RUMAH ULU (LAMBAHAN HULU) PADA MASYARAKAT ADAT KOMERING DI DESA BETUNG KECAMATAN SEMENDAWAI BARAT KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR SUMATERA SELATAN

(1)

RUMAH ULU (LAMBAHAN HULU) PADA MASYARAKAT ADAT KOMERING DI DESA BETUNG KECAMATAN

SEMENDAWAI BARAT KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR

SUMATERA SELATAN

Oleh : Joko Saganta

Rumah Ulu sebagai rumah tradisional yang terdapat dalam kehidupan masyarakat adat Komering. Rumah Ulu merupakan sebuah bangunan dengan nilai arsitektur yang tinggi. Rumah Ulu mempunyai ruang yang terdapat di dalam nya yang memiliki fungsi masing-masing pada tiap ruangan tersebut dan Rumah Ulu juga banyak mengandung nilai-nilai budaya yang banyak menggambarkan kehidupan masyarakat adat Komering. Masalah ini muncul karena kurangnya pemahaman tentang fungsi lain dari Rumah Ulu serta untuk menjaga dan melestarikan Rumah Ulu yang sekarang sudah jarang ditemukan di daerah Komering.

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apa sajakah fungsi ruang pada Rumah Ulu (lambahan hulu) masyarakat adat komering di Desa Betung Kecamatan Semendawai Barat Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur Sumatera Selatan? Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui fungsi ruang pada Rumah Ulu (lambahan hulu) masyarakat adat komering di Desa Betung Kecamatan Semendawai Barat Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur Sumatera Selatan. Metode yang digunakan adalah metode fungsional. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik wawancara, observasi, teknik dokumentasi, dan teknik kepustakaan. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif.

Hasil dari penelitian ini adalah Rumah Ulu merupakan hasil dari kebudayaan dari masyarakat adat Komering mempunyai fungsi dari tiap ruangan garang, haluan, kakudan, ambin, pangking dan pawon yang memiliki fungsi, rumah Ulu dalam menjaga nilai-nilai budayanya yakni pada ruangan yang terdapat di dalamnya garang, haluan, kakudan, ambin, pangking dan pawon memiliki nilai budaya nilai religius/keagamaan, nilai kesopanan, nilai kegotong-royongan dan nilai estetika Serta memiliki fungsi tambahan yakni fungsi ruang pada pelaksanaan upacara-upacara adat seperti upacara-upacara kelahiran, khitanan, perkawinan, dan kematian., rumah Ulu dibangun dengan tujuan agar warisan budaya yang sudah ada tersebut tetap dipertahankan dan menjaga kerukunan antar keluarga maupun masyarakat adat Komering dengan cara selalu menerapkan tradisi masyarakat adat Komering.


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Penulis dilahirkan di Kota Bumi, pada tanggal 21 Maret 1991. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara pasangan Bapak Cik Aman dan Ibu Yayuk Zulaiha.

Penulis telah menyelesaikan Pendidikan Taman Kanak-Kanak di TK Satria Bandar Lampung pada tahun 1997, Pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri 1 Sukarame Bandar Lampung pada tahun 2003, Pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 24 Bandar Lampung pada tahun 2006, dan Pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA Gajah Mada Bandar Lampung pada tahun 2009. Pada tahun 2009 penulis diterima sebagai mahasiswa di Universitas Lampung, S1 Pendidikan Sejarah. Pada tahun 2011 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) dan melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di DesaTegal Ombo Kecamatan Way Bungur Kabupaten Lampung Timur pada tahun 2012, serta penulis juga melaksanakan Program Pengalaman Lapangan (PPL) di SD Negeri 1 Tegal Ombo pada tahun 2012.


(7)

MOTO

(

́

)

(

̀

)

(

˿

)

Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, maka apabila kamu

telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh

(urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap


(8)

Terucap syukur kehadirat Allah SWT, kupersembahkan

karya ini

sebagai tanda cinta, kasih sayang dan baktiku kepada :

Papahku Cik Aman, Mamahku Yayuk Zulaiha,

Adik-adikku Andian Yonada, Novisa Mona Ayu, dan

Kiki Janatian

yang telah menasehatiku serta mendukungku

dalam menggapai cita-cita dan

yang telah menjadi sumber semangatku

Para pendidik dan sahabat-sahabatku yang memberikan

semangat untukku


(9)

SANWACANA

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul

“Rumah Ulu (lambahan hulu) Pada Masyarakat Adat Komering di Desa Betung Kecamatan Semendawai Barat Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur Sumatera Selatan”. Penulisan skripsi ini sebagai syarat untuk menyelesaikan studi tingkat sarjana pendidikan pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lampung.

Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan baik secara langsung maupun tidak langsung dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini pula penulis mengucapkan terima kasih setulus-tulusnya kepada:

1. Bapak Dr. H. Bujang Rahman, M.Si., dekan FKIP Universitas Lampung.

2. Bapak Drs. H. M Thoha B.S.Jaya, M.Si., Pembantu Dekan I Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung.

3. Bapak Drs. Arwin Achmad, M.Si., Pembantu Dekan II Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung.

4. Bapak Drs. H. Iskandar Syah, M.H., Pembantu Dekan III Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung.


(10)

menyelesaikan skripsi ini.

6. Bapak Drs. Maskun, M.H., Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah yang telah memberikan bimbingan, sumbangan pikiran, kritik, dan saran selama perkuliahan maupun selama penyusunan skripsi.

7. Bapak Drs. H. Ali Imron, M. Hum., pembimbing akademik dan pembimbing utama yang telah sabar membimbing dan memberi masukan serta saran yang sangat bermanfaat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

8. Bapak Suparman Arif, S.Pd., M.Pd., pembimbing pembantu yang telah membimbing dan memberikan saran kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.

9. Bapak Drs. Syaiful M, M.Si., pembahas yang telah membantu penulis dalam memberikan saran dalam menyelesaikan skripsi dengan baik.

10. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah, Bapak Drs. Maskun, M.H., Drs. Iskandar Syah, M.H., Drs. Ali Imron, M.Hum., Drs. Syaiful.M,M.Si., Drs. Wakidi, M.Hum., Dr. R.M. Sinaga, M.Hum., Drs. Tontowi, M.Si., Hendry Susanto, S.S, M.Hum., M.Basri, S.Pd, M.Pd., Suparman Arif, S.Pd., M.Pd., Y. Sri Ekwandari, S.Pd, M.Hum., Cheri Saputra, S.Pd, M.Pd. serta para pendidik di Unila pada umumnya yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang tak terhingga kepada peneliti.


(11)

dalam penyelesaian skripsi ini.

12. Dina Yusrina yang selalu memberikan semangat dan motivasi yang tiada henti dalam penyelesaian skripsi serta mendampingiku dalam suka dan duka. 13. Teman-teman angkatan 2009 kelas ganjil maupun genap yang telah banyak

membantu.

14. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima kasih.

Semoga dengan bantuan dan dukungan yang diberikan mendapat balasan pahala di sisi Allah SWT dan semoga skripsi ini bermanfaat.

Bandar Lampung, Juni 2014 Penulis,


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Analisis Masalah ... 8

1. Identifikasi Masalah ... 8

2. Batasan Masalah... 8

3. Rumusan Penelitian ... 8

C. Tujuan, Kegunaan, dan Ruang Lingkup Penelitian ... 9

1. Tujuan Penelitian ... 9

2. Kegunaan Penelitian... 9

3. Ruang Lingkup Penelitian ... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR A. Tinjauan Pustaka ... 12

1. Konsep Fungsi ... 12

2. Konsep Rumah Tradisional ... 15

3. Konsep Rumah Ulu ... 19

4. Konsep Masyarakat Adat Komering ... 27

5. Ciri Masyarakat Suku Komering... 28

B. Penelitian yang Relevan ... 33

C. Kerangka Pikir ... 34

D. Paradigma ... 36

III. METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian ... 39

B. Variabel dalam Penelitian... 42


(13)

E. Teknik Pengumpulan Data ... 45

1.Wawancara ... 45

2.Dokumentasi ... 46

3.Observasi ... 46

4.Kepustakaan ... 47

F. Teknik Pengolahan Data ... 47

G. Teknik Analisis Data ... 48

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Gambaran Umum Daerah Penelitian 1.1Sejarah Singkat Desa Betung ... 51

1.2Letak Geografis Desa Betung ... 53

1.3Keadaan Penduduk Desa Betung ... 54

1.3.1 Keadaan Penduduk Menurut Agama ... 54

1.3.2 Keadaan Penduduk Menurut Mata Pencaharian ... 55

1.3.3 Keadaan Penduduk Berdasarkan Pendidikan ... 56

1.4 Gambaran Masyarakat Adat Komering di Desa Betung ... 57

2. Sejarah Berdirinya Rumah Ulu ... 58

2.1Asal Usul ... 58

2.2Tahapan Pembangunan Rumah Ulu ... 60

2.2.1 Persiapan ... 60

2.2.2 Tradisi Pembangunan Rumah Ulu ... 61

2.2.4 Cara Mencari Bahan Bangunan Rumah Ulu ... 63

a. Mengumpulkan Bahan ... 63

b. Bahan dan Tenaga ... 64

2.2.4 Bagian-bagian Ruangan Rumah Ulu ... 65

a. Bagian Atas Rumah Ulu ... 66

b. Bagian Tengah Rumah Ulu ... 67

c. Bagian Bawah Rumah Ulu ... 68

2.2.5 Ragam Hias ... 71

3. Fungsi Ruang Pada Rumah Ulu Masyarakat Adat Komering ... 75

3.1 Fungsi Ruang Garang ... 78

3.2 Fungsi Ruang Haluan ... 81

3.3 Fungsi Ruang Kakudan ... 84

3.4 Fungsi Ruang Ambin ... 89

3.5 Fungsi Ruang Pangking ... 92

3.6 Fungsi Ruang Pawon ... 94

4. Fungsi Lain Rumah Ulu Dalam Menjaga Nilai–Nilai Budaya ... 96

4.1 Nilai-Nilai ... 98

4.1.1 Nilai Budaya ... 98


(14)

4.1.4 Nilai Kesopanan ... 103

4.1.5 Nilai Kegotong-Royongan ... 104

4.1.6 Nilai Estetika ... 106

4.2 Upacara-Upacara Adat ... 107

4.2.1 Pelaksanaan Upacara Kelahiran ... 107

4.2.2 Pelaksanaan Upacara Khitanan ... 109

4.2.3 Pelaksanaan Upacara Perkawinan ... 110

4.2.4 Pelaksanaan Upacara Kematian ... 112

B. PEMBAHASAN 1. Fungsi Ruang Pada Rumah Ulu Masyarakat Adat Komering ... 114

2. Fungsi Lain Rumah Ulu Dalam Menjaga Nilai-Nilai Budaya ... 120

V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 129

B. Saran ... 130 DAFTAR PUSTAKA


(15)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Batas Wilayah Desa Betung Kecamatan Semendawai Barat ... 53 2. Jumlah Penduduk Desa Betung Kecamatan Semendawai Barat Tahun

2011 ... 54 3. Keadaan Penduduk Menurut Agama di Desa Betung Kecamatan

Semendawai Barat Tahun 2011 ... 55 1. Jenis Pekerjaan Masyarakat Desa Betung ... 55 2. Tingkat Pendidikan Masayarakat Desa Betung ... 56 3. Jumlah Masyarakat Adat Komering Menurut Umur dan Jenis Kelamin


(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Konsep Rumah Ulu... 26

2. Bentuk Struktur Atap Rumah Ulu ... 66

3. Ornamen Helaian Daun Yang Terdapat di dalam Rumah Ulu ... 72

4. Ornamen Yang Terdapat Pada Bagian Luar Rumah Ulu ... 73

5. Ornamen Yang Terdapat Pada Kitau ... 74

6. Konsep Ruangan Garang ... 81

7. Konsep Ruangan Haluan ... 84

8. Lantai Rumah Ulu... 87

9. Konsep Ruangan Kakudan ... 88

10. Konsep Ruangan Ambin ... 92

11. Konsep Ruangan Pangking... 94

12. Konsep Ruangan Pawon ... 96

13. Konstruksi Rumah Ulu Tampak Depan... 139

14. Konstruksi Rumah Ulu Tampak Samping ... 140

15. Pola Ruangan Rumah Ulu ... 141

16. Bentuk Struktur Tiang/Balok Pada Rumah Ulu ... 142

17. Bentuk Struktur Atap Pada Rumah Ulu... 143

18. Rumah Ulu Adat Komering di Desa Betung Kecamatan Semendawai Barat... 144

19. Rumah Ulu di Desa Betung Kecamatan Semendawai Barat ... 145


(17)

21. Rumah Ulu Tampak dari Samping Kiri ... 147

22. Rumah Ulu Tampak dari Samping Kanan ... 147

23. Rumah Ulu Tampak dari Depan ... 148

24. Rumah Ulu Tampak dari Depan ... 148

25. Rumah Ulu pada Bagian Atas atau Atap yang Berbentuk Paradox (Tanduk Kerbau)... 149

26. Rumah Ulu Masyarakat Adat Komering di Desa Betung ... 149

27. Rumah Ulu yang Berada di Desa Betung ... 150

28. Rumah Ulu Pada Bagian Pintu di Desa Betung ... 150

29. Rumah Ulu Pada Bagian Pintu ... 151

30. Rumah Ulu Pada Ruangan Haluan dan Kakudan ... 151

31. Ruangan Haluan dan Kakudan Pada Rumah Ulu di Desa Betung ... 152

32. Rumah Ulu Pada Ruangan Ambin dan Pangking... 152

33. Ruangan Pawon di dalam Rumah Ulu... 153

34. Rumah Ulu Pada Masyarakat Adat Komering di Desa Betung... 153

35. Pelapon Rumah Ulu Masyarakat Adat Komering di Desa Betung... 154

36. Jendela yang Terdapat Pada Rumah Ulu Masyarakat Adat Komering di Desa Betung ... 154

37. Rumah Ulu Pada Saat Upacara Adat Kelahiran ... 155


(18)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki berbagai macam suku bangsa yang kaya akan kebudayaan dan adat istiadat yang berbeda satu sama lain dikarenakan Indonesia merupakan suatu negara kaya akan kebudayaan. Dengan adanya keragaman dan corak tersebut, maka Koentjaraningrat dalam buku Elly M Setiadi, Kama Abdul Hakam, dan Ridwan Effendi (2005:29) membagi 3 wujud kebudayaan, yaitu:

1. Wujud sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dan peraturan.

2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat.

3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Masyarakat di pulau Sumatra termasuk bagian dari rumpun Suku Bangsa Melayu,. Dilihat dari keragaman bahasa daerah yang ada (tiap-tiap suku berbeda bahasa), boleh dikatakan bahasa daerah di Sumatra Selatan merupakan salah satu keragaman bahasa daerah yang ada di Indonesia. Suku Komering, sebagai salah-satu suku atau masyarakat yang ada di Sumatra Selatan, di samping suku-suku


(19)

yang lain, seperti: Palembang, Pasemah, Musi, Ogan, Lematang, Enim, dan Sekayu, bila ditinjau dari bahasa daerah yang digunakan.

Komering merupakan salah-satu suku yang ada di Sumatra Selatan dengan wilayah budaya yang berada di sepanjang aliran sungai Komering, bahkan penyebarannya hingga ke daerah Lampung. Selain itu suku Komering terbagi atas beberapa marga, di antaranya: marga Paku Sengkunyit, marga Sosoh Buay Rayap, marga Buay Pemuka Peliyung, marga Buay Madang, dan marga Semendawai.

Dalam hal ini wilayah budaya Komering merupakan wilayah yang paling luas dibandingkan dengan wilayah budaya dari suku-suku lainnya di Sumatra Selatan. Kemudian di wilayah marga Semendawai di Kabupaten OKU Timur, marga ini pun terbagi lagi menjadi tiga wilayah, yaitu: Suku I Semendawai Barat (Betung, Adumanis, Kangkung, Tanjung Emas, Tanjung Kukuh, Suka Negeri, Sri Tanjung), Suku II Semendawai Timur (Tulung Harapan, Tulung Goni, Burnai Mulya, Karang Anyar, Karang Melati, Karang menjangan, Karang Mulya, Kota Tanah, Harapan Jaya, Nirwana, Bawang Tikar, Melati Jaya, Beringin Jaya, Mulya Jaya, Wana sari, Kota Mulya), dan Suku III (Sriwangi, Lebak Kajang, Taman Agung, Suka Mulya, Taraman, Margo Dadi, Karang Endah, Jaya Mulya, Karang Nangko, Cahaya Negeri, Trimo Harjo, Gunung Sugih, Margo Rejo, Kerujon, Sugih Waras, Sido Waloyo).

Suku Komering memiliki banyak kebudayaan yang beragam, keanekaragaman wujud dari kebudayaan itu telah melahirkan berbagai bentuk, jenis, corak seni budaya yang merupakan cermin dari identitas tertentu, yang salah satunya adalah Rumah Uluyang merupakan wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya


(20)

manusia. Salah satu tanda kebudayaan suku Komering pada masa lalu hingga kini masih tetap terjaga adalah rumah. Sejak pembangunan anjungan tiap-tiap daerah di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), replika Rumah Ulu Komering ini sudah ada dan sudah menjadi salah satu bangunan tradisi yang melengkapi anjungan provinsi Sumatra Selatan (rumah Limas, rumah Ulu, dan rumah Rakit) di TMII. Hal ini membuktikan bahwa pemerintah daerah maupun pemerintah pusat menjaga dan melestarikan rumah Ulu yang menjadi salah satu rumah tradisional adat Komering. Pada masyarakat suku Komering khususnya marga semendawai, memiliki dua jenis rumah tinggal yang bersifat tradisional, yaitu Rumah Uludan Rumah Gudang (Erwan Suryanegara, 2005:halaman 2).

Pembangunan yang dilakukan secara terus-menerus memiliki pengaruh terhadap lingkungan permukiman setempat dan secara tidak langsung pada daerah di sekitarnya atau daerah di bawahnya. Secara umum, pembangunan yang dilakukan di daerah rawa-rawa adalah dengan melakukan penimbunan rawa dan hanya sebagian kecil yang melaksanakannya dengan menggunakan tiang atau kolom. Selanjutnya, pada daerah yang rawan bencana seperti banjir, tanah longsor dan gempabumi, pembangunan dilakukan dengan cara yang umum dilakukan pada daerah yang relatif aman dari bencana. Seperti halnya dengan wilayah-wilayah di Indonesia salah satunya adalah di Desa Betung Kabupaten OKU Timur Sumatera Selatan yang mempunyai beragam kekayaan sejarah budaya yang sangat menakjubkan. Budaya yang menunjukkan ekspresi masyarakat dalam beradaptasi dengan lingkungan yang disesuaikan dengan kebutuhan hidup. Salah satu peninggalan budaya tersebut tergolong dalam bidang arsitektur ialah bangunan rumah tradisional yang lebih dikenal sebagai rumah Ulu dan rumah Gudang.


(21)

Kondisi geografis kawasan juga memiliki pengaruh terhadap bentuk rumah tradisional yang meliputi aspek arsitektur, konstruksi, bahan bangunan dan filosofi. Walaupun beberapa tipe rumah tradisional memiliki bentuk rumah panggung, tetapi masing-masing tipe rumah panggung memiliki perbedaan sistem struktur yang adaptif terhadap lingkungan di sekitarnya.

Rumah Ulu dan Rumah Gudang pada prinsipnya sama, tetapi bila dilihat dari bangunannya Rumah Gudang pada umumnya sudah mengalami beberapa perubahan, seperti RumahUlupada umumnya, terutama untuk arah hadap Rumah Ulusepertihulu(utara),liba(selatan),darak(barat), danlaok(timur) berdasarkan filosofi yang terdapat pada Rumah Ulu. Bentuk dan besar rumah biasanya tergantung kepada siapa pemilik rumah. Rumah yang digunakan sebagai tempat tinggal berbeda dengan rumah yang digunakan sebagai tumpangan (penginapan). Pemilihan bahan pada rumah Ulu sangat diperhatikan. Hal ini dikarenakan agar rumah tersebut diharapkan dapat dibangun secara maksimal dan akan bertahan dalam waktu yang lama. Pemilihan bahan umumnya merupakan warisan secara turun temurun. Dalam Ari Siswanto (2009: halaman 4) pemilihan tersebut didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu: percobaan secara terus-menerus atau berulang-ulang sejak nenek moyang, bentuk bahan atau kayu yang sesuai dengan kebutuhaan,Foklore(cerita rakyat) secara turun-temurun.

Pemilihan kayu untuk tiang dipiih kayu yang terkuat yaitu kayu gehunggang. Kayu gehunggang dipilih karena bentuknya besar dan kuat, selain itu tahan panas dan air. Sehingga, apabila tergenang air relatif lama, kayu gehunggang tidak lapuk atau tetap bertahan. Selain kayu gehunggang, adapula jenis kayu yang digunakan sebagai bahan bangunan, yaitu kayu petaling, kayu medang tahanan, kayu medang


(22)

sela hitam dan kayu tampahegis. Namun, sekarang pemakaian bahan-bahan pembangunan tersebut pada masa sekarang sudah mengalami perubahan karena sulit didapatkan.

Keberadaan Rumah Gudang Komering selain Rumah Ulu pada saat ini sudah lebih akhir atau lebih muda jika dibandingkan dengan RumahUlu, sehingga pada Rumah Gudang Komering sudah mengenal dan menerapkan kombinasi antara bahan kayu dengan paku, kaca, cat, porselen, marmer, genteng, dan semen. Terutama tangga rumah-rumah Gudang yang akhir – akhir ini sudah terbuat dari semen berlapis keramik yang bentuk nya beraneka ragam, pada bagian pintu dan jendelanya sudah dikombinasikan dengan kaca, walaupun hanya sebagian saja yang diubah bentuknya.

Rumah Ulu merupakan rumah tradisional masyarakat Ogan Komering Ulu. Pembangunan rumah Ulu dilakukan secara gotong-royong oleh masyarakat setempat. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat hidup rukun, tentram dan saling membantu satu sama lain karena masyarakat telah memiliki nilai sosial yang tinggi. Selain itu rumah Ulu juga memiliki ciri yang sangat khas, kekhasan RumahUlu sangat berbeda sekali dengan rumah-rumah adat di Sumatera Selatan. Perbedaan yang sangat mendasar sekali adalah bentuk atap yang menyerupai tanduk kerbau. Rumah Ulu memiliki struktur bangunan, terbagi atas tiga bagian, yaitu: rumah bagian depan (garang), rumah bagian tengah atau utama (ambin, pangking, haluan, dan kakudan), serta rumah bagian belakang (pawon). Bagi masyarakat Komering, rumah bagian tengah atau utama (ambin, pangking, haluan, dan kakudan) bersifat sakral, sedangkan garang atau pawon bersifat


(23)

profan sehingga pada pintu depan (rawang balak) dari garang ke haluan, dan juga pada pintu belakang (rawang pawon) dari kakudan ke pawon, konstruksi kusen pintunya dibuat tinggi atau ada langkahan sehingga menjadi meningkat.

Salah satu wilayah di Ogan Komering Ulu yang masih memiliki rumah Ulu adalah Desa Betung Kecamatan Semendawai Barat. Secara geologi, Desa Betung ini merupakan desa yang berada di daerah pinggiran sungai/bantaran sungai. Sebagian besar daerah Desa Betung ini merupakan daerah yang tergenang oleh air seperti rawa-rawa. Hanya beberapa tempat saja yang merupakan daerah yang tidak tergenang oleh air. Genangan dari air ini merupakan luapan dari air sungai komering. Desa Betung yang terletak di pinggiran sungai Komering ini memiliki kekhasan seperti halnya perkampungan di tepian sungai, keseluruhan rumah berkontruksi panggung. Sebagian, tetap berbentuk panggung, menggunakan bahan kayu gahunggang atau sebagian sudah menggunakan semen. Pada masyarakat adat Komering di Desa Betung ini masih sangat melestarikan keberadaan Rumah Ulu, serta fungsinya dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Meskipun banyak juga fungsi-fungsi rumah tersebut pada masa lalu tidak dijalankan lagi dalam kehidupan sekarang, seiring berkembangnya zaman.

Rumah Ulu yang berada di Desa Betung Kecamatan Semendawai Barat masih banyak ditemukan disana. Akan tetapi, yang menempati rumah Ulu ini hanya sebagian masyarakat adat Komering saja, karena sebagian masyarakat lainnya sudah mengubah rumah Ulu menjadi rumah gudang yang sudah lebih modern. Rumah Ulu merupakan rumah tradisional masyarakt adat Komering sedangkan rumah gudang merupakan rumah tinggal masyarakat adat Komering.


(24)

Rumah Ulu yang merupakan rumah tradisional yang terdapat dalam kehidupan masyarakat adat Komering merupakan gambaran kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Masyarakat adat Komering di Desa Betung Kecamatan Semendawai Barat Kabupaten OKU Timur Sumatera Selatan walaupun hanya sebagian yang masih menjaga keberadaan rumah Ulu yang masih sangat melestarikan salah satu kebudayaan Komering yaitu Rumah Ulu dari segi keberadaannya serta fungsinya dalam menjalani kehidupan sehari-hari, meskipun ada juga yang menggunakan rumah adat tipe Gudang dan fungsi-fungsi dari rumah tersebut yang pada masa lalu tidak dijalankan dalam kehidupan sekarang. Serta, kurangnya kesadaran mereka tentang fungsi rumah Ulu masyarakat adat Komering

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis tertarik untuk

melakukan penelitian lebih mendalam tentang “Kurangnya Pemahaman Fungsi

Ruang Pada Rumah Ulu (Lambahan Ulu) Masyarakat Adat Komering di Desa

Betung Kecamatan Semendawai Barat Kabupaten OKU Timur Sumatera Selatan”.

B. Analisis Masalah

1. Identifikasi masalah

Berdasarkan dari uraian latar belakang di atas maka, permasalahan yang dapat di identifikasi oleh penulis adalah sebagai berikut:

1. Konstruksi atau Arsitektur RumahUlupada masyarakat adat komering 2. Komposisi bangunan RumahUlupada masyarakat adat komering 3. Fungsi Ruang pada RumahUlumasyarakat adat komering.


(25)

2. Batasan Masalah

Agar permasalahan dalam penelitian ini tidak terlalu luas, maka penulis

membatasi permasalahan yang akan dibahas yaitu “Fungsi Ruang Pada Rumah

Ulu (lambahan hulu) masyarakat adat komering di Desa Betung Kecamatan

Semendawai Barat Kabupaten Oku Timur Sumatera Selatan”.

3. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar pembatasan masalah tersebut maka, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Apa Sajakah fungsi ruang pada RumahUlu (lambahan hulu) masyarakat adat komering di Desa Betung Kecamatan Semendawai Barat Kabupaten Oku Timur Sumatera Selatan?

C. Tujuan, Kegunaan dan Ruang Lingkup

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui fungsi ruang pada Rumah Ulu (lambahan hulu) masyarakat adat komering di Desa Betung Kecamatan Semendawai Barat Kabupaten Oku Timur Sumatera Selatan.


(26)

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini antara lain:

1. Untuk menambah wawasan penulis tentang Rumah Ulu(lambahan hulu) pada masyarakat adat komering di Desa Betung Kecamatan Semendawai Barat Kabupaten Oku Timur Sumatera Selatan.

2. Untuk memberikan pengetahuan dan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu pengetahuan tentang fungsi ruang pada Rumah Ulu (lambahan hulu) sebagai rumah adat komering.

3. Untuk melestarikan kebudayaan Komering yang pada saat ini sudah jarang yang mengetahui tentang fungsi ruang pada Rumah Ulu (lambahan hulu) sebagai rumah adat komering.

3. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini dibagi menjadi beberapa bagian yaitu:

1. Objek Penelitian

Objek penelitian adalah fungsi ruang pada Rumah Ulu (lambahan hulu) masyarakat adat komering.

2. Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah Masyarakat Desa Betung, Kecamatan Semendawai Barat Kabupaten Oku Timur Sumatera Selatan.


(27)

3. Tempat Penelitian

Tempat penelitian adalah Desa Betung, Kecamatan Semendawai Barat Kabupaten Oku Timur Sumatera Selatan.

4. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2013

5. Bidang Ilmu


(28)

REFERENSI

Elly M. Setiadi, Kama Abdul Hakam, dan Ridwan Effendi. 2005.Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (edisi kedua). Kencana. Bandung. Halaman 29.

Erwan Suryanegara. 2005. Rumah Ulu Komering. http://majour.maranatha.edu /index.php/ambiance/article/download/562/548. Diakses tanggal 12 April 2012 pukul 11.45 WIB. Halaman 2.

Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta. Jakarta. Halaman 144.

Ari Siswanto. 2009.Kearifan Lokal Arsitektur Tradisional Sumatera Selatan Bagi Pembangunan Lingkungan Binaan http://localwisdom.ucoz.com/_ld/0/5_ 1ed_5 _JLWOL_ari.pdf. Diakses tanggal 20 Juli 2013 pukul 04.45 WIB. Halaman 4.


(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR, DAN PARADIGMA

A. Tinjauan Pustaka

1. Konsep Fungsi

Redcliffe Brown (1976:181) menjelaskan bahwa fungsi adalah sumbangan di mana aktifitas satu bagian berpengaruh bagi aktifitas seluruh nya. Malinowski dan Radcliffe Brown dalam Soerjono Soekanto (1989:6) menyusun inti analisa fungsional, yakni studi terhadap bagian dimana unsur-unsur sosial atau budaya memainkan peranannya dalam masyarakat.

Pengertian fungsi yang telah dikemukakan oleh M.E Spiro dalam Koentjaraningrat (2009:173) bahwa fungsi dapat dipakai dalam bahasa sehari-hari maupun bahasa ilmiah dan mempunyai arti yang berbeda-beda. M.E Spiro, pernah mendapatkan bahwa dalam karangan ilmiah ada tiga cara pemakaian kata fungsi yaitu:

1. Pemakaian yang menerangkan fungsi itu sebagai hubungan guna antara sesuatu hal dengan tujuan tertentu (misalnya mobil mempunyai fungsi sebagai alat untuk mentransfer manusia atau barang dari suatu tempat ketempat yang lain).

2. Pemakaian yang menerangkan kaitan korelasi antara satu hal dengan hal yang lain (kalau nilai dari satu dal X itu berubah, maka nilai dari suatu hal lain yang ditentukan oleh X tadi, juga berubah).

3. Pemakaian yang menerangkan hubungan yang terjadi antara satu hal dengan hal-hal lain dalam suatu hal yang terintegrasi (suatu bagian dari suatu organisma yang berubah, menyebabkan perubahan dari berbagai bagian lain, malah sering menyebabkan perubahan dalam seluruh organisma).


(30)

Dalam penelitian ini penulis menggunakan fungsi yang pertama yaitu fungsi sebagai hubungan guna karena pembagian ruang pada Rumah Ulu dan pemanfaatannya. Fungsi sedemikian rupa yang disesuaikan dengan kebutuhan dan norma sosial (budaya) sehari-hari yang dimaksudkan untuk dapat mempertahankan kebudayaan Komering dari kemusnahan.

Sedangkan Malinowski pada buku Koentjaraningrat (1983:171) mengembangkan teori tentang fungsi unsur-unsur kebudayaan yang sangat komplex bahwa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya.

Dalam hal ini dapat dijelaskan bahwa, fungsi merupakan suatu pengaruh dari perilaku dan sikap seseorang atau kegunaan suatu benda yang memiliki pengaruh terhadap seseorang atau benda lain. Artinya fungsi itu sendiri memiliki efek langsung terhadap suatu objek atau memiliki kegunaan untuk kebutuhan suatu benda atau alat dan memiliki kegunaan untuk orang lain.

Menurut Suwondo B. Sutedjo (1982:13) Fungsi adalah kriteria utama bagi setiap perancangan bentuk. Lebih jauh lagi fungsi adalah suatu cara untuk memenuhi suatu keinginan. Fungsi dalam arti yang sangat sederhana ialah kegunaan, tujuan fungsi ialah tujuan kegunaan.

Kata “Fungsi” selalu menunjukkan suatu pengaruh dari hal yang satuterhadap hal

yang lain. Apa yang dinamakan “Fungsional” tidak berdiri sendiri, tetapi justru memperoleh arti dan makna dalam suatu hubungan tertentu. Dengan demikian


(31)

dalam pemikiran fungsionalisme menyangkut hubungan, pertautan, dan relasi (Hariyono, 1996:80).

Fungsi sendiri dapat berkembang dan berubah. Disebut berkembang bila fungsi tunggal menjadi fungsi ganda yaitu misalnyalobbysuatu bangunan menjadi ruang pameran sekaligus. Berubah bila fungsi berganti sebagai contoh hotel menjadi apartment atau kantor berkembang dan berubahnya fungsi tergantung dari waktu dan masyarakat (Suwondo B. Sutedjo, 1982:10).

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat dikatakan bahwa fungsi merupakan kegunaan yang memiliki pengaruh terhadap perubahan atas fungsi itu sendiri yang memiliki hubungan keterkaitan satu sama lain menjadi fungsi yang berkembang bergantung pada kondisi waktu dan masyarakatnya. Hal ini berarti fungsi dapat berubah apabilai fungsi tunggal menjadi fungsi ganda, seperti fungsi yang akan kita bahas adalah fungsi dalam rumah. Rumah yang berfungsi tunggal seperti suatu ruang dalam rumah yang berfungsi sebagai tempat tidur akan berubah fungsi apabila ruangan tersebut dipergunakan pada proses pelaksanaan upacara-upacara adat karena bergantung pada waktu yang digunakan dan masyarakatnya. Hal ini pun diperkuat dengan pendapat sebagai berikut:

Bentuk bangunan harus dilihat secara keseluruhan. Tiap bagian-bagian bangunan seperti pintu, jendela, tangga dan lain-lainya. Harus dapat saling mendukung dalam usahanya menjadi fungsionil. Dalam hal ini, pengertian fungsi dapat dibagi menjadi dua tingkatan, fungsi utama dan fungsi pendukung. Adapun fungsi utama didasarkan atas kebutuhan ruang. Fungsi pendukung didasarkan atas syarat-syarat bagian-bagian ruang seperti jendela, pintu, dan lain sebagainya (Suwondo B. Sutedjo, 1982:17).

Berdasarkan pendapat di atas, bahwa bangunan yang memiliki fungsi utama dan fungsi pendukung sama hal nya dengan rumah yang memiliki fungsi utama yakni


(32)

ruang yang terdapat di dalam rumah tersebut dan fungsi pendukungnya yakni bagian-bagian pendukung ruangan tersebut. Fungsi utama rumah yang dimaksud adalah ruang-ruang yang terdapat di dalam rumah, seperti ruang tamu, ruang tidur, ruang makan, ruang dapur dan lain sebagainya. Sedangkan untuk fungsi pendukungnya adalah bagian-bagian yang termasuk di dalam ruangan tersebut seperti pintu, jendela, dinding, tangga dan lain sebagainya. Hal ini berarti fungsi ruang dalam rumah merupakan fungsi utama, sedangkan fungsi lainnya seperti bagian-bagian atas ruangan tersebut merupakan fungsi pendukung dalam rumah tersebut.

2. Konsep Rumah Tradisional

Rumah merupakan salah satu aspek dari kebudayaan. Manusia sebagai makhluk sosial yang berkumpul dalam hubungan keluarga memerlukan tempat yang serasi maka rumah tidak saja dilihat sebagai tempat berteduh dan berlindung, tetapi rumah juga dilihat sebagai tempat penyesuaian dan pengintegrasian psikologis dari penghuni-penghuninya yang mempunyai hubungan kerabat. Menurut Izarwisma Mardanas (1993:43), perumahan sebagai tempat berlindung dari manusia terdiri dari ruangan-ruangan. Kebutuhan ruangan, luasnya, bentuknya biasanya ditentukan menurut kebutuhan dan adat istiadat setempat.

Rumah tinggal juga termasuk suatu seni bangunan yang dapat dimasuki atau ditinggali dan juga sebagai tempat berlindung diri terhadap cuaca keadaan alam. Bangunan rumah tinggal ini biasanya terdiri dari bangunan denah, dinding, tiang, dan atap. Menurut Edi Purwanto (1988:41), bentuk rumah tinggal mempunyai


(33)

corak atau style yang berbeda-beda yang biasanya dapat dipengaruhi oleh aliran agama, daerah, negeri bangsa dan juga fungsinya.

Rumah berfungsi sebagai wadah untuk lembaga terkecil masyarakat

manusia,yang sekaligus dapat dipandang sebagai “shelter” bagi tumbuhnya

rasa aman atau terlindung. Rumah juga berfungsi sebagai wadah bagi berlangsungnya segala aktivitas manusia yang bersifat intern dan pribadi. Jadi, rumah tidak semata-mata merupakan tempat bernaung untuk melindungi diri dari segala bahaya, gangguan dan pengaruh fisik belakang melainkan juga merupakan tempat bernaung untuk melindungi diri dari segala bahaya, gangguan, dan pengaruh fisik belaka, melainkan juga merupakan tempat tinggal, tempat berisitirahat setelah menjalani perjuangan hidup sehari-hari (Ridho, 2001 : 18).

Rumah merupakan sebuah bangunan, tempat manusia tinggal dan melangsungkan kehidupannya. Disamping itu rumah juga merupakan tempat berlangsungnya proses sosialisasi pada saat seorang individu diperkenalkan kepada norma dan adat kebiasaan yang berlaku di dalam suatu masyarakat. Jadi setiap perumahan memiliki sistem nilai yang berlaku bagi warganya. Sistem nilai tersebut berbeda antara satu perumahan dengan perumahan yang lain, tergantung pada daerah ataupun keadaan masyarakat setempat (Sarwono dalam Budihardjo, 1998 : 148).

Berdasarkan pendapat di atas, rumah merupakan suatu bangunan yang memiliki corak, struktur dan fungsi yang cara pembuatannya yang berbeda-beda tiap jenis rumahnya. Bangunan tersebut merupakan suatu identitas yang mencerminkan bagi kehidupan masyarakat setempat, karena aturan yang berlaku tersebut bergantung siapa yang menghuni rumah tersebut.

Selanjutnya Schulz pada buku Soeroto (2003:58) menguraikan bahwa rumah sebagai sebuah bangunan memiliki fungsi yang menyangkut empat hal, yaitu: sebagai kerangka fungsional (functional frame), pengendali fisik (physical control), lingkungan sosial (social milieu), dan perlambang budaya (cultural symbolingzation). Hal ini berarti rumah memiliki fungsi sebagai kerangka fungsional yakni kerangka fungsi bagi setiap bagian-bagian dari rumah tersebut,


(34)

pengandali fisik merupakan pengendali atas batasan-batasan yang seharusnya dilakukan dan tidak dilakukan dalam menjali aktivitas, lingkungan social yakni merupakan tempat dalam menjalani lingkungan dengan bersosial, selanjutnya pelambang budaya yakni merupakan lambing dan symbol dari budaya yang dianut oleh masyarakat yang menempati rumah tersebut.

Tradisional berasal dari kata tradisi yang berasal dari kata bahasa Latin traditio dan tradere yang berarti menurunwariskan sesuatu yang bernilai. Ia juga mengandung pengertian kemenurusan dari generasi ke generasi. Tradisi dapat berupa tuturan, kepercayaan, ataupun kebiasaan yang melalui kesepakatan telah Menurut Durkee dalam buku Soeroto (2003: 12-13) mengatakan bahwa jangkar

tradisi berkait dengan faktor ” kesinambungan’. Sehubungan dengan diatas

Soeroto (2003:33) mengatakan bahwa tradisi dibangun berdasarkan intuisi, naluri dan kebiasaan diwariskan secara turun temurun dalam suatu kelompok masyarakat dari nenek moyang.

Berdasarkan pendapat di atas, rumah tradisional merupakan cermin nilai budaya yang nampak dalam perwujudan bentuk, struktur, tata ruang dan hiasannya. Rumah tradisional adat Komering , merupakan salah satu arsitektur tradisional karena terbentuk oleh kaidah-kaidah berbasis kultural, konteks natural, ekspresi arsitektural. Pencapaian dari segala bentuk idealisme tersebut di atas diungkap dalam bentuk simbol-simbol dengan aturan pemaknaan holistik secara ”filosofis”

Rumah tradisional adalah konstruksi tempat tinggal yang ditransfer secara turun temurun dari nenek moyang dimana mampu bertahan terhadap lingkungan (gempa bumi, iklim, banjir, dan sebagainya) dan mudah


(35)

diterima oleh masyarakat lokal. Metoda dan sistem rumah tradisional adalah bagian dari perkembangan kearifan lokal bagi masyarakat suatu daerah. Perkembangan pengetahuan tentang material, keahlian pekerja (skill) dan teknik yang digunakan pada suatu bangunan pada abad yang lalu merefleksikan keinginan manusia untuk memenuhi kebutuhan tempat juga kebutuhan suatu masyarakat dalam menghadapi perilaku alam seperti bencana. Rumah tradisional biasanya dibangun untuk mempertemukan berbagai kepentingan, nilai, dan cara kehidupan masyarakat lokal. Dalam konteks lingkungan dan sumberdaya yang spesifik terdapat suatu perbandingan yang unik terhadap banyak bangunan yang digunakan saat sekarang (Budiharjo, 1998:152).

Rumah tradisional dalam hal ini merupakan rumah yang dibangun berdasarkan warisan dari turun-temurun yang dibuat dengan system yang berlaku pada masyarakat tersebut. Jadi, setiap rumah tradisional memiliki aturan yang berbeda-beda bergantung pada aturan yang dianut dari masyarakatnya tersebut.

3. Konsep RumahUlu

Indonesia yang memiliki banyak suku bangsa dan beragam kebudayaan yang melimpah. Seperti halnya suku di sumatera selatan yang memiliki beragam kebudayaan yang dimiliki seperti rumah-rumah tradisional yang merupakan peninggalan kebudayaan dari nenek moyang mereka.

Bangunan rumah tradisional di Sumatera Selatan yang lebih dikenal sebagai rumah Limas dan rumah Ulu. Rumah Limas merupakan ikon budaya tradisional yang identik dengan Palembang sedangkan rumah Ulu adalah sebutan untuk rumah tradisional yang terletak di luar Palembang. Sebagai pusat pemerintahan, Palembang disebut atau dianggap sebagai Daerah Ilir (hilir) sedangkan wilayah kekuasaan yang terletak di luar Palembang disebut sebagai DaerahUlu(hulu) (Ari Siswanto, 2009: halaman 4).

Berdasarkan pendapat di atas, bahwa anggapan yang memberikan pengaruh pada sebutan bentuk rumah tradisional terutama untuk rumah tradisional yang terletak di luar Palembang, yang disebut sebagai rumahUlukarena terletak di daerahhulu sedangkan rumah tradisional yang ada di Palembang merupakan rumah limas


(36)

karena terletak di daerah ilir, oleh sebab itu penamaan rumah ulu dikarenakan daerah Komering berada di luar Palembang sehingga rumah tradisional tersebut untuk masyarakat adat Komering dinamakan Rumah Ulu. Seperti halnya dengan pendapat sebagai berikut:

Di beberapa kabupaten dan kota di luar Palembang di provinsi Sumatera Selatan, terdapat beragam rumah tradisional yang diklasifikasikan sebagai rumah panggung sekaligus rumahUlu. Rumah panggung tersebut umumnya memiliki tiang yang diletakkan di atas batu yang berfungsi sebagai pondasi umpak. Dengan tiang rumah berada di atas batu atau beberapa butir batu, rumah tradisional menjadi lebih fleksibel terhadap gempabumi karena dapat bergerak lebih elastis untuk mengurangi pengaruh goncangan akibat gempabumi tersebut. Rumah tradisional yang memiliki pondasi umpak batu diantaranya adalah rumah Besemah, rumah Semendo, Lamban Tuha dan rumah Ulu Berundak. Penamaan pada Rumah Ulu didasarkan pada letak Rumah Ulu. Ulu berasal dari kata “Uluan” sebagai lawan dari perkotaan. Dari pernyataan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Rumah Ulu merupakan rumah yang terdapat pada daerah pinggiran atau pedesaan. Masyarakat membangun rumah Ulu umumnya mengikuti aliran sungai. Ketika itu, masyarakat membangun rumah dengan memperhatikan konsep Ulu-ulak (ilir). Artinya, apabila tempat tersebut masih luas dan diharapkan akan digunakan juga untuk pembangunan rumah berikutnya maka pembangunan rumah pertama pada lahan tersebut terletak di bagian Ulu (Aldi Faroby dkk, 2010: halaman 4).

Berdasarkan pendapat di atas, diperkuat lagi dengan pendapat bahwa rumah ulu merupakan rumah yang terletak di pinggiran atau pedesaan karena mereka membangun mengikuti aliran sungai, yang terletak di bagian hulu merupakan lawan dari perkotaan sehingga rumah tradisional bagi masyarakat adat komering dinamakan rumahulu.Hal ini sama halnya dengan membangun rumah pada lahan pertama pada lahan tersebut terletak di bagian ulu sehingga rumah tersebut disebut dengan rumahulu.

Rumah ulu, yakni rumah rakyat biasa yang tinggal di daerah pedalaman Sumatera Selatan yang bercorak agraris. Rumah kayu ini berbentuk panggung dengan maksud menghindari musim pasang dan gangguan binatang buas. Rumah Ulu hanya memiliki satu tangga, terletak di depan rumah dan beranak tangga ganjil. Bagian atas digunakan untuk tempat


(37)

kediaman, sedangkan bagian bawah merupakan tempat menyimpan alat rumah tangga: penumbuk padi (isaran), lesung, tampah (nyiru), kayu bakar, dan kandang itik atau ayam (Sukanti, Zulbiati, dan Ernawati, 1994:10). Berdasarkan pendapat di atas, rumah ulu merupakan rumah rakyat biasa yang bertempat tinggal di pedalaman sumatera selatan yang bercorak agraris. Hal ini sama hal nya dengan pendapat yang dikatakan sebelumnya bahwa rumah ulu merupakan rumah yang terletak di pedesaan atau dibagian hulu dari Palembang. Kemudian untuk bagian-bagian rumah ulu itu sendiri ada bagian tengah yakni untuk kediaman keluarga dan bagian bawah yang merupakan tempat untuk menyimpan alat-alat rumah tangga dan kandang hewan. Sama halnya dengan pendapat sebagai berikut:

Rumah Ulu, menggambarkan kehidupan rakyat biasa di daerah lain di Sumatera Selatan yang bercorak agraris. Di bagian bawah rumah ini terdapat isaran padi, lesung, alu serta nyiru (tampah). Susunan kayu api yang dipasang di bawah rumah tersebut merupakan kebanggan orang yang mempunyai rumah. Balai desa yang ada di anjungan ini merupakan sebuah tempat yang digunakan untuk memperagakan kesenian-kesenian atau upacara adat. Aslinya, bangunan tersebut memiliki fungsi sebagai tempat musyawarah masyarakat setempat (Sukanti, Zulbiati, dan Ernawati, 1994:10).

Berdasarkan pendapat di atas, rumah ulu merupakan penggambaran rumah dari rakyat biasa yang bercorak agraris ditandai dengan fungsi dari bagian bawah rumah tersebut yang digunakan sebagai tempat untuk menyimpan padi, serta alat-alat rumah tangga lainnya dan kandang hewan atau ternak. Selainnya itu pula fungsi dari rumah tersebut merupakan rumah yang digunakan sebagai tempat untuk melaksanakan upacara adat dan memperagakan kesenian-kesenian tradisional adat tersebut. Akan tetapi, sebenarnya fungsi rumah tradisional ini merupakan tempat musyawarah masyarakat setempat yakni masyarakat adat Komering yang tinggal di daerah tersebut.


(38)

Masyarakat Komering khususnya di wilayah marga Semendawai memiliki atau mengenal dua jenis rumah tempat tinggal yang bersifat tradisional, yaitu: jenis Rumah Ulu dan Rumah Gudang. Akan tetapi, kedua jenis rumah tradisional Komering ini memiliki perbedaan yaitu, Rumah Ulu Komering sepenuhnya menggunakan bahan kayu atau papan, mulai dari tiang penyangga (kayu gelondongan), tangga, dinding, pintu, dan jendela. Atap rumahnya dibuat dari daun enau dengan teknik rangkai-tumpuk, tetapi mengingat daya tahan dan bahayanya yang riskan kebakaran, sehingga atap daun ini diganti dengan atap genteng. Kemudian untuk sambungan kayu pada Rumah Ulu tidak menggunakan paku, tetapi menggunakan pasak kayu/bambu, termasuk untuk engsel pintu dan jendelanya juga masih menggunakan teknik engsel pasak.

Rumah Ulu merupakan rumah tradisional bagi masyarakat adat Komering juga merupakan rumah yang digunakan sebagai tempat berlindung, hal ini dikarenakan rumah Uluini sendiri merupakan bangunan yang kokoh, tahan terhadap bencana, dan kontruksi RumahUluini dibuat berdasarkan penyikapan terhadap lingkungan Komering itu sendiri.

Rumah Ulu juga mempunyai struktur bangunan yang terbagi atas tiga bagian, yaitu: rumah bagian depan (garang), rumah bagian tengah atau utama (ambin, pangking, haluan, dan kakudan), serta rumah bagian belakang (pawon). Bagi masyarakat Komering, rumah tengah atau utama bersifat sakral, sedangkan garangataupawonbersifat profan sehingga pada pintu depan (rawang balak) dari garangkehaluan, dan juga pada pintu belakang (rawang pawon) darikakudanke pawon, konstruksi kusen pintunya dibuat tinggi atau ada langkahan (ngalangkah).


(39)

Pengaruh ruang yang terdapat di dalam rumah merupakan kepercayaan bagi masyarakat setempat yang selalu dihubungkan dengan tempat yang mereka huni. Ruang-ruang tersebut mempunyai nama-nama yang didasari atas, fungsi dan letak dari tiap-riap ruangan tersebut. Seperti halnya pendapat sebagai berikut:

Konsep ruang dipengaruhi oleh kepercayaan terdahulu dan secara konkret sering dihubungkan dengan tempat (place). Nama-nama ruang menunjukkan keadaan spesifik masing-masing ruang yang berhubungan dengan ciri fisik, fungsi, hubungan, letak atau posisi (Tjahjono, 1990:71). Berdasarkan pendapat di atas, konsep pada ruang merupakan pengaruh dari kepercayaan masyarakat yang dihubungkan dengan tempat serta nama-nama ruang tersebut berhubungan dengan ciri fisik, fungsi, hubungan, letak atau posisi. Hal ini berarti konsep ruang pada rumah ulu yakni ruang garang, haluan dan kakudan, ambin dan pangking, sertapawon. Memiliki fungsi, hubungan dan letak atau posisi sesuai dengan nama-nama ruangan tersebut.

Koentjaraningrat (1984:58) menyebutkan adanya klafisifikasi simbolik berdasarkan 2 kategori berlawanan yang saling melengkapi dan mendukung, yang oleh Tjahjono (1990:71) disebut dualitas (duality). Kategori ini membagi rumah menjadi kanan-kiri, luar-dalam,sakral-profan,publik-privat. Sama halnya dengan pembagian rumah pada rumah ulu yang membagi bagian luar dan dalam, sakral dan profan, serta publik dan privat. Untuk pembagian luar yakni ruang garang, sedangkan bagian dalam yakni ruang haluan dan kakudan, ruang ambin dan pangking, serta ruang pawon. Kemudian, untuk sakral yakni ruang ambin dan pangking, sedangkanprofanyakni ruanggarang, ruanghaluandankakudan, serta ruangpawon. Selanjutnya untukpublik yakni ruanggarang, haluandankakudan, sedangkan privat merupakan ruang ambin dan pangking serta pawon. Dalam hal


(40)

ini mempunyai keterkaitan erat dengan kehidupan sehari-hari yang dijalankan dengan masyarakat Komering yang membawa pengaruh terhadap konsep ruang dengan kehidupan mereka. Sesuai dengan pendapat Haryadi dan Setiawan (1995:66-67) yakni keterkaitan antara lingkungan fisik dengan perilaku, terutama berkaitan dengan konsep ruang privat, semi-privat dan publik serta lingkungan secara keseluruhan, secara dialektik saling mempengaruhi dan pada akhirnya mewujudkan suatu pola kehidupan spesifik.

Pada pembagian ruang pada rumah ulu ada perbedaan yang membedakan ruang satu dengan ruangan lainnya. Perbedaan yang jelas sekali terlihat pada status sosial antara laki-laki dan perempuan yakni perbedaan atas ruang haluan dan kakudan yang membedakan antara tempat perempuan untuk haluan sedangkan laki-laki untuk kakudan. Sedangkan untuk susunan ruang lainnya memiliki persamaan dalam arti pandangan hidup dengan aturan yang berlaku pada masyarakat tersebut. Perbedaan konsep ruang menunjukan perbedaan status sosial, sedangkan persamaan dalam susunan ruang menandakan adanya pandangan hidup yang diwujudkan melalui aturan-aturan dalam kehidupan rumah tangga (Tjahjono, 1990:98).

Bagian-bagian yang terdapat pada RumahUlu mempunyai simbol dan filosofinya berdasarkan ruang dan struktur lantainya dengan tradisi yang sudah digunakan masyarakat setempat. Rumah Ulu sangat besar hubungannya dengan kehidupan masyarakat.

Padagarang yang merupakan salah satu struktur bangunan dari rumah Ulu terdapat nilai sosial budaya yang tinggi karena dapat menciptakan hubungan silaturahmi dan memupuk kerukunan antar masyarakat. Selain itu, apabila


(41)

ada tamu yang tidak dikenal berkunjung ke rumah, maka tamu tersebut hanya dipersilahkan untuk duduk digarang. Prinsip tersebut dapat menjadi pembelajaran dalam bidang sosial, yaitu agar tidak mudah menerima tamu sembarangan demi mencegah terjadinya kriminalitas (Ari Siswanto, 2009: halaman 6).

Berdasarkan hirarki rumah Ulu, haluan memiliki tingkatan yang sama dengan kakudan, namun keduanya memiliki fungsi yang berbeda. Haluan (perempuan) dan kakudan (laki-laki). Sebagai penanda bahwa adanya perbedaan antara haluan dan kakudan, diantara lantai haluan dan kakudan diberi kayu balok panjang yang posisinya melintang, dan diatasnya ada sangai (tiang), sebagai perantara haluan dengan kakudan. Haluan adalah perempuan, sedangkan kakudan adalah laki-laki. Itulah sebabnya balai pari (lumbung padi = perempuan) posisinya tepat dibawah haluan, dan kandang hewan berada dibawah kakudan ( tanduk = laki-laki) (Firmansah, 2012: halaman 2).

Rumah tengah/utama juga dibagi menjadi tiga ruang, yaitu: Ambin atau kamar tidur,Haluan, danKakudan. Berdasarkan struktur lantai pada Rumah Ulu Komering, dapat diketahui bahwa tiap-tiap ruang memiliki hierarki, yaitu ditandai dengan meninggikan atau merendahkan lantai ruangannya. Ambinmemiliki kedudukan yang tertinggi (dunia atas) Ambin (kamar tidur = privacy keluarga) memiliki kedudukan tertinggi dan suci (dunia atas), sejalan dengan pandangan masyarakat Komering bahwa keluarga (pribadi) harus dijunjung tinggi kesucian dan kehormatannya, selanjutnyahaluandan kakudan (dunia tengah), serta garang dan pawon (dunia bawah) (Erwan Suryanegara, 2005:halaman 5)

Pawon atau ruang makan berfungsi sebagai tempat untuk bagi anggota keluarga. Dalam hal menggunakan ruang makan juga memiliki aturan. Konsep ulu-ulak juga berlaku disini. Pada saat makan bersama, kakek dan nenek berada di bagian paling ulu, kemudian diikuti dengan ayah dan ibu, lalu anak-anak. Filosofis dari konsep ulu-ulak memiliki nilai kesopanan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Sederetan dengan ruang makan adalah dapur. Selanjutnya, dapur yang dipergunakan sebagai tempat para ibu dan anak perempuan untuk memasak makanan. Oleh karena itu, berbagai macam peralatan masak terdapat disana. Biasanya, anak perempuan yang mulai dewasa telah diajarkan untuk memasak. Kegiatan memasak didampingi oleh ibu. Oleh karena itu, dapur berfungsi sebagai prasana dalam belajar mengajar dalam hal memasak (Ari Siswanto, 2009:12).

Berdasarkan pendapat di atas, pembagian ruang pada rumah ulu yang dibagi atas tiga bagian yakni ruang depan yakni garang, ruang bagian tengah yakni ambin, haluan dan kakudan, serta ruang bagian belakang yakni pawon. Mempunyai


(42)

kegunaannya masing-masing sesuai dengan fungsi yang terdapat di ruang-ruang tersebut. Karakteristik masing-masing ruang disesuaikan dengan fungsi dan aktivitas sebagai wadah pemenuhan hajad hidup sehari-hari, dimana masing-masing ruang dipengaruhi oleh penilaian makna kegiatan yang dilakukan serta siapa yang menghuni atau melakukan kegiatan di bagian tersebut (Haryadi dan Setiawan, 1995:59). Pada masing-masing ruangan memiliki nilai budaya yang terdapat dalam tiap-tiap ruang yang terdapat di rumahulu.

Menurut Koentjaraningrat (2009:153) nilai budaya merupakan konsep-konsep mengenai sesuatu yang ada dalam alam pikiran sebagian besar dari masyarakat yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup sehingga dapat berfungsi sebagai pedoman yang memberi arah dan orientasi pada kehidupan para warga masyarakat tersebut.

Terdapat beragam faktor penentu dalam mewujudkan bentuk rumah pada setiap rumah tradisional, selain nilai-nilai budaya yang terdapat di dalamnya. Pengaruh dari bentuk rumah serta bagian-bagian ruangan tersebut didasarkan atas bagaimana system kepercayaan dan kehidupan masyarakat itu sendiri. Faktor religi atau kepercayaan juga dipandang sangat berpengaruh pada bentuk dan pola rumah, bahkan dalam masyarakat tradisional cenderung merupakan faktor dominan dibandingkan faktor-faktor lain (Haryadi dan Setiawan, 1995:64).

Menurut Rapoport (1969:67), faktor sosial budaya merupakan faktor penentu perwujudan arsitektur, karena terdapat sistem nilai di dalamnya yang akan memandu manusia dalam memandang serta memahami dunia sekitarnya. Iklim, konstruksi, bahan dan teknologi hanya sebagai faktor pengaruh. Pengaruh tersebut


(43)

dimanifestasikan melalui bentuk atap, sistem struktur dan bahan, ragam hias, dan tata bangunan, di samping arah (orientasi), yang merupakan salah satu aspek non-fisik dominan dalam arsitektur tradisional. Ragam hias umumnya bersifat konstruktif (menyatu dengan elemen lain) dengan motif flora, fauna, alam, agama dan lain-lain. Dua aspek non-fisik dominan adalah arah dan lambang tubuh manusia. Hal itu juga akan mempengaruhi proses pembangunan rumah, dimana penentuan orientasi, waktu dan tempat merupakan hal yang penting, sedangkan lambang tubuh manusia menentukan skala dan bentuk rumah (Silas, 1984:88). Berikut gambaran pada konsep rumah Ulu adat komering yang terdapat pada Gambar 1 dibawah ini:

c

e

i f g d

e

b a

h

Gambar 1. Konsep RumahUlu

a. Ijan (tangga) b. Garang c. Sangai (tiang)

pemisah haluan-kakudan

d. Ambin e. Pangking

f. Haluan(perempuan) g. Kakudan(laki-laki) h. Rawang (pintu) i. Pawon


(44)

4. Konsep Masyarakat Adat Komering

Kebudayaan mempunyai fungsi sangat besar bagi manusia dan masyarakat. Bermacam-macam kekuatan yang harus dihadapi masyarakat dan anggauta-anggauta masyarakat, seperti misalnya kekuatan alam dimana dia bertimpat tinggal, maupun kekuatan-kekuatan lainnya di dalam masyarakat itu sendiri, yang tidal selalu baik baginya (Soerjono Soekanto, 1982:171).

Masyarakat adalah orang atau manusia yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan, keduanya tidak dapat dipisahkan dan selamanya merupakan dwitunggal (Jacobus Ranjabar, 2006:20). Kemudian, Linton seorang ahli antropologi dalam Harsojo (1966:144) mengemukaan, bahwa masyarakat adalah setiap kelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama sehingga mereka itu dapat mengorganisasikan dirinya dan berfikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu.

Hal ini berarti masyarakat merupakan kelompok individu yang hidup bersama yang mempunyai kebudayaan, kebiasaan, tradisi, sikap yang mengorganisasikan dirinya sebagai suatu pemersatu yang sama antara satu kelompok dengan kelompok lain.

Adat adalah wujud gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai budaya, norma-norma, hukum serta aturan-aturan yang satu dengan lainnya menjadi suatu sistem yaitu sistem budaya. Sistem nilai budaya dan pandangan hidup serta idiologi merupakan tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak dari adat istiadat hal itu disebabkan karena nilai budaya merupakan konsep mengenai apa yang


(45)

hidup dalam pikiran masyarakat, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberikan arah dan orientasi kepada kehidupan masyarakat (Koentjaraningrat, 1984:2).

Komering sebagai salah-satu suku atau masyarakat yang ada di Sumatra Selatan merupakan suatu wilayah budaya yang berada di sepanjang aliran sungai Komering, bahkan penyebarannya sampai ke daerah Lampung.

Komering berasal dari kata India, yang berarti Pinang. Sebelum abad ke IX daerah tersebut sedang ramai-ramainya mengadakan perdagangan pinang dengan India. Untuk mengumpulkan pinang di daerah itu oleh pihak pembeli ditujukanlah seorang saudagar yang bertindak sebagai perwakilan perdagangan. Kebiasaan setempat menamai seseorang sesuai dengan tugas perkerjaannya. Kepada wakil pedagang dari India ini rakyat menamainya sesuai bahasa asal yang bersangkutan, yaitu KomeringSing,

yang berati “Juragan Pinang”. Kuburan KomeringSing masih ada didekat

pertemuan sungai Selabung dan Waisaka dihulu kota Muara Dua. Dari tempat makam tersebut dinamailah sungai yang mengalir ke Muara (Minanga), dengan nama “Sungai Komering”. Mulai saat itu semua penghuni disekitar sungai tersebut dinamai orang Komering. Dan daerahnya dinamai Daerah Komering (Menurut Nawawi dalam Hatta Ismail dan Arlan Ismail, 2002:8)

Berdasarkan pendapat di atas, maka masyarakat adat Komering merupakan kelompok individu yang hidup bersama yang mempunyai kebudayaan, kebiasaan, tradisi, sikap yang mengorganisasikan dirinya sebagai suatu pemersatu yang sama dengan pedoman dari nilai-nilai budaya tersebut yang mendiami pinggiran sungai Komering sehingga disebut sebagai orang komering.

5. Ciri Masyarakat Adat Komering

Salah satu suku yang berada di Sumatera Selatan yang merupakan salah satu wilayah yang terletak di sepanjang aliran sungai Komering adalah suku


(46)

Komering. Suku komering merupakan suku yang memiliki kebudayaan yang beragam dengan latar belakang kebudayaan yang beragam pula. Demikian halnya dengan pendapat yang dikemukakan oleh Arlan Ismail (2002:13) adalah sebagai berkut:

Suku Komering adalah salah satu suku yang bermukim dan tersebar di pesisir danau Ranau dan sungai Komering di wilayah kabupaten Ogan Komering provinsi Sumatra Selatan. Suku Komering termasuk salah satu suku tertua yang ada di Sumatra (Proto Malayan), seperti Mentawai, Enggano, Nias, Batak, Kubu dan Orang Laut. Kata komering, diperkirakan berasal dari istilah bahasa Hindu purba yang diberikan oleh pedagang-pedagang India, yang berarti "pinang". Sekitar abad ke 19 daerah tersebut sering dikunjungi oleh pedagang-pedagang dari India. Suku Komering di wilayah Kabupaten Ogan Komering hidup berdampingan dengan suku Ogan, suku Daya, suku Ranau, suku Semendo dan suku Kisam. Dalam struktur kemasyarakatan suku Komering, berdasarkan bahasa dan budaya, dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu: pendukung budaya dan bahasa Seminung, terdiri dari suku-suku Komering, Ranau dan Daya, kemudian pendukung budaya Dempo,, yaitu suku-suku Ogan, Semendo dan Kisam. Berdasarkan pendapat di atas, asal usul dari suku Komering merupakan suku yang tertua di wilayah Sumatera Selatan dengan berbagai penyebaran suku Komering atas wilayah di sekitarnya. Kemudian, suku Komering merupakan suku yang sangat teguh mempertahankan budaya dan adat-istiadatnya, walaupun berada diantara budaya Melayu yang terus berkembang, terutama bahasa Komering yang sampai saat ini masih terpelihara dengan baik. Dalam hal ini suku Komering adalah bangsa yang sangat ramah dan sangat menunjukkan sikap kekeluargaan terhadap siapapun, tradisi suka menolong tertanam dalam kehidupan sehari-hari mereka. Hal ini diperkuat dengan pendapat yang dikemukakan oleh Arlan Ismail (2002:17) adalah sebagai berkut:

Suku Komering, kalau dilihat dari segi fisik, menunjukkan kalau mereka adalah termasuk dari ras mongoloid, yang termasuk bangsa Proto-Malayan. Diperkirakan berasal dari daratan tinggi Yunnan di China Selatan, atau juga bisa berasal dari daratan Indochina sekitar Burma dan Kamboja, yang memasuki wilayah Sumatra ini sejak ribuan tahun sebelum Masehi, bersama


(47)

kelompok proto-malayan lain yang bermigrasi memasuki wilayah pulau Sumatra. Hidup tersebar mereka di wilayah Sumatra bagian Selatan. Suku-suku bangsa Proto Melayu ini membawa budaya asal mereka, dan hidup selama ribuan tahun. Pada sekitar abad 2 Masehi, suku bangsa Melayu masuk secara besar-besaran membawa budaya Melayu, dan banyak terjadi perkawinan campur antara suku Komering dengan suku-suku Melayu. Sehingga bangsa Komering yang populasinya sedikit, terdesak dan lambat-laun terserap ke dalam tradisi Melayu.

Berdasarkan pendapat di atas, suku komering merupakan suku yang termasuk dalam ras mongoloid yang berasal yari suku bangsa melayu sehingga percampuran kebudayaan yang termasuk dalam suku Komering ini berasal dari melayu pula. Untuk segi fisiknya pun terdapat kesamaan pula dengan suku Batak di Sumatera Selatan seperti pendapat sebagai berikut:

Segi adat istiadat, mulai dari rumah dan pakaian adat, makanan tradisional, hukum, tatacara adat serta kebiasaan masyarakat, sama sekali tidak ditemukan kemiripan yang identik yang dapat mendifinisikan bahwa adanya hubungan asal-usul antara Suku Komering dengan Suku batak di Sumatera Utara. Kemudian jika dilihat dari segi etnis atau ras, mulai dari bentuk wajah dan warna kulit, juga tidak ditemukan kemiripan yang identik, karena biasanya orang yang berasal dari Suku Batak memiliki rahang bawah yang lebih tegas dan cenderung membentuk segi dengan tulang alis dan tulang pipi yang sedikit lebih menonjol, berbeda dengan orang yang berasal dari Suku Komering yang memiliki ciri-ciri fisik yang lebih mirip dengan ras Melayu pada umumnya yakni kulit sawo matang dan rambut lurus, termasuk rumpun suku Melayu (Arlan Ismail, 2002:18).

Beradasarkan pendapat di atas, bila dilihat dari segi fisik memang Suku Komering dengan Suku Batak di Sumatera Utara ditemukan adanya kemiripan akan tetapi, tidak memiliki kemiripan yang identik. Hal ini karena Suku Komering merupakan ras melayu dengan ciri fisik kulit sawo matang dan rambut lurus. Sedangkan Suku Batak di Sumatera Utara memiliki rahang bawah yang lebih tegas dan cenderung membentuk segi dengan tulang alis dan tulang pipi yang sedikit lebih menonjol.


(48)

Ciri Masyarakat Komering lainnya adalah mata pencaharian mereka yang merupakan suku dengan bercorak agraris. Dengan mata pencaharian mereka seperti bertani dan berladang, selain itu pula ada yang bermata pencaharian berdagang merupakan ciri dari masyarakat Suku Komering.

Mata pencaharian mereka pada umumnya adalah bertani dan berdagang. Mereka cenderung menanam padi dan kopi, karena tanah dimana mereka tinggal umumnya dan merupakan tanah datar yang cocok untuk penanaman padi. Karet dan kayu gelondongan juga penting untuk perekonomian mereka. Hasil panen mereka umumnya dijual di pasar setempat atau di toko-toko. Kehidupan mereka cukup keras dan pendapatan mereka rendah; banyak anak-anak harus meninggalkan sekolah mereka supaya bisa bekerja dan membantu menambah penghasilan keluarga. Struktur keluarga mereka adalah suami sebagai kepala rumah tangga dan boleh lebih dari satu istri, walaupun tidak umum terjadi disebabkan oleh biaya yang harus ditanggung. Istri adalah pengurus rumah bersama-sama dengan anak-anaknya. Banyak kaum wanita terlihat juga ikut bekerja keras di ladang dan membawa barang-barang berat di atas kepala mereka (Arlan Ismail, 2002:20).

Berdasarkan pendapat di atas, Suku Komering merupakan suku dengan mata pencaharian yang bercorak agraris seperti bertani, berladang dan ada pula yang berdagang hal ini merupakan wujud dari upaya mereka untuk melangsungkan hidup mereka secara terus menerus yang merupakan ciri dari masyarakat suku Komering yang agraris. Kemudian untuk ciri berikutnya adalah agama yang mereka anut mayoritas adalah agama Islam. Namun, ada kepercayaan lain yang mereka anut yakni dengan pendapat sebagai berikut:

Di samping ajaran agama Islam yang berpengaruh kuat pada kebudayaan mereka, suku Komering juga memiliki kepercayaan yang kuat pada tahayul dan roh-roh. Dukun-dukun sering dipanggil untuk menyembuhkan orang sakit atau untuk mengusir setan. Karena ketakutan mereka akan roh-roh jahat, mereka hidup sangat jujur (Arlan Ismail, 2002:24)

Berdasarkan pendapat di atas, masyarakat suku Komering yang mayoritas menganut agama Islam ini juga memiliki kepercayaan terhadap tahayul dan


(49)

roh-roh yang mereka percaya untuk mengusir setan dan menyembuhkan orang sakit karena ada ketakutan tersendiri akan roh-roh jahat tersebut sehingga mereka percaya dengan roh-roh serta dukun yang ada di daerah mereka tersebut. Kemudian untuk ciri masyarakat suku Komering lainnya adalah bahasa yang mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari mereka adalah bahasa Komering namun terdapat kesamaan kosa kata dengan suku lainnya di Indonesia, seperti pendapat (Arlan Ismail, 2002:30) sebagai berikut:

Kemiripan kosa kata Bahasa Komering juga terdapat pada beberapa kosa kata bahasa sunda, diantaranya: jukut (Sunda) dengan jukuk (Komering) yang berarti rumput, mulang (Sunda dan kKomering) yang berarti pulang, sireum (Sunda) dengan sorom (Komering) yang berarti semut, gancang (Sunda dan Komering) yang berarti cepat, na sebuah imbuhan yang digunakan bahasa sunda yang sama fungsinya dengan imbuhan nya dalam bahasa Indonesia juga digunakan di dalam Bahasa Komering, jelma (Sunda) dengan jelma (Komering) yang berarti manusia.

Bahasa Komering juga memiliki tulisan yang disebut Ka-Ga-Nga. Akan tetapi, orang Komering sering pula menyebutnya tulisan Ulu/Unggak. Tulisan ini dipakai orang tua pada zaman dahulu. Sekarang tulisan ini hampir tidak pernah dipakai lagi dan generasi muda tidak seberapa mengenalnya.

Seperti yang kita ketahui bersama, di dalam Suku Komering itu sendiri terdapat paling tidak dua ragam intonasi suara dalam berbahasa (Dialek/Logat), Dialek Suku Komering Marga Bengkulah akan terdengar cenderung berintonasi lebih datar, halus serta tidak mendayu jika dibandingkan dengan Bahasa KomeringUlu(mendiami bagian huluSungai Komering) yang intonasinya akan cenderung lebih tegas, tinggi dan mendayu.

Kemudian jika masalah intonasi suara (Dialek/Logat) antara Bahasa Komering pada umumnya (Komering OKU) dibandingkan dengan Bahasa Batak yang memiliki kemiripan, yaitu sama-sama berintonasi dialek/logat yang tinggi dan tegas (keras/lantang) menjadi latar belakang pendapat yang mengatakan bahwa asal usul Suku Komering masih ada hubungan yang erat dengan Suku Batak di Sumatera Utara.

Berdasarkan pendapat di atas, bahasa Komering memiliki beberapa arti yang sama dengan Suku Sunda, dan memiliki tulisan yang dipakai oleh nenek moyang


(50)

mereka yakni tulisan Ka-Ga-Nga yang mereka namakan tulisan ulu. Kemudian untuk intonasi suaranya terdapat dua jenis yakni intonasi suara yang datar, halus, dan tidak medayu serta intonasi suara yang tegas, tinggi, dan mendayu. Untuk intonasi suara yang tegas, tinggi dan mendayu ini sama dengan intonasi suara Suku Bata di Sumatera Selatan hal ini yang menjadi latar belakang mengapa kedua suku tersebut memiliki kemiripan satu sama lainnya.

B. Penelitian Yang Relevan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ican Zalika (2010) yang berjudul Rumah Bari dalam kehidupan masyarakat adat Palembang Sumatera Selatan dapat diketahui bahwa rumah bari sebagai tradisi budaya masyarakat Sumatera Selatan yang mengandung unsur budaya dengan bentuk atap yang menyerupai piramida terpenggal yang digunakan sebagai tempat tinggal, termasuk upacara-upacara adat.

Rumah bari adalah sebuah bangunan dengan nilai arsitektur yang tinggi mengandung keteladanan bahwa diajarkan hidup sederhana. Selain itu, adanya pembagian fungsi dalam tiap-tiap ruangan menunjukkan tingginya tingkat kebudayaan masyarakat Sumatera Selatan pada masa itu, banyaknya pelaksanaan upacara-upacara adat dan keluarga yang dilaksanakan di dalam Rumah Bari menunjukkan fungsi Rumah Bari sebagai simbol masyarakat adat Sumatera Selatan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Defrimen (2010) yang berjudul Rumah Gadang dalam Kehidupan Masyarakat Adat Koto Baru Nagari Kecamatan


(51)

Sungai Pagu Kabupaten Solok Selatan Sumatera Barat dapat diketahui bahwa bentuk atap gonjong Rumah Gadang Koto Baru merupakan simbol dari tanduk kerbau, struktur atap Rumah Gadang Koto Baru merupakan penganutan falsafah pada alam yang sesuai dengan bentuk alam Bukit Barisan yang terdiri dari bukit yang tinggi serta lembah yang curam, kemudian ijuk sebagai bahan atap Rumah Gadang Koto Baru merupakan bentuk untuk mempertahankan keaslian Rumah Gadang Koto Baru serta memanfaatkan hasil alam yang melimpah.

Kemudian untuk penelitian relevan lainnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Hikmi Halfiah (2011) yang berjudul Rumah Tuo Pada Masyarakat Baruh Rantau Panjang Kecamatan Tabir Kabupaten Merangin Provinsi Jambi dapat diketahui bahwa Rumah Tuo merupakan sebuah bangunan yang telah diciptakan oleh hasil karya manusia yang mengandung unsur budaya yang telah ada sejak lama dengan bentuk dan tata ruang Rumah Tuo sebagai tempat tinggal pemilik rumah keturunan 16 dari Unduk Pinang Masak. Dalam Rumah Tuo ini terdapat pembagian ruangan yang dibedakan atas tinggi rendahnya lantai yang menunjukkan bahwa adanya tingkatan struktur sosial dalam masyarakat. Rumah Tuo dibangun dengan tujuan agar warisan budaya yang sudah ada tersebut tetap dipertahankan oleh generasi sesudahnya sebagai identitas diri masyarakat baruh.

C. Kerangka Pikir

Keragaman budaya serta suku di Indonesia telah menghadirkan ciri dari suku maupun adat dari budaya tersebut. Salah satu kebudayaan yang dapat dijadikan simbol bagi suku tertentu adalah rumah adat dan tradisional. Rumah tradisional


(52)

merupakan rumah dari suku tertentu, keberadaan rumah adat yang ada pada masing-masing suku tertentu tidak sama dengan daerah lain.

Rumah Ulu merupakan salah satu rumah tradisional yang menjadi identitas diri bagi masyarakat adat Komering. Bentuk atap yang seperti tanduk kerbau berperan dalam menentukan ciri dan bentuk bangunan, yang merupakan citra dari bangunan masyarakat adat Komering. Rumah Ulu merupakan rumah yang juga digunakan sebagai tempat tinggal dengan nilai arsitektur yang tinggi, yang dibangun dengan tujuan sebagai identitas masyarakat adat Komering. Rumah Ulu dibangun berdasarkan kondisi lingkungan sekitar sehingga digunakan sebagai tempat tinggal bagi masyarakat adat Komering. RumahUluterdiri dari tiga bagian berdasarkan struktur bangunannya, yaitu: rumah bagian depan (garang), rumah bagian tengah atau utama (ambin, pangking, haluan, dan kakudan), serta rumah bagian belakang (pawon) dengan pembagian ruangan rumah dan pemanfaatannya telah tergariskan sedemikian rupa yang disesuaikan dengan kebutuhan dan norma sosial (budaya) sehari-hari yang dimaksudkan untuk mempertahankan budaya asli adat Komering yang telah diwarisi turun-temurun hingga sekarang oleh masyarakat setempat. Demikian halnya dengan fungsi lain dari RumahUludalam menjaga nilai-nilai budaya yang terdapat di dalam Rumah Ulu memiliki beragam nilai-nilai budaya yang menjadi warisan dari generasi ke generasi.


(53)

D. Paradigma

Keterangan:

Garis Fungsi Garis Akibat

Rumah Ulumasyarakat adat Komering di Desa Betung Kecamatan Semendawai

Barat Kabupaten Ogan KomeringUlu Timur Sumatera Selatan

RuangAmbin&Pangking RuangPawon RuangGarang RuangHaluan&Kakudan

Fungsi Ruang Pada RumahUlu

Fungsi Lain RumahUludalam menjaga nilai-nilai budaya

Nilai Budaya

Nilai Religius/Keagamaan Nilai Kesopanan

Nilai Sosial

Nilai Kegotong-royongan Nilai Estetika

Upacara Kelahiran Upacara Khitanan Upacara Perkawinan Upacara Kematian


(54)

REFERENSI

Soerjono Soekanto, 1989. Robert K. Merton Analisa Fungsional. Rajawali. Jakarta. Halaman 3.

Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta. Jakarta. Halaman 173 dan 153.

Koentjaraningrat. 1983. Metode Penelitian Masyarakat. Aksara Baru. Jakarta. Halaman 171.

Izarwisma Mardanas. 1993. Adat Upacara Perkawinan Mentawai. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta/proyek pengembangan media kebudayaan. Halaman 43.

Edi Purwanto. 1988.Sejarah Budaya.CV. ARMICO. Bandung. Halaman 41. Ari Siswanto. 2009.Kearifan Lokal Arsitektur Tradisional Sumatera Selatan Bagi

Pembangunan Lingkungan Binaan http://localwisdom.ucoz.com/_ld/0/5 _1ed_5 _JLWOL_ari.pdf. Diakses tanggal 20 Juli 2013 pukul 04.45 WIB. Halaman 4 dan 6.

Suwondo B.Sutedjo. 1982. Pencerminan Nilai-nilai Budaya dalam Arsitektur di Indonesia. Djambatan. Jakarta. Halaman 13.

Hariyono. 1996. Pemahaman Kontekstual tentang Ilmu Budaya Dasar. Kanisius. Yogyakarta. Halaman 80.

Suwondo B.Sutedjo. 1982. Pencerminan Nilai-nilai Budaya dalam Arsitektur di Indonesia. Djambatan. Jakarta. Halaman 10.

Suwondo B.Sutedjo. 1982. Pencerminan Nilai-nilai Budaya dalam Arsitektur di Indonesia. Djambatan. Jakarta. Halaman 17.

Soeroto. M. 2003. Dari Arsitektur Tradisional Menuju Arsitektur Indonesia, Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta. Halaman 33.

Sukanti, Zulbiati dan Ernawati.1994.Rumah Ulu Sumatera Selatan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Museum Negeri


(55)

Aldy Faroby dkk. 2010. Rumah Ulu. http://www.kemsos.go.id/modules.php ?name=News&file=article&sid=328. Diakses tanggal 18 Juni 2013 pukul 19.34 WIB. Halaman 4.

Firmansah. 2012. Rumah Panggung Adat Komering. http://sejarahgunungbatu. blogspot.com/2012/04/rumahpanggung-adat-komering-dan.html. Diakses tanggal 12 April 2012 pukul 11.30 WIB. Halaman 3 dan 2

Erwan Suryanegara. 2005. Rumah Ulu Komering. http://majour.maranatha.edu /index.php/ambiance/article/download/562/548. Diakses tanggal 12 April 2012 pukul 11.45 WIB. Halaman 4 dan 5.

Willian J.Goode. 1991. Sosiologi Keluarga. Bumi Aksara. Jakarta. Halaman 141 dan 142.

Abdulsyani. 2007. Sosiologi Skematika, Teori, dan Terapan. PT Bumi Aksara. Jakarta. Halaman 86.

Elly M. Setiadi, Kama Abdul Hakam, dan Ridwan Effendi. 2005.Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (edisi kedua). Kencana. Bandung. Halaman 36.

Tjahjono. 1990. G. Cosmos, Center and Duality in Javanese Architectural Tradition; The Symbolic Dimension of House Shapes in Kotagede and surroundings. Dissertation Doctor of Phylosophy, University of California at Berkeley. Halaman 98.

Haryadi, dan B. Setiawan. 1995. Arsitektur Lingkungan dan Perilaku. P3SL Dirjen Dikti. Depdikbud. Jakarta. Halaman 64.

Silas, J. 1984. Arsitektur Tradisional Daerah Jawa Timur. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Depdikbud. Surabaya. Halaman 67 Rapoport. 1969. A. House Form and Culture. Prenrice Hall, Inc. Englewood

Cliffs. New Jersey. Halaman 88

Soerjono Soekanto. 1982.Sosiologi Suatu Pengantar. Rajawali. Jakarta. Halaman 171.

Jacobus Ranjabar. 2006.Sistem Sosial Budaya Indonesia Suatu Pengantar. Ghalia Indonesia. Bogor. Halaman 20.

Koentjaraningrat. 1984.Kamus Istilah Antropologi. Depdikbud. Jakarta. Halaman 2.

Hatta Ismail, Arlan Ismail. 2002. Adat Perkawinan Komering Ulu. Unanti Press. Palembang. Halaman 8.


(56)

III. METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Dalam melakukan suatu penelitian diperlukan cara atau metode, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode fungsional. Hal ini menunjukkan bahwa metode tersebut merupakan suatu hal yang penting dalam menentukan tingkat keberhasilan penelitian terhadap objek yang akan diteliti. Analisis fungsional menurut Malinowski dalam Suwardi Endraswara (2003:103) adalah kemampuan melukiskan masyarakat tertentu sampai ke hal-hal kecil. Aspek-aspek kehidupan masyarakat dapat terungkap sehingga fungsi dan maknanya akan terungkap.

Fungsi menurut Malinowski sama dengan “guna”, kegunaan dari institusi dalam rangka memenuhi kebutuhan psikologis individu-individu masyarakat. Dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut individu harus menjaga kesinambungan kelompok sosial (Marzali dalam Koentjaraningrat, 1987:34).

Teori fungsional tentang kebudayaan bukan hanya menjelaskan tentang kaitan fungsi-fungsi, tetapi teori ini juga memberikan kepuasan tersendiri. Dalam penelitian ini tidak terlepas dari teori fungsional kebudayaan seperti diungkapkan oleh Malinowski, mula-mula ia mengembangkan teori tentang fungsi dari


(1)

50

REFERENSI

Suwardi Endraswara. 2003. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Gajah Mada .University Press. Yogjakarta. Halaman 107

Koentjaraningrat. 1987.Sejarah Teori Antropologi 1. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Halaman 34 dan 171.

Talcott Parsons. 1975. Social Systems and The Evolution of Action Theory New York: The Free Press.

Suharsimi Arikunto. 2011.Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Rineka Cipta. Jakarta. Halaman 161, 198, 199, dan 274.

Sumadi Suryabrata. 2011. Metodologi Penelitian. Rajawali Press. Jakarta. Halaman 25 dan 29.

Suwardi Endraswara. 2006. Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan. Pustaka Widyatama. Yogjakarta. Halaman 119.

J.S Badudu. 1998.Ilmu Bahasa Lapangan. Kompas. Jakarta. Halaman 55 dan 56. Moleong. 1998. Metodelogi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosadakarya.

Bandung. Halaman 90.

Moh. Nazir. 2009. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta. Halaman 126, 192, dan 346.

Basrowi, Suwandi. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Rineka Cipta. Jakarta. Halaman 158.

Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Fungsi Keluarga Dalam Penanaman Nila-Nilai Budaya Masyarakat Minangkabau Di Kota Bukittinggi. PD SYUKRI.Padang. Halaman 5.

Joko Subagyo. 1997. Metode Penelitian (Dalam Teori dan Praktek). Rineka Cipta. Jakarta. Halaman 94.

James P. Spradley. 2006.Metode Etnografi. Tiara Wacana. Yogyakarta. Halaman 68.


(2)

129

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. SIMPULAN

Dari hasil pembahasan yang dilakukan mengenai fungsi ruang pada Rumah Ulu masyarakat adat Komering di Desa Betung Kecamatan Semendawai Barat Kabupaten OKU Timur Sumatera Selatan. Maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Rumah Ulu mempunyai fungsi dari tiap ruangan garang, haluan, kakudan, ambin, pangking dan pawon yang terdapat di dalam nya dan memiliki fungsi serta nilai-nilai budaya yang terkandung pada tiap-tiap ruangan.

2. Rumah Ulu dalam menjaga nilai-nilai budayanya yakni pada ruangan yang terdapat di dalamnya garang, haluan, kakudan, ambin, pangking dan pawon memiliki nilai budaya yang terkandung mulai dari saat pendirian rumah sampai penerapan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Nilai-nilai budaya yang terkandung pada tiap ruang adalah nilai budaya, nilai religius/keagamaan, nilai kesopanan, nilai sosial, nilai kegotong-royongan dan nilai estetika. Serta memiliki fungsi tambahan yakni fungsi ruang pada pelaksanaan upacara-upacara adat seperti upacara-upacara kelahiran, khitanan, perkawinan, dan kematian.


(3)

130

B. SARAN

Setelah melakukan penelitian yang telah penulis lakukan ada beberapa saran yang penulis sarankan diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Pada masyarakat adat Komering diharapkan agar selalu melaksanakan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan adat istiadat seperti upacara-upacara adat setempat di dalam rumah Uluagar fungsi ruang rumah Ulutidak memudar dengan semakin pesatnya perkembangan zaman harus selalu diperhatikan keberadaanya agar kelestariannya selalu terjaga.

2. Dalam mendapatkan data dan informasi mengenai rumahUluini penulis sangat kesulitan dikarenakan kurangnya pengetahuan masyarakat akan sejarah rumah Ulu ini. Hendaknya masyarakat setempat yang mengetahui tentang informasi tersebut memberdayakan generasi-generasi penerus untuk melakukan pengenalan terhadap rumah Ulu. Sehingga informasi tentang rumah Ulu ini dapat tersebar luas dimedia-media informasi, seperti media cetak, informasi internet, terlebih lagi ditulis dalam bentuk buku bacaan. Maka, nilai-nilai budaya yang terkandung dalam rumahUlutidak akan memudar.

3. Pembaharuan kembali tradisi budaya yang ada dalam rumahUluini hendaknya pemerintah setempat tetap mempertahankan dan melestarikan budaya dengan dijadikannya objek wisata dan budaya nasional sehingga kebudayaan tersebut tidak punah atau menghilang.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abdulsyani. 2007. Sosiologi Skematika, Teori, dan Terapan. PT Bumi Aksara. Jakarta.

Aldy Faroby dkk. 2010. Rumah Ulu. http://www.kemsos.go.id/modules.php ?name=News&file=article&sid=328. Diakses tanggal 18 Juni 2013 pukul 19.34 WIB.

Ari Siswanto. 2009.Kearifan Lokal Arsitektur Tradisional Sumatera Selatan Bagi

Pembangunan Lingkungan Binaan

http://localwisdom.ucoz.com/_ld/0/5_1ed_5 _JLWOL_ari.pdf. Diakses tanggal 20 Juli 2013 pukul 04.45 WIB

Arlan Ismail. 2002. Adat Kebudayaan Komering Ulu. Unanti Press. Palembang. Basrowi, Suwandi. 2008.Memahami Penelitian Kualitatif. Rineka Cipta. Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Fungsi Keluarga Dalam Penanaman

Nila-Nilai Budaya Masyarakat Minangkabau Di Kota Bukittinggi. PD SYUKRI.Padang.

Edi Purwanto. 1988.Sejarah Budaya.CV. ARMICO. Bandung

Elly M. Setiadi, Kama Abdul Hakam, dan Ridwan Effendi. 2005.Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (edisi kedua). Kencana. Bandung

Erwan Suryanegara. 2005. Rumah Ulu Komering. http://majour.maranatha.edu /index.php/ambiance/article/download/562/548. Diakses tanggal 12 April 2012 pukul 11.45 WIB

Firmansah. 2012. Rumah Panggung Adat Komering. http://sejarahgunungbatu. blogspot.com/2012/04/rumahpanggung-adat-komering-dan.html. Diakses tanggal 12 April 2012 pukul 11.30 WIB

Hariyono. 1996. Pemahaman Kontekstual tentang Ilmu Budaya Dasar. Kanisius. Yogyakarta.

Haryadi, dan B. Setiawan. 1995. Arsitektur Lingkungan dan Perilaku. P3SL Dirjen Dikti. Depdikbud. Jakarta.

Hatta Ismail, Arlan Ismail. 2002. Adat Perkawinan Komering Ulu. Unanti Press. Palembang


(5)

Husaini Usman, Purnomo Setiady Akbar. 2011. Metodologi Penelitian Sosial. Bumi Aksara. Jakarta.

Izarwisma Mardanas. 1993. Adat Upacara Perkawinan Mentawai. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta/proyek pengembangan media kebudayaan

J.S Badudu. 1998.Ilmu Bahasa Lapangan. Kompas. Jakarta

Jacobus Ranjabar. 2006.Sistem Sosial Budaya Indonesia Suatu Pengantar. Ghalia Indonesia. Bogor

James P. Spradley. 2006.Metode Etnografi. Tiara Wacana. Yogyakarta.

Joko Subagyo. 1997. Metode Penelitian (Dalam Teori dan Praktek). Rineka Cipta. Jakarta

Koentjaraningrat. 1983.Metode Penelitian Masyarakat. Aksara Baru. Jakarta . 1984.Kamus Istilah Antropologi. Depdikbud. Jakarta

. 1987. Sejarah Teori Antropologi 1. Universitas Indonesia Press. Jakarta

. 2009.Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta. Jakarta Masri Singarimbun, Sofian Effendi. 1989. Metode Penelitian Survai. LP3ES.

Jakarta.

Moh. Nazir. 2009.Metode Penelitian.Ghalia Indonesia. Jakarta

Moleong. 1998. Metodelogi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosadakarya. Bandung.

Pangarsa, G.W, Tjahjono, R dan Pamungkas, S.T. 1994. Deformasi dan Dampak Ruang Arsitektur Madura Pedalungan di Lereng Utara Tengger. Laporan Hasil Penelitian, Universitas Brawijaya. Malang.

Rapoport. 1969. A. House Form and Culture. Prenrice Hall, Inc. Englewood Cliffs. New Jersey.

Silas, J. 1984. Arsitektur Tradisional Daerah Jawa Timur. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Depdikbud. Surabaya.

Soerjono Soekanto, 1989. Robert K. Merton Analisa Fungsional. Rajawali. Jakarta


(6)

Suharsimi Arikunto. 2011.Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Rineka Cipta. Jakarta.

Sukanti, Zulbiati dan Ernawati.1994.Rumah Ulu Sumatera Selatan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Museum Negeri Propinsi Sumatera Selatan “Balaputra Dewa”. Palembang.

Sumadi Suryabrata. 2011.Metodologi Penelitian. Rajawali Press. Jakarta

Suwardi Endraswara. 2003. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Gajah Mada University Press. Yogjakarta.

Suwardi Endraswara. 2006. Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan. Pustaka Widyatama. Yogjakarta.

Suwondo B.Sutedjo. 1982. Pencerminan Nilai-nilai Budaya dalam Arsitektur di Indonesia. Djambatan. Jakarta.

Tjahjono. 1990. G. Cosmos, Center and Duality in Javanese Architectural Tradition; The Symbolic Dimension of House Shapes in Kotagede and surroundings. Dissertation Doctor of Phylosophy, University of California at Berkeley.