The Habitat Characteristic and Reproduction Aspects of Coconut Crab (Birgus latro) in Uta Island, North Mollucas Province
1
KARAKTERISTIK HABITAT DAN BEBERAPA ASPEK
REPRODUKSI KEPITING KELAPA (Birgus latro)
DI PULAU UTA PROPINSI MALUKU UTARA
SUPYAN
C251090031
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
i
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Karakteristik Habitat dan
Beberapa Aspek Reproduksi Kepiting Kelapa (Birgus latro) di Pulau Uta,
Propinsi Maluku Utara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2013
Supyan
NIM C251090031
ii
RINGKASAN
SUPYAN. Karakteritik Habitat dan Beberapa Aspek Reproduksi Kepiting
Kelapa (Birgus latro) di Pulau Uta, Propinsi Maluku Utara. Dibimbing oleh
SULISTIONO dan ETTY RIANI
Kepiting kelapa (B. latro) merupakan salah satu spesies dari krustasea
yang memiliki nilai ekonomi tinggi namun sudah dianggap langka dan
dikelompokkan dalam kategori rawan oleh International Union for Conservation
of Nature (IUCN). Di Indonesia, status populasi hewan ini belum diketahui
secara pasti, namun sudah cenderung menurun karena dimanfaatkan oleh
penduduk setempat dan penurunan kualitas habitat hewan ini. Oleh karena itu
pemahaman aspek biologi dan ekologinya sehingga tindakan manajemen stok
yang tepat dapat diterapkan untuk pelestarian dan jika mungkin, mengembangkan
sumber daya ini sangat penting.
Penelitian ini dilakukan di Pulau Uta pada Bulan Mei, Juli dan September
dengan tujuan untuk mengkaji karakteristik habitat dan kematangan gonad
kepiting kelapa di Pulau tersebut. Pengambilan sampel kepiting dilakukan dengan
survey jelajah. Parameter yang dikaji untuk memahami karakteristik habitat dan
aspek reproduksinya antara lain adalah sifat fisik-kimia tanah kematangan gonad,
dan analisis vegetasi tumbuhan. Karakteristik habitat dikaji dengan Analisi
Cluster.
Hasil analisis memperlihatkan bahwa hubungan panjang dan berat kepiting
jantan adalah
W=1,93(CP+r)1,17, sedangkan pada betina adalah
0,97
W=1,97(CP+r) . Masing-masing jenis kelamin kepiting tersebut memiliki sifat
pertumbuhan allometrik. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kepiting jantan
tidak ditemukan pada kondisi TKG I, namun pada betina dapat ditemukan pada
Bulan Mei (30%) dan Bulan September (25%) dari jumlah tangkapan. TKG II
paling banyak ditemukan pada jenis kelamin jantan yang ditangkap pada Bulan
Mei di Stasiun Selatan (65%), TKG III ditemukan paling banyak pada kepiting
betina yang tertangkap pada Bulan September di Stasiun Barat (25 %) dari
individu yg tertangkap. TKG IV baik jantan maupun betina, paling banyak
ditemukan pada Bulan Juli masing 100 %. Ditemukannya kepiting yang sedang
dalam matang gonad pada semua waktu penangkapan menunjukkan bahwa tidak
terjadi kematangan gonad secara bersamaan pada semua induk kepiting. Ukuran
kepiting terkecil yang sedang matang gonad ditemukan pada ukuran panjang
(CP+r) 65,44 mm. Faktor kondisi kepiting jantan paling besar ditemukan pada
Bulan Juli kemudian turun drastis pada Bulan September, sedangkan faktor
kondisi tertinggi pada kepiting betina ditemukan pada Bulan Mei kemudian turun
pada Bulan Juli dan naik lagi pada Bulan September. Secara umum, rasio
kelamin antara jantan dan betina adalah 1 : 1 (tidak terjadi penyimpangan). Hasil
perhitungan menunjukkan bahwa pola penyebaran seluruhnya adalah seragam
namun mendekati pola penyebaran acak. Perbedaan karakteristik habitat antara
stasiun tidak menyebabkan perbedaan pada hasil tangkapan, baik jumlah maupun
tingkat kematangan gonadnya. Kondisi habitat di semua stasiun pengamatan
cukup mendukung keberlangsungan kepiting kelapa sehingga bisa memberikan
kebebasan terhadap kepiting untuk beraktifitas.
Kata kunci : Birgus latro, kematangan gonad, habitat, kepiting kelapa
iii
SUMMARY
SUPYAN. The Habitat Characteristic and Reproduction Aspects of Coconut Crab
(Birgus latro) in Uta Island, North Mollucas Province. Supervised by
SULISTIONO and ETTY RIANI.
Coconut crab (B. latro) is one of crustacea species which has high
economic value, but it is considered rare and classified into vulnerable category
by the International Union for Conservation of Nature (IUCN). In Indonesia, the
status of this animal population has been not exactly identified, but it has tended
to decline because of local people consumption and its habitat quality degradation.
Regarding importance of the species resources, thus undestanding its biology and
ecology aspects can be applied as the proper management stock and effort of
preservation.
The research was done in Uta Island on May, July and September with the
purpose to analyze the habitat characteristic and gonadal maturation of Coconut
Crab on that island. The sampling was taken by kuadran method. The parameter
which was analized to understand the habitat. Characteristic and its reproduction
aspects such as physical – chemical characteristic of soil, gonadal maturation and
plant vegetation analysis. The habitat characteristic was analyzed by using cluster
analysis.
The result analysis showed that the relation of Length – Weight of male
crab is W = 1,93 (CP + r)1,17, while the female is W = 1,97 (CP + r)0,97. Each of
those sexual species has allometric growth characteristics. The observation
showed that the male did not found in TKG I condition but the female can be
found on May (30%) and September (25%) of catch. TKG II was mostly found on
male which catched on May in South Station (65%), TKG III was mostly found
on female which catched on September in West Station (25%) of catched
individu. TKG IV (100%) both male and female where mostly found on July. The
different of gonadal maturation levels in all catching times showed that gonadal
maturation occured different time for broodstock. The smallest crab which is
having gonad maturation was found in length of (CP + r) 66,44 mm. The biggest
condition factors of male was found on July and decrease on September, while the
highest condition factor of female was found on May that decrease on July, but
increase again on September. Generally, sex ratio of male and female is 1 : 1
(avoid deviation). The distribution index showed homogen but tend to have
random distribution. There is no different on catch both the amount on level of
gonadal maturation. Eventhough, there are different habitat characteristic in every
station doesn‟t affect to the catch, both the quantity and level of gonad maturity.
The habitat condition in all station for coconut crab to support the sustainability of
its activities.
Keyword : Birgus latro, gonad maturity, habitat, reproduction, Uta island
iv
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
v
KARA KTERISTIK HABITAT DAN BEBERAPA ASPEK
REPRODUKSI KEPITING KELAPA (Birgus latro) DI PULAU
UTA PROPINSI MALUKU UTARA
SUPYAN
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
vi
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr Ir Ridwan Affandi, DEA
fudul Tesis
: Karateristik Habitat dan Beberapa Aspek Reproduksi Kepiting
Kelapa (Birgus latro) di Pulau Uta, Propinsi Maluku Utara
..rama
..rIM
: Supyan
: C251090031
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Sulistio
Ketua
0,
M.Sc
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaaya
Perairan
/
Dr Enan M. Adiwilaga
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian : 18 Juni 2013
(tanggal pelaksanaan ujian tesis)
Tanggal Lulus: 2 6 jUl LG
U
(tanggal penandatanganan tesis
oleh Dekan Sekolah
Pascasarjana)
vii
Judul Tesis
: Karateristik Habitat dan Beberapa Aspek Reproduksi Kepiting
Kelapa (Birgus latro) di Pulau Uta, Propinsi Maluku Utara
Nama
NIM
: Supyan
: C251090031
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc
Ketua
Dr Ir Etty Riani, MS
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaaya
Perairan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Enan M. Adiwilaga
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian : 18 Juni 2013
(tanggal pelaksanaan ujian tesis)
Tanggal Lulus:
(tanggal penandatanganan tesis
oleh Dekan Sekolah
Pascasarjana)
viii
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Bulan Mei sampai dengan
September 2012 ini ialah Karakteristik Habitat dan Kematangan Gonad Kepiting
Kelapa (Birgus latro) di Pulau Uta, Provinsi Maluku Utara.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc dan
Ibu Dr. Ir. Etty Riani, MS selaku pembimbing, serta Bapak Dr. Ir. Enan M.
Adiwilaga dan Prof. Dr. Ir. M.F. Rahardjo, DEA yang telah banyak memberi
motivasi dan saran serta Bapak Dr. Ir Ridwan Affandi, DEA yang telah bersedia
menjadi penguji dan memberikan saran dan kritik dalam penyempurnaan hasil
tesis ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Padi Foundation
yang telah memberikan bantuan dana penelitian mulai dari pengambilan sampel
sampai pada tahap analisis laboratorium. Ucapan terima kasih juga penulis
sampaikan kepada Bapak Dr. Zainal Alim Mas‟ud, DEA dari Laboratorium
Terpadu Institut Pertanian Bogor dan Lab. Tanah Fakultas Pertanian IPB yang
telah membantu menganalisis sampel yang dikumpulkan selama penelitian.
Sahabat-sahabat penulis dari Perkumpulan Mahasiswa Maluku Utara yang
senantiasa menemani penulis selama penyelesaian laporan serta Abu Bakar dan
keluarganya yang telah membantu penulis dalam pengumpulan sampel di Pulau
Uta. Ungkapan terima kasih yang tak terhingga juga penulis disampaikan kepada
ayah dan ibu (almarhum/a) yang mana pada saat penelitian ini sedang berlangsung
keduanya dipanggil oleh Allah SWT, istri tercinta dan ketiga anak penulis yang
senantiasa menyemangati penulis serta seluruh keluarga besar, atas segala doa dan
kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2013
Supyan
ix
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
xi
1
2
2
2 TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi dan Morfologi
Distribusi dan Habitat
Reproduksi
Siklus Hidup
5
5
7
8
10
3 METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penentuan Stasiun Penelitian
Alat dan Bahan Penelitian
Metode Pengambilan Sampel
Pengukuran Aspek Biologi
Morfometrik
Penentuan TKG
Berat Gonad dan IKG
Pengukuran Aspek Fisika
Pengukuran Aspek Kimia
Tekstur Tanah
Bahan Organik Tanah
Analisis Statistik
Indeks Kematangan Gonad
Hubungan Panjang Berat
Panjang Infinitif dan Umur Teoritis
Faktor Kondisi
Rasio Kelamin
Pola Penyebaran
Karakteristik Habitat
Analisis Vegetasi
12
12
12
12
12
13
13
14
15
15
16
16
16
16
16
16
17
17
18
18
19
21
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Morfologi Kepiting Kelapa
Hubungan Panjang (Cp+r) dengan Bobot Tubuh
Pertumbuhan
Organ Reproduksi Kepiting Kelapa
Tingkat Kematangan Gonad (TKG)
Indeks Kematangan Gonad
Faktor Kondisi
Kepadatan Populasi
Rasio Kelamin
Pola Penyebaran
22
22
23
26
28
30
32
35
37
38
39
41
x
Karakteristik Habitat Pulau Uta
Analisis Vegetasi
Kerapatan Jenis dan Indeks Kerapatan Relatif
Hubungan Karakteristik Habitat dengan Kematangan Gonad Kepiting
Kelapa di Pulau Uta
Visualisasi Habitat dan Sebaran kepiting
Tindakan Pengelolaan
43
47
47
48
51
53
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
55
55
55
DAFTAR PUSTAKA
56
RIWAYAT HIDUP
60
xi
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Ukuran telur kepiting kelapa berdasarkan siklus hidup
Paramater yang diukur dan alat yang digunakan
Ciri-ciri morfologi gonad jantan
Ciri-ciri morfologi gonad betina
Kisaran panjang kepiting kelapa di Pulau Uta
Ciri-ciri histologi gonad kepiting kelapa
Kepadatan populasi kepiting kelapa berdasarkan bulan Penangkapan
Kepadatan populasi kepiting kelapa berdasarkan stasiun pengamatan
Perbandingan jumlah kelamin kepiting kelapa pada setiap bulan
penangkapan
Rasio kelamin dengan uji chi square
Jumlah kepiting yang tertangkap selama penelitian
Hasil pengukuran sifat fisik kimia habitat kepiting kelapa di Pulau Uta
Output aplikasi program SPSS
Matriks jarak antara variabel
Hasil proses aglomerasi
Keanggotaan dan jumlah kluster yang terbentuk
Jenis-jenis vegetasi yang dominan ditemukan di Pulau Uta
Komposisi dan zonasi vegetasi dari arah laut ke darat tiap stasiun
Kerapatan mutlak dan kerapatan relatif vegetasi pada setiap stasiun
Inersia dan proporsi varians untuk stasiun dan karakeristik habitat
11
13
14
15
25
31
38
39
40
41
42
44
45
45
45
46
47
47
48
49
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Kerangka pendekatan masalah “kajian habitat dan kematangan gonad
kepiting kelapa (Birgus latro) di Pulau Uta, Propinsi Maluku Utara
Morfologi kepiting kelapa
Daerah distribusi kepiting kelapa dunia
Tahap-tahap morfologi dan perkembangan kepiting kelapa (Birgus latro)
beserta habitat yang ditempatinya
Peta lokasi pengambilan sampel
Bagian tubuh yang diukur pada kepiting kelapa
Sketsa petak tunggal dalam analisis vegetasi hutan di Pulau Uta
(a) Pulau Uta tampak dari sebelah Barat, (b) Panorama pantai Pulau Uta
dengan pasir putih yang membentang di sepanjang pantainya
Ciri-ciri kelamin kepiting kelapa secara morfologi, (a) Betina dengan
pleopoda pada bagian abdomen, dan (b) jantan tanpa pleopoda
(a) Kepiting kelapa tampak dari belakang, (b) Kepiting kelapa tampak dari
depan
Kelas ukuran kepiting kelapa di Pulau Uta
Kelas ukuran seluruh kepiting yang tertangkap di Pulau Uta
Hubungan panjang (Cp+r) dengan bobot tubuh jantan
Hubungan panjang (Cp+r) dengan bobot tubuh betina
3
6
8
11
12
14
21
23
24
25
25
26
26
27
xii
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
Hubungan umur dengan panjang (CP+r) kepiting kelapa
29
Posisi gonad dalam abdomen kepiting kelapa betina
30
Organ gonad betina pada kondisi sedang matang dengan berat 6,85gr
31
Komposisi TKG kepiting kelapa yang ditemukan berdasarkan stasiun dan
bulan pengamatan selama penelitian di Pulau Uta
32
Komposisi TKG kepiting Jantan yang tertangkap selama penelitian
34
Komposisi TKG kepiting betina yang tertangkap selama penelitian
34
Sebaran IKG jantan dan betina berdasarkan bulan pengamatan
35
Sebaran IKG jantan dan betina berdasarkan stasiun pengamatan
36
Nilai faktor kondisi kepiting kelapa di Pulau Uta
37
Jumlah hasil tangkapan pada Bulan Mei
42
Jumlah hasil tangkapan pada Bulan Juli
42
Jumlah hasil tangkapan pada Bulan September
43
Dendrogram klasifikasi kemiripan antara stasiun pengamatan berdasarkan
karakter fisik kimia habitat kepiting kelapa di P. Uta
46
Output peta korespondensi stasiun dengan karakteristik habitat dan kondisi
kematangan gonad kepiting kelapa di Pulau Uta.
50
Peta habitat dan indikator sebaran kepiting kelapa
52
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah
pulau kurang lebih 17.508 yang tersebar dari Sabang sampai Merauke (Dahuri et
al. 1995). Sebagian dari pulau-pulau tersebut berukuran kecil bahkan masih
banyak yang tidak berpenghuni. Walaupun masih ada yang tidak berpenghuni dan
jauh dari pemukiman, tetapi sulit mengatakan bahwa pulau-pulau yang tidak
berpenduduk dan terpencil itu tidak terkena dampak dari aktivitas manusia
(Dutton dan Hotta, 1998).
Kepiting kelapa (Birgus latro) merupakan salah satu spesies dari krustasea
yang memiliki nilai ekonomi tinggi, namun sudah dianggap langka dan
dikelompokkan dalam kategori rawan oleh IUCN (Wells et al. 1983). Di
Indonesia, status populasi hewan ini belum diketahui secara pasti, namun sudah
cenderung menurun karena dimanfaatkan oleh penduduk setempat. Mengingat
penyebarannya di Indonesia terbatas pada Kawasan timur saja, maka Pemerintah
Indonesia melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 12/KPTS-II/1987
telah melakukan tindakan perlindungan terhadap Kepiting Kelapa, namun usaha
yang dilakukan baru sebatas penetapan hewan ini sebagai hewan yang dilindungi.
Belum ada upaya dalam menetapkan suatu kawasan atau pulau sebagai kawasan
konservasi bagi kelangsungan hidup kepiting yang hampir punah ini.
Usaha pemerintah untuk tetap mempertahankan populasi hewan ini
mengalami hambatan karena penduduk masih menangkap tanpa memperhatikan
aspek kelestariannya. Selain karena mereka menganggap bahwa hewan ini hama
bagi tanaman, kepiting kelapa juga bernilai ekonomis tinggi. Di Guam, kepiting
kelapa merupakan makanan terhormat, namun telah menyusut kelimpahannya
(Amesbury 2000).
Mengingat tekanan yang dialami oleh populasi maupun habitat kepiting
kelapa semakin berat, maka ada kebutuhan untuk lebih memahami aspek biologi
dan ekologinya, sehingga tindakan manajemen stok dalam upaya perlindungan
yang tepat dapat diterapkan untuk melestarikan, dan jika mungkin,
mengembangkan sumber daya ini. Pulau Uta yang terletak di Propinsi Maluku
Utara adalah salah satu pulau tak berpenduduk yang memiliki potensi untuk
jadikan sebagai daerah pengembangan Birgus latro. Selain karena tidak
berpenduduk, pulau ini juga terletak dalam wilayah distribusi B. latro di dunia
yang menyebar dari Samudera Hindia hingga Samudera Pasifik Tengah.
Mengingat populasi B. latro sudah semakin mengkhawatirkan maka perlu
penelitian terhadap hewan ini dan mengingat Pulau Uta yang tidak berpenduduk
namun memiliki potensi untuk pengembangan Birgus latro, maka perlu dilakukan
penelitian tentang karakteristik habitat dan beberapa aspek reproduksi kepiting
kelapa di Pulau Uta, Propinsi Maluku Utara.
2
Perumusan Masalah
Pertumbuhan kepiting kelapa yang cenderung lambat, tingginya
penangkapan dan penurunan kualitas habitat diduga menjadi penyebab penurunan
populasi. Aktivitas manusia berupa penangkapan berlebih maupun pembangunan
dapat memberikan tekanan ekologis pada habitat hewan ini. Dalam rangka
mengatasi masalah ini, maka perlu dilakukan berbagai upaya agar sumberdaya
kepiting kelapa tetap terjaga. Salah satu upaya yang harus dilakukan dalam
mempertahankan populasinya adalah dengan mempertahankan habitat yang ideal
bagi kepiting kelapa dan mengurangi tekanan terhadap populasinya (pembatasan
penangkapan, melakukan upaya budidaya dan restoking).
Berdasarkan pemikiran di atas, maka upaya untuk tetap mengatasi
penurunan populasi kepiting tersebut dapat ditempuh dengan cara (1) mengetahui
pola reproduksi sehingga dapat diatur waktu penangkapan yang tepat dan tidak
mengancam proses reproduksinya, (2) mengidentifikasi karakteristik habitat yang
cocok bagi kepiting kelapa, baik untuk bereproduksi maupun untuk tumbuh
dengan baik. Kerangka pendekatan masalah di atas dapat dilihat pada Gambar 1.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji karakteristik habitat dan tingkat
kematangan gonad kepiting kelapa di Pulau Uta, Maluku Utara. Hasil dari
penelitian ini diharapkan dapat dijadikan data awal bagi strategi pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya kepiting kelapa di pulau tersebut.
3
Gambar 1.
Kerangka pendekatan masalah “kajian habitat dan kematangan gonad kepiting kelapa (Birgus latro) di Pulau Uta,
Propinsi Maluku Utara
3
4
4
5
2 TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi dan Morfologi
Kepiting kelapa atau B. latro termasuk ke dalam Kelas Krustase, Filum
Arthropoda darat yang terbesar di dunia (Altevogt dan Davis 1975). Penduduk
Kepulauan Maluku menyebutnya Kepiting Kenari. Kepiting ini dikenal karena
kemampuannya mengupas buah kelapa dengan capitnya yang kuat untuk
memakan isinya. Dia satu-satunya spesies dari Genus Birgus. Dalam bahasa
Inggris dikenal "terrestrial hermit crab" (umang-umang darat) karena
penggunaan kulit keong oleh umang muda; tetapi, ada juga umang darat lain yang
tidak menanggalkan kulit keongnya setelah dewasa. Hewan ini khususnya
genus Coenobita yang masih berkerabat dekat - biasanya disebut umang-umang
darat; karena dekatnya kekerabatan antara Coenobita dan Birgus maka istilah
umang-umang darat ini biasanya mengacu pada anggota Famili Coenobitidae.
Menurut Eldredge (1996) dan Myake (1982) kepiting kelapa dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Class : Crustacea
Order : Decapoda
Family : Coenobitidae
Genus : Birgus
Species : Birgus latro Linnaeus 1776
Secara morflogis kepiting kelapa mempunyai abdomen bulat simetris dan
terlindungi kulit yang keras, ujung abdomennya dapat berfungsi sebagai pemberat
ketika berada dalam liangnya yang berada di bawah akar pohoh maupun pohon
yang roboh. Kepiting dewasa memiliki panjang karapas kurang lebih 25-40 cm,
berat badan berkisar antara 2-4 kg. Capit sebelah kiri biasanya mempunyai ukuran
lebih besar dari capit yang sebelah kanan. Kepiting ini dilengkapi dengan lima
pasang kaki jalan, yang terdiri atas empat pasang kaki jalan yang jelas terlihat
berbentuk keras dan kuat dan satu pasang kaki jalan terakhir berukuran kecil dan
tersembunyi dibawah karapas. Semua kaki jalan ditutupi oleh duri serta rambutrambut halus. Karapasnya sangat keras yang disebabkan oleh konsentrasi zat
kapur yang lebih tinggi jika dibandingkan jenis kepiting lainnya. Kepiting ini
memiliki bagian bawah (abdomen) yang lunak yang pada waktu kecil terlindung
dalam rumah siput, tetapi rumah siput ini akan ditinggalkan ketika menginjak
dewasa. Kepiting ini tumbuh dengan cara berganti kulit, sesaat setelah keluar dari
rumah siputnya ia lalu mencari tempat yang terlindung dari pemangsanya dan
berganti kulit disana (Motoh 1980).
Meskipun Kepiting kelapa merupakan tipe kepiting pertapa, tapi juvenil
menggunakan kerang keong untuk melindungi perutnya yang lembut, dan juvenil
kadang-kadang menggunakan patahan tempurung kelapa untuk melindungi perut
mereka. Tidak seperti kepiting pertapa lainnya, kepiting kelapa dewasa tidak
membawa kerang tapi malah mengeraskan terga perut mereka dengan
memanfaatkan kitin dan kapur. Tidak dibatasi oleh pembatas dinding cangkang
6
memungkinkan spesies ini tumbuh jauh lebih besar daripada kepiting pertapa lain
dalam Famili Coenobitidae (Harms 1932).
Tubuh kepiting kelapa dibagi menjadi bagian depan (kepala-dada
atau sefalotoraks), dengan 10 kaki, dan abdomen (perut). Sepasang kaki terdepan
mempunyai capit besar untuk mengupas kelapa, dan cakar (chelae) ini dapat
mengangkat benda hingga seberat 29 kg. Dua pasang kaki berikutnya, seperti
pada umang-umang lain, adalah kaki berjalan yang besar dan kuat yang
memungkinkan kepiting kelapa memanjat pohon (seringkali kelapa) secara
vertikal hingga setinggi 6 m. Pasangan kaki ke empat lebih kecil dengan cakar
mirip pinset diujungnya, memungkinkan kepiting muda berpegangan didalam
kulit keong atau batok kelapa untuk berlindung; hewan dewasa menggunakan
pasangan kaki ini untuk berjalan dan memanjat. Pasangan kaki terakhir sangat
kecil dan hanya digunakan untuk membersihkan organ pernafasannya. Kaki-kaki
ini diletakkan dalam karapas, dalam rongga tempat organ pernafasannya berada.
Ada beberapa perbedaan warna antara hewan di pulau yang satu dengan pulau
yang lain, dari ungu muda, ungu tua hingga cokelat.
Birgus latro adalah arthropoda darat terbesar di dunia. Laporan tentang
ukuran Birgus latro bervariasi, tapi referensi yang memberikan informasi bawah
panjang tubuh sampai dengan 40 cm (16 in), berat sampai 4,1 kg dan rentang
kaki lebih dari 0,91 m dengan jantan umumnya lebih besar daripada betina
(World Wildlife Fund 2001). Ada laporan dalam literatur spesimen berukuran 6
kaki (1,8 m) di dada dan berat 14 kg. Hal itu dipercaya mendekati batas teoritis
untuk artropoda darat. Umurnya dapat mencapai 30-60 tahun (Altevogt dan Davis
1975). Morfologi kepiting kelapa serta bagian-baginnya dapat dilihat pada
Gambar 2.
Gambar 2. Morfologi kepiting kelapa
7
Distribusi dan Habitat
Kepiting kelapa pertama kali ditemukan oleh Rumphius pada tahun 1705,
namun sebenarnya telah diketahui oleh orang-orang eropa sejak perjalanan
eksplorasi William Dampier sekitar tahun 1688. Literatur-literatur yang ditulis
oleh para ahli biologi yang mengunjungi pulau-pulau di sekitar Samudera Hindia
dan Pasifik pada awalnya lebih banyak menginformasikan mengenai kemampuan
kepiting ini dalam membuka dan memindahkan kelapa dari pohonnya. Baru
setelah tahun-tahun berikutnya penelitian yang lebih mendalam terhadap
pengenalan akan siklus hidup, tingkah laku, reproduksi, fisiologi dan anatominya
dilakukan (Schiller et al. 1991).
Kepiting kelapa tinggal sendirian di liang bawah tanah dan celah-celah batu,
tergantung pada daerah setempat. Mereka menggali lubang mereka sendiri di pasir
atau tanah lepas. Pada siang hari, hewan tetap tersembunyi untuk melindungi diri
dari predator dan mengurangi kehilangan air dari panas. Liang kepiting kelapa ini
'mengandung serat yang sangat halus namun kuat dari sabut kelapa yang
digunakan hewan sebagai alas tidur (Streets 1877). Sementara beristirahat dalam
liang, kepiting kelapa menutup pintu masuk dengan salah satu cakar untuk
menciptakan iklim mikro yang lembab yang diperlukan organ pernapasan. Di
daerah dengan populasi kepiting kelapa yang besar, beberapa juga yang keluar
siang hari, mungkin untuk mendapatkan keuntungan dalam mencari makanan.
kepiting kelapa juga akan kadang-kadang keluar siang hari jika lembab atau
hujan, karena kondisi ini memungkinkan mereka untuk bernapas dengan lebih
mudah. Mereka hidup hampir secara eksklusif di darat, dan beberapa telah
ditemukan sampai dengan 6 km (3.7 mil) dari laut (Hsieh 2004).
Kepiting kelapa tinggal di daerah dari Hindia ke Samudra Pasifik tengah.
Pulau Christmas di Samudra Hindia memiliki populasi terbesar dan terbaik di
dunia. Berbeda dengan Samudera Hindia populasi yang ada di Seychelles,
terutama Aldabra, Kepulauan Glorioso, Pulau Astove, dan Cosmoledo, kepiting
kelapa sudah hamper punah di pusat pulau-pulau. Mereka juga dikenal pada
beberapa wilayah di Andaman dan Nikobar di Teluk Benggala. Sejumlah besar
berkeliaran dengan bebas di kepulauan Chagos milik Inggris, yang juga dikenal
sebagai British Indian Ocean Territories (Biot). Mereka dilindungi di pulau-pulau
dari perburuan dan/atau dimakan, dengan denda hingga 1.500 poundsterling
Inggris (kira-kira $ 3.000 USD) per kepiting kelapa yang dikonsumsi. Di
Mauritius dan Rodrigues, mereka sudah punah (Eldredge 1996).
Kepiting kelapa dianggap salah satu dekapoda yang paling terestrial, dengan
sebagian besar aspek kehidupan yang terkait dengan keberadaan terrestrial (Bliss
1968). Karena mereka tidak dapat berenang sebagai kepiting dewasa, kelapa
kepiting dari waktu ke waktu menjelajahi pulau-pulau sebagai larva, yang bisa
berenang, atau pada kayu apung dan kapar lainnya.
Kepiting kelapa menyebar luas dari lautan Pasifik Barat hingga Samudera
Hindia bagian timur. Di daerah tersebut, hewan ini menempati pulau-pulau
berbatu di kawasan lautan. Selain itu juga mereka hidup di daerah pantai yang
menyatu dengan daratan kepualauan dan umumnya tidak dijumpai di daerah
karang atol karena di wilayah tersebut tidak tersedia makanan yang memadai
untuk kehidupan mereka. Di Aldabra dilaporkan masih terdapat kepiting ini
namun di Kepulauan Seychelles diperkirakan sudah punah. B. latro juga tersebar
8
di pulau-pulau kecil di wilayah pantai Tanzania dan Sentinal Selatan (Andaman
dan Nikobar), Kepulauan Keeling dan Mauritius. Di Filipina sekarang dilaporkan
hanya terdapat di Pulau Ilongo dan sebagian di Pulau Cebu. Di kawasan Pasifik
kepiting ini dapat dijumpai di Timor, kemudian menyebar ke belahan utara
sampai Ryukus, Fiji dan kepulauan Marshall kecuali kepulauan Hawaii, Wake dan
Midway. Di Papua Nugini dapat ditemukan di propinsi Manus, yakni di Rantan,
Sae dan Los Negros (PPSDAHP (1987/l988) (Gambar 3).
Di Indonesia Kepiting kelapa tersebar di kawasan Timur lndonesia yaitu di
pulau-pulau Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Di Sulawesi, kepiting
kelapa terdapat di wilayah Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, Pulau Siompu,
'l`onga1i, Kaimbulawa dan Liwutongkidi, Sulawesi Tenggara (Ramli l997)
sedangkan di Nusa Tenggara terdapat di pantai berbatu Pulau Yamdena (Monk et
al. 2000), dan di Kalimantan terdapat di Pulau Derawan.
Gambar 3. Daerah distribusi kepiting kelapa dunia (Schiller 1992)
Reproduksi
Ordo Malacostraca pada umumnya dan Famili Caeobitidae pada khususnya,
memiliki sepasang testis dan sepasang ovum yang berada pada abdomennya
(Mclaughlin 1983). Aktivitas reproduksi kepiting kelapa ditandai ketika induk
betina sedang membawa telur yang terletak di abdomennya di dalam populasi dan
tampaknya terjadi musiman di seluruh wilayah secara geografis. Pada musim
panas di belahan bumi bagian utara dan selatan biasanya betina hanya sekali
dalam setahun meletakkan telurnya (Schliller et al. 1991). Menurut Resse (1965)
dalam Schliller et al. (1991) betina ovigerous (betina yang sedang membawa
telurnya dalam abdomen) di Kepulauan Eniwetok terjadi pada bulan April di
Musim Semi sampai dengan Agustus pada akhir musim panas.
Berdasarkan hasil penelitian dari Schiller et al. (1991), di daerah tropik baik
belahan utara maupun selatan, aktifitasnya tidak tergantung musim namun terjadi
sepanjang tahun di Kepulauan Vanuatu, sementara di daerah sub tropik di belahan
bumi bagian selatan induk betina paling kurang aktif bereproduksi, setiap
9
tahunnya berlangsung selama kurang dari sembilan bulan yang terjadi pada akhir
September atau awal Oktober sampai dengan awal Juni pada tahun berikutnya.
Kepiting kelapa kawin secara berulangkali dan cepat di daratan kering pada
periode dari Mei sampai September, khususnya Juli dan Agustus (Sato dan Kenzo
2008). Aktivitas kawin biasanya berlangsung di dalam lubang. Pemijahan dan
pembuahan terjadi beberapa saat setelah kepiting betina berganti kulit. Lamanya
waktu yang diperlukan untuk ganti kulit belum dapat dipastikan. Seluruh proses
perkawinan berlangsung sekitar 15 menit (Pratiwi 1989), sedangkan menurut
Helfman (1977) dalam (Schiller et al. 1991), setelah melakukan pengamatan
terhadap dua kepiting kelapa betina yang melakukan kopulasi di darat
mendapatkan bahwa kopulasi berlangsung sekitar 3 menit dengan sedikit aktifitas
tingkah laku pre dan pasca kopulasi.
Kopulasi dimulai ketika kepiting jantan dan betina berkelahi satu sama lain,
lalu yang jantan berbalik ke punggung betina untuk kawin (Pratiwi 1989). Ketika
proses perkawinan terjadi, kepiting jantan memegang cheliped betina dengan
capitnya dan berjalan menuju ke depan sampai punggung kepiting betina berada
di bawah. Kaki-kaki mereka bersilangan dan abdomen memanjang ke bagian
badan mereka yang lain sementara betina memutar di atas abdomen jantan.
Kepiting jantan menggunakan coxea yang dimodifikasi dari pasangan kaki ke
lima pereipoda untuk mentrasfer sperma ke sekitar oviduct betina yang terbuka
pada bagian dasar pasangan kaki ke tiga pereiopoda.
Proses inkubasi telur membutuhkan jalan masuknya air dan ion organik
untuk memperkecil dehidrasi dari massa telur. Kepiting kelapa tidak mudah untuk
mendatangi air asin seketika dari habitat normalnya, mereka harus bermigrasi ke
pantai untuk mendapatkan air asin sebelum menetaskan telurnya. Oleh karena itu,
sesaat setelah kopulasi, kepiting betina akan bermigrasi ke tepi laut dan masuk ke
dalam celah-celah batu karang yang terdapat di daerah intertidal untuk
menetaskan telur-telurnya, tapi sebelum teluir ditetaskan mereka melekatkannya
dibawah perutnya dan membawanya selama beberapa bulan (Pratiwi 1989).
Migrasi biasanya dilakukan pada malam hari, pada waktu air pasang, di mana
telur-telur tersebut telah matang dan siap untuk menetas biasanya bulan Oktober
atau November kepiting kelapa betina melepaskan telur-telur tersebut ke lautan
pada saat pasang naik (Schiller et al. 1991). Telur-telur yang matang biasanya
berwarna abu-abu kekuning-kuningan dengan titik mata yang jelas terlihat.
Berbeda dengan kepiting lainnya yang selalu diikuti induk jantan dalam
melepas telurnya, Induk betina Kepiting kelapa ketika pergi melepaskan telurnya
akan bermigrasi ke laut tanpa diikuti induk jantan (Schiller et al. 1991). Di
Vanuatu, kepiting kelapa akan berada di daerah pantai selama kurang lebih 5 – 6
minggu. Kepiting-kepitng betina ini umumnya berkumpul dalam kelompok di
sepanjang pantai dan berjalan di atas batu-batuan pada perbatasan daerah pasang
surut sehingga ombak yang dating memecah akan membasahi bagian tubuhnya
secara teratur. Pada saat telur-telur yang dibawanya kontak dengan air laut, maka
dengan segera setelah itu menetas dan zoea dilapskan ke laut. Biasanya mereka
akan kembali ke daratan juga dalam kelompoknya 4 – 10 hari setelah melepaskan
telurnya dan kemudian berpisah (menyebar) setelah sampai di darat.
Penetasan telur hingga menjadi burayak, umumnya berlangsung secara
alami. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi (1989) menunjukkan bahwa
proses penetasan telur berlangsung lebih cepat bila di sekitar telur sering terjadi
10
ombak laut. Telur yang menetas berubah menjadi burayak, yang kemudian hidup
bebas sebagai plankton di perairan lepas. Limbong (1983) dalam Abubakar
(2009) menyatakan bahwa telur yang dimiliki oleh seekor induk betina berjumlah
ribuan. Hal ini dipertegas lagi oleh Helfman (1973) dalam Amesbury (2000)
setelah menghitung jumlah embrio yang berkembang pada empat kepiting kelapa
betina di Palau dan Enewetak, jumlah embrio per individu berkisar antara 51.000
sampai 138.000.
Siklus Hidup
Selama siklus hidupnya, kepiting kelapa memiliki dua habitat yaitu di darat
dan laut. Proses kopulasi, masa inkubasi sampai matang telur berlangsung di
darat, sedangkan masa penetasan telur sampai telur menjadi burayak hidup
sebagai planktonik yang hidup bebas di laut kemudian setelah dewasa kembali ke
daratan.
Fase setelah telur yang baru menetas disebut fase zoea. Fase ini biasanya
berlangsung sekitar 30 hari yang terdiri dari lima tahap. Tiap-tiap tahap akan
mengalami perubahan bentuk dan ukuran. Tahap zoea pertama berlangsung 5- 6
hari setelah telur mentas dan pergantian ke tahap zoea kedua terjadi pada hari ke
empat. Tahap zoea kedua berlangsung sekitar 3 – 15 hari dari kehidupan larva
dan selesai dalam waktu 10 hari. Lamanya tahap zoea ketiga ini umumnya 8-9
hari. Pergantian ke tahap keempat dimulai pada hari ke 15 dari kehidupan larva
sampai kira-kira hari ke 24. Burayak biasanya mengalami pergantian kulit pada
hari ke 18 – 20 dan terjadi sangat aktif. Setelah selesai berganti kulit, zoea
memasuki tahap keempat dan lamanya tahap ini berkisar antara 6 – 12 hari.
Ketika usia sekitar 30 hari, fase Zoea akan segera beralih ke fase pos larva atau
“Glaucothoe” (Schiller et al. 1991).
Fase pos larva merupakan fase terpenting dalam pertumbuhan kepting
kelapa. Pada fase ini, kepiting mengalami perubahan bentuk seperti hewan
amphibi dan sudah mulai dapat berenang dengan menggunakan pleopodanya atau
bergerak pelan-pelan di daratan. Setelah tahap ini, kepiting tersebut menggali
lubang dan terjadi pergantian kulit pada hari ke 28. Pada hari ke 36 kepiting ini
telah menjadi kepiting muda dan akan memilih cangkang gastropoda yang kosong
sebagai tempat tubuhnya (Pratiwi 1989). Biasanya setiap ganti kulit, cangkang
sebagai rumahnya juga akan diganti dengan menyesuaikan pertambahan
tubuhnya. Tingkah laku ini menjadikannya sebagai hewan pembawa cangkang
dapat berlangsung sampai 2,5 tahun selanjutnya kepiting meninggalkan cangkang
dan berkembang menjadi kepiting kelapa dewasa. Kepiting kelapa muda yang
tidak dapat menemukan kerang dari ukuran yang tepat juga sering menggunakan
potongan-potongan kelapa rusak. (Cameron et al. 1973) dalam (Schiller et al.
1991).
Berdasarkan hasil penelitian Reay dan Haig (1990) dalam Ramli (1997),
kepiting kelapa pada fase kelomang atau fase dimana dia hidup dalam cangkang
gastropoda, bersifat semi terrestrial dengan karakteristik hidup pada mintakat
supra litoral yang berpasir pada siang hari dan dapat ditemukan hidup di bawah
semak-semak dan di antara reruntuhan pohohn yang telah mati. Gibson-Hill
(1947) dalam Pratiwi (1995) mengemukakan bahwa kepiting kelapa menjadi
11
dewasa setelah berumur 4 tahun yakni setelah delapan kali mengalami pergantian
kulit. Pada usia tersebut, kepiting tidak lagi membawa cangkang karena struktur
tubuhnya sudah menjadi hewan darat dan akan menghabiskan waktunya di
daratan. Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Schiller et al. (1991)
menyatakan bahwa kepiting kelapa mencapai matang gonad pada umur 3,5 – 5
tahun dan pada umur ini kepiting sudah mulai melakukan aktivitas perkawinan
dan memulai siklus hidupnya dengan melepaskan teluarnya ke laut. Umur dari
kepiting ini dapat mencapai 30-60 tahun (Altevogt dan Davis 1975). Ukuran
(mm) dari kepiting kelapa berdasarkan siklus dapat disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Ukuran telur kepiting kelapa berdasarkan siklus hidup
FASE
UKURAN TELUR (mm)
Telur
0,79 ± 0,20
Zoea I
2,80 ± 0,12
Zoea II
3,40 ± 0,03
Zoea III
3,90 ± 0,10
Zoea IV
4,40 ± 0,13
Glaucothoe
4,00
Kelomang
< 100
Remaja
22
Sumber: Schiller et al. (1991).
WAKTU (hari)
24 – 45
5–6
3–5
8–9
6 – 12
21 – 28
12 - 24 bulan
Habitat yang ditempati kepiting kelapa (Birgus latro) berdasarkan siklus hidupnya
dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Tahap-tahap morfologi dan perkembangan kepiting kelapa (Birgus
latro) beserta habitat yang ditempatinya
Keterangan : 1. Betina dewasa
2. A. Fase telur tahap akhir dan B fase prezoea
3. Fase zoea
4. Fase Glaucothoe
5. Fase kelomang dalam cangkang gastropoda
(Sumber : Hsieh 2004)
12
3 METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pulau Uta, Kabupaten Halmahera Tengah,
Propinsi Maluku Utara yang secara geografis terlatak pada 129037¹ BT – 129038¹
BT dan 000¹25¹¹ LU – 0001¹24¹¹ LU dan dilaksanakan pada Bulan Mei –
September 2011. Peta lokasi penelitian dapati dilihat pada Gambar 5.
E 129037’.30.72”
E 129037’56.64”
N 0001’30.72”
U
N 0000’38.88”
S
Sumber Peta : Map data ©2013, Tele Atlas
Gambar 5. Peta lokasi pengambilan sampel
Penentuan Stasiun Penelitian
Pulau Uta adalah sebuah pulau kecil tidak berpenduduk yang terletak di
sebelah utara Pulau Yoi. Dataran yang rata dan pantai yang landai di sepanjang
garis pantai dengan vegetasi tumbuhan yang cenderung homogen memungkinkan
kondisi habitat di semua lokasi sama. Pengambilan data dilakukan di empat
stasiun pengamatan masing-masing di bagian barat, timur, selatan dan utara pulau
yang dianggap representatif mencirikan wilayah penelitian secara keseluruhan.
Alat dan Bahan Penelitian
Berdasarkan parameter-parameter yang diukur dan alat yang digunakan
dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 2.
Metode Pengambilan Sampel
Pengumpulan kepiting kelapa dilakukan dengan survey jelajah dengan
mencari langsung kepiting kelapa di tempat persembunyiannya. Penangkapan
13
dilakukan pada siang dan malam hari langsung di lubang-lubang tanah dan pada
pohon-pohon kayu yang tumbang yang mereka gali sebagai tempat
persembunyiannya. Kepiting yang terperangkap disinari dengan senter dengan
fokus agar kepiting tetap diam. Agar dia tidak meronta, bagian punggungnya
diinjak kemudian capit dan kakinya diikat menjadi satu dengan tali tambang.
Kepiting kelapa yang tertangkap kemudian dikumpulkan untuk dilakukan
pengukuran terhadap panjang karapas tambah rostrum (CP + r) dan ditimbang
dengan menggunakan timbangan digital berketelitian 1 gram. Preservasi
dilakukan dengan menggunakan formalin 10 %.
Kelimpahan dan pola penyebarannya di lokasi penelitian dihitung
berdasarkan metode kuadran berukuran 100 x 100 m dengan menempatkannya
secara acak di setiap stasiun pengamatan. Pengambilan data morfometrik dan
kualitas tanah dilakukan pada setiap ulangan sementara tekstur tanah diambil di
sekitar lubang-lubang yang dibuat kepiting kemudian diayak dengan
menggunakan ayakan berlapis untuk pengelompokan fraksi lumpur, pasir dan
tanah liat ditentukan berdasarkan penggolongan yang dilakukan oleh The
International Society of Soil Science (Michael 1994).
Tabel 2. Paramater yang diukur dan alat yang digunakan
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
10.
11.
Parameter
FISIKA
Tekstur tanah
Suhu Tanah
Kelembaban
Curah Hujan
KIMIA
Bahan Organik Tanah
pH Tanah
BIOLOGI
Kondisi Vegetasi
Morfometrik
- Panjang CP + r
- Berat Total
Berat Gonad
Kelimpahan
Satuan
Jenis Alat
%
C
%
mm
Ayakan berlapis
Thermometer Tanah
Psikrometer
Data Sekunder
%
Metode Welkey-Black
pH Soil tester
m2
Kuadran
mm
g
g
m2
Jangka sorong
Timbangan digital
Timbangan digital
Kuadran
0
Pengukuran Aspek Biologi
Morfometrik
Pengambilan data morfometrik meliputi pengukuran panjang kerapas
termasuk rostrum dengan menggunakan jangka sorong. Bobot tubuh ditimbang
dengan menggunakan timbangan digital berketelitian 0,01 gram. Penimbangan
bobot dilakukan sebelum dan sesudah dikeluarkan gonadnya dengan
menggunakan timbangan digital. Pengukuran dilakukan setiap bulan. Bagianbagian tubuh dari kepiting kelapa yang diukur pada kepiting kelapa dapat dilihat
pada Gambar 6.
14
Keterangan :
CP + r = panjang kerapa+
rostrum
CP-r = Panjang kerapas
tanpa rostrum
Gambar 6. Bagian tubuh yang diukur pada kepiting kelapa
Penentuan TKG
Pengamatan TKG dilakukan secara visual yaitu dengan melihat perubahan
morfologi gonad. Tingkat kematangan gonad (TKG) kepiting kelapa jantan dan
betina diklasifikasikan berdasarkan perubahan ciri-ciri morfologi gonad menurut
Rafiani dan Sulistiono (2009) disampaikan pada Tabel 3 dan 4.
Tabel 3. Ciri-ciri morfologi gonad jantan menurut Rafiani dan Sulistiono (2009)
Tingkat Kematangan
Gonad (TKG)
Ciri-ciri morfologis
Tidak Matang
(TKG I)
Sepasang gonad jantan terdapat pada bagian
abdomen dengan warna putih kekuningan dan
berukuran kecil serta mengisi sekitar 5% rongga
abdomen.
Awal matang
(TKG II)
Gonad terdiri dari testis dan saluran-salurannya
yang berbentuk tabung melingkar (spiral)
berukuran sedang. Gonad berwarna putih
kekuningan dan mengisi sekitar 10% rongga
abdomen.
Sedang matang
(TKG III)
Gonad terdiri ats testis dan saluran-salurannya
berukuran cukup besar dengan warna putih
kekuningan dan mengisi sekitar 30% rongga
abdomen
Matang
(TKG IV)
Gonad terdiri dari testis dan saluran-salurannya
yang berbentuk spiral berukuran besar. Gonad
berwarna putih susu dan mengisi sekitar 40% dari
rongga abdomen.
15
Tabel 4. Ciri-ciri morfologi gonad betina menurut Rafiani dan Sulistiono (2009)
Tingkat
Kematangan Gonad
(TKG)
Ciri-ciri morfologis
Tidak Matang
(TKG I)
Permukaan ovarium halus, belum terbentuk butiranbutiran telur. Ovarium belum mulai berkembang,
berbentuk sepasang, ovarium berwarna abuabu muda.
Pengisian ovarium di dalam abdomen adalah sekitar 25
persen.
Awal matang
(TKG II)
Permukaan
ovarium
lembut,
mulai
terlihat
butiranbutiran telur, jika di tekan mudah hancur. Ukuran
ovarium semakin bertambah dan meluas, warna dari
putih menjadi abu-abu tua. Pengisian ovarium didalam
abdomen sekitar 30 persen.
Sedang matang
(TKG III)
Permukaan ovarium terasa kasar, karena butiranbutiran
telur semakin membesar dan padat, jika di tekan kuat
dan tidak mudah hancur. Volume ovarium semakin
membesar, berwarna orange. Butiran telur terlihat
dengan jelas, namun masih dilapisi oleh kelenjar
minyak. Pengisian ovarium
Matang
(TKG IV)
Permukaan ovarium terasa kasar dan padat, karena
butiran-butiran telur yang semakin membesar dan jelas,
jika di tekan kuat dan tidak akan hancur. Hampir semua
telur mempunyai ukuran yang relatif sama dan
bentuknya bulat. Butir-butir telur semakin membesar,
hampir mengisi seluruh abdomen dan terlihat dengan
jelas berwarna merah tua dengan mudah dapat
dipisahkan karena lapisan minyak yang menyelubungi
sudah berkurang. Pengisian ovarium didalam abdomen
sekitar 80 %.
Berat Gonad dan IKG
Penentuan berat dan indeks kematangan gonad, maka gonad yang sudah
dikeluarkan dan diawetkan dengan formalin 10 % ditimbang dengan
menggunakan timbangan digital berketelitian 0,01 gram. Indeks kematangan
gonad pada jantan dan betina adalah perbandingan berat gonad terhadap berat
tubuh dikalikan dengan 100%.
Pengukuran Aspek Fisika
Parameter aspek fisika yang akan diukur adalah curah hujan dan
kelembaban udara. Pengukuran pH tanah dilakukan dengan menggunakan
pHmeter. Kelembaban udara diukur dengan menggunakan hygrometer sedangkan
curah ujan datanya bisa diperoleh dari BMG Maluku Utara.
16
Pengukuran Aspek Kimia
Tekstur Tanah
Pada analisis komposisi tekstur tanah yang ada di lokasi penelitian,
digunakan ayakan berlapis. Sebelum diayak, contoh tanah yang akan diambil di
sekitar lubang-lubang yang dibuat kepiting dibersihkan terlebih dahulu
permukaannya dari sisa-sisa tanaman atau kotoran lainnya. Komposisi tanah yang
diukur meliputi tiga bagian fraksi yaitu lumpur, liat dan pasir. Pengelompokan
ukuran partikel tanah menurut ukurannya ditentukan berdasarkan penggolongan
yang dilakukan oleh The International Society of Soil Science Michael (1994).
Bahan Organik Tanah
Kandungan bahan organik yang terdapat dalam tanah beradal dari sisa-sisa
tumbuhan, hewan dan organism lainnya yang telah mati termsuk kotorannya.
Perombakan oleh jasad renik terhadap material tersebut menyebabkan pelapukan
dan memperkaya bahan organik tanah. Analisis kandungan bahan organik tanah
dilakukan di Laboratorium Terpadu Institut Pertanian Bogor.
Analisis Statistik
Indeks Kematangan Gonad
Indeks Kematangan Gonad diperoleh dengan menggunakan menurut
Effendi (1979) yaitu:
BG
IKG =
x 100
BT
keterangan :
IKG = Indeks Kematangan Gonad
BG
= Berat Gonad (g)
BT
= Berat tubuh (g)
Hubungan Panjang Berat
Hubungan panjang (CP+r) berat (bobot) kepiting dilakukan secara terpisah
antara jenis kelamin jantan dan betina di masing-masing stasiun pengamatan.
Perhitungan hubungan panjang berat dilakukan dengan menggunakan rumus
menurut Ricker (1975) dalam Effendi (19779) sebagai berikut:
W = a (CP+r)b
keterangan :
W
= Bobot Total Kepiting
CP+r = Panjang Kerapas + rostrum
A dan b = konstanta
Persamaan diatas dilogaritmakan untuk mendapatkan persamaan linier menjadi :
Log W = Log a + b Log (CP+r)
Selanjutnya dari persamaan di atas harga a dan b didapatkan untuk
menentukan kriteri pertumbuhan. Menurut effendi (1979), jika b > 3, maka
pertambahan panjang lebih cepat daripada pertambahan bobot dan sebaliknya jika
17
b < 3, maka pertambahan panjang kepiting lebih lambat daripada pertambahan
bobotnya. Kedua jenis pertumbuhan ini disebut pertumbuhan allometrik. Jika b =
3, maka berarti bahwa pertambahan berat dan panjang sama atau disebut dengan
pertumbuhan isometrik.
Penentuan nilai b, dilakukan uji t pada selang kepercayaan 95% (α, 0,05)
(Steel dan Torrie, 1949).
Pada uji ini berlaku hipotesis :
h0 : b = 3
h1 : b ≠ 3,
Kaídah keputusan:
a. Jika thitung > ttabel keputusannya adalah tolak h0
b. Jika thitung < ttabel maka keputusannya adalah terima h0 (Walpole, 1995).
Panjang Infinitif dan Umur Teoritis
Panjang asimtut dan umur teoritis diketahui dengan melakukan analisis
panjang karapas dengan menggunakan persamaan von Bertallanffy sebagai
berikut :
Lt = L∞[1-e-K(t-to)]
atau Lt = L∞ (1-e-Kt)+Lo e-Kt (Pauly,1987)
keterangan :
Lt = panjang pada waktu t,
L∞ = panjang asimptot, yaitu panjang kepiting dari suatu stok yang muncul bila
mereka tumbuh secara tidak terbatas,
Lo = panjang pada waktu t = 0,
K = koefisien pertumbuhan.
to = panjang pada saat umur = 0 bulan
Menurut Pauly (1987) pengukuran pertumbuhan dapat didasarkan pada data
frekwensi panjang baik pada ikan maupun invertebrate.
Faktor Kondisi
Perhitungan faktor kondisi ditentukan berdasarkan pola pertumbuhannya.
Adapun pola pertumbuhan isometrik dihitung dengan menggunakan rumus:
(105 )
K=
(� + �)3
Pola pertumbuhan allometrik, dihitung dengan rumus :
K=
(� + �)
18
keterangan :
K
= Faktor Kondisi Kepiting
W = Bobot Tubuh yang diukur (gram)
CP+r = Panjang kerapas + rostrum (mm)
a
= Koefisien pertumbuhan
b
= Ukuran dari perbedaan rata-rata tumbuh
Rasio Kelamin
Penentuan jenis kelamin dilakukan berdasarkan ciri kelamin sekunder. Pada
kelamin betina terdapat 3 buah pleopoda yang terdapat pada abdomen. Ciri lain
yang membedakan jantan dan betina adalah ukuran tubuh, biasanya jantan lebih
besar daripada betina. Rasio kelamin jantan dan betina dapat diduga dengan
menggunakan rumus menurut Effendi (1979):
P=A:B
keterangan:
P = Rasio kelamin jantan dan betina,
A = Jumlah kelamin jantan
B = Jumlah kelamin betina
Selanjutnya rasio kelamin diuji dengan menggunakan Chi-Square menurut
Steel dan Torrie (1993) sebagai berikut :
n
2
X =
�=1
( � − �)2
�
keterangan:
Oi = Frekuensi jumlah kepiting jantan dan betina yang diamati
ei = Frekuensi harapan (jumlah rata-rata jantan dan betina)
Pola Penyebaran
Pola penyebaran kepiting kelapa di lokasi penelitian akan ditentukan
dengan menggunakan indeks Morisita menurut (Browler dan Zaar, 1977) sebagai
berikut :
2
(
−
�)
�
� =�
2
(
�
�) −
keterangan:
Id = Indeks Morisita,
n = Jumlah Plot (unit),
X = Jumlah individu yang ditemukan pada setiap plot
Kriteria pola penyebaran:
jika nilai Id = 1: pola penyebaran acak,
jika nilai Id > 1: pola penyebaran mengelompok, dan
jika nilai Id < 1: pola penyebaran seragam.
19
Menghitung Mu dan Mc
Pola sebaran ditunjukkan dengan perhitungan Mu dan Mc sebagai berikut :
�� =
−�+
( 1 )−1
2
0,975
1
� =
−�+
( 1 )−1
2
0,025
1
keterangan :
Mu
: Indeks Morisita untuk pola sebaran seragam
2
X 0,975 : nilai Chi-square tabel dengan derajat bebas n-1 dan selang kepercayaan
97,5 %
Mc
: Indeks Moristita untuk posa sebaran mengelompok
X20,0,25 : nilai Chi-square dengan derajat bebas n-1 dan selang kepercayaan 2,5 %
Menghitung Standar derajat Morisita :
Ip = 0,5 + 0,5
Ip = 0,5
Ip = 0,5
� −�
� −1
� –1
�
KARAKTERISTIK HABITAT DAN BEBERAPA ASPEK
REPRODUKSI KEPITING KELAPA (Birgus latro)
DI PULAU UTA PROPINSI MALUKU UTARA
SUPYAN
C251090031
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
i
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Karakteristik Habitat dan
Beberapa Aspek Reproduksi Kepiting Kelapa (Birgus latro) di Pulau Uta,
Propinsi Maluku Utara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2013
Supyan
NIM C251090031
ii
RINGKASAN
SUPYAN. Karakteritik Habitat dan Beberapa Aspek Reproduksi Kepiting
Kelapa (Birgus latro) di Pulau Uta, Propinsi Maluku Utara. Dibimbing oleh
SULISTIONO dan ETTY RIANI
Kepiting kelapa (B. latro) merupakan salah satu spesies dari krustasea
yang memiliki nilai ekonomi tinggi namun sudah dianggap langka dan
dikelompokkan dalam kategori rawan oleh International Union for Conservation
of Nature (IUCN). Di Indonesia, status populasi hewan ini belum diketahui
secara pasti, namun sudah cenderung menurun karena dimanfaatkan oleh
penduduk setempat dan penurunan kualitas habitat hewan ini. Oleh karena itu
pemahaman aspek biologi dan ekologinya sehingga tindakan manajemen stok
yang tepat dapat diterapkan untuk pelestarian dan jika mungkin, mengembangkan
sumber daya ini sangat penting.
Penelitian ini dilakukan di Pulau Uta pada Bulan Mei, Juli dan September
dengan tujuan untuk mengkaji karakteristik habitat dan kematangan gonad
kepiting kelapa di Pulau tersebut. Pengambilan sampel kepiting dilakukan dengan
survey jelajah. Parameter yang dikaji untuk memahami karakteristik habitat dan
aspek reproduksinya antara lain adalah sifat fisik-kimia tanah kematangan gonad,
dan analisis vegetasi tumbuhan. Karakteristik habitat dikaji dengan Analisi
Cluster.
Hasil analisis memperlihatkan bahwa hubungan panjang dan berat kepiting
jantan adalah
W=1,93(CP+r)1,17, sedangkan pada betina adalah
0,97
W=1,97(CP+r) . Masing-masing jenis kelamin kepiting tersebut memiliki sifat
pertumbuhan allometrik. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kepiting jantan
tidak ditemukan pada kondisi TKG I, namun pada betina dapat ditemukan pada
Bulan Mei (30%) dan Bulan September (25%) dari jumlah tangkapan. TKG II
paling banyak ditemukan pada jenis kelamin jantan yang ditangkap pada Bulan
Mei di Stasiun Selatan (65%), TKG III ditemukan paling banyak pada kepiting
betina yang tertangkap pada Bulan September di Stasiun Barat (25 %) dari
individu yg tertangkap. TKG IV baik jantan maupun betina, paling banyak
ditemukan pada Bulan Juli masing 100 %. Ditemukannya kepiting yang sedang
dalam matang gonad pada semua waktu penangkapan menunjukkan bahwa tidak
terjadi kematangan gonad secara bersamaan pada semua induk kepiting. Ukuran
kepiting terkecil yang sedang matang gonad ditemukan pada ukuran panjang
(CP+r) 65,44 mm. Faktor kondisi kepiting jantan paling besar ditemukan pada
Bulan Juli kemudian turun drastis pada Bulan September, sedangkan faktor
kondisi tertinggi pada kepiting betina ditemukan pada Bulan Mei kemudian turun
pada Bulan Juli dan naik lagi pada Bulan September. Secara umum, rasio
kelamin antara jantan dan betina adalah 1 : 1 (tidak terjadi penyimpangan). Hasil
perhitungan menunjukkan bahwa pola penyebaran seluruhnya adalah seragam
namun mendekati pola penyebaran acak. Perbedaan karakteristik habitat antara
stasiun tidak menyebabkan perbedaan pada hasil tangkapan, baik jumlah maupun
tingkat kematangan gonadnya. Kondisi habitat di semua stasiun pengamatan
cukup mendukung keberlangsungan kepiting kelapa sehingga bisa memberikan
kebebasan terhadap kepiting untuk beraktifitas.
Kata kunci : Birgus latro, kematangan gonad, habitat, kepiting kelapa
iii
SUMMARY
SUPYAN. The Habitat Characteristic and Reproduction Aspects of Coconut Crab
(Birgus latro) in Uta Island, North Mollucas Province. Supervised by
SULISTIONO and ETTY RIANI.
Coconut crab (B. latro) is one of crustacea species which has high
economic value, but it is considered rare and classified into vulnerable category
by the International Union for Conservation of Nature (IUCN). In Indonesia, the
status of this animal population has been not exactly identified, but it has tended
to decline because of local people consumption and its habitat quality degradation.
Regarding importance of the species resources, thus undestanding its biology and
ecology aspects can be applied as the proper management stock and effort of
preservation.
The research was done in Uta Island on May, July and September with the
purpose to analyze the habitat characteristic and gonadal maturation of Coconut
Crab on that island. The sampling was taken by kuadran method. The parameter
which was analized to understand the habitat. Characteristic and its reproduction
aspects such as physical – chemical characteristic of soil, gonadal maturation and
plant vegetation analysis. The habitat characteristic was analyzed by using cluster
analysis.
The result analysis showed that the relation of Length – Weight of male
crab is W = 1,93 (CP + r)1,17, while the female is W = 1,97 (CP + r)0,97. Each of
those sexual species has allometric growth characteristics. The observation
showed that the male did not found in TKG I condition but the female can be
found on May (30%) and September (25%) of catch. TKG II was mostly found on
male which catched on May in South Station (65%), TKG III was mostly found
on female which catched on September in West Station (25%) of catched
individu. TKG IV (100%) both male and female where mostly found on July. The
different of gonadal maturation levels in all catching times showed that gonadal
maturation occured different time for broodstock. The smallest crab which is
having gonad maturation was found in length of (CP + r) 66,44 mm. The biggest
condition factors of male was found on July and decrease on September, while the
highest condition factor of female was found on May that decrease on July, but
increase again on September. Generally, sex ratio of male and female is 1 : 1
(avoid deviation). The distribution index showed homogen but tend to have
random distribution. There is no different on catch both the amount on level of
gonadal maturation. Eventhough, there are different habitat characteristic in every
station doesn‟t affect to the catch, both the quantity and level of gonad maturity.
The habitat condition in all station for coconut crab to support the sustainability of
its activities.
Keyword : Birgus latro, gonad maturity, habitat, reproduction, Uta island
iv
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
v
KARA KTERISTIK HABITAT DAN BEBERAPA ASPEK
REPRODUKSI KEPITING KELAPA (Birgus latro) DI PULAU
UTA PROPINSI MALUKU UTARA
SUPYAN
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
vi
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr Ir Ridwan Affandi, DEA
fudul Tesis
: Karateristik Habitat dan Beberapa Aspek Reproduksi Kepiting
Kelapa (Birgus latro) di Pulau Uta, Propinsi Maluku Utara
..rama
..rIM
: Supyan
: C251090031
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Sulistio
Ketua
0,
M.Sc
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaaya
Perairan
/
Dr Enan M. Adiwilaga
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian : 18 Juni 2013
(tanggal pelaksanaan ujian tesis)
Tanggal Lulus: 2 6 jUl LG
U
(tanggal penandatanganan tesis
oleh Dekan Sekolah
Pascasarjana)
vii
Judul Tesis
: Karateristik Habitat dan Beberapa Aspek Reproduksi Kepiting
Kelapa (Birgus latro) di Pulau Uta, Propinsi Maluku Utara
Nama
NIM
: Supyan
: C251090031
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc
Ketua
Dr Ir Etty Riani, MS
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaaya
Perairan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Enan M. Adiwilaga
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian : 18 Juni 2013
(tanggal pelaksanaan ujian tesis)
Tanggal Lulus:
(tanggal penandatanganan tesis
oleh Dekan Sekolah
Pascasarjana)
viii
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Bulan Mei sampai dengan
September 2012 ini ialah Karakteristik Habitat dan Kematangan Gonad Kepiting
Kelapa (Birgus latro) di Pulau Uta, Provinsi Maluku Utara.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc dan
Ibu Dr. Ir. Etty Riani, MS selaku pembimbing, serta Bapak Dr. Ir. Enan M.
Adiwilaga dan Prof. Dr. Ir. M.F. Rahardjo, DEA yang telah banyak memberi
motivasi dan saran serta Bapak Dr. Ir Ridwan Affandi, DEA yang telah bersedia
menjadi penguji dan memberikan saran dan kritik dalam penyempurnaan hasil
tesis ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Padi Foundation
yang telah memberikan bantuan dana penelitian mulai dari pengambilan sampel
sampai pada tahap analisis laboratorium. Ucapan terima kasih juga penulis
sampaikan kepada Bapak Dr. Zainal Alim Mas‟ud, DEA dari Laboratorium
Terpadu Institut Pertanian Bogor dan Lab. Tanah Fakultas Pertanian IPB yang
telah membantu menganalisis sampel yang dikumpulkan selama penelitian.
Sahabat-sahabat penulis dari Perkumpulan Mahasiswa Maluku Utara yang
senantiasa menemani penulis selama penyelesaian laporan serta Abu Bakar dan
keluarganya yang telah membantu penulis dalam pengumpulan sampel di Pulau
Uta. Ungkapan terima kasih yang tak terhingga juga penulis disampaikan kepada
ayah dan ibu (almarhum/a) yang mana pada saat penelitian ini sedang berlangsung
keduanya dipanggil oleh Allah SWT, istri tercinta dan ketiga anak penulis yang
senantiasa menyemangati penulis serta seluruh keluarga besar, atas segala doa dan
kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2013
Supyan
ix
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
xi
1
2
2
2 TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi dan Morfologi
Distribusi dan Habitat
Reproduksi
Siklus Hidup
5
5
7
8
10
3 METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penentuan Stasiun Penelitian
Alat dan Bahan Penelitian
Metode Pengambilan Sampel
Pengukuran Aspek Biologi
Morfometrik
Penentuan TKG
Berat Gonad dan IKG
Pengukuran Aspek Fisika
Pengukuran Aspek Kimia
Tekstur Tanah
Bahan Organik Tanah
Analisis Statistik
Indeks Kematangan Gonad
Hubungan Panjang Berat
Panjang Infinitif dan Umur Teoritis
Faktor Kondisi
Rasio Kelamin
Pola Penyebaran
Karakteristik Habitat
Analisis Vegetasi
12
12
12
12
12
13
13
14
15
15
16
16
16
16
16
16
17
17
18
18
19
21
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Morfologi Kepiting Kelapa
Hubungan Panjang (Cp+r) dengan Bobot Tubuh
Pertumbuhan
Organ Reproduksi Kepiting Kelapa
Tingkat Kematangan Gonad (TKG)
Indeks Kematangan Gonad
Faktor Kondisi
Kepadatan Populasi
Rasio Kelamin
Pola Penyebaran
22
22
23
26
28
30
32
35
37
38
39
41
x
Karakteristik Habitat Pulau Uta
Analisis Vegetasi
Kerapatan Jenis dan Indeks Kerapatan Relatif
Hubungan Karakteristik Habitat dengan Kematangan Gonad Kepiting
Kelapa di Pulau Uta
Visualisasi Habitat dan Sebaran kepiting
Tindakan Pengelolaan
43
47
47
48
51
53
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
55
55
55
DAFTAR PUSTAKA
56
RIWAYAT HIDUP
60
xi
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Ukuran telur kepiting kelapa berdasarkan siklus hidup
Paramater yang diukur dan alat yang digunakan
Ciri-ciri morfologi gonad jantan
Ciri-ciri morfologi gonad betina
Kisaran panjang kepiting kelapa di Pulau Uta
Ciri-ciri histologi gonad kepiting kelapa
Kepadatan populasi kepiting kelapa berdasarkan bulan Penangkapan
Kepadatan populasi kepiting kelapa berdasarkan stasiun pengamatan
Perbandingan jumlah kelamin kepiting kelapa pada setiap bulan
penangkapan
Rasio kelamin dengan uji chi square
Jumlah kepiting yang tertangkap selama penelitian
Hasil pengukuran sifat fisik kimia habitat kepiting kelapa di Pulau Uta
Output aplikasi program SPSS
Matriks jarak antara variabel
Hasil proses aglomerasi
Keanggotaan dan jumlah kluster yang terbentuk
Jenis-jenis vegetasi yang dominan ditemukan di Pulau Uta
Komposisi dan zonasi vegetasi dari arah laut ke darat tiap stasiun
Kerapatan mutlak dan kerapatan relatif vegetasi pada setiap stasiun
Inersia dan proporsi varians untuk stasiun dan karakeristik habitat
11
13
14
15
25
31
38
39
40
41
42
44
45
45
45
46
47
47
48
49
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Kerangka pendekatan masalah “kajian habitat dan kematangan gonad
kepiting kelapa (Birgus latro) di Pulau Uta, Propinsi Maluku Utara
Morfologi kepiting kelapa
Daerah distribusi kepiting kelapa dunia
Tahap-tahap morfologi dan perkembangan kepiting kelapa (Birgus latro)
beserta habitat yang ditempatinya
Peta lokasi pengambilan sampel
Bagian tubuh yang diukur pada kepiting kelapa
Sketsa petak tunggal dalam analisis vegetasi hutan di Pulau Uta
(a) Pulau Uta tampak dari sebelah Barat, (b) Panorama pantai Pulau Uta
dengan pasir putih yang membentang di sepanjang pantainya
Ciri-ciri kelamin kepiting kelapa secara morfologi, (a) Betina dengan
pleopoda pada bagian abdomen, dan (b) jantan tanpa pleopoda
(a) Kepiting kelapa tampak dari belakang, (b) Kepiting kelapa tampak dari
depan
Kelas ukuran kepiting kelapa di Pulau Uta
Kelas ukuran seluruh kepiting yang tertangkap di Pulau Uta
Hubungan panjang (Cp+r) dengan bobot tubuh jantan
Hubungan panjang (Cp+r) dengan bobot tubuh betina
3
6
8
11
12
14
21
23
24
25
25
26
26
27
xii
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
Hubungan umur dengan panjang (CP+r) kepiting kelapa
29
Posisi gonad dalam abdomen kepiting kelapa betina
30
Organ gonad betina pada kondisi sedang matang dengan berat 6,85gr
31
Komposisi TKG kepiting kelapa yang ditemukan berdasarkan stasiun dan
bulan pengamatan selama penelitian di Pulau Uta
32
Komposisi TKG kepiting Jantan yang tertangkap selama penelitian
34
Komposisi TKG kepiting betina yang tertangkap selama penelitian
34
Sebaran IKG jantan dan betina berdasarkan bulan pengamatan
35
Sebaran IKG jantan dan betina berdasarkan stasiun pengamatan
36
Nilai faktor kondisi kepiting kelapa di Pulau Uta
37
Jumlah hasil tangkapan pada Bulan Mei
42
Jumlah hasil tangkapan pada Bulan Juli
42
Jumlah hasil tangkapan pada Bulan September
43
Dendrogram klasifikasi kemiripan antara stasiun pengamatan berdasarkan
karakter fisik kimia habitat kepiting kelapa di P. Uta
46
Output peta korespondensi stasiun dengan karakteristik habitat dan kondisi
kematangan gonad kepiting kelapa di Pulau Uta.
50
Peta habitat dan indikator sebaran kepiting kelapa
52
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah
pulau kurang lebih 17.508 yang tersebar dari Sabang sampai Merauke (Dahuri et
al. 1995). Sebagian dari pulau-pulau tersebut berukuran kecil bahkan masih
banyak yang tidak berpenghuni. Walaupun masih ada yang tidak berpenghuni dan
jauh dari pemukiman, tetapi sulit mengatakan bahwa pulau-pulau yang tidak
berpenduduk dan terpencil itu tidak terkena dampak dari aktivitas manusia
(Dutton dan Hotta, 1998).
Kepiting kelapa (Birgus latro) merupakan salah satu spesies dari krustasea
yang memiliki nilai ekonomi tinggi, namun sudah dianggap langka dan
dikelompokkan dalam kategori rawan oleh IUCN (Wells et al. 1983). Di
Indonesia, status populasi hewan ini belum diketahui secara pasti, namun sudah
cenderung menurun karena dimanfaatkan oleh penduduk setempat. Mengingat
penyebarannya di Indonesia terbatas pada Kawasan timur saja, maka Pemerintah
Indonesia melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 12/KPTS-II/1987
telah melakukan tindakan perlindungan terhadap Kepiting Kelapa, namun usaha
yang dilakukan baru sebatas penetapan hewan ini sebagai hewan yang dilindungi.
Belum ada upaya dalam menetapkan suatu kawasan atau pulau sebagai kawasan
konservasi bagi kelangsungan hidup kepiting yang hampir punah ini.
Usaha pemerintah untuk tetap mempertahankan populasi hewan ini
mengalami hambatan karena penduduk masih menangkap tanpa memperhatikan
aspek kelestariannya. Selain karena mereka menganggap bahwa hewan ini hama
bagi tanaman, kepiting kelapa juga bernilai ekonomis tinggi. Di Guam, kepiting
kelapa merupakan makanan terhormat, namun telah menyusut kelimpahannya
(Amesbury 2000).
Mengingat tekanan yang dialami oleh populasi maupun habitat kepiting
kelapa semakin berat, maka ada kebutuhan untuk lebih memahami aspek biologi
dan ekologinya, sehingga tindakan manajemen stok dalam upaya perlindungan
yang tepat dapat diterapkan untuk melestarikan, dan jika mungkin,
mengembangkan sumber daya ini. Pulau Uta yang terletak di Propinsi Maluku
Utara adalah salah satu pulau tak berpenduduk yang memiliki potensi untuk
jadikan sebagai daerah pengembangan Birgus latro. Selain karena tidak
berpenduduk, pulau ini juga terletak dalam wilayah distribusi B. latro di dunia
yang menyebar dari Samudera Hindia hingga Samudera Pasifik Tengah.
Mengingat populasi B. latro sudah semakin mengkhawatirkan maka perlu
penelitian terhadap hewan ini dan mengingat Pulau Uta yang tidak berpenduduk
namun memiliki potensi untuk pengembangan Birgus latro, maka perlu dilakukan
penelitian tentang karakteristik habitat dan beberapa aspek reproduksi kepiting
kelapa di Pulau Uta, Propinsi Maluku Utara.
2
Perumusan Masalah
Pertumbuhan kepiting kelapa yang cenderung lambat, tingginya
penangkapan dan penurunan kualitas habitat diduga menjadi penyebab penurunan
populasi. Aktivitas manusia berupa penangkapan berlebih maupun pembangunan
dapat memberikan tekanan ekologis pada habitat hewan ini. Dalam rangka
mengatasi masalah ini, maka perlu dilakukan berbagai upaya agar sumberdaya
kepiting kelapa tetap terjaga. Salah satu upaya yang harus dilakukan dalam
mempertahankan populasinya adalah dengan mempertahankan habitat yang ideal
bagi kepiting kelapa dan mengurangi tekanan terhadap populasinya (pembatasan
penangkapan, melakukan upaya budidaya dan restoking).
Berdasarkan pemikiran di atas, maka upaya untuk tetap mengatasi
penurunan populasi kepiting tersebut dapat ditempuh dengan cara (1) mengetahui
pola reproduksi sehingga dapat diatur waktu penangkapan yang tepat dan tidak
mengancam proses reproduksinya, (2) mengidentifikasi karakteristik habitat yang
cocok bagi kepiting kelapa, baik untuk bereproduksi maupun untuk tumbuh
dengan baik. Kerangka pendekatan masalah di atas dapat dilihat pada Gambar 1.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji karakteristik habitat dan tingkat
kematangan gonad kepiting kelapa di Pulau Uta, Maluku Utara. Hasil dari
penelitian ini diharapkan dapat dijadikan data awal bagi strategi pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya kepiting kelapa di pulau tersebut.
3
Gambar 1.
Kerangka pendekatan masalah “kajian habitat dan kematangan gonad kepiting kelapa (Birgus latro) di Pulau Uta,
Propinsi Maluku Utara
3
4
4
5
2 TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi dan Morfologi
Kepiting kelapa atau B. latro termasuk ke dalam Kelas Krustase, Filum
Arthropoda darat yang terbesar di dunia (Altevogt dan Davis 1975). Penduduk
Kepulauan Maluku menyebutnya Kepiting Kenari. Kepiting ini dikenal karena
kemampuannya mengupas buah kelapa dengan capitnya yang kuat untuk
memakan isinya. Dia satu-satunya spesies dari Genus Birgus. Dalam bahasa
Inggris dikenal "terrestrial hermit crab" (umang-umang darat) karena
penggunaan kulit keong oleh umang muda; tetapi, ada juga umang darat lain yang
tidak menanggalkan kulit keongnya setelah dewasa. Hewan ini khususnya
genus Coenobita yang masih berkerabat dekat - biasanya disebut umang-umang
darat; karena dekatnya kekerabatan antara Coenobita dan Birgus maka istilah
umang-umang darat ini biasanya mengacu pada anggota Famili Coenobitidae.
Menurut Eldredge (1996) dan Myake (1982) kepiting kelapa dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Class : Crustacea
Order : Decapoda
Family : Coenobitidae
Genus : Birgus
Species : Birgus latro Linnaeus 1776
Secara morflogis kepiting kelapa mempunyai abdomen bulat simetris dan
terlindungi kulit yang keras, ujung abdomennya dapat berfungsi sebagai pemberat
ketika berada dalam liangnya yang berada di bawah akar pohoh maupun pohon
yang roboh. Kepiting dewasa memiliki panjang karapas kurang lebih 25-40 cm,
berat badan berkisar antara 2-4 kg. Capit sebelah kiri biasanya mempunyai ukuran
lebih besar dari capit yang sebelah kanan. Kepiting ini dilengkapi dengan lima
pasang kaki jalan, yang terdiri atas empat pasang kaki jalan yang jelas terlihat
berbentuk keras dan kuat dan satu pasang kaki jalan terakhir berukuran kecil dan
tersembunyi dibawah karapas. Semua kaki jalan ditutupi oleh duri serta rambutrambut halus. Karapasnya sangat keras yang disebabkan oleh konsentrasi zat
kapur yang lebih tinggi jika dibandingkan jenis kepiting lainnya. Kepiting ini
memiliki bagian bawah (abdomen) yang lunak yang pada waktu kecil terlindung
dalam rumah siput, tetapi rumah siput ini akan ditinggalkan ketika menginjak
dewasa. Kepiting ini tumbuh dengan cara berganti kulit, sesaat setelah keluar dari
rumah siputnya ia lalu mencari tempat yang terlindung dari pemangsanya dan
berganti kulit disana (Motoh 1980).
Meskipun Kepiting kelapa merupakan tipe kepiting pertapa, tapi juvenil
menggunakan kerang keong untuk melindungi perutnya yang lembut, dan juvenil
kadang-kadang menggunakan patahan tempurung kelapa untuk melindungi perut
mereka. Tidak seperti kepiting pertapa lainnya, kepiting kelapa dewasa tidak
membawa kerang tapi malah mengeraskan terga perut mereka dengan
memanfaatkan kitin dan kapur. Tidak dibatasi oleh pembatas dinding cangkang
6
memungkinkan spesies ini tumbuh jauh lebih besar daripada kepiting pertapa lain
dalam Famili Coenobitidae (Harms 1932).
Tubuh kepiting kelapa dibagi menjadi bagian depan (kepala-dada
atau sefalotoraks), dengan 10 kaki, dan abdomen (perut). Sepasang kaki terdepan
mempunyai capit besar untuk mengupas kelapa, dan cakar (chelae) ini dapat
mengangkat benda hingga seberat 29 kg. Dua pasang kaki berikutnya, seperti
pada umang-umang lain, adalah kaki berjalan yang besar dan kuat yang
memungkinkan kepiting kelapa memanjat pohon (seringkali kelapa) secara
vertikal hingga setinggi 6 m. Pasangan kaki ke empat lebih kecil dengan cakar
mirip pinset diujungnya, memungkinkan kepiting muda berpegangan didalam
kulit keong atau batok kelapa untuk berlindung; hewan dewasa menggunakan
pasangan kaki ini untuk berjalan dan memanjat. Pasangan kaki terakhir sangat
kecil dan hanya digunakan untuk membersihkan organ pernafasannya. Kaki-kaki
ini diletakkan dalam karapas, dalam rongga tempat organ pernafasannya berada.
Ada beberapa perbedaan warna antara hewan di pulau yang satu dengan pulau
yang lain, dari ungu muda, ungu tua hingga cokelat.
Birgus latro adalah arthropoda darat terbesar di dunia. Laporan tentang
ukuran Birgus latro bervariasi, tapi referensi yang memberikan informasi bawah
panjang tubuh sampai dengan 40 cm (16 in), berat sampai 4,1 kg dan rentang
kaki lebih dari 0,91 m dengan jantan umumnya lebih besar daripada betina
(World Wildlife Fund 2001). Ada laporan dalam literatur spesimen berukuran 6
kaki (1,8 m) di dada dan berat 14 kg. Hal itu dipercaya mendekati batas teoritis
untuk artropoda darat. Umurnya dapat mencapai 30-60 tahun (Altevogt dan Davis
1975). Morfologi kepiting kelapa serta bagian-baginnya dapat dilihat pada
Gambar 2.
Gambar 2. Morfologi kepiting kelapa
7
Distribusi dan Habitat
Kepiting kelapa pertama kali ditemukan oleh Rumphius pada tahun 1705,
namun sebenarnya telah diketahui oleh orang-orang eropa sejak perjalanan
eksplorasi William Dampier sekitar tahun 1688. Literatur-literatur yang ditulis
oleh para ahli biologi yang mengunjungi pulau-pulau di sekitar Samudera Hindia
dan Pasifik pada awalnya lebih banyak menginformasikan mengenai kemampuan
kepiting ini dalam membuka dan memindahkan kelapa dari pohonnya. Baru
setelah tahun-tahun berikutnya penelitian yang lebih mendalam terhadap
pengenalan akan siklus hidup, tingkah laku, reproduksi, fisiologi dan anatominya
dilakukan (Schiller et al. 1991).
Kepiting kelapa tinggal sendirian di liang bawah tanah dan celah-celah batu,
tergantung pada daerah setempat. Mereka menggali lubang mereka sendiri di pasir
atau tanah lepas. Pada siang hari, hewan tetap tersembunyi untuk melindungi diri
dari predator dan mengurangi kehilangan air dari panas. Liang kepiting kelapa ini
'mengandung serat yang sangat halus namun kuat dari sabut kelapa yang
digunakan hewan sebagai alas tidur (Streets 1877). Sementara beristirahat dalam
liang, kepiting kelapa menutup pintu masuk dengan salah satu cakar untuk
menciptakan iklim mikro yang lembab yang diperlukan organ pernapasan. Di
daerah dengan populasi kepiting kelapa yang besar, beberapa juga yang keluar
siang hari, mungkin untuk mendapatkan keuntungan dalam mencari makanan.
kepiting kelapa juga akan kadang-kadang keluar siang hari jika lembab atau
hujan, karena kondisi ini memungkinkan mereka untuk bernapas dengan lebih
mudah. Mereka hidup hampir secara eksklusif di darat, dan beberapa telah
ditemukan sampai dengan 6 km (3.7 mil) dari laut (Hsieh 2004).
Kepiting kelapa tinggal di daerah dari Hindia ke Samudra Pasifik tengah.
Pulau Christmas di Samudra Hindia memiliki populasi terbesar dan terbaik di
dunia. Berbeda dengan Samudera Hindia populasi yang ada di Seychelles,
terutama Aldabra, Kepulauan Glorioso, Pulau Astove, dan Cosmoledo, kepiting
kelapa sudah hamper punah di pusat pulau-pulau. Mereka juga dikenal pada
beberapa wilayah di Andaman dan Nikobar di Teluk Benggala. Sejumlah besar
berkeliaran dengan bebas di kepulauan Chagos milik Inggris, yang juga dikenal
sebagai British Indian Ocean Territories (Biot). Mereka dilindungi di pulau-pulau
dari perburuan dan/atau dimakan, dengan denda hingga 1.500 poundsterling
Inggris (kira-kira $ 3.000 USD) per kepiting kelapa yang dikonsumsi. Di
Mauritius dan Rodrigues, mereka sudah punah (Eldredge 1996).
Kepiting kelapa dianggap salah satu dekapoda yang paling terestrial, dengan
sebagian besar aspek kehidupan yang terkait dengan keberadaan terrestrial (Bliss
1968). Karena mereka tidak dapat berenang sebagai kepiting dewasa, kelapa
kepiting dari waktu ke waktu menjelajahi pulau-pulau sebagai larva, yang bisa
berenang, atau pada kayu apung dan kapar lainnya.
Kepiting kelapa menyebar luas dari lautan Pasifik Barat hingga Samudera
Hindia bagian timur. Di daerah tersebut, hewan ini menempati pulau-pulau
berbatu di kawasan lautan. Selain itu juga mereka hidup di daerah pantai yang
menyatu dengan daratan kepualauan dan umumnya tidak dijumpai di daerah
karang atol karena di wilayah tersebut tidak tersedia makanan yang memadai
untuk kehidupan mereka. Di Aldabra dilaporkan masih terdapat kepiting ini
namun di Kepulauan Seychelles diperkirakan sudah punah. B. latro juga tersebar
8
di pulau-pulau kecil di wilayah pantai Tanzania dan Sentinal Selatan (Andaman
dan Nikobar), Kepulauan Keeling dan Mauritius. Di Filipina sekarang dilaporkan
hanya terdapat di Pulau Ilongo dan sebagian di Pulau Cebu. Di kawasan Pasifik
kepiting ini dapat dijumpai di Timor, kemudian menyebar ke belahan utara
sampai Ryukus, Fiji dan kepulauan Marshall kecuali kepulauan Hawaii, Wake dan
Midway. Di Papua Nugini dapat ditemukan di propinsi Manus, yakni di Rantan,
Sae dan Los Negros (PPSDAHP (1987/l988) (Gambar 3).
Di Indonesia Kepiting kelapa tersebar di kawasan Timur lndonesia yaitu di
pulau-pulau Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Di Sulawesi, kepiting
kelapa terdapat di wilayah Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, Pulau Siompu,
'l`onga1i, Kaimbulawa dan Liwutongkidi, Sulawesi Tenggara (Ramli l997)
sedangkan di Nusa Tenggara terdapat di pantai berbatu Pulau Yamdena (Monk et
al. 2000), dan di Kalimantan terdapat di Pulau Derawan.
Gambar 3. Daerah distribusi kepiting kelapa dunia (Schiller 1992)
Reproduksi
Ordo Malacostraca pada umumnya dan Famili Caeobitidae pada khususnya,
memiliki sepasang testis dan sepasang ovum yang berada pada abdomennya
(Mclaughlin 1983). Aktivitas reproduksi kepiting kelapa ditandai ketika induk
betina sedang membawa telur yang terletak di abdomennya di dalam populasi dan
tampaknya terjadi musiman di seluruh wilayah secara geografis. Pada musim
panas di belahan bumi bagian utara dan selatan biasanya betina hanya sekali
dalam setahun meletakkan telurnya (Schliller et al. 1991). Menurut Resse (1965)
dalam Schliller et al. (1991) betina ovigerous (betina yang sedang membawa
telurnya dalam abdomen) di Kepulauan Eniwetok terjadi pada bulan April di
Musim Semi sampai dengan Agustus pada akhir musim panas.
Berdasarkan hasil penelitian dari Schiller et al. (1991), di daerah tropik baik
belahan utara maupun selatan, aktifitasnya tidak tergantung musim namun terjadi
sepanjang tahun di Kepulauan Vanuatu, sementara di daerah sub tropik di belahan
bumi bagian selatan induk betina paling kurang aktif bereproduksi, setiap
9
tahunnya berlangsung selama kurang dari sembilan bulan yang terjadi pada akhir
September atau awal Oktober sampai dengan awal Juni pada tahun berikutnya.
Kepiting kelapa kawin secara berulangkali dan cepat di daratan kering pada
periode dari Mei sampai September, khususnya Juli dan Agustus (Sato dan Kenzo
2008). Aktivitas kawin biasanya berlangsung di dalam lubang. Pemijahan dan
pembuahan terjadi beberapa saat setelah kepiting betina berganti kulit. Lamanya
waktu yang diperlukan untuk ganti kulit belum dapat dipastikan. Seluruh proses
perkawinan berlangsung sekitar 15 menit (Pratiwi 1989), sedangkan menurut
Helfman (1977) dalam (Schiller et al. 1991), setelah melakukan pengamatan
terhadap dua kepiting kelapa betina yang melakukan kopulasi di darat
mendapatkan bahwa kopulasi berlangsung sekitar 3 menit dengan sedikit aktifitas
tingkah laku pre dan pasca kopulasi.
Kopulasi dimulai ketika kepiting jantan dan betina berkelahi satu sama lain,
lalu yang jantan berbalik ke punggung betina untuk kawin (Pratiwi 1989). Ketika
proses perkawinan terjadi, kepiting jantan memegang cheliped betina dengan
capitnya dan berjalan menuju ke depan sampai punggung kepiting betina berada
di bawah. Kaki-kaki mereka bersilangan dan abdomen memanjang ke bagian
badan mereka yang lain sementara betina memutar di atas abdomen jantan.
Kepiting jantan menggunakan coxea yang dimodifikasi dari pasangan kaki ke
lima pereipoda untuk mentrasfer sperma ke sekitar oviduct betina yang terbuka
pada bagian dasar pasangan kaki ke tiga pereiopoda.
Proses inkubasi telur membutuhkan jalan masuknya air dan ion organik
untuk memperkecil dehidrasi dari massa telur. Kepiting kelapa tidak mudah untuk
mendatangi air asin seketika dari habitat normalnya, mereka harus bermigrasi ke
pantai untuk mendapatkan air asin sebelum menetaskan telurnya. Oleh karena itu,
sesaat setelah kopulasi, kepiting betina akan bermigrasi ke tepi laut dan masuk ke
dalam celah-celah batu karang yang terdapat di daerah intertidal untuk
menetaskan telur-telurnya, tapi sebelum teluir ditetaskan mereka melekatkannya
dibawah perutnya dan membawanya selama beberapa bulan (Pratiwi 1989).
Migrasi biasanya dilakukan pada malam hari, pada waktu air pasang, di mana
telur-telur tersebut telah matang dan siap untuk menetas biasanya bulan Oktober
atau November kepiting kelapa betina melepaskan telur-telur tersebut ke lautan
pada saat pasang naik (Schiller et al. 1991). Telur-telur yang matang biasanya
berwarna abu-abu kekuning-kuningan dengan titik mata yang jelas terlihat.
Berbeda dengan kepiting lainnya yang selalu diikuti induk jantan dalam
melepas telurnya, Induk betina Kepiting kelapa ketika pergi melepaskan telurnya
akan bermigrasi ke laut tanpa diikuti induk jantan (Schiller et al. 1991). Di
Vanuatu, kepiting kelapa akan berada di daerah pantai selama kurang lebih 5 – 6
minggu. Kepiting-kepitng betina ini umumnya berkumpul dalam kelompok di
sepanjang pantai dan berjalan di atas batu-batuan pada perbatasan daerah pasang
surut sehingga ombak yang dating memecah akan membasahi bagian tubuhnya
secara teratur. Pada saat telur-telur yang dibawanya kontak dengan air laut, maka
dengan segera setelah itu menetas dan zoea dilapskan ke laut. Biasanya mereka
akan kembali ke daratan juga dalam kelompoknya 4 – 10 hari setelah melepaskan
telurnya dan kemudian berpisah (menyebar) setelah sampai di darat.
Penetasan telur hingga menjadi burayak, umumnya berlangsung secara
alami. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi (1989) menunjukkan bahwa
proses penetasan telur berlangsung lebih cepat bila di sekitar telur sering terjadi
10
ombak laut. Telur yang menetas berubah menjadi burayak, yang kemudian hidup
bebas sebagai plankton di perairan lepas. Limbong (1983) dalam Abubakar
(2009) menyatakan bahwa telur yang dimiliki oleh seekor induk betina berjumlah
ribuan. Hal ini dipertegas lagi oleh Helfman (1973) dalam Amesbury (2000)
setelah menghitung jumlah embrio yang berkembang pada empat kepiting kelapa
betina di Palau dan Enewetak, jumlah embrio per individu berkisar antara 51.000
sampai 138.000.
Siklus Hidup
Selama siklus hidupnya, kepiting kelapa memiliki dua habitat yaitu di darat
dan laut. Proses kopulasi, masa inkubasi sampai matang telur berlangsung di
darat, sedangkan masa penetasan telur sampai telur menjadi burayak hidup
sebagai planktonik yang hidup bebas di laut kemudian setelah dewasa kembali ke
daratan.
Fase setelah telur yang baru menetas disebut fase zoea. Fase ini biasanya
berlangsung sekitar 30 hari yang terdiri dari lima tahap. Tiap-tiap tahap akan
mengalami perubahan bentuk dan ukuran. Tahap zoea pertama berlangsung 5- 6
hari setelah telur mentas dan pergantian ke tahap zoea kedua terjadi pada hari ke
empat. Tahap zoea kedua berlangsung sekitar 3 – 15 hari dari kehidupan larva
dan selesai dalam waktu 10 hari. Lamanya tahap zoea ketiga ini umumnya 8-9
hari. Pergantian ke tahap keempat dimulai pada hari ke 15 dari kehidupan larva
sampai kira-kira hari ke 24. Burayak biasanya mengalami pergantian kulit pada
hari ke 18 – 20 dan terjadi sangat aktif. Setelah selesai berganti kulit, zoea
memasuki tahap keempat dan lamanya tahap ini berkisar antara 6 – 12 hari.
Ketika usia sekitar 30 hari, fase Zoea akan segera beralih ke fase pos larva atau
“Glaucothoe” (Schiller et al. 1991).
Fase pos larva merupakan fase terpenting dalam pertumbuhan kepting
kelapa. Pada fase ini, kepiting mengalami perubahan bentuk seperti hewan
amphibi dan sudah mulai dapat berenang dengan menggunakan pleopodanya atau
bergerak pelan-pelan di daratan. Setelah tahap ini, kepiting tersebut menggali
lubang dan terjadi pergantian kulit pada hari ke 28. Pada hari ke 36 kepiting ini
telah menjadi kepiting muda dan akan memilih cangkang gastropoda yang kosong
sebagai tempat tubuhnya (Pratiwi 1989). Biasanya setiap ganti kulit, cangkang
sebagai rumahnya juga akan diganti dengan menyesuaikan pertambahan
tubuhnya. Tingkah laku ini menjadikannya sebagai hewan pembawa cangkang
dapat berlangsung sampai 2,5 tahun selanjutnya kepiting meninggalkan cangkang
dan berkembang menjadi kepiting kelapa dewasa. Kepiting kelapa muda yang
tidak dapat menemukan kerang dari ukuran yang tepat juga sering menggunakan
potongan-potongan kelapa rusak. (Cameron et al. 1973) dalam (Schiller et al.
1991).
Berdasarkan hasil penelitian Reay dan Haig (1990) dalam Ramli (1997),
kepiting kelapa pada fase kelomang atau fase dimana dia hidup dalam cangkang
gastropoda, bersifat semi terrestrial dengan karakteristik hidup pada mintakat
supra litoral yang berpasir pada siang hari dan dapat ditemukan hidup di bawah
semak-semak dan di antara reruntuhan pohohn yang telah mati. Gibson-Hill
(1947) dalam Pratiwi (1995) mengemukakan bahwa kepiting kelapa menjadi
11
dewasa setelah berumur 4 tahun yakni setelah delapan kali mengalami pergantian
kulit. Pada usia tersebut, kepiting tidak lagi membawa cangkang karena struktur
tubuhnya sudah menjadi hewan darat dan akan menghabiskan waktunya di
daratan. Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Schiller et al. (1991)
menyatakan bahwa kepiting kelapa mencapai matang gonad pada umur 3,5 – 5
tahun dan pada umur ini kepiting sudah mulai melakukan aktivitas perkawinan
dan memulai siklus hidupnya dengan melepaskan teluarnya ke laut. Umur dari
kepiting ini dapat mencapai 30-60 tahun (Altevogt dan Davis 1975). Ukuran
(mm) dari kepiting kelapa berdasarkan siklus dapat disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Ukuran telur kepiting kelapa berdasarkan siklus hidup
FASE
UKURAN TELUR (mm)
Telur
0,79 ± 0,20
Zoea I
2,80 ± 0,12
Zoea II
3,40 ± 0,03
Zoea III
3,90 ± 0,10
Zoea IV
4,40 ± 0,13
Glaucothoe
4,00
Kelomang
< 100
Remaja
22
Sumber: Schiller et al. (1991).
WAKTU (hari)
24 – 45
5–6
3–5
8–9
6 – 12
21 – 28
12 - 24 bulan
Habitat yang ditempati kepiting kelapa (Birgus latro) berdasarkan siklus hidupnya
dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Tahap-tahap morfologi dan perkembangan kepiting kelapa (Birgus
latro) beserta habitat yang ditempatinya
Keterangan : 1. Betina dewasa
2. A. Fase telur tahap akhir dan B fase prezoea
3. Fase zoea
4. Fase Glaucothoe
5. Fase kelomang dalam cangkang gastropoda
(Sumber : Hsieh 2004)
12
3 METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pulau Uta, Kabupaten Halmahera Tengah,
Propinsi Maluku Utara yang secara geografis terlatak pada 129037¹ BT – 129038¹
BT dan 000¹25¹¹ LU – 0001¹24¹¹ LU dan dilaksanakan pada Bulan Mei –
September 2011. Peta lokasi penelitian dapati dilihat pada Gambar 5.
E 129037’.30.72”
E 129037’56.64”
N 0001’30.72”
U
N 0000’38.88”
S
Sumber Peta : Map data ©2013, Tele Atlas
Gambar 5. Peta lokasi pengambilan sampel
Penentuan Stasiun Penelitian
Pulau Uta adalah sebuah pulau kecil tidak berpenduduk yang terletak di
sebelah utara Pulau Yoi. Dataran yang rata dan pantai yang landai di sepanjang
garis pantai dengan vegetasi tumbuhan yang cenderung homogen memungkinkan
kondisi habitat di semua lokasi sama. Pengambilan data dilakukan di empat
stasiun pengamatan masing-masing di bagian barat, timur, selatan dan utara pulau
yang dianggap representatif mencirikan wilayah penelitian secara keseluruhan.
Alat dan Bahan Penelitian
Berdasarkan parameter-parameter yang diukur dan alat yang digunakan
dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 2.
Metode Pengambilan Sampel
Pengumpulan kepiting kelapa dilakukan dengan survey jelajah dengan
mencari langsung kepiting kelapa di tempat persembunyiannya. Penangkapan
13
dilakukan pada siang dan malam hari langsung di lubang-lubang tanah dan pada
pohon-pohon kayu yang tumbang yang mereka gali sebagai tempat
persembunyiannya. Kepiting yang terperangkap disinari dengan senter dengan
fokus agar kepiting tetap diam. Agar dia tidak meronta, bagian punggungnya
diinjak kemudian capit dan kakinya diikat menjadi satu dengan tali tambang.
Kepiting kelapa yang tertangkap kemudian dikumpulkan untuk dilakukan
pengukuran terhadap panjang karapas tambah rostrum (CP + r) dan ditimbang
dengan menggunakan timbangan digital berketelitian 1 gram. Preservasi
dilakukan dengan menggunakan formalin 10 %.
Kelimpahan dan pola penyebarannya di lokasi penelitian dihitung
berdasarkan metode kuadran berukuran 100 x 100 m dengan menempatkannya
secara acak di setiap stasiun pengamatan. Pengambilan data morfometrik dan
kualitas tanah dilakukan pada setiap ulangan sementara tekstur tanah diambil di
sekitar lubang-lubang yang dibuat kepiting kemudian diayak dengan
menggunakan ayakan berlapis untuk pengelompokan fraksi lumpur, pasir dan
tanah liat ditentukan berdasarkan penggolongan yang dilakukan oleh The
International Society of Soil Science (Michael 1994).
Tabel 2. Paramater yang diukur dan alat yang digunakan
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
10.
11.
Parameter
FISIKA
Tekstur tanah
Suhu Tanah
Kelembaban
Curah Hujan
KIMIA
Bahan Organik Tanah
pH Tanah
BIOLOGI
Kondisi Vegetasi
Morfometrik
- Panjang CP + r
- Berat Total
Berat Gonad
Kelimpahan
Satuan
Jenis Alat
%
C
%
mm
Ayakan berlapis
Thermometer Tanah
Psikrometer
Data Sekunder
%
Metode Welkey-Black
pH Soil tester
m2
Kuadran
mm
g
g
m2
Jangka sorong
Timbangan digital
Timbangan digital
Kuadran
0
Pengukuran Aspek Biologi
Morfometrik
Pengambilan data morfometrik meliputi pengukuran panjang kerapas
termasuk rostrum dengan menggunakan jangka sorong. Bobot tubuh ditimbang
dengan menggunakan timbangan digital berketelitian 0,01 gram. Penimbangan
bobot dilakukan sebelum dan sesudah dikeluarkan gonadnya dengan
menggunakan timbangan digital. Pengukuran dilakukan setiap bulan. Bagianbagian tubuh dari kepiting kelapa yang diukur pada kepiting kelapa dapat dilihat
pada Gambar 6.
14
Keterangan :
CP + r = panjang kerapa+
rostrum
CP-r = Panjang kerapas
tanpa rostrum
Gambar 6. Bagian tubuh yang diukur pada kepiting kelapa
Penentuan TKG
Pengamatan TKG dilakukan secara visual yaitu dengan melihat perubahan
morfologi gonad. Tingkat kematangan gonad (TKG) kepiting kelapa jantan dan
betina diklasifikasikan berdasarkan perubahan ciri-ciri morfologi gonad menurut
Rafiani dan Sulistiono (2009) disampaikan pada Tabel 3 dan 4.
Tabel 3. Ciri-ciri morfologi gonad jantan menurut Rafiani dan Sulistiono (2009)
Tingkat Kematangan
Gonad (TKG)
Ciri-ciri morfologis
Tidak Matang
(TKG I)
Sepasang gonad jantan terdapat pada bagian
abdomen dengan warna putih kekuningan dan
berukuran kecil serta mengisi sekitar 5% rongga
abdomen.
Awal matang
(TKG II)
Gonad terdiri dari testis dan saluran-salurannya
yang berbentuk tabung melingkar (spiral)
berukuran sedang. Gonad berwarna putih
kekuningan dan mengisi sekitar 10% rongga
abdomen.
Sedang matang
(TKG III)
Gonad terdiri ats testis dan saluran-salurannya
berukuran cukup besar dengan warna putih
kekuningan dan mengisi sekitar 30% rongga
abdomen
Matang
(TKG IV)
Gonad terdiri dari testis dan saluran-salurannya
yang berbentuk spiral berukuran besar. Gonad
berwarna putih susu dan mengisi sekitar 40% dari
rongga abdomen.
15
Tabel 4. Ciri-ciri morfologi gonad betina menurut Rafiani dan Sulistiono (2009)
Tingkat
Kematangan Gonad
(TKG)
Ciri-ciri morfologis
Tidak Matang
(TKG I)
Permukaan ovarium halus, belum terbentuk butiranbutiran telur. Ovarium belum mulai berkembang,
berbentuk sepasang, ovarium berwarna abuabu muda.
Pengisian ovarium di dalam abdomen adalah sekitar 25
persen.
Awal matang
(TKG II)
Permukaan
ovarium
lembut,
mulai
terlihat
butiranbutiran telur, jika di tekan mudah hancur. Ukuran
ovarium semakin bertambah dan meluas, warna dari
putih menjadi abu-abu tua. Pengisian ovarium didalam
abdomen sekitar 30 persen.
Sedang matang
(TKG III)
Permukaan ovarium terasa kasar, karena butiranbutiran
telur semakin membesar dan padat, jika di tekan kuat
dan tidak mudah hancur. Volume ovarium semakin
membesar, berwarna orange. Butiran telur terlihat
dengan jelas, namun masih dilapisi oleh kelenjar
minyak. Pengisian ovarium
Matang
(TKG IV)
Permukaan ovarium terasa kasar dan padat, karena
butiran-butiran telur yang semakin membesar dan jelas,
jika di tekan kuat dan tidak akan hancur. Hampir semua
telur mempunyai ukuran yang relatif sama dan
bentuknya bulat. Butir-butir telur semakin membesar,
hampir mengisi seluruh abdomen dan terlihat dengan
jelas berwarna merah tua dengan mudah dapat
dipisahkan karena lapisan minyak yang menyelubungi
sudah berkurang. Pengisian ovarium didalam abdomen
sekitar 80 %.
Berat Gonad dan IKG
Penentuan berat dan indeks kematangan gonad, maka gonad yang sudah
dikeluarkan dan diawetkan dengan formalin 10 % ditimbang dengan
menggunakan timbangan digital berketelitian 0,01 gram. Indeks kematangan
gonad pada jantan dan betina adalah perbandingan berat gonad terhadap berat
tubuh dikalikan dengan 100%.
Pengukuran Aspek Fisika
Parameter aspek fisika yang akan diukur adalah curah hujan dan
kelembaban udara. Pengukuran pH tanah dilakukan dengan menggunakan
pHmeter. Kelembaban udara diukur dengan menggunakan hygrometer sedangkan
curah ujan datanya bisa diperoleh dari BMG Maluku Utara.
16
Pengukuran Aspek Kimia
Tekstur Tanah
Pada analisis komposisi tekstur tanah yang ada di lokasi penelitian,
digunakan ayakan berlapis. Sebelum diayak, contoh tanah yang akan diambil di
sekitar lubang-lubang yang dibuat kepiting dibersihkan terlebih dahulu
permukaannya dari sisa-sisa tanaman atau kotoran lainnya. Komposisi tanah yang
diukur meliputi tiga bagian fraksi yaitu lumpur, liat dan pasir. Pengelompokan
ukuran partikel tanah menurut ukurannya ditentukan berdasarkan penggolongan
yang dilakukan oleh The International Society of Soil Science Michael (1994).
Bahan Organik Tanah
Kandungan bahan organik yang terdapat dalam tanah beradal dari sisa-sisa
tumbuhan, hewan dan organism lainnya yang telah mati termsuk kotorannya.
Perombakan oleh jasad renik terhadap material tersebut menyebabkan pelapukan
dan memperkaya bahan organik tanah. Analisis kandungan bahan organik tanah
dilakukan di Laboratorium Terpadu Institut Pertanian Bogor.
Analisis Statistik
Indeks Kematangan Gonad
Indeks Kematangan Gonad diperoleh dengan menggunakan menurut
Effendi (1979) yaitu:
BG
IKG =
x 100
BT
keterangan :
IKG = Indeks Kematangan Gonad
BG
= Berat Gonad (g)
BT
= Berat tubuh (g)
Hubungan Panjang Berat
Hubungan panjang (CP+r) berat (bobot) kepiting dilakukan secara terpisah
antara jenis kelamin jantan dan betina di masing-masing stasiun pengamatan.
Perhitungan hubungan panjang berat dilakukan dengan menggunakan rumus
menurut Ricker (1975) dalam Effendi (19779) sebagai berikut:
W = a (CP+r)b
keterangan :
W
= Bobot Total Kepiting
CP+r = Panjang Kerapas + rostrum
A dan b = konstanta
Persamaan diatas dilogaritmakan untuk mendapatkan persamaan linier menjadi :
Log W = Log a + b Log (CP+r)
Selanjutnya dari persamaan di atas harga a dan b didapatkan untuk
menentukan kriteri pertumbuhan. Menurut effendi (1979), jika b > 3, maka
pertambahan panjang lebih cepat daripada pertambahan bobot dan sebaliknya jika
17
b < 3, maka pertambahan panjang kepiting lebih lambat daripada pertambahan
bobotnya. Kedua jenis pertumbuhan ini disebut pertumbuhan allometrik. Jika b =
3, maka berarti bahwa pertambahan berat dan panjang sama atau disebut dengan
pertumbuhan isometrik.
Penentuan nilai b, dilakukan uji t pada selang kepercayaan 95% (α, 0,05)
(Steel dan Torrie, 1949).
Pada uji ini berlaku hipotesis :
h0 : b = 3
h1 : b ≠ 3,
Kaídah keputusan:
a. Jika thitung > ttabel keputusannya adalah tolak h0
b. Jika thitung < ttabel maka keputusannya adalah terima h0 (Walpole, 1995).
Panjang Infinitif dan Umur Teoritis
Panjang asimtut dan umur teoritis diketahui dengan melakukan analisis
panjang karapas dengan menggunakan persamaan von Bertallanffy sebagai
berikut :
Lt = L∞[1-e-K(t-to)]
atau Lt = L∞ (1-e-Kt)+Lo e-Kt (Pauly,1987)
keterangan :
Lt = panjang pada waktu t,
L∞ = panjang asimptot, yaitu panjang kepiting dari suatu stok yang muncul bila
mereka tumbuh secara tidak terbatas,
Lo = panjang pada waktu t = 0,
K = koefisien pertumbuhan.
to = panjang pada saat umur = 0 bulan
Menurut Pauly (1987) pengukuran pertumbuhan dapat didasarkan pada data
frekwensi panjang baik pada ikan maupun invertebrate.
Faktor Kondisi
Perhitungan faktor kondisi ditentukan berdasarkan pola pertumbuhannya.
Adapun pola pertumbuhan isometrik dihitung dengan menggunakan rumus:
(105 )
K=
(� + �)3
Pola pertumbuhan allometrik, dihitung dengan rumus :
K=
(� + �)
18
keterangan :
K
= Faktor Kondisi Kepiting
W = Bobot Tubuh yang diukur (gram)
CP+r = Panjang kerapas + rostrum (mm)
a
= Koefisien pertumbuhan
b
= Ukuran dari perbedaan rata-rata tumbuh
Rasio Kelamin
Penentuan jenis kelamin dilakukan berdasarkan ciri kelamin sekunder. Pada
kelamin betina terdapat 3 buah pleopoda yang terdapat pada abdomen. Ciri lain
yang membedakan jantan dan betina adalah ukuran tubuh, biasanya jantan lebih
besar daripada betina. Rasio kelamin jantan dan betina dapat diduga dengan
menggunakan rumus menurut Effendi (1979):
P=A:B
keterangan:
P = Rasio kelamin jantan dan betina,
A = Jumlah kelamin jantan
B = Jumlah kelamin betina
Selanjutnya rasio kelamin diuji dengan menggunakan Chi-Square menurut
Steel dan Torrie (1993) sebagai berikut :
n
2
X =
�=1
( � − �)2
�
keterangan:
Oi = Frekuensi jumlah kepiting jantan dan betina yang diamati
ei = Frekuensi harapan (jumlah rata-rata jantan dan betina)
Pola Penyebaran
Pola penyebaran kepiting kelapa di lokasi penelitian akan ditentukan
dengan menggunakan indeks Morisita menurut (Browler dan Zaar, 1977) sebagai
berikut :
2
(
−
�)
�
� =�
2
(
�
�) −
keterangan:
Id = Indeks Morisita,
n = Jumlah Plot (unit),
X = Jumlah individu yang ditemukan pada setiap plot
Kriteria pola penyebaran:
jika nilai Id = 1: pola penyebaran acak,
jika nilai Id > 1: pola penyebaran mengelompok, dan
jika nilai Id < 1: pola penyebaran seragam.
19
Menghitung Mu dan Mc
Pola sebaran ditunjukkan dengan perhitungan Mu dan Mc sebagai berikut :
�� =
−�+
( 1 )−1
2
0,975
1
� =
−�+
( 1 )−1
2
0,025
1
keterangan :
Mu
: Indeks Morisita untuk pola sebaran seragam
2
X 0,975 : nilai Chi-square tabel dengan derajat bebas n-1 dan selang kepercayaan
97,5 %
Mc
: Indeks Moristita untuk posa sebaran mengelompok
X20,0,25 : nilai Chi-square dengan derajat bebas n-1 dan selang kepercayaan 2,5 %
Menghitung Standar derajat Morisita :
Ip = 0,5 + 0,5
Ip = 0,5
Ip = 0,5
� −�
� −1
� –1
�