Dinamika Populasi Parasitoid Telur Penggerek Batang Padi Kuning Scirpophaga incertulas (Walker) (Lepidoptera: Pyralidae) pada Pertanaman Padi di Kabupaten Klaten

1
 

D
DINAMIK
KA POPUL
LASI PAR
RASITOID
D TELUR
R
PENGGE
EREK BA
ATANG PA
ADI KUNIING Scirppophaga in
ncertulas
(WALKE
ER) (LEPIIDOPTER
RA: PYRA
ALIDAE)
PADA
A PERTAN

NAMAN P
PADI DI KABUPAT
K
TEN KLA
ATEN

ALDILA RACHM
MAWATI

DEPAR
RTEMEN PROTEK
KSI TANA
AMAN
FAKULT
TAS PERT
TANIAN
INS
STITUT PERTANIA
AN BOGO
OR

BOGOR
2012

ABSTRACT

ALDILA RACHMAWATI. Population Dynamics of Egg Parasitoid of Yellow
Rice Stem Borers Scirpophaga incertulas (Walker) (Lepidoptera: Pyralidae) on
Rice Field in Klaten. Under supervision of HERMANU TRIWIDODO.
Yellow Rice Stem Borers (Scirpophaga incertulas) is an important pest of
rice in Indonesia. Currently, most farmers depend on use of insecticides to control
the pest and mostly by propalactic and indiscriminate ways. The practices can
disrupt the environment and the activities of natural enemies. This study is to
observe the dynamic off egg parasitoid of Yellow Rice stem Borers in three
subdistrict (Juwiring, Cawas, and Trucuk) in Klaten, Central Java. Egg clusters
were collected and reared to note parasitization every other weeks. This study
during Februari-October 2012. The most dominant of egg parasitoid at Juwiring,
Cawas, and Trucuk was Tetrastichus schoenobii with percentage 67%, 96%, and
43%. Egg parasitoids were found at Juwiring T. schoenobii, Telenomus rowani,
Trichogramma japonicum and Telenomus sp., a hyperparasitoid also discovered at
Juwiring is Trichomalopsis sp., at Cawas T. schoenobii and T. rowani were found,

and at Trucuk T. schoenobii, T. rowani, and T. japonicum were found. Parasite of
egg clusters at rice crops on 0-4 weeks after transplanting was T. schoenobii, and
parasite of egg clusters at rice crops on 6 and 8 weeks after transplanting was T.
rowani.
Keywords: population dynmics, egg parasitoid, Scirpophaga incertulas.

3
 

ABSTRAK

ALDILA RACHMAWATI. Dinamika Populasi Parasitoid Telur Penggerek
Batang Padi Kuning Scirpophaga incertulas (Walker) (Lepidoptera: Pyralidae)
pada Pertanaman Padi di Kabupaten Klaten. Dibimbing oleh HERMANU
TRIWIDODO.
Penggerek Batang Padi Kuning (Scirpophaga incertulas) merupakan hama
penting di Indonesia. Sekarang ini, sebagian besar petani menggunakan pestisida
kimia untuk mengendalikan hama pada lahan pertanian dengan tidak
membedakan jenis hama yang menyerang. Cara ini dapat mengganggu lingkungan
dan aktivitas musuh alami. Penelitian bertujuan untuk mengetahui dinamika

populasi parasitoid telur penggerek batang padi kuning di 3 kecamatan (Juwiring,
Cawas, dan Trucuk) di Kabupaten Klaten. Kelompok telur dikumpulkan dan
dipelihara sampai menetas, untuk dicatat parasitisasinya. Penelitian dilakukan dari
bulan Februari sampai Oktober 2012. Parasitoid yang dominan di Kecamatan
Juwiring, Cawas, dan Trucuk adalah Tetrastichus schoenobii dengan masingmasing persentase sebesar 67%, 96%, dan 43%. Parasitoid telur yang ditemukan
di Kecamatan Juwiring adalah T. schoenobii, Telenomus rowani, Telenomus sp.,
Trichogramma japonicum, dan satu hiperparasitoid Trichomalopsis sp.,
sedangkan di Kecamatan Cawas T. schoenobii dan T. rowani, dan di Kecamatan
Trucuk T. schoenobii, T. rowani, Telenomus sp. dan T. japonicum. Kelompok
telur yang berada pada tanaman padi 0-4 minggu setelah pindah tanam, lebih
banyak diparasit oleh T. schoenobii, sedangkan padi umur 6 dan 8 minggu setelah
pindah tanam lebih banyak diparasit oleh T. rowani.
Kata kunci: dinamika populasi, parasitoid telur, Scirpophaga incertulas.

4
 

DINAMIKA POPULASI PARASITOID TELUR
PENGGEREK BATANG PADI KUNING Scirpophaga incertulas
(WALKER) (LEPIDOPTERA: PYRALIDAE)

PADA PERTANAMAN PADI DI KABUPATEN KLATEN

ALDILA RACHMAWATI
A34080070

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

5
 

Judul Skripsi


Nama Mahasiswa
NIM

: Dinamika Populasi Parasitoid Telur Penggerek Batang
Padi Kuning Scirpophaga incertulas (Walker)
(Lepidoptera: Pyralidae) pada Pertanaman Padi
di Kabupaten Klaten
: Aldila Rachmawati
: A34080070

Disetujui,
Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, M.Sc.
NIP. 19570122 198103 1 002

Diketahui,
Plh. Ketua Departemen

Dr. Ir. Ruly Anwar, M.Si.

NIP 19641224 199103 1 003

Tanggal lulus:

6
 

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Jakarta pada tanggal 24 Mei 1990 sebagai anak pertama
dari enam bersaudara pasangan Bapak Agus Heriyanto and Ibu Rini Ekawati.
Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas di SMA Negeri 2
Bekasi, Jawa Barat (2004-2007).
Pada tahun 2008 penulis melanjutkan pendidikannya di Institut Pertanian
Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada kurikulum
berbasis mayor-minor. Penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Proteksi
Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB dan mengikuti masa Tingkat Persiapan
Bersama selama satu tahun. Pada tahun berikutnya penulis melanjutkan
pendidikannya dengan Mayor Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB.
Selama masa kuliah, penulis aktif bergabung dengan beberapa organisasi

seperti PASKIBRA IPB (pasukan pengibar bendera IPB) dan Dewan Perwakilan
Mahasiswa Fakultas Pertanian (DPM Faperta) pada periode 2009-2010, mengikuti
kepanitiaan pada beberapa acara kampus, dan mengikuti beberapa pelatihan,
seperti Go Field di Kabupaten Klaten mengenai serangan hama wereng batang
cokelat, dan pelatihan menjaga keseimbangan iklim yang diselenggarakan oleh
Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) bersama mahasiswa lainnya dari
seluruh Indonesia.

7
 

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat
rahmat, hidayah serta kasih sayang-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Dinamika Populasi Parasitoid Telur Penggerek Batang Padi Kuning
Scirpophaga incertulas (Walker) (Lepidoptera: Pyralidae) pada Pertanaman Padi
di Kabupaten Klaten”. Penelitian dan penulisan skripsi ini merupakan salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Departemen Proteksi
Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan di

lahan pertanaman padi milik petani Kecamatan Juwiring, Cawas, dan Trucuk,
Laboratorium Lapang Klinik Tanaman, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor yang terletak di Kecamatan Trucuk Kabupaten
Klaten, Laboratorium Taksonomi Serangga dan Museum Serangga Departemen
Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dari bulan
Februari 2012 sampai Oktober 2012.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada
1. Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, M.Sc. sebagai dosen pembimbing yang telah
memberikan banyak ilmu pengetahuan, saran, dan motivasi.
2. Dr. Ir. Titiek Siti Yuliani, SU. sebagai dosen penguji tamu yang telah
memberikan saran dan motivasi.
3. Dr. Ir. Nina Maryana, M.Si. yang telah memberikan bimbingan dan saran
dalam proses identifikasi, dan mba Atiek yang telah membantu pembuatan
preparat di Laboratorium Taksonomi Serangga dan Museum Serangga
Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
4. Dr. Ir. Tri Asmira Damayanti MAgr. sebagai dosen pembimbing akademik
yang telah memberikan saran dan arahan.
5. Kedua orang tua Agus Heriyanto dan Rini Ekawati yang selalu memberikan
dukungan moral, spiritual, dan perhatian, serta adik-adik tersayang Aulia,
Amalia, Azizah, Alfajriyanti, dan Akbar atas semangatnya.

6. Seluruh mahasiswa Departemen Proteksi Tanaman, khususnya angkatan 45
atas semangat dan dukungannya, serta Fitri, Sasti, Nuri, Iky, Yan, Adnan,
Ranti, Andrix, dan Nisa yang telah banyak membantu.
7. Sahabat seperjuangan Riska DO, Bolang, Minkhaya, Rita, dan Amanda.
8. Teman-teman kosan Wardhatul Jannah Dilla, Tipa, Erna, Pipit, Uthu, Rini,
Pungky, Fera, dan Rei.
9. Pak Purwanto, Pak Wardiono, Mbak Tami, dan warga Klaten yang telah
membantu selama proses penelitian.
10. Terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh teman-teman yang tak dapat
dituliskan satu-persatu.
Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih terdapat banyak
kekurangan untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Bogor, November 2012

Aldila Rachmawati

8
 


DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL .......................................................................................

vii

DAFTAR GAMBAR ..................................................................................

viii

DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................

ix

PENDAHULUAN ......................................................................................
Latar Belakang ...................................................................................
Tujuan Penelitian ...............................................................................
Manfaat Penelitian .............................................................................

1
1
3
3

TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................
Penggerek Batang Padi Kuning S. incertulas ....................................
Gejala Sundep dan Beluk ..................................................................
Musuh Alami .....................................................................................
Pestisida .............................................................................................

4
4
4
5
6

BAHAN DAN METODE ...........................................................................
Tempat dan Waktu .............................................................................
Pengambilan Sampel Kelompok Telur ..............................................
Penyiapan Wadah Pemeliharaan Telur ...............................................
Pengamatan Lapang ............................................................................
Penghitungan Kelompok Telur, Larva Hidup, Gagal Menetas,
Parasitisasi, dan Total Telur ..............................................................
Identifikasi Parasitoid .........................................................................
Analisis Data.......................................................................................

8
8
8
9
10
10
10
11

HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................
Keadaan Umum Kabupaten Klaten ...................................................
Perbedaan Lokasi antar Kecamatan ...................................................
Kelompok Telur S. incertulas .............................................................
Larva Hidup ........................................................................................
Kegagalan Menetas.............................................................................
Parasitisasi ..........................................................................................
Penggunaan Pestisida .........................................................................

12
12
12
15
18
18
19
26

KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................

28

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................

29

LAMPIRAN ................................................................................................

31

9
 

DAFTAR TABEL
Halaman
1 Jumlah kelompok telur di 3 kecamatan ...................................................

16

2 Persentase larva S. incertulas yang hidup ..............................................

16

3 Persentase telur gagal menetas ................................................................

20

4 Persentase parasitisasi..............................................................................

20

10
 

DAFTAR GAMBAR

Halaman
1 Gejala sundep dan gejala beluk .............................................................

5

2 Contoh hamparan padi tempat dilakukannya pengambilan kelompok
telur ......................................................................................................

8

3 Rancangan tempat pemeliharaan telur ................................................

9

4 Sistem tanam, ketersediaan air, dan pola tanam padi di Kecamatan
Juwiring.................................................................................................

13

5 Sistem tanam, ketersediaan air, dan pola tanam padi di Kecamatan
Cawas ....................................................................................................

14

6 Sistem tanam, ketersediaan air, dan pola tanam padi di Kecamatan
Trucuk ...................................................................................................

15

7 Variasi ukuran kelompok telur .............................................................

15

8 Letak kelompok telur pada padi tanaman umur muda, dan umur
pertengahan ..........................................................................................

17

9 Pembedahan telur yang berisi larva mati dan parasitoid mati .............

19

10 Parasitoid telur PBPK Tetrastichus schoenobii, Telenomus rowani,
Trichogramma japonicum, Telenomus sp., dan hiperparasitoid
Trichomalopsis sp. ...............................................................................

21

11 Fluktuasi jumlah kelompok telur dan parasitoid di Kecamatan
Juwiring ................................................................................................

23

12 Fluktuasi jumlah kelompok telur dan parasitoid di Kecamatan
Cawas ....................................................................................................

24

13 Fluktuasi jumlah kelompok telur dan parasitoid di Kecamatan
Trucuk ..................................................................................................

25

14 Persentase parasitisasi masing-masing jenis parasitoid ........................

26

11
 

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Hasil analisis ragam jumlah kelompok telur .........................................

32

2 Hasil analisis ragam larva hidup ............................................................

33

3 Hasil analisis ragam telur gagal menetas ..............................................

34

4 Hasil analisis ragam parasitisasi ............................................................

35

5 Blanko pengambilan sampel kelompok telur ..........................................

36

6 Blanko wawancara dengan petani ...........................................................

37

1
 

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Beras merupakan makanan pokok sebagian besar penduduk Indonesia.
Meningkatnya jumlah penduduk mendorong dilakukannya berbagai usaha
peningkatan produksi padi guna mengimbangi kebutuhan beras yang semakin
tinggi. Kebutuhan beras di Indonesia sekitar 3 juta ton/bulan, angka ini cukup
tinggi bila dibandingkan negara lain (Ucu 2012). Negara Thailand hanya mampu
menghasilkan beras 20 juta ton/tahun tetapi mampu mengekspor 10.6 juta ton
(Latif 2012), yang artinya Thailand hanya mengkonsumsi beras 9.4 juta ton/tahun.
Produksi padi di Indonesia sangat berfluktuatif, berturut-turut dari tahun 2008
sampai 2010 yaitu 60.33, 64.4, dan 66.47 juta ton, sedangkan pada tahun 2011
sebesar 65.76 juta ton gabah kering giling, atau turun sebesar 0.71 juta ton
dibandingkan tahun 2010 (BPS 2012). Keadaan yang fluktuatif ini dapat
disebabkan oleh adanya gangguan dari organisme pengganggu tanaman (OPT).
OPT tanaman merupakan salah satu faktor pembatas dalam usaha
peningkatan produksi padi di Indonesia. OPT secara garis besar dibagi menjadi 3
yaitu hama, penyakit, dan gulma (Wiyono 2007). Hama yang umum dijumpai
pada pertanaman padi diantaranya adalah hama wereng batang coklat, penggerek
batang padi kuning (PBPK), penggerek batang padi putih (PBPP), walang sangit,
dan keong. PBPK termasuk dalam ordo Lepidoptera famili Pyralidae yang
memiliki nama latin Scirpophaga incertulas. S. incertulas merupakan hama
penting di Indonesia. Menurut Wardle dalam Kalshoven (1981), PBPK pertama
kali ditemukan sebagai hama yang terkenal di China, Jepang, dan Taiwan.
Serangga ini sangat aktif makan pada fase larva. S. incertulas menyerang tanaman
padi mulai dari persemaian sampai stadia generatif tanaman, hal ini dapat
menurunkan hasil produksi tanaman padi. Sawah petani di Kabupaten Jombang
seluas 5000 m² normalnya menghasilkan 2.5 ton namun hanya dapat
menghasilkan 1.7 ton karena serangan penggerek batang padi (Latif 2012).
Menurut Rugaya (2010), penggerek batang padi putih (Scirpophaga innotata)
merupakan hama yang cukup penting karena dapat menurunkan hasil produksi
antara 10-30% setiap tahunnya seperti pada tahun 1989/1990 hama ini merusak

2
 

areal pertanaman padi seluas 70.000 ha dan lebih dari 10.000 ha telah dinyatakan
puso.
Penyebab penggerek batang padi kuning (Scirpophaga incertulas) berubah
statusnya menjadi hama penting karena ketersedian air yang mencukupi sehingga
penanaman padi dilakukan lebih dari dua kali dalam setahun, dan tidak ada
pergiliran tanaman. Hal ini menyebabkan selalu tersedianya persediaan makanan
yang tak pernah terputus untuk PBPK. Kondisi ini menguntungkan untuk
kelangsungan hidup S. incertulas sehingga populasinya dapat terus meningkat.
Cara umum yang dilakukan petani untuk mengendalikan hama di lapang
yaitu dengan menggunakan pestisida kimia. Penggunaan pestisida kimia
berspektrum luas digunakan untuk membunuh berbagai macam hama.
Penggunaan pestisida kimia yang kurang bijaksana (tidak memenuhi 5T yaitu
tepat sasaran, tepat jenis pestisida, tepat konsentrasi, tepat dosis, dan tepat cara
aplikasi) dapat menimbulkan dampak negatif seperti resurgensi, resistensi,
matinya musuh alami, dan pencemaran lingkungan melalui residu yang
ditinggalkan, serta menyebabkan keracunan pada manusia (Suprapti 2012).
Dampak jangka panjang penggunaan pestisida kimia

lebih

merugikan

dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh.
Selain menggunakan pestisida kimia untuk mengendalikan S. incertulas
dapat juga dilakukan pengendalian hayati yang memanfaatkan musuh alami
(Kartohardjono 2011). Keuntungan dari pengendalian hayati yaitu selektifitas
tinggi, hama tidak menjadi resisten atau kalau hal itu terjadi sangat lambat, serta
tidak ada pengaruh samping yang buruk seperti pada penggunaan pestisida.
Namun ada beberapa kelemahan pengendalian hayati yaitu pegendalian berjalan
lambat dan memerlukan pengawasan yang ketat. Musuh alami membantu menjaga
keseimbangan populasi suatu jenis makhluk hidup. Musuh alami dapat berupa
predator, parasitoid, dan patogen. Parasitoid merupakan serangga yang pada fase
pradewasa hidupnya menumpang pada serangga lain sebagai inang sedangkan
fase dewasanya hidup bebas di luar tubuh inang. Parasitoid dapat menyerang pada
fase yang berbeda-beda seperti fase telur, larva, pupa, dan imago. Parasitoid pada
telur dapat membantu menekan populasi PBPK. Namun penggunaan pestisida
berspektrum luas yang kurang bijaksana (tidak memenuhi 5T) dapat

3
 

menyebabkan terbunuhnya parasitoid ini pada lahan pertanian, sehingga populasi
PBPK semakin meningkat. Penggunaan pestisida berpengaruh negatif terhadap
keberadaan dan keanekaragaman parasitoid (Hamid et al. 2003).

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika populasi parasitoid
telur penggerek batang padi kuning (S. incertulas) di 3 kecamatan (Juwiring,
Cawas, dan Trucuk) di Kabupaten Klaten

Manfaat Penelitian
Menambah pengetahuan mengenai jenis-jenis parasitoid penggerek batang
padi kuning (Scirpophaga incertulas) yang ada di Kabupaten Klaten, dengan
intensitas pestisida dan pola tanam yang berbeda diharapkan dapat menjadi data
untuk petani agar budidaya tanaman padi dapat dilakukan dengan tetap menjaga
kelestarian lingkungan.

 4
 

TINJAUAN PUSTAKA

Penggerek Batang Padi Kuning Scirpophaga incertulas
Penggerek batang padi kuning masuk ke dalam ordo Lepidoptera famili
Pyralidae. Imago betina S. incertulas dewasa berwana kuning keputih-putihan dan
memiliki ciri khas yaitu titik hitam yang jelas pada sayap bagian depan,
sedangkan imago jantan berwarna abu kecoklatan dengan titik hitam yang kurang
jelas pada sayap depan (Kalshoven 1981).
Telur merupakan sebuah tempat perkembangan embrio, lengkap dengan
nutrisi yang dibutuhkan untuk perkembangannya (Vinson 1994). Telur-telur
serangga S. incertulas diletakkan berkelompok, tiap kelompoknya tidak sama
jumlahnya, dan dibungkus sangat rapat guna melindungi kerusakan akibat faktor
luar (Yunus 2012). Kelompok telur berbentuk bulat atau lonjong dan ditutupi oleh
rambut-rambut dari ujung abdomen imago betina. Kelompok telur yang pertama
diletakkan cenderung berukuran lebih besar dari pada yang diletakkan berikutnya
(Umar 1991). Kelompok telur terdiri dari 50–150 butir telur yang diletakkan di
pemukaan daun mendekati ujung yang ditutupi oleh sisik (bulu) berwarna coklat
keabuan. Imago S. incertulas betina mampu menghasilkan 200–300 butir telur.
Waktu inkubasi untuk penetasan telur 4–5 hari, setelah menetas larva tetap berada
pada cangkang penutup selama 1 atau 2 hari, larva keluar dari cangkang langsung
menggerek pelepah daun padi, atau menyebar lewat udara dengan menggunakan
benang sutra yang dihasilkannya, atau dengan cara terapung di atas permukaan air
dengan menggunakan potongan daun dari tanaman (Kalshoven 1981).
Penambahan telur menetas ternyata sesuai dengan pola penambahan telur
diletakkan, hal ini berarti kematian oleh parasit meningkat sesuai dengan kenaikan
inangnya (Soehardjan 1976).

Gejala Sundep dan Beluk
Larva keluar dari kelompok telur dengan cara menggigit dan membuat
lubang untuk keluar pada daun bagian bawah atau di permukaan atas kelompok
telur (Umar 1991). Larva yang keluar dari cangkang masuk melalui pelepah daun
padi untuk menggerek batang padi. S. incertulas dapat menyerang tanaman pada

5
 

fase vegetatif maupun generatif. Gejala serangan S. incertulas dikenal sebagai
sundep dan beluk. Gejala sundep terjadi pada tanaman padi fase vegetatif
disebabkan oleh larva yang menggerek di dalam pangkal batang sehingga
menyebabkan daun menggulung tidak membuka kemudian mengering, dan batang
yang terserang mati tetapi tanaman masih dapat mengkompensasi serangan ini
dengan munculnya anakan baru, gejala beluk terjadi pada tanaman padi fase
generatif disebabkan oleh larva yang menggerek pangkal malai sehingga bulir
menjadi hampa dan tidak menghasilkan beras (Pathak 1968).

a

b

Gambar 1 Gejala sundep tanaman padi terjadi pada fase vegetatif (a) dan beluk
pada fase generatif (b)

Musuh Alami
Populasi S. incertulas di alam dikendalikan oleh musuh alami. Musuh
alami dapat berupa patogen, predator, dan parasitoid. Parasitoid merupakan
serangga yang pada fase pradewasa (larva) hidup menumpang pada inang tetapi
pada fase dewasa (imago) hidup bebas di luar inang (Kartohardjono 2011).
Parasitoid telur dapat menekan pertumbuhan serangga hama sejak stadia telur.
Menurut Yasumatsu dan Torii (1968) spesies dari genus Telenomus yang
telah teridentifikasi sebagai parasitoid telur pada penggerek batang padi yaitu
Telenomus dignus dan Telenomus rowani. Inang spesifik dari Tetrastichus
schoenobii yaitu Typoryza incertulas dan T. innotata. Soehardjan (1976)

6
 

melaporkan bahwa di Ciberes, kabupaten Subang ditemukan 4 parasitoid telur
penggerek batang padi kuning (PBPK), yaitu Tertrastichus schoenobii Ferriere
(Hymenoptera:

Eulophidae),

Telenomus

rowani

Gahan

(Hymenoptera:

Scelionidae), Trichogramma japonicum (Hymenoptera: Trichogrammatidae), dan
satu spesies lainnya yang belum terdentifikasi. Parasitoid T. schoenobii paling
besar menekan kepadatan populasi pada stadium telur, sedangkan T. japonicum
dan T. rowani peranannya berganti-ganti. Parasitoid T. schoenobii rata-rata dapat
memangsa tiga butir telur. Kematian pada stadium telur berkisar 18.9-57.6%, dan
kematian pada stadium larva 11-98%.
Hasil penelitian Yunus (2012) menunjukkan bahwa di Kabupaten Klaten
umumnya ditemukan 3 parasitoid telur S. incertulas yaitu T. schoenobii, T.
rowani, dan T. japonicum. Pada saat kelimpahan parasitoid tinggi muncul satu
spesies yang merupakan hiperparasitoid yaitu Trichomalopsis apanteloctena.

Pestisida
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.7 tahun 1973, tentang
pengawasan atas peredaran, penyimpanan dan penggunaan pestisida, yang
dimaksud dengan pestisida adalah semua zat kimia, dan bahan lain serta jasad
renik dan virus yang dipergunakan untuk:
1. Memberantas atau mencegah hama-hama dan penyakit-penyakit yang
merusak tanaman, bagian-bagian tanaman atau hasil pertanian;
2. Memberantas rerumputan;
3. Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan;
4. Mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian
tanaman, tidak termasuk pupuk;
5. Memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan-hewan
peliharaan dan ternak;
6. Memberantas atau mencegah hama-hama air;
7. Memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik
dalam rumah tangga, bangunan dan dalam alat-alat pengangkutan;
8. Memberantas atau mencegah binatang-binatang yang perlu dilindungi
dengan penggunaan pada tanaman, tanah dan air.

7
 

Pesitida kimia memiliki beberapa kegunaan antara lain dapat diaplikasikan
dengan mudah, dapat diaplikasikan hampir disetiap waktu dan tempat, hasilnya
dapat dirasakan dalam waktu singkat, dapat diaplikasikan dalam areal yang luas
namun dalam waktu yang singkat, mudah diperoleh dan memberikan keuntungan
ekonomi terutama dalam jangka pendek. Namun pestisida yang digunakan untuk
mengendalikan organisme penggangu tanaman (OPT) tidak hanya bersifat racun
terhadap OPT tetapi juga dapat memberikan pengaruh yang tidak diinginkan
terhadap organisme bukan sasaran, termasuk manusia serta lingkungan hidup.
Dampak negatif pestisida yaitu keracunan pada manusia baik secara akut maupun
kronis, keracunan terhadap hewan ternak, keracunan terhadap biota air, keracunan
terhadap satwa liar, kematian musuh alami, kenaikan populasi OPT, timbulnya
resistensi, residu penggunaan pestisida, dan menghambat perdagangan seperti
penolakan masuknya suatu produk pertanian karena terdapat residu pestisida di
dalam produk tersebut (Suprapti 2011).
Penanaman tanpa pestisida sangat penting untuk keamanan pangan
manusia. Penggunaan insektisida untuk mengendalikan hama telah dilarang, dan
pengendalian hama yang efektif yang sering digunakan yaitu dengan
menggunakan Trichogramma baik secara tunggal maupun digabungkan dengan
parasitoid lain, cara ini akan memberi kebaikan baik bagi manusia maupun
lingkungan (Li 1994).

8
 

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di lahan pertanian petani Kecamatan Juwiring,
Cawas, dan Trucuk, Laboratorium Lapang Klinik Tanaman, Departemen Proteksi
Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor yang berada di Kecamatan
Trucuk, Kabupaten Klaten, dan Laboratorium Taksonomi Serangga dan Museum
Serangga Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor. Penelitian dilakukan pada bulan Februari 2012 sampai Oktober 2012.

Pengambilan Sampel Kelompok Telur
Lokasi pengambilan sampel kelompok telur S. Incertulas dilakukan di 3
kecamatan. Masing-masing kecamatan terdiri dari 3 desa, dan masing-masing
desa ditentukan 3 hamparan. Tiga kecamatan tersebut yaitu:
1. Kecamatan Juwiring dengan 3 desa yaitu Desa Bulurejo, Kwarasan, dan
Tlogorandu
2. Kecamatan Cawas dengan 3 desa yaitu Desa Karangasem, Pogung, dan
Tirtomarto
3. Kecamatan Trucuk dengan 3 desa yaitu Desa Wonosari, Kradenan, dan
Sumber.

Gambar 2 Contoh hamparan padi tempat dilakukannya pengambilan kelompok
telur

9
 

Pengambilan kelompok telur masing-masing desa dilakukan sebanyak 5 kali
setiap 2 minggu sekali. Pengambilan kelompok telur dilakukan dengan transek
hamparan menyusuri pematang sawah dari ujung ke ujung atau hingga ditemukan
25 kelompok telur (Gambar 2).
Hamparan yang diamati terdiri dari sejumlah patok, ukuran untuk setiap
patok ±1200 m². Kelompok telur yang ditemukan dimasukkan ke dalam tabung
berdiameter 4 cm dan tinggi 4.5 cm.

Penyiapan Wadah Pemeliharaan Telur
Tempat pemeliharaan kelompok telur menggunakan dua buah gelas plastik
dengan ukuran yang berbeda. Ukuran gelas yang satu lebih kecil dari yang
lainnya. Gelas yang berukuran lebih kecil dilubangi bagian bawahnya. Kelompok
telur dan kapas lembab diletakkan di dalam gelas berukuran lebih besar kemudian
gelas berukuran kecil diletakkan menumpuk di atas gelas berukuran lebih besar
kemudian bagian gelas paling atas ditutup dengan menggunakan kain kassa
seperti yang terlihat pada Gambar 3.

a
Kain kassa
penutup
Kapas
lembab
Gelas ukuran
sedang

b

Gelas kecil
Kelompok telur
S. incertulas

 

Gambar 3 Rancangan tempat pemeliharaan kelompok telur (a) tempat pemeliharaan telur yang dibuat di laboratorium (b)

Penggunaan tempat seperti ini dimaksudkan untuk memberi ruang hidup
yang berbeda antara larva penggerek dengan parasitoid, sehingga dengan mudah
parasitoid dan larva dapat dipisahkan. Parasitoid yang menetas terbang ke wadah
bagian atas dengan melewati lubang, sedangkan larva tetap berada pada wadah
bagian bawah.

10
 

Pengamatan Lapang
Pengamatan lapang dilakukan dengan memperhatikan lingkungan sekitar
tempat penelitian, pola tanam padi, intensitas penggunaan pestisida, dan untuk
memperoleh informasi dilakukan wawancara kepada petani setempat. Petani yang
diwawancara berjumlah 30 orang untuk setiap kecamatan.

Penghitungan Kelompok Telur, Larva Hidup, Telur Gagal Menetas,
Parasitisasi, dan Total Telur
Kelompok telur yang diambil dari setiap desa dihitung dan dipindahkan ke
wadah pemeliharaan kemudian disimpan sampai menetas. Setelah telur menetas,
dilakukan penghitungan jumlah larva dan parasitoid yang hidup dan keluar. Larva
yang menetas dihitung persentasenya dengan menggunakan rumus:
%

%

Sedangkan jika parasitoid yang muncul, persentase parasitisasinya dihitung
dengan menggunakan rumus:
%

%

Setelah larva menetas atau setelah masa penetasan telur habis, dilakukan
pembedahan kelompok telur, dengan tujuan untuk mengetahui jumlah telur yang
tidak menetas. Persentase telur yang gagal menetas dihitung dengan menggunakan
persamaan:
%

%

Untuk penghitungan total telur dihitung dengan menggunakan rumus:

Identifikasi Parasitoid Telur S. incertulas
Parasitoid yang keluar dari telur diidentifikasi dengan menggunakan
bantuan mikroskop compound dan kunci identifikasi Taxonomy of Rice Insect

11
 

Pests and Their Arthropod Parasites and Predators, oleh Alberto T Barrion dan
James A. Litsinger. Proses identifikasi dilakukan berdasarkan pengamatan
karakter morfologi tubuh parasitoid.

Analisis Data
Pengolahan data dilakukan untuk melihat perbedaan jumlah kelompok
telur, persentase larva hidup, persentase telur gagal menetas, dan persentase
parasitisasi antar kecamatan untuk masing-masing waktu pengamatan. Data hasil
penghitungan kemudian dilanjutkan dengan uji selang berganda Duncan pada
taraf nyata 5%.

Analisis statistika dilakukan dengan menggunakan program

Statistical Analysis System (SAS) versi 9.1.

12
 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Kabupaten Klaten
Kabupaten Klaten terletak di Provinsi Jawa Tengah. Sebelah utara
kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Boyolali, di sebelah Timur
berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo, di sebelah selatan Kabupaten Gunung
Kidul, dan di sebelah barat dengan Kabupaten Sleman. Kabupaten Klaten
merupakan salah satu lumbung padi di Jawa Tengah. Saat ini lebih dari 80% hasil
produksi pertanian pangan di Kabupaten Klaten adalah beras. Dari total lahan
yang digunakan untuk bertanam padi, hampir 60% diantaranya beririgasi teknis,
sebagian besar sisanya beririgasi semi teknis, dan hanya sebagian kecil yang
merupakan lahan irigasi tadah hujan (Istiaji 2011).
Pola tanam di Kecamatan Juwiring, Delanggu, Polanharjo, dan Wonosari
adalah padi-padi-padi. Wilayah-wilayah ini memiliki daerah tergenang sepanjang
tahun sehingga ketersediaan air membuat petani menanam padi sepanjang tahun,
hal ini justru mengakibatkan kegagalan panen paling banyak karena serangan
wereng batang cokelat (Istiaji 2011).

Perbedaan Lokasi antar Kecamatan
Kecamatan Juwiring termasuk daerah beririgasi teknis. Air tersedia
sepanjang tahun, sehingga memungkinkan pola tanam yang dilakukan petani padipadi-padi (Gambar 4c). Sistem pertanaman padi di Kecamatan Juwiring
berlangsung tidak serempak (Gambar 4a). Dari hasil wawancara dengan petani
padi di Kecamatan Juwiring diketahui bahwa sebagian besar petani (66.7%)
menggunakan varietas Inpari 13. Keseragaman varietas padi membuat kerapuhan
genetik dan ditemukan varietas rentan yang menyebabkan populasi wereng
berlipat ganda (Istiaji 2011).

13
 

b

a

c

Gambar 4 Sistem tanam tidak serempak (Yuliani, TS) (a), ketersediaan air
mencukupi (Yuliani, TS) (b), dan pola tanam padi sepanjang tahun di
Kecamatan Juwiring (c)

Varietas Inpari 13 merupakan bantuan dari pemerintah daerah setempat.
Namun masih ada sebagian kecil petani yang menggunakan benih padi varietas
lainnya seperti Inpari 1, IR 64, Situ Bagendit, dan Ciherang. Jarak tanam yang
digunakan 20×20 cm sampai 25×25 cm. Penggunaan pupuk kimia di Kecamatan
Juwiring lebih tinggi dibandingkan dengan Kecamatan Cawas dan Trucuk. Pupuk
yang biasa dipakai petani yaitu pupuk NPK dan dosis pupuk yang digunakan
untuk ukuran satu patok lebih dari 100 kg/patok, sedangkan untuk penggunaan
pupuk organik atau kotoran hewan hanya beberapa orang saja yang
menggunakannya. Frekuensi penyemprotan pestisida pada Kecamatan Juwiring
paling tinggi dibandingkan dengan Kecamatan Cawas dan Kecamatan Trucuk
karena penyemprotan dilakukan secara rutin 2-5 kali penyemprotan hingga waktu
panen. OPT pada Kecamatan Juwiring hanya dikendalikan dengan menggunakan
pestisida kimia dan petani tidak pernah mengendalikan dengan cara lain.
Berbeda dengan Kecamatan Juwiring, Kecamatan Cawas merupakan lahan
pertanian dengan irigasi tadah hujan semi teknis. Kecamatan Cawas mengalami
masa sulit air pada musim tanam ketiga (Gambar 5b). Pertanaman padi di
Kecamatan Cawas berlangsung serempak (Gambar 5a). Petani lebih banyak
menanam padi varietas IR 64 (41%). Namun tidak sedikit petani yang menanam
varietas lain seperti Inpari 13, Situ Bagendit, Ciherang, Mekongga, Bunda Sri
Madrim, dan Bestari.

14
 

a

b

c

Gambar 5 Sistem tanam serempak (a), ketersediaan air musim tanam ketiga (b),
pola tanam padi-padi-palawija di Kecamatan Cawas (c)

Jarak tanam yang biasa digunakan petani adalah 20×20 cm. Penggunaan
pupuk kimia tidak terlalu tinggi seperti di Kecamatan Juwiring, karena
pemupukan untuk satu patok kurang dari 100 kg/patok, sedangkan untuk
penggunaan kotoran hewan, hanya beberapa petani yang menggunakan kotoran
hewan sebagai pupuk organik. Penggunaan pestisida kimia dilakukan untuk
mengendalikan OPT. Penyemprotan dilakukan secara rutin 2-4 kali sampai panen.
Sistem irigasi di Kecamatan Trucuk yaitu semi teknis, pada musim tanam
ketiga petani menanam palawija atau bukan padi karena kesulitan air. Tanaman
bukan padi yang biasa ditanam adalah tembakau, jagung, dan kacang kedelai.
Sistem tanam di Kecamatan Trucuk berlangsung serempak (Gambar 6a). Varietas
padi yang banyak ditanam di Kecamatan Trucuk adalah IR 64 (43.4%). Namun
petani lainnya ada juga yang menanam varietas lain seperti Way Apo Buru, Sri
Madim, Inpari 13, Situ Bagendit, Mekongga, Mentik wangi, dan Ciherang. Jarak
tanam yang digunakan 20×20 cm. Panggunaan pupuk kimia kurang dari
100kg/patok, sedangkan untuk penggunaan pupuk organik dari kotoran hewan
lebih banyak, dibandingkan dengan petani

di daerah Cawas dan Juwiring.

Pengendalian OPT tidak hanya dengan pestisida kimia tetapi juga dengan
menggunakan pestisida nabati yang dibuat bersama oleh kelompok tani.

15
 

b

a

c

Gambar 6 Sistem tanam serempak (a), ketersediaan air musim tanam ketiga (b)
menjadikan pola tanam padi-padi-palawija di Kecamatan Trucuk (c)

Kelompok Telur S. incertulas
Jumlah kelompok telur yang ditemukan di setiap kecamatan pada tiap kali
pengamatan selalu berbeda. Kelompok telur yang menempel di daun diambil
beserta helai daun sepanjang 3 cm, karena apabila tidak diambil dengan daunnya
maka kelompok telur menjadi hancur dan rusak. Ukuran kelompok telur
bervariasi mulai dari 0.3-1.0 cm (Gambar 7b).

a

b

Gambar 7 Kelompok telur diamati di bawah mikroskop (a) dan variasi ukuran
kelompok telur (b)

Berdasarkan Tabel 1, jumlah kelompok telur terbanyak ditemukan di
Kecamatan Juwiring, hal ini karena Kecamatan Juwiring merupakan lahan

16
 

Tabel 1 Jumlah kelompok telur di 3 kecamatan
Lokasi
Kec. Juwiring
Kec. Cawas
Kec. Trucuk
a

1
73.67 ± 2.08 a
10.00 ± 15.62 a
33.67 ± 32.08 ab

Pengamatan ke-a
2
3
66.67 ± 6.66 a
38.00 ± 33.81 a
0.67 ± 1.15 b
0.00 ± 0.00 a
2.67 ± 10.88 a
3.00 ± 5.20 a

4
7.67 ± 2.08 a
0.00 ± 0.00 c
4.67 ± 2.52 b

5
60.00 ± 20.22 a
0.00 ± 0.00 b
0.67 ± 0.58 b

Rata-rata
63.00
2.13
8.93

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji duncan pada taraf 5%

Tabel 2 Persentase larva S. incertulas yang hidup
Lokasi
Kec. Juwiring
Kec. Cawas
Kec. Trucuk
a

1
57.20 ± 6.34 a
1.04 ± 1.80 c
41.00 ± 6.20 b

2
7.12 ± 7.05 a
0.00 ± 0.00 a
0.44 ± 0.75 a

Pengamatan ke-a
3
4.11 ± 4.89 a
0.00 ± 0.00 a
13.25 ± 22.95 a

4
63.07 ± 9.69 a
0.00 ± 0.00 b
44.41 ± 16.60 a

5
18.40 ± 16.90 a
0.00 ± 0.00 b
33.30 ± 57.70 ab

Rata-rata
29.98
0.21
26.49

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji duncan pada taraf 5%

16

17
 

pertanian irigasi teknis dengan ketersediaan air mencukupi sepanjang tahun.
Petani memanfaatkan keadaan ini dengan terus menanam padi terus-menerus,
yang menyebabkan ketersediaan inang di lapang untuk S. incertulas selalu ada.
Padi yang ditanam dua kali setahun mengakibatkan serangga inang cenderung
mampu mempertahankan populasinya dari satu musim tanam ke musim tanam
berikutnya (Hamid et al. 2003).
Kelompok

telur

lebih

banyak

ditemukan

pada

tanaman

muda,

dibandingkan dengan tanaman tua, karena unsur nitrogen (N) lebih banyak pada
tanaman muda dibandingkan dengan tanaman tua, pendapat ini didukung oleh
Yani (1985) yang mengemukakan bahwa kekurangan N biasanya menyebabkan
pertumbuhan tanaman tertekan dan menimbulkan gejala klorosis yang mula-mula
timbul pada daun tua sedangkan daun muda tetap berwarna hijau. Petani di
Kecamatan Juwiring biasa memberi pupuk pada saat awal penanaman. Pupuk N
yang tinggi dapat membuat tanaman menjadi sukulen. Jika tanaman mengandung
unsur N banyak maka tanaman lebih lunak sehingga lebih mudah diserang oleh
larva S. incertulas. Menurut Bernays (1990), aplikasi pupuk N yang tinggi tidak
akan berdampak pada biologi serangga tetapi akan merubah morfologi, biokimia,
dan fisiologi dari tanaman inang.

a

Gambar 8

b

Kelompok telur ditemukan pada tanaman umur 2 MST (a), dan
tanaman umur 5 MST (b)

18
 

Kelompok telur pada tanaman muda biasanya ditemukan di atas
permukaan daun dan agak mendekati ujung daun (Gambar 8a), namun pada
tanaman tua biasanya ditemukan di bawah permukaan daun dan jauh dari ujung
daun (Gambar 8b). Jumlah kelompok telur di Kecamatan Trucuk dan Cawas lebih
kecil dari jumlah kelompok telur yang ditemukan di Kecamatan Juwiring, hal ini
karena pada musim tanam ketiga air sedikit di Kecamatan Trucuk dan Cawas
sehingga petani mengganti tanamannya dengan tanaman selain padi yang dapat
menyebabkan siklus hama terputus sehingga keberadaan kelompok telurnya di
Kecamatan Cawas dan Trucuk tidak sebanyak di Kecamatan Juwiring.

Larva Hidup
Kelompok telur yang dipelihara dalam gelas plastik membutuhkan waktu
sampai dengan 1 minggu untuk menetas (karena tidak semua kelompok telur
memiliki umur yang sama), pendapat ini didukung oleh Soehardjan (1976) yang
mengemukakan bahwa stadia telur bervariasi antara 6 sampai 9 hari. Dari
kelompok telur yang menetas dapat keluar larva S. incertulas, parasitoid, ataupun
larva S. incertulas dan parasitoid. Larva yang keluar dihitung jumlahnya dengan
menggunakan counter.
Berdasarkan Tabel 2, persentase larva hidup tertinggi terdapat pada
Kecamatan Juwiring. Hal ini membuktikan bahwa S. incertulas telah beradaptasi
dengan baik terhadap lingkungannya, sehingga untuk S. incertulas pada
Kecamatan Juwiring memiliki kemampuan bertahan hidup yang lebih baik
dibandingkan S. incertulas di Kecamatan Cawas dan Trucuk. Kondisi ini
didukung dengan adanya ketersediaan tanaman inang yang tidak pernah terputus,
penggunaan insektisida yang kurang bijaksana (tidak memenuhi 5T) serta
pemupukan yang berlebihan. Semakin banyak larva yang hidup maka semakin
banyak populasi serangga ini pada generasi selanjutnya.

Kegagalan Menetas
Tidak semua telur S. incertulas memiliki kemampuan menetas yang sama.
Oleh karena itu dilakukan pembedahan pada telur untuk mengetahui jumlah telur
yang tidak menetas (Gambar 9).

19
 

a

b

Gambar 9 Pembedahan telur yang berisi larva mati (a) dan parasitoid mati (b)

Berdasarkan Tabel 3, persentase kegagalan menetas pada 3 kecamatan
tidak berbeda nyata. Telur yang menetas dapat keluar sebagai larva S. incertulas
atau jika telur terparasit akan keluar sebagai parasitoid, sedangkan telur yang tidak
menetas dapat disebabkan oleh infeksi patogen sehingga larva mati sebelum
keluar dari telur, atau embrio telur tidak berkembang. Menurut Yunus (2012) di
lapang sering terjadi kerusakan kelompok telur karena pengaruh faktor luar,
penyebabnya adalah air pengairan sebagai akibat curah hujan yang tinggi.

Parasitisasi
Tingkat parasitisasi parasitoid ditentukan oleh keberadaan inang.
Berdasarkan Tabel 4 persentase parasitisasi tertinggi terdapat pada Kecamatan
Juwiring diikuti oleh Kecamatan Trucuk dan Cawas. Keberadaan telur di
Kecamatan Juwiring selalu ada sehingga dapat menjadi inang untuk parasitoid
telur S. incertulas. Berbeda dengan Kecamatan Cawas dan Trucuk yang memiliki
pertanaman padi serempak dan setiap musim tanam ketiga tanaman dirotasi
dengan tanaman selain padi seperti kedelai, jagung, tembakau, dan lainnya. Hal
ini

mengakibatkan

terputusnya

persediaan

tanaman

inang

bagi

PBPK

20
 

Tabel 3 Persentase telur gagal menetas
Lokasi
Kec. Juwiring
Kec. Cawas
Kec. Trucuk
a

1
6.30 ± 1.04 a
26.82 ± 23.34 a
12.27 ± 3.86 a

Pengamatan ke-a
2
3
8.61 ± 3.88 a 13.59 ± 2.53 a
17.17 ± 29.74 a
0.00 ± 0.00 a
8.99 ± 10.88 a
9.27 ± 16.60 a

4
4.97 ± 0.44 a
0.00 ± 0.00 a
7.40 ± 10.30 a

5
4.32 ± 2.22 a
0.00 ± 0.00 a
3.64 ± 6.30 a

Rata-rata
7.56
8.80
8.31

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji duncan pada taraf 5%

Tabel 4 Persentase parasitisasi
Lokasi
Kec. Juwiring
Kec. Cawas
Kec. Trucuk
a

1
36.40 ± 6.72 a
65.11 ± 56.43 a
46.73 ± 5.56 a

2
84.27 ± 8.50 a
16.16 ± 27.99 a
57.24 ± 50.06 a

Pengamatan ke-a
3
4
82.30 ± 7.19 a
31.96 ± 9.32 a
0.00 ± 0.00 b
0.00 ± 0.00 b
10.81 ± 18.72 b
48.19 ± 11.90 a

5
77.30 ± 17.10 a
0.00 ± 0.00 b
29.70 ± 51.40 ab

Rata-rata
62.45
16.25
38.53

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji duncan pada taraf 5%

20

21
 

sehingga jumlah serangga ini tidak semakin tinggi pada musim tanam selanjutnya.
Keberadaan telur S. incertulas yang sedikit menyebabkan keberadaan parasitoid
sedikit. Fluktuasi kelimpahan individu yang muncul sangat bergantung pada pola
kelimpahan kelompok telur S. incertulas (Yunus 2012).
Identifikasi parasitoid yang keluar dari kelompok telur dilakukan dengan
menggunakan buku kunci identifikasi Taxonomy of rice insect pests and their
arthopod parasites and predators, oleh Alberto T Barrion dan James A Litsinger.

b

a

d

c

e

Gambar 10 Parasitoid telur PBPK di 3 kecamatan Tetrastichus schoenobii (a)
Telenomus rowani
(b), Trichogramma japonicum (c), dan
Telenomus sp. (d), serta hiperparasitoid Trichomalopsis sp.

Identifikasi dilakukan berdasarkan pengamatan karakter morfologi pada
tubuh serangga. Parasitoid yang ditemukan pada Kecamatan Juwiring, Cawas, dan
Trucuk adalah Tetrastichus schoenobii Ferriere (Hymenoptera: Eulophidae),
Telenomus rowani Gahan (Hymenoptera: Scelionidae), Telenomus sp., dan
Trichogramma japonicum Ashmead (Hymenoptera: Trichogrammatidae). Hasil
ini tidak sesuai dengan pernyataan Yunus (2012), ditemukan 3 jenis parasitoid
telur yaitu Tetrastichus schoenobii, Telenomus, rowani, dan Trichogramma
japonicum. Hal ini terjadi mungkin karena perbedaan tempat dan waktu penelitian
yang digunakan, sehingga memungkinkan keanekaragaman yang berbeda pada

22
 

tempat yang berbeda. Ketiga parasitoid ini diketahui juga menyerang kelompok
telur penggerek batang padi putih (PBPP) saat terjadi ledakan di Karawang pada
awal 1990-an (Rauf 2000). Hiperparasitoid yang ditemukan di Kecamatan
Juwiring yaitu Trichomalopsis sp. (Gambar 10e), namun diduga spesies ini
merupakan

Trichomalopsis

apanteloctena

Crawford

(Hymenoptera:

Pteromalidae), pendapat ini didukung oleh Yunus (2012) yang juga menemukan
spesies ini saat kelimpahan parasitoid tinggi.
Berdasarkan buku identifikasi Taxonomy of Rice Insect Pests and Their
Arthropod Parasites and Predators, ciri morfologi parasitoid telur Tetrastichus
schoenobii yaitu tubuh berwarna biru metalik atau berkilau hijau, antena cokelat
kecuali skapus berwarna kuning dengan sensor cokelat pada jantan, tungkai
berwarna kuning, toraks halus dan berkilau, abdomen betina berelongasi, dan
abdomen jantan berbentuk agak oval (Gambar 10a). Ciri morfologi Telenomus
rowani yaitu metasoma panjang dan licin, antena jantan berwarna kuning, antena
jantan berbentuk moniliform atau seperti manik-manik, sedangkan bentuk antena
betina menggada ke bagian ujung, dan panjang skapus betina 4.9 kali lebarnya
(Gambar 10b). Ciri morfologi Trichogramma japonicum yaitu bentuk ovipositor
lebih ramping daripada tibia ketiga, antena jantan memiliki rambut panjang,
genitalia jantan agak oval berelongansi (Gambar 10c).
Jumlah kelompok telur di Kecamatan Juwiring setiap minggunya tidak
jauh berbeda, namun pada pengamatan ketiga jumlahnya sangat menurun, hal ini
terjadi karena pada pengamatan ketiga, hamparan lebih banyak terdapat patok
yang berisi tanaman berumur tua dan patok kosong. Kelompok telur di Kecamatan
Juwiring dapat ditemukan dari pengamatan pertama hingga pengamatan kelima,
sehingga pengamatan parasitoid dapat dilakukan dari pengamatan pertama hingga
pengamatan kelima.
Gambar 11 menunjukkan bahwa keanekaragaman parasitoid pada
Kecamatan Juwiring tinggi. Parasitoid yang terdapat pada kecamatan Juwiring
yaitu T. schoenobii, T. rowani, dan T. japonicum, Telenomus sp., serta ditemukan
1 hiperparasitoid Trichomalopsis sp. Parasitisasi didominasi oleh T. schoenobii.
Kecamatan Juwiring merupakan daerah tertinggi terjadinya parasitisasi karena
terdapat jumlah kelompok telur yang lebih banyak dibandingkan dengan

23
 

Kecamatan Cawas dan Trucuk. Keanekaragaman serangga baik parasitoid
maupun inang yang tinggi mungkin disebabkan oleh jumlah pengambilan contoh
yang lebih banyak (Hamid et al. 2003). Jumlah kelompok telur dipengaruhi oleh
jumlah inang. Di Kecamatan Juwiring berlangsung sistem tanam tidak serempak
dengan pola tanam padi-padi-padi sehingga ketersediaan inang selalu ada.
Penanaman padi terus menerus dan tumpang tindih mendorong meningkatnya
populasi wereng coklat (Sosromarsono dan Soemawinata 1986).

Jumlah kelompok telur dan
parasitoid

2500
Kelompok Telur PBPK
Tetrastichus schoenobii
Telenomus rowani
Trichogramma japonicum
Telenomus sp.
Trichomalopsis sp.

2000
1500
1000
500
0
1

2
3
4
Pengamatan ke-

5

Gambar 11 Fluktuasi jumlah kelompok telur dan parasitoid telur di Kecamatan
Juwiring

Jumlah parasitoid yang tinggi menyebabkan munculnya hiperparasitoid.
Hiperparasitoid yang ditemukan di Kecamatan Juwiring yaitu Trichomalopsis sp.,
namun diduga spesies ini merupakan Trichomalopsis apanteloctena. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Yunus (2012) pada saat kemelimpahan parasitoid tinggi
akan muncul satu spesies hiperparasitoid yaitu Trichomalopsis apanteloctena.
Menurut Nakamatsu dan Tanaka (2004) hiperparasitoid Trichomalopsis
apanteloctena merupakan suatu idiobion ektoparasitoid pada prapupa atau pupa
parasitoid Cotesia kariyai (Nakamatsu dan Tanaka 2004).
Jumlah kelompok telur S. incertulas pada Kecamatan Cawas sangat rendah
sehingga keragaman jenis parasitoid rendah pula. Gambar 12 menunjukkan bahwa

24
 

kelompok telur hanya ditemukan pada pengamatan pertama dan kedua. Pada
pengamatan ke 3, 4, dan 5 tidak ditemukan kelompok telur, sehingga tidak dapat
dilakukan pengamatan parasitoid untuk pengambilan ke 3, 4, dan 5. Hal ini
menunjukkan bahwa S. incertulas lebih menyukai tanaman pada masa awal
tanam, sedangkan pada pengamatan selanjutnya tidak lagi ditemukan kelompok
telur. Parasitoid telur yang ditemukan pada Kecamatan Cawas hanya 2 jenis yaitu

Jumlah kelompok telur dan
parasitoid

T. schoenobii dan T. rowani

250

Kelompok telur PBPK
Tetrastichus schoenobii
Telenomus rowani
Trichogramma japonicum
Telenomus sp.
Trichomalopsis sp.

200
150
100
50
0
1

2
3
4
Pengamatan ke-

5

Gambar 12 Fluktuasi jumlah kelompok telur dan parasitoid telur di Kecamatan
Cawas

Ketersediaan air yang sedikit pada musim tanam ketiga di Kecamatan
Cawas membuat petani daerah ini menanam tanaman selain padi. Pada musim
tanam ketiga petani menanam tanaman selain padi seperti kedelai, jagung,
tembakau, dan lainnya. Rotasi tanaman seperti ini dapat memutus siklus hidup
serangga S. incertulas karena ketersediaan inang bagi serangga ini tidak tersedia
selama 1 musim tanam. Populasi S. incertulas yang rendah menyebabkan jumlah
kelompok telur rendah sehingga munculnya jumlah dan keragaman parasitoid
menjadi rendah.
Gambar 13 menunjukkan bahwa kelompok telur di Kecamatan Trucuk
lebih banyak ditemukan di pengamatan 1 dibandingkan dengan pengamatan

25
 

selanjutnya, karena pada saat pengamatan 1 tanaman masih berumur sangat muda
yang sebagian besar tanaman baru saja dipindah tanam. Namun kelompok telur
masih dapat ditemukan sampai pengamatan kelima, sehingga pengamatan
parasitoid dapat dilakukan hingga pengambilan sampel kelima.
Parasitoid yang ditemukan di Kecamatan Trucuk lebih beraga