeholder dan subsektor ekonomi
lainnya, untuk mendukung keberhasilan suatu pengembangan pariwisata. Undang-Undang
No.10 Tahun 2009 menyatakan bahwa, pariwisata merupakan berbagai macam kegiatan
wisata dan didukung berbagai fasilitas serta pelayanan yang disediakan oleh masyarakat,
pengusaha,dan pemerintah. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.38 Thanu 2007, pariwisata
merupakan urusan pemerintah yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi ternyata tidak semudah yang
dibayangkan. Banyak permasalahan muncul karena kemampuan dan persepsi daerah-daerah
yang variatif, untuk itu ini perlu pengenalan dan kajian lebih jauh untuk mengatasi segala
persoalan yang mampu menghambat penyelenggaraan otonomi dan desentralisasi.
Pemberlakukan kebijakan otonomi daerah yang ditetapkan dengan Undang-undang Nomor
32 Tahun 2004 dalam perspektif pendayagunaan aparatur Negara pada hakekatnya adalah
memberikan kesempatan yang luas bagi daerah untuk membangun struktur pemerintahan
yang sesuai dengan kebutuhan daerah dan responsif terhadap kepentingan masyarakat dan
menciptakan pemerintahan yang baik (good governance); membangun sistem pola karir

politik dan administarsi yang kompetitif; mengembangkan sistem manajemen pemerintahan
yang efektif ; meningkatkan efisiensi pelayanan publik di daerah, serta meningkatkan
transparansi pengambilan kebijakan dan akuntabilitas publik.
Secara konseptual tujuan otonomi daerah adalah untuk mengurangi beban pemerintah
pusat dalam bidang urusan pelayanan kepada masyarakat, agar tercapai pelayanan
masyarakat yang efektif dan efisien penggunaan sumberdaya yang lebih efisien, pemantapan
perencanaan pembangunan, peningkatan (antisipasi masyarakat, dan peningkatan persatuan
dan kesatuan, serta lebih meningkatkan demokrasi.
Penyelenggaraan otonomi daerah merupaakan wujud penerapan asas desentralisasi
bagi berfungsinya suatu sistem pemerintahan yang modern (suryawikarta, 1995) berbagai
alasan mengapa otonomi daerah menjadi sangat penting antara lain adalah : 1) pelaksanaan
pelayanan publik dalam kondisi sumberdaya yang semakin terbatas dan semakin langka
(bryant dan White, 1982; 2) semakin tingginya ketergantungan daerah terhadap pemerintah
pusat dan juga kepada pemerintah daerah dalam bidang pembangunan (Korten dalam Siyono
2005).
Dalam pelaksanaan otonomi daerah, penataan kelembagaan berkaitan dengan dua hal,
yaitu a) penambahan urusan dan kewenangan pemerintah provinsi b) pengembangan struktur
organisasi pemerintah provinsi. Penambahan urusan yang ada di pemerintah provinsi dalam
kerangka pelaksanaan otonomi daerah merupaakn suatu keharusan. Hal ini sesuai dengan
tujuan otonomi bahwa otonomi daerah harus menempatkan pelayanan kepada masyarakat
secara lebih efektif dan efisien (Sudantoko 1995;51). Tanpa adanya penambahan segmen
urusan dan kewenangan maka otonomi daerah tidak akan ada artinya. Di dalam tingkat

2

operasional, optonomi harus dinyatakan dengan adanya bentuk formal penambahan urusan
dan kewenangan dari pemerintah pusat.
Efektifitas pelaksanaan otonomi akan banyak tergantung pada kelancaran dan proses
penyerahan itu sendiri. Proses inilah yang seringkali terhambat karena sering terjadi
perbedaan persepsi antara organisasi yang menyerahkan dengan yang diserahi dalam hal ini
adalah pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi.
Perubahan yang mendasar dalam organisasi perangkat daerah adalah dengan
dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No 41 Tahun 2003 yang kemudian digantikan oleh
peraturan pem,erintah No 41 tahun 2007 (PP41/2007) tentang Organisasi Perangkat Daerah
yang mengamanatkan beberapa butir perubahan yang harus segera direspon oleh daerah
pemerintah pusat. Beberapa butir perubahan yang harus segera direspon oleh daerah bila
tidak menginginkan kesulitan dalam administrasi penganggaran dengan pemerintah pusat
ketimbang prioritas untuk mengekfektifkan penyelenggaraan pemerintah di daerah melalui
solusi persoalan-persoalan di daerah.
Standarisasi ini sendiri muncul karena beberapa alasan : 1) ketidaksesuaian
nomenklatur lembaga daerah dengan lembaga pusat yang selama ini sering mengakibatkan
kesulitan proses penganggaran dan berujung pada inefisiensi penyelenggaraan pemerintah di
daerah; 2) struktur organisasi pemerintah daerah di Indonesia yang cenderung sangat gemuk
sehingga berpotensi menghisap sebagian besar alokasi APBD untuk belanja aparatur dan
bukan untuk pos-pos kegiatan lainnya yang lebih produktif bagi kepentingan masyarakat.
Namun demikian pada praktiknya, PP 41/2007 juga telah menciptakan berbagai kerumitan
mengiringi konsekuensi besar yang menyertainya. Berbagai standarisasi yang dirumuskan
delam regulasi ini pada akhirnya cenderung terlihat sebagai manifestasi kepentingan pusat

3

untuk melakukan resentraslisasi pemerintahan ketimbang penataan kelembagaan untuk
efektifitas pemerintahan daerah.
Sementara itu juga banyak muncul permasalahan internal adalah semua persoalan
yang muncul karena kondisi eksisting daerah akibat dari antara lain 1) lemahnya inisiatif dan
produktifitas SDM aparatur dan masyarakat, sebagai akibat pengalaman pembangunan
sentralistik yang inisiatif dan kebijakan ditentukan oleh pusat 2) dana pembangunan selama
ini tergantung pada alokasi dana dari pusat, sehingga tidak terdapat insentif kuat untuk
mengoptimasi potensi PAD 3) pemberdayaan potensi dari bawah ke atas (bottom up) belum
menjadi fenomena 4) pengabaian pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) dalam
pembangunan 5) kemiskinan dan keterbelakangan akibat kualitas sumberdaya manusia
masyarakat 6) eksploitasi dan eksplorasi kekayaan alam yang berlebihan 7) orientasi
ekonomi penduduk lebih condong ke sektor konsumtif dibandingkan dengan produktif.
Pariwisata merupakan salah satu sektor yang cukup menjanjikan untuk penambahan
Pendapatan Daerah yang bisa dikembangkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten /Kota untuk
meningkatkan minat wisatawan perlu dikembangkan budaya tradisional yang unik dan
menarik. Tapi pada kenyataan budaya tradisional itu sendiri sudah mulai ditinggalkan oleh
masyarakat aslinya sendiri dan ini membutuhkan upaya atau langkah yang bisa dilakukan
untuk mempertahankannya.
Permasalahan pelestarian seni budaya belum lama kita menghadapi masalah yang
cukup menghebohkan lantaran budaya tradisional negeri kita tercinta ini dianggap telah
dicuri oleh salah satu negeri tetangga. Semisal batik, reog, tari tor-tor angklung hingga lagulagu rakyat. Pencurian budaya tradisional itu menimbulkan amarah rakyat Indonesia yang
tidak rela budaya mereka diakui sebagai milik negara lain.
Namun permasalahan itu juga membuat kita tersentak bahwa selama ini ternyata kita
telah mengabaikan budaya tradisional sendiri sehingga kecolongan oleh bangsa lain yang
4

lebih pandai memanfaatkannya untuk kepentingan mereka. Apakah kita memang patut
dipersalahkan karena ternyata gagal melindungin budaya bangsa sendiri. Sebenarnya tidak
mudah menjawab pertanyaan itu (Fachri Sirads, 2012).
Kesenian adalah bagian dari budaya dan merupakan sarana yang digunakan untuk
mengekpresikan rasa keindahan dari dalam jiwa manusia. Selain mengekpresikan rasa
keindahan dari dalam jiwa manusia, kesenian juga mempunyai fungsi lain misalnya mitos
berfungsi menentukan norma untuk perilaku yang teratur serta meneruskan adat dan nilai nilai kebudayaan secara umum, kesenian dapat mempererat ikatan solidaritas suatu
masyarakat.
Kesenian dalam pemahaman sempit oleh sementara kalangan dianggap seni ansich.
Disana ada seni rupa, musik, tari dan teater. Secara menyeluruh kita dapat memahami
kesenian itu lebih luas, tidak sekedar menguraikan ke dalam empat cabang seni tersebut.
Kesenian secara universal dapat dipahami dan dimaknai sebagai refleksikehidupan
manusia yang di tuangkan ke dalam berbagai ekspresi. Ekspresi inilah yang memunculkan
berbagai jenis seni.
Batasan seperti itu semestinya kesenian mendapat perhatian dan penanganan khusu
agar dikenal tidak saja sebagai upaya menyalurkan hobi dan kegemaran, melainkan kesenian
dapat dijadikan sarana untuk membentuk perilaku yang dapat kita adopsi dari nilai - nilai
edukatif yang terakumulasi di dalam kesenian secara umum.
Perkembangan kesenian di era global saat ini menuntut sikap antisipatif terhadap
situasi yang terjadi. Pengaruh budaya global tak dapat dipungkiri lagi akan berpengaruh pada
eksistensi kesenian seni sebagai bagian dari kebudayaan memang selalu berkembang
mengikuti arus perubahan zaman. Hanya saja bagaimana kita menyikaopi perubahan itru,
sehungga substansi kesenian tetap bisa di lestarikan.
Mempertahankan substansi seni dalam memnghadapi era global menjadi sesuatu yang
penting mengingat “roh” kesenian berasal dari tradisi budaya setempat, baik seni rupa, seni
5

tari, seni musik maupun teater. Dari sumber tradisi itulah berbagai ekspresi seni bisa
dikembangkan ke dalam bentuk - bentuk lain

yang bersifat kreasi atau modern.

Pengembangan bentuk dari konvensional ke kreasi ini sebenarnya merupakan bagian dari
upaya pelestarian dalam bentuk atau format baru.
Berbagai upaya dilakukan untuk tetap mempertahankan budaya Lampung yang
hampir musnah tergerus modernisasi. Berbagai faktor menjadi penyebab terlupakannya
budaya yang ada di antaranya adalah kurang pedulinya generasi penerus terhadap
perkembangan budaya Lampung, padahal kalau peneliti perhatikan bahwa Lampung
merupakan budaya tradisional yang unik jika dikembangkan akan diminati oleh wisatawan
baik domestik maupun mancanegara.
Kendala tersebut antara lain dalam pendanaan fasilitas alat-alat kesenian seperti
gamelan/kulintang, kostum dan tidak menutup kemungkinan kurang nya tenaga ahli di
bidang seni yang berperan aktif dalam pelestarian kesenian Lampung .
Pada kenyataannya lembaga seni budaya lokal yang ada di Kabupaten Lampung
Selatan lambat laun sudah mulai punah, hal ini disebabkan oleh adanya lembaga seni milik
pemerintah daerah yang selalu mendominasi dalam segala bentuk seperti fasilitas (tempat
latihan, alat-alat musik, penari, kostum dll) sudah tentu lembaga seni milih pemerintah selalu
mendapat kesempatan untuk tampil di berbagai event, sedangkan lembaga seni yang dikelola
oleh masyarakat / adat sulit untuk mendapat kesempatan dalam penampilan, akhirnya
lembaga seni lokal yang dikelola oleh masyarakat semakin terpinggirkan.
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan memiliki peranan yang sangat penting dalam
melestarikan kesenian Lampung yang semakin hari semakin ditinggalkan, seperti yang
tertuang dalam sasaran Dinas Pariwisata Lampung Selatan yaitu meningkatnya kualitas dan
produk pariwisata daerah dan kesenian yang memiliki daya saing, mampu mengantisipasi

6

standar pelayanan yang dibutuhkan wisatawan serta mampu menarik minat investor untuk
mengembangkan potensi produk pariwisata, seni dan budaya. Ini merupakan sesuatu hal
yang tidak bisa dianggap sebelah mata, perlu adanya perhatian khusus dari seluruh pembuat
kebijakan agar tetap lestarinya kesenian tradisional Lampung.
Setiap instansi pemerintah memiliki permasalahan dalam pelaksanaan kegiatannya
tidak terkecuali Dinas Pariwisata dan Kebudayaan dalam melestarikan kesenian Lampung
yang menghadapi berbagai kendala baik itu dalam bentuk pendanaan ataupun di lapangan.
Studi identifikasi masalah kelembagaan perlu dikaji lebih dalam, dalam rangka
mencari solusi yang terbaik dalam pengambilan keputusan kebijakan pimpinan di mana
dalam hal ini adalah yang terkait dengan pelestarian budaya Lampung yang semakin hari
semakin hilang. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengkajinya dalam bentuk tesis
dengan judul “Peran Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Lampung Selatan dalam
Melestarikan Seni Budaya” (Studi identifikasi masalah kelembagaan dalam pelestarian
kesenian daerah Lampung di Kabupaten Lampung Selatan).

B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang permasalahan yang dikemukan di atas maka penulis merumuskan
masalah yang akan dikaji, yaitu :
1. Masalah-masalah apa saja yang dihadapi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten
Lampung Selatan dalam Melestarikan Kesenian daerah Lampung di Kabupaten Lampung
Selatan?
2. Bagaimana peran Dinas Pariwisata dalam melestarikan kesenian daerah Lampung
melalui kelembagaan seni lokal pada era otonomi daerah ?

7

C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan masalah penelitian yang dirumuskan di atas, maka yang menjadi tujuan
penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui isu-isu tentang masalah apa saja yang dihadapi Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan Kabupaten Lampung Selatan dalam Melestarikan Kesenian daerah Lampung
di Kabupaten Lampung Selatan.
2. Untuk lebih mengetahui peran Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Lampung
Selatan dalam pelestarian kesenian daerah Lampung di Kabupaten Lampung Selatan.

D. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah :
1. Secara teoritis, sebagai salah satu kajian terhadap fenomena /gejala-gejala dalam
pemerintahan tentang permasalahan yang terjadi di Lembaga Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) di era otonomi daerah. Dengan demikian dapat dijadikan acuan analisis
Magister Ilmu Pemerintahan, khususnya konsentrasi terhadap Manajemen Ilmu
Pemerintahan secara konseptual.
2. Secara Praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan akan menjadi masukan bagi Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan Lampung Selatan untuk menginventarsisir dan mengevaluasi
permasalahan yang terjadi baik internal maupun eksternal.

8

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Organisasi
Organisasi yang didirikan pada dasarnya ingin mencapai tujuan dan sasaran
yang telah disepakati bersama dengan lebih efisien dan efektif dengan tindakan yang
dilakukan bersama-sama dengan penuh rasa tanggung jawab.Hal ini dapat dilakukan
apabila para manajer dan anggotanya mengerti dan memahami dengan benar tentang
organisasi.Karenanya, organisasi disebut dapat dipandang sebagai wadah, proses,
perilaku dan alat untuk mencapai tujuan organisasi. Namun, pendefinisian
organisasi yang banyak dilakukan oleh para ahli sekurang-kurangnya mempunyai
unsur-unsur adanya manusia atau orang-orang yang bekerja sama, adanya kerja
sama itu sendiri dan adanya tujuan organisasi yang telah disepakati.
Organisasi sangatlah penting dalam kehidupan masyarakat karena dalam
kenyataannya

sebagian

besar

orang

hidup

dalam

suatu

organisasi

dan

menghabiskan waktu hidup mereka sebagai anggota organisasi (sosial, pekerjaan,
sekolah, dan sebagainya). Memang kadang kala kita melihat bahwa suatu organisasi
dapat dijalankan dengan lancar, efisien dan cepat serta tanggap terhadap kebutuhan
manusia dan kadang kala dapat menjengkelkan atau membingungkan kita. Namun,
organisasi setidak-tidaknya dapat mencapai tujuannya secara efisien dan efektif jika
keterampilan teknis dan keterampilan manajerialnya dapat diterapkan dengan baik
menjadi satu kesatuan yang solid, yakni kerja sama yang baik untuk mencapai
tujuan organisasi.

Pandangan klasik tentang organisasi dinyatakan oleh Webber dengan
pendapatnya mengenai birokrasi (Thoha, 2000:98).Webber membedakan suatu
kelompok kerjasama dengan organisasi kemasyarakatan.Menurutnya, kelompok
kerjasama adalah suatu tata hubungan sosial yang dihubungkan dan dibatasi oleh
aturan-aturan yang sejauh mungkin dapat memaksa sesorang untuk melakukan kerja
sebagai suatu fungsinya. Pandangan Webber, suatu organisasi mempunyai kekhasan
sebagai berikut:
1. Melakukan tata hubungan sosial di mana di dalamnya individu dapat melakukan
proses interaksi antara sesamanya,
2. Mempunyai batasan tertentu (boundaries) yang menyebabkan seseorang tidak
bertindak atas kemauannya sendiri,
3. Merupakan suatu kumpulan tata aturan yang mengatur interaksi antar
anggotanya,
4. Merupakan suatu kerangka hubungan yang terstruktur di dalamnya berisi
wewenang, tanggung jawab dan pembagian kerja untuk menjalankan fungsi
tertentu.
Thoha (2000: 99) konsep klasik tentag organisasi seperti yang dinyatakan
oleh Chester Bernard.Chester Bernard mendefinisikan organisasi sebagai satu sistem
yang terkoordinasi secara sadar atau suatu kekuatan dua orang manusia atau lebih.
Selanjutnya, Bernard menyatakan kekhasan organisasi adalah sebagai berikut:
1. Terdiri dari serangkaian kegiatan yang dicapai melalui proses kesadaran,
kesengajaan dan koordinasi yang bersasaran,
2. Merupakan kumpulan dari orang-orang untuk melaksanakan kegiatan yang
bersasaran,

10

3. Memerlukan adanya komunikasi, yakni hasrat dan sebagai anggotanya untuk
mengambil bagian dalam penetapan tujuan organisasi tersebut.
Thoha (2000: 100) juga memuat konsepsi organisasi sebagai pengelompokan
orang-orang yang sengaja disusun untuk mencapai tujuan tertentu sebagaimana
yang dirumuskan oleh Amita Etzioni. Kelompok ini memiliki kekhasan sebagai
berikut:
1. Mempunyai pembagian kerja, kekuasaan dan pertanggungjawaban yang
dikomunikasikan,
2. Adanya satu atau lebih kekuasaan yang dapat dipergunakan untuk
mengendalikan usaha-usaha organisasi yang telah direncanakan dan yang
dapat diarahkan untuk mencapai tujuan,
3. Adanya usaha pergantian kepegawaian.
Thoha (2000: 201) memuat juga beberapa kekhasan yang melekat dalam
suatu organisasi menurut Blake dan Mouton sebagai berikut:
1. Senantiasa mempunyai tujuan,
2. Mempunyai kerangka dan struktur,
3. Mempunyai cara yang memberikan kecakapan bagi anggotanya untuk
melaksanakan kerja maupun tujuan,
4. Terdapat proses interaksi hubungan kerja antara orang-orang yang ada di
dalamnya,
5. Mempunyai pola kebudayaan sebagai dasar cara hidupnya,
6. Mempunyai hasil-hasil yang ingin dicapainya.
Sedangkan Dessler (1995; 116) mengemukakan pendapatnya tentang
organisasi sebagai berikut:

11

“Organisasi dapat diartikan sebagai pengaturan sumber daya dalam suatu kegiatan
kerja, di mana tiap kegiatan: tersebut telah disusun secara sistematika untuk
mencapai tujuan yang telah ditentukan. Pada organisasi tersebut masing-masing
personel yang terlibat di dalamnya diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab
yang dikoordinasikan untuk mencapai tujuan organisasi, di mana tujuan organisasi
tersebut dirumuskan secara musyawarah sebagai tujuan bersama yang diwujudkan
secara bersama.

Organisasi dapat dilihat atau ditinjau dari beberapa sudut pandangan, antara lain:
a. Organisasi sebagai wadah
Organisai adalah suatu wahana kegiatan yang merupakan tempat beraktifitas
saja, yakni kegiatan administrasi dan manajemen.Dalam wadah kegiatan itu,
setiap orang harus jelas, tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya setiap
hubungan dan tata kerjanya.Pengertian ini merupakan organisasi yang bersifat
“statis” karena hanya melihat strukturnya saja. Handayadiningrat (1991: 42)
memberikan penjelasan bahwa organisasi sebagai wadah yang bersifat statis
karena setiap orang dalam wadah

itu harus jelas tugas, wewenang, dan

tanggung jawabnya serta hubungan tata kerjanya. Oleh karena itu, dalam
organisasi yang dipandang sebagai wadah aktifitas, pola struktur harus
berdasarkan landasan yang kuat serta benar-benar berorientasi pada masa
depan. Hal ini sangat perlu dilakukan untuk mengantisipasi terjadi perubahan di
masa datang misalnya perubahan tujuan, perubahan aktifitas yang menuntut
adanya perubahan yang mendasar, dan strukturnya tidak harus berubah.

12

b. Organisasi sebagai suatu proses pembagian kerja
Organisasi sebagai suatu proses pembagia kerja melihat bahwa ada unsur-unsur
yang saling berhubungan, yakni sekelompok orang atau individu, kerja sama
dan tujuan tertentu yang telah ditetapkan. Interaksi dalam organisasi akan
terjadi antara individu dengan individu, individu dengan kelompok dan
kelompok dengan kelompok. Hubungan ini terjadi karena sudah ada pembagian
kerja yang jelas dalam suatu sistem.Kerjasama dalam suatu sistem yang teratur
ini dimaksudkan untuk mencapai tujuan tertentu yang telah disepakati bersama.
Pengelompokan orang-orang dalam suatu pekerjaan yang dilakukan akan
memungkinkan terjadinya hubungan kerja sama yang formal sesuai dengan
yang telah ditetapkan. Di samping itu dapat pula terjadi hubungan yang sifatnya
informal antara individu dengan individu maupun individu dengan kelompok
kerja yang lain. Hal ini dapat terjadi karena adanya kepentingan-kepentingan
pribadi masing-masing individu dalam suatu organisasi.

c. Organisasi sebagai suatu alat dalam mencapai tujuan.
Manusia mendirikan suatu organisasi karena adanya beberapa tujuan dari
individu, yang hanya akan tercapai lewat tindakan yang harus dilakukan
dengan

kesepakatan-kesepakatan

atau

persetujuan

bersama.

Dalam

melaksanakan kesepakatan tersebut, kerja akan dapat meringankan,
mengefektifkan, mengefisienkan dan mengoptimalkan pencapaian tujuan
yang hendak dicapai bersama. Menurut Gibson et al. (1993: 3), dalam
kaitannya dengan tujuan, organisasi mengejar tujuan-tujuan dan sasaransasaran yang dapat dicapai secara lebih efisien dan lebih efektif dengan

13

tindakan yang dilakukan secara bersama-sama. Organisasi merupakan suatu
alat dalam mencapai tujuan dan sangat diperlukan oleh masyarakat, baik
dalam bidang profit maupun jasa (pelayanan). Tujuan organisasi akan
tercapai bilamana tiap-tiap individu yang ada dalam organisasi menyadari
tugas, wewenang dan tanggung jawabnya sehingga pada akhirnya tujuan
organisasi akan tercapai.

B. Birokrasi
Birokrasi berasal dari kata bureaucracy (bahasa inggris bureau + cracy),
diartikan sebagai suatu organisasi yang memiliki rantai komando dengan bentuk piramida,
di mana lebih banyak orang berada di tingkat bawah dari pada tingkat atas, biasanya
ditemui pada instansi yang sifatnya administratif maupun militer.
Pada rantai komando ini setiap posisi serta tanggung jawab kerjanya dideskripsikan
dengan jelas dalam organisasi.Organisasi ini pun memiliki aturan dan prosedur ketat
sehingga cenderung kurang fleksibel.Ciri lainnya adalah biasanya terdapat banyak formulir
yang harus dilengkapi dan pendelegasian wewenang harus dilakukan sesuai dengan hirarki
kekuasaan.

Definisi birokrasi ini mengalami revisi, di mana birokrasi selanjutnya
didefinisikan sebagai:
1. Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai bayaran yang tidak dipilih
oleh rakyat, dan
2. Cara pemerintahan yang sangat dikuasai oleh pegawai.

14

Berdasarkan definisi tersebut, pegawai atau karyawan dari birokrasi
diperoleh dari penunjukan atau ditunjuk {appointed) dan bukan dipilih
{elected).Dapat disimpulkan birokrasi adalah bentuk organisasi yang memiliki
sifat tidak fleksibel dan memiliki aturan yang jelas serta perintah yang harus
diikuti.
Kata "birokrasi" dapat diartikan mengandung pengertian: (a) Sistem
pemerintahan yang dyalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang
pada hirarki dan jenjang jabatan; (b) Cara bekerja atau pekerjaan yang lamban,
serta menurut tata aturan (adat, dsb) yang banyak liku-likunyas dan sebagainya.
Menurut Blau dan Meyer,(1987) birokrasi adalah jenis organisasi yang
dirancang untuk menangani tugas-tugas administrasi dalam skala besar serta
mengkoordinasikan pekerjaan orang banyak secara sistematis. Sementara itu,
(Bintoro Tjokroamidjojo1,1993),mengatakan bahwa birokrasi merupakan struktur
sosial yang terorganisir secara rasional dan formal. Jabatan-jabatan dalam
organisasi diitegrasikan ke dalam keseluruhan struktur birokrasi. Dengan
demikian, birokrasi disusun sebagai hirarki otoritas yang terelaborasi yang
mengutemakan pembagian keija secara terperinci yang dilakukan

sistem

administrasi, khususnya oleh aparatur pemerintah.
Sehubungan dengan hal ini, Miftah Thoha (2000) mengatakan bahwa
birokrasi merupakan kepemimpinan yang diangkat oleh suatu jabatan yang
berwenang, dia menjadi pemimpin karena mengepalai suatu unit organisasi
tertentu.Kepemimpinan birokrasi selalu dimulai dari peran yang formal, yang
diwujudkan dalam hirarki kewenangan.Dalam hal ini, kewenangan birokrasi
2.

Bintoro Tjokroamidjojo dan Mustopadidjaja (ed). 1 9 9 3 . Kebijaksanaan dan
Administrasi Pembangunan. L P 3 E S . Jakarta.
15

merupakan kekuasaan legitimasi jika pimpinan mempunyai otoritas berarti efektif
kepemimpinannya.
Eddhi Sudarto, yang mengutip Weber,(2013) memberikan ciri-ciri
birokrasi sebagai berikut:
1. Kegiatan sehari-hari yang
2. dibutuhkan untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi di distribusikan melalui
cara yang telah ditentukan, dan dianggap sebagai tugas resmi;
3. Pengorganisasian kantor mengikuti prinsip hirarkis yaitu bahwa unit yang lebih
rendah dalam sebuah kantor berada di bawah administrator dan pembinaan yang
lebih tinggi;
4. Pelaksanaan tugas diatur oleh suatu sistem peraturan abstrak yang konsisten dan
mencakup penerapan aturan tersebut dalam kasus-kasus tertentu;
5. Seorang pejabat yang ideal melaksanakan tugas-tugasnya tanpa perasaanperasaan dendam atau nafsu dan oleh karena itu, tanpa persaan-perasaan kasih
sayang atau auntianisme
6. Pekerjaan dalam suatu organisasi birokratis didasarkan kepada kualifikasi teknis
dan dilindungi dari kemungkinan pemecatan secara sepihak; dan
7. Pengalaman secara universal cenderung mengungkapkan bahwa tipe organisasi
administratif murni yang berciri birokratis dilihat dari sudut pandangan yang
semata-mata bersifat teknis, mampu mencapai tingkat efisiensi yang tinggL
Pencirian di atas dirangkum oleh Feisal Tamin,(2004) mengatakan bahwa
birokrasi merupakan suatu struktur otoritas atau organisasi yang didasarkan atas
peraturan-peraturan yang jelas dan rasional serta posisi-posisi yang dipisahkan dari
orang yang mendudukinya, Selanjutnya, dengan mengutip pendapat Denhard, Feisal

16

Tamin,(2004), mengemukakan bahwa birokrasi ditandai dengan kinerja yang sarat
dengan acuan sebagai berikut:
1. Komitmen terhadap nilai-nilai sosial politik yang telah disepakati bersama
(publicly defined societal values) dan tujuan politik (political purpose); Implementasi
nilai-nilai sosial politik yang berdasarkan etika dalam tatanan manajemen publik
(provide an ethical basis for public management).
2. Realisasi nilai-nilai sosial politik (exercising social political values);
3. Penekanan pada pekerjaan kebijakan public dalam rangka pelaksanaan mandat
pemerintah (emphasis on public policy in carrying out mandate of government) ;
Keterlibatan dalam pelayanan publik

(involvement overall quality of

publicservices); dan
4. Bekerja dalam rangka penanganan kepentingan umum (operate in public
interest).
Konsep birokrasi di atas dapat dikaitkan dengan 4 (empat) fungsi yang diemban
sebuah birokrasi negara, yaitu:
1. Fungsi instrumental, yaitu menjabarkan perundang-undangan dan kebijaksanaan
publik dalam kegiatan-kegiatan rutin untuk memproduksi jasa, pelayanan,
komoditi, atau mewujudkan situasi tertentu;
2. Fungsi politik, yaitu memberi input berupa saran, informasi, visi, dan
profesionalisme untuk mempengaruhi sosok kebijaksanaan;
3. Fungsi katalis public interest, yaitu mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan
publik

dan

mengintegrasikaii

atau

menginkorporasiklannya

di

dalam

kebijaksanaan dan keputusan pemerintah; dan

17

4. Fungsi entrepreneurial, yaitu memberi insipirasi bagi kegiatan-kegiatan
inovatif dan non-rutin, megaktifkan sumber-sumber potensial yang ideal,
dan menciptakan resource-mix yang optimal untuk mencapai tujuan.
Menurut Mochtar Mas'oed,(1994) birokrasi sebagai aparat negara mempunyai 5
(lima) kelompok fungsi dengan derajat keaktifan yang berbeda. Fungsi paling
sederhana dengan tingkat keaktifan paling rendah adalah sekedar melakukan
administrasi.Ini adalah gambaran kaum liberal abad ke-18 mengenai pemerintah
yang pasif dan netral.Ia hanya melaksanakan pekerjaan secara administratis mencatat
statistik, dan menyimpan arsip. Kadang-kadang ia digambarkan seperti "tukang jaga
malam." Kalau masyarakat libur bekerja, negara tidak boleh ikut campur, tetapi
kalau masyarakat tidur, negara hams menjaga keamanan mereka. Ketika negara
sedemikian aktifnya, ia melakukan fungsi arbitrasi dan regulasi. Di sini, ia aktif
menerapkan kekuasaan sebagai polisi dan menyelesaikan sengketa antarberbagai
kelompok masyarakat dan mencoba mengendalikan kegiatan kelompok-kelompok
masyarakat itu sehingga tidak menimbulkan konflik yang terbuka. Dalam tahap
perkembangan berikut, negara menjadi lebih aktif dalam kehidupan ekonomi dengen
menerapkan pengendalian finansial, moneter, dan fiskal.Pemerintah lebih aktif
mempengaruhi pasar konsumen, volume uang yang beredar dalam masyarakat, dan
pasok kapital.Misalnya, memberi subsidi suku bunga uang rendah agar investor
tertarik melakukan investasi, menetapkan anggaran belanja negara dengan tujuan
merangsang produksi barang dalam negeri, menetapkan pajak progresif demi
pemerataan, dan sebagainya.Tindakan birokrasi yang paling aktif adalah melakukan
tindakan langsung.

18

C. Kelembagaan
"Kelembagaan" merupakan satu konsep yang tergolong membingungkan,
dan dapat dikatakan belum memperoleh pengertian yang mantap dalam ilmu
sosiologi.Dalam banyak literatur teoritis, baik berbahasa Inggris maupun Indonesia,
istilah "kelembagaan"(social institution) selalu disilangkan dengan "organisasi"(social
organization).Kedua kata ini sering sekali menimbulkan perdebatan di antara para
ahli."What constitutes an 'institution* is a subject of continuing debate among social
scientistThe term institution and organisation are commonly used interchangeably and this
contributes to ambiguityand confusion"(Norman Uphhof. 1986). "...belum terdapat
istilah yang mendapat pengakuan umum dalam kalangan para sarjana sosiologi
untuk

menterjemahkan

istilah

Inggris

'social

institution'

Ada

yang

menterjemahkannya dengan istilah 'p
ranata' pula

yang

'bangunan sosial"

(Soemardjan

dan

Soemardi,

1964).
Meskipun belum sepakat, namun dapat diyakini bahwa kelembagaan adalah
social formibarat organ-organ dalam tubuh manusia yang hidup dalam masyarakat.
Kata "kelembagaan" (Koentjaraningrat, 1997) menunjuk kepada sesuatu yang
bersifat mantap (established) yang hidup (constitued) di dalam masyarakat. Suatu
kelembagaan adalah suatu pemantapan perilaku (ways) yang hidup pada suatu
kelompok orang. Ia merupakan sesuatu yang stabil, mantap, dan berpola; berfungsi
untuk tujuan-tujuan tertentu dalam masyarakat; ditemukan dalam sistem sosial
tradisional dan modern, atau bisa berbentuk tradisional dan modern; dan berfungsi
untuk mengefisienkan kehidupan sosial. Tiap kelembagaan memiliki tujuan
tertentu, dan orang-orang yang terlibat di dalamnya memiliki pola perilaku tertentu

19

serta nilai-nilai dan norma yang sudah disepakati yang sifatnya khas. Kelembagaan
adalah kelompok-kelompok sosial yang menjalankan masyarakat.Tiap kelembagaan
dibangun untuk satu fungsi tertentu.Karena itu kita mengenal kelembagaan
pendidikan, kelembagaan-kelembagaan di bidang ekonomi, agama, dan lainlain.Dunia selalu berisi kelembagaan-kelembagaan, dan semua manusia pasti masuk
dalam satu atau lebih kelembagaan.Dalam bidang pembangunan pedesaan dan
pertanian,

kelembagaan

umumnya

dipersempit

terutama

hanya

menjadi

kelembagaan kelompok tani, koperasi, subak, kelompok petani peserta program,
dan kelompok pengrajin.
Sebagian
"kelembagaan"

besar
dengan

literatur

hanya

"organisasi".

membanding-banding

Setidaknya

ada

empat

apa

beda

bentuk

cara

membedakan yang terlihat selama ini, yaitu: (1) Kelembagaan cenderung
tradisional, sedangkan organisasi cenderung modem (Uphhof, 1986). Menurut
Horton dan Hunt: "... institution do not have members, they have followers"(Horton dan
Hunt, 1984). (2) Kelembagaan dari masyarakat itu sendiri dan organisasi datang
dari atas. Tjondronegoro: "... lembaga semakin mencirikan lapisan bawah dan
lemah, dan organisasi mencirikan lapisan tengah dengan orientasi ke atas dan kota"
(Tjondronegoro, SMP. 1999). (3) Kelembagaan dan organisasi berada dalam satu
kontinuum, dimana organisasi adalah kelembagaan yang belum melembaga
(Uphoff, 1986). Pendapat ini sedikit banyak juga berasal dari dari Huntington yang
menyatakan:

"Organization

and

procedures

vary

in

their

degree of

institutionalization, institutionalization, is the process by which organisations and
procedures acquire value and stability"(Huntington, 1965). Serta, (4) Organisasi
merupakan bagian dari kelembagaan (Binswanger dan Ruttan, 1978).Dalam konteks

20

ini, organisasi merupakan organ dalam suatu kelembagaan.Keberadaan organisasi
menjadi elemen teknis penting yang menjamin beroperasinya kelembagaan.
Apapun itu, pada prinsipnya, sesuatu hubungan sosial dapat disebut sebagai
sebuah kelembagaan apabila memiliki empat komponen, yaitu adanya: (1)
Komponen orang. Orang-orang yang terlibat di dalam satu kelembagaan dapat
diidentifikasi dengan jelas. (2) Komponen kepentingan. Orang-orang tersebut pasti
sedang diikat oleh satu kepentingan atau tujuan, sehingga di antara mereka terpaksa
harus saling berinteraksi. (3) Komponen aturan dan aturan. Setiap kelembagaan
mengembangkan seperangkat kesepakatan yang dipegang secara bersama, sehingga
seseorang dapat menduga apa perilaku orang lain dalam lembaga tersebut. Dan, (4)
Komponen struktur.Setiap orang memiliki posisi dan peran, yang harus
dijalankannya secara benar.Orang tidak bisa merubah-rubah posisinya dengan
kemauan sendiri.
Agar tidak bikin bingung terus, saya mengajukan pengistilahan baru.Khusus
untuk

pengembangan

agribisnis

di

pedesaan

saya

membedakan

antara

"kelembagaan" dan "lembaga". Kelembagaan adalah sekumpulan jaringan dari
relasi sosial yang melibatkan orang-orang tertentu, memiliki tujuan tertentu,
memiliki aturan dan norma, serta memiliki struktur. Kelembagaan dapat berbentuk sebuah
relasi sosial yang melembaga (non formal institution), atau dapat berupa lembaga dengan
struktur dan badan hukum (formal institution).Setidaknya ada 8 kelembagaan yaitu: (1)
kelembagaan penyediaan input usahatani, (2) kelembagaan penyediaan permodalan, (3)
kelembagaan pemenuhan tenaga kerja, (4) kelembagaan penyediaan lahan dan air irigasi, (5)
kelembagaan usahatani, (6) kelembagaan pengolahan hasil pertanian, (7) kelembagaan
pemasaran hasil pertanian, dan (8) kelembagaan penyediaan informasi (teknologi, pasar, dll).

21

Tiap kelembagaan dapat dijalankan dengan dua cara, yaitu secara individual (berstruktur
lunak)

atau secara

kolektif (berstruktur keras).

Lalu, lembaga atau dapat juga disebut 'organisasi', adalah bentuk kelembagaan yang
formal, dengan ciri memiliki struktur yang tegas dan diformalkan. Lembaga menjalankan
fungsi kelembagaan, namun dapat satu atau lebih fungsi sekaligus. Contohnya adalah
kelompok tani, klinik agribisinis, koperasi, dan lain lain. Kelompok tani misalnya, dapat
menjalankan fungsi penyediaan saprotan sampai dengan pemasaran hasil pertanian.
Secara sederhana bedanya begini. Kata "kelembagaan" mesti diikuti oleh kata kerja,
contohnya "kelembagaan penyediaan modal" dst. Sedangkan, "lembaga" selalu diikuti oleh
kata benda, misalnya lembaga koperasi, lembaga Gapoktan, dst.

D. A framework of potential roles for governments in private certification

In theory, governments can respond in at least three ways to the private
certifications. First, they may leave them to the market forces. In that case they take
the stance that there are no public responsibilities involved. This means that the
governments do not involve themselvesin any private scheme and do not take any
roles related to them. Second, governmentsmay accept private certifications as a
valuable new management tool and help to sustainthem with a set of public policies
in cooperation with the private actors to achieve a good certification performance.
This may also take the form of incorporation of the private regulation in their
public regulatory systems. The third response encompasses a rejection of the
private standards as an unacceptable interference in their trade and public
responsibilities. In that case the governments will probably develop actions to

22

impede certification or they may aim for the development of theirown standards
and certification scheme as an alternative to and replacement of the private ones.
Studies that deal with the roles of governments particularly address the
second response and aim to define a related set of roles. Several studies further
connect these roles to phases of the private certification process, such as initiation,
implementation, and monitoring and assessment of the arrangements (e.g. ITC,
2011; KPMG, 2012, Steering Committee, 2012; Gulbrandsen, 2012; Vermeulen
and Kok, 2012).
In the initiation phase,governments generally ascribe a limited role. Some
governments from the North may play a donor role, what some of them actually do
by providing small funds to encourage the development of the sustainability
standards. In some cases, governments may provide technical expertise and
safeguard that the interests of the smallholders, as the least powerful actors
involved, get someplace in the standard-setting process.
The main roles of governments are situated in the implementation phase. A
rather common distinction is the one between the facilitating role, the supporting
role, and the role as a purchaser. The facilitating role refers to activities to relate the
different actors, for example, in the form of technical and administrative advise to
connect the standards to local circumstances and by providing help with trainings
of the farmers that need to change their practices. The supporting role goes one step
further and includes providing the necessary legal requirements and physical
infrastructure to improve the performance of the private certifications. In a
development context this often comprises creating more reliable land, property and

23

community rights. Support may also include the development of incentives for
farmers to participate and activities to improve consumer awareness and market demand.In
the purchaser role governments may sustain the private certifications with their
procurement policies, for example, in the form of legality requirements or requirements
that specifya level of sustainability of the production process.

The roles regarding monitoring and assessment refer to information
disclosure, dissemination of information, and benchmarking. Based on this
involvement in the provision of information governments may address the
administrative-technical aspects of certification by promoting principles of
transparency and accountability. One step further is attempting to improve
harmonization and equivalence of the many competing standardsand certifications
in the field of agricultural commodities.
Characteristic of these studies about the roles of governmentsisthat they are
rather normative, in the sense that they take the form of recommendations to
develop sustainable certifications. The starting point is always the private
regulations of which the performance should be improved. This objective results in
only slightly different sets of roles that are deemed necessary. In that way they
suggest a theoretical coherence, while, as empirical research shows, in practice
aspects of these roles may be taken up ad hoc and incremental (Glasbergen and
Schouten, forthcoming). The studies also do not differentiate among the different
agricultural commodities to which governments might react in a different way.
Last, they do not inform about the development of the roles over time. See table 1
for an overview of