Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Asas Yurisdiksi Universal dalam Hukum Pidana Internasional dan Hukum Pidana Nasional T1 312011605 BAB II

(1)

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Terhadap Yurisdiksi

Secara etimologis, yurisdiksi dalam Bahasa Indonesia berasal dari bahasa

Inggris yaitu jurisdiction. Jurisdiction sendiri berasal dari bahasa Latin

Yurisdictio”, yang terdiri atas dua suku kata, yuris yang berarti kepunyaan menurut

hukum, dan dictio yang berarti ucapan, sabda, sebutan, firman. Sehingga jika

didefinisikan secara singkat, maka inti dari yurisdiksi adalah ucapan atau sabda yang memiliki dasar hukum. Memiliki dasar hukum hukum dapat diartikan sebagai kekuasaan atau kewenangan berdasarkan hukum. Dalam kekuasaan tersebut di dalamnya mencakup hak dan wewenang yang didasarkan oleh hukum. Sehingga kekuasaan yang dimiliki oleh pemegang yurisdiksi bukanlah merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri melainkan kekuasaan yang berdasarkan hukum, dibatasi oleh nilai - nilai hukum.

Anthony Csabafi, dalam bukunya “The Concept of State Jurisdiction in International Space Law” mengemukakan tentang pengertian yurisdiksi negara

sebagai berikut : “… state jurisdiction in public international law means the right of a state to regulate or effect by legislative, executive or judical measures the rights of person, property, acts events with respect to matters not exclusively of domestic concern …”.1 Dalam definisi tersebut dapat ditemukan unsur - unsur yurisdiksi yang ada yaitu hak atau kewenangan, mengatur secara hukum melalui lembaga

1 Anthony Csabafi, The Concept of State Jurisdiction in International Space Law, (The Hague, 1971),


(2)

13

legislatif, eksekutif, maupun yudikatif; mempengaruhi hak orang, benda, peristiwa dan tidak semata - mata merupakan masalah dalam negeri saja. Senada dengan Anthony Csabafi, Akehurst juga menjelaskan bahwa terdapat tiga jenis yurisdiksi yaitu yurisdiksi legislatif, eksekutif dan yudikatif. Yurisdiksi legislatif mengacu pada supremasi lembaga negara yang diakui secara konstitusional untuk membuat undang-undang yang mengikat dalam wilayahnya. Negara mempunyai hak eksklusif membuat undang-undang dan peraturan dalam banyak bidang. Yurisdiksi eksekutif berkaitan dengan kewenangan negara untuk bertindak dalam batas-batas negara lain, Karena masing-masing negara independen dan memiliki kedaulatan teritorial. Yurisdiksi yudikatif menyangkut kekuasaan pengadilan dari negara tertentu untuk mengadili kasus-kasus di mana ada faktor asing. Dalam masalah pidana yurisdiksi ini menjangkau mulai dari prinsip teritorial hingga prinsip universal sedangkan dalam persoalan sipil mulai dari kehadiran fisik terdakwa di

negara itu hingga prinsip kewarganegaraan dan domisili.2

Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yurisdiksi memiliki 2

(dua) pengertian, yaitu3 :

a. Kekuasaan mengadili; lingkup kekuasaan kehakiman; peradilan;

b. Lingkungan hak dan kewajiban, serta tanggung jawab di suatu wilayah atau

lingkungan kerja tertentu; kekuasaan hukum

2 Malcolm N. Shaw, Hukum Internasional, terjemahan oleh Derta Sri Widowati, Penerbit Nusa

Media, Bandung, 2013, hal. 640-641.

3 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, (Jakarta : Balai


(3)

14

Yurisdiksi adalah ciri pokok dan sentral dari kedaulatan negara, karena merupakan pelaksanaan kewenangan yang dapat mengubah atau membuat atau

mengakhiri hubungan dan kewajiban hukum.4 Yurisdiksi dapat dicapai dengan

kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Di Indonesia, legislatif merupakan parlemen yang mengeluarkan undang - undang yang mengikat, eksekutif merupakan pemerintah yang memiliki yurisdiksi atau otoritas kewenangan untuk menjalankan undang - undang, dan yudikatif adalah kekuasaan kehakiman yang mempunyai wewenang untuk memutus dan mengadili. Yurisdiksi sangat lekat hubungannya dengan teritorial. Yurisdiksi akan sangat kuat keberadaannya terhadap segala sesuatu yang ada dalam wilayah suatu negara. Tetapi keterkaitan antara yurisdiksi dengan wilayah negara bukan sesuatu yang bersifat mutlak. Negara - negara tetap dapat memiliki yurisdiksi untuk menghukum pelanggaran yang terjadi di luar wilayah mereka contohnya.

Yurisdiksi negara dalam hukum internasional dibagi dalam dua ranah yaitu yurisdiksi perdata dan yurisdiksi pidana. Dalam yurisdiksi perdata, hukum nasional suatu negara lebih banyak dipakai untuk menyelesaikan sengketa dibandingkan dengan hukum internasional. Reaksi yang dihasilkan oleh negara - negara lain juga

jauh lebih sedikit.5 Kasus perdata dalam hukum internasional diselesaikan

menggunakan yurisdiksi negara yang telah disepakati oleh masing-masing pihak dalam perjanjian. Hampir tidak ada protes diplomatik atau diskusi antar negara menyangkut hukum privat. Beberapa penulis menyimpulkan bahwa hukum adat

4 Op cit. hal. 637.


(4)

15

internasional tidak menetapkan peraturan tertentu dalam hal pembatasan yurisdiksi

pengadilan dalam persoalan sipil.6

Ranah yurisdiksi yang kedua adalah yurisdiksi pidana. Sepanjang menyangkut ranah pidana maka yurisdiksi yang dimiliki oleh suatu negara dapat berupa bentuk-bentuk seperti ini :

1. Prinsip Teritorial.

Maksud dari prinsip ini adalah suatu negara mempunyai yurisdiksi penuh terhadap segala semua orang dan benda di dalam batas teritorialnya dan dalam semua perkara pidana dan perdata yang timbul di wilayah teritorialnya. Prinsip ini adalah prinsip yang paling penting dan mapan dalam membicarakan masalah yurisdiksi

dalam hukum Internasional.7 Seiring berjalannya waktu, maka

prinsip ini dikembangkan lagi menjadi dua prinsip yaitu prinsip teritorial subyektif dan prinsip teritorial obyektif. Prinsip teritorial subyektif adalah keadaan di mana negara dapat menuntut dan menghukum pelaku kejahatan yang melakukan tindak pidana di wilayah negaranya tetapi tindakan itu diselesaikan atau menimbulkan kerugian di negara lain. Prinsip teritorial obyektif artinya negara memiliki yurisdiksi terhadap seseorang yang melakukan kejahatan yang menimbulkan kerugian di negaranya

6Ibid.

7 DJ Harris, Cases and Materials on International Law,3rd Ed, (London: Sweet &Maxwell,1998), hal.


(5)

16

meskipun perbuatan itu dimulai dari negara lain, tetapi dengan syarat perbuatan tersebut dilaksanakan atau diselesaikan di dalam wilayah mereka dan menimbulkan akibat yang sangat berbahaya terhadap ketertiban sosial ekonomi di wilayah mereka.

2. Prinsip Personal (Nasionalitas)

Prinsip ini artinya setiap negara dapat mengadili warga negaranya terhadap kejahatan-kejahatan yang dilakukannya di mana pun

juga.8 Prinsip nasionalitas ini juga dibagi menjadi dua bagian

menurut prakteknya yaitu prinsip nasionalitas aktif dan prinsip nasionalitas pasif. Prinsip nasionalitas aktif artinya negara dapat melaksanakan yurisdiksi terhadap warga negaranya di manapun ia berada. Prinsip nasionalitas pasif artinya suatu negara dapat memiliki yurisdiksi untuk mengadili orang asing yang melakukan

tindak pidana terhadap warga negaranya di luar negeri.9

3. Prinsip Perlindungan

Prinsip ini artinya suatu negara dapat melaksanakan yurisdiksinya terhadap warga negara asing yang melakukan kejahatan di luar negeri yang di duga dapat mengancam kepentingan keamanan,

integritas, dan kemerdekaan negara yang bersangkutan.10 Prinsip ini

8 Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, edisi revisi, (Jakarta : Raja Grafindo

Persada, 2002),hal.162.

9Ibid. hal.163.


(6)

17

dibenarkan atas dasar perlindungan terhadap kepentingan negara yang sangat penting.

4. Prinsip Universal

Prinsip ini seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya berarti bahwa setiap negara mempunyai yurisdiksi untuk mengadili seseorang tanpa mengindahkan lokasi maupun warga negara orang tersebut dalam batasan bahwa tindak pidana tersebut mengusik kehidupan seluruh komunitas internasional.

2.2 Tinjauan Khusus Terhadap Yurisdiksi Universal

Prinsip Yurisdiksi universal artinya setiap negara memiliki yurisdiksi atas kejahatan-kejahatan tertentu dengan pertimbangan bahwa sifat kejahatan tersebut sama-sama mengusik keamanan dan kepentingan seluruh komunitas internasional. Pemikiran yang mendasari munculnya prinsip yurisdiksi universal adalah adanya anggapan apabila kejahatan tersebut telah menjadi kejahatan bagi seluruh umat

manusia (hostis humani generis).11 Kejahatan universal atau kejahatan bagi seluruh

umat manusia menjadi bagian dari yurisdiksi universal tidak terlepas dari hukum kebiasaan. Amnesty Internasional mendefinisikan yurisdiksi universal sebagai yurisdiksi di mana pengadilan nasional di mana pun dapat menginvestigasi, menuntut seseorang yang dituduh melakukan kejahatan internasional tanpa

11 Jahawir Thontowi dan Pranonto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Refika Aditama,


(7)

18

memerhatikan nasionalitas pelaku, korban, maupun hubungan lain dengan negara

di mana pengadilan tersebut berada.12 Beberapa ciri unik dari yurisdiksi universal

adalah :

1. Setiap negara berhak untuk melaksanakan yurisdiksi universal

dengan bertanggung jawab untuk tidak mencoba memberikan perlindungan di wilayah negaranya.

2. Setiap negara yang melaksanakan yurisdiksi ini tidak perlu

mempertimbangkan kewarganegaraan pelaku dan korban serta di mana kejahatan itu dilakukan. Satu-satunya yang harus dipastikan adalah pelaku kejahatan berada dalam wilayah teritorial negaranya.

3. Yurisdiksi universal hanya berlaku bagi kejahatan internasional.13

Prinsip universal pertama kali muncul pada abad ke-17 dalam kaitannya dengan pembajakan di laut lepas. Sehingga pembajakan di laut lepas dianggap sebagai tindak pidana awal di mana asas yurisdiksi universal muncul untuk melindungi kepentingan komunitas internasional. Perlu ditekankan di sini bahwa hanya pembajakan di laut lepas saja yang masuk dalam lingkup yurisdiksi universal. Dalam hukum positif pembajakan di laut lepas masuk dalam juris

gentium sesuai dengan pasal 105 UNCLOS (United Nations Convention on the Law

of the Sea) yang berbunyi "On the high seas, or in any other place outside the

12 Amnesty International, Universal Jurisdiction, Question and Answer, December, 2001,

sebagaimana dikutip oleh Ridarson Galingging "Universal Jurisdiction in absentia; Congo v Belgium, ICJ, Feb 2002, dalam Jurnal Hukum Internasional, Vol. I No.2, Agustus 2002, FH Universitas Padjadjaran, Bandung, Hal. 104.


(8)

19

jurisdiction of any State, every State may seize a pirate ship or aircraft, or a ship or aircraft taken by piracy and under the control of pirates, and arrest the persons and seize the property on board. The courts of the State which carried out the seizure may decide upon the penalties to be imposed, and may also determine the action to be taken with regard to the ships, aircraft or property, subject to the rights of third parties acting in good faith." Asas yurisdiksi universal dalam pembajakan di laut lepas bertujuan untuk mengisi kekosongan yurisdiksi jika ada kejahatan yang dilakukan di wilayah yang tidak bertuan atau wilayah yang ada di luar yurisdiksi teritorial negara-negara di dunia,sehingga pelaku kriminal yang melakukan kejahatan di wilayah tersebut tetap dapat dihukum sesuai dengan kejahatannya.

Setelah pembajakan di laut lepas menjadi lingkup yurisdiksi universal, dalam hukum internasional modern, asas yurisdiksi universal berkembang kegunaannya seiring dengan adanya kejahatan-kejahatan yang sangat serius dan mematikan seperti genosida, kejahatan perang, dan lain-lain. Dalam yurisdiksi universal modern, asas yurisdiksi universal dapat digunakan untuk mengadili pelaku-pelaku kejahatan internasional yang sangat serius sehingga tidak ada lagi tempat di mana pelaku kejahatan tersebut berlindung sehingga ia tidak dapat diadili dan dihukum

sesuai dengan kejahatannya.14 Asas yurisdiksi universal digunakan dalam

mengadili pelaku kejahatan internasional yang serius pada awalnya adalah saat pengadilan Israel mengadili Adolf Eichmann dan menjatuhkan putusan hukuman

14 Noora Arajarvi, Looking Back from Nowhere: Is There a Future for Universal Jurisdiction over


(9)

20

mati15 dan Pengadilan Nuremberg yang mengadili mantan pejabat-pejabat Nazi

yang melakukan tindakan genosida walaupun pengadilan Nuernberg dibentuk oleh negara-negara pemenang Perang Dunia yang kedua yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pelaku kejahatan, korban, dan lokasi kejadian tindak kejahatan tersebut. Berangkat dari dua peradilan tersebut maka asas yurisdiksi universal juga mencakup kejahatan internasional yang sangat serius (kejahatan perang), selain juga digunakan untuk pembajakan di laut lepas.

Saat ini dua tindak pidana yang jelas masuk dalam lingkup prinsip universal adalah pembajakan di laut lepas dan kejahatan perang. Sedangkan pembajakan di laut teritorial suatu negara tunduk kepada yurisdiksi teritorial negara yang

bersangkutan. Masuknya kejahatan perang sebagai delik jure gentium dikukuhkan

oleh Konvensi Jenewa 1949 yang berkenaan dengan tawanan perang, perlindungan penduduk sipil dan personel yang menderita sakit dan luka-luka. Ditambahkan juga dengan Protokol I dan Protokol II yang disahkan pada tahun 1977 oleh Konferensi Diplomatik di Jenewa tentang Penetapan dan Pengembangan Hukum Humaniter

Internasional yang berlaku dalam Konflik-Konflik bersenjata (Diplomatic

Conference at Geneva on the Reaffirmation and Development of International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflicts).16

Selain dua kejahatan yang telah disebutkan di atas, kejahatan-kejahatan internasional yang serius lainnya seperti contohnya kejahatan yang melawan

15Israel v Eichmann , Israel Supreme Court Judgment of 29 May 1962 in (1968) International Law

Reports 291.

16 J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional, terjemahan oleh Bambang Iriana Djajaatmadja, Sinar


(10)

21

kemanusiaan, kejahatan agresi, dan perdagangan manusia masih menjadi perdebatan di kalangan komunitas internasional. Meskipun sebenarnya saat ini prinsip yurisdiksi universal sedang didorong untuk dapat menindak pelaku-pelaku kejahatan internasional serius lainnya yang belum diadili oleh negara yang berwenang mengadili.

2.3 Permasalahan dalam Yurisdiksi Universal

Yurisdiksi universal dianggap sebagai yurisdiksi yang cukup kompleks karena yurisdiksi universal bersifat kontradiktif dengan yurisdiksi nasional suatu negara. Yurisdiksi nasional suatu negara memberikan ruang lingkup yang sangat jelas bagi suatu negara untuk mengadili pelaku kejahatan internasional. Yurisdiksi nasional negara seperti yurisdiksi teritorial, nasional, dan perlindungan memiliki batas-batas yang sangat jelas dan juga merupakan suatu tanda atas kedaulatan negara. Tidak ada negara yang mau jika kedaulatannya dilanggar. Secara kontradiktif, eksistensi yurisdiksi universal mengusik yurisdiksi nasional suatu negara. Yurisdiksi universal memiliki batasan-batasan tersendiri tidak berdasarkan nasionalitas atau kepentingan suatu negara. Yurisdiksi universal memberikan ruang bagi suatu negara untuk melangkahi yurisdiksi nasional negara lain dengan dalil melindungi kepentingan seluruh komunitas internasional. Sifat kontradiktif dari yurisdiksi universal terhadap yurisdiksi lainnya ini dapat menimbulkan masalah jika tidak dikaji secara baik dan benar pelaksanaannya.

Permasalahan selanjutnya yang akan muncul terhadap eksistensi yurisdiksi universal adalah ketika suatu negara telah menerapkan prinsip tersebut dalam undang-undang nasional negaranya. Akan terjadi benturan kepentingan antara


(11)

22

negara tersebut dengan negara lain yang tidak mengakui yurisdiksi tersebut dalam hukum positif negaranya. Di sinilah terdapat perbedaan yang sangat menonjol antara yurisdiksi universal dengan pembentukan peradilan internasional. Peradilan internasional seperti contohnya ICC dapat dibentuk dengan persetujuan dari beberapa negara. Dengan menyetujui dibentuknya peradilan internasional tersebut maka negara-negara yang menyetujuinya tunduk dalam perjanjian internasional dan tunduk kepada yurisdiksi perjanjian internasional tersebut. Hal yang sangat berbeda aplikasinya terhadap yurisdiksi universal. Suatu negara dengan kemauan dan itikad yang baik untuk melindungi kepentingan komunitas internasional dapat memasukkan yurisdiksi universal sebagai hukum positif dengan memasukkannya dalam undang-undang nasional negaranya. Situasi ini yang dapat menyebabkan konflik di kemudian hari karena belum tentu negara lain mengakui atau menyetujui penerapan yurisdiksi universal.


(1)

17

dibenarkan atas dasar perlindungan terhadap kepentingan negara yang sangat penting.

4. Prinsip Universal

Prinsip ini seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya berarti bahwa setiap negara mempunyai yurisdiksi untuk mengadili seseorang tanpa mengindahkan lokasi maupun warga negara orang tersebut dalam batasan bahwa tindak pidana tersebut mengusik kehidupan seluruh komunitas internasional.

2.2 Tinjauan Khusus Terhadap Yurisdiksi Universal

Prinsip Yurisdiksi universal artinya setiap negara memiliki yurisdiksi atas kejahatan-kejahatan tertentu dengan pertimbangan bahwa sifat kejahatan tersebut sama-sama mengusik keamanan dan kepentingan seluruh komunitas internasional. Pemikiran yang mendasari munculnya prinsip yurisdiksi universal adalah adanya anggapan apabila kejahatan tersebut telah menjadi kejahatan bagi seluruh umat manusia (hostis humani generis).11 Kejahatan universal atau kejahatan bagi seluruh umat manusia menjadi bagian dari yurisdiksi universal tidak terlepas dari hukum kebiasaan. Amnesty Internasional mendefinisikan yurisdiksi universal sebagai yurisdiksi di mana pengadilan nasional di mana pun dapat menginvestigasi, menuntut seseorang yang dituduh melakukan kejahatan internasional tanpa

11 Jahawir Thontowi dan Pranonto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Refika Aditama,


(2)

18

memerhatikan nasionalitas pelaku, korban, maupun hubungan lain dengan negara di mana pengadilan tersebut berada.12 Beberapa ciri unik dari yurisdiksi universal adalah :

1. Setiap negara berhak untuk melaksanakan yurisdiksi universal dengan bertanggung jawab untuk tidak mencoba memberikan perlindungan di wilayah negaranya.

2. Setiap negara yang melaksanakan yurisdiksi ini tidak perlu mempertimbangkan kewarganegaraan pelaku dan korban serta di mana kejahatan itu dilakukan. Satu-satunya yang harus dipastikan adalah pelaku kejahatan berada dalam wilayah teritorial negaranya. 3. Yurisdiksi universal hanya berlaku bagi kejahatan internasional.13

Prinsip universal pertama kali muncul pada abad ke-17 dalam kaitannya dengan pembajakan di laut lepas. Sehingga pembajakan di laut lepas dianggap sebagai tindak pidana awal di mana asas yurisdiksi universal muncul untuk melindungi kepentingan komunitas internasional. Perlu ditekankan di sini bahwa hanya pembajakan di laut lepas saja yang masuk dalam lingkup yurisdiksi universal. Dalam hukum positif pembajakan di laut lepas masuk dalam juris gentium sesuai dengan pasal 105 UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) yang berbunyi "On the high seas, or in any other place outside the

12 Amnesty International, Universal Jurisdiction, Question and Answer, December, 2001,

sebagaimana dikutip oleh Ridarson Galingging "Universal Jurisdiction in absentia; Congo v Belgium, ICJ, Feb 2002, dalam Jurnal Hukum Internasional, Vol. I No.2, Agustus 2002, FH Universitas Padjadjaran, Bandung, Hal. 104.


(3)

19

jurisdiction of any State, every State may seize a pirate ship or aircraft, or a ship or aircraft taken by piracy and under the control of pirates, and arrest the persons and seize the property on board. The courts of the State which carried out the seizure may decide upon the penalties to be imposed, and may also determine the action to be taken with regard to the ships, aircraft or property, subject to the rights of third parties acting in good faith." Asas yurisdiksi universal dalam pembajakan di laut lepas bertujuan untuk mengisi kekosongan yurisdiksi jika ada kejahatan yang dilakukan di wilayah yang tidak bertuan atau wilayah yang ada di luar yurisdiksi teritorial negara-negara di dunia,sehingga pelaku kriminal yang melakukan kejahatan di wilayah tersebut tetap dapat dihukum sesuai dengan kejahatannya.

Setelah pembajakan di laut lepas menjadi lingkup yurisdiksi universal, dalam hukum internasional modern, asas yurisdiksi universal berkembang kegunaannya seiring dengan adanya kejahatan-kejahatan yang sangat serius dan mematikan seperti genosida, kejahatan perang, dan lain-lain. Dalam yurisdiksi universal modern, asas yurisdiksi universal dapat digunakan untuk mengadili pelaku-pelaku kejahatan internasional yang sangat serius sehingga tidak ada lagi tempat di mana pelaku kejahatan tersebut berlindung sehingga ia tidak dapat diadili dan dihukum sesuai dengan kejahatannya.14 Asas yurisdiksi universal digunakan dalam mengadili pelaku kejahatan internasional yang serius pada awalnya adalah saat pengadilan Israel mengadili Adolf Eichmann dan menjatuhkan putusan hukuman

14 Noora Arajarvi, Looking Back from Nowhere: Is There a Future for Universal Jurisdiction over


(4)

20

mati15 dan Pengadilan Nuremberg yang mengadili mantan pejabat-pejabat Nazi yang melakukan tindakan genosida walaupun pengadilan Nuernberg dibentuk oleh negara-negara pemenang Perang Dunia yang kedua yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pelaku kejahatan, korban, dan lokasi kejadian tindak kejahatan tersebut. Berangkat dari dua peradilan tersebut maka asas yurisdiksi universal juga mencakup kejahatan internasional yang sangat serius (kejahatan perang), selain juga digunakan untuk pembajakan di laut lepas.

Saat ini dua tindak pidana yang jelas masuk dalam lingkup prinsip universal adalah pembajakan di laut lepas dan kejahatan perang. Sedangkan pembajakan di laut teritorial suatu negara tunduk kepada yurisdiksi teritorial negara yang bersangkutan. Masuknya kejahatan perang sebagai delik jure gentium dikukuhkan oleh Konvensi Jenewa 1949 yang berkenaan dengan tawanan perang, perlindungan penduduk sipil dan personel yang menderita sakit dan luka-luka. Ditambahkan juga dengan Protokol I dan Protokol II yang disahkan pada tahun 1977 oleh Konferensi Diplomatik di Jenewa tentang Penetapan dan Pengembangan Hukum Humaniter Internasional yang berlaku dalam Konflik-Konflik bersenjata (Diplomatic Conference at Geneva on the Reaffirmation and Development of International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflicts).16

Selain dua kejahatan yang telah disebutkan di atas, kejahatan-kejahatan internasional yang serius lainnya seperti contohnya kejahatan yang melawan

15Israel v Eichmann , Israel Supreme Court Judgment of 29 May 1962 in (1968) International Law

Reports 291.

16 J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional, terjemahan oleh Bambang Iriana Djajaatmadja, Sinar


(5)

21

kemanusiaan, kejahatan agresi, dan perdagangan manusia masih menjadi perdebatan di kalangan komunitas internasional. Meskipun sebenarnya saat ini prinsip yurisdiksi universal sedang didorong untuk dapat menindak pelaku-pelaku kejahatan internasional serius lainnya yang belum diadili oleh negara yang berwenang mengadili.

2.3 Permasalahan dalam Yurisdiksi Universal

Yurisdiksi universal dianggap sebagai yurisdiksi yang cukup kompleks karena yurisdiksi universal bersifat kontradiktif dengan yurisdiksi nasional suatu negara. Yurisdiksi nasional suatu negara memberikan ruang lingkup yang sangat jelas bagi suatu negara untuk mengadili pelaku kejahatan internasional. Yurisdiksi nasional negara seperti yurisdiksi teritorial, nasional, dan perlindungan memiliki batas-batas yang sangat jelas dan juga merupakan suatu tanda atas kedaulatan negara. Tidak ada negara yang mau jika kedaulatannya dilanggar. Secara kontradiktif, eksistensi yurisdiksi universal mengusik yurisdiksi nasional suatu negara. Yurisdiksi universal memiliki batasan-batasan tersendiri tidak berdasarkan nasionalitas atau kepentingan suatu negara. Yurisdiksi universal memberikan ruang bagi suatu negara untuk melangkahi yurisdiksi nasional negara lain dengan dalil melindungi kepentingan seluruh komunitas internasional. Sifat kontradiktif dari yurisdiksi universal terhadap yurisdiksi lainnya ini dapat menimbulkan masalah jika tidak dikaji secara baik dan benar pelaksanaannya.

Permasalahan selanjutnya yang akan muncul terhadap eksistensi yurisdiksi universal adalah ketika suatu negara telah menerapkan prinsip tersebut dalam undang-undang nasional negaranya. Akan terjadi benturan kepentingan antara


(6)

22

negara tersebut dengan negara lain yang tidak mengakui yurisdiksi tersebut dalam hukum positif negaranya. Di sinilah terdapat perbedaan yang sangat menonjol antara yurisdiksi universal dengan pembentukan peradilan internasional. Peradilan internasional seperti contohnya ICC dapat dibentuk dengan persetujuan dari beberapa negara. Dengan menyetujui dibentuknya peradilan internasional tersebut maka negara-negara yang menyetujuinya tunduk dalam perjanjian internasional dan tunduk kepada yurisdiksi perjanjian internasional tersebut. Hal yang sangat berbeda aplikasinya terhadap yurisdiksi universal. Suatu negara dengan kemauan dan itikad yang baik untuk melindungi kepentingan komunitas internasional dapat memasukkan yurisdiksi universal sebagai hukum positif dengan memasukkannya dalam undang-undang nasional negaranya. Situasi ini yang dapat menyebabkan konflik di kemudian hari karena belum tentu negara lain mengakui atau menyetujui penerapan yurisdiksi universal.