Increasing production and quality of true shallot seed (TSS) using BAP, boron, and insect pollinators

 
 

PENINGKATAN PRODUKSI DAN MUTU BENIH BOTANI
(TRUE SHALLOT SEED) BAWANG MERAH (Allium cepa var.
ascalonicum) DENGAN BAP DAN BORON, SERTA SERANGGA
PENYERBUK

RINI ROSLIANI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
 
 

 
 
 


 
 

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
 

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Peningkatan Produksi dan
Mutu Benih Botani (True Shallot Seed) Bawang Merah (Allium cepa var.ascalonicum
B.) dengan BAP dan Boron, serta Serangga Penyerbuk adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2013
Rini Rosliani
NRP A251100101

 

 

 
 

ABSTRACT
RINI ROSLIANI. Increasing Production and Quality of True Shallot Seed (TSS)
using BAP, Boron, and Insect Pollinators. Under direction of ENDAH RETNO
PALUPI as Chair and YUSDAR HILMAN as Member of the Advisory
Committee.
True shallot seed (TSS) is one potential alternative of seed source to be developed
and be able to solve the problem of shallot seed in Indonesia. Constraints in TSS
production are the low flowering and seed formation. Such attempts to improve TSS
production is through increasing flowering using benzylaminopurine (BAP), pollen
viability using boron and pollination using insect pollinators. The aims of the
research were to enhance flowering, pollen viability, TSS production and quality
using BAP and boron, as well as study mating system in TSS production and enhance
TSS production and quality using insect pollinators. The study consisted of three
experiments and was conducted in two location i.e. Lembang (high land - 1250 m asl)
during August 2011-August 2012 and in Subang (low land - 100 m asl) during

March-August 2012. In each location the experiment was carried out in two steps. In
the first step BAP at 0, 50, 100, 150, and 200 ppm and boron at 0, 1, 2, 3, 4 kg ha-1
were used and arranged in randomized block design with three replicates. In the
second step there were two trials, namely experiments using self-pollination and
cross-pollination, as well as experiments using insect pollinators i.e. bees (Apis
mellifera, Apis cerana, Trigona sp.) and green fly (Lucilia sp. - Calliphoridae) were
employed, with open pollination as control were arranged in a randomized block
design and replicated five times. The results showed that BAP increased flowering,
pollen viability and TSS production in Lembang. While boron 1-4 kg ha-1 increased
flowering, pollen viability, TSS production and quality in Lembang. The optimum
concentration of BAP and dosage of boron for TSS production in Lembang were 37.5
ppm and 2.9 kg/ha respectively. In Subang, BAP enhanced flowering and pollen
viability. BAP did not increase the TSS production and quality. Boron also did not
affect flowering, pollen viability, TSS production and quality in Subang. Crosspollination was better in producing the yield and quality of TSS than self-pollination
in Lembang, but in Subang resulted in lower germination. Honeybee Apis cerana was
the most effective pollinator in increasing the yield and quality of TSS both in
Lembang and Subang. Increasing production of TSS by A .cerana was 56.8% with
77% germination in Lembang, while in Subang that was 61.3% with 83%
germination.
Keywords: A. cerana, A. mellifera, Lucilia sp., Trigona sp., pollen viability, high

land, low land, TSS production

 
 

 
 

RINGKASAN
RINI ROSLIANI. Peningkatan Produksi dan Mutu Benih Botani (True Shallot
Seed) Bawang Merah (Allium cepa var. ascalonicum) dengan BAP dan Boron,
serta Serangga Penyerbuk. Dibimbing oleh ENDAH RETNO PALUPI dan
YUSDAR HILMAN.
Biji botani bawang merah atau TSS (true shallot seed) merupakan salah satu
alternatif sumber benih yang potensial untuk dikembangkan dan dapat memecahkan
masalah perbenihan bawang merah di Indonesia. Kendala dalam produksi TSS yaitu
pembungaan dan pembentukan biji yang rendah. Usaha-usaha untuk meningkatkan
produksi TSS dapat dilakukan melalui peningkatan pembungaan dengan BAP,
perbaikan viabilitas serbuk sari dengan unsur mikro boron dan peningkatan
penyerbukan dengan bantuan serangga penyerbuk.

Tujuan penelitian yaitu meningkatkan pembungaan, viabilitas serbuk sari,
produksi dan mutu benih botani bawang merah (TSS) dengan BAP dan boron,
mempelajari sistem perkawinan bawang merah terhadap produksi benih botani (TSS),
serta meningkatkan produksi dan mutu benih botani bawang merah (TSS) dengan
serangga penyerbuk.
Penelitian terdiri atas tiga percobaan dan dilaksanakan di dua lokasi yaitu
Lembang (dataran tinggi-1.250 m dpl) selama Agustus 2011-Agustus 2012 dan di
Subang (dataran rendah-100 m dpl) selama Maret-Agustus 2012. Di setiap lokasi
percobaan dilakukan dua tahap. Pada tahap pertama, perlakuan terdiri atas BAP 0,
50, 100, 150 dan 200 ppm dan boron 0, 1, 2, 3, dan 4 kg/ha yang disusun dalam
ranacangan acak kelompok faktorial dengan tiga ulangan. Pada tahap kedua ada dua
percobaan, yaitu percobaan yang menggunakan penyerbukan sendiri dan
penyerbukan silang, serta percobaan yang menggunakan serangga penyerbuk lebah
(Apis mellifera, Apis cerana, Trigona sp.) dan lalat hijau (Lucilia sp. – Calliphoridae)
dengan penyerbukan terbuka sebagai kontrol yang disusun dalam rancangan acak
kelompok dan diulang lima kali.
Hasil percobaan pertama menunjukkan bahwa BAP mampu meningkatkan
pembungaan, viabilitas serbuk sari dan produksi benih botani bawang merah (TSS)
di dataran tinggi Lembang. BAP 50 ppm menghasilkan jumlah tanaman berbunga
tertinggi hingga 97.22% dengan jumlah bunga yang tinggi sebanyak 113.8 bunga per

umbel. Viabilitas serbuk sari meningkat dengan meningkatnya BAP hingga 200 ppm
tetapi tidak meningkatkan daya berkecambah. Konsentrasi BAP yang optimum untuk
produksi benih botani (TSS) di Lembang yaitu 37.5 ppm. Di dataran rendah Subang,
BAP 50 ppm dapat meningkatkan pembungaan, sedangkan viabilitas serbuk sari
meningkat dengan BAP 200 ppm. BAP tidak meningkatkan produksi dan mutu benih
botani bawang di Subang. Di dataran tinggi Lembang boron 1-4 kg/ha mampu
meningkatkan pembungaan, viabilitas serbuk sari, produksi dan mutu benih botani
bawang merah. Dosis boron yang optimum untuk produksi benih botani (TSS) di
Lembang yaitu 2.9 kg/ha. Peningkatan produksi TSS yang tinggi dicapai oleh boron
optimum yang menghasilkan 11.78 g/12 tanaman. Boron 3 kg/ha meningkatkan bobot
 
 

100 butir dengan daya berkecambah mencapai 78%. Boron tidak mempengaruhi
pembungaan, viabilitas serbuk sari, produksi maupun mutu benih botani bawang
merah (TSS) di dataran rendah Subang yang disebabkan karena kandungan boron
tanah cukup tersedia untuk tanaman. Produksi TSS di dataran tinggi lebih tinggi
daripada di dataran rendah yang disebabkan oleh pembungaan yang mencapai 2.5 – 3
kali lipat. Mutu TSS yang diproduksi di dataran rendah lebih tinggi daripada di
dataran tinggi.

Hasil percobaan kedua menunjukkan bahwa di dataran tinggi Lembang
penyerbukan silang meningkatkan produksi TSS, tetapi tipe penyerbukan tidak
mempengaruhi mutu benih. Di dataran rendah Subang tipe penyerbukan tidak
mempengaruhi produksi TSS.
Hasil percobaan ketiga menunjukkan bahwa Apis cerana merupakan
serangga penyerbuk yang dapat meningkatkan produksi dan mutu benih botani
bawang merah (TSS) baik di dataran tinggi Lembang maupun di dataran rendah
Subang. Peningkatan produksi benih botani bawang (TSS) oleh A. cerana sebesar
56.8% di Lembang, sedangkan di Subang produksi benih meningkat sebesar 61.3%.
Produksi benih botani (TSS) dari perlakuan A. cerana di dataran tinggi Lembang
lebih tinggi daripada dataran rendah Subang tetapi daya berkecambah TSS di dataran
rendah lebih tinggi daripada dataran tinggi.

Kata kunci: A. cerana, A. mellifera, Lucilia sp., Trigona sp., viabilitas serbuk sari,
produksi TSS, dataran tinggi, dataran rendah

 
 

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2012

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

 
 

 
 

PENINGKATAN PRODUKSI DAN MUTU BENIH BOTANI
(TRUE SHALLOT SEED) BAWANG MERAH (Allium cepa var.
ascalonicum) DENGAN BAP DAN BORON, SERTA SERANGGA
PENYERBUK


 
 
 
 
 
 
 

RINI ROSLIANI

 

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada Program Studi Ilmu dan Teknologi Benih

 
 
 

 

 
 
 
 
 
 
 

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
 

 

 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Bambang Sapta Purwoko, MSc

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

 
 

Judul

Nama
NRP

: Peningkatan Produksi dan Mutu Benih Botani (True Shallot Seed)
Bawang Merah (Allium cepa var. ascalonicum B.) dengan BAP dan
Boron, serta Serangga Penyerbuk
: Rini Rosliani
: A251100101

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Yusdar Hilman, MS
Anggota

Dr Ir Endah Retno Palupi, MSc
Ketua

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu dan Teknologi Benih

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Satriyas Ilyas, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MSc.Agr

Tanggal Ujian:1 Februari 2013

Tanggal Lulus:
 

 

 
 

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tesis ini berjudul
Peningkatan Produksi dan Mutu Benih Botani (True Shallot Seed) Bawang Merah
(Allium cepa var. ascalonicum) dengan BAP dan Boron, serta Serangga Penyerbuk
yang dilaksanakan dari bulan Agustus 2011 sampai bulan Agustus 2012. 
Terima kasih penulis ucapkan yang tulus dan penghargaan atas bimbingan dan
arahan keilmuan serta dorongannya kepada Dr Ir Endah Retno Palupi MSc dan Dr Ir
Yusdar Hilman MS selaku tim komisi pembimbing. Penghargaan dan ucapan terima
kasih penulis juga sampaikan kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura dan Kepala Balai
Penelitian Tanaman Sayuran yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
untuk menyelesaikan pendidikan magister di Sekolah Pascasarjana IPB, Prof Dr Ir
Satriyas Ilyas MS selaku ketua program studi Ilmu dan Teknologi Benih Sekolah
Pascasarjana IPB atas dorongan semangat dan arahan yang diberikan, Prof Dr Ir
Bambang Sapta Purwoko MSc selaku penguji luar komisi atas arahan dan masukan
yang diberikan selama ujian tesis, Rinda Kirana SP MP, saudara Memed, karyawan
dan karyawati Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang serta teman-teman
Program Studi Ilmu dan Teknologi Benih atas motivasi dan dukungannya.
Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada suami dan anakku
tercinta, ibu serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi perbenihan. Amin.

Bogor, Februari 2013
Rini Rosliani

 
 

 

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tasikmalaya, Jawa Barat pada tanggal 8 April 1964
sebagai anak kedua dari lima bersaudara, dari pasangan Daan Jusuf Suradimadja
(Alm.) dan R. Siti Salamah.
Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor, lulus tahun 1991. Penulis mendapat kesempatan
melanjutkan pendidikan program magister pada program studi Ilmu dan Teknologi
Benih, Sekolah Pascasarjana IPB, pada tahun 2010. Beasiswa pendidikan magister
diperoleh dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian
Republik Indonesia.
Penulis bekerja sebagai tenaga honorer di Balai Penelitian Tanaman Sayuran
Lembang-Bandung, Jawa Barat, pada tahun 1992-1993. Pada tahun 1993 sampai
sekarang penulis adalah staf peneliti pada kelompok peneliti Ekofisiologi bidang
Agronomi, Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

 
 

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL............................................................................................
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................
PENDAHULUAN ..........................................................................................
Latar Belakang......................................................................................
Tujuan ...................................................................................................
Hipotesis ...............................................................................................
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................
Botani Bawang Merah .........................................................................
Pembungaan dan Pembentukan Biji Bawang........................................
Benzyl Amino Purine.............................................................................
Boron......................................................................................................
Penyerbukan...........................................................................................
BAHAN DAN METODE ..............................................................................
Tempat dan Waktu.................................................................................
Bahan dan Alat ......................................................................................
Metode Penelitian...................................................................................
Pelaksanaan Penelitian...........................................................................
HASIL DAN PEMBAHASAN.......................................................................
Kondisi Umum Lapangan......................................................................
Perkembangan Bunga dan Kapsul.........................................................
Percobaan 1 di Dataran Tinggi Lembang...............................................
Percobaan 1 di Dataran Rendah Subang................................................
Produksi dan Mutu TSS di Dua Lokasi..................................................
Percobaan 2 di Dataran Tinggi Lembang...............................................
Percobaan 2 di Dataran Rendah Subang ..............................................
Percobaan 3 di Dataran Tinggi Lembang...............................................
Percobaan 3 di Dataran Rendah Subang................................................
Peran A. cerana dalam Produksi dan Mutu TSS di Dua Lokasi..........
SIMPULAN DAN SARAN............................................................................
Simpulan...............................................................................................
Saran.....................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................
LAMPIRAN ...................................................................................................

i
iv
vi
1
1
5
5
6
6
8
10
11
13
15
15
15
15
18
25
25
26
28
40
47
50
53
55
65
71
75
75
76
77
84
 

 

 
 

 
 

 
 

DAFTAR TABEL

Halaman
1

Fase peekembangan bunga dan pembentukan kapsul bawang merah di
dataran tinggi Lembang dan dataran rendah Subang ...................................

27

2

Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap waktu muncul umbel,
persentase tanaman berbunga dan jumlah umbel per tanaman bawang
merah di dataran tinggi Lembang..................................................................

29

3

Pengaruh perlakuan BAP dan boron Jumlah bunga per umbel, jumlah
kapsul per umbel dan persentase pembentukan kapsul bawang merah di
dataran tinggi Lembang.................................................................................

30

4

Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap viabilitas dan jumlah
serbuk sari bawang merah satu hari setelah antesis di dataran tinggi
Lembang.........................................................................................................

33

5

Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap jumlah TSS per umbel,
persentase TSS bernas, bobot TSS per umbel dan bobot TSS per tanaman
di dataran tinggi Lembang.............................................................................

35

6

Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap bobot 100 butir, daya
berkecambah, potensi tumbuh
maksimum TSS di dataran tinggi
Lembang.........................................................................................................

38

7

Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap waktu muncul tunas umbel,
persentase tanaman berbunga dan jumlah umbel per tanaman bawang
merah di dataran rendah Subang....................................................................

41

8

Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap jumlah bunga per umbel,
jumlah kapsul per umbel dan persentase pembentukan kapsul bawang
merah di dataran rendah Subang ...................................................................

43

9

Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap viabilitas dan jumlah 44
serbuk sari bawang merah di dataran rendah Subang....................................

10

Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap jumlah TSS per umbel, 45
persentase TSS bernas, bobot TSS per umbel, bobot TSS per tanaman
dan bobot TSS per plot di dataran rendah Subang.........................................
 

 

 
 

11

Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap bobot 100 butir, daya 47
berkecambah, potensi tumbuh maksimum TSS di dataran rendah
Subang............................................................................................................

12

Pengaruh sistem perkawinan bawang merah terhadap jumlah kapsul dan 50
persentase pembentukan kapsul per umbel di dataran tinggi Lembang.........

13

Pengaruh sistem perkawinan bawang merah terhadap jumlah TSS bernas 52
per umbel, persentase TSS bernas dan bobot TSS bernas per umbel di
dataran tinggi Lembang.................................................................................

14

Pengaruh sistem perkawinan bawang merah terhadap mutu TSS di dataran 53
tinggi Lembang..............................................................................................

15

Pengaruh sistem perkawinan bawang merah terhadap jumlah kapsul dan 53
persentase pembentukan kapsul per umbel di dataran rendah Subang.........

16

Pengaruh sistem perkawinan bawang merah terhadap jumlah TSS per 54
umbel, persentase TSS bernas dan bobot TSS per umbel di dataran rendah
Subang............................................................................................................

17

Pengaruh sistem perkawinan bawang merah terhadap mutu TSS di 54
dataran rendah Subang ..................................................................................

18

Jumlah kapsul bernas per umbel dan persentase pembentukan kapsul per 57
umbel dengan bantuan serangga penyerbuk di dataran tinggi Lembang.......

19

Jumlah TSS, persentase TSS bernas dan bobot TSS per umbel dengan 59
bantuan serangga penyerbuk di dataran tinggi Lembang...............................

20

Bobot TSS per tanaman, bobot TSS per plot dan jumlah umbel dipanen 60
per plot dengan bantuan serangga penyerbuk di dataran tinggi
Lembang.........................................................................................................

21

Bobot 100 butir, daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimum TSS 63
dengan bantuan serangga penyerbuk di dataran tinggi Lembang..................

22

Jumlah umbi per tanaman, bobot umbi per tanaman, dan bobot individu 64
umbi pada tanaman bawang merah dengan bantuan serangga penyerbuk
di dataran tinggi Lembang.............................................................................

23

Jumlah kapsul bernas per umbel dan persentase pembentukan kapsul per 64
umbel dengan bantuan serangga penyerbuk di dataran rendah Subang.........
 

 

 
 
24

Jumlah TSS, persentase TSS bernas dan bobot TSS per umbel dengan 67
bantuan serangga penyerbuk di dataran rendah Subang ..............................

25

Bobot TSS per tanaman, bobot TSS per plot dan jumlah umbel dipanen 68
per plot dengan bantuan serangga penyerbuk di dataran rendah Subang...

26

Bobot 100 butir, daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimum TSS 69
dengan bantuan serangga penyerbuk di dataran rendah Subang...................

27

Jumlah umbi per tanaman, bobot umbi per tanaman, dan bobot individu 70
umbi pada tanaman bawang merah dengan bantuan serangga penyerbuk
di dataran rendah Subang...............................................................................

 
 

 

 
 

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1

Fase pembungaan dan pembentukan kapsul bawang merah..........................

27

2

Viabilitas serbuk sari pada waktu pengambilan serbuk sari yang 32
berbeda...........................................................................................................

3

Perkecambahan serbuk sari dari tanaman yang diberi perlakuan Boron (A), 34
serbuk sari pada tanaman kontrol (B) di dataran tinggi Lembang…......

4

Kurva respon bobot TSS terhadap konsentrasi BAP (A) dan terhadap 36
dosis boron (B) di dataran tinggi Lembang....................................................

5

Produksi TSS per plot dari perlakuan dosis Boron 3 kg/ha (A) dan dari 36
perlakuan kontrol (B) di dataran tinggi Lembang..........................................

6

Ukuran kecambah normal pada perlakuan tanpa BAP/tanpa boron (A), 39
pada perlakuan boron (B) dan pada perlakuan BAP (C) di dataran tinggi
Lembang..........................................................................................................

7

Pembungaan bawang merah di dataran tinggi (A) dan dataran rendah (B)…

8

Perbandingan bobot TSS per plot (A), bobot TSS 100 butir (B) dan daya 49
berkecambah TSS (C) di dataran tinggi dan dataran rendah.........................

9

Berbagai jenis serangga penyerbuk pada perlakuan penyerbukan terbuka: 56
tabu-tabuan, kupu-kupu, lalat, lebah soliter dan semut di dataran tinggi
Lembang..........................................................................................................

10

Kapsul bawang merah yang terbentuk dari penyerbukan dengan 57
bantuan A. mellifera (A), A. cerana (B), Trigona sp. (C), Lucilia sp. (D),
penyerbukan terbuka (E) di dataran tinggi Lembang.....................................

11

Tiga penyakit utama bawang merah yang menyerang tangkai umbel 61
(A) dan daun (B): bercak ungu, antraknose dan embun bulu.........................

12

Produksi TSS per plot (60 tanaman) di dataran tinggi pada perlakuan A. 62
mellifera (A), A cerana (B), Trigona sp.(C), Lucilia sp. (D) dan
penyerbukan terbuka (E) di dataran rendah Subang ......................................

13

Produksi umbi pada tanaman bawang merah yang memproduksi TSS di 64
dataran tinggi (A) dan di dataran rendah (B)..................................................

48

 
 

14

Produksi TSS per plot (60 tanaman) pada perlakuan A. mellifera (A), A. 68
cerana (B), Trigona sp. (C), Lucilia sp. (D) dan penyerbukan terbuka (E)
di dataran rendah Subang...............................................................................

15

Bobot TSS per plot (A), bobot 100 butir (B) dan daya berkecambah TSS 71
(C) di dataran tinggi dan dataran rendah yang dibantu A. cerana..................

 
 

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1

Deskripsi bawang merah varietas Bima Brebes.............................................

2

Umbi bibit setelah divernalisasi 1 bulan siap tanam (A); Penanaman 86
tiga umbi per polibag (B)...............................................................................

3

Rata-rata suhu dan kelembaban di dataran tinggi Lembang (1250 m dpl) 86
pada bulan Agustus sampai Desember 2011..................................................

4

Rata-rata suhu udara, kelembaban relatif dan curah hujan di dataran 86
tinggi Lembang (1250 m dpl) pada bulan Maret sampai Juli 2012................

5

Rata-rata suhu dan kelembaban di dalam kerodongan kain kasa di dataran 87
tinggi Lembang (1250 m dpl) pada bulan Maret sampai Juli 2012…………
Rata-rata suhu dan kelembaban di dataran rendah Subang (100 m dpl) 87
pada bulan Maret sampai Juli 2012.................................................................

6

85

 
 

 

1
 

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bawang merah (Allium cepa var. ascalonicum B.) termasuk tanaman

sayuran yang banyak dibudidayakan di Indonesia. Menurut BPS (2006) bawang
merah menduduki urutan kedua setelah tanaman cabe yang banyak ditanam di
Indonesia dengan luas tanam 89.188 ha. Pada tahun 2010, BPS melaporkan
bahwa luas panen bawang merah meningkat menjadi 109.634 ha. Dengan luas
tanam tersebut maka kebutuhan benih/bibit bawang merah yang berasal dari umbi
per tahun diperkirakan sebanyak 109.634 – 131.561 ton/ha, dengan perhitungan
kebutuhan bibit bawang merah sekitar 1-1.2 ton/ha.
Kendala utama peningkatan produksi bawang merah, antara lain adalah
tidak ada jaminan ketersediaan benih atau umbi bibit bermutu yang berdaya hasil
tinggi dan murah. Menurut Direktorat Jenderal Hortikultura (2010) umbi bibit
bawang merah yang tersedia tidak dapat memenuhi kebutuhan para petani untuk
penanaman setiap tahunnya. Rata-rata ketersediaan umbi bibit bawang merah
baru mencapai 15 - 16% dari kebutuhan setiap tahunnya. Pada tahun 2009, dari
kebutuhan sebanyak 120.020 ton umbi bibit bawang merah, hanya tersedia 19.770
ton yang terdiri dari 13.400 ton produksi dalam negeri dan 6.370 ton impor.
Kontinuitas ketersediaan umbi bibit bawang merah yang bermutu merupakan
faktor penting untuk keberlanjutan pengembangan penanaman bawang merah di
Indonesia.
Selama ini, umumnya petani menggunakan benih bawang merah dalam
bentuk umbi bibit. Masalah penggunaan umbi bibit sebagai benih adalah
terbatasnya ketersediaan benih bermutu.

Pengadaan benih yang seadanya di

tingkat petani menyebabkan produktivitas bawang merah di Indonesia masih
rendah yaitu sekitar 9.57 ton/ha, sedangkan untuk daerah sentra produksi BrebesJawa Tengah produktivitasnya telah mencapai 11.12 ton/ha (BPS 2010), 55.6%
dari potensi hasil yang mencapai 20 ton/ha (Kartapradja & Sartono 1990). Selain
itu penggunaan umbi sebagai benih memerlukan biaya yang tinggi mencapai 40%
dari total biaya produksi (Suherman & Basuki 1990), memerlukan gudang
penyimpanan dan transportasi khusus, tidak dapat disimpan lama, dan dapat
 
 

2
 

membawa penyakit dari pertanaman sebelumnya seperti penyakit moler
(Fusarium sp), antraknose (Colletotrichum sp), bakteri, dan virus (Permadi 1995).
Salah satu alternatif yang potensial untuk dikembangkan dalam
memecahkan masalah perbenihan bawang merah adalah penggunaan biji botani
(TSS-true shallot seed). Menurut Currah & Proctor (1990) kelebihan penggunaan
biji botani adalah menghasilkan tanaman dengan produktivitas tinggi dan bebas
dari penyakit dan virus. Hasil penelitian Basuki (2009a) menunjukkan bahwa
penggunaan TSS dapat meningkatkan hasil umbi bawang merah sampai dua kali
lipat dibandingkan dengan penggunaan benih umbi (produksi 26 ton/ha).
Keuntungan lainnya menurut Ridwan et al. (19890, Permadi dan Putrasamedja
(1991), dan Basuki (2009a) adalah kebutuhan benih TSS bawang merah lebih
sedikit (3-6 kg/ha @ Rp. 1.200.000/kg)) dibandingkan dengan benih umbi (+ 1 1.2 ton/ha @ Rp 15.000.000-25.000.000/kg) sehingga mengurangi biaya benih
disamping pengangkutan yang lebih mudah, dan daya simpan lebih lama
dibanding benih umbi. Menurut Copeland dan McDonald (1995), 50% benih
bawang asal biji masih dapat berkecambah setelah disimpan selama 1-2 tahun
sedangkan menurut Suwandi & Hilman (1995) benih bawang asal umbi bibit
hanya dapat disimpan sekitar 4 bulan dalam gudang. Berdasarkan beberapa
kelebihan TSS dibanding umbi, maka penggunaan TSS sebagai benih sumber
bawang merah sangat prospektif untuk meningkatkan produksi dan kualitas umbi
bawang merah.
Saat ini, budidaya bawang merah asal TSS belum berkembang di
Indonesia. Hal ini disebabkan karena ketersediaan TSS yang masih terbatas dan
belum tersedianya teknik produksi TSS yang tepat sementara penelitian teknik
produksi TSS telah dilakukan sejak awal 1990-an oleh Balai Penelitian Tanaman
Sayuran melalui peningkatan pembungaan bawang merah dengan perlakuan
vernalisasi umbi, penggunaan umbi berukuran besar, waktu tanam yang tepat
(pada musim kemarau), aplikasi zat pengatur tumbuh dan pemupukan (Satjadipura
1990; Putrasamedja & Permadi 1994; Sumarni & Soetiarso 1998; Sumarni &
Sumiati 2001; Rosliani et al. 2005; Sumarni et al. 2009). Menurut Basuki (2009a)
respon pengguna yang masih rendah terhadap TSS juga disebabkan karena petani

3
 

belum meyakini kelayakan ekonomis dari teknik budidaya TSS dibanding
menggunakan benih umbi yang biasa dilakukan.
Varietas Bima merupakan varietas unggul lokal yang paling banyak
mendapat preferensi petani di sentra produksi Brebes (Basuki 2009b). Varietas
tersebut mengungguli varietas lokal lainnya maupun varietas impor/introduksi
seperti Ilocos, Bangkok, dan Tandayung. Varietas Bima Brebes merupakan salah
satu varietas yang berpotensi sebagai sumber induk TSS.

Di dataran tinggi

Cipanas varietas tersebut menghasilkan pembungaan sampai 70% (Putrasamedja
& Permadi 1994).
Kendala yang dihadapi dalam produksi benih asal biji atau TSS adalah
persentase pembungaan dan pembentukan biji yang rendah. Penyebab rendahnya
pembungaan bawang merah di daerah tropis adalah kondisi lingkungan yang tidak
mendukung, terutama suhu tinggi > 200 C. Menurut Rabinowitch (1990) tanaman
bawang merah memerlukan suhu 7 – 120 C untuk terjadinya inisiasi pembungaan
dan suhu 17 – 190 C untuk perkembangan umbel dan bunga mekar. Pembentukan
biji yang rendah pada tanaman bawang genus Allium diantaranya diduga
disebabkan oleh viabilitas serbuk sari yang rendah

dan penyerbukan yang

terbatas. Ockendon dan Gates (1976) melaporkan bahwa pada tanaman bawang
bombay varietas Rijnsburger ditemukan 67.46% antera yang mempunyai serbuk
sari yang tidak viabel (0-1%), 20.8% mempunyai viabilitas 1-20% dan sisanya
mempunyai viabilitas sekitar 21-100%. Yucel dan Duman (2005), Gure et al.
(2009) menyatakan bahwa penyerbukan yang efektif sulit terjadi dalam produksi
biji bawang bombay karena tanaman menyerbuk silang.
Pembungaan bawang dapat ditingkatkan dengan pemberian zat pengatur
tumbuh (ZPT). Benzyl Amino Purine (BAP) merupakan ZPT golongan sitokinin
yang berperan dalam merangsang pembungaan sebagaimana terjadi pada tanaman
Cajanus cajan (Barclay & McDavid 1998), kedele (Youngkoo et al. 2006), dan
tanaman Chamomile (Prat et al. 2008) dengan konsentrasi 20-50 ppm.
Serbuk sari yang viabel merupakan syarat untuk pembentukan biji dan
kapsul (Shivanna & Sawhney 1997).

Salah satu usaha untuk memperbaiki

pembentukan biji dapat dilakukan melalui peningkatan viabilitas serbuk sari.
Garg et al. (1979) melaporkan bahwa untuk memperbaiki viabilitas serbuk sari
 
 

4
 

padi dapat digunakan unsur hara boron. Pemberian boron juga menunjukkan
respon yang positif terhadap peningkatan produksi biji tanaman tomat dan paprika
(Sharma 1995; Sharma 1999), terutama boron pada dosis 1-2 kg boron/ha.
Selain viabilitas serbuk sari, penyerbukan yaitu perpindahan serbuk sari
dari antera ke permukaan putik (stigma), juga menentukan pembentukan dan
perkembangan biji.

Yucel dan Duman (2005), Kameyama dan Kudo (2009)

mengemukakan bahwa lebah memainkan peranan penting dalam membantu
penyerbukan tanaman bawang. Menurut Gure et al. (2009) kelebihan lebah
sebagai penyerbuk adalah meningkatkan terjadinya penyerbukan silang, sehingga
meningkatkan hasil benih dan memperbaiki mutu benih yaitu viabilitas dan bobot
benih. Sajjad et al. (2008) melaporkan bahwa selain lebah, serangga pengunjung
bunga bawang bombay yang utama juga beberapa jenis lalat.
Lokasi penanaman juga mempengaruhi hasil biji bawang merah. Pada
umumnya, dataran tinggi (suhu 16-180 C) merupakan lokasi yang cocok untuk
menghasilkan pembungaan yang tinggi. Menurut Sumarni et al. (2009) kondisi
cuaca di dataran rendah tidak cocok untuk terjadinya inisiasi pembungaan bawang
merah.

Sumarni et al. (2009) juga melaporkan ada indikasi bahwa untuk

pembentukan kapsul dan biji, kondisi cuaca di dataran rendah lebih cocok
dibanding dataran tinggi.

Hal ini tercermin dari hasil bobot benih TSS per

tanaman dan bobot 100 Benih TSS serta daya berkecambah benih bawang merah
di dataran rendah lebih tinggi dibanding di dataran tinggi.
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas maka perlu dilakukan
penelitian peningkatan pembungaan, viabilitas serbuk sari, produksi dan mutu
benih botani bawang merah (TSS) dengan menggunakan BAP dan Boron di
dataran tinggi dan dataran rendah. Penelitian terkait serangga penyerbuk yang
dapat meningkatkan penyerbukan silang dan pembentukan benih dan dampaknya
terhadap produksi dan mutu benih bawang merah juga perlu dipelajari. Dari hasil
penelitian ini diharapkan akan diperoleh teknik produksi biji (TSS) bawang merah
untuk varietas Bima di dataran tinggi dan dataran rendah dalam rangka
meningkatkan produksi benih (TSS) bawang merah.

5
 

Tujuan

1. Mempelajari pengaruh Benzyl Amino Purine (BAP) dan Boron terhadap
pembungaan dan viabilitas serbuk sari, serta produksi dan mutu TSS di
dataran tinggi dan dataran rendah.
2. Mempelajari sistem perkawinan bawang merah terhadap produksi dan mutu
benih botani bawang (TSS) di dataran tinggi dan dataran rendah.
3. Mempelajari peran serangga penyerbuk dalam meningkatkan produksi TSS di
dataran tinggi dan dataran rendah.

Hipotesis
1. BAP 50 ppm dan Boron 2 kg/ha dapat meningkatkan pembungaan dan
viabilitas serbuk sari sehingga meningkatkan produksi benih botani.
2. Penyerbukan silang menghasilkan produksi dan mutu benih lebih baik
daripada penyerbukan sendiri
3. Lalat hijau lebih efisien dalam membantu penyerbukan bawang merah
daripada serangga penyerbuk lainnya.

 
 

 

6
 

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Bawang Merah
Bawang merah (Allium cepa var. ascalonicum) termasuk tanaman
semusim yang merupakan salah satu bentuk dari bawang bombay (A. cepa) yang
dikembangbiakan secara vegetatif yang berasal dari seleksi terhadap varian-varian
yang terjadi secara alami dalam populasi bawang bombay. Bawang merah
mempunyai struktur bunga yang sama dengan bawang bombay, dan hibrida antara
keduanya memiliki meiosis yang teratur dan sepenuhnya fertile demikian pula
seedling pada F2 atau generasi berikutnya dari hibrid semuanya dapat tumbuh
(Jones 1990). Perbedaan antara bawang merah dan bawang bombay terletak
antara lain pada sifat perbanyakannya secara vegetative.

Menurut DeMason

(1990) pada bawang bombay umbi terbentuk dari seludang daun yang
mengandung dua atau tiga calon tunas, sedangkan pada bawang merah umbi
terbentuk dari pertumbuhan tunas samping umbi induknya dan biasanya
mengandung banyak calon tunas .
Bawang merah dimasukkan ke dalam grup Agregatum.

Dalam tipe

Agregatum terdapat 2 bentuk, yaitu: (a) bawang merah biasa (shallot) dan (b)
bawang Bombay (multiplier onion) (Hanelt 1990).

Tipe multiplier onion lebih

besar dari pada bawang merah biasa, jumlah umbi per tanaman lebih sedikit,
umbinya lebih besar dan berbentuk lebih gepeng, umbi terbentuk di dalam tanah
dan umbi-umbi tersebut lebih rapat serta dikelilingi seludang. Menurut Permadi
(1995) pada bawang merah biasa umbi-umbi serumpun tumbuh mandiri hanya
bagian dasarnya saja yang berhubungan dan jumlahnya mencapai 16 umbi per
rumpun. Pada tipe Agregatum terdapat tipe-tipe yang dapat berbunga maupun
yang tidak dapat berbunga.
Ciri-ciri morfologis bawang merah berakar serabut, berumbi lapis, dan
berdaun silindris. Bawang merah memiliki batang sejati yang berbentuk cakram
tipis dan pendek sebagai tempat melekatnya perakaran dan mata tunas yang
disebut subang atau diskus. Mata tunas akan tumbuh menjadi tanaman baru yang
disebut tunas lateral atau anakan. Tunas-tunas lateral tersebut akan membentuk
subang baru hingga dapat membentuk umbi lapis pula. Dengan demikian bawang

7

merah mempunyai sifat merumpun dan tiap umbi menjadi beberapa umbi
(anakan). Pada dasar cakram akan tumbuh akar serabut. Pada tengah cakram
terdapat tunas apikal yang merupakan mata tunas utama dan tumbuh paling dulu.
Dalam keadaan lingkungan yang sesuai pada tunas apikal dapat tumbuh bakal
bunga atau primordia bunga (Currah & Proctor 1990).
Bunga bawang adalah bunga sempurna (hermaphrodite), yang pada
umumnya terdiri atas 5-6 stamen, satu stigma, dengan mahkota yang berwarna
putih. Bakal kapsul membentuk bangunan bersegi tiga seperti kubah. Bakal
kapsul ini terbentuk dari 3 ruang dan dalam tiap ruang tersebut terdapat 2 bakal
biji (ovulum). Stamen tersusun membentuk 2 lingkaran, yaitu lingkaran luar
(outer whorl) dan lingkaran dalam (inner whorl). Pada lingkaran luar terdapat 3
stamen, demikian pula pada lingkaran dalam.

Dalam 2-3 hari semua antera

menjadi dewasa, tetapi umumnya antera yang terletak pada lingkaran dalam lebih
cepat dewasa (Rabinowitch 1990).
Bawang merah merupakan tanaman menyerbuk silang sehingga populasi
bawang merah (yang berasal dari biji) terdiri atas individu-individu dengan
genotipe berbeda (Currah & Proctor 1990). Gure et al. (2009) melaporkan bahwa
penyerbukan sendiri pada tanaman bawang bombay kecil kemungkinannya dan
hanya terjadi sampai 9%.

Bawang merah, seperti halnya bawang bombay,

memiliki keragaman yang besar baik mengenai sifat-sifat umbinya (bentuk,
ukuran, warna, kandungan bahan kering maupun kandungan gula dan kepedasan
atau prugency), maupun dalam warna daun, resistensi hama dan penyakit, serta
respon terhadap lingkungan (suhu dan panjang hari), dll.
Kultivar-kultivar bawang merah yang ada di Indonesia sampai saat ini
masih dikembangbiakkan secara vegetatif. Pembiakan secara vegetatif ini
menyebabkan semua individu di dalam populasi suatu kultivar memiliki susunan
genetik (genotipe) yang sama, sehingga tiap individu dalam satu kultivar memiliki
potensi yang sama dalam daya hasil, resistensi hama dan penyakit, kualitas umbi
dll (Permadi 1995). Kultivar-kultivar lokal bawang merah yang berkembang di
dataran rendah antara lain Bima, Kuning, Banji, Timor, Benthok dan Bangkok
Warso, sedangkan di dataran medium/tinggi antara lain Maja, Menteng, Batu,
Sumenep.
 
 

8
 

Bawang

merah

juga

dapat

dibiakkan

secara

generatif

dengan

menggunakan biji (true shallot seed = TSS). Biji yang masih muda berwarna
putih dan setelah tua berwarna hitam. Biji berasal dari bunga tanaman bawang
merah yang berhasil menjadi buah yang disebut kapsul. Kapsul berbentuk bulat
dengan ujungnya tumpul membungkus biji (Putrasamedja 1995b). Semua kultivar
bawang merah di Indonesia kecuali kultivar Sumenep mampu berbunga dan
berbiji secara alami, meskipun tingkat pembungaan dan pembentukan biji sangat
rendah (Permadi & Putrasamedja 1991).

Pembungaan dan Pembentukan Biji Bawang
Bolting atau inisiasi pembungaan merupakan masalah yang umum terjadi
pada genus Allium (Currah & Proctor 1990).

Faktor yang mempengaruhi

pembungaan genus Allium terutama bawang bombay antara lain suhu rendah,
panjang hari, intensitas cahaya, nutrisi, hormon dan vitamin (Brewster & Salter
1980). Menurut Fita (2004), suhu adalah faktor perangsang dalam proses bolting.
Suhu mempengaruhi transisi dari fase vegetatif ke reproduktif yang umumnya
disebut suhu kritis untuk pembungaan dan pembentukan biji bawang merah. Fase
pertumbuhan vegetatif berakhir jika primordia daun berubah menjadi primordia
bunga.
Untuk menginduksi pembungaan bawang merah di daerah tropis
diperlukan perlakuan suhu dingin atau vernalisasi (Shishido & Saito

1977).

Vernalisasi dapat menginduksi meristem vegetatif yang telah menghasilkan
struktur vegetatif seperti daun untuk mengalihkan ke struktur reproduktif seperti
meristem bunga. Menurut Rashid dan Singh (2000) bawang bombay mengalami
bolting pada suhu antara 10 – 15o C. Bawang bombay tidak dapat menginisiasi
bunga (bolting) sampai menerima stimulus suhu rendah. Suhu 20 - 22o C dapat
mendukung pertumbuhan vegetatif bawang, sementara untuk pembentukan organ
reproduksi suhu yang cocok adalah 12-13o C. Bakal bunga berkembang selama
perkembangan dan pertumbuhan awal pada suhu rendah dan akhirnya biji
diproduksi. Menurut Khokhar (2009) dan Badawi et al. (2010) secara umum pada
genus Allium bolting meningkat dengan suhu penyimpanan umbi yang lebih
rendah pada 5o C, sementara suhu yang lebih tinggi (25 atau 30 oC) menekan

9

bolting dan menunda pemekaran bunga pada umbel (karangan bunga) sehingga
mempengaruhi pembentukan biji. Hal ini kemungkinan karena perkembangan
bunga terhenti atau terhambat oleh tingginya suhu.
Rendahnya persentase pembungaan bawang merah di daerah tropis seperti
Indonesia juga karena kondisi lingkungan cuaca, terutama suhu udara yang cukup
tinggi (> 18o C) yang tidak mendukung insiasi pembungaan (Sumiati 1997).
Menurut Rashid & Singh (2000), pada suhu 18o C umumnya bawang tidak
mampu menginisiasi bunga. Untuk meningkatkan pembungaan bawang merah
selain perlakuan vernalisasi, penanaman dilakukan di dataran tinggi yang
mempunyai suhu 16 – 18 oC. Hasil penelitian Putrasamedja dan Permadi (1994)
menunjukkan bahwa semua kultivar bawang merah yang ditanam di dataran tinggi
Gunung Putri, Cipanas Cianjur (ketinggian 1 400 m dpl) dapat berbunga kecuali
Sumenep. Kultivar-kultivar bawang merah yang mempunyai persentase
pembungaan mencapai lebih 70% antara lain Cipanas (78.6 %), Kuning Tablet
(74.3 %), Kuning Sidapurna (78.6%), Bima Brebes (72.2 %) , sedangkan kultivar
lainnya memiliki persentase pembungaan di bawah 70% yaitu Kuning Juwita (13
%), Bangkok (66.3%), Maja (54.4%), dan Philipine (34.6%) sedangkan Sumenep
tidak dapat berbunga. Kultivar-kultivar yang memiliki persentase pembungaan >
70%, berpotensi untuk digunakan sebagai tanaman induk TSS.

Meskipun

demikian beberapa penelitian yang telah dilakukan Sumarni & Soetiarso (1998);
Sumarni & Sumiati (2001); Rosliani et al. (2005); Sumarni et al. (2009)
menunjukkan bahwa persentase pembentukan biji bawang merah umumnya masih
rendah.
Keberhasilan produksi biji tanaman tergantung pada proses reproduksi;
sifat struktur bunga, jumlah transfer serbuk sari, self-incompability dan pengaruh
inbreeding terhadap vigor (Fita 2004), dan faktor cuaca yaitu suhu agak hangat
dan udara kering untuk bawang merah (Rashid & Singh 2000).

Menurut Gross

dan Warner (1983) pada tanaman solidago (Compositae) peningkatan
pembentukan biji terkait dengan serangga penyerbuk dan fenologi pembungaan.

 
 

10
 

Benzyl Amino Purine
Induksi pembungaan dapat dilakukan dengan pemberian zat pengatur

tumbuh. Menurut Amanullah et al. (2010) zat pengatur tumbuh dapat
meningkatkan translokasi source-sink dan mendorong translokasi photo-asimilat
yang membantu dalam pembentukan bunga, perkembangan biji dan kapsul yang
efektif dan akhirnya meningkatkan produktivitas tanaman. Hal ini terjadi karena
zat pengatur tumbuh dapat memperbaiki efisiensi fisiologis yang meliputi
kemampuan fotosintetik dan dapat meningkatkan pembagian asimilat dari source
ke sink tanaman.
Menurut Davies (2004) zat pengatur tumbuh endogen atau fitohormon
adalah senyawa organik bukan nutrisi yang aktif dalam jumlah kecil yang
disintesis pada bagian tertentu dari tanaman dan pada umumnya diangkut ke
bagian lain tanaman dimana zat tersebut menimbulkan tanggapan secara biokimia,
fisiologis dan morfologis. Fitohormon dikelompokkan dalam lima golongan yaitu
auksin, giberelin, sitokinin, asam absisat dan etilen.
Sitokinin merupakan zat pengatur tumbuh yang mendorong pembelahan
sel. Menurut Amanullah et al. (2010) selain pembelahan sel, sitokinin juga dapat
mempengaruhi pembesaran sel, diferensiaisi jaringan, dormansi, fase pembungaan
dan pembuahan serta menghambat penuaan daun. Pengaruh sitokinin pada
berbagai proses itu semua diduga pada tingkat pembuatan protein mengingat
kesamaan struktur sitokinin dengan adenin yang merupakan komponen dari DNA
dan RNA. 6-Benzyladenin (6-Benzyl amino purine) merupakan sitokinin sintetik
yang mempunyai struktur yang serupa dengan kinetin. Turunan-turunan adenin
yang disubstitusi pada posisi 6 (seperti BA atau BAP) adalah yang paling aktif.
Substitusi pada posisi lain dari sifat adenin harus diubah ke posisi 6 untuk bisa
aktif.
Prat et al. (2008) yang meneliti histologi tunas aksilar pada tanaman
jojoba mengungkapkan bahwa aplikasi sitokinin sintetik seperti BA memperbesar
meristem bunga dan meningkatkan produksi bunga. Pada tanaman chamomile
Reda et al. (2010) menyatakan bahwa kandungan fotosintat dan ion mineral (Ca,
K, and Mg) secara gradual meningkat setelah umur 90 hst. Pemberian 50 ppm
kinetin meningkatkan jumlah bunga dan kandungan minyak dalam bunga pada

11

dua periode pembungaan.

Jenis sitokinin lainnya yaitu Benzyl Amino Purin

(BAP) dapat meningkatkan bobot 100 biji dan produksi biji per tanaman kedele
(Youngkoo et al. 2006). Pada tanaman pigeonpea, BAP 20 ppm menghasilkan
produksi biji tertinggi (Barclay & McDavid 1998).

Boron
Pemupukan merupakan suatu usaha untuk menyediakan unsur hara atau
nutrisi yang dibutuhkan tanaman. Nutrisi atau unsur hara tanaman adalah unsur
penting yang dibutuhkan tanaman untuk pertumbuhan dan perkembangannya.
Translokasi fotosintat dari source ke sink sangat penting untuk perkembangan
organ-organ reproduksi. Selain unsur hara makro primer (nitrogen, fosfor dan
kalium) dan makro sekunder (kalsium, magnesium dan sulfur), tanaman juga
membutuhkan unsur hara mikro untuk pertumbuhan dan metabolisme tanaman
meskipun jumlah yang dibutuhkan sangat sedikit. Tujuh unsur mikro yang
dibutuhkan tanaman yaitu boron (B), besi (Fe), seng (Zn), Mangan (Mn), tembaga
(Co), klorine (Cl) dan molibdenum (Mo).

Menurut Keefe (1998) boron

merupakan bagian integral dari siklus reproduksi tanaman yaitu dalam
mengendalikan pembungaan, produksi serbuk sari, perkecambahan serbuk sari,
serta perkembangan kapsul dan biji. Boron membantu transmisi gula dari daun tua
ke bagian meristem dan perakaran. Garg et al. (1979) menjelaskan bahwa efek
stimulasi boron terhadap ketersediaan gula yang lebih besar, serta aktivitas
enzimatik dan respirasi yang meningkat pada tanaman padi menyebabkan
viabilitas serbuk sari bunga padi menjadi lebih baik. Namun, pada konsentrasi
yang tinggi boron menyebabkan depresi fisiologis dan kerusakan pada
protoplasma.
Pengaruh boron berhubungan dengan perkembangan dinding sel. Menurut
Blevins dan Lukaszewski (1998) boron mempengaruhi jalur metabolisme melalui
ikatan protein appoplastik menjadi group cis-hidroksil pada membran dan dinding
sel. Komposisi dinding sel ini sangat menentukan jumlah boron yang dibutuhkan
untuk pertumbuhan dimana jumlah boron yang dibutuhkan untuk pertumbuhan
reproduktif lebih tinggi dibandingkan untuk pertumbuhan vegetatif.

Peranan

boron pada pertumbuhan reproduktif adalah untuk perpanjangan tabung polen.
 
 

12
 

Pertumbuhan tabung polen yang cepat tergantung dari fusi vesikel yang
membentuk plasmalemma dan sekresi yang terus menerus dari dinding sel.
Amanullah et al. (2010) melaporkan bahwa boron juga merupakan unsur mikro
penting yang berkaitan dengan metabolisme asam nukleid, karbohidrat, protein,
hormon auksin dan fenol.
Pada sebagian besar spesies tanaman, boron memiliki mobilitas terbatas.
Namun boron berada dalam phloem dan ditranslokasikan kembali dalam phloem
dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sink yang berkembang
seperti organ reproduksi (Brown & Shelp 1997). Boron terutama mempengaruhi
jaringan-jaringan tanaman yang mampu melakukan aktivitas meristematik, seperti
jaringan kambium dan phloem pada akar penyimpanan atau batang, meristem
apikal daun, vaskular kambia kapsul dan organ lain (Meena 2010).
Boron dapat diaplikasikan dalam bentuk borax, asam borat, ataupun
bentuk pupuk boron lainnya seperti solubor dan fertibor. Unsur boron dalam
bentuk

borax

menunjukkan

respon

positif

terhadap

pertumbuhan

dan

perkembangan organ reproduksi beberapa tanaman. Pada tanaman tomat, aplikasi
boron dalam bentuk borax (15 kg/ha) melalui tanah menghasilkan jumlah buah
per tanaman, bobot buah dan hasil buah lebih tinggi dibandingkan tanpa pupuk
boron (Kiran 2006). Aplikasi borax 20 kg/ha melalui tanah juga dilaporkan dapat
meningkatkan produksi biji tomat (Sharma 1995) dan perkecambahan biji paprika
(Sharma 1999). Borax yang diaplikasikan melalui daun pada tanaman brinjal atau
terung (Solanum melongena) dapat meningkatkan jumlah bunga per tanaman,
jumlah bunga produktif maupun produksi buah per tanaman dan ukuran buah
(Kiran 2006). Pada tanaman bunga matahari, borax yang diaplikasikan pada dosis
2 kg B/ha selama fase pengisian biji dapat meningkatkan hasil biji sekitar 87%
dibandingkan kontrol serta meningkatkan daya berkecambah dan indeks vigor
(Amanullah et al. 2010).
Defisiensi unsur B menyebabkan beberapa perubahan anatomi, fisiologi
dan biologi. Pada tanaman brokoli, masalah utama produksi umumnya karena
defisiensi B. Aplikasi B sebanyak 1 kg/ha telah memperbaiki produksi krop
brokoli yang merupakan dosis optimum (Firoz et al. 2008).

13

Pada tanah salin dan sodik salin, aplikasi B 1.5 kg B/ha dapat
memperbaiki hasil padi dan jerami berturut-turut sampai 128.79% dan 83.61%
(Mehmood et al. 2009). Namun pemberian boron yang terlalu tinggi yaitu 6 kg
B/ha berpengaruh negatif terhadap