Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional Mengenai Kebebasan Beragama T1 312008032 BAB II

(1)

11

BAB II

KONSEP YURIDIS KEBEBASAN BERAGAMA

SEBAGAI HAM

Bab ini hendak mendiskusikan mengenai konsep yuridis kebebasan beragama sebagai HAM. Sebagai konsep yuridis, HAM adalah hak hukum, yaitu hak yang menimbulkan kewajiban yang legally enforceable, bukan aspirasi belaka.1 Bab ini berargumen bahwa kebebasan beragama sebagai HAM menimbulkan kewajiban-kewajiban yang legally enforceable terhadap negara. Oleh karena itu, ruang lingkup dan content dari kebebasan beragama sebagai HAM akan menjadi perhatian utama penulis dalam rangka mendefinisikan kewajiban negara yang timbul sebagai korelasi dari eksistensi hak dan sekaligus prinsip-prinsip sebagai dasar dari kaidah-kaidah kewajiban korelatif negara tersebut.

Untuk ketercapaian tujuan itu maka sistematika pembahasan dalam Bab ini disusun sebagai berikut. Pertama, menguraikan mengenai pengertian kebebasan beragama sebagai HAM (infra Sub-judul A). Kedua, mengemukakan ratio legis

dari kaidah kebebasan beragama sebagai HAM (infra Sub-judul B). Ketiga, menguraikan ruang lingkup atau cakupan dari kebebasan beragama sebagai HAM (infra Sub-judul C). Keempat, menguraikan kewajiban-kewajiban korelatif negara atas kebebasan beragama sebagai HAM (infra Sub-judul D). Kelima,

1

Lauterpacht dalam Nihal Jayawickrama, The Judicial Application of Human Rights Law, New York: Cambridge University Press, 2002, hlm. 22-23.


(2)

12 mengemukakan prinsip-prinsip HAM yang berlaku bagi kebebasan beragama (infra Sub-judul E).

A. Pengertian Kebebasan Beragama Sebagai HAM

1. HAM (Hak Asasi Manusia)

HAM dapat dimaknai sebagai seperangkat hak yang melekat/inheren pada diri manusia semata-mata karena kodrat kemanusiaannya.2 Dalam Black‘s Law

Dictionary, HAM didefinisikan sebagai berikut: “the freedoms, immunities, and

benefits that, according to modern values (esp. at an international level), all human beings should be able to claim as a matter of right in the society in which they live.”3

Dalam perangkat hukum nasional Indonesia melalui Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM jo. Pasal 1 angka 1 UU No. 26 Tahun 2006 tentang Pengadilan HAM, dirumuskan bahwa:

“Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikatnya dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib di hormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”

Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945 dalam Buku Ke-8 nya memberikan pula definisi HAM, yakni:

2

Tore Lindolm, Opcit., hlm. 10. 3

Bryan A., Black’s Law Dictionary Ninth Edition – Garder Editor In Chief, New York: West, 2009.


(3)

13 “Hak asasi merupakan hak dasar seluruh umat manusia tanpa ada perbedaan. Mengingat hak dasar merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, maka pengertian hak asasi manusia adalah hak sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang melekat pada diri manusia, bersifat kodrati, universal dan abadi, berkaitan dengan harkat dan martabat manusia.”4

Manusia dilahirkan bebas dan memiliki derajat yang sama secara kodrati. Article 1 Universal Declaration of Human Rights (UDHR) merupakan pernyataan tentang prinsip dasar HAM yang menjelaskan rasio sumber pemilikan HAM bagi manusia. Konsep HAM tidak sama dengan konsep hak-hak pada umumnya. Perbedaan HAM terhadap hak-hak biasa (ordinary right) dikemukakan oleh Sieghart yang menyatakan:

“But ‘human’ rights are distinguished from other rights by two principal

features. First, they are not acquired, nor can they be transferred, disposed of or

extinguished, by any act or event; they ‘inhere’ universally in all human beings, throughout their lives, in virtue of their humanity alone, and they are inalienable. Secondly, their primary correlative duties fall on States and their public

authorities, not on other individuals … human rights are primarily claims against

the public authorities of the State itself.”5

Dikarenakan esensi dari HAM yang kodrati, maka hak ini melekat secara otomatis dalam diri setiap manusia.6 Atau dengan kata lain HAM dimiliki manusia karena dirinya manusia.7 HAM hanya dapat musnah ketika seorang individu sudah tidak lagi menjadi manusia karena sifat HAM adalah ‘‘Inalienable

4

Buku VIII tentang Warga Negara dan Penduduk, Hak Asasi Manusia, dan Agama Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010, hlm. 57.

5

Titon Slamet Kurnia, Hak Atas Derajat Kesehatan Optimal sebagai HAM di Indonesia, Bandung: Alumni, 2007, hlm. 11.

6

Renata Uitz, Freedom of Religion, Belgia: Council Of Europe Publishing, 2007, hlm. 352-358. 7

Rhoda E. Howard, HAM Penjelajahan Dalih Relativisme Budaya, Terjemahan Nugraha Katjasungkana, Jakarta: PustakaUtama Grafiti, 2000, hlm. 1.


(4)

14

Rights’’.8 Hak yang melekat pada keberadaan manusia ini kemudian memunculkan konsep kebebasan. Berdasarkan urgensi HAM tersebut, penulis menyimpulkan bahwa sejatinya HAM memang wajib mendapatkan penghormatan, perlindungan, pengakuan, serta penjaminan.

Hal ini berimplikasi timbulnya kewajiban di sisi lain, yakni negara. Kewajiban yang timbul kepada negara tersebut dikarenakan pada hakikatnya HAM merupakan batasan terhadap pemerintah. HAM dipandang sebagai klaim dari rakyat/warga negara terhadap negaranya supaya dipenuhi apa yang menjadi hak-hak asasinya.9 Pengertian inilah yang dapat disimpulkan sebagai hakikat HAM sebagai hukum, yaitu dalam rangka identifikasi dan institusionalisasi seperangkat kewajiban korelatif kepada negara.

2. Kebebasan Beragama sebagai HAM

Kebebasan beragama secara harafiah merupakan sebuah prinsip yang memberikan kebebasan bagi setiap individu untuk memeluk dan menjalankan agama/keyakinannya masing-masing.10 Untuk menjustifikasi bahwa kebebasan beragama adalah HAM maka langkah yang akan ditempuh selanjutnya ialah mengacu pada instrumen-instrumen hukum baik nasional maupun internasional yang telah mengakui dan mengkualifikasi eksistensi hak atas kebebasan beragama tersebut sebagai HAM. Instrumen-instrumen hukum tersebut adalah:

8

John J. Patrick dan Gerald P. Long., Op. Cit., Hlm 29. 9

Pandangan Sieghart, dalam Renata Uitz., Op. Cit., hlm. 11. 10


(5)

15 a. Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 jis. Pasal 28E ayat (1) jo. ayat (2) UUD

1945 dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 menyatakan,

“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”

Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 menyatakan,

“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,...”

Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 menyatakan,

“Setiap orang atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.”

Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 menyatakan,

“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”

b. Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 4 UU NO. 39 Tahun 1999 tentang HAM

“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”

c. Pasal 22 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM

“Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannnya itu.”


(6)

16 d. Article 18 UDHR

Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion; this right includes freedom to change his religion or belief, and freedom, either alone or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in teaching, practice, worship and observance.

e. Article 18 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)

1. Everyone shall have the right to freedom of thought, conscience and religion. This right shall include freedom to have or to adopt a religion or belief of his choice, and freedom, either individually or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in worship, observance, practice and teaching;

2. No one shall be subject to coercion which would impair his freedom to have or to adopt a religion or belief of his choice;

3. Freedom to manifest one's religion or beliefs may be subject only to such limitations as are prescribed by law and are necessary to protect public safety, order, health, or morals or the fundamental rights and freedoms of others;

4. The States Parties to the present Covenant undertake to have respect for the liberty of parents and, when applicable, legal guardians to ensure the religious and moral education of their children in conformity with their own convictions.

f. Article 1 Declaration on the Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based on Religion or Belief 1981

“Everyone shall have the right to freedom of thought, conscience and religion. This right shall include freedom to have a religion or whatever belief of his choice, and freedom, either individually or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in worship, observance, practice and teaching.”

g. Article 9 Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms (European Convention on Human Rights/ECHR)


(7)

17

1. Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion; this right includes freedom to change his religion or belief and freedom, either alone or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief, in worship, teaching, practice and observance.

2. Freedom to manifest one’s religion or beliefs shall be subject only to such limitations as are prescribed by law and are necessary in a democratic society in the interests of public safety, for the protection of public order, health or morals, or for the protection of the rights and freedoms of others.

h. Article 12 American Convention on Human Rights (ACHR)

1.Everyone has the right to freedom of conscience and of religion. This right includes freedom to maintain or to change one's religion or beliefs, and freedom to profess or disseminate one's religion or beliefs, either individually or together with others, in public or in private.

2.No one shall be subject to restrictions that might impair his freedom to maintain or to change his religion or beliefs.

3.Freedom to manifest one's religion and beliefs may be subject only to the limitations prescribed by law that are necessary to protect public safety, order, health, or morals, or the rights or freedoms of others.

4.Parents or guardians, as the case may be, have the right to provide for the religious and moral education of their children or wards that is in accord with their own convictions.

Berdasarkan pengaturan hukum nasional Indonesia dan hukum internasional mengenai kebebasan beragama ditemukan pengertian bahwa kebebasan beragama merupakan hak yang dijamin dan dilindungi secara spesifik sebagai HAM oleh instrumen hukum nasional maupun internasional. Hal ini tidak berarti bahwa eksistensi hak atas kebebasan beragama sebagai HAM ditentukan

oleh pengakuan hukum positif, tetapi sekadar “evidence” yang dapat

mempermudah justifikasi tentang eksistensi hak. Sebagai HAM maka pada hakikatnya hak atas kebebasan beragama bersifat kodrati (supra Sub-judul A.1).


(8)

18

B. Fundasi/Ratio Legis Kebebasan Beragama Sebagai HAM

Gagasan tentang HAM berkembang secara bertahap. Hak-hak mengenai kebebasan pertama dikemukakan melawan kesewenang-wenangan raja-raja absolut abad ke-17. Penduduk Amerika Utara menciptakan daftar-daftar HAM berdasarkan pengalaman pahit mereka di Inggris dulu dan kemudian sebagai orang jajahan. Dengan kata lain sebenarnya HAM lahir dari kezaliman. Setiap hak asasi merupakan hasil perkembangan kesadaran umum dalam salah satu golongan masyarakat. Hanya karena akhirnya sebagian besar masyarakat yakin bahwa segi kemanusiaan itu memang harus dijamin, hal itu mendapat pengakuan sebagai asasi dalam daftar-daftar resmi yang akhirnya memperoleh kedudukan hukum.11

Salah satu hak tersebut adalah hak atas kebebasan beragama. Tidak dapat diragukan lagi bahwa agama memainkan peran yang sangat penting dalam kehidupan setiap orang. Bahkan di Indonesia, memiliki agama merupakan sebuah bagian dari keharusan identitas individual yang menjadi penting dalam proses reproduksi “politik identitas” dan bahkan telah menjadi bagian dari national identity di Indonesia.12

Namun di sisi lain, kebebasan beragama justru dipandang sebagai salah satu pemicu konflik. Pernyataan ini muncul di dunia barat, di mana banyak pihak yang menilai agama menjadi penyebab konflik atau pendorong ke arah terjadinya

11

Franz Magins Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hlm. 56. 12


(9)

19 kekerasan.13 Pernyataan ini didukung oleh Huntington yang mengemukakan bahwa fase besar berikutnya dalam hubungan internasional akan merefleksikan interaksi-interaksi antar peradaban, dan bukannya interaksi-interaksi antar negara bangsa atau antar ideologi.14 Dengan kata lain, keyakinan beragama yang bersifat pribadi ketika menjadi sebuah kebebasan merupakan suatu persoalan perselisihan paham antar komunitas.15

Perlindungan internasional terhadap kebebasan beragama telah menjalain transformasi sejarah dalam kurum waktu lima abad terakhir dan membuktikan pentingnya kebebasan beragama. Tahapannya terdiri dari tiga model perlindungan politik terhadap kebebasan beragama yang sangat berbeda, dilaksanakan berurutan, namun overlapping:16

a. Model cuius regio, eius religio: perjanjian damai internasional menentukan pemisahan wilayah bagi orang dari kepercayaan agama yang berbeda, dengan menjaga orang beragama tertentu dan menyediakan sedikit toleransi terhadap sedikit pembangkang.

b. Model perlindungan minoritas: traktat internasional (bilateral maupun multilateral) yang menyediakan perlindungan bagi agama minoritas dalam suatu wilayah negara dari etnik atau agama minoritas yang mendominasi kekuasaan.

13

Malcolm D. Evans, Analisis Historis terhadap Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan sebagai Cara Menyelesaikan Konflik dalam Tore Lindholm, Op. Cit., hlm. 90-91.

14

Samuel P. Huntington dalam Tore Lindholm, Op. Cit., hlm. 91. 15

Ibid. 16


(10)

20 c. Model hak asasi manusia: traktat internasional (global ataupun regional) yang mengkdifikasikan standar internasional terhadap HAM universal dari individu dan komunitas agama atau pandangan hidup terhadap kebebasan beragama atau berkeyakinan.

Perdebatan tentang kebebasan beragama sebagai HAM juga terjadi di Indonesia. Perdebatan ini dimulai sejak penyusunan rancangan UUD 1945 yang bertitik pangkal pada suatu pertanyaan ‘apakah negara harus mengatur HAM ataukah tidak’.17

Ada dua pandangan yang berbeda di antara para penyusun konstitusi Indonesia. Pendapat Soekarno yang didukung oleh Soepomo menyatakan Indonesia tidak perlu memasukkan pengaturan mengenai HAM dalam Konstitusi karena pada dasarnya Indonesia adalah negara yang berasaskan kekeluargaan, sedangkan HAM dipandang ranah paham individualisme dan liberalisme.18 Pandangan tersebut ditentang oleh M. Hatta dan M. Yamin yang menginginkan agar hak-hak manusia diatur dalam UUD. Kekhawatiran Hatta adalah dengan tidak adanya jaminan atas hak tersebut dalam UUD, akan menjadikan Negara yang baru dibentuk menjadi negara kekuasaan. Hal ini berarti bahwa tidak ada batasan negara untuk melakukan apapun terhadap rakyatnya. Namun akhirnya, pada 16 Juli 1945 perdebatan dalam BPUPKI menghasilkan kompromi sehingga

17 Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta, 2010. Hlm. 24-29.

18


(11)

21 diterima beberapa ketentuan dalam UUD tentang HAM. Bahkan dalam masa transisi konstitusi Indonesia pun ketentuan HAM tidak pernah tertinggal.19

Salah satu jenis HAM yang juga dibahas, bahkan dibahas secara tersendiri oleh para pendiri negara adalah tentang agama. Dalam sidang BPUPKI ada 2 pendapat yang saling berseberangan mengenai dasar negara Indonesia. Hal ini berimplikasi pada persoalan penetapan konsep hubungan antara negara dan agama. Indonesia bukan negara sekuler serta bukan negara agama mayoritas. Dalam sidang-sidang BPUPKI tahun 1945, golongan Islam menyatakan bahwa Indonesia harus berdasarkan Islam sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunah. Namun pendapat ini ditentang oleh kaum nasionalis yang menyadari adanya agama/kepercayaan lain di Indonesia. Perdebatan tersebut akhirnya mencapai konsensus penting berupa Rancangan UUD yang memuat pasal mengenai kebebasan beragama yang berbunyi “Negara menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memeluk agama apa pun dan untuk menjalankan ibadahnya sesuai dengan agama masing-masing.”20

Namun golongan Islam tidak menyetujui sehingga diubah menjadi,

pertama, “Negara harus mendasarkan pada Ketuhanan dengan menjalankan

syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Kedua, “Negara akan menjamin

kebebasan setiap warga negara untuk memeluk agama lain dan untuk beribadah

19

Transisi yang dimaksud meliputi pengaturan agama dalam: (a) Pasal 29 UUD 1945 tepatnya dalam Bab XI, (b) Pasal 18 Konstitusi RIS 1950, (c) Pasal 18 UUDSementara 1950, (d) UUD 1945 amandemen I-IV yang dianut hingga saat ini (ketentuan mengenai agama tidaak diamandemen).

20

Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2009, hlm. 102.


(12)

22 sesuai dengan kepercayaan masing-masing.21 Sekali lagi golongan Islam menentang ayat kedua ketentuan tersebut sehingga diubah menjadi “Negara menjamin kebebasan bagi setiap warga negara untuk memeluk agama dan beribadah sesuai dengan agama masing-masing.”

Konsep negara Islam ditentang oleh kaum nasionalis dengan latar belakang keanekaragaman agama/kepercayaan yang diyakini oleh bangsa Indonesia. Ketentuan mengenai syari’at Islam berpotensi timbulnya kedudukan yang lebih menguntungkan bagi Islam dibandingkan dengan penganut agama lain.22 Di samping konsep negara Islam, konsep negara sekuler juga ditentang sebagai dasar negara Indonesia karena dipandang sebagai sebuah pemikiran, tujuan, dan sikap yang terbatas pada kehidupan duniawi. Sekulerisme dianggap tidak sanggup memberi bimbingan yang kuat dan tegas dibanding agama.23

Penolakan terhadap konsep-konsep hubungan negara dan agama tersebut menyebabkan konsep hubungan negara dan agama di Indonesia sangat ambigu. Sila pertama Pancasila berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang membuat Indonesia semakin digambarkan sebagai bukan negara sekuler namun juga bukan negara agama mayoritas.24

21

Ibid. Hlm. 103. 22

Ibid. Hlm. 105. 23

Ibid. Hlm. 106. 24

Nicola Cobran, Kebebasan Beragama atau Nerkeyakinan di Indonesia dalam Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 683. “Ketuhanan Yang Maha Esa” merupakan hasil kompromi antara kelompok pendukung nasionalisme sekuler dan kelompok yang menginginkan Islam sebagai dasar negara.


(13)

23 Hal ini dipertegas oleh Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945 tersebut berbunyi “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 sebagai penjabarannya menjamin seseorang bebas mendiskusikan atau memilih atau tidak memilih suatu agama tanpa campur tangan negara, dan ketika telah menganut agama dia bebas mengikuti ajaran-ajarannya, berpartisipasi dalam kebaktian, menyebarkan ajaran-ajarannya dan menjadi pejabat dalam organisasi agamanya.25

C. Ruang Lingkup atau Cakupan Hak Atas Kebebasan Beragama Sebagai HAM

Secara garis besar, hak atas kebebasan beragama mencakup kebebasan untuk meyakini agama/keyakinan serta kebebasan dalam menjalankan/mengekspresikan agama/keyakinan tersebut.26 Kebebasan meyakini agama merupakan kebebasan untuk meyakini atau tidak meyakini agama tertentu. Sementara kebebasan mengekspresikan agama/keyakinan mencakup kebebasan yang baik individual atau dalam komunitas dan di depan umum atau pribadi, untuk memanifestasikan agama/keyakinannya dalam pengajaran, praktik ibadah dan ketaatan.

Pasal 18 ICCPR yang merupakan salah satu tonggak perlindungan terhadap hak atas kebebasan beragama membedakan kebebasan berpikir, bernurani, beragama atau keyakinan dengan kebebasan untuk

25

Buku VIII Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945. Hlm. 372-374. 26


(14)

24 megekspresikan/menjalankan agama atau keyakinan.27 Yang dimaksud dengan kebebasan memeluk agama di sini adalah perlindungan terhadap kebebasan atas keyakinan teistik, kepercayaan non-teistik dan ateistik, serta hak untuk tidak memeluk agama atau kepercayaan.28 Kebebasan ini meliputi kebebasan memilih agama atau keyakinan, termasuk hak untuk mengganti agama atau keyakinan yang sedang dianut dengan agama atau keyakinan lainnya atau mengikuti pandangan ateistik, serta hak untuk mempertahankan agama atau kepercayaan yang pernah dipeluknya.29

Dalam menikmati haknya tersebut, tidak seorangpun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk mempunyai atau menganut agama atau keyakinannya sesuai dengan pilihannya.30 Hal ini bermakna bahwa terdapat pelarangan terhadap pemaksaan kehendak berkenaan dengan memeluk agama atau keyakinan terhadap penganut atau non-penganut agama untuk mengikuti keyakinan maupun jamaah keagamaan tertentu.31

Sedangkan yang dimaksud dengan kebebasan untuk mengekspresikan/menjalankan agama atau keyakinan menjangkau pengertian yang luas, dikarenakan kebebasan ini mencakup kebebasan

27

General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion) paragraf 3.

28

Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 770. Lihat juga General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion) paragraf 2.

29

General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion) paragraf 5.

30

Article 18(2) ICCPR. 31

General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion) paragraf 5.


(15)

25 menjalankan/mengekspresikan agama baik secara individu ataupun secara berkelompok dengan orang lain secara umum atau pribadi. Hal ini mencakup pelaksanaan ritual dan seremonial yang memberikan dampak langsung terhadap keyakinan, maupun pengalaman sejenis yang integral termasuk pembangunan tempat ibadah, penggunaan formula maupun peralatan ritual dan simbol keagamaan, serta ibadah pada hari libur.32 Kebebasan menjalankan/memanifestasikan agama seseorang ini dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum sepanjang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain.33

Berikut adalah ketentuan-ketentuan spesifik tentang pembatasan yang berlaku bagi hak atas kebebasan untuk menjalankan/memanifestasikan agama/keyakinan:

Article 18 (3) ICCPR:

“Freedom to manifest one's religion or beliefs may be subject only to such limitations as are prescribed by law and are necessary to protect public safety, order, health, or morals or the fundamental rights and freedoms of others.”

Article 9 (2) ECHR:

“Freedom to manifest one’s religion or beliefs shall be subject only to such limitations as are prescribed by law and are necessary in a democratic society in the interests of public safety, for the protection of public order, health or morals, or for the protection of the rights and freedoms of others.”

32

General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion) paragraf 4.

33

Article 18 (3) ICCPR, Article 9 (2) ECHR, Article 12 (3) ACHR. Lihat juga General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion) paragraf 8.


(16)

26 Article 12 (3) ACHR:

“Freedom to manifest one's religion and beliefs may be subject only to the limitations prescribed by law that are necessary to protect public safety, order, health, or morals, or the rights or freedoms of others.”

Pembatasan yang diperbolehkan terhadap hak atas kebebasan beragama khususnya hak untuk menjalankan/memanifestasikan agama/keyakinannya meliputi:

1. Pembatasan-pembatasan dalam rangka keamanan publik (public safety) Pembatasan berdasarkan keamanan publik (public safety) bertujuan untuk mencegah adanya manifestasi agama dalam ranah publik yang dimungkinkan akan menimbulkan bahaya tertentu dan mengancam keselamatan orang-orang atau keselamatan harta benda.34 Ketika ancaman terkait agama bersifat mengancam publik, maka negara diberi kewenangan untuk mengambil upaya yang benar-benar diperlukan dan proporsional dalam rangka melindungi keselamatan publik, yakni dengan penindakan terhadap kelompok keagamaan yang mengancam tersebut bahkan dengan memberikan ancaman pidana.

Dalam kasus M. A. v. Italy, Komite HAM menganggap bahwa suatu penuntutan pidana terhadap upaya untuk menyusun kembali fasisme yang sudah dibubarkan di Italia merupakan suatu intervensi yang diperbolehkan terhadap kebebasan berkeyakinan sesuai Article 18 (3)

34

Manfred Nowak, Pembatasan-Pembatasan yang Diperbolehkan terhadap Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan, dalam Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 207.


(17)

27 ICCPR.35 Umumnya pemerintah menggunakan klausul “keselamatan publik” sebagai dasar penindakan terhadap perlindungan keselamatan individual orang-orang yang terkena pembatasan tersebut. Dalam kasus X v. UK, komisi HAM Eropa menganggap hukum di Inggris yang mengharuskan semua pengendara sepeda motor untuk menggunakan helm sebagai hukum yang diperbolehkan/dibenarkan untuk melindungi keselamatan publik, bahkan ketika hukum tersebut diterapkan kepada penganut Sikh.36

2. Pembatasan-pembatasan dalam rangka ketertiban (public order)

Kebebasan menjalankan agama juga dapat dibatasi berdasarkan perlindungan atas ketertiban (public order). Hal ini untuk menghindari gangguan pada tatanan/ketertiban publik dalam pengertiannya yang sempit.37 Pembatasan yang diizinkan terhadap kebebasan memanifestasikan/menjalankan agama seseorang demi kepentingan tatanan ketertiban publik adalah keharusan bagi komunitas keagamaan untuk didaftar sebagai entitas legal berdasarkan hukum domestik38 dan untuk menaati peraturan perundang-undangan yang mengatur

35

M. A. v. Italy, comm. No. 117/1981 (UN Human Rights Committee, 10 April 1984), keputusan penolakan.

36

X v. UK, App No. 7992/77 (EcomHR, 14 Keputusan dan laporan 234, 12 Juli 1978), keputusan penolakan. Lihat juga Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 208.

37

Manfred Nowak., Op. Cit., hlm. 209. Yang dimaksud dengan ketertiban/tatanan publik dalam

Pasal 9 (2) ECHR hanya mengacu pada gagasan “tatanan di tempat-tempat yang dapat diakses

setiap orang”.

38

Canea Catholic Church v. Greece, 27 EHRR 329 (1999) (ECTHR 1997-VIII, 16 Desember 1997) (pelanggaran terhadap ECHR, Article 6 dan 14, tidak ada pengujian Article 9).


(18)

28 pertemuan publik atau pendirian tempat-tempat peribadatan publik. Namun ketika pengaturan tersebut justru digunakan secara sewenang-wenang dan diskriminatif terhadap kelompok-kelompok keagamaan tertentu, maka hal ini akan menjadi suatu pelanggaran terhadap kebebasan beragama.39 Dalam kasus Mannousakis v. Greece, misalnya, pengadilan HAM Eropa menguji kesesuaian/kebenaran dari suatu dakwaan terhadap pendirian dan pengoperasian suatu rumah ibadat tanpa izin dari Menteri Urusan Pendidikan dan Agama Yunani.40 Pengadilan menyatakan bahwa penerapan keharusan adanya perizinan memang selaras dengan Article 9 ECHR, namun dengan catatan hanya berupa verifikasi persyaratan formal tertentu apakah sudah dipenuhi atau belum. Namun pengadilan menemukan dan mengemukakan bahwa Yunani telah menggunakan perizinan ini untuk menerapkan pula persyaratan-persyaratan yang kaku, atau yang bersifat mempersulit, bahkan melarang praktik keagamaan tertentu. Pengadilan memutuskan bahwa dakwaan terhadap pemohon merupakan suatu bentuk intervensi terhdap kebebasan mereka dalam memanifestasikan agama mereka, suatu intervensi yang tidak diperlukan/tidak diharuskan dalam suatu masyarakat demokratik.41

3. Pembatasan-pembatasan dalam rangka perlindungan kesehatan publik

39

Manfred Nowak dan Tanja Vosprnik dalam Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 212. 40

Manousakis and Others v. Greece, 23 EHRR 387 (1997) (EctHR 1996-IV, 26 September 1996). 41

Ibid., Lihat juga Manfred Nowak dan Tanja Vosprnik dalam Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 213.


(19)

29 Kebebasan menjalankan suatu agama juga diperbolehkan untuk dibatasi dalam kerangka perlindungan kesehatan publik.42 Pembatasan-pembatasan yang diperbolehkan karena alasan kesehatan publik dimaksudkan untuk mengizinkan intervensi negara dalam rangka mencegah wabah atau penyakit-penyakit lain. Misalnya pada kasus X v. The Netherland, hukum Belanda menerapkan kewajiban supaya peternak sapi perah wajib menjadi anggota program kesehatan dalam rangka mencegah tuberkolosis pada ternak. Namun kenyataannya ada sekelompok petani Protestan Belanda yang menolak ketentuan ini. Pengadilan HAM Eropa menjustifikasi ketentuan negara ini dengan memperbolehkan keberlakuan kewajiban tersebut karena hal ini demi menyelamatkan dari bahaya yang mengancam kesehatan anggota atau bahkan pihak lain.43 4. Pembatasan-pembatasan dalam rangka perlindungan moral

Moral merupakan alasan paling tidak jelas dan paling kontroversial dari semua alasan untuk menjustifikasi pembatasan kebebasan menjalankan/memanifestasikan suatu agama. Konsep moral diderivasikan dari banyak tradisi sosial, filosofis dan agama. Akibatnya, pembatasan terhadap kebebasan memanifestasikan agama/keyakinan demi melindungi moral harus didasarkan pada prinsip-prinsip yang tidak hanya berasal dari

42

Article 18 (3) ICCPR, Article 9 (2) ECHR, Article 12 (3) ACHR. Lihat juga General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion) paragraf 8.

43

X v. The Netherland, App. No. 1068/61 (EcomHR, 14 Desember 1962), keputusan penolakan, Yb 5, 278.


(20)

30 tradisi tunggal.44 Ketika setting sosial menjadi semakin pluralistik, cukup beralasan untuk memperkirakan bahwa akan semakin luas dan banyak situasi dimana praktik keagamaan dapat bertentangan dengan nilai-nilai moral yang dianut secara luas. Namun merujuk pada perbedaan standar dan tolok ukur moral di wilayah tertentu, maka pembatasan ini diperbolehkan sesuai dengan diskresi negara sepanjang tidak menimbulkan pelanggaran terhadap kebebasan umum.45

5. Pembatasan-pembatasan demi melindungi hak-hak dan kebebasan fundamental orang-orang lain.

Pembatasan yang mengacu pada kategori ini mengedepankan toleransi sebagai dasar utama. Hal ini dikarenakan agama memiliki tendensi inheren untuk berinteraksi dengan agama lain. Bahkan terkadang dalam cara-cara yang mengganggu kebebasan beragama orang lain. Di sinilah letak pembolehan pembatasan terhadap kebebasan memanifestasikan agama/keyakinan seseorang/sekelompok orang.46 Praktik yang dapat dibatasi berupa (a) penyebaran agama secara tidak patut (proselytism), (b) penghujatan (blasphemy), serta (c) pelanggaran

44

General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion) paragraf 8.

45 Ibid. 46


(21)

31 terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan selebihnya dari orang-orang lain.47

Salah satu kasus utama mengenai proselytism adalah Kokkinakis v. Greece48 yang mengadili pasangan suami istri yang didakwa melakukan aktivitas penyebaran agama dengan berkunjung dari pintu ke pintu untuk membujuk orang lain untuk menjadi penganut agama mereka. Pengadilan menegaskan bahwa kebebasan seseorang dalam memanifestasikan agamanya meliputi hak untuk mencoba meyakinkan orang lain, namun tidak termasuk proselytism (menyebarkan agama dengan cara yang tidak patut), seperti menawarkan keuntungan sosial atau materi atau melakukan tekanan tidak patut dengan maksud untuk memperoleh anggota baru.49

Jika proselytism ditujukan untuk melindungi kebebasan berkeyakinan, agama atau kepercayaan dari kemungkinan aktivitas penyebaran agama secara tidak patut oleh kelompok agama lain, penghujatan (blasphemy) dimaksudkan untuk melindungi perasaan keagamaan individu dari kemungkinan diciderai oleh orang lain. Kasus yang terkenal adalah Otto-Preminger-Institut v. Austria menyangkut film

Das Liebeskonzil.50 Pengadilan HAM Eropa membenarkan penyitaan dan pelarangan film tersebut oleh Austria berdasarkan Pasal 10 (2) karena

47

Ibid., hlm. 222-230. 48

Kokkinakis v. Greece, 17 EHRR 397 (1994) (EctHR 260-A, 25 Mei 1993). 49

Manfred Nowak dan Tanja Vosprnik, Op. Cit., hlm. 223-224. 50


(22)

32 diperlukan/diharuskan untuk melindungi hak mayoritas penduduk Tyrl yang beragama Katholik Roma demi penghormatan yang sepantasnya terhadap kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama mereka yang telah dilindungi dalam Pasal 9 ECHR. Secara umum, yurisprudensi pengadilan HAM Eropa sangat melindungi standar-standar moral yang disamakan dengan perasaan keagamaan mayoritas ataupun minoritas di negara masing-masing.

Kebebasan menjalankan agama/keyakinan seseorang juga harus memperhatikan hak-hak dan kebebasan-kebebasan selebihnya dari orang lain. Hak-hak fundamental orang lain tersebut berwujud hak untuk hidup, kebebasan, integritas, ruang pribadi, perkawinan, harta kekayaan, kesehatan, pendidikan, kesetaraan, larangan perbudakan serta penyiksaan dan juga hak-hak minoritas.51

Dari cakupan hak atas kebebasan beragama yang dibagi menjadi dua bagian tersebut (kebebasan berpikir, bernurani, beragama atau keyakinan; serta kebebasan untuk mengekspresikan/menjalankan agama atau keyakinan), maka dapat terlihat bahwa sesungguhnya terdapat perbedaan “bobot” perlindungan terhadapnya. Klausul pembatasan dalam Article 18 (3) ICCPR, Article 9 (2) ECHR, Article 12 (3) ACHR hanya berlaku bagi kebebasan seseorang dalam menjalankan/memanifestasikan agama/keyakinannya saja, dan tidak berlaku bagi

51


(23)

33 dimensi internal berpikir, nurani, beragama, atau berkeyakinan.52 Dalam hal apapun, kebebasan memeluk dan meyakini suatu agama/keyakinan secara luas dianggap sebagai kebebasan absolut.53 Dengan pengertian lain hal ini tidak boleh diintervensi oleh negara.

Dalam rangka melindungi kebebasan beragama, diperlukan adanya pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan menjalankan/memanifestasikan agama seseorang.54 Perbedaan konsep perlindungan antara kebebasan memeluk dan meyakini suatu agama/keyakinan dengan kebebasan menjalankan/memanifestasikan agama erat kaitannya dengan toleransi. Ketika berbicara tentang kebebasan memeluk dan meyakini suatu agama/keyakinan, kebebasan seseorang mengacu pada urusan personal.55 Yang dimaksud dengan urusan personal adalah urusan antara individu (seseorang) dengan Tuhannya sehingga hal ini tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun dalam keadaan apapun karena merupakan hak yang absolut.56 Namun ketika berbicara tentang kebebasan untuk mengekspresikan/menjalankan agama atau keyakinan maka hubungan yang terbentuk bukan hanya antara individu dengan Tuhannya, namun juga antara

52

Ibid. 53

Malcolm D. Evans, Religious Liberty anf International Law in Europe, Cambridge: Cambridge University Press, 2007, hlm. 221, 317. Lihat Cantwell v. Connecticut, 310 U.S. 296, 303–04 (1940); Bowen v. Roy, 476 U.S. 693, 699 (1986) dalam Ioannis G. Dimitrakopoulos, Individual Rights and Liberties Under the U.S. Constitution, Boston: Martinus Nijhoff Publishers, 2007, 454.

54

Melissa S. Williams & Jeremy Waldron, Toleration and Its Limits, New York: New York University Press, 2008, hlm. 31.

55

Melissa S. Williams & Jeremy Waldron. Op.,Cit. Hlm. 7. 56

Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 770. Lihat juga General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion) paragraf 2.


(24)

34 individu satu dengan individu lain. Sehingga yang perlu ditekankan adalah adanya toleransi yang ujungnya demi menghormati hak-hak orang lain pula.57

Lindholm secara spesifik mengemukakan tentang ruang lingkup hak atas kebebasan beragama meliputi delapan elemen:58

1. Kebebasan Internal

Artinya, setiap orang memiliki hak atas kebebasan berpikir, berkesadaran dan beragama. Hak ini mencangkup kebebasan untuk setiap orang memiliki, menganut, mempertahankan atau pindah agama atau keyakinan.59

2. Kebebasan Eksternal

Hal ini bermakna setiap orang mempunyai kebebasan, baik sendiri atau bersama-sama dengan orang lain, di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan pengajaran pengamalan, ibadah dan penaatan.60

3. Tanpa Dipaksa

57

Nihal Jayawickrama. Op. Cit., hlm. 8. 58

Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 19. Lihat juga Ketentuan utama dalam Pasal 18 UDHR, Pasal 18 serta Pasal 2 (2) dan Pasal 4(2) ICCPR., Deklarasi 1981, Pasal 9 ECHR, serta Pasal 12 ACHR.

59

General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion)

menjelaskan bahwa “Article 18 melindungi keyakinan yang mempercayai Tuhan, yang tidak

percaya pada Tuhan dan ateis, maupun hak untuk tidak mengakui memeluk agama atau

keyakinan apapun.” Hal ini termasuk hak untuk memiliki, menganut, mempertahankan atau pindah agama atau keyakinan.

60


(25)

35 Tanpa dipaksa bermakna tidak seorangpun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau keyakinannya sesuai dengan pilihannya.61

4. Tanpa Diskriminasi

Maknanya adalah Negara berkewajiban untuk menghormati dan menjamin hal kebebasan beragama atau berkeyakinan bagi semua orang yang berada dalam wilayahnya dan yang tunduk pada wilayah hukum atau yurisdiksinya, hak kebebasan beragama atau berkeyakinan tanpa pembedaan apapun.62

5. Hak Orang Tua dan Wali

Negara berkewajiban untuk menghormati kebebasan orangtua dan apabila diakui, wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri, selaras dengan kewajiban untuk melindungi hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan setiap anak seiring dengan kapasitas anak yang sedang berkembang.63

6. Kebebasan Korporat dan Kedudukan Hukum

Artinya komunitas keagamaan mempunyai kebebasan beragama atau berkeyakinan, termasuk hak otonomi dalam urusan mereka sendiri. Walaupun komunitas keagamaan mungkin tidak ingin menggunakan

61

Article 18(2) ICCPR. 62

Article 2(1) ICCPR. 63

Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 20. Lihat juga Article 18(4) ICCPR dan Article 14 Convention on the Right of The Child.


(26)

36 kedudukan hukum formilnya, sekarang sudah lazim diakui bahwa mereka memiliki hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan, dan khususnya sebagai salah satu aspek dari kebebasan memanifestasikan kepercayaan agama bukan hanya secara individual tetapi bersama-sama dengan orang lain.64

7. Pembatasan yang Diperbolehkan terhadap Kebebasan Eksternal

Pembatasan atas hak kebebasan beragama hanya dapat dilakukan apabila memang diperlukan untuk melindungi keamanan publik, ketertiban, kesehatan, atau moral atau hak-hak dasar orang lain.65

8. Tidak Dapat Dikurangi

Tidak ada satupun pihak yang dapat mengurangi hak atas kebebasan beragama yang dimiliki oleh setiap orang.66

D. Kewajiban-Kewajiban Korelatif Negara Terhadap Hak Atas Kebebasan Beragama sebagai HAM

Berbicara tentang kewajiban negara berkenaan dengan hak atas kebebasan beragama sebagai HAM itu sendiri memang tidak dapat lepas dari konsepsi tentang negara dalam memandang kedudukan agama dalam negara. Sedasar dengan itu, sebelum membahas mengenai kewajiban-kewajiban korelatif negara

64

Hal ini sesuai dengan ketentuan Article 18 ICCPR yang menekankan adanya kebebasan meyakini dan memanifestasikan agama atau keyakinannya masing-masing baik secara indivisu ataupun secara kolektif bersama-sama dengan kelompoknya.

65

Article 18(3) ICCPR, lihat juga Pasal 28J(2) UUD 1945. 66


(27)

37 terhadap hak atas kebebasan beragama sebagai HAM penulis akan mendiskusikan terlebih dahulu berbagai konsepsi tentang negara dan agama.

1. Konsepsi tentang Negara dan Agama

Ada beberapa konsepsi negara berkenaan dengan isu hubungan antara agama dan negara yang meliputi:67

a. The Atheist State

Negara atheis merupakan negara yang tidak mengakui adanya eksistensi agama apapun. Sebagai contoh pada tahun 1949 di Republik Cina terjadi kampanye untuk membasmi agama dari kehidupan dan budaya China.68 Pada tahun 1974 di Ethiopia, Gereja Ortodoks Ethiopia dibubarkan sebagai gereja negara, dan Patriarkh dieksekusi oleh junta militer Derg Marxis pada tahun 1979.69 Hal ini menujukkan inti konsepsi negara ini adalah adanya perilaku “anti-agama” dalam tatanan konsep negara atheis.

b. Assertive Secularism70

67

Ran Hirschl dalam Tom Ginsburg & Rosalind Dixon, Comparative Constitutional Law, Massachusetts: Edward Elgar Publishing, 2011, hlm. 422-438.

68

Zhuo Xinping, Religion and Rule of Law in China Today, Brigham Young University Law Review, 2009.

69

Ibid, hlm. 423. 70


(28)

38 Model ini menetapkan bentuk sekularisme secara tegas. Dimana sekularisme itu sendiri bermakna bahwa negara benar-benar memisahkan secara tegas urusan agama dengan urusan negara. Sebagai contoh Faiza M.

case. Kasus ini terjadi di Jerman yang notabene adalah negara sekuler. Jerman tidak mengabulkan permohonan kewarganegaraan oleh Faiza yang menggunakan kerudung bertutup muka dan yang memiliki kebiasaan yang tidak mencerminkan kesetaraan gender bagi wanita. Hal ini merupakan salah satu contoh praktik negara sekuler yang benar-benar ketat.

Negara sekuler dipandang melampaui netralitas terhadap agama atau religiusitas, yang menentang manifestasi agama dalam kehidupan publik dan sekularisme dilihat sebagai elemen inti dari modern bangsa dan identitas kolektif anggotanya.71

c. Separation as State Neutrality toward Religion72

Pada konsep ini, netralitas terhadap agama sangat ditekankan. Hal ini merujuk pada pemisahan antara urusan negara dan agama. Negara bersifat netral serta tidak mengintervensi sama sekali urusan agama warganya.

Salah satu contohnya adalah Amerika Serikat (AS). Konsitusi AS menghendaki adanya pemisahan antara urusan agama dengan urusan

71 Ibid. 72


(29)

39 keagamaan,73 walaupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegaranya mereka tidak pernah lepas dari segala semboyan ketuhanan. Dalam kasus

Lemon v. Kurtzman,74 Mahkamah Agung AS mencantumkan tiga faktor untuk mengevaluasi apakah peraturan perundang-undangan yang membantu organisasi keagamaan memiliki efek non-religius: (1) apakah bantuan itu digunakan dalam menghasilkan atau tidak 'indoktrinasi' oleh pemerintah, (2) apakah program bantuan ditujukan kepada penerima berdasarkan agama, dan (3) apakah ada keterikatan yang berlebihan antara pemerintah dan agama sebagai hasil dari program bantuan.

Hal tersebut menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan di AS terutama Konstitusi AS tidak menghendaki adanya intervensi sedikitpun oleh negara dalam urusan keagamaan. Dengan melihat salah satu negara yang memiliki konsepsi negara Separation as State Neutrality toward Religion maka kesimpulan yang dapat ditarik adalah konsepsi ini menegaskan adanya dominasi netralitas negara dalam urusan keagamaan rakyatnya.

d. Weak Religious Establishment75

Dalam konsep ini sudah ada sebutan secara formal terhadap agama tertentu sebagai “agama negara”. Tentunya penetapan tersebut

73

John J. Patrick, Op. Cit., hlm. 34. 74

Lihat juga kasus Agostini v Felton; Zelman v Simmons-Harris. 75


(30)

40 berimplikasi bagi kehidupan publik. Beberapa negara di Eropa yang menerapkan konsep ini adalah Norwegia, Denmark, Finlandia dan Islandia. Contoh kasusnya adalah sebutan Gereja Lutheran Injili sebagai “gereja negara” di negara-negara tersebut. Kepala Negara Norwegia misalnya, yang juga pemimpin gereja. Hukum Norwegia menjamin kebebasan beragama, tetapi juga menyatakan bahwa Lutheranisme Injili adalah agama resmi negara.

Dari konsep ini dapat dilihat bahwa sebenarnya walaupun negara menjamin adanya kebebasan beragama, namun terdapat halangan tersendiri terkait dengan klausul “agama negara”. Hal ini menjadi sebuah ancaman tersendiri bagi kaum minoritas. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya "kebebasan untuk memanifestasikan agama seseorang" dalam konsep ini tidak berarti bahwa seseorang memiliki hak untuk memanifestasikan agama seseorang kapan saja dan di mana saja dan dengan cara apapun yang sesuai dengan keyakinannya masing-masing karena terhambat pada masalah “agama negara”.

e. Formal Separation with De Facto Pre-eminence of One Denomination76

Konsep ini merupakan sebuah fitur dalam negara, di mana terdapat pemisahan secara resmi antara urusan agama dan negara serta kebebasan beragama dijamin secara konstitusional. Tetapi pola-pola sistematis

76


(31)

41 hegemoni gereja politik dan gereja-sentris moralitas di atur dalam konstitusi.

Sebagai contoh, kebanyakan negara-negara yang mayoritas populasinya adalah pemeluk agama Katholik Roma. Di negara-negara tersebut (seperti Filipina, Polandia, Irlandia, Spanyol atau Italia), ada pengaruh moralitas Katholik yang kuat ke dalam putusan-putusan pada kasus-kasus konstitusional di sana.

Irlandia misalnya. Meskipun status khusus Katholik telah dihapus dari Konstitusi Irlandia pada tahun 1973, tetapi Pasal 41 dari Konstitusi negara ini menyatakan ‘recognises the Family as the natural primary and fundamental unit group of Society, and as a moral institution possessing inalienable and imprescriptible rights, antecedent and superior to all positive law’.

Indikasi yang dapat ditemukan dari praktik negara yang menganut konsep tersebut adalah walaupun ada pengakuan mengenai kebebasan beragama serta adanya pengaturan tentang jaminan kebebasan tersebut di level konstitusi, namun sebenarnya agama mayoritaslah yang masih memiliki keistimewaan tersendiri terutama dalam masalah pengaturan hukum di negara tersebut.

Hal tersebut menunjukkan bahwa kebebasan agama yang sebenarnya merupakan suatu yang ‘semu’. Meskipun negara memberikan


(32)

42 pengakuan atas kebebasan beragama, namun sebenarnya negara tidak memberikan pengakuan yang memadai atas hak untuk memanifestasikan agama sesuai dengan keyakinan seseorang di dalam negara.

f. Separation Alongside Multicultural Accommodation77

Konsep ini menggabungkan pemisahan resmi agama dan negara dengan pendekatan 'accomodationist' untuk keragaman dan perbedaan agama. Model ini, sangat umum di masyarakat imigran, terutama Kanada, yang mencerminkan komitmen yang sebenarnya dalam multikulturalisme dan keragaman dengan pendekatan asimilasi. Urusan Negara dan agama dipisahkan, tetapi konsepsi kewarganegaraan tidak terikat pada sekularisme ketat atau netralitas. Arti sebenarnya dari kewarganegaraan dalam model ini memang lebih mendekati liberalisme, yang menghormati aspek umum kenegaraan dan kebangsaan saat merayakan perbedaan dalam tradisi warga budaya dan agama. Article 2 (a) dari Canadian Charter of Rights and Freedoms melindungi kebebasan beragama. Bagian 16-23 Piagam menetapkan status konstitusional (Perancis/Inggris) bilingualisme di Kanada; Article 27 Charter of The United Nation melengkapi prinsip-prinsip ini dengan mengabadikan multikulturalisme dan keragaman sebagai salah satu pasak penjaga roda identitas konstitusional Kanada.

Mahkamah Agung Kanada telah mengembangkan yurisprudensi dalam mendukung negara untuk mengesahkan multikulturalisme dan

77


(33)

43 kemudahan akomodasi perbedaan budaya dan agama di ruang publik. Putusan-putusan yang dikeluarkan misalnya, R v Big M Drug Mart, 1985;

R v Edwards Books and Art Ltd., 1986. Dalam dua putusan tersebut Pengadilan menggunakanan dasar keragaman dan multkultural sebagai penyelesaian.

Dalam konsep ini dapat disimpulkan bahwa pengakuan atas keragaman serta multikulturalisme sangat ditonjolkan. Konsep ini mengandalkan asimilasi keragaman sebagai pemersatu bangsa.

g. Religious Jurisdictional Enclaves78

Model ini didasarkan pada akomodasi selektif agama di daerah hukum tertentu. Hukum umumya adalah sekuler, namun komunitas agama diberi otonomi yurisdiksi, terutama dalam hal status pribadi dan pendidikan. Inti fitur pengaturan ini berasal dari sistem Ottoman millet

dalam semi-otonom daerah-daerah kantong yurisdiksi untuk agama minoritas. Negara-negara seperti Kenya, India dan Israel mengakui komunitas agama atau adat otonomi yurisdiksi untuk menjalankan tradisi mereka sendiri di beberapa wilayah hukum, terutama hukum keluarga.

Sebagai contoh India yang sudah lama berdebat mengenai ruang lingkup dan status hukum Muslim dan Hindu pribadi agama, versus hak-hak individu dan kebebasan yang dilindungi oleh Konstitusi India. Salah

78


(34)

44 satu contoh pertentangan yang ada di India adalah perjuangan antara pendukung sekularisme universal dan para pendukung status quo, di mana agama minoritas (terutama Muslim) menikmati otonomi yurisdiksi tertentu dalam hal status pribadi, terutama pernikahan dan perceraian.

Kasus Shah Bano adalah salah satu ilustrasi pertentangan tersebut. Kasus ini melibatkan wanita Muslim tua yang sudah bercerai dengan suaminya 43 tahun melalui praktik Muslim talak, yang memungkinkan seorang suami untuk menentukan perceraian secara keseluruhan. Namun, Shah Bano tidak memiliki kemampuan untuk menghidupi dirinya dan kelima anaknya, ia berupaya mencari biaya penghidupan dirinya dan anak-anaknya di pengadilan.

Menurut hukum privat muslim, mantan suami Shah Bano hanya berkewajiban untuk membayarnya sejumlah kecil uang penghidupan selama tiga bulan setelah perceraian, yang dikenal sebagai periode iddat. Bagian 125 dari Hukum Acara Pidana menetapkan bahwa seorang suami dapat diperintahkan untuk membayar pemeliharaan untuk istri atau mantan istri jika ia tidak mampu mempertahankan dirinya sendiri. Namun, menurut Pasal 127 dari ketentuan yang sama, pembayaran pemeliharaan ditinjau kembali oleh pengadilan di mana wanita telah menerima jumlah itu karena di bawah hukum privat.

Dalam putusan kasus Muhammad Ahmad Khan v Shah Bano Begum, Mahkamah Agung India menyatakan negara menetapkan bahwa


(35)

45 ketentuan mengenai hak istri atas pemeliharaan yang diabaikan adalah terlepas dari hukum privat di India yang berlaku terhadap para pihak. Dengan kata lain, hak-hak individu dan norma-norma kesetaraan gender yang lebih mendasar dari praktik yang sudah berjalan lama di India menjadi yurisdiksi hukum Muslim. Pengadilan menyatakan bahwa hak atas pemeliharaan menurut Pasal 125 adalah hak hukum sekuler yang bisa 'dilakukan terlepas dari hukum pribadi para pihak, dan itu bagian 125 mengesampingkan hukum pribadi, jika ada konflik antara dua ketentuan'.

Dengan demikian sebenarnya konsep negara yang memberikan otonomi terhadap daerah-daerah yurisdiksinya dalam hal urusan beragama justru memicu banyak kesenjangan ketika berada di level negara. Hal ini dikarenakan rentannya ketidakharmonisan dalam pola hukum yang ada di negara tersebut.

h. Strong Establishment – Religion as a Constitutionally Enshrined Source of Legislation79

Model ini identik dengan theokrasi yang memiliki empar unsur utama yakni: (1) adanya sebuah agama tunggal atau denominasi agama yang resmi disahkan oleh negara, yang menjadi 'agama negara', (2) mengabadikan agama sebagai sumber utama legislasi dan interpretasi hukum-hukum dasarnya, dengan kata lain hukum tidak boleh melanggar perintah-perintah agama negara tersebut, (3) hubungan badan keagamaan

79


(36)

46 dan pengadilan diberi status yurisdiksi resmi di kedua basis regional atau substantif, dan yang beroperasi sebagai sistem pengadilan sipil, dan (4) kepatuhan terhadap perbedaan formal antara otoritas politik dan otoritas keagamaan, perlindungan kebebasan beragama bagi kaum minoritas, dan adanya beberapa bentuk judicial review aktif. Yang paling penting, otonomi yurisdiksi negara ini memiliki beberapa aspek kunci dari yurisprudensi pengadilan agama yang akan ditinjau kembali oleh pengadilan konstitusional tertinggi negara.80

Sebagian besar norma hukum yang berlaku adalah agama. Namun pada daerah-daerah yurisdiksi tertentu, seperti hukum ekonomi atau aspek tertentu dari kesetaraan gender, dipengaruhi oleh hukum agama. Salah satu kasus menarik adalah penerapan model negara ini di Arab Saudi. Sistem hukum Arab Saudi sepenuhnya berdasarkan fiqh (yurisprudensi Islam). Pasal 1 Konstitusi Arab Saudi (1993) berbunyi: “Kerajaan Arab Saudi adalah negara Islam berdaulat Arab dengan Islam sebagai agamanya; Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya, doa Tuhan dan SAW adalah konstitusi”. Pasal 23 menetapkan kewajiban negara untuk memajukan Islam: "Negara melindungi Islam; yaitu menerapkan syariat nya, melainkan perintah orang untuk melakukan yang benar dan menghindari yang jahat, melainkan memenuhi tugas mengenai panggilan Allah”. Pada saat yang sama, Bab IV Konstitusi Arab Saudi (berjudul: Prinsip Ekonomi) melindungi hak milik pribadi, memberikan jaminan

80


(37)

47 terhadap penyitaan aset, dan menunjukkan bahwa 'pembangunan ekonomi dan sosial yang harus dicapai sesuai dengan rencana yang adil dan ilmiah'. Selain itu, pengadilan Saudi menerapkan syariat dalam segala hal status perdata, pidana atau pribadi, Pasal 232 dari Royal SK 1965 menyediakan untuk pembentukan sebuah komisi untuk penyelesaian semua sengketa komersial. Meskipun hakim di pengadilan biasa biasanya ditunjuk oleh Menteri Kehakiman dari kalangan lulusan perguruan tinggi syariat diakui oleh hukum, anggota komisi untuk penyelesaian sengketa diangkat oleh Departemen Perdagangan. Dengan kata lain, Arab Saudi telah secara efektif mengecualikan keuangan, perbankan dan modal perusahaan dari penerapan aturan syariat. Contoh lebih lembut dari model ini yang umum di dunia Islam, dari Qatar atau Uni Emirat Arab ke tujuan eksotis seperti Maladewa atau Comoros di Samudera Hindia. Singkatnya, agama telah membuat timbal balik yang besar selama beberapa dekade terakhir, dan sekarang menjadi de facto

dan de jure pilar identitas kolektif, nasional dan hukum konstitusional di negara-negara mayoritas Muslim di Asia, Afrika dan Timur Tengah.

2. Kewajiban-kewajiban Korelatif Negara

Melihat berbagai konsepsi negara menyangkut kebebasan beragama, maka dapat disimpulkan bahwa sebenarnya kewajiban-kewajiban negara berkenaan dengan hak atas kebebasan beragama sebagai HAM tidak terlepas dari bagaimana model konsepsi negara terkait hak tersebut. Implementasi kewajiban negara


(38)

48 berkenaan dengan hak atas kebebasan beragama seringkali dipengaruhi oleh konsepsi yang dianut tentang hubungan antara negara dan agama. Hal ini menjadikan implementasi hak atas kebebasan beragama sebagai HAM oleh negara sangat krusial.

Dalam perspektif hukum HAM, negara memiliki posisi yang khas sebagai pihak penanggungjawab hak, yaitu pihak yang dibebani oleh kewajiban hukum. Ada 2 kewajiban hukum negara, yaitu primary rules dan secondary rules.81 Kewajiban pertama berkenaan dengan kewajiban negara untuk tidak melakukan pelanggaran HAM baik melalui tindakan maupun pendiaman termasuk menjamin pemenuhan secara aktif hak-hak tersebut. Sedangkan kewajiban kedua berkenaan dengan kewajiban negara untuk mencegah pelanggaran, menyelidikinya ketika terjadi, melakukan proses hukum kepada pelaku serta melakukan pemulihan (reparation) atas kerugian yang timbul.82

Primary rules masih dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis kewajiban spesifik, yaitu: obligation to respect (kewajiban untuk menghormati) yang mengharuskan negara untuk menahan diri atas setiap tindakan yang melanggar integritas individu atau pelanggaran atas kebebasannya; obligation to protect

(kewajiban untuk melindungi) yang mengharuskan negara mengambil langkah untuk mencegah individu maupun kelompok lain (pihak ke-3) melakukan

81

The International Commission of Jurist, Legal Brief Amicus Curiae presented by The International Commission of Jurist before The Inter-American Court of Human Rights in the case of Efrain Bamaca Velasquez v. Guatemala, dalam The Review, No. 62-63/2001. Hlm. 151.

82 Ibid.


(39)

49 pelanggaran atas integritas, kebebasan bertindak, maupun pelanggaran hak-hak asasi lain atas setiap individu; serta obligation to fulfil (kewajiban untuk melaksanakan) yang mengharuskan negara mengambil langkah untuk memastikan setiap orang yang berada di dalam yurisdiksinya mendapat kesempatan kepuasan atas setiap kebutuhannya, diakui di dalam instrumen hak asasi, yang tidak dapat dipenuhi oleh seseorang.83 Kewajiban spesifik negara Indonesia terhadap diatur pada level konstitusi dalam Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 yang menetapkan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.

E. Prinsip-Prinsip Hukum Hak Atas Kebebasan Beragama Sebagai HAM

Prinsip-prinsip HAM berkenaan dengan kebebasan beragama tersebut meliputi:

1. Universalitas

The Vienna Declaration and Programme of Action, sebagai hasil dari Konferensi Dunia tentang HAM tahun 1993 menegaskan bahwa semua HAM adalah universal dan tidak dapat diasingkan, tidak dapat dibagi, saling berhubungan dan bergantung satu sama lain (”All human rights are universal, indivisible and interdependent and interrelated”). HAM disebut universal. Universal di sini bermakna bahwa HAM memiliki prinsip yang dimiliki dalam

83


(40)

50 nilai-nilai etik dan moral yang tersebar di seluruh wilayah dunia, dan pemerintah termasuk masyarakatnya harus mengakui dan menyokong hak-hak asasi manusia.

Ini menunjukkan bahwa HAM itu ada dan harus dihormati oleh seluruh manusia secara mutlak. Mutlak dalam artian tidak tergantung posisi, situasi, kondisi suatu wilayah atau bangsa tertentu.84 Karakteristik utama yang membedakan HAM dari hak-hak lainnya adalah universalitas mereka yang menurut teori klasik, mereka dikatakan 'melekat' (inheren) pada diri setiap manusia berdasarkan kemanusiaannya.85

Prinsip universalitas HAM ini dapat dijumpai dalam Article 1 UDHR yang menyatakan “All human beings are born free and equal in dignity and rights. They are endowed with reason and conscience and should act towards one another in a spirit of brotherhood.” All human beings berarti setiap orang memiliki hak yang sama, dimana hak ini tidak boleh diabaikan atau diperlakukan secara berbeda berdasarkan misalnya perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa agama, politik yang dianut, kebangsaan, atau status yang lainnya. Sifat universal HAM terhadap setiap/seluruh manusia inilah yang ditimbulkan atas melekatnya HAM pada diri setiap manusia sejak ia lahir.86

2. Non-discrimination

84

Nihal Jayawickrama, Op.cit. hlm. 157. 85

Paul Sieghart dalam Ibid., hlm. 174. 86


(41)

51 HAM bersifat non-diskriminasi. ICCPR, ICESCR, ECHR, dan ACHR, melarang diskriminasi dalam penikmatan hak-hak yang dijamin. Namun berdasarkan Article 26 ICCPR, pernyataan (ketentuan) ini menekankan adanya perbedaan hak substantif atas ”right to equality before the law” dengan “the equal protection of the law”.87 Sifat non-diskriminasi HAM terlihat dalam instrumen hukum berupa:

Article 2 UDHR: “Everyone is entitled to all the rights and freedoms set forth in this Declaration, without distinction of any kind, such as race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status. Furthermore, no distinction shall be made on the basis of the political, jurisdictional or international status of the country or territory to which a person belongs, whether it be independent, trust, non-self-governing or under any other limitation of sovereignty.

Article 2(1) ICCPR: “Each State Party to the present Covenant undertakes

to respect and to ensure to all individuals within its territory and subject to its jurisdiction the rights recognized in the present Covenant, without distinction of any kind, such as race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status.”

Article 14 ECHR: “The enjoyment of the rights and freedoms set forth in this Convention shall be secured without discrimination on any ground such as

87


(42)

52

sex, race, colour, language, religion, political or other opinion, national or social origin, association with a national minority, property, birth or other status.”

Pasal 28B ayat (2) UUD 1945: “Setiap anak berhak atas kelangsungan

hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”

Pasal 28I ayat (2): “Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang

bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”

Prinsip non-diskriminasi dalam HAM menjadi tanggungjawab setiap institusi penegak HAM, khususnya pemerintah. Hak untuk tidak didiskriminasi dalam menikmati hak-hak yang dijamin juga dilanggar ketika sebuah negara tanpa pembenaran yang obyektif dan masuk akal, gagal untuk melakukan reparasi terhadap orang yang berbeda situasi.88

3. Diperkuat oleh Hukum (Rule of Law)

Dalam hubungan dengan HAM, prinsip rule of law bersifat jaminan atau memperkuat eksistensi HAM. Penguatan itu dilakukan dalam bentuk legalitas hak di mana eksistensi hak maupun segala tindakan pemerintah yang dapat berpengaruh terhadapnya secara langsung maupun tidak langsung (misal:

88


(43)

53 pembatasan terhadap HAM) seyogianya diatur oleh peraturan perundang-undangan (dalam hal ini yang secara formal adalah konstitusi dan legislasi).89

Di Indonesia, refleksi dari prinsip rule of law dalam kaitan dengan HAM nampak dalam ketentuan substantif yang mengenumerasikan HAM, syarat pembatasannya, maupun kewajiban terhadap HAM. Hal terakhir ini nampak dalam ketentuan sebagai berikut:

a. Pasal 28I ayat (4) UUD 1945: Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.

b. Pasal 8 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM: Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah.

Tujuan intrinsik dari prinsip rule of law adalah memberikan kepastian hukum perlindungan terhadap HAM itu sendiri.90 Peraturan perundang-undangan dalam kerangka prinsip rule of law berfungsi untuk membatasi kekuasaan negara, termasuk dalam rangka menentukan syarat pembatasan hak melalui aktivitas rule-making.

Implikasi prinsip rule of law terhadap hak atas kebebasan beragama sebagai HAM adalah meletakkan kaidah dalam rangka pembentukan peraturan perundang-undangan yang sifatnya memperkuat eksistensi hak tersebut. Bentuk

89

Paul Sieghart, The International Law of Human Rights, Oxford: Clarendon Press, 1983, hlm. 18. 90


(44)

54 preskripsi yang dihasilkan oleh prinsip rule of law adalah sebagai berikut.

Pertama, negara harus membuat peraturan perundang-undangan yang memajukan jaminan non-intervensi negara terhadap dimensi internal kebebasan beragama yang notabene merupakan hak absolut.91

Kedua, negara juga harus mengakomodasi kebebasan mengekspresikan agama/kepercayaan warga negaranya dengan menyusun peraturan perundang-undangan yang mewujudkan toleransi antar umat beragama. Poin utama di sini adalah negara memiliki kewenangan untuk melakukan pengaturan terhadap ekspresi keagamaan dalam rangka melindungi kebebasan beragama itu sendiri: “In order to protect religious freedom, we have to place some limits on religious expression.”92 Kebebasan mengekspresikan agama/kepercayaan perlu dibatasi dalam rangka mewujudkan toleransi melalui instrumen hukum yaitu peraturan perundang-undangan. Namun dalam melaksanakan aktivitas rule-making nya, pembatasan yang dibuat oleh negara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan tidak boleh menjadi dorongan timbulnya intoleransi.

91

General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion) paragraf 1, 3, 8. Lihat juga Malcolm D. Evans, Religious Liberty and International Law in Europe, Cambridge: Cambridge University Press, 2007, hlm. 221.

92

Melissa S. Williams & Jeremy Waldron, Toleration and Its Limits, New York: New York University Press, 2008, hlm. 7.


(1)

49 pelanggaran atas integritas, kebebasan bertindak, maupun pelanggaran hak-hak asasi lain atas setiap individu; serta obligation to fulfil (kewajiban untuk melaksanakan) yang mengharuskan negara mengambil langkah untuk memastikan setiap orang yang berada di dalam yurisdiksinya mendapat kesempatan kepuasan atas setiap kebutuhannya, diakui di dalam instrumen hak asasi, yang tidak dapat dipenuhi oleh seseorang.83 Kewajiban spesifik negara Indonesia terhadap diatur pada level konstitusi dalam Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 yang menetapkan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.

E. Prinsip-Prinsip Hukum Hak Atas Kebebasan Beragama Sebagai HAM

Prinsip-prinsip HAM berkenaan dengan kebebasan beragama tersebut meliputi:

1. Universalitas

The Vienna Declaration and Programme of Action, sebagai hasil dari Konferensi Dunia tentang HAM tahun 1993 menegaskan bahwa semua HAM adalah universal dan tidak dapat diasingkan, tidak dapat dibagi, saling berhubungan dan bergantung satu sama lain (”All human rights are universal, indivisible and interdependent and interrelated”). HAM disebut universal. Universal di sini bermakna bahwa HAM memiliki prinsip yang dimiliki dalam

83


(2)

50 nilai-nilai etik dan moral yang tersebar di seluruh wilayah dunia, dan pemerintah termasuk masyarakatnya harus mengakui dan menyokong hak-hak asasi manusia.

Ini menunjukkan bahwa HAM itu ada dan harus dihormati oleh seluruh manusia secara mutlak. Mutlak dalam artian tidak tergantung posisi, situasi, kondisi suatu wilayah atau bangsa tertentu.84 Karakteristik utama yang membedakan HAM dari hak-hak lainnya adalah universalitas mereka yang menurut teori klasik, mereka dikatakan 'melekat' (inheren) pada diri setiap manusia berdasarkan kemanusiaannya.85

Prinsip universalitas HAM ini dapat dijumpai dalam Article 1 UDHR yang menyatakan “All human beings are born free and equal in dignity and rights. They are endowed with reason and conscience and should act towards one another in a spirit of brotherhood.” All human beings berarti setiap orang memiliki hak yang sama, dimana hak ini tidak boleh diabaikan atau diperlakukan secara berbeda berdasarkan misalnya perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa agama, politik yang dianut, kebangsaan, atau status yang lainnya. Sifat universal HAM terhadap setiap/seluruh manusia inilah yang ditimbulkan atas melekatnya HAM pada diri setiap manusia sejak ia lahir.86

2. Non-discrimination

84

Nihal Jayawickrama, Op.cit. hlm. 157. 85

Paul Sieghart dalam Ibid., hlm. 174. 86


(3)

51 HAM bersifat non-diskriminasi. ICCPR, ICESCR, ECHR, dan ACHR, melarang diskriminasi dalam penikmatan hak-hak yang dijamin. Namun berdasarkan Article 26 ICCPR, pernyataan (ketentuan) ini menekankan adanya perbedaan hak substantif atas ”right to equality before the law” dengan “the equal protection of the law”.87 Sifat non-diskriminasi HAM terlihat dalam instrumen hukum berupa:

Article 2 UDHR: “Everyone is entitled to all the rights and freedoms set forth in this Declaration, without distinction of any kind, such as race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status. Furthermore, no distinction shall be made on the basis of the political, jurisdictional or international status of the country or territory to which a person belongs, whether it be independent, trust, non-self-governing or under any other limitation of sovereignty.

Article 2(1) ICCPR: “Each State Party to the present Covenant undertakes to respect and to ensure to all individuals within its territory and subject to its jurisdiction the rights recognized in the present Covenant, without distinction of any kind, such as race, colour, sex, language, religion, political or other opinion,

national or social origin, property, birth or other status.”

Article 14 ECHR: “The enjoyment of the rights and freedoms set forth in this Convention shall be secured without discrimination on any ground such as

87


(4)

52 sex, race, colour, language, religion, political or other opinion, national or social origin, association with a national minority, property, birth or other status.”

Pasal 28B ayat (2) UUD 1945: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan

dan diskriminasi.”

Pasal 28I ayat (2): “Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”

Prinsip non-diskriminasi dalam HAM menjadi tanggungjawab setiap institusi penegak HAM, khususnya pemerintah. Hak untuk tidak didiskriminasi dalam menikmati hak-hak yang dijamin juga dilanggar ketika sebuah negara tanpa pembenaran yang obyektif dan masuk akal, gagal untuk melakukan reparasi terhadap orang yang berbeda situasi.88

3. Diperkuat oleh Hukum (Rule of Law)

Dalam hubungan dengan HAM, prinsip rule of law bersifat jaminan atau memperkuat eksistensi HAM. Penguatan itu dilakukan dalam bentuk legalitas hak di mana eksistensi hak maupun segala tindakan pemerintah yang dapat berpengaruh terhadapnya secara langsung maupun tidak langsung (misal:

88


(5)

53 pembatasan terhadap HAM) seyogianya diatur oleh peraturan perundang-undangan (dalam hal ini yang secara formal adalah konstitusi dan legislasi).89

Di Indonesia, refleksi dari prinsip rule of law dalam kaitan dengan HAM nampak dalam ketentuan substantif yang mengenumerasikan HAM, syarat pembatasannya, maupun kewajiban terhadap HAM. Hal terakhir ini nampak dalam ketentuan sebagai berikut:

a. Pasal 28I ayat (4) UUD 1945: Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.

b. Pasal 8 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM: Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah.

Tujuan intrinsik dari prinsip rule of law adalah memberikan kepastian hukum perlindungan terhadap HAM itu sendiri.90 Peraturan perundang-undangan dalam kerangka prinsip rule of law berfungsi untuk membatasi kekuasaan negara, termasuk dalam rangka menentukan syarat pembatasan hak melalui aktivitas rule-making.

Implikasi prinsip rule of law terhadap hak atas kebebasan beragama sebagai HAM adalah meletakkan kaidah dalam rangka pembentukan peraturan perundang-undangan yang sifatnya memperkuat eksistensi hak tersebut. Bentuk

89

Paul Sieghart, The International Law of Human Rights, Oxford: Clarendon Press, 1983, hlm. 18. 90


(6)

54 preskripsi yang dihasilkan oleh prinsip rule of law adalah sebagai berikut. Pertama, negara harus membuat peraturan perundang-undangan yang memajukan jaminan non-intervensi negara terhadap dimensi internal kebebasan beragama yang notabene merupakan hak absolut.91

Kedua, negara juga harus mengakomodasi kebebasan mengekspresikan agama/kepercayaan warga negaranya dengan menyusun peraturan perundang-undangan yang mewujudkan toleransi antar umat beragama. Poin utama di sini adalah negara memiliki kewenangan untuk melakukan pengaturan terhadap ekspresi keagamaan dalam rangka melindungi kebebasan beragama itu sendiri: “In order to protect religious freedom, we have to place some limits on religious expression.”92 Kebebasan mengekspresikan agama/kepercayaan perlu dibatasi dalam rangka mewujudkan toleransi melalui instrumen hukum yaitu peraturan perundang-undangan. Namun dalam melaksanakan aktivitas rule-making nya, pembatasan yang dibuat oleh negara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan tidak boleh menjadi dorongan timbulnya intoleransi.

91

General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion) paragraf 1, 3, 8. Lihat juga Malcolm D. Evans, Religious Liberty and International Law in Europe, Cambridge: Cambridge University Press, 2007, hlm. 221.

92

Melissa S. Williams & Jeremy Waldron, Toleration and Its Limits, New York: New York University Press, 2008, hlm. 7.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Asas Yurisdiksi Universal dalam Hukum Pidana Internasional dan Hukum Pidana Nasional T1 312011605 BAB I

0 1 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Asas Yurisdiksi Universal dalam Hukum Pidana Internasional dan Hukum Pidana Nasional T1 312011605 BAB II

0 1 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Asas Yurisdiksi Universal dalam Hukum Pidana Internasional dan Hukum Pidana Nasional T1 312011605 BAB IV

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Hukum terhadap Spesies Langka Flora dan Fauna Liar dalam Ranah Hukum Internasional dan Hukum Nasional T1 312007058 BAB II

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Hukum Terhadap Folklore dalam Hukum Hak Kekayaan Intelektual Indonesia dan Hukum Internasional T1 312006046 BAB I

0 0 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Hukum Terhadap Folklore dalam Hukum Hak Kekayaan Intelektual Indonesia dan Hukum Internasional T1 312006046 BAB II

0 0 22

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional Mengenai Kebebasan Beragama

0 0 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional Mengenai Kebebasan Beragama T1 312008032 BAB I

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional Mengenai Kebebasan Beragama T1 312008032 BAB IV

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Standar Perlindungan Hak – Hak Tersangka atau Terdakwa Menurut Hukum Nasional dan Hukum Internasional T1 312008059 BAB II

0 0 37