Studi Fenologi, Morfologi, Dan Penentuan Masak Fisiologi Benih Kacang Bambara (Vigna Subterranea (L) Verdc) Berdasarkan Konsep Photothermal Unit

i

STUDI FENOLOGI, MORFOLOGI, DAN PENENTUAN
MASAK FISIOLOGI BENIH KACANG BAMBARA (Vigna
subterranea (L.) Verdc.) BERDASARKAN KONSEP
PHOTOTHERMAL UNIT

RADEN ENEN RINDI MANGGUNG

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

ii

iii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Studi Fenologi,

Morfologi, dan Penentuan Masak Fisiologi Benih Kacang Bambara (Vigna
subterranea (L.) Verdc.) Berdasarkan Konsep Photothermal Unit adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2015

Raden Enen Rindi Manggung
NIM A251120041

iv

RINGKASAN
RADEN ENEN RINDI MANGGUNG. Studi Fenologi, Morfologi, dan Penentuan
Masak Fisiologi Benih Kacang Bambara (Vigna subterranea (L.) Verdc.)

Berdasarkan Konsep Photothermal Unit. Dibimbing oleh SATRIYAS ILYAS dan
ABDUL QADIR.
Karakterisasi dan evaluasi potensi genetik berbagai aksesi kacang bambara
di Indonesia sangat penting untuk memperoleh aksesi dengan potensi hasil yang
tinggi dan umur panen yang genjah. Informasi mengenai umur panen benih
kacang bambara masih belum banyak. Benih yang dipanen saat masak fisiologi
menghasilkan mutu yang maksimum, sebelum atau setelah masak fisiologi mutu
benih mengalami penurunan. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mempelajari
fenologi, morfologi, dan hasil empat aksesi kacang bambara dan (2) menentukan
masak fisiologi benih berdasarkan konsep photothermal unit.
Percobaan pertama mengenai studi fenologi, morfologi dan hasil empat
aksesi kacang bambara disusun dalam rancangan kelompok lengkap teracak satu
faktor yaitu asal aksesi (Bogor testa hitam, Sukabumi testa hitam, Sumedang testa
hitam, dan cokelat) dengan tiga ulangan. Penanaman dilakukan di Kebun
Percobaan Cikarawang, IPB, Dramaga. Benih ditanam pada 12 petak percobaan
berukuran 10 m x 8 m per petak dengan jarak tanam 50 cm x 40 cm (satu benih
per lubang tanam). Pengamatan percobaan pertama meliputi karakter fenologi dan
morfologi (kualitatif dan kuantitatif), analisis pertumbuhan (indeks luas daun,
bobot kering tanaman, dan efisiensi penggunaan cahaya), serta hasil (bobot basah
dan kering brangkasan, polong maupun benih; jumlah polong total, isi, dan hampa

per tanaman; bobot 100 butir benih; dan indeks panen).
Percobaan kedua mengenai penentuan masak fisiologi benih empat aksesi
kacang bambara berdasarkan konsep photothermal unit disusun dalam rancangan
petak tersarang (nested design) dengan rancangan lingkungan acak kelompok,
petak utama adalah asal aksesi (Bogor testa hitam, Sukabumi testa hitam,
Sumedang testa hitam, dan cokelat) dan anak petak tingkat kemasakan benih (16
tingkat kemasakan) dengan tiga ulangan. Pengamatan percobaan kedua meliputi
bobot kering benih, kadar air benih, viabilitas benih (daya berkecambah, bobot
kering kecambah normal, dan potensi tumbuh maksimum), vigor (kecepatan
tumbuh, keserempakan tumbuh, dan laju pertumbuhan kecambah), dan
photothermal unit pada setiap stadia perkembangan tanaman.
Hasil percobaan pertama menunjukkan bahwa waktu pemunculan kecambah
aksesi Sumedang testa cokelat tercapai 9.7 hari setelah tanam (HST), ketiga aksesi
lainnya berkisar 8.0 - 8.3 HST. Umur berbunga 75% aksesi Sumedang testa
cokelat tercapai 45.3 HST, sedangkan ketiga aksesi lainnya berkisar 46.0 - 46.7
HST. Umur mulai berpolong aksesi Bogor dan Sumedang testa hitam 49 HST,
Sumedang testa cokelat 50 HST, dan Sukabumi testa hitam 54 HST; umur polong
penuh aksesi Bogor testa hitam 75 HST, aksesi Sumedang testa cokelat 89 HST,
aksesi Sukabumi testa hitam dan Sumedang testa hitam 97 HST. Keragaman
morfologi keempat aksesi meliputi warna plumula (aksesi Sumedang testa cokelat

berwarna ungu kecokelatan dan ketiga aksesi lainnya hijau kekuningan), tangkai
daun (aksesi Sumedang testa cokelat didominasi warna ungu kecokelatan dan
ketiga aksesi lainnya hijau), testa (aksesi Sumedang testa cokelat berwarna cokelat

v

dan ketiga aksesi lainnya hitam), dan bentuk daun (aksesi Sumedang testa cokelat
dan Sukabumi testa hitam berbentuk elip, sedangkan Sumedang dan Bogor testa
hitam lanceolate). Aksesi Sukabumi testa hitam menghasilkan nilai yang tinggi
pada peubah indeks luas daun dan bobot kering tanaman (akar, batang, daun dan
polong), sedangkan aksesi Bogor testa hitam menghasilkan bobot kering akar,
batang, dan daun per tanaman yang rendah, namun bobot polong kering tinggi.
Kacang bambara aksesi Sukabumi dan Bogor testa hitam memiliki potensi untuk
dikembangkan karena menghasilkan jumlah (total 73.7 dan 50.2; isi 47.1 dan
38.8; hampa 26.6 dan 11.0) dan bobot polong (bobot basah 114.40 dan 78.53 g;
bobot kering 38.07 dan 28.27 g) per tanaman yang lebih tinggi, sehingga lebih
baik dalam mendistribusikan asimilat dari source (daun) ke sink (polong), bobot
biji kering per tanaman (27.30 dan 20.97 g) yang lebih tinggi, serta umur masak
fisiologi benih yang lebih singkat dibandingkan aksesi Sumedang testa hitam dan
cokelat.

Hasil percobaan kedua menunjukkan bahwa masak fisiologi benih aksesi
Bogor dan Sukabumi testa hitam tercapai 112 HST, Sumedang testa cokelat 116
HST, dan Sumedang testa hitam 128 HST. Masak fisiologi benih ditandai dengan
penurunan kadar air benih dari 70-76% menjadi ± 50%. Viabilitas dan vigor benih
maksimum pada saat mencapai masak fisiologi. Peubah bobot kering benih, daya
berkecambah, kecepatan tumbuh, keserempakan tumbuh, bobot kering kecambah
normal, laju pertumbuhan kecambah, dan potensi tumbuh maksimum keempat
aksesi kacang bambara saat mencapai masak fisiologi diantaranya 18.50 g, 98%,
18 % etmal-1, 89%, 4.15 g, 0.20 g kecambah-1, dan 99% (aksesi Bogor testa
hitam); 20.36 g, 96%, 18 % etmal-1, 94%, 4.96 g, 0.21 g kecambah-1, dan 99%
(aksesi Sukabumi testa hitam); 26.06 g, 97%, 16 % etmal-1, 88%, 4.87 g, 0.22 g
kecambah-1, dan 97% (aksesi Sumedang testa cokelat); 21.83 g, 94%, 17 % etmal1
, 83%, 6.07 g, 0.28 g kecambah-1, dan 100% (aksesi Sumedang testa hitam).
Photothermal unit yang dibutuhkan dari awal tanam hingga mencapai masak
fisiologi benih untuk aksesi Sukabumi dan Bogor testa hitam sebesar 13090 °C d
h, Sumedang testa cokelat 13366 °C d h, dan Sumedang testa hitam 14518 °C d h.
Persamaan pendugaan masak fisiologi benih kacang bambara dibentuk dari
hubungan antara umur tanaman mencapai stadia tertentu (x) dan photothermal
unit (y). Persamaan pendugaan yang diperoleh merupakan persamaan regresi non
linier dengan pola data membentuk eksponensial. Persamaan regresi eksponensial

keempat aksesi kacang bambara yaitu y = 43226.1 - 43811.1*exp(-0.00331288x)
(aksesi Bogor testa hitam); y = 42943.7 - 43515.5*exp(-0.0033366x) (Sukabumi
testa hitam); y = 43038.1 - 43624.6*exp(-0.00333072x) (Sumedang testa hitam);
dan y = 41702.0 - 42326.9*exp(-0.00346847x) (Sumedang testa cokelat).
Kata kunci: aksesi, bentuk daun, umur genjah, viabilitas, vigor

vi

SUMMARY
RADEN ENEN RINDI MANGGUNG. Study of Phenology, Morphology, and
Determination of Physiological Seed Maturity of Bambara Groundnut (Vigna
subterranea (L.) Verdc.) Based on Photothermal Unit Concept. Supervised by
SATRIYAS ILYAS and ABDUL QADIR.
Characterization and evaluation of genetic potential of bambara groundnut
accessions in Indonesia is very important in order to obtain accessions with high
yield potential and early maturity. Little information on days to seed maturity of
bambara groundnut. Seed reach its maximum quality at physiological maturity,
before or after physiological maturity it has lower quality. The objectives of the
research were to (1) study phenology, morphology, and yield of four bambara
groundnut accessions, and (2) determine physiological seed maturity based on

photothermal unit concept.
The first experiment, study of phenology, morphology, and yield of four
bambara groundnut accessions was arranged in a randomized completely block
design with one factor i.e. origin of accessions (Bogor with black testa, Sukabumi
with black testa, Sumedang with black testa, and brown testa), repeated three
times. Planting bambara groundnut was conducted at Cikarawang Farm, IPB,
Dramaga. Seeds were planted in 12 plots of 10 m x 8 m per plot with a spacing of
50 cm x 40 cm (one seed per hole). Phenology and morphology characters
(qualitative and quantitative) were observed i.e. plant growth (leaf area index,
plant dry weigth, and light use efficiency), and yield (fresh and dry weight of
plants, pods, and seeds; number of total, full, and empty pods; hundred seed
weight; and harvest index).
The second experiment, determination of physiological seed maturity of
four bambara groundnut accessions based on photothermal unit concept was
arranged nested in a randomized completely block design, where the origin of
accessions (Bogor with black testa, Sukabumi with black testa, Sumedang with
black testa, and Sumedang with brown testa) as the main plots, and levels of seed
maturity (16 levels) as the sub-plots, repeated three times. The observation was
done on seed dry weight, seed water content, seed viability (percent of
germination, dry weight of normal seedling, and maximum growth potency),

vigor (speed of germination, uniformity of germination, and seedling growth rate),
and photothermal unit each stage of plant development.
The result of the first experiment showed that days to seedling emergence of
Sumedang brown testa were 9.7 days after sowing (DAS), while three other
accessions ranged in 8.0 - 8.3 DAS. Days to 75% flowering of Sumedang brown
testa were 45.3 days, while the three other accessions ranged in 46.0 - 46.7 DAS.
Days to pod formation of Bogor and Sumedang black testa were 49 DAS,
Sumedang brown testa at 50 DAS, and Sukabumi accession at 54 DAS; days to
full pod of Bogor accession at 75 DAS, Sumedang brown testa at 89 DAS,
Sukabumi and Sumedang black testa at 97 DAS. Morphological varieties of four
bambara groundnut accessions included color of plumule (Sumedang accession
with brown testa was dominated by brownies purple while three other accessions
by yellowish green), petiole (Sumedang accession with brown testa was
dominated by brownies purple while three other accessions by green), seed coat

vii

(testa) (Sumedang accession with brown testa was by brown while three other
accessions by black), and leaf shape (Sumedang accession with brown testa and
Sukabumi accession with black testa was elips while Sumedang and Bogor

accession with black testa was lanceolate). Accessions of Sukabumi with black
testa showed higher leaf area index and plant dry weight (root, stem, leaf, and
pod), while Bogor accession with black testa showed lower dry weight of root,
stem, and leaf per plant, but higher pods dry weight. Accessions of Sukabumi and
Bogor black testa were potential to be further developed because showing higher
number (total 73.7 and 50.2; full 47.1 and 38.8; empty 26.6 and 11.0) and weight
of pods per plant (weight of fresh pods 114.40 g and 78.53 g; weight of dry pods
38.07 g and 28.27 g), hence they would be able to better distribute assimilates
from source (leaves) to sink (pods), higher seed dry weight per plant (27.30 g and
20.97 g), and earlier maturity as compared to Sumedang black and brown testa.
The result of the second experiment showed that physiological seed
maturity of Bogor and Sukabumi accessions with black testa was reached at 112
DAS, Sumedang accession with brown testa at 116 DAS, and Sumedang
accession with black testa at 128 DAS. Physiological seed maturity was
characterized by decrease in seed water content from 70-76% to ± 50%. The seed
viability and vigor reached their maximum level. Maximum seed dry weight,
percent of germination, speed of germination, uniformity of germination, dry
weight of normal seedling, seedling growth rate, and maximum growth potency of
four accessions were 18.50 g, 98%, 18 % etmal-1, 89%, 4.15 g, 0.20 g seedling-1,
and 99% (Bogor accession with black testa); 20.36 g, 96%, 18 % etmal-1, 94%,

4.96 g, 0.21 g seedling-1, and 99% (Sukabumi accession with black testa); 26.06 g,
97%, 16 % etmal-1, 88%, 4.87 g, 0.22 g seedling-1, and 97% (Sumedang accession
with brown testa); 21.83 g, 94%, 17 % etmal-1, 83%, 6.07 g, 0.28 g seedling-1, and
100% (Sumedang accession with black testa). Photothermal unit required from
planting until seed physiological maturity were 13090 °C d h in Sukabumi and
Bogor accessions with black testa, 13366 °C d h in Sumedang accession with
brown testa, and 14518 °C d h in Sumedang accession with black testa. The
equation for estimating physiological seed maturity of bambara groundnut
developed based on the relationship between days of plant to reached certain stage
(x) and photothermal unit (y). The estimated equation was non linear regression
equation with exponential form. The equation of exponential regression of four
bambara groundnut accessions were y = 43226.1 - 43811.1*exp(-0.00331288x)
(Bogor accession with black testa); y = 42943.7 - 43515.5*exp(-0.0033366x)
(Sukabumi accession with black testa); y = 43038.1 - 43624.6*exp(-0.00333072x)
(Sumedang accession with black testa); and y = 41702.0 - 42326.9*exp
(-0.00346847x) (Sumedang accession with brown testa).
Keywords: accession, early maturity, leaf shape, viability, vigor

viii


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

ix

STUDI FENOLOGI, MORFOLOGI, DAN PENENTUAN
MASAK FISIOLOGI BENIH KACANG BAMBARA (Vigna
subterranea (L.) Verdc.) BERDASARKAN KONSEP
PHOTOTHERMAL UNIT

RADEN ENEN RINDI MANGGUNG

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu dan Teknologi Benih

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

x

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Heni Purnamawati, MSc. Agr

xii

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian yang
dilaksanakan pada bulan Agustus 2013 hingga Januari 2014 ini adalah Studi
Fenologi, Morfologi, dan Penentuan Masak Fisiologi Benih Kacang Bambara
(Vigna subterranea (L.) Verdc.) Berdasarkan Konsep Photothermal Unit.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof Dr Ir Satriyas Ilyas, MS dan
Dr Ir Abdul Qadir, MSi selaku komisi pembimbing yang telah banyak memberi
arahan dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan tesis ini, serta Dr Ir Heni
Purnamawati, MSc. Agr. dan Dr Ir M. Rahmad Suhartanto, MSi selaku dosen
penguji yang telah memberikan saran dan kritik untuk perbaikan tesis ini. Penulis
juga menyampaikan terima kasih kepada teknisi lapang Kebun Percobaan
Cikarawang IPB (Bapak Argani, Bapak Sarta, dan Bapak Jaja), teknisi
Laboratorium Processing Ilmu dan Teknologi Benih IPB (Bapak Rahmat dan
Bapak Iwan), dan Staf pengajar Departemen Geofisika dan Meteorologi (Ir.
Bregas Budianto) yang telah membantu selama pelaksanaan penelitian. Ungkapan
terima kasih juga disampaikan kepada ayah (Almarhum), ibu, kakak, adik, M.
Nazhri Annas J., dan teman-teman pascasarjana Ilmu dan Teknologi Benih atas
segala bantuannya. Sebagian dalam penelitian tesis ini dibiayai oleh Biaya
Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) IPB Tahun 2013 sebagai Hibah
Penelitian Dasar untuk Bagian yang diketuai oleh Dr Ir Abdul Qadir, MSi untuk
itu penulis menyampaikan terima kasih. Penulis juga menyampaikan terima kasih
kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) atas Beasiswa Unggulan
yang telah penulis terima selama ini. Semoga tesis ini bermanfaat dalam
perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Oktober 2015
Raden Enen Rindi Manggung

xiii

GLOSARIUM
Agronomi

Upaya pengelolaan tanaman pertanian dan lingkungannya
untuk memperoleh produksi yang maksimum dan lestari

Daya hasil

Kemampuan tanaman untuk menghasilkan produksi per
satuan luas

Fenologi

Periode fase-fase yang terjadi secara alami pada tanaman
dan berlangsungnya fase-fase tersebut sangat dipengaruhi
oleh keadaan lingkungan sekitar

Fisiologi

Berbagai proses pertumbuhan dan perkembangan sehingga
dapat menerangkan hal-hal yang terjadi pada tanaman

Generatif

Fase perkembangan tanaman membentuk organ reproduktif
(bunga, buah, dan biji)

Kausalitas

Hubungan sebab akibat

Morfologi

Bentuk luar dan struktur dari organ tanaman yang telah
terdiferensiasi

Morfo-agronomis

Keterkaitan antara bentuk organ tanaman dengan produksi
yang diperoleh

Morfo-fisiologi

Keterkaitan antara bentuk organ tanaman dengan jalannya
proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman

Vegetatif

Fase perkembangan tanaman membentuk organ vegetatif
(akar, batang, dan daun)

Viabilitas

Kemampuan benih untuk tumbuh normal dan berproduksi
normal pada kondisi lingkungan optimum

Vigor

Kemampuan benih untuk tumbuh normal dan berproduksi
normal pada kondisi lingkungan suboptimum

xiv

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xii

DAFTAR GAMBAR

xii

DAFTAR LAMPIRAN

xiv

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
3
4
4

2 TINJAUAN PUSTAKA

6

3 METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Sumber Benih
Percobaan 1 Fenologi, Morfologi, dan Hasil Empat Aksesi Kacang
Bambara
Percobaan 2 Penentuan Masak Fisiologi Benih Kacang Bambara
Berdasarkan Photothermal Unit
Analisis data

9
9
9
9
15
17

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Percobaan 1 Fenologi, Morfologi, dan Hasil Empat Aksesi Kacang
Bambara
Percobaan 2 Penentuan Masak Fisiologi Benih Kacang Bambara
Berdasarkan Photothermal Unit
Pembahasan Umum

17

6 SIMPULAN DAN SARAN

56

DAFTAR PUSTAKA

56

LAMPIRAN

63

17
37
50

xv

DAFTAR TABEL
1

Intensitas penyakit busuk pangkal batang dan virus empat aksesi
kacang bambara

21

2

Umur pemunculan kecambah dan daya tumbuh benih empat aksesi
kacang bambara

21

3

Pertumbuhan vegetatif empat aksesi kacang bambara

23

4

Stadia perkembangan bunga kacang bambara

25

5

Umur berbunga empat aksesi kacang bambara

27

6

Efisiensi penggunaan cahaya (kg/MJ) empat aksesi kacang bambara
pada berbagai stadia perkembangan

35

7

Peubah komponen hasil empat aksesi kacang bambara dipanen 119
HST

37

8

Potensi tumbuh maksimum (%) empat aksesi kacang bambara pada
berbagai tingkat kemasakan

38

9

Bobot kering kecambah normal (g) empat aksesi kacang bambara
pada berbagai tingkat kemasakan

39

10 Laju pertumbuhan kecambah (g kecambah-1) empat aksesi kacang
bambara pada berbagai tingkat kemasakan

40

11 Keserempakan tumbuh benih (%) empat aksesi kacang bambara pada
berbagai tingkat kemasakan

41

12 Umur (HST) empat aksesi kacang bambara pada berbagai stadia
perkembangan tanaman

44

13 Photothermal unit (°C d h) empat aksesi kacang bambara pada
berbagai stadia perkembangan tanaman

45

14 Verifikasi secara kuantitatif terhadap peubah Photothermal unit empat
aksesi kacang bambara pada berbagai umur tanaman dengan uji t

48

15 Fenologi, morfologi, pertumbuhan vegetatif, komponen hasil, dan
efisiensi penggunaan cahaya empat aksesi kacang bambara

52

16 Ciri-ciri, umur, dan jumlah photothermal unit saat masak fisiologi
serta persamaan pendugaan masak fisiologi empat aksesi kacang
bambara

55

DAFTAR GAMBAR
1

Bagan Alir Penelitian

5

2

Benih kacang bambara aksesi (A) Bogor dengan warna testa hitam,
(B) Sukabumi testa hitam, (C) Sumedang testa hitam, dan (D)
Sumedang testa cokelat

9

xvi

3

Beberapa hama yang menyerang tanaman kacang bambara (A) ulat
jengkal (Chrysodeixis chalcites), (B) ulat penggulung daun
(Lamprosema indicata), (C) ulat bulu (Lymantria marginata), (D)
belalang (Oxya chinensis), (E) kumbang daun (Phaedonia inclusa),
(F) semut (Dolichoderus thoracicus), (G) kutu daun hijau (Myzus
persicae), dan (H) kutu daun hitam (Toxoptera citricidus)
Gejala tanaman kacang bambara yang terserang virus (A) kuning, (B)
keriting, (C) sapu setan, dan (D) kerdil

18

5

Gejala tanaman kacang bambara yang terserang penyakit (A) bercak
daun, (B) karat daun, (C) miselium dan sklerotia cendawan Sclerotium
rolfsii pada pangkal batang, dan (D) miselium Sclerotium rolfsiipada
polong

20

6

Kecambah kacang bambara aksesi (A) Sumedang testa cokelat, (B)
Sumedang testa hitam, (C) Sukabumi testa hitam, dan (D) Bogor testa
hitam

22

7

Perbedaan bentuk kanopi kacang bambara aksesi (A) Sumedang testa
cokelat, (B) Sukabumi testa hitam, (C) Sumedang testa hitam, dan (D)
Bogor testa hitam pada umur 56 HST

24

8

Perbedaan bentuk daun kacang bambara aksesi (A) Sumedang testa
cokelat (elip), (B) Sukabumi testa hitam (elip), (C) Sumedang testa
hitam (lanceolate), dan (D) Bogor testa hitam (lanceolate) pada umur
35 HST

24

9

Perbedaan warna tangkai daun kacang bambara aksesi (A) Sumedang
testa cokelat, (B) Sukabumi testa hitam, (C) Sumedang testa hitam,
dan (D) Bogor testa hitam pada umur 42 HST

25

10 Perkembangan bunga kacang bambara: (A) mulai terbentuknya
primordia kuncup bunga, (B) kuncup bunga mulai membesar, (C)
kuncup bunga menjelang mekar, (D) bunga mekar, dan (E) bunga layu

26

11 Bagian-bagian bunga kacang bambara

26

12 Perkembangan ginofor membentuk polong kacang bambara

27

13 Perkembangan polong kacang bambara aksesi (A) Sumedang testa
cokelat, (B) Sukabumi testa hitam, (C) Sumedang testa hitam, dan (D)
Bogor testa hitam

28

14 Stadia awal pembentukan benih (stadia 1), setengah penuh (stadia 2),
dan penuh (stadia 3) kacang bambara aksesi (A) Sumedang testa
cokelat, (B) Sukabumi testa hitam, (C) Sumedang testa hitam, dan (D)
Bogor testa hitam

29

15 Perkembangan ukuran polong dan benih empat aksesi kacang bambara

30

16 Perubahan morfologi polong (A) dan benih (B) aksesi Bogor testa
hitam pada berbagai tingkat kemasakan

31

17 Perubahan morfologi polong (A) dan benih (B) aksesi Sukabumi testa
hitam pada berbagai tingkat kemasakan

31

4

19

xvii

18 Perubahan morfologi polong (A) dan benih (B) aksesi Sumedang testa
hitam pada berbagai tingkat kemasakan

32

19 Perubahan morfologi polong (A) dan benih (B) aksesi Sumedang testa
cokelat pada berbagai tingkat kemasakan
20 Polong kering kacang bambara aksesi (A) Bogor testa hitam, (B)
Sukabumi testa hitam, (C) Sumedang testa hitam, dan (D) Sumedang
testa cokelat

32

21 Indeks luas daun empat aksesi kacang bambara pada 14-119 HST

34

22 Bobot kering (A) akar, (B) batang, (C) daun, dan (D) polong empat
aksesi kacang bambara pada 14-119 HST

34

23 Kurva hubungan photothermal unit dan tingkat kemasakan benih
kacang bambara aksesi Bogor dan Sukabumi testa hitam berdasarkan
kadar air, bobot kering benih, daya berkecambah, dan kecepatan
tumbuh

42

24 Kurva hubungan photothermal unit dan tingkat kemasakan benih
kacang bambara aksesi Sumedang testa hitam dan Sumedang testa
cokelat berdasarkan kadar air, bobot kering benih, daya berkecambah,
dan kecepatan tumbuh

43

25 Kurva hubungan umur tanaman pada stadia tertentu (x) dengan
photothermal unit (y) empat aksesi kacang bambara yang dibatasi
suhu kardinal (Tmin 10 °C, Topt 20-30 °C, dan Tmax 39.5 °C) dan lama
penyinaran (Pmin-max 0-12 jam)

47

26 Verifikasi peubah photothermal unit persamaan regresi eksponensial
dengan hasil pengamatan aktual kacang bambara aksesi Sukabumi
testa hitam, Bogor testa hitam, Sumedang testa hitam, dan Sumedang
testa cokelat pada berbagai umur tanaman stadia tertentu

49

33

DAFTAR LAMPIRAN
1

Pengukuran radiasi (A) di bawah dan (B) atas kanopi tanaman kacang
bambara

63

2

Hasil analisis tanah terhadap unsur N, P, dan K

63

3

Data curah hujan bulan Agustus-Desember 2013

63

4

Data intensitas radiasi matahari bulan Agustus-Desember 2013

64

5

Data lama penyinaran matahari bulan Agustus-Desember 2013

64

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kacang bambara merupakan tanaman berasal dari Afrika yang belum banyak
dibudidayakan di Indonesia, namun memiliki potensi sebagai pengganti kedelai
karena kandungan protein dan karbohidrat yang tinggi. Menurut Oyeleke et al.
(2012) komposisi kimia benih kacang bambara meliputi karbohidrat 55%, protein
22.46%, lemak 5.80%, abu 3.10%, serat 4.50%, dan energi 362.04 kkal per 100 g.
Menurut Ellah dan Singh (2008) kacang bambara mengandung asam amino esensial
seperti lisin (6.8%) dan metionin (1.3%) yang tinggi. Biji kacang bambara
umumnya dikonsumsi sebagai sayuran dan makanan ringan, namun di Afrika biji
kacang bambara juga dapat diolah menjadi tepung dan susu. Menurut Brough et al.
(2003) susu yang terbuat dari kacang bambara lebih disukai karena rasa dan
warnanya dibandingkan susu yang terbuat dari kedelai dan kacang polong.
Potensi lain yang dimiliki tanaman kacang bambara yaitu toleran terhadap
kondisi kekeringan. Kelebihan tersebut menjadi sangat penting bagi daerah-daerah
di Afrika dan daerah lain yang memiliki curah hujan rendah untuk mendukung
penanaman kacang-kacangan (Berchie et al. 2010). Menurut Key (1979) kacang
bambara memiliki toleransi kekeringan dan miskin hara yang merupakan kondisi
lingkungan marjinal untuk penanaman kacang tanah, jagung, dan sorgum, namun
kacang bambara masih dapat memberikan hasil pada kondisi tersebut. Menurut
Mabhaudhi et al. (2013) mekanisme toleransi kekeringan pada kacang bambara
ditunjukkan oleh penurunan ukuran kanopi, waktu pembungaan dan pemasakan
polong yang cepat, serta efisiensi penggunaan air yang tinggi pada kondisi cekaman
kekeringan. Menurut Linneman dan Ali (1993) tanaman kacang bambara juga
toleran terhadap suhu dan curah hujan tinggi, serta keterbatasan unsur hara.
Pengembangan penanaman kacang bambara di Indonesia perlu dilakukan
terkait dengan besarnya manfaat yang diperoleh dan syarat tumbuh yang tidak sulit,
namun tanaman ini memiliki keragaman genetik yang cukup tinggi. Belum ada
varietas dari kacang bambara, sehingga masih berupa aksesi yang belum jelas
karakteristik dan mutunya. Menurut Redjeki (2007) adanya perbedaan warna testa
kacang bambara disebabkan oleh faktor genetik, kacang bambara warna testa hitam
menghasilkan jumlah (10.3) dan bobot kering polong (4.88 g) per tanaman lebih
tinggi dibandingkan warna testa merah (7.0 dan 2.60 g), cokelat (6.2 dan 2.63 g),
dan campuran (7.4 dan 3.45 g). Upaya untuk mengkarakterisasi berbagai aksesi
kacang bambara perlu dilakukan untuk perbaikan genetik, perakitan varietas, dan
memperoleh varietas dengan potensi hasil yang tinggi.
Fenologi dan morfologi merupakan karakter tanaman pada setiap stadia
pertumbuhan dan perkembangannya yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan.
Morfologi tanaman mempunyai hubungan dengan penangkapan cahaya. Sifat-sifat
seperti tipe tanaman, bentuk daun, dan sudut percabangan mempengaruhi absorpsi
cahaya (Harjadi 1979), sedangkan fenologi tanaman digunakan untuk menentukan
waktu tanam, pembungaan, pembuahan, panen, dan aplikasi herbisida serta
pestisida (Tince 2006). Informasi mengenai karakter fenologi dan morfologi sangat
penting bagi tanaman yang belum memiliki varietas seperti kacang bambara.
Lukitas (2006) menyatakan bahwa untuk meningkatkan produktivitas dan menekan
jumlah polong hampa kacang tanah yang dihasilkan, maka perlu diketahui

2

perbedaan karakter vegetatif, fisiologi, daya hasil dan keunggulan setiap varietas
dalam proses pertumbuhan, pembentukan, dan pengisian polong. Menurut
Wicaksana et al. (2013) terdapat keragaman morfo-agronomis berbagai aksesi
kacang bambara asal Jawa Barat (Bandung, Garut, Tasikmalaya, Majalengka, dan
Sumedang) pada hampir seluruh karakter yang diamati. Tipe pertumbuhan yang
dominan adalah menyebar (open), bentuk daun lanceolate dan elliptic, satu polong
berisi satu biji, bentuk biji oval, warna polong cokelat kekuningan, cokelat, cokelat
kemerahan, sedangkan warna dan corak biji bervariasi. Aksesi kacang bambara asal
Bandung, Tasikmalaya, dan Majalengka berpotensi untuk dikembangkan karena
memiliki hasil panen yang tinggi dibandingkan dua aksesi lainnya.
Permasalahan dalam pengembangan kacang bambara di Indonesia selain
keragaman genetik yang tinggi, produksinya masih rendah (300-800 kg ha-1)
sedangkan potensi produksinya mencapai 4 ton ha-1 (Redjeki 2006). Hal ini diduga
karena belum optimalnya teknik budidaya diantaranya penggunaan benih bermutu.
Para petani biasanya menggunakan benih yang ditanam dari hasil panen
sebelumnya sebagai panen konsumsi sehingga mutu benih rendah. Informasi
mengenai masak fisiologi benih kacang bambara masih belum banyak, padahal
benih yang dipanen saat masak fisiologi menghasilkan mutu yang maksimum.
Sebelum atau setelah masak fisiologi mutu benih mengalami penurunan. Hasil
penelitian Ilyas dan Sopian (2013) menunjukkan bahwa benih kacang bambara
aksesi Sukabumi yang dipanen pada 122 atau 125 hari setelah tanam (HST) dan
diinvigorasi menggunakan matriconditioning atau matriconditioning plus
Rhizobium sp. menghasilkan viabilitas dan vigor benih yang tinggi dibandingkan
tingkat kemasakan 119 HST. Masak fisiologi benih kacang bambara aksesi
Sukabumi diduga dicapai saat 125 HST karena viabilitas dan vigor yang tinggi serta
saat benih ditanam di lapangan menghasilkan pertumbuhan tanaman dan hasil yang
tinggi dibandingkan 119 dan 122 HST.
Penentuan kemasakan benih umumnya dilakukan dengan melihat perubahan
ukuran, warna, dan kekerasan pada kulit polong dan benih. Hal tersebut bersifat
kualitatif dan subjektif sehingga diperlukan tolok ukur yang tepat untuk
menentukan kemasakan benih. Tolok ukur yang objektif untuk menentukan tingkat
kemasakan benih yaitu berdasarkan bobot kering, viabilitas, dan vigor benih
(Sadjad 1980). Benih yang telah mencapai masak fisiologi ditandai dengan bobot
kering, viabilitas, dan vigor maksimum. Berbagai aksesi kacang bambara memiliki
keragaman umur kemasakan benih. Menurut Berchie et al. (2010) tiga aksesi
kacang bambara asal Ghana (Burkina, Mottled cream, dan Zebra coloured)
memiliki umur kemasakan yang berkisar antara 89-112 HST. Menurut Toure et al.
(2012) beberapa aksesi kacang bambara yang berasal dari Pantai Gading
membutuhkan waktu tanam yang lebih singkat (3 bulan) dari tanam hingga polong
masak, akan tetapi aksesi lainnya membutuhkan waktu 4-6 bulan. Kondisi
lingkungan kurang menguntungkan berpengaruh terhadap efisiensi pembentukan
polong. Hal tersebut mengakibatkan bunga gugur dan pembungaan yang tidak
serempak sehingga polong membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencapai
masak.
Suatu tanaman memiliki respon berbeda-beda terhadap pola pembungaan dan
pembentukan biji yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan (Tabla dan Vargas
2004). Menurut Linneman (1991) fenologi tanaman kacang bambara terutama
dipengaruhi oleh suhu dan lama penyinaran terlihat pada beberapa aksesi kacang

3

bambara dengan lama penyinaran selama 14 jam atau lebih dapat menunda atau
menghambat pembungaan dan pembentukan polong dibandingkan dengan lama
penyinaran 12 jam atau kurang. Menurut Brink (1997) stadia pembentukan bunga
kacang bambara lebih besar dipengaruhi oleh suhu, sedangkan pada stadia awal
pembentukan polong dipengaruhi oleh lama penyinaran.
Konsep yang menjelaskan hubungan antara perkembangan tanaman dengan
suhu dan lama penyinaran disebut photothermal unit (PTU). Penggunaan konsep ini
telah banyak digunakan di beberapa negara untuk menentukan waktu tanam,
kemasakan benih, waktu panen, pengendalian hama, dan penanganan pasca panen
berbagai komoditas. Setiap tanaman membutuhkan akumulasi photothermal unit
tertentu untuk mencapai stadia tertentu. Menurut Wang (1960) akumulasi thermal
unit maupun photothermal unit umumnya hampir konstan untuk perkembangan
beberapa tanaman dari tahun ke tahun. Penerapan konsep photothermal unit sangat
penting dalam menentukan stadia perkembangan tanaman kacang bambara
terutama dalam menentukan masak fisiologi benih. Menurut Lenisastri (2000)
penentuan panen kacang tanah menggunakan konsep thermal unit (heat unit) sangat
penting karena kurang akurat dan sulitnya penentuan umur panen berdasarkan
satuan hari. Adanya keragaman suhu harian setiap musim tanam menyebabkan
jumlah hari yang dibutuhkan suatu tanaman mencapai stadia perkembangan
tertentu tidak sama sehingga waktu panen dapat lebih cepat atau lambat dari satuan
hari yang ditetapkan. Menurut Koesmaryono et al. (2002) thermal unit tidak
dipengaruhi oleh perbedaan lokasi dan waktu tanam.
Perumusan Masalah
Beberapa kendala dalam mengembangkan tanaman kacang bambara di
Indonesia diantaranya tingginya keragaman genetik tanaman, belum adanya
varietas, produksi masih rendah, adanya faktor lingkungan (suhu, lama penyinaran,
intensitas radiasi, curah hujan, kelembaban, dan angin) yang mempengaruhi
perkembangan tanaman, serta sedikitnya informasi mengenai perbenihan
(ketersediaan benih unggul bermutu tinggi dan penentuan masak fisiologi benih).
Upaya untuk mengetahui keragaman genetik berbagai aksesi kacang bambara dapat
dilakukan melalui karakterisasi tanaman terhadap karakter fenologi, morfologi
maupun agronomi. Karakterisasi dilakukan untuk mengidentifikasi karakterkarakter penting yang bersifat ekonomis maupun sebagai penciri dari aksesi
tertentu.
Faktor lingkungan yang paling mempengaruhi perkembangan tanaman
kacang bambara adalah suhu dan lama penyinaran. Laju perkembangan tanaman
terjadi jika suhu rata-rata harian melebihi suhu dasar tanaman yang terakumulasi
menjadi jumlah thermal unit, bagi tanaman kacang bambara nilai thermal unit
dikoreksi dengan faktor lama penyinaran karena tergolong tanaman hari pendek,
sehingga terakumulasi menjadi jumlah photothermal unit tertentu. Photothermal
unit dapat digunakan untuk menduga stadia perkembangan tanaman dan menduga
masak fisiologi benih karena tanaman membutuhkan akumulasi photothermal unit
tertentu untuk mencapai stadia tertentu.
Penentuan masak fisiologi benih kacang bambara selain melalui pengamatan
fenologi dan morfologi benih, juga dilakukan pengujian mutu fisiologi benih
berbagai tingkat kemasakan, sehingga diperoleh umur masak fisiologi benih. Data

4

photothermal unit setiap stadia perkembangan tanaman kacang bambara (termasuk
saat mencapai masak fisiologi benih) digunakan untuk menduga masak fisiologi
benih kacang bambara melalui pendekatan persamaan regresi eksponensial. Bagan
alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
Tujuan Penelitian
1. Mempelajari fenologi, morfologi dan hasil empat aksesi kacang bambara
2. Menentukan umur masak fisiologi benih empat aksesi kacang bambara dan
menduga umur masak fisiologi dengan konsep photothermal unit
Manfaat Penelitian
Penelitian diharapkan dapat memberikan informasi mengenai karakteristik
(fenologi, morfologi, dan hasil) keempat aksesi kacang bambara (Bogor testa hitam,
Sukabumi testa hitam, Sumedang testa hitam dan testa cokelat), mengetahui jumlah
photothermal unit yang dibutuhkan setiap aksesi dalam mencapai stadia
perkembangan tertentu, dan umur masak fisiologi benih setiap aksesi. Informasi
tersebut diharapkan bermanfaat dalam perbaikan genetik, perakitan varietas,
memperoleh varietas kacang bambara dengan potensi hasil tinggi, memperoleh
mutu benih yang maksimum, dan menduga masak fisiologi benih berdasarkan
photothermal unit.

5

Gambar 1 Bagan alir penelitian

6

2 TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Kacang bambara
Kacang bambara termasuk dalam famili Leguminoceae, subfamili
Papilionidae, genus Vigna dan spesies Vigna subterranea (L.) Verdcourt. Tanaman
ini berdaun trifoliat berbentuk bulat, elip, oval atau lanceolate dengan tinggi
mencapai 30 cm serta memiliki bintil pada bagian akar (PROHATI 2010). Bunga
kacang bambara berbentuk seperti kupu-kupu (Papilionaceous), berwarna kuning
yang muncul dari ketiak daun dan umumnya tanaman mulai berbunga pada 30-35
hari setelah tanam (HST) (Department agriculture, forestry, and fisheries, Republic
of South Africa 2011). Beberapa aksesi kacang bambara menunjukkan umur
berbunga yang berbeda-beda. Menurut Hamid (2009) kacang bambara aksesi
Sumedang warna testa ungu dan merah memasuki stadia berbunga 42 HST, 75%
berbunga 56 HST dan 100% berbunga 70 HST. Hasil penelitian Redjeki et al.
(2013) menunjukkan bahwa aksesi asal Gresik yang ditanam di daerah Gresik
(aksesi Gresik 48.33 HST dan aksesi introduksi 43.00-47.33 HST), Bojonegoro
(aksesi Gresik 46.33 HST dan aksesi introduksi 42.33-45.00 HST), dan Jatikerto
(aksesi Gresik 48 HST dan aksesi introduksi 40.33-44.33 HST) membutuhkan
waktu lebih lama untuk mencapai 50% berbunga dibandingkan aksesi introduksi
Afrika (LunT, AHM753, SB165A, DODR, Unsiwa Red, DIPC, dan S19-3).
Pembentukan polong kacang bambara berlangsung selama 30-40 hari setelah
bunga mengalami penyerbukan. Satu polong memiliki satu atau dua biji dengan
bentuk biji bulat atau sedikit oval serta warna testa yang bervariasi (Swanevelder
1998). Menurut Gibbons (1995) aksesi kacang bambara dengan warna testa gelap
(merah dan hitam) cenderung memiliki kandungan gizi dan mineral yang lebih
tinggi dibandingkan warna testa terang (krem dan putih). Menurut Ofori et al.
(2001) kacang bambara dengan warna testa cokelat memiliki kandungan tanin yang
lebih rendah dibandingkan warna testa gelap. Menurut Mabhaudhi et al. (2013)
benih kacang bambara dengan warna testa gelap (merah dan cokelat) memberikan
respon yang lebih baik terhadap stres air dibandingkan warna testa terang, diduga
perbedaan warna testa berpengaruh terhadap toleransi cekaman kekeringan.
Syarat tumbuh tanaman kacang bambara membutuhkan banyak cahaya
matahari, suhu rata-rata 20-28 °C, dan curah hujan 600-750 mm per tahun, tetapi
untuk hasil yang optimum membutuhkan 900-1200 mm per tahun. Kacang bambara
dapat tumbuh dengan sangat baik pada tanah liat berpasir dengan pH 5.0-6.5
(PROHATI 2010). Perkecambahan benih kacang bambara meningkat pada kisaran
suhu 16.8-32.5 °C, namun mengalami penurunan jika dikecambahkan hingga suhu
39.5 °C (Karikari et al. 1995). Proses perkecambahan ini berlangsung selama 7
hingga 15 hari pada kondisi optimum untuk berkecambah (28.5-32.5 °C), akan
tetapi pada suhu rendah membutuhkan waktu lebih lama (hingga 31 hari) bagi
benih untuk berkecambah dan beberapa benih mengalami dormansi (Linneman dan
Ali 1993; Swanevelder 1998). Faktor lingkungan seperti suhu, lama penyinaran,
dan curah hujan juga mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan penentuan waktu
panen kacang bambara. Panjangnya umur panen (4-5 bulan) tanaman kacang
bambara serta musim hujan yang tidak pasti dapat mengakibatkan produksi rendah
(Redjeki 2007).

7

Fenologi
Fenologi tanaman berkaitan dengan siklus hidup tanaman dan pengaruh
lingkungan (suhu, lama penyinaran, curah hujan, kelembaban, dan kesuburan
tanah) terhadap siklus tersebut. Studi mengenai fenologi dilakukan untuk
mengetahui perubahan morfologi tanaman pada setiap stadia perkembangannya.
Menurut Toure et al. (2012) terdapat perbedaan yang nyata antara aksesi kacang
bambara asal Pantai Gading (Afrika) pada karakter morfologi, fenologi, dan
agronomi. Aksesi Ci1, Ci3, Ci10, dan Ci12 menghasilkan daya tumbuh yang tinggi
(78-91%), umur kemasakan yang cepat (90 HST), pertumbuhan vegetatif yang
rendah, dan hasil yang tinggi (388-495 kg ha-1) dibandingkan aksesi Ci2, Ci4, Ci5,
Ci7, Ci8, dan Ci9. Menurut Redjeki et al. (2013) kacang bambara asal aksesi Afrika
(LunT, AHM753, SB165A, DODR, Unsiwa Red, DIPC, dan S19-3) membutuhkan
waktu yang lebih singkat untuk mencapai kemasakan dibandingkan aksesi Gresik
yang ditanam di Bojonegoro (aksesi Afrika 105-124 HST dan aksesi Gresik 126
HST) dan Jatikerto (aksesi Afrika 140-157 HST dan aksesi Gresik 166 HST).
Periode tanam hingga panen kacang bambara berkisar antara 110-150 HST.
Pengamatan fenologi tanaman juga dapat digunakan untuk menentukan
masak fisiologi benih, proses kemasakan benih selain dipengaruhi oleh morfologi
dan fisiologi juga oleh faktor lingkungan. Hasil penelitian Kemalawati (1996) pada
delapan varietas kedelai menunjukkan bahwa benih kedelai mencapai masak
fisiologi saat persentase polong berwarna cokelat > 70% dan persentase polong
hijau < 14%. Maria (2000) menyatakan bahwa berdasarkan studi fenologi, masak
fisiologi benih kacang tanah varietas Kidang dan Landak 93 HST dengan kuantitas
hasil, viabilitas potensial, dan vigor kekuatan tumbuh tertinggi, sedangkan kadar
arginin terendah. Varietas Banteng dan Komodo mencapai masak fisiologi 98 HST
dan 87 HST. Menurut Kartika dan Ilyas (1994) masak fisiologi benih kacang jogo
dicapai 36 hari setelah berbunga dimana bobot kering, viabilitas, dan vigor benih
maksimum.
Photothermal unit
Faktor lingkungan yang paling mempengaruhi perkembangan tanaman adalah
suhu dan lama penyinaran. Suhu berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman
terutama pada proses respirasi sedangkan lama penyinaran mempengaruhi laju
fotosintesis. Summerfield et al. (1991) menyatakan bahwa respon tanaman terhadap
suhu dan lama penyinaran pada lingkungan tropis maupun subtropis dapat
dikuantifikasi melalui konsep thermal unit dan photothermal unit. Konsep thermal
unit atau degree day atau heat unit hanya dapat diterapkan pada tanaman yang tidak
dipengaruhi oleh lama penyinaran (tanaman hari netral). Thermal unit (TU)
dihitung berdasarkan akumulasi dari selisih suhu rata-rata harian (T) terhadap suhu
dasar tanaman (To) dan diakumulasi hingga tercapai stadia tertentu pada tanaman.
Menurut Handoko (1994) stadia perkembangan tanaman (s) berbanding lurus
dengan suhu (T) di atas suhu dasar (To) yang dapat dirumuskan sebagai berikut:

i

o
ds = 0


i

≤ o

o

o

8

Keterangan:
TU
= thermal unit yang dibutuhkan tanaman untuk mencapai stadia
perkembangan tertentu (°C d)
T
= suhu rata-rata harian (°C)
To
= suhu dasar (°C)
t
= waktu (d)
s
= stadia perkembangan tanaman
Laju perkembangan tanaman terjadi jika suhu rata-rata harian melebihi suhu
dasar tanaman yang terakumulasi menjadi jumlah thermal unit (TU) (Handoko
1994). Konsep thermal unit mengasumsikan bahwa hubungan antara laju
perkembangan tanaman dengan suhu membentuk kurva linier. Menurut Qadir
(2012) nilai thermal unit stadia pemunculan lapang kedelai varietas Godek tidak
berbeda dengan varietas Ceneng 146 °C d, stadia pertumbuhan vegetatif varietas
Godek 742 °C d, sedangkan Ceneng 663 °C d. Nilai TU untuk stadia pembungaan
varietas Godek 962 °C d, varietas Ceneng 1012 °C d serta stadia pengisian polong
varietas Godek 1360 °C d, sedangkan varietas Ceneng 1440 °C d.
Tanaman yang dipengaruhi suhu dan lama penyinaran (tanaman hari pendek)
seperti kacang bambara, konsep yang dapat diterapkan adalah photothermal unit
(PTU). Nilai PTU dihitung berdasarkan akumulasi perkalian antara thermal unit
(TU) dengan peubah lama penyinaran (P) pada stadia tertentu yang dapat
dirumuskan sebagai berikut:
n

Keterangan:
PTU = photothermal unit(°C d h)
TU
= thermal unit (°C d)
P
= lama penyinaran (h)
i
= awal tanam
n
= stadia tertentu


i

Menurut Sharma et al. (2003) photothermal unit dapat digunakan untuk
menentukan fenologi tanaman gandum, dimana akumulasi PTU tertinggi yang
dibutuhkan dari tanam hingga mencapai masak terdapat pada genotipe PBW 343
(16496.0 ± 870 °C d h) dibandingkan genotipe lainnya. Hasil penelitian Karnataka
(2007) menunjukkan bahwa gandum genotipe DWR-195 dengan waktu tanam
berbeda (November dan Desember) membutuhkan PTU (14093 °C d h) lebih
rendah dibandingkan genotipe lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa genotipe
tersebut memiliki periode pertumbuhan yang lebih singkat dibandingkan genotipe
DWR-162, DWR-185, dan DWR-1013 yang mungkin lebih tahan terhadap
cekaman suhu tinggi dengan periode tumbuh yang lebih lama. Photothermal unit
dapat digunakan untuk merekomendasikan waktu tanam beberapa genotipe
gandum.

9

3 METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikarawang, Laboratorium
Ilmu dan Teknologi Benih, dan Rumah Kaca Kebun Percobaan Cikabayan,
Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor, Dramaga Bogor pada bulan Agustus 2013 hingga Januari 2014.
Sumber Benih
Benih kacang bambara yang digunakan berasal dari Bogor (Dinas Pertanian),
Sukabumi (kelompok tani), dan Sumedang (kelompok tani). Aksesi Bogor testa
hitam dipanen pada Januari 2013, aksesi Sukabumi testa hitam April 2013, dan
aksesi Sumedang testa hitam dan cokelat Juni 2013. Benih disimpan pada suhu 16
°C selama 6 bulan (aksesi Bogor), 3 bulan (aksesi Sukabumi), dan 1 bulan (aksesi
Sumedang) sebelum ditanam di lapangan. Viabilitas awal benih sebelum ditanam di
lapangan memiliki nilai daya berkecambah sebesar 82% (aksesi Bogor), 79%
(aksesi Sukabumi), dan 91% (aksesi Sumedang) dengan kadar air masing-masing
aksesi ± 10%. Benih keempat aksesi kacang bambara dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Benih kacang bambara aksesi (A) Bogor testa hitam, (B) Sukabumi
testa hitam, (C) Sumedang testa hitam, dan (D) Sumedang testa cokelat
Percobaan 1 Fenologi, Morfologi, dan Hasil Empat Aksesi Kacang Bambara
Rancangan Percobaan
Percobaan ini menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT)
satu faktor yaitu asal aksesi yang terdiri atas aksesi Bogor testa hitam, Sukabumi
testa hitam, Sumedang testa hitam dan cokelat. Terdapat empat perlakuan (asal
aksesi) dan setiap perlakuan terdiri atas tiga ulangan, sehingga seluruhnya terdapat
12 satuan percobaan. Model linier yang digunakan adalah sebagai berikut:

10

ij

i

j

ij

; i = 1, 2, 3, 4 j = 1, 2, 3

Keterangan:
Yij
= Nilai pengamatan asal aksesi ke-i dan kelompok ke-j
µ
= Nilai rataan umum
= Pengaruh perlakuan asal aksesi ke-i
i
= Pengaruh kelompok ke-j
j
= Pengaruh acak pada asal aksesi ke-i dan kelompok ke-j
ij
Persiapan Lahan, Penanaman, dan Pemeliharaan
Pengolahan tanah dilakukan 14 hari sebelum tanam, kemudian diambil
contoh tanah untuk dilakukan analisis tanah di SEAMEO BIOTROP, Bogor. Pupuk
kandang ayam diberikan dengan dosis 10 ton ha-1 dan dibiarkan selama 7 hari
sebelum tanam. Benih ditanam pada 12 petak percobaan berukuran 10 m x 8 m
setiap petak dengan jarak tanam 50 cm x 40 cm (satu benih setiap lubang tanam)
bersamaan dengan pemberian Furadan 3G sebesar 20 kg ha-1 pada lubang tanam
sehingga terdapat 400 tanaman setiap petak percobaan. Pada saat penanaman juga
diberikan pupuk urea 100 kg ha-1 (45% N), SP36 45 kg ha-1 (36% P2O5), dan KCl
60 kg ha-1 (60% K2O). Pemeliharaan meliputi penyiangan gulma secara manual dan
pembumbunan pada 28 dan 56 hari setelah tanam, serta dilakukan penyemprotan
fungisida (benomil 2 g l-1) dan insektisida (profonofos 4 ml l-1) pada saat terjadi
serangan hama dan penyakit dengan interval waktu 7 hari yang dimulai pada 35
hingga 70 hari setelah tanam.
Pengamatan Fenologi dan Morfologi Tanaman
Pengamatan fenologi tanaman meliputi waktu pemunculan kecambah di
lapangan, mulai berbunga, berbunga 50%, 75%, dan 100%, mulai berpolong, dan
berpolong penuh. Pada setiap stadia perkembangan tanaman diamati morfologi
kualitatif (visual) meliputi warna hipokotil, plumula (calon daun), tangkai daun,
tipe pertumbuhan, bentuk dan warna daun, bunga, polong, dan benih, serta melalui
pengukuran (kuantitatif) pada 10 tanaman contoh setiap petak percobaan meliputi
daya tumbuh benih, jumlah daun trifoliat, jumlah dan panjang tangkai daun,
diameter kanopi, ukuran polong dan benih, serta intensitas serangan penyakit.
1.

Waktu pemunculan kecambah di lapangan (HST)
Waktu pemunculan kecambah di lapangan ditandai dengan munculnya daun
pertama di atas permukaan tanah sebanyak 50% dari total populasi tanaman.

2.

Umur berbunga (HST)
Pengamatan umur berbunga diamati saat munculnya bunga mekar pertama
kali (mulai berbunga), 50%, 75%, dan 100% tanaman berbunga (dari total
populasi tanaman).

11

3.

Umur mulai berpolong (HST)
Pengamatan umur berpolong dilakukan saat tanaman mulai membentuk
polong pada keempat aksesi.

4.

Umur polong penuh (HST)
Umur berpolong penuh kacang bambara diamati saat benih telah penuh
mengisi polong pada keempat aksesi.

5.

Warna hipokotil dan plumula (calon daun)
Pengamatan secara visual terhadap warna hipokotil dan plumula keempat
aksesi dilakukan pada stadia kecambah.

6.

Tipe pertumbuhan
Tipe pertumbuhan tanaman diamati pada keempat aksesi kacang bambara,
selanjutnya digolongkan ke dalam tiga tipe pertumbuhan yaitu bunch, semi
bunch, dan spreading atau open (IPGRI 2000).

7.

Bentuk dan warna daun
Bentuk dan warna daun keempat aksesi diamati secara visual. Bentuk daun
kacang bambara digolongkan ke dalam empat tipe diantaranya bulat, oval,
lanceolate, dan elip (IPGRI 2000).

8.

Warna dan bulu pada tangkai daun
Pengamatan terhadap warna dan bulu pada tangkai daun dilakukan secara
visual pada keempat aksesi. Tangkai daun kacang bambara digolongkan
menjadi tiga tipe yaitu tidak ada bulu, berbulu tipis, dan berbulu tebal (IPGRI
2000).

9.

Warna dan bulu pada ruas batang (internode)
Pengamatan warna dan keberadaan bulu pada ruas batang dilakukan secara
visual pada keempat aksesi.

10. Warna bunga
Bentuk dan warna bunga saat kuncup maupun mekar diamati terutama
terhadap ada tidaknya pigmen pada bagian sayap dan bendera bunga (mahkota)
(IPGRI 2000).
11. Bentuk, warna, tekstur polong dan benih
Bentuk, warna, tekstur polong dan benih keempat aksesi diamati secara
visual pada setiap stadia perkembangan polong dan benih, kemudian
digolongkan sesuai deskripsi kacang bambara menurut IPGRI (2000).

12

12. Daya tumbuh benih (%)
Peubah daya tumbuh diamati pada 14 hari setelah tanam (HST) yang
dihitung dengan membandingkan jumlah benih yang tumbuh dengan total benih
yang ditanam dikalikan 100%.
13. Jumlah dan panjang tangkai daun (cm)
Jumlah dan panjang tangkai daun diamati pada 14 HST hingga tanaman
memasuki stadia generatif (35 HST). Pengukuran jumlah tangkai daun dilakukan
dengan mengitung seluruh tangkai daun yang terbentuk baik daun trifoliatnya
sudah membuka sempurna maupun belum, sedangkan panjang tangkai

Dokumen yang terkait

Keragaman Genetik Tanaman Kacang Bogor (Vigna Subterranea L Verdc ) In Vitro Dan In Vivo Berdasarkan Marka Ssr Dan Snap

9 34 110

Pengaruh tingkat kemasakan benih dan periode simpan terhadap viabilitas dan vigor benih kacang bogor (Vigna subterranea (l). Verdc.) pada ruang simpan ac dan kamar

0 11 52

Pengaruh Perlakuan Invigorasi Pada Benih Yang Berbeda Tingkat Masak Terhadap Viabilitas Dan Vigor Benih, Pertumbuhan Tanaman, Dan Hasil Kacang Bogor (Vigna subterranea (L.) Verdcourt)

0 3 104

Pengaruh Warna Testa dan Perlakuan Invigorasi terhadap Viabilitas dan Vigor Benih serta Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Kacang Bambara (Vigna subterranea (L.) Verdc.)

1 11 43

Fenologi Pembungaan Dan Penentuan Masak Fisiologi Benih Pada Tanaman Kecipir (Psophocarpus Tetragonolobus L)

8 38 58

Studi Fenologi dan Penentuan Masak Fisiologis Benih Mentimun (Cucumis sativus L.) Berdasarkan Unit Panas.

5 18 47

PERTUMBUHAN DAN HASIL KACANG BOGOR (Vigna subterranea (L.) Verdc.) VARIETAS LOKAL LEMBANG DI KALIMANTAN SELATAN

0 0 6

Penentuan Dosis Optimum Pemupukan N, P, dan K pada Tanaman Kacang Bogor [Vigna subterranea (L.) Verdcourt] Determination of Optimum Rates of N, P, and K Fertilizer for Bambara Groundnut [Vigna subterranea (L.) Verdcourt]

0 0 8

Fenologi, Morfologi, dan Hasil Empat Aksesi Kacang Bambara (Vigna subterranea (L.) Verdc.) Phenology, Morphology, and Yield of Four Bambara Groundnut (Vigna subterranea (L.) Verdc.) Accessions

0 0 8

5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Tanaman Kacang Bambara (Vigna subterranea (L.) Verdcourt)

0 0 8