komponen dari ketiganya. Demikian juga dalam konsep perlindungan hukum harus bekerja secara keseluruhan baik kaidah, institusi maupun kultur
hukumnya.
B. PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SPESIES LANGKA FLORA DAN FAUNA LIAR DALAM RANAH HUKUM INTERNASIONAL
1. Dasar Terbentuknya Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum terhadap spesies langka flora dan fauna liar secara internasional diawali dari adanya perdagangan berbagai spesies flora
dan fauna untuk dijadikan berbagai kebutuhan hidup seperti : makanan,
pakaian, hiasan, obat-obatan dll. Dalam kurun waktu yang lama hewan-hewan tertentu yang sangat diminati seperti harimau, singa, badak, beruang, ikan
paus, ikan duyung, burung elang serta masih banyak lagi, semakin lama semakin sedikit bahkan beberapa hewan telah dinyatakan punah. Sudah diakui
oleh manusia bahwa banyak dari spesies -spesies tersebut memiliki nilai yang sangat mahal dari berbagai segi. Perdagangan tersebut dilakukan di berbagai
Negara. Beberapa catatan kasus perdaangan flora dan fauna liar terjadi di Afrika 19 cula badak yang dengan sengaja diberi label “suku cadangan’
dengan tujuan Eropa pada bulan November 1986, kemudian adanya “ impor gelap” kulit buaya dalam jumlah yang amat besar oleh Jepang sebanyak 50
ton kulit “caiman” , dan perburuan anjing laut belahan utara di laut bebas yang melibatkan Paraguay, Jepang, Sovet Rusia, dan Amerika Serikat pada tahun
1911
8
. Dengan perdagangan spesies tersebut meyebabkan kelangkaan spesies
tertentu.
8
Koesnadi Hardjasoemantri, 1991, “Hukum Perlindungan Lingkungan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya”,
Gadjah Mada University Press: Yogyakarta, Hal. 268-270.
Indikasi terhadap penurunan populasi berbagai spesies langka akibat perdagangan internasional tersebut mendorong masyarakat internasional untuk
mengatur perdagangan dan pemanenan spesies langka.
9
Keinginan utuk memberikan perlindungan satwa liar dan fauna liar diawali dengan berbagai perjanjian internasional yang mengatur masalah hewan
khususnya ikan paus sejak tahun 1597 namun terbatas pada perjanjian bilateral.
10
Perjanjian multilateral baru ditandatangani di tahun 1885 yaitu Convention Concerning the Regulation of Salmon Fishing in the Rhine
River Basin
di kota Berlin tanggal 30 Juni 1885. Walaupun perjanjian internasional awal hanya mengatur mengenai masalah hewan, tetapi pada dasarnya konsep
filosofi dasar dari perjanjian tersebut adalah perlindungan terhadap satwa liar dan fauna liar. namun perjanjian tersebut perjanjian internasional yang masih
bersifat sektoral, bilateral dan regional. Dibawah ini akan disebutkan data beberapa perjanjian yang ditandatangani
antar negara antara tahun 1946 – 1972 : Tabel 1
Perjanjian Internasional terhadap Satwa dan Fauna
NO NAMA PERJANJIAN
TEMPAT PENANDA-
TANGANAN WAKTU
PENANDA- TANGANAN
1. International Convention for the Regulation of
Whaling Washington
2 - 12 - 1946
9
Tonny Soehartono dan Ani Mardiastuti, Pelaksanaan Konvensi CITES di Indonesia Jakarta: Japan International Cooperation Agency, 2003, hal 9
10
Birnie, Patricia W Alan E Boyle. 1992. International Law and the Environment, Oxford University Press, New York, Hal 421
2. International Convention for the Northwest
Atlantic Fisheries Washington
8 - 2 - 1949
3. International Convention for the Protection of
Birds Paris
18- 10- 1950
4. Agreement Concerning Measures for the
Protection of the Stocks of Deep-Sea Prawns, European Lobsters, Norway Lobsters and
Crabs Oslo
7- 3 - 1952
5. Interim Convention on Conservation of North
Pasific Fur seals Washington
9 - 2 - 1957
6. Agreement Between Hungary and Yugoslavia
Concerning Fishing in Frontier Waters Beograd
25 - 5 - 1957
7. Agreement Between Norway and the USSR on
Measures for Regulating the Chatch and Conserving Stocks of seals in the North
Eastern Part of the Atlantic Ocean Oslo
22-11-1957
8. Convention Concerning Fishing in the Waters
of the Danube Bucharest
29- 1 - 1958
9. Convention on Fishing and Conservation of the
Living Resources of the High Seas Geneva
29- 4 - 1958
10. Convention Between Cuba and the USA for the Conservation of Shrimp
Havana 1 - 12 - 1959
11. Agreement Between Norway and Finland Regarding New Fishing Regulations of the
Fishing Area of the Tana River Oslo
15- 11- 1960
12. Agreement on the Protection of the Salmon in the Baltic Sea
Stockhlom 20-12 - 1962
13. Agreement Between Japan and the USA on Washington 25-11 - 1964
King Crab Fishing off Alaska 14. European Convention for the Protection of
Animals During International Transport Paris
13 -12- 1968
15. Benelux Convention on the Hunting and Protection of Birds
Brusels 10- 6 - 1970
16. Convention on Wetlands of International Importance, Especially as Waterfowl Habitats
Ramsar 2 - 2 - 1971
17. Agreement Between Canada and Norway on Sealing and the Conservation of the Seal Stock
in the North-West Atlantic Ottawa
15-7 - 1971
18. Convention for the Conservation of Antartic Seals
London 2 - 6 - 1972
19. Convention Between Japan and the USA for the Protection of Migratory Birds in Danger of
Extinction and Their Environment Tokyo
4- 3 - 1972
Sumber Data : Kiss 1976 Bernie 1994 Selain perjanjian, perlindungan terhadap hewan pada mulanya juga sangat
dipengaruhi oleh beberapa publikasi yang memunculkan tumbuhnya gerakan lingkungan hidup. Pada waktu itu studi-studi mengenai kehidupan alam mulai
tumbuh kembali oleh para penulis naturalis dan menumbuhkan berbagai gerakan lingkungan yang mempengaruhi lahirnya berbagai Taman Nasional
ini kelak akan juga mempengaruhi lahirnya organisasi internasional untuk perlindungan dan pelestarian alam.
Seiring dengan itu tahun 1960-an muncul dorongan internasional untuk lebih memperhatikan masalah perdaganga satwa ini dengan
mengeluarkan seruan yang mengatakan bahwa perdagangan internasional satwa adalah perbuatan illegal. Seruan lembaga pemerhati konservasi
International Union for Conservation of Nature IUCN ini secara tidak langsung mengarah kepada adanya permintaan untuk menciptakan mekanisme
kontrol impor untuk mencegah perdagangan yang ilegal, dimana perdagangan ilegal diartikan sebagai perdagangan satwa yang dilakukan di dalamdi sektor
dari negara asal suatu spesies merupakan suatu tindakan pelanggaran dari hukum suatu negara. Berdasarkan tekanan IUCN dan Konferensi Stockholm
dengan didasari premis bahwa perdagangan satwa harus dikontrol atau dilarang berdasarkan daftar spesies terancam yang bersifat global, IUCN
meresponnya dalam General Assembly ke-11 pada September 1972 dengan mengajukan rekomendasi dan resolusi yang mendorong semua negara untuk
berpartisipasi dalam pertemuan di Washington DC pada Februari 1973. Akhirnya pada pertemuan delegasi yang jumlahnya sekitar 80 negara di
Washington D.C. Amerika Serikat pada tanggal 3 Maret 1973, terbentuklah CITES Convention on International Trade in Endangered Species of Wild
Fauna and Flora , dan mulai berlaku sejak 1 Juli 1975. Jika dilihat dari 80
negara yang menghadiri konvensi di Washington, 21 negara pada saat itu langsung menandatangani Konvensi CITES. Negara-negara yang menghadiri
tersebut tersebut diantaranya adalah Argentina, Belgia, Brazil, Kosta Rika, Cyprus, Denmark, Perancis, Guatemala, Jerman Barat, Iran, Italia,
Luxemburg, Mauritius, Panama, Filipina, Vietnam, Afrika Selatan, Thailand, Inggris, Amerika Serikat dan Venezuela.
CITES merupakan suatu konvensi yang mengatur perdagangan Internasional dan sebagai media konservasi terhadap flora dan fauna yang terancam punah.
Hal ini dilakukan untuk melindungi spesies-spesies yang dilindungi dan memaksimalkan kegunaannya bagi manusia di masa sekarang dan masa yang
akan datang. Tujuan dan sasaran CITES sendiri adalah untuk memantau perkembangan dan
memastikan bahwa perdagangan internasional satwa tidak akan mengancam
satwa dari kepunahan.
11
Regulasi CITES ini diformulasikan pada tingkat internasional, tetapi implementasinya pada tingkat nasional
12
. CITES merupakan suatu bentuk perjanjian atau traktat antar dua negara atau
lebih ilateral atau multilateral memiliki kekuatan mengikat apabila telah diratifikasi oleh Negara pesertanya, dan setelah diratifikasi traktat memiliki
kekuatan hukum sama dengan undang – undang.
13
Traktat atau perjanjian internasional termasuk dalam kategori sumber formal yang diartikan sebagai
tempat dimana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum
14
. Konvensi CITES sudah diratifikasi oleh 173 negara
15
, sejak Oman meratifikasinya pada tanggal 13 Maret 2008, dianggap sebagai Magna Charta for Wildlife. Hampir
semua negara pengimpor dan pengekspor utama bergabung di dalamnya. Konvensi ini menerima lebih banyak dukungan administratif serta perhatian
akan penegakannya dibanding dengan konvensi lainnya tentang konservasi. Di bawah CITES, beban pengendalian perdagangan dengan tegas diletakkan
pada negara anggota. Sebagaimana halnya dengan perjanjian-perjanjian internasional, CITES hanya mempunyai beberapa ketentuan penegakannya,
meskipun lembaga administrasinya, yaitu Sekretariat CITES, bertanggung jawab untuk memonitor pelaksanaannya dan dapat membenkan tekanan
Internasional kepada pelanggar-pelanggar dengan meninjau pelanggarannya dan menyoroti masalah pemenuhan kewajiban lainnya. Negara-negara
bertanggung jawab atas penegakan CITES dalam batas negaranya. Mereka diharapkan untuk menjaga pelabuhan masuk dan kehuar, melaporkan tentang
perdagangan, dan menghukum pelanggar. CITES tidak berkaitan dengan perburuan, perburuan gelap, atau perdagangan yang berlaku di dalam negara
itu sendiri. Peraturan perundang-undangan nasional serta kegiatan
11
CITES, Artikel III, Washington DC, 3 Maret 1973
12 13
R. Soewandi, Diktat Pengantar Ilmu Hukum PIH , UKSW, 2000. Hal 83
14
Ridwan H. R, Hukum Administrasi Neara, Rajawali Pers, Jakarta, 2006. Hal 61
15
Parties of the Convention , http:www.cites.orgengdiscpartieschronolo.shtml,
penegakannya adalah amat penting bagi berhasilnya CITES dan bagi konservasi spesies yang langka dan dalam bahaya kepunahan, yang
mempunyai nilai komersial
16
. CITES adalah salah satu dari perjanjian Internasional yang dapat
dibantu oleh semua warganegara. Setiap orang membantu suksesnya CITES dengan menolak membeli barang yang dibuat dari spesies yang dibahayakan.
Disamping itu seruan dari konsep perlindungan yang ada dalam CITES adalah pernyataan keperduliankeperhatian masyarakat adalah sangat kuat
pula dalam mempengaruhi pengusaha industri satwa liar dan penyusun kebijaksanaan perdagangan di semua tingkat. Dukungan surat pembaca di
mass media yang mempersoalkan masalah perdagangan gelap satwa liar serta komunikasi langsung dengan perusahaan yang mengiklankan produksinya
yang dibuat dari spesies yang dilindungi dan dengan para penjual produk tersebut lebih memperkuat perlindungan terhadap spesies satwa dan fauna di
dunia. Pada akhir bukunya, Fitzgerald menyatakan bahwa ada alasan untuk optimisme, meskipun banyak masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan
CITES. Di negara berkembang, pengendalian perdagangan satwa liar dan
kegiatan konservasi, untuk sebagian besar, perlu meliputi pemberian insentif ekonomi dalam menghadapi tekanan bagi penduduk guna mengeksploitasi
sumber daya satwa liar. Kegiatan peternakan untuk masyarakat setempat dan penyelenggaraan taman nasional dengan daya tarik kuat untuk wisatawan
merupakan suatu kelengkapan yang memperkuat guna membenarkan adanya perlindungan spesies, dihadapkan pada peningkatan kebutuhan manusia,
sehingga dengan demikian perlindungan spesies dapat berjalan serentak dengan pemenuhan kebutuhan manusia yang meningkat
16
William C. Burns, “CITES and the Regulation of International Trade in Endangered Species ofFlora: A Critical Appraisal”
, 8 Dick. J. Intl L. 203, 208-10 1990.
Melalui konvensi ini, setiap negara peserta wajib menjalankan ketentuan-ketentuan di dalamnya yang akan diaplikasikan melalui Peraturan
Nasional.
Untuk mewujudkan hal ini maka kerjasama melalui koordinasi internasional menjadi sebuah faktor yang penting dan mendasar untuk
menciptakan perlindungan bagi spesies yang terancam punah tersebut dari eksploitasi berlebihan yang diakibatkan oleh perdagangan Internasional.
17
2. Pengklasifikasian Spesies