8
BAB II GEREJA, PENDAMPINGAN PASTORAL DAN KONFLIK
Dalam bab ini, akan di paparkan konsep-konsep teoritis yang menurut hemat peneliti memiliki korelasi yang signifikan antara fenomena dengan kondisi yang yang hendak peneliti
gambarkan dan kritisi. Oleh karena fenomena yang peneliti akan kritisi berkaitan dengan pendampingan pastoral oleh pendeta dan majelis jemaat GKS Nggongi, maka beberapa teori
mengenai gereja, konseling pastoral dan konflik akan dijadikan sebagai alat analisis
tools of analyse
.
1.1 Gereja
Ada beragam pemahaman para ahli tentang gereja itu sendiri. Ada yang melihatnya dari bangunan secara fisik, ada yang melihat anggota didalamnya dan ada pula yang
melihatnya dari historisitas terminologi gereja. Soedarmo misalnya, memahami gereja dari konsep yang dipakai oleh Perjanjian Baru yakni
“Ekklesia” yang berarti jemaat. Lebih lanjut beliau menguraikan bahwa jemaat dalam pengertian
Ekklesia
adalah persekutuan orang- orang percaya yang berasal dari segala tempat dan gereja yang berkumpul di satu rumah
untuk memuliakan Tuhan dan menjadi satu kesatuan yaitu Tubuh Kristus Mat 26:28; Kis 5:11; Roma 16:15
1
. Dalam hal ini, Soedarmo mendefinisikan gereja berdasarkan “kepemilikan”. Artinya gereja tidak dipahami sebagai orang per-orang atau denominasi
bahkan keyakinan. Secara tidak langsung, beliau mengakui bahwa yang disebut orang bergereja jemaat bukan saja anggota persekutuan suatu denominasi gereja melainkan juga
mereka yang beribadah di masjid atau pura misalnya, asal memuliakan Tuhan. Beliau menegaskan bahwa, dalam ajaran Protestan gereja diartikan sebagai yang memberitakan
Firman Allah secara murni dan yang melayangkan sakramen secara murni. Sakramen tidak
1
Soedarmo, Kamus Istilah Teologi Jakarta BPK: Gunung Mulia, 2007 hal. 30
9
bisa tanpa Firman Allah maka gereja dapat dijadikan satu, yaitu dimana Firman Allah diberitakan secara murni.
2
Menurut Hadiwijiyono dalam tulisannya mengenai Iman Kristen dijelaskan bahwa pemahaman tentang
gereja melalui sebuah kata dalam bahasa bahasa Portugis yakni
Igreya
. Menurut beliau, kata gereja berasal dari kata Portugis
—
Igreya
. Kata
Igreya
sendiri merupakan terjemahan dari kata Yunani
Kuriake
yang berarti menjadi milik Tuhan. Adapun yang dimaksud dengan
“milik Tuhan” ialah orang-orang yang percaya kepada Tuhan Yesus sebagai Juru selamat. Jadi yang dimaksud dengan gereja adalah persekutuan orang beriman.
Lebih lanjut beliau menegaskan bahwa kata
Kuriake
sebagai sebutan bagi persekutuan para orang yang menjadi milik Tuhan, belum terdapat dalam Perjanjian Baru. Istilah ini baru
dipakai pada zaman sesudah para rasul, yaitu sebelum gereja sebagai suatu lembaga dengan segala peraturannya.
3
Mencermati pemahaman Hadiwijiyono diatas, peneliti melihat bahwa kata
Igreya
lebih inklusif dibandingkan kata
Kuriake
. Hal ini memang tidak lepas dari corak teologis pada zaman para rasul yang sangat eksklusif. Hal ini dapat dilihat dari cara hidup
pengikut Kristus pada zaman itu yang sangat membenci kehidupan duniawi
piety
sampai kepada teologi yang pada waktu itu menjadi
queen of science
. Namun jika dilihat dari fakta yang ada sampai saat ini, harus diakui bahwa yang namanya
Kuriake
atau milik Kristus adalah orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus dan itu adalah harga mati
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa gereja dalam pengertian secara umum adalah persekutuan orang-orang percaya yang dipanggil dari kegelapan hidup lama kepada
terang hidup baru dan menjadi satu tubuh dalam tubuh Kristus. Gereja tidak hanya dilihat dari bangunannya secara fisik tetapi gereja lebih melihat pada orang-orang yang ada dalam
gereja itu sendiri. Menurut Hadiwijiyono, gereja memiliki empat sifat yaitu antara : 1.
Gereja adalah Kudus
2
ibid hal.31
3
Harun Hadiwijono, Iman Kristen Jakarta BPK: Gunung Mulia, 2007, hal. 362-363
10
2. Gereja adalah Am
3. Gereja adalah persekutuan orang kudus
4. Gereja adalah satu.
Berdasarkan sifat-sifat gereja diatas, maka hakekat dan tujuan dari gereja adalah menjadi alat Tuhan untuk mendatangkan kerajaanNya.
4
Namun pada saat ini gereja semakin menyadari bahwa khotbah monolog di gereja, tidaklah sepenuhnya menolong jemaatnya untuk terus bertumbuh dalam iman. Beban konflik
dan penyakit batin yang meletihkan, menyebabkan banyak warga gereja yang tidak dapat memberikan sumbangannya untuk pembangunan suatu iklim
koinonia
dalam hubungan di tengah-tengah jemaat, yang berpusat pada Roh Kudus. Kehadiran mereka justru menjadi
pemecah-belah, bukan mempersatukan. Kehadiran mereka menimbulkan penyakit dan tidak menyembuhkan. Semua situasi ini, mengharuskan gereja untuk mencari sebuah cara yang
efektif untuk mempersiapkan jemaat untuk menghadapi realitas yang semakin kompleks dan rumit Clinebell mengatakan bahwa:
“…pendampingan dan konseling dapat menjadi cara mengkomunikasikan Injil, dengan cara membantu mereka mengalami kasih anugerah yang bersifat menerima orang lain didalam suatu
hubungan manusiawi, maka kasih itu tidak dapat hidup bagi mereka. Sebelum mereka ditangkap atau dikuasai oleh penerimaan acceptance yang bersifat mendampingi didalam sesuatu
perjumpaan dengan kehidupan, maka kabar baik dari pekabaran Kristen tidak dapat menjadi suatu realitas yang membebaskan bagi mereka. Hubungan yang bersifat menolong adalah tempat dimana
perwujudan anugerah yang terbatas dan tidak lengkap dapat mentransformasikan relasi-relasi yang ada di jemaat
”.
5
Dapat dikatakan bahwa, dengan adanya konseling pastoral maka gereja mampu menghadapi relitas hidup yang kompleks dan rumit tersebut. Menurut Binswanger yang
dikutip dari Clinebell, menjelaskan bahwa psikoterapi dan juga konseling dapat mempersiapkan orang sedemikian rupa menjadi orang yang berpartisipasi konstruktif
didalam suatu komunitas atau
koinonia
yang menyembuhkan. Orang-orang yang
4
Ibid, hal. 374-390
5
Ibid, hal. 84-85
11
dipersiapkan tersebut dapat mengambil bagian didalam usaha penyembuhan dari jemaat itu untuk persatuan yang lebih luas.
6
1.2 Pastoral