Perkembangan Parasitoid Telur Penggerek Batang Padi Kuning Scirpophaga incertulas Walker (Lepidoptera: Pyralidae) pada Pertanaman Padi Organik dan Konvensional di Ngawi, Jawa Timur
PERKEMBANGAN PARASITOID TELUR PENGGEREK
BATANG PADI KUNING Scirpophaga incertulas Walker
(LEPIDOPTERA: PYRALIDAE) PADA PERTANAMANAN
PADI ORGANIK DAN KONVENSIONAL
DI NGAWI, JAWA TIMUR
KHOIR SAMSI
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perkembangan
Parasitoid Telur Penggerek Batang Padi Kuning Scirpophaga incertulas Walker
(Lepidoptera: Pyralidae) pada Pertanaman Padi Organik dan Konvensional di
Ngawi Jawa Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2014
Khoir Samsi
A34100104
ABSTRAK
KHOIR SAMSI. Perkembangan Parasitoid Telur Penggerek Batang Padi Kuning
Scirpophaga incertulas Walker (Lepidoptera: Pyralidae) pada Pertanaman Padi
Organik dan Konvensional di Ngawi, Jawa Timur. Dibimbing oleh HERMANU
TRIWIDODO.
Penggerek batang padi kuning (PBPK) Scirpophaga incertulas (Walker)
(Lepidoptera: Pyralidae) merupakan hama utama tanaman padi. Parasitoid telur
sangat berpotensi dalam mengendalikan populasi PBPK. Kepadatan populasi
parasitoid antara lahan dengan sistem budidaya organik berbeda dengan sistem
konvensional. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kelimpahan
populasi parasitoid telur PBPK. Penelitian ini menggunakan dua metode dalam
mengumpulkan kelompok telur PBPK. Metode pertama yaitu metode U dan
metode kedua yaitu dengan membagi petak pengamatan menjadi 5 plot. Jumlah
kelompok telur yang diperoleh antara lahan organik dan konvensional tidak
berbeda nyata. Jumlah parasitoid telur PBPK pada lahan organik lebih banyak,
dibandingkan lahan konvensional tetapi persentase parasitisasinya tidak berbeda
nyata. Parasitoid yang ditemukan pada pengamatan, yaitu Trichogramma
japonicum, Telenomus rowanii dan Tetrastichus schoenobii. Parasitoid T. rowani
merupakan parasitoid yang dominan ditemukan pada minggu ke-8 dan 10 MST.
T. schoenobii merupakan parasitoid yang dominan ditemukan dominan pada
minggu ke-12 MST. Tingkat parasitisasi tertinggi seluruh parasitoid pada minggu
ke-8 dan ke-10 MST masing-masing 70,74% dan 64,02% pada lahan sistem
organik serta 66,48% dan 53,8% pada lahan sistem konvensional.
Kata kunci : Scirpophaga incertulas, parasitoid telur, padi organik, lahan sistem
konvensional, lahan sistem organik
ABSTRACT
KHOIR SAMSI. The Development of Egg Parasitoid of Yellow Rice Stem Borer,
Scirpophaga incertulas Walker (Lepidoptera: Pyralidae) in Conventional and
Organic Rice in Ngawi, East Java. Under supervision of HERMANU
TRIWIDODO
Yellow rice stem borer (YRSB) Scirpophaga incertulas (Walker)
(Lepidoptera: Pyralidae) is a major pest of rice plants. Egg parasitoid had a good
potential to control YRSB’s population. Parasitoid population density between the
field with organic farming systems was different from conventional systems. This
study was aimed to compare the YRSB egg parasitoid population density. This
study used two methods to collect the eggs YRSB group. The first method was the
U method and the second method was 5 plots method. The number of eggs’s
group which obtained between organic and conventional fields system were not
significantly different. The quantity of YRSB egg parasitoid on organic field
system was higher than conventional field system, but the parasitization rate was
not significantly different. The Parasitoids which found were Trichogramma
japonicum, Telenomus rowani and Tetrastichus schoenobii. T. rowani was
dominant parasitoid which found at 8 and 10 weeks after transplanting (WAT). T.
schoenobii was dominant parasitoid which found at 12 WAT. The highest level of
parasitization whole parasitoid at 8 and 10 WAT. Were 70.74% and 64.02% on an
organic system, but on conventional system were 66.48% and 53.8%,
respectively.
Keywords : Scirpophaga incertulas, egg parasitoid, organic rice, organic land,
conventional land
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PERKEMBANGAN PARASITOID TELUR PENGGEREK
BATANG PADI KUNING Scirpophaga incertulas Walker
(LEPIDOPTERA: PYRALIDAE) PADA PERTANAMAN PADI
ORGANIK DAN KONVENSIONAL DI NGAWI, JAWA TIMUR
KHOIR SAMSI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Proteksi Tanaman
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Perkembangan Parasitoid Telur Penggerek Batang Padi Kuning
Scirpophaga incertulas Walker (Lepidoptera: Pyralidae) pada
Pertanaman Padi Organik dan Konvensional di Ngawi, Jawa
Timur
Nama
: Khoir Samsi
NIM
: A34100104
Disetujui oleh
Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, M.Sc.
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, MSi.
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan tugas akhir yang berjudul
“Perkembangan Parasitoid Telur Penggerek Batang Padi Kuning Scirpophaga
incertulas Walker (Lepidoptera: Pyralidae) pada Pertanaman Padi Organik dan
Konvensional di Ngawi Jawa Timur”. Penelitian dilaksanakan dari Desember
2013 sampai Maret 2014.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada
1. Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, M.Sc. selaku dosen pembimbing tugas akhir yang
senantiasa memberikan bimbingan, masukan, pengetahuan, saran dan arahan
kepada penulis.
2. Dr. Ir. Widodo, MS. selaku dosen pembimbing akademik dan dosen penguji
tamu yang telah memberikan masukan kepada penulis.
3. Kastam, SP. dan keluarga besar Komunitas Ngawi Organik Center (KNOC)
yang telah banyak membantu demi berjalannya penelitian ini
4. Aldila Rachmawati, SP., Damayanti, SP. M.Si., Aan Rizka Pajarina, dan Retno
Anggraeni yang telah banyak membantu dalam penulisan tugas akhir
5. Bapak, ibu, kakak, adik, serta seluruh keluarga, atas doa dan kasih sayang.
6. Teman-teman Departemen Proteksi Tanaman angkatan 47 yang telah
mendukung terlaksananya laporan tugas akhir penulis. Serta pihak lain yang
turut membantu dalam penyusunan laporan tugas akhir ini.
7. PEMDA LAHAT yang telah memberikan dukungan dana selama perkuliahan
melalui Beasiswa Utusan Daerah (BUD).
Semoga laporan tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.
Bogor, Juli 2014
Khoir Samsi
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Pengambilan Sampel Kelompok Telur
Pemeliharaan Kelompok Telur
Penghitungan Kelompok Telur dan Parasitisasi Parasitoid
Identifikasi Parasitoid
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lokasi Pengamatan
Sistem Budidaya
Penggerek Batang Padi Kuning Scirpophaga incertulas
Kemunculan Larva dan Parasitoid
Kelompok Telur
Kegagalan Menetas
Parasitoid telur PBPK
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
ix
ix
xi
1
1
2
2
3
3
3
3
4
4
4
5
5
5
7
7
9
10
11
16
16
16
17
19
23
viii
DAFTAR TABEL
1 Jumlah rata-rata anakan padi sistem budidaya organik dan konvensional di
Desa Guyung, Kecamatan Gerih, Kabupaten Ngawi
6
2 Komponen biaya pengeluaran dan keuntungan usaha tani budidaya organik
dan konvensional per hektar di Desa Guyung, Kecamatan Gerih, Kabupaten
Ngawi (Sumber : KNOC)
7
3 Jumlah kelompok telur PBPK yang ditemukan di lahan organik
dan konvensional di Desa Guyung, Kecamatan Gerih, Kabupaten Ngawi 10
4 Jumlah larva yang menetas dari kelompok telur PBPK di Desa Guyung,
Kecamatan Gerih, Kabupaten Ngawi
10
5 Total parasitoid yang keluar dari kelompok telur PBPK
12
6 Total Telenomus rowani yang keluar dari kelompok telur PBPK
12
7 Total Tetrastichus schoenobii yang keluar dari kelompok telur PBPK
12
8 Rata-rata persentase parasitisasi parasitoid telur PBPK
12
DAFTAR GAMBAR
1 Metode pengambilan sampel kelompok telur PBPK, metode U (a)
dan metode sampling (b)
2 Contoh wadah pemeliharaan kelompok telur PBPK
3 Sarana budidaya, sistem irigasi (a) kolam penetralan
lahan sistem organik (b)
4 Waktu kelompok telur untuk menetas pada lahan konvensional (a)
dan lahan organik (b)
5 Kelompok telur PBPK
6 Kelompok telur PBPK yang sudah di bedah (a) dan parasitoid telur
PBPK yang gagal menetas (b)
7 Parasitoid telur PBPK di lahan organik dan konvensional
Trichogramma japonicum (Rachmawati 2012) (a)
Telenomus rowani (b) Tetrastichus schoenobii (c)
8 Fluktuasi jumlah rata-rata Telenomus rowani yang keluar dari
kelompok telur PBPK
9 Fluktuasi jumlah rata-rata Tetrastichus schoenobii yang keluar dari
kelompok telur PBPK
3
4
6
8
9
10
11
13
14
ix
DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil analisis ragam jumlah kelompok telur di lahan sistem organik dan
konvensional
20
2 Hasil analisis ragam jumlah total parasitoid di lahan sistem organik dan
konvensional
20
3 Hasil analisis ragam persentase parasitisasi parasitoid telur PBPK pada lahan
sistem organik dan konvensional
20
4 Hasil analisis ragam jumlah Tetrastichus schoenobii yang ditemukan di lahan
sistem organik dan konvensional
21
5 Hasil analisis ragam jumlah larva PBPK yang ditemukan di lahan sistem
organik dan konvensional
21
13
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanaman padi (Oryza sativa L.) merupakan tanaman pangan sebagai sumber
energi yang umumnya dikonsumsi masyarakat Indonesia. Hampir separuh
penduduk dunia, terutama di Asia menggantungkan hidupnya dari tanaman padi.
Begitu pentingnya komoditas padi sehingga kegagalan panen dapat
mengakibatkan gejolak sosial yang luas. Upaya peningkatan produksi tanaman
pangan dihadapkan pada berbagai kendala dan masalah (Supartha 2012). Salah
satu kendala dalam upaya peningkatan produksi padi adalah serangan organisme
pengganggu tanaman (OPT).
Penggerek batang padi kuning (PBPK) Scirpophaga incertulas
(Lepidoptera: Pyralidae) merupakan hama penting pada tanaman padi yang dapat
menimbulkan kerugian tinggi. Latif (2012) menyatakan bahwa di Jombang lahan
sawah dengan luas 5 000 m2 normalnya menghasilkan 2.5 ton akibat serangan
PBPK hanya menghasilkan 1.7 ton. PBPK dapat menyerang tanaman padi pada
fase vegetatif dan fase generatif. Menurut Yunus (2012) kerugian hasil yang
ditimbulkan oleh sundep (serangan pada fase vegetatif) lebih rendah dibandingkan
kerugian hasil oleh serangan beluk (serangan pada fase generatif), hal ini
disebabkan karena kerusakan padi pada stadia vegetatif masih dapat dikompensasi
dengan membentuk anakan baru. Dalam ekosistem sawah beririgasi, serangan
sundep sebesar 1% menyebabkan kehilangan hasil 12 kg/ha, sedangkan serangan
beluk 1% menyebabkan kehilangan hasil 183 kg/ha (Muralidharan 2006 dalam
Yunus 2012). Menurut Misnaheti et al. (2010) pada musim hujan pada tahun
2003-2008 di timur Sulawesi Selatan luas serangan PBPK tertinggi pada tahun
2005 mencapai 11 000 ha dan 2007 mencapai 9 000 ha. Sementara sebelum tahun
tersebut luas serangan bevariasi antara 1 000-3 000 ha. Luas serangan PBPK yang
tinggi pada musim hujan selalu didahului oleh luas serangan yang tinggi di dalam
musim kemarau. Musim kemarau luas serangan PBPK bervariasi dari 600-2 000
ha antara tahun 2002-2007.
Tindakan yang biasa dilakukan petani untuk mengendalikan PBPK adalah
dengan menggunakan pestisida kimia. Penggunaan pestisida kimia di tingkat
petani sampai saat ini masih sangat tinggi. Aplikasi pestisida dilakukan terjadwal
tanpa memperhatikan dosis yang direkomendasikan. Pengendalian PBPK di
Provinsi Jambi masih bertumpu pada penggunaan pestisida kimia. Cara ini tidak
efektif, terbukti dengan meningkatnya serangan dan kerugian akibat hama PBPK
dari tahun ke tahun. Di samping itu, penggunaan insektisida juga dapat
menimbulkan berbagai dampak negatif terhadap konsumen dan lingkungan, serta
dapat menimbulkan resistensi dan resurgensi hama (Wilyus et al. 2006).
Untuk mengatasi banyaknya dampak negatif akibat pemakaian pestisida
kimia yang berlebihan diperlukan metode pengendalian yang ramah lingkungan.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah pengendalian OPT berdasarkan
konsep pengendalian hama terpadu (PHT) yang lebih menekankan terhadap
pemanfaatan musuh alami sebagai agen biokontrol hama di lapang. Menurut
Santoso dan Sulistyo (2007) pengendalian hayati selama ini lebih memanfaatkan
2
peran predator, parasitoid dan patogen. Pengendalian hayati menggunakan
parasitoid telur sangat baik karena dapat mencegah hama berkembang menjadi
larva (stadia yang merusak tanaman), aman bagi manusia, hewan dan lingkungan,
tidak menimbulkan resistensi dan resurgensi hama, organisme yang digunakan
dapat mencari dan menemukan inangnya, dapat berkembang biak dan menyebar,
serta pengendalian dapat berjalan dengan sendirinya (Wilyus et al. 2006).
Parasitoid dapat memarasit telur, larva dan pupa. Parasitoid larva dan pupa
tidak banyak diketahui dan umumnya tidak efektif karena mengendalikan pada
stadia yang sudah menimbulkan kerusakan. Parasitoid telur paling banyak
dikembangkan untuk mengendalikan serangga-serangga Ordo Lepidoptera. Hal
ini disebabkan karena parasitoid telur mampu mengendalikan hama sebelum
merusak tanaman (Suharto & Usyati 2009). Menurut Van Der Goot 1925 dalam
Rauf (2000) parasitoid telur PBPK yang banyak ditemukan di lapang dan
mempunyai peranan penting adalah Trichogramma japonicum Ashmead
(Hymenoptera: Trichograrnrnatidae), Telenomus rowani Gahan (Hymenoptera:
Scelionidae), dan Tetrastichus schoenobii Ferriere (Hymenoptera: Eulophidae). T.
schoenobi, T. rowani, dan T. japonicum mempunyai potensi dan sangat efektif
dalam menurunkan populasi penggerek batang padi (S. incertulas). Kemampuan
ketiga parasitoid tersebut dalam memarasit telur penggerek batang padi sangat
bervariasi tergantung dari tempat dan lingkungan yang mendukungnya untuk
berkembang.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan kelimpahan populasi
parasitoid telur penggerek batang padi kuning pada pertanaman padi konvensional
dan organik di kabupaten Ngawi, Jawa Timur.
Manfaat Penelitian
Sebagai informasi mengenai kelimpahan parasitoid telur pada pertanaman
padi organik dan konvensional sebagai dasar pertimbangan untuk petani dalam
memilih sistem budidaya
13
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di lahan padi petani organik yang tergabung dalam
Komunitas Ngawi Organik Center (KNOC) dan lahan petani padi konvensional
Desa Guyung, Kecamatan Gerih, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Penelitian ini
dilakukan mulai dari bulan Desember 2013-Maret 2014.
Pengambilan Sampel Kelompok Telur PBPK
Pengambilan sampel kelompok telur dilakukan di 3 petak pertanaman padi
organik dan 3 petak pertanaman padi konvensional. Kelompok telur dikumpulkan
menggunakan dua metode. Metode yang pertama menggunakan metode U,
pengambilan kelompok telur dilakukan dengan berjalan di dalam petak mengikuti
tanaman padi membentuk huruf U dengan mengamati setiap jarak 5 rumpun
tanaman padi (Gambar 1a). Metode yang kedua yaitu metode sampling dengan
membagi setiap petak pengamatan menjadi lima titik yang mewakili seluruh petak
pengamatan (Gambar 1b). Setiap titik pengamatan terdiri dari empat rumpun.
Pengambilan kelompok telur dilakukan 2 minggu sekali.
(a)
(b)
Gambar 1 Metode pengambilan kelompok telur PBPK, metode U (a) dan metode
sampling (b)
Pemeliharaan Kelompok Telur
Sampel kelompok telur yang diperoleh dari lapang dimasukkan ke dalam
wadah sementara yang berupa kantong plastik. Setelah itu dimasukkan dalam
wadah pemeliharaan yang berupa gelas plastik untuk diamati (Gambar 2).
Pemberian kapas basah pada ujung daun padi yang terdapat kelompok telur
dimaksudkan untuk menjaga kelembaban sementara pada wadah. Di dalam wadah
plastik kelompok telur beserta daun padinya ditempelkan ke dinding gelas plastik
agar menyerupai kondisi di lapang dan menghindari dari benturan berlebihan yang
dapat menyebabkan telur gagal menetas. Pada lubang bagian atas wadah ditutup
menggunakan isolasi untuk menjaga agar parasitoid tidak terbang ke luar
kemudian dibuatkan lubang baru menggunakan jarum untuk pertukaran udara.
4
Gambar 2 Contoh wadah pemeliharaan kelompok telur PBPK
Penghitungan Kelompok Telur dan Parasitisasi Parasitoid
Kelompok telur yang diperoleh dari lahan dihitung jumlahnya dan
dipindahkan ke wadah pemeliharan untuk disimpan sampai menetas. Setelah
kelompok telur menetas dilakukan penghitungan terhadap jumlah larva dan
parasitoid hidup yang keluar kemudian dilakukan pembedahan untuk melihat
apakah ada telur yang gagal menetas. Setelah itu dihitung tingkat parasitisasinya
menggunakan rumus
Identifikasi Parasitoid
Setiap parasitoid yang keluar dari telur diidentifikasi dengan menggunakan
bantuan mikroskop stereo dan kunci identifikasi Taxonomy of Rice Insect Pests
and Their Arthropod Parasites and Predators, oleh Alberto T Barrion dan James
A. Litsinger. Proses identifikasi dilakukan berdasarkan pengamatan karakter
morfologi tubuh parasitoid.
Analisis Data
Pengolahan data dilakukan untuk melihat perbedaan kemunculan larva dan
parasitoid, jumlah kelompok telur, dan persentase parasitisasi. Data hasil
perhitungan kemudian dilanjutkan dengan uji selang berganda duncan pada taraf
nyata 5%. Menggunakan program Statistical Analysis System (SAS) versi 9.1
portable for windows.
5
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lokasi Pengamatan
Desa Guyung terletak di Kecamatan Gerih Kabupaten Ngawi, Jawa Timur.
Desa Guyung berbatasan dengan Desa Kidung Putri Kecamatan Paron di sebelah
barat, sebelah utara berbatasan dengan Desa Tepas Kecamatan Geneng, sebelah
timur berbatasan dengan Desa Tambakromo Kecamatan Geneng, sebelah selatan
berbatasan dengan Desa Gerih kecamatan Gerih. Luas Desa Guyung adalah 739
153 ha. Potensi pertanian utama Desa Guyung adalah padi. Luas lahan sawah di
Desa Guyung 137 517 ha atau 19% dari total luas desa. Hampir sebagian besar
penduduk Desa Guyung menggantungkan hidupnya dengan bertanam padi,
sehingga Kabupaten Ngawi merupakan salah satu sentra dan lumbung padi di
Provinsi Jawa Timur.
Sistem Budidaya
Sistem pertanian padi di Desa Guyung menerapkan dua sistem budidaya,
yaitu sistem budidaya organik dan sistem budidaya konvensional. Sistem
budidaya padi organik yang dilakukan petani disini adalah dengan memanfaatkan
limbah tanaman dan kotoran ternak sebagai kompos untuk memperbaiki
kesuburan tanah serta penggunaan mikroorganisme lokal (MOL) dan agens hayati
untuk mengatasi masalah serangan OPT. Aplikasi pupuk kompos pada
pertanaman padi organik biasanya dilakukan sebanyak tiga kali yaitu satu hari
sebelum tanam, 10 hari setelah tanam (HST) dan 20 HST. Sedangkan aplikasi
MOL dan agens hayati dilakukan sebanyak delapan kali dengan intensitas aplikasi
satu kali dalam satu minggu. jumlah pupuk kompos yang digunakan dalam satu
kali aplikasi mencapai 350-700 kg sesuai dengan luas lahan. Agens hayati yang
digunakan dalam satu kali aplikasi adalah 3-5 liter sedangkan penggunaan MOL
antara 20-30 liter. Sistem pertanaman padi konvensional merupakan budidaya
padi yang dilakukan petani, umumnya menggunakan pestisida dan pupuk kimia.
Pupuk Urea, SP 36, ZA, dan Phonska digunakan secara intensif satu musim tanam
mencapai 400 kg/ha. Untuk mengendalikan hama dan penyakit yang menyerang
tanaman padi digunakan berbagai jenis pestisida dengan bahan aktif seperti
Sipermetrin, Difenokonazol dan Fipronil. Varietas padi yang ditanam pada sistem
budidaya organik dan konvensional ini berbeda, yaitu pada lahan organik
menggunakan varietas Sintanur sedangkan lahan konvensional menggunakan
varietas Ciherang.
Lahan pertanaman sistem organik dan konvensional terletak dalam satu
hamparan yang sama dan memanfaatkan air dari sumber irigasi yang sama
(Gambar 3a). Pada pertanaman organik untuk menghindari cemaran bahan kimia,
sebelum masuk ke petak tanaman padi air irigasi terlebih dahulu dialirkan ke
kolam penampungan yang akan menetralkan bahan kimia yang terbawa air irigasi
(Gambar 3b). Untuk menghindari paparan pestisida saat aplikasi dengan
penyemprotan pada lahan dengan sistem organik dibentangkan plasti sebagai
penghalang pestisida yang terbawa angin.
6
a
b
Gambar 3 Sarana budidaya, sistem irigasi (a) kolam penetralan lahan sistem
organik (b)
Jumlah anakan padi pada sistem budidaya organik dan sistem budidaya
konvensional berbeda nyata pada 8 dan 10 MST. Jumlah anakan pada sistem
budidaya konvensional lebih banyak dibandingkan sistem budidaya organik
(Table 1). Menurut Winarso (2005) aplikasi pupuk kimia dapat meningkatkan
jumlah anakan produktif. Semakin tinggi kandungan nitrogen dan serapan N maka
jumlah anakan produktif juga semakin banyak. Varietas padi yang digunakan juga
berpengaruh terhadap jumlah anakan yang dihasilkan. Djunaedy (2009)
menyatakan bahwa jumlah anakan padi varietas Ciherang lebih banyak
dibandingkan varietas Sintanur, tetapi jumlah bulir gabah per malai varietas
Sintanur lebih banyak dibandingkan varietas Ciherang. Selain itu, jumlah bibit
dan umur bibit yang digunakan juga berpengaruh terhadap jumlah anakan.
Penelitian Wangiyana et al. (2009) menunjukkan bahwa jumlah anakan padi
terbentuk paling banyak saat umur bibit 15 hari dan semakin banyak bibit dalam
satu lubang tanam memungkinkan terjadinya pertambahan jumlah anakan.
Tabel 1 Jumlah rata-rata anakan padi sistem budidaya organik dan konvensional
di Desa Guyung, Kecamatan Gerih, Kabupaten Ngawi
Umur
Konvensional
Organik
6 MST
87.53 ± 15.76 a
76.26 ± 8.66 b
8 MST
72.66 ± 15.79 a
72.93 ± 4.75 a
10 MST
68.33 ± 11.67 a
59.86 ± 7.19 b
12 MST
58.53 ± 11.35 a
51.40 ± 8.06 a
a
angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji
duncan pada taraf 5%
Hasil panen menunjukkan bahwa produksi padi sistem organik lebih tinggi
dibandingkan dengan produksi padi sistem konvensional. Hal ini bisa disebabkan
oleh banyak faktor seperti perbedaaan varietas padi yang digunakan dan tingginya
serangan hama dan penyakit akibat tingginya pemakaian pupuk dan pestisida
kimia pada lahan sistem konvensional. Hal ini sejalan dengan keuntungan yang
diperoleh. Petani sistem organik lebih diuntungkan dibandingkan petani sistem
konvensional. Hal ini disebabkan oleh harga gabah padi organik lebih mahal
dibandingkan petani sistem konvensional. Sarana produksi pertanian untuk sistem
padi organik seperti benih, kompos, agens hayati, dan MOL diperoleh gratis dari
komunitas Ngawi orgnik center (KNOC) sedangkan petani sistem konvensional
7
harus mengeluarkan biaya yang tinggi untuk membeli pupuk dan pestisida kimia
(Tabel 2).
Tabel 2
Komponen biaya pengeluaran dan keuntungan usaha tani budidaya
organik dan konvensional per hektar di Desa Guyung, Kecamatan
Gerih, Kabupaten Ngawi (Sumber : KNOC)
Hasil panen
Perlakuan
Pengeluaran (Rp)
Pendapatan bersih (Rp)
(Kg)
Organik
4 524.10 a
2 000 000 .00 a
20 620 483.33 a
Konvensional
3 566.90 a
1 235 252.18 a
8 803 225.00 a
a
angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji
duncan pada taraf 5%
Penggerek Batang Padi Kuning Scirpophaga incertulas
Sejak tahun 1995 PBPK merupakan salah satu penggerek batang padi yang
dominan di Indonesia. Pada tahun 1995, populasinya mencapai 70% kemudian
meningkat menjadi 90% pada tahun berikutnya (Suharto dan Usyati 2009).
Ciri-ciri imago PBPK yaitu berwarna kuning dan terdapat titik hitam pada
sayap bagin depan. Panjang ngengat jantan 14 mm dan betina 17 mm. Betina
bertelur 200-300 butir secara berkelompok dan setiap kelompok terdiri atas 50150 butir telur. Saat peletakan pertama telur berwarna transparan atau tembus
cahaya kemudian warnanya menjadi lebih gelap. Telur diletakkan pada bagian
ujung daun walaupun ada juga yang diletakkan di pangkal daun di dekat batang.
Telur berbentuk oval dan dibungkus dalam kokon yang dilapisi rambut-rambut
halus. Telur menetas pada umur 4-5 hari. Larva berwarna kekuningan dengan
kepala coklat tua. Stadia larva terdiri dari 5-7 instar dan pada umumnya terdapat
enam instar. Stadia larva adalah 3-6 minggu. Pada instar terakhir larva dapat
tumbuh hingga 25 mm (Kalshoven 1981). Menurut Suharto dan Usyati (2009)
larva bersifat kanibal sehingga hanya ada seekor larva dalam tunas. Larva instar
terakhir menuju pangkal batang untuk menjadi pupa. Sebelum mejadi pupa, larva
membuat lubang keluar pada pangkal batang. Pupa berwarna kekuningan dengan
ukuran 12.55 mm. Stadium pupa 8-14 hari (Kalshoven 1981).
Gejala serangan hama PBPK dapat terjadi pada dua stadia tanaman, yaitu
pada stadia vegetatif yang disebut sundep (deadhearts) dengan gejala titik tumbuh
tanaman muda mati. Gejala serangan PBPK pada fase generatif disebut beluk
(whiteheads) yang ditunjukkan dengan malai mati dengan bulir hampa dan terlihat
berwarna putih. Gejala sundep sudah kelihatan sejak empat hari setelah larva
penggerek masuk. Larva penggerek selalu keluar masuk batang padi, sehingga
satu ekor larva sampai menjadi ngengat dapat menghabiskan 6-15 batang padi
(Baehaki 2013).
Kemunculan Larva dan Parasitoid
Waktu kelompok telur menetas setelah diambil dari lapang berbeda, antara
larva dan parasitoid waktu menetasnya juga berbeda. Biasanya larva selalu
menetas lebih dahulu daripada kemunculan parasitoid.
a
Jumlah individu yang menetas
8
500
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0
b
Jumlah individu yang menetas
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
500
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0
Larva
T. japonicum
T. rowani
T. schoenobii
1
2
3
4
5
6 7 8
Hari ke-
9 10 11 12 13
Gambar 4 Waktu kelompok telur untuk menetas pada lahan konvensional (a) dan
`
lahan organik (b)
Larva pada lahan sistem konvensional mulai menetas pada hari ke 1-8
setelah pengambilan dari lapang. Larva paling banyak muncul pada hari ke-2 dan
hari ke-4 setelah pengambilan dari lapang. Parasitoid Telenomus rowani muncul
mulai hari ke 2-9 setelah pengambilan dari lapang. T. rowani paling banyak
muncul pada hari ke-8 setelah pengambilan dari lapang. Parasitoid Tetrastichus
schoennobii mulai muncul pada hari ke 4-10 setelah pengambilan dari lapang. T.
schoenobii paling banyak muncul pada hari ke-4 dan ke-6 setelah pengambilan
dari lapang (Gambar 4a). Kemunculan larva pada lahan sistem organik mulai hari
ke 1-7 dan paling banyak muncul pada hari ke-6 setelah pengambilan dari lapang.
T. schoenobii mulai muncul pada hari ke 1-13, paling banyak muncul pada hari
ke-13 setelah pengambilan dari lapang. T. rowani mulai muncul pada hari ke 4-11
dan paling banyak muncul pada hari ke-8 setelah pengambilan dari lapang
(Gambar 4b). Perbedaan kemunculan larva dan parasitoid antar kelompok telur ini
bisa disebabkan oleh umur kelompok telur saat pengambilan di lapang yang
berbeda. Selain itu siklus hidup antara PBPK dan parasitoid juga berbeda.
Amuwitagama (2002) menyatakan bahwa stadia telur S. incertulas hingga
menetas antara 5-9 hari. Siklus hidup T. rowani antara 10-12 hari, siklus hidup T.
schoenobii antara 10-14 hari, siklus hidup Trichogramma japonicum antara 6-9
9
hari. Perbedaan umur kelompok telur dan siklus hidup inilah yang menyebabkan
kemunculannnya pun berbeda-beda (Lubis 2005).
Kelompok Telur PBPK
Kelompok telur PBPK biasanya diletakkan pada permukaan daun bagian
atas atau bawah (Gambar 5). Kelompok telur PBPK yang ditemukan di lapang
jumlahnya sedikit dan berfluktuasi antar waktu pengamatan. Pada minggu ke-6
MST, hanya ditemukan satu kelompok telur PBPK di lahan organik dan tiga
kelompok telur PBPK pada lahan konvensional. Pada minggu ke-8 MST
ditemukan 11 kelompok telur di lahan organik dan sembilan kelompok telur pada
lahan konvensional. Pada minggu ke-10 MST ditemukan 25 kelompok telur pada
lahan organik dan 21 kelompok telur pada lahan konvensional. Minggu ke-12
MST ditemukan empat kelompok telur pada lahan organik dan lima kelompok
telur pada lahan konvensional. Jumlah imago PBPK yang ditemukan di lapang
sedikit sehingga kelompok telur yang ditemukan di lapang juga sedikit. Hal ini
juga dibuktikan dengan hampir tidak ditemukannya gejala akibat serangan PBPK
pada titik pengamatan.
Gambar 5 Kelompok telur PBPK
Jumlah kelompok telur yang diperoleh pada setiap waktu pengambilan
antara perlakuan organik dan konvensional tidak berbeda nyata (Tabel 3).
Terbatasnya jumlah kelompok telur yang diperoleh dari lapang dikarenakan
jumlah populasi PBPK yang sedikit. Menurut informasi yang diperoleh dari petani
saat dilakukan wawancara, PBPK pada musim tanam musim penghujan (MP) 1
dari bulan Desember-Maret memang bukan menjadi masalah utama dan tingkat
serangannya rendah. Populasi PBPK tinggi di lapang pada musim tanam MP 2
bulan April-Agustus sehingga seringkali menimbulkan kerugian yang besar pada
petani. Hal ini sesuai dengan hasil penelitiannya Suharto dan Usyati (2005) yang
menyatakan bahwa intensitas serangan PBPK pada musim tanam pertama 37.9%
dan meningkat 65% pada musim tanam kedua. Untuk menghindari kerugian yang
besar, pada MP 2 petani biasanya memasang pias parasitoid Trichogramma spp.
di sekitar lahan yang berfungsi untuk menekan populasi PBPK di lapang. Selain
itu faktor umur tanaman padi juga mempengaruhi rendahnya perolehan kelompok
telur di lapang. Kelompok telur biasanya banyak ditemukan pada waktu tanaman
masih muda, karena unsur nitrogen (N) lebih banyak ditemukan pada tanaman
muda dibandingkan tanaman tua sehingga tanaman menjadi sukulen. Jika unsur N
tanaman banyak maka batang tanaman akan menjadi lebih lunak sehingga lebih
mudah diserang larva PBPK (Rachmawati 2012).
10
Tabel 3 Jumlah kelompok telur PBPK di lahan sistem organik dan konvensional
di Desa Guyung, Kecamatan Gerih, Kabupaten Ngawi
Perlakuan
Organik
Konvensional
Pengamatan ke-a
8 MST
10 MST
6 MST
0.33 ± 0.33 a
1.00 ± 1.00 a
3.67 ± 0.88 a
3.00 ± 1.00 a
8.33 ± 2.85 a
7.00 ± 1.73 a
Rata-rata
12 MST
1.33 ± 1.33 a
1.67 ± 1.67 a
3.42
3.17
a
angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji
duncan pada taraf 5%
Jumlah larva antara lahan organik dan konvensional tidak berbeda nyata
(Tabel 4). Hal ini dikarenakan tingginya ragam kelompok telur yang ditemukan
sehingga ragam jumlah larva juga tinggi. Akan tetapi, pada setiap petak
pengamatan jumlah larva secara menyeluruh pada lahan sistem konvensional
terlihat lebih tinggi dibandingkan jumlah larva pada lahan sistem organik. Hal ini
bisa disebabkan oleh rendahnya peran parasitoid telur PBPK akibat pemakaian
pestisida yang berlebihan pada lahan konvensional sehingga merusak
keseimbangan lingkungan.
Tabel 4 Jumlah larva yang menetas dari kelompok telur PBPK di Desa Guyung,
Kecamatan Gerih, Kabupaten Ngawi
Perlakuan
Organik
Konvensional
6 MST
0.00 ± 0.00 a
50.00 ± 50.00 a
Pengamatan ke-a
8 MST
10 MST
47.33 ± 23.69 a 255.00 ± 80.65 a
120.33 ± 65.20 a 192.67 ± 56.26 a
12 MST
0.00 ± 0.00 a
202.67 ± 202.67a
a
angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji
duncan pada taraf 5%
Kegagalan Menetas
Tidak semua kelompok telur PBPK mampu menetas. Telur yang gagal
menetas pada sistem budidaya organik dan sistem budidaya konvensional masingmasing 24 dan 5 telur (Gambar 6). Menurut Rachmawati (2012) telur yang tidak
menetas bisa disebabkan oleh infeksi patogen sehingga larva mati sebelum keluar
dari telur atau embrio telur tidak berkembang.
a
b
Gambar 6 Kelompok telur PBPK yang sudah di bedah (a) dan parasitoid telur
PBPK yang gagal menetas (b)
11
Parasitoid Telur PBPK
Parasitoid yang ditemukan pada pengamatan ini adalah Trichogramma
japonicum Ashmead (Hymenoptera: Trichogrammatidae), Telenomus rowani
Gahan (Hymenoptera: Scelionidae), dan Tetrastichus schoenobii Ferriere
(Hymenoptera: Eulophidae). Menurut Kalshoven (1981) parasitoid telur
Scirpophaga incertulas yang penting itu ada tiga, Telenomus sp, Tetrastichus sp.
dan Trichogramma sp. dimana tingkat parasitasi Telenomus sp. bisa mencapai
36%, Tetrastichus sp. dan Trichogramma sp. hanya 10%, tetapi Tetrastichus
schoenobii Ferr dilaporkan di beberapa negara Asia bahwa tingkat parasitasinya
bisa mencapai 40%.
a
b
c
Gambar 7 Parasitoid telur PBPK di lahan sistem organik dan konvensional,
Trichogramma japonicum (Rachmawati 2012) (a)
Telenomus rowani (b) Tetrastichus schoenobii (c)
Menurut Barion dan Litsinger (1995), ciri morfologi Trichogramma
japonicum yaitu bentuk ovipositor lurus lebih ramping daripada tibia tungkai
ketiga atau sepanjang aedeagus dengan lengan pendek, genitalia jantan
memanjang berbentuk bulat telur (oval). Toraks bagian bawah pada betina tidak
pernah berwarna putih, rambut-rambut antena pada jantan panjang, terpanjang 31/2 kali maksimum lebar flagella (Gambar 7a). Ciri morfologi Telenomus rowani
yaitu metasoma panjang dan ramping, antena jantan berwarna kuning kecuali
bagian apikal, antena jantan berbentuk moniliform atau seperti manik-manik,
sedangkan bentuk antena betina menggada ke bagian ujung, dan panjang skapus
betina 4.9 kali lebarnya (Gambar 7b). Ciri morfologi parasitoid telur Tetrastichus
schoenobii yaitu tubuh berwarna biru metalik atau hijau mengkilat, antena cokelat
kecuali bagian skapus berwarna kuning dengan sensor cokelat pada jantan,
tungkai berwarna kuning kecuali bagian koksa berwarna kehijauan, oseli dalam
segitiga kecil. Oselia depan tidak pernah mencapai skapus. toraks halus dan
mengkilat, abdomen memanjang meruncing ke belakang dengan ovipositor
ramping (Gambar 7c).
Perlakuan
Organik
Konvensional
a
Organik
Konvensional
Organik
Konvensional
Organik
Konvensional
12
Tabel 6 Total Telenomus rowani yang keluar dari kelompok telur PBPK
Pengamatan ke-a
6 MST
8 MST
10 MST
12 MST
0.00 ± 0.00 a
51.33 ± 15.38 a
138.33 ± 19.64 a
0.33 ± 0.33 a
8.67 ± 8. 67 a
33.67 ± 33.67 a
53.67 ± 36.99 a
3.00 ± 3.00 a
Rata-rata
47.5
24.75
Tabel 7 Total Tetrastichus schoenobii yang keluar dari kelompok telur PBPK
Pengamatan ke-a
Rata-rata
6 MST
8 MST
10 MST
12 MST
0.00 ± 0.00 a
8.00 ± 8.00 a
86.33 ± 21.26 a
60.33 ± 60.33 a
38.67
0.00 ± 0.00 a
15.67 ± 15.67 a
44.00 ± 14.01 a
23.67 ± 23.67 a
20.83
angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji duncan pada taraf 5%
Perlakuan
a
86.17
45
angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji duncan pada taraf 5%
Perlakuan
a
Rata-rata
angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji duncan pada taraf 5%
Perlakuan
a
Tabel 5 Total parasitoid yang keluar dari kelompok telur PBPK
Pengamatan ke-a
6 MST
8 MST
10 MST
12 MST
0.00 ± 0.00 a
59.33 ± 21.95 a
224.67 ± 28.05 a
60.67 ± 60.67 a
8.67 ± 8. 67 a
50.00 ± 28.62 a
97.67 ± 22.98 b
23.67 ± 23. 67 a
Tabel 8 Rata-rata persentase parasitisasi parasitoid telur PBPK
Pengamatan ke-a
6 MST
8 MST
10 MST
12 MST
0.00 ± 0.00 a
70.74 ± 16.15 a
64.02 ± 6.8 a
33.33 ± 33.33 a
10.08 ± 10.08 a
66.48 ± 16.76 a
53.8 ± 16.12 a
13.33 ± 13.33 a
angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji duncan pada taraf 5%
Rata-rata
42.02
20.83
13
Jumlah individu
Jumlah parasitoid yang ditemukan pada lahan sistem budidaya organik lebih
banyak dibandingkan dengan yang ditemukan pada lahan sistem budidaya
konvensional. Berdasarkan data pada Tabel 5 saat tanaman berumur 6 MST, pada
lahan sistem organik tidak ditemukan parasitoid telur PBPK dan pada lahan
sistem konvensional ditemukan parasitoid dengan jumlah rata-rata 8.67 ekor per
petak. Tidak ditemukannya parasitoid telur PBPK pada lahan sistem organik
dikarenakan tidak ditemukan kelompok telur di lapang. Tetapi pada pengamatan
selanjutnya, parasitoid telur PBPK pada lahan sistem organik selalu lebih banyak
dibandingkan lahan sistem konvensional. Total parasitoid paling banyak
ditemukan pada pengamatan 10 MST dimana kemunculan parasitoid setiap petak
lahan sistem organik rata-rata 224.67 ekor sedangkan jumlah parasitoid telur
PBPK pada lahan sistem konvensional hanya 97.67 ekor per petak.
Minggu ke-8 dan ke-10 MST, parasitoid yang ditemukan dominan adalah
Telenomus rowani dan Tetrastichus schoenobii. Jumlah rata-rata T. schoenobii di
setiap petaknya pada minggu ke-8 MST di lahan sistem organik adalah 8 ekor,
minggu ke-10 MST rata rata 86.33 ekor disetiap petaknya. Jumlah rata-rata
Tetrastichus schoeobii disetiap petaknya pada minggu ke-8 dan ke-10 MST
masing-masing adalah 15.67 dekor dan 44 ekor (Tabel 7). Rata-rata Telenomus
rowani pada minggu ke-8 dan ke-10 MST masing-masing adalah 51.33 ekor dan
138.33 ekor disetiap petaknya. Jumlah T. rowani di setiap petaknya pada minggu
ke-8 dan 10 MST di lahan sistem konvensional adalah 33,67 dan 53,67 ekor
(Tabel 6). Minggu ke-12 MST, parasitoid telur PBPK yang dominan adalah T.
schoenobii sedangkan T. rowani hampir tidak ditemukan lagi.
Gambar 8 menunjukkan bahwa Telenomus rowani ditemukan pada setiap
waktu pengamatan. Jumlah Telenomus rowani yang ditemukan dilapang
berfluktuasi tergantung jumlah kelompok telur yang ditemukan. Semakin banyak
kelompok telur yang ditemukan di lapang maka akan semakin banyak
kemungkinan populasi Telenomus yang muncul. Telenomus rowani meletakkan
telur pada satu kelompok telur penggerek tetapi seekor Telonomus rowani hanya
dapat berkembang dalam tiap telur. Telenomus rowani meletakkan telurnya di
dalam telur penggerek batang yang baru diletakkan. Seekor imago Telenomus
rowani betina memarasit 20-40 telur dan hidup selama 2-4 hari atau lebih lama
bergantung dari ketersediaan nektar (Shepard et al. 1995).
100
80
60
40
20
0
Organik
Konvensional
6 MST
8 MST
10 MST
Umur tanaman
12 MST
Gambar 8 Fluktuasi rata-rata Telenomus rowani yang keluar dari kelompok telur
PBPK
14
Jumlah individu
Trichogramma japonicum yang ditemukan berjumlah dua ekor dan hanya
ditemukan pada minggu ke-8 MST. Rendahnya populasi Trichogramma
japonicum yang ditemukan dilapang dapat disebabkan oleh beberapa faktor.
Menurut Yunus (2012) kemampuan pemarasitan Trichogramma japonicum
dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal yang berpengaruh
terhadap tingkat kemapanan parasitoid adalah lingkungan (suhu, kelembapan
udara, curah hujan, angin, dan intensitas cahaya) dan adanya pesaing sesama
parasitoid. Faktor internal yang berpengaruh adalah kebugaran dari setiap
parasitoid yang ada di lapang.
Gambar 9 menunjukkan bahwa Tetrastichus schenobii mulai ditemukan
pada minggu ke-8 sampai ke-12 MST. Jumlah rata-rata Tetrastichus schoenobii
yang ditemukan di petak lahan sistem organik pada minggu ke-10 MST adalah
86.33 ekor. Jumlah ini lebih banyak daripada yang ditemukan saat tanaman
berumur 8 MST dan 12 MST. Jumlah Tetrastichus schoenobii yang ditemukan
saat pengamatan sangat bergantung dari jumlah kelompok telur yang ditemukan.
Semakin banyak kelompok telur yang ditemukan maka jumlah Tetrastichus
schoenobii yang ditemukan juga semakin banyak. Pada minggu ke-12 MST
Tetrastichus schoenobii menjadi parasitoid utama yang ditemukan.
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
Organik
Konvensional
6 MST
8 MST
10 MST
12 MST
Umur tanaman
Gambar 9 Fluktuasi jumlah rata-rata Tetrastichus schoenobii yang keluar dari
kelompok telur PBPK
Parasitoid telur yang ditemukan di lapang tingkat parasitisasinya berbeda
sesuai dengan waktu pengamatan. Trichogramma japonicum merupakan
parasitoid yang populasi dan tingkat parasitisasinya paling rendah. Rauf (2000)
menyatakan bahwa, rendahnya tingkat parasitisasi T. japonicum dikarenakan oleh
perbedaan tekstur kelompok telur. Parasitoid T. japonicum tidak menyukai
kelompok telur yang ditutupi sisik. Hal ini juga dibenarkan oleh Baehaki (2013)
yang menyatakan bahwa T. japonicum bertubuh sangat kecil dan sangat sulit
menembus kelompok telur PBPK dan PBPP. Telenomus rowani merupakan
parasitoid yang mempunyai tingkat parasitasi tertinggi. tingkat parasitisasi T.
rowani anatara 0-100% dan paling banyak ditemukan memarasit kelompok telur
PBPK. Tingginya tingkat parasitisasi Telenomus rowani pada pengamatan ini
15
disebabkan oleh parasitoid tersebut lebih mudah menyebar dan mencari inang di
lapang (Hamijaya et al. 2004). Walaupun relatif lebih unggul Telenomus rowani
juga kurang memberikan harapan karena masih banyak larva yang dapat muncul
dari telur yang terparasit. parasitoid dengan tingkat parasitisasi tinggi lainnya
adalah Tetrastichus schoenobii. Tingkat parasitisasi T. Schoenobii mencapai 0100%. Minggu ke-12 MST, Tetrastichus schoenobii terlihat dominan
dibandingkan dengan parasitoid lainnya. Saat populasi Tetrastichus schoenobii
dominan, hampir tidak ada larva yang muncul dari kelompok telur PBPK. Hal ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Suharto dan Usyati (2009) yang
mengatakan bahwa T. schoenobii merupakan parasitoid yang paling efektif
dibandingkan dengan parasitoid lainnya. Hal ini terkait dengan sifat parasitoid T.
schoenobii yang juga berperan sebagai predator. Dilaporkan bahwa setiap larva T.
schoenobii mampu memangsa 2-3 butir kelompok telur dan daya kompetisinya
sangat kuat (Tabel 8).
Selain parasitisasi tunggal oleh satu parasitoid, pada pengamatan ini juga
ditemukan parasitisasi ganda, yaitu kombinasi antara T. rowani dan T. japonicum
serta kombinasi T.rowani dan T.schoenobii. Kombinasi T. Rowani dan T.
Schoenobii merupakan kombinasi yang paling banyak ditemukan. Tingkat
parasitisasi kombinasi kedua parasitoid mampu mencapai 100%. Tingkat
parasitisasi tertingi seluruh parasitoid ditemukan pada minggu ke-8 MST
kemudian pada minggu ke-10 MST masing masing 70.74% dan 64.02% pada
lahan sistem organik serta 66.48% dan 53.8% pada lahan sistem konvensional.
Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak kelompok telur yang ditemukan di
lapang tidak mempengaruhi tingkat parasitisasi tetapi akan mempengaruhi jumlah
larva dan parasitoid yang muncul.
13
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Parasitoid telur PBPK yang ditemukan ada tiga, yaitu Trichogramma
japonicum, Telenomus rowani, dan Tetrastichus schooenobii. Kelimpahan
parasitoid telur PBPK di lahan sistem budidaya organik lebih banyak
dibandingkan pada lahan sistem budidaya konvensional. Kelimpahan parasitoid
telur PBPK antara lahan organik dan konvensional tidak berbeda nyata antara 6
MST, 8 MST, dan 12 MST, tetapi berbeda nyata pada 10 MST. Parasitoid T.
rowani merupakan parasitoid yang dominan ditemukan pada minggu ke-8 dan 10
MST. T. schoenobii merupakan parasitoid yang dominan ditemukan dominan
pada minggu ke-12 MST
Saran
Parasitoid telur PBPK berpotensi untuk menekan populasi PBPK di lapang.
Untuk itu perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui teknik manipulasi
populasi parasitoid telur PBPK di lapang dan cara memadukan dengan teknik
pengendalian lain yang kompatibel agar efektif dalam mengendalikan PBPK.
13
DAFTAR PUSTAKA
Amuwitagama I. 2002. Analysis of pest management methods used for rice stem
borer (Scirpophaga incertulas) in Sri Lanka based onthe concept sustainable
development (Thesis). Sri Lanka. Land University
Barion AT, Litsinger JA. 1994. Taxonomy of Rice Insect Pests and Their
Arthropod Parasites and Predators. Los Banos (PH). IRRI
Djunaedy A. 2009. Ketahanan padi (Way Apo Baru, Sinta Nur, Ciherang, Singkil,
dan IR 64) terhadap serangan penyakit bercak cokelat (Drechslera oryzae).
Agrovigor. 2(1):8-13
EffendI BS. 2013. Penggerek batang padi dan teknologi pengendalian. Iptek
Tanaman Pangan. 8(1):1-14
Hamijaya MZ, Tamrin M, Asikin S. 2004. Dominasi spesies parasitoid telur
penggerek batang padi pada tipelogi lahan basah di Kalimantan Selatan.
Prosiding seminar nasional entomologi dalam perubahan lingkungan sosial.
2004 Oktober 5. Bogor (ID): Hlm 467-474
Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Laan PA van der,
penerjemah. Jakarta (ID): Ichtiar Baru-van Hoeve. Terjemahan dari: De
Plagen van de Cultuurgewassen in Indonesië.
Latif A. 2012. Hama penggerek batang serang tanaman padi. Kompas [internet]
[diunduh
2014
Mei
25].
Tersedia
pada
http://regional.kompas.com/read/2012/05/15/19581752/Hama.Penggerek
batang serang tanaman padi
Lubis Y. 2005. Peranan keanekaragaman hayati artropoda sebagai musuh alami
pada ekosistem padi sawah. Jurnal Penelitian Bidang Ilmu Pertanian.
3(3):16-24
Misnaheti, Baco J, Aisyah. 2010. Tren perkembangan penggerek batang pada
tanaman di Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan
Tahunan PEI dan PFI XX Komisariat Daerah Sulawesi Selatan: 2010 Mei
27; Sulawesi Selatan. Sulawesi Selatan (ID): PEI. Hlm 410-415
Muralidharan IP. 2006. Assessments of crops losses in rice ecosystems due to
stem borer damage (Lepidoptera: Pyralidae) Crop Prot. 25:409-417
Rachmawati A. 2012. Dinamika Populasi Parasitoid Penggerek Batang Padi
Kunig, Scirpophaga incertulas (Walker) (Lepidoptera: Pyralidae) pada
Pertanaman Padi di Klaten (skripsi). Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Rauf A. 2000. Parasitisasi telur penggerek batang padi putih, Scirpophaga
innotata (Walker) (Lepidoptera: Pyralidae), saat terjadi ledakan di karawang
pada awal 1990-an. Buletin Hama dan Penyakit Tumbuhan.12(1): 1-10.
Santoso JS, Sulistyo J. 2007. Peranan musuh alami hama utama padi pada
ekosistem sawah. J INNOFARM. 6(1). (1-10)
Shepard B, Barrion AT, Litsinger JA. 1995. Serangga, laba-laba dan patogen yang
membantu. Ed ke-7. Untung K dan Wirjosuharjo S, penerjemah. Philipina
(PH). Helpful insect, spiders, and phathogens. IRRI 127 hlm.
Suharto H, Usyati N. 2005. The stem borer infestation on rice cultivars at three
planting times. Indones J Agric Sci. 6(2):39-45
18
Suharto H, Usyati N. 2009. Pengendalian hama penggerek batang padi. Laporan
balai besar penelitian tanaman padi. Hlm. 323-246
Supartha INY, Wijana G, Adnyana GM. 2012. Aplikasi jenis pupuk organik pada
tanaman padi sistem pertanian organik. J Agrotek Trop. 1(2): 98-106
Van der Goot P. 1925. Levenswijze en bestrijding van den witten rijstboorder op
Java. Meded Inst Plantenziekten 66: 1-308.
Wangiyana W, Laiwan Z, Sanisah. 2009. Pertumbuhan dan hasil tanaman padi
var. Ciherang dengan teknik budidaya “SRI (System of rice intensification)”
pada berbagai umur dan jumlah bibit per lubang tanam. Crop Agro. 2(1):7078
Wilyus, Nurdiansyah F, Herlinda S, Irsan C, Pujiastuti Y. 2012. Potensi parasitoid
telur penggerek batang padi kuning Scirpophaga incertulas (Walker) pada
beberapa tipologi lahan di provinsi Jambi. JHPT Trop. 12(1):56-63
Winarso S.2005. Kesuburan Tanah, Dasar Kesehatan dan Kualitas Tanah.
Yogyakarta (ID) : Gava Media
Yunus M. 2012. Kehidupan Scirpophaga incertulas dan Peran Trichogamma
japonicum sebagai Pengendali Populasi (disertasi). Yogyakarta (ID):
Universitas Gajah Mada.
.
13
LAMPIRAN
20
Lampiran 1 Hasil analisis ragam jumlah kelompok telur di lahan sistem organik
dan konvensional
Sumber
8 MST
Perlakuan
Galat
Total Terkoreksi
10 MST
Perlakuan
Galat
Total Terkoreksi
DB
JK
KT
F hit
Pr > F
1
4
5
0.66666667
10.66666667
11.33333333
0.66666667
2.66666667
0.25
0.6433
1
4
5
2.66666667
66.66666667
69.33333333
2.66666667
16.66666667
0.16
0.7096
Lampiran 2 Hasil analisis ragam jumlah total parasitoid di lahan sistem organik
dan konvensional
Sumber
DB
JK
KT
F hit
Pr > F
8 MST
Perlakuan
1
130.666667 130.666667
0.07
0.8086
Galat
4 7804.666667 1951.166667
Total Terkoreksi
5 7935.333333
10 MST
Perlakuan
1 24193.50000 24193.50000
12.27
0.0248
Galat
4
7889.33333 1972.33333
Total Terkoreksi
5 32082.83333
Lampiran 3 Hasil analisis ragam persentase parasitisasi parasitoid telur PBPK
pada lahan sistem organik dan konvensional
Sumber
DB
JK
KT
F hit
Pr > F
8 MST
Perlakuan
1
27.264017
27.264017
0.03
0.8636
Galat
4 3250.475867 812.618967
Total Terkoreksi
5 3277.739883
10 MST
Perlakuan
1
156.774817 156.774817
0.34
0.5905
Galat
4 1837.743333 459.435833
Total Terkoreksi
5 1994.518150
21
Lampiran 4 Hasil analisis ragam jumlah Tetrastichus schoenobii yang ditemukan
di lahan sistem organik dan konvensional
Sumber
DB
JK
KT
F hit
Pr > F
8 MST
Perlakuan
1
88.166667
88.166667
0.19
0.6855
Galat
4 1856.666667 464.166667
Total Terkoreksi
5 1944.833333
10 MST
Perlakuan
1 2688.166667 2688.166667
2.76
0.1718
Galat
4 3890.666667 972.666667
Total Terkoreksi
5 6578.833333
Lampiran 5 Hasil analisis ragam jumlah Telenomus rowani yang ditemukan di
lahan sistem organik dan konvensional
Sumber
DB
JK
KT
F hit
Pr > F
8 MST
Perlakuan
1
468.166667 468.166667
0.23
0.6580
Galat
4 8219.333333 2054.833333
Total Terkoreksi
5 8687.500000
10 MST
Perlakuan
1 10752.66667 10752.66667
4.09
0.1133
Galat
4 10525.33333 2631.33333
Total Terkoreksi
5 21278.00000
Lampiran 6 Hasil analisis ragam jumlah larva PBPK yang ditemukan di lahan
sistem organik dan konvensional
Sumber
DB
JK
KT
F hit
Pr > F
8 MST
Perlakuan
1
7993.50000 7993.50000
1.11
0.3520
Galat
4 28873.33333 7218.33333
Total Terkoreksi
5 36866.83333
10 MST
Perlakuan
1
5828.16667 5828.16667
0.40
0.5606
Galat
4 58018.66667 14504.66667
Total Terkoreksi
5 63846.83333
13
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Desa Gelumbang pada tanggal 6 Maret 1993 dari ayah
Wahidin dan ibu Umi Kalsum. Penulis adalah putra ke empat dari empat
bersaudara. Tahun 2010 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Kikim Timur dan pada
tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB)
melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah dan diterima di Departemen Proteksi
Tanaman, Fakultas Pertanian.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten praktikum
Dasar-Dasar Proteksi Tanaman pada tahun ajaran 2013/2014. Penulis pernah aktif
sebagai staf komisi 2 dewan perwakilan mahasiswa tingkat persiapan bersama
(DPM TPB) periode 2010/2011. Ketua divisi penegak disiplin masa perkenalan
departemen proteksi tanaman angkatan 48 (MPD PTN 48), dan ketua divisi dana
us
BATANG PADI KUNING Scirpophaga incertulas Walker
(LEPIDOPTERA: PYRALIDAE) PADA PERTANAMANAN
PADI ORGANIK DAN KONVENSIONAL
DI NGAWI, JAWA TIMUR
KHOIR SAMSI
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perkembangan
Parasitoid Telur Penggerek Batang Padi Kuning Scirpophaga incertulas Walker
(Lepidoptera: Pyralidae) pada Pertanaman Padi Organik dan Konvensional di
Ngawi Jawa Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2014
Khoir Samsi
A34100104
ABSTRAK
KHOIR SAMSI. Perkembangan Parasitoid Telur Penggerek Batang Padi Kuning
Scirpophaga incertulas Walker (Lepidoptera: Pyralidae) pada Pertanaman Padi
Organik dan Konvensional di Ngawi, Jawa Timur. Dibimbing oleh HERMANU
TRIWIDODO.
Penggerek batang padi kuning (PBPK) Scirpophaga incertulas (Walker)
(Lepidoptera: Pyralidae) merupakan hama utama tanaman padi. Parasitoid telur
sangat berpotensi dalam mengendalikan populasi PBPK. Kepadatan populasi
parasitoid antara lahan dengan sistem budidaya organik berbeda dengan sistem
konvensional. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kelimpahan
populasi parasitoid telur PBPK. Penelitian ini menggunakan dua metode dalam
mengumpulkan kelompok telur PBPK. Metode pertama yaitu metode U dan
metode kedua yaitu dengan membagi petak pengamatan menjadi 5 plot. Jumlah
kelompok telur yang diperoleh antara lahan organik dan konvensional tidak
berbeda nyata. Jumlah parasitoid telur PBPK pada lahan organik lebih banyak,
dibandingkan lahan konvensional tetapi persentase parasitisasinya tidak berbeda
nyata. Parasitoid yang ditemukan pada pengamatan, yaitu Trichogramma
japonicum, Telenomus rowanii dan Tetrastichus schoenobii. Parasitoid T. rowani
merupakan parasitoid yang dominan ditemukan pada minggu ke-8 dan 10 MST.
T. schoenobii merupakan parasitoid yang dominan ditemukan dominan pada
minggu ke-12 MST. Tingkat parasitisasi tertinggi seluruh parasitoid pada minggu
ke-8 dan ke-10 MST masing-masing 70,74% dan 64,02% pada lahan sistem
organik serta 66,48% dan 53,8% pada lahan sistem konvensional.
Kata kunci : Scirpophaga incertulas, parasitoid telur, padi organik, lahan sistem
konvensional, lahan sistem organik
ABSTRACT
KHOIR SAMSI. The Development of Egg Parasitoid of Yellow Rice Stem Borer,
Scirpophaga incertulas Walker (Lepidoptera: Pyralidae) in Conventional and
Organic Rice in Ngawi, East Java. Under supervision of HERMANU
TRIWIDODO
Yellow rice stem borer (YRSB) Scirpophaga incertulas (Walker)
(Lepidoptera: Pyralidae) is a major pest of rice plants. Egg parasitoid had a good
potential to control YRSB’s population. Parasitoid population density between the
field with organic farming systems was different from conventional systems. This
study was aimed to compare the YRSB egg parasitoid population density. This
study used two methods to collect the eggs YRSB group. The first method was the
U method and the second method was 5 plots method. The number of eggs’s
group which obtained between organic and conventional fields system were not
significantly different. The quantity of YRSB egg parasitoid on organic field
system was higher than conventional field system, but the parasitization rate was
not significantly different. The Parasitoids which found were Trichogramma
japonicum, Telenomus rowani and Tetrastichus schoenobii. T. rowani was
dominant parasitoid which found at 8 and 10 weeks after transplanting (WAT). T.
schoenobii was dominant parasitoid which found at 12 WAT. The highest level of
parasitization whole parasitoid at 8 and 10 WAT. Were 70.74% and 64.02% on an
organic system, but on conventional system were 66.48% and 53.8%,
respectively.
Keywords : Scirpophaga incertulas, egg parasitoid, organic rice, organic land,
conventional land
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PERKEMBANGAN PARASITOID TELUR PENGGEREK
BATANG PADI KUNING Scirpophaga incertulas Walker
(LEPIDOPTERA: PYRALIDAE) PADA PERTANAMAN PADI
ORGANIK DAN KONVENSIONAL DI NGAWI, JAWA TIMUR
KHOIR SAMSI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Proteksi Tanaman
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Perkembangan Parasitoid Telur Penggerek Batang Padi Kuning
Scirpophaga incertulas Walker (Lepidoptera: Pyralidae) pada
Pertanaman Padi Organik dan Konvensional di Ngawi, Jawa
Timur
Nama
: Khoir Samsi
NIM
: A34100104
Disetujui oleh
Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, M.Sc.
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, MSi.
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan tugas akhir yang berjudul
“Perkembangan Parasitoid Telur Penggerek Batang Padi Kuning Scirpophaga
incertulas Walker (Lepidoptera: Pyralidae) pada Pertanaman Padi Organik dan
Konvensional di Ngawi Jawa Timur”. Penelitian dilaksanakan dari Desember
2013 sampai Maret 2014.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada
1. Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, M.Sc. selaku dosen pembimbing tugas akhir yang
senantiasa memberikan bimbingan, masukan, pengetahuan, saran dan arahan
kepada penulis.
2. Dr. Ir. Widodo, MS. selaku dosen pembimbing akademik dan dosen penguji
tamu yang telah memberikan masukan kepada penulis.
3. Kastam, SP. dan keluarga besar Komunitas Ngawi Organik Center (KNOC)
yang telah banyak membantu demi berjalannya penelitian ini
4. Aldila Rachmawati, SP., Damayanti, SP. M.Si., Aan Rizka Pajarina, dan Retno
Anggraeni yang telah banyak membantu dalam penulisan tugas akhir
5. Bapak, ibu, kakak, adik, serta seluruh keluarga, atas doa dan kasih sayang.
6. Teman-teman Departemen Proteksi Tanaman angkatan 47 yang telah
mendukung terlaksananya laporan tugas akhir penulis. Serta pihak lain yang
turut membantu dalam penyusunan laporan tugas akhir ini.
7. PEMDA LAHAT yang telah memberikan dukungan dana selama perkuliahan
melalui Beasiswa Utusan Daerah (BUD).
Semoga laporan tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.
Bogor, Juli 2014
Khoir Samsi
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Pengambilan Sampel Kelompok Telur
Pemeliharaan Kelompok Telur
Penghitungan Kelompok Telur dan Parasitisasi Parasitoid
Identifikasi Parasitoid
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lokasi Pengamatan
Sistem Budidaya
Penggerek Batang Padi Kuning Scirpophaga incertulas
Kemunculan Larva dan Parasitoid
Kelompok Telur
Kegagalan Menetas
Parasitoid telur PBPK
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
ix
ix
xi
1
1
2
2
3
3
3
3
4
4
4
5
5
5
7
7
9
10
11
16
16
16
17
19
23
viii
DAFTAR TABEL
1 Jumlah rata-rata anakan padi sistem budidaya organik dan konvensional di
Desa Guyung, Kecamatan Gerih, Kabupaten Ngawi
6
2 Komponen biaya pengeluaran dan keuntungan usaha tani budidaya organik
dan konvensional per hektar di Desa Guyung, Kecamatan Gerih, Kabupaten
Ngawi (Sumber : KNOC)
7
3 Jumlah kelompok telur PBPK yang ditemukan di lahan organik
dan konvensional di Desa Guyung, Kecamatan Gerih, Kabupaten Ngawi 10
4 Jumlah larva yang menetas dari kelompok telur PBPK di Desa Guyung,
Kecamatan Gerih, Kabupaten Ngawi
10
5 Total parasitoid yang keluar dari kelompok telur PBPK
12
6 Total Telenomus rowani yang keluar dari kelompok telur PBPK
12
7 Total Tetrastichus schoenobii yang keluar dari kelompok telur PBPK
12
8 Rata-rata persentase parasitisasi parasitoid telur PBPK
12
DAFTAR GAMBAR
1 Metode pengambilan sampel kelompok telur PBPK, metode U (a)
dan metode sampling (b)
2 Contoh wadah pemeliharaan kelompok telur PBPK
3 Sarana budidaya, sistem irigasi (a) kolam penetralan
lahan sistem organik (b)
4 Waktu kelompok telur untuk menetas pada lahan konvensional (a)
dan lahan organik (b)
5 Kelompok telur PBPK
6 Kelompok telur PBPK yang sudah di bedah (a) dan parasitoid telur
PBPK yang gagal menetas (b)
7 Parasitoid telur PBPK di lahan organik dan konvensional
Trichogramma japonicum (Rachmawati 2012) (a)
Telenomus rowani (b) Tetrastichus schoenobii (c)
8 Fluktuasi jumlah rata-rata Telenomus rowani yang keluar dari
kelompok telur PBPK
9 Fluktuasi jumlah rata-rata Tetrastichus schoenobii yang keluar dari
kelompok telur PBPK
3
4
6
8
9
10
11
13
14
ix
DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil analisis ragam jumlah kelompok telur di lahan sistem organik dan
konvensional
20
2 Hasil analisis ragam jumlah total parasitoid di lahan sistem organik dan
konvensional
20
3 Hasil analisis ragam persentase parasitisasi parasitoid telur PBPK pada lahan
sistem organik dan konvensional
20
4 Hasil analisis ragam jumlah Tetrastichus schoenobii yang ditemukan di lahan
sistem organik dan konvensional
21
5 Hasil analisis ragam jumlah larva PBPK yang ditemukan di lahan sistem
organik dan konvensional
21
13
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanaman padi (Oryza sativa L.) merupakan tanaman pangan sebagai sumber
energi yang umumnya dikonsumsi masyarakat Indonesia. Hampir separuh
penduduk dunia, terutama di Asia menggantungkan hidupnya dari tanaman padi.
Begitu pentingnya komoditas padi sehingga kegagalan panen dapat
mengakibatkan gejolak sosial yang luas. Upaya peningkatan produksi tanaman
pangan dihadapkan pada berbagai kendala dan masalah (Supartha 2012). Salah
satu kendala dalam upaya peningkatan produksi padi adalah serangan organisme
pengganggu tanaman (OPT).
Penggerek batang padi kuning (PBPK) Scirpophaga incertulas
(Lepidoptera: Pyralidae) merupakan hama penting pada tanaman padi yang dapat
menimbulkan kerugian tinggi. Latif (2012) menyatakan bahwa di Jombang lahan
sawah dengan luas 5 000 m2 normalnya menghasilkan 2.5 ton akibat serangan
PBPK hanya menghasilkan 1.7 ton. PBPK dapat menyerang tanaman padi pada
fase vegetatif dan fase generatif. Menurut Yunus (2012) kerugian hasil yang
ditimbulkan oleh sundep (serangan pada fase vegetatif) lebih rendah dibandingkan
kerugian hasil oleh serangan beluk (serangan pada fase generatif), hal ini
disebabkan karena kerusakan padi pada stadia vegetatif masih dapat dikompensasi
dengan membentuk anakan baru. Dalam ekosistem sawah beririgasi, serangan
sundep sebesar 1% menyebabkan kehilangan hasil 12 kg/ha, sedangkan serangan
beluk 1% menyebabkan kehilangan hasil 183 kg/ha (Muralidharan 2006 dalam
Yunus 2012). Menurut Misnaheti et al. (2010) pada musim hujan pada tahun
2003-2008 di timur Sulawesi Selatan luas serangan PBPK tertinggi pada tahun
2005 mencapai 11 000 ha dan 2007 mencapai 9 000 ha. Sementara sebelum tahun
tersebut luas serangan bevariasi antara 1 000-3 000 ha. Luas serangan PBPK yang
tinggi pada musim hujan selalu didahului oleh luas serangan yang tinggi di dalam
musim kemarau. Musim kemarau luas serangan PBPK bervariasi dari 600-2 000
ha antara tahun 2002-2007.
Tindakan yang biasa dilakukan petani untuk mengendalikan PBPK adalah
dengan menggunakan pestisida kimia. Penggunaan pestisida kimia di tingkat
petani sampai saat ini masih sangat tinggi. Aplikasi pestisida dilakukan terjadwal
tanpa memperhatikan dosis yang direkomendasikan. Pengendalian PBPK di
Provinsi Jambi masih bertumpu pada penggunaan pestisida kimia. Cara ini tidak
efektif, terbukti dengan meningkatnya serangan dan kerugian akibat hama PBPK
dari tahun ke tahun. Di samping itu, penggunaan insektisida juga dapat
menimbulkan berbagai dampak negatif terhadap konsumen dan lingkungan, serta
dapat menimbulkan resistensi dan resurgensi hama (Wilyus et al. 2006).
Untuk mengatasi banyaknya dampak negatif akibat pemakaian pestisida
kimia yang berlebihan diperlukan metode pengendalian yang ramah lingkungan.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah pengendalian OPT berdasarkan
konsep pengendalian hama terpadu (PHT) yang lebih menekankan terhadap
pemanfaatan musuh alami sebagai agen biokontrol hama di lapang. Menurut
Santoso dan Sulistyo (2007) pengendalian hayati selama ini lebih memanfaatkan
2
peran predator, parasitoid dan patogen. Pengendalian hayati menggunakan
parasitoid telur sangat baik karena dapat mencegah hama berkembang menjadi
larva (stadia yang merusak tanaman), aman bagi manusia, hewan dan lingkungan,
tidak menimbulkan resistensi dan resurgensi hama, organisme yang digunakan
dapat mencari dan menemukan inangnya, dapat berkembang biak dan menyebar,
serta pengendalian dapat berjalan dengan sendirinya (Wilyus et al. 2006).
Parasitoid dapat memarasit telur, larva dan pupa. Parasitoid larva dan pupa
tidak banyak diketahui dan umumnya tidak efektif karena mengendalikan pada
stadia yang sudah menimbulkan kerusakan. Parasitoid telur paling banyak
dikembangkan untuk mengendalikan serangga-serangga Ordo Lepidoptera. Hal
ini disebabkan karena parasitoid telur mampu mengendalikan hama sebelum
merusak tanaman (Suharto & Usyati 2009). Menurut Van Der Goot 1925 dalam
Rauf (2000) parasitoid telur PBPK yang banyak ditemukan di lapang dan
mempunyai peranan penting adalah Trichogramma japonicum Ashmead
(Hymenoptera: Trichograrnrnatidae), Telenomus rowani Gahan (Hymenoptera:
Scelionidae), dan Tetrastichus schoenobii Ferriere (Hymenoptera: Eulophidae). T.
schoenobi, T. rowani, dan T. japonicum mempunyai potensi dan sangat efektif
dalam menurunkan populasi penggerek batang padi (S. incertulas). Kemampuan
ketiga parasitoid tersebut dalam memarasit telur penggerek batang padi sangat
bervariasi tergantung dari tempat dan lingkungan yang mendukungnya untuk
berkembang.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan kelimpahan populasi
parasitoid telur penggerek batang padi kuning pada pertanaman padi konvensional
dan organik di kabupaten Ngawi, Jawa Timur.
Manfaat Penelitian
Sebagai informasi mengenai kelimpahan parasitoid telur pada pertanaman
padi organik dan konvensional sebagai dasar pertimbangan untuk petani dalam
memilih sistem budidaya
13
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di lahan padi petani organik yang tergabung dalam
Komunitas Ngawi Organik Center (KNOC) dan lahan petani padi konvensional
Desa Guyung, Kecamatan Gerih, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Penelitian ini
dilakukan mulai dari bulan Desember 2013-Maret 2014.
Pengambilan Sampel Kelompok Telur PBPK
Pengambilan sampel kelompok telur dilakukan di 3 petak pertanaman padi
organik dan 3 petak pertanaman padi konvensional. Kelompok telur dikumpulkan
menggunakan dua metode. Metode yang pertama menggunakan metode U,
pengambilan kelompok telur dilakukan dengan berjalan di dalam petak mengikuti
tanaman padi membentuk huruf U dengan mengamati setiap jarak 5 rumpun
tanaman padi (Gambar 1a). Metode yang kedua yaitu metode sampling dengan
membagi setiap petak pengamatan menjadi lima titik yang mewakili seluruh petak
pengamatan (Gambar 1b). Setiap titik pengamatan terdiri dari empat rumpun.
Pengambilan kelompok telur dilakukan 2 minggu sekali.
(a)
(b)
Gambar 1 Metode pengambilan kelompok telur PBPK, metode U (a) dan metode
sampling (b)
Pemeliharaan Kelompok Telur
Sampel kelompok telur yang diperoleh dari lapang dimasukkan ke dalam
wadah sementara yang berupa kantong plastik. Setelah itu dimasukkan dalam
wadah pemeliharaan yang berupa gelas plastik untuk diamati (Gambar 2).
Pemberian kapas basah pada ujung daun padi yang terdapat kelompok telur
dimaksudkan untuk menjaga kelembaban sementara pada wadah. Di dalam wadah
plastik kelompok telur beserta daun padinya ditempelkan ke dinding gelas plastik
agar menyerupai kondisi di lapang dan menghindari dari benturan berlebihan yang
dapat menyebabkan telur gagal menetas. Pada lubang bagian atas wadah ditutup
menggunakan isolasi untuk menjaga agar parasitoid tidak terbang ke luar
kemudian dibuatkan lubang baru menggunakan jarum untuk pertukaran udara.
4
Gambar 2 Contoh wadah pemeliharaan kelompok telur PBPK
Penghitungan Kelompok Telur dan Parasitisasi Parasitoid
Kelompok telur yang diperoleh dari lahan dihitung jumlahnya dan
dipindahkan ke wadah pemeliharan untuk disimpan sampai menetas. Setelah
kelompok telur menetas dilakukan penghitungan terhadap jumlah larva dan
parasitoid hidup yang keluar kemudian dilakukan pembedahan untuk melihat
apakah ada telur yang gagal menetas. Setelah itu dihitung tingkat parasitisasinya
menggunakan rumus
Identifikasi Parasitoid
Setiap parasitoid yang keluar dari telur diidentifikasi dengan menggunakan
bantuan mikroskop stereo dan kunci identifikasi Taxonomy of Rice Insect Pests
and Their Arthropod Parasites and Predators, oleh Alberto T Barrion dan James
A. Litsinger. Proses identifikasi dilakukan berdasarkan pengamatan karakter
morfologi tubuh parasitoid.
Analisis Data
Pengolahan data dilakukan untuk melihat perbedaan kemunculan larva dan
parasitoid, jumlah kelompok telur, dan persentase parasitisasi. Data hasil
perhitungan kemudian dilanjutkan dengan uji selang berganda duncan pada taraf
nyata 5%. Menggunakan program Statistical Analysis System (SAS) versi 9.1
portable for windows.
5
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lokasi Pengamatan
Desa Guyung terletak di Kecamatan Gerih Kabupaten Ngawi, Jawa Timur.
Desa Guyung berbatasan dengan Desa Kidung Putri Kecamatan Paron di sebelah
barat, sebelah utara berbatasan dengan Desa Tepas Kecamatan Geneng, sebelah
timur berbatasan dengan Desa Tambakromo Kecamatan Geneng, sebelah selatan
berbatasan dengan Desa Gerih kecamatan Gerih. Luas Desa Guyung adalah 739
153 ha. Potensi pertanian utama Desa Guyung adalah padi. Luas lahan sawah di
Desa Guyung 137 517 ha atau 19% dari total luas desa. Hampir sebagian besar
penduduk Desa Guyung menggantungkan hidupnya dengan bertanam padi,
sehingga Kabupaten Ngawi merupakan salah satu sentra dan lumbung padi di
Provinsi Jawa Timur.
Sistem Budidaya
Sistem pertanian padi di Desa Guyung menerapkan dua sistem budidaya,
yaitu sistem budidaya organik dan sistem budidaya konvensional. Sistem
budidaya padi organik yang dilakukan petani disini adalah dengan memanfaatkan
limbah tanaman dan kotoran ternak sebagai kompos untuk memperbaiki
kesuburan tanah serta penggunaan mikroorganisme lokal (MOL) dan agens hayati
untuk mengatasi masalah serangan OPT. Aplikasi pupuk kompos pada
pertanaman padi organik biasanya dilakukan sebanyak tiga kali yaitu satu hari
sebelum tanam, 10 hari setelah tanam (HST) dan 20 HST. Sedangkan aplikasi
MOL dan agens hayati dilakukan sebanyak delapan kali dengan intensitas aplikasi
satu kali dalam satu minggu. jumlah pupuk kompos yang digunakan dalam satu
kali aplikasi mencapai 350-700 kg sesuai dengan luas lahan. Agens hayati yang
digunakan dalam satu kali aplikasi adalah 3-5 liter sedangkan penggunaan MOL
antara 20-30 liter. Sistem pertanaman padi konvensional merupakan budidaya
padi yang dilakukan petani, umumnya menggunakan pestisida dan pupuk kimia.
Pupuk Urea, SP 36, ZA, dan Phonska digunakan secara intensif satu musim tanam
mencapai 400 kg/ha. Untuk mengendalikan hama dan penyakit yang menyerang
tanaman padi digunakan berbagai jenis pestisida dengan bahan aktif seperti
Sipermetrin, Difenokonazol dan Fipronil. Varietas padi yang ditanam pada sistem
budidaya organik dan konvensional ini berbeda, yaitu pada lahan organik
menggunakan varietas Sintanur sedangkan lahan konvensional menggunakan
varietas Ciherang.
Lahan pertanaman sistem organik dan konvensional terletak dalam satu
hamparan yang sama dan memanfaatkan air dari sumber irigasi yang sama
(Gambar 3a). Pada pertanaman organik untuk menghindari cemaran bahan kimia,
sebelum masuk ke petak tanaman padi air irigasi terlebih dahulu dialirkan ke
kolam penampungan yang akan menetralkan bahan kimia yang terbawa air irigasi
(Gambar 3b). Untuk menghindari paparan pestisida saat aplikasi dengan
penyemprotan pada lahan dengan sistem organik dibentangkan plasti sebagai
penghalang pestisida yang terbawa angin.
6
a
b
Gambar 3 Sarana budidaya, sistem irigasi (a) kolam penetralan lahan sistem
organik (b)
Jumlah anakan padi pada sistem budidaya organik dan sistem budidaya
konvensional berbeda nyata pada 8 dan 10 MST. Jumlah anakan pada sistem
budidaya konvensional lebih banyak dibandingkan sistem budidaya organik
(Table 1). Menurut Winarso (2005) aplikasi pupuk kimia dapat meningkatkan
jumlah anakan produktif. Semakin tinggi kandungan nitrogen dan serapan N maka
jumlah anakan produktif juga semakin banyak. Varietas padi yang digunakan juga
berpengaruh terhadap jumlah anakan yang dihasilkan. Djunaedy (2009)
menyatakan bahwa jumlah anakan padi varietas Ciherang lebih banyak
dibandingkan varietas Sintanur, tetapi jumlah bulir gabah per malai varietas
Sintanur lebih banyak dibandingkan varietas Ciherang. Selain itu, jumlah bibit
dan umur bibit yang digunakan juga berpengaruh terhadap jumlah anakan.
Penelitian Wangiyana et al. (2009) menunjukkan bahwa jumlah anakan padi
terbentuk paling banyak saat umur bibit 15 hari dan semakin banyak bibit dalam
satu lubang tanam memungkinkan terjadinya pertambahan jumlah anakan.
Tabel 1 Jumlah rata-rata anakan padi sistem budidaya organik dan konvensional
di Desa Guyung, Kecamatan Gerih, Kabupaten Ngawi
Umur
Konvensional
Organik
6 MST
87.53 ± 15.76 a
76.26 ± 8.66 b
8 MST
72.66 ± 15.79 a
72.93 ± 4.75 a
10 MST
68.33 ± 11.67 a
59.86 ± 7.19 b
12 MST
58.53 ± 11.35 a
51.40 ± 8.06 a
a
angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji
duncan pada taraf 5%
Hasil panen menunjukkan bahwa produksi padi sistem organik lebih tinggi
dibandingkan dengan produksi padi sistem konvensional. Hal ini bisa disebabkan
oleh banyak faktor seperti perbedaaan varietas padi yang digunakan dan tingginya
serangan hama dan penyakit akibat tingginya pemakaian pupuk dan pestisida
kimia pada lahan sistem konvensional. Hal ini sejalan dengan keuntungan yang
diperoleh. Petani sistem organik lebih diuntungkan dibandingkan petani sistem
konvensional. Hal ini disebabkan oleh harga gabah padi organik lebih mahal
dibandingkan petani sistem konvensional. Sarana produksi pertanian untuk sistem
padi organik seperti benih, kompos, agens hayati, dan MOL diperoleh gratis dari
komunitas Ngawi orgnik center (KNOC) sedangkan petani sistem konvensional
7
harus mengeluarkan biaya yang tinggi untuk membeli pupuk dan pestisida kimia
(Tabel 2).
Tabel 2
Komponen biaya pengeluaran dan keuntungan usaha tani budidaya
organik dan konvensional per hektar di Desa Guyung, Kecamatan
Gerih, Kabupaten Ngawi (Sumber : KNOC)
Hasil panen
Perlakuan
Pengeluaran (Rp)
Pendapatan bersih (Rp)
(Kg)
Organik
4 524.10 a
2 000 000 .00 a
20 620 483.33 a
Konvensional
3 566.90 a
1 235 252.18 a
8 803 225.00 a
a
angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji
duncan pada taraf 5%
Penggerek Batang Padi Kuning Scirpophaga incertulas
Sejak tahun 1995 PBPK merupakan salah satu penggerek batang padi yang
dominan di Indonesia. Pada tahun 1995, populasinya mencapai 70% kemudian
meningkat menjadi 90% pada tahun berikutnya (Suharto dan Usyati 2009).
Ciri-ciri imago PBPK yaitu berwarna kuning dan terdapat titik hitam pada
sayap bagin depan. Panjang ngengat jantan 14 mm dan betina 17 mm. Betina
bertelur 200-300 butir secara berkelompok dan setiap kelompok terdiri atas 50150 butir telur. Saat peletakan pertama telur berwarna transparan atau tembus
cahaya kemudian warnanya menjadi lebih gelap. Telur diletakkan pada bagian
ujung daun walaupun ada juga yang diletakkan di pangkal daun di dekat batang.
Telur berbentuk oval dan dibungkus dalam kokon yang dilapisi rambut-rambut
halus. Telur menetas pada umur 4-5 hari. Larva berwarna kekuningan dengan
kepala coklat tua. Stadia larva terdiri dari 5-7 instar dan pada umumnya terdapat
enam instar. Stadia larva adalah 3-6 minggu. Pada instar terakhir larva dapat
tumbuh hingga 25 mm (Kalshoven 1981). Menurut Suharto dan Usyati (2009)
larva bersifat kanibal sehingga hanya ada seekor larva dalam tunas. Larva instar
terakhir menuju pangkal batang untuk menjadi pupa. Sebelum mejadi pupa, larva
membuat lubang keluar pada pangkal batang. Pupa berwarna kekuningan dengan
ukuran 12.55 mm. Stadium pupa 8-14 hari (Kalshoven 1981).
Gejala serangan hama PBPK dapat terjadi pada dua stadia tanaman, yaitu
pada stadia vegetatif yang disebut sundep (deadhearts) dengan gejala titik tumbuh
tanaman muda mati. Gejala serangan PBPK pada fase generatif disebut beluk
(whiteheads) yang ditunjukkan dengan malai mati dengan bulir hampa dan terlihat
berwarna putih. Gejala sundep sudah kelihatan sejak empat hari setelah larva
penggerek masuk. Larva penggerek selalu keluar masuk batang padi, sehingga
satu ekor larva sampai menjadi ngengat dapat menghabiskan 6-15 batang padi
(Baehaki 2013).
Kemunculan Larva dan Parasitoid
Waktu kelompok telur menetas setelah diambil dari lapang berbeda, antara
larva dan parasitoid waktu menetasnya juga berbeda. Biasanya larva selalu
menetas lebih dahulu daripada kemunculan parasitoid.
a
Jumlah individu yang menetas
8
500
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0
b
Jumlah individu yang menetas
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
500
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0
Larva
T. japonicum
T. rowani
T. schoenobii
1
2
3
4
5
6 7 8
Hari ke-
9 10 11 12 13
Gambar 4 Waktu kelompok telur untuk menetas pada lahan konvensional (a) dan
`
lahan organik (b)
Larva pada lahan sistem konvensional mulai menetas pada hari ke 1-8
setelah pengambilan dari lapang. Larva paling banyak muncul pada hari ke-2 dan
hari ke-4 setelah pengambilan dari lapang. Parasitoid Telenomus rowani muncul
mulai hari ke 2-9 setelah pengambilan dari lapang. T. rowani paling banyak
muncul pada hari ke-8 setelah pengambilan dari lapang. Parasitoid Tetrastichus
schoennobii mulai muncul pada hari ke 4-10 setelah pengambilan dari lapang. T.
schoenobii paling banyak muncul pada hari ke-4 dan ke-6 setelah pengambilan
dari lapang (Gambar 4a). Kemunculan larva pada lahan sistem organik mulai hari
ke 1-7 dan paling banyak muncul pada hari ke-6 setelah pengambilan dari lapang.
T. schoenobii mulai muncul pada hari ke 1-13, paling banyak muncul pada hari
ke-13 setelah pengambilan dari lapang. T. rowani mulai muncul pada hari ke 4-11
dan paling banyak muncul pada hari ke-8 setelah pengambilan dari lapang
(Gambar 4b). Perbedaan kemunculan larva dan parasitoid antar kelompok telur ini
bisa disebabkan oleh umur kelompok telur saat pengambilan di lapang yang
berbeda. Selain itu siklus hidup antara PBPK dan parasitoid juga berbeda.
Amuwitagama (2002) menyatakan bahwa stadia telur S. incertulas hingga
menetas antara 5-9 hari. Siklus hidup T. rowani antara 10-12 hari, siklus hidup T.
schoenobii antara 10-14 hari, siklus hidup Trichogramma japonicum antara 6-9
9
hari. Perbedaan umur kelompok telur dan siklus hidup inilah yang menyebabkan
kemunculannnya pun berbeda-beda (Lubis 2005).
Kelompok Telur PBPK
Kelompok telur PBPK biasanya diletakkan pada permukaan daun bagian
atas atau bawah (Gambar 5). Kelompok telur PBPK yang ditemukan di lapang
jumlahnya sedikit dan berfluktuasi antar waktu pengamatan. Pada minggu ke-6
MST, hanya ditemukan satu kelompok telur PBPK di lahan organik dan tiga
kelompok telur PBPK pada lahan konvensional. Pada minggu ke-8 MST
ditemukan 11 kelompok telur di lahan organik dan sembilan kelompok telur pada
lahan konvensional. Pada minggu ke-10 MST ditemukan 25 kelompok telur pada
lahan organik dan 21 kelompok telur pada lahan konvensional. Minggu ke-12
MST ditemukan empat kelompok telur pada lahan organik dan lima kelompok
telur pada lahan konvensional. Jumlah imago PBPK yang ditemukan di lapang
sedikit sehingga kelompok telur yang ditemukan di lapang juga sedikit. Hal ini
juga dibuktikan dengan hampir tidak ditemukannya gejala akibat serangan PBPK
pada titik pengamatan.
Gambar 5 Kelompok telur PBPK
Jumlah kelompok telur yang diperoleh pada setiap waktu pengambilan
antara perlakuan organik dan konvensional tidak berbeda nyata (Tabel 3).
Terbatasnya jumlah kelompok telur yang diperoleh dari lapang dikarenakan
jumlah populasi PBPK yang sedikit. Menurut informasi yang diperoleh dari petani
saat dilakukan wawancara, PBPK pada musim tanam musim penghujan (MP) 1
dari bulan Desember-Maret memang bukan menjadi masalah utama dan tingkat
serangannya rendah. Populasi PBPK tinggi di lapang pada musim tanam MP 2
bulan April-Agustus sehingga seringkali menimbulkan kerugian yang besar pada
petani. Hal ini sesuai dengan hasil penelitiannya Suharto dan Usyati (2005) yang
menyatakan bahwa intensitas serangan PBPK pada musim tanam pertama 37.9%
dan meningkat 65% pada musim tanam kedua. Untuk menghindari kerugian yang
besar, pada MP 2 petani biasanya memasang pias parasitoid Trichogramma spp.
di sekitar lahan yang berfungsi untuk menekan populasi PBPK di lapang. Selain
itu faktor umur tanaman padi juga mempengaruhi rendahnya perolehan kelompok
telur di lapang. Kelompok telur biasanya banyak ditemukan pada waktu tanaman
masih muda, karena unsur nitrogen (N) lebih banyak ditemukan pada tanaman
muda dibandingkan tanaman tua sehingga tanaman menjadi sukulen. Jika unsur N
tanaman banyak maka batang tanaman akan menjadi lebih lunak sehingga lebih
mudah diserang larva PBPK (Rachmawati 2012).
10
Tabel 3 Jumlah kelompok telur PBPK di lahan sistem organik dan konvensional
di Desa Guyung, Kecamatan Gerih, Kabupaten Ngawi
Perlakuan
Organik
Konvensional
Pengamatan ke-a
8 MST
10 MST
6 MST
0.33 ± 0.33 a
1.00 ± 1.00 a
3.67 ± 0.88 a
3.00 ± 1.00 a
8.33 ± 2.85 a
7.00 ± 1.73 a
Rata-rata
12 MST
1.33 ± 1.33 a
1.67 ± 1.67 a
3.42
3.17
a
angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji
duncan pada taraf 5%
Jumlah larva antara lahan organik dan konvensional tidak berbeda nyata
(Tabel 4). Hal ini dikarenakan tingginya ragam kelompok telur yang ditemukan
sehingga ragam jumlah larva juga tinggi. Akan tetapi, pada setiap petak
pengamatan jumlah larva secara menyeluruh pada lahan sistem konvensional
terlihat lebih tinggi dibandingkan jumlah larva pada lahan sistem organik. Hal ini
bisa disebabkan oleh rendahnya peran parasitoid telur PBPK akibat pemakaian
pestisida yang berlebihan pada lahan konvensional sehingga merusak
keseimbangan lingkungan.
Tabel 4 Jumlah larva yang menetas dari kelompok telur PBPK di Desa Guyung,
Kecamatan Gerih, Kabupaten Ngawi
Perlakuan
Organik
Konvensional
6 MST
0.00 ± 0.00 a
50.00 ± 50.00 a
Pengamatan ke-a
8 MST
10 MST
47.33 ± 23.69 a 255.00 ± 80.65 a
120.33 ± 65.20 a 192.67 ± 56.26 a
12 MST
0.00 ± 0.00 a
202.67 ± 202.67a
a
angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji
duncan pada taraf 5%
Kegagalan Menetas
Tidak semua kelompok telur PBPK mampu menetas. Telur yang gagal
menetas pada sistem budidaya organik dan sistem budidaya konvensional masingmasing 24 dan 5 telur (Gambar 6). Menurut Rachmawati (2012) telur yang tidak
menetas bisa disebabkan oleh infeksi patogen sehingga larva mati sebelum keluar
dari telur atau embrio telur tidak berkembang.
a
b
Gambar 6 Kelompok telur PBPK yang sudah di bedah (a) dan parasitoid telur
PBPK yang gagal menetas (b)
11
Parasitoid Telur PBPK
Parasitoid yang ditemukan pada pengamatan ini adalah Trichogramma
japonicum Ashmead (Hymenoptera: Trichogrammatidae), Telenomus rowani
Gahan (Hymenoptera: Scelionidae), dan Tetrastichus schoenobii Ferriere
(Hymenoptera: Eulophidae). Menurut Kalshoven (1981) parasitoid telur
Scirpophaga incertulas yang penting itu ada tiga, Telenomus sp, Tetrastichus sp.
dan Trichogramma sp. dimana tingkat parasitasi Telenomus sp. bisa mencapai
36%, Tetrastichus sp. dan Trichogramma sp. hanya 10%, tetapi Tetrastichus
schoenobii Ferr dilaporkan di beberapa negara Asia bahwa tingkat parasitasinya
bisa mencapai 40%.
a
b
c
Gambar 7 Parasitoid telur PBPK di lahan sistem organik dan konvensional,
Trichogramma japonicum (Rachmawati 2012) (a)
Telenomus rowani (b) Tetrastichus schoenobii (c)
Menurut Barion dan Litsinger (1995), ciri morfologi Trichogramma
japonicum yaitu bentuk ovipositor lurus lebih ramping daripada tibia tungkai
ketiga atau sepanjang aedeagus dengan lengan pendek, genitalia jantan
memanjang berbentuk bulat telur (oval). Toraks bagian bawah pada betina tidak
pernah berwarna putih, rambut-rambut antena pada jantan panjang, terpanjang 31/2 kali maksimum lebar flagella (Gambar 7a). Ciri morfologi Telenomus rowani
yaitu metasoma panjang dan ramping, antena jantan berwarna kuning kecuali
bagian apikal, antena jantan berbentuk moniliform atau seperti manik-manik,
sedangkan bentuk antena betina menggada ke bagian ujung, dan panjang skapus
betina 4.9 kali lebarnya (Gambar 7b). Ciri morfologi parasitoid telur Tetrastichus
schoenobii yaitu tubuh berwarna biru metalik atau hijau mengkilat, antena cokelat
kecuali bagian skapus berwarna kuning dengan sensor cokelat pada jantan,
tungkai berwarna kuning kecuali bagian koksa berwarna kehijauan, oseli dalam
segitiga kecil. Oselia depan tidak pernah mencapai skapus. toraks halus dan
mengkilat, abdomen memanjang meruncing ke belakang dengan ovipositor
ramping (Gambar 7c).
Perlakuan
Organik
Konvensional
a
Organik
Konvensional
Organik
Konvensional
Organik
Konvensional
12
Tabel 6 Total Telenomus rowani yang keluar dari kelompok telur PBPK
Pengamatan ke-a
6 MST
8 MST
10 MST
12 MST
0.00 ± 0.00 a
51.33 ± 15.38 a
138.33 ± 19.64 a
0.33 ± 0.33 a
8.67 ± 8. 67 a
33.67 ± 33.67 a
53.67 ± 36.99 a
3.00 ± 3.00 a
Rata-rata
47.5
24.75
Tabel 7 Total Tetrastichus schoenobii yang keluar dari kelompok telur PBPK
Pengamatan ke-a
Rata-rata
6 MST
8 MST
10 MST
12 MST
0.00 ± 0.00 a
8.00 ± 8.00 a
86.33 ± 21.26 a
60.33 ± 60.33 a
38.67
0.00 ± 0.00 a
15.67 ± 15.67 a
44.00 ± 14.01 a
23.67 ± 23.67 a
20.83
angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji duncan pada taraf 5%
Perlakuan
a
86.17
45
angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji duncan pada taraf 5%
Perlakuan
a
Rata-rata
angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji duncan pada taraf 5%
Perlakuan
a
Tabel 5 Total parasitoid yang keluar dari kelompok telur PBPK
Pengamatan ke-a
6 MST
8 MST
10 MST
12 MST
0.00 ± 0.00 a
59.33 ± 21.95 a
224.67 ± 28.05 a
60.67 ± 60.67 a
8.67 ± 8. 67 a
50.00 ± 28.62 a
97.67 ± 22.98 b
23.67 ± 23. 67 a
Tabel 8 Rata-rata persentase parasitisasi parasitoid telur PBPK
Pengamatan ke-a
6 MST
8 MST
10 MST
12 MST
0.00 ± 0.00 a
70.74 ± 16.15 a
64.02 ± 6.8 a
33.33 ± 33.33 a
10.08 ± 10.08 a
66.48 ± 16.76 a
53.8 ± 16.12 a
13.33 ± 13.33 a
angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji duncan pada taraf 5%
Rata-rata
42.02
20.83
13
Jumlah individu
Jumlah parasitoid yang ditemukan pada lahan sistem budidaya organik lebih
banyak dibandingkan dengan yang ditemukan pada lahan sistem budidaya
konvensional. Berdasarkan data pada Tabel 5 saat tanaman berumur 6 MST, pada
lahan sistem organik tidak ditemukan parasitoid telur PBPK dan pada lahan
sistem konvensional ditemukan parasitoid dengan jumlah rata-rata 8.67 ekor per
petak. Tidak ditemukannya parasitoid telur PBPK pada lahan sistem organik
dikarenakan tidak ditemukan kelompok telur di lapang. Tetapi pada pengamatan
selanjutnya, parasitoid telur PBPK pada lahan sistem organik selalu lebih banyak
dibandingkan lahan sistem konvensional. Total parasitoid paling banyak
ditemukan pada pengamatan 10 MST dimana kemunculan parasitoid setiap petak
lahan sistem organik rata-rata 224.67 ekor sedangkan jumlah parasitoid telur
PBPK pada lahan sistem konvensional hanya 97.67 ekor per petak.
Minggu ke-8 dan ke-10 MST, parasitoid yang ditemukan dominan adalah
Telenomus rowani dan Tetrastichus schoenobii. Jumlah rata-rata T. schoenobii di
setiap petaknya pada minggu ke-8 MST di lahan sistem organik adalah 8 ekor,
minggu ke-10 MST rata rata 86.33 ekor disetiap petaknya. Jumlah rata-rata
Tetrastichus schoeobii disetiap petaknya pada minggu ke-8 dan ke-10 MST
masing-masing adalah 15.67 dekor dan 44 ekor (Tabel 7). Rata-rata Telenomus
rowani pada minggu ke-8 dan ke-10 MST masing-masing adalah 51.33 ekor dan
138.33 ekor disetiap petaknya. Jumlah T. rowani di setiap petaknya pada minggu
ke-8 dan 10 MST di lahan sistem konvensional adalah 33,67 dan 53,67 ekor
(Tabel 6). Minggu ke-12 MST, parasitoid telur PBPK yang dominan adalah T.
schoenobii sedangkan T. rowani hampir tidak ditemukan lagi.
Gambar 8 menunjukkan bahwa Telenomus rowani ditemukan pada setiap
waktu pengamatan. Jumlah Telenomus rowani yang ditemukan dilapang
berfluktuasi tergantung jumlah kelompok telur yang ditemukan. Semakin banyak
kelompok telur yang ditemukan di lapang maka akan semakin banyak
kemungkinan populasi Telenomus yang muncul. Telenomus rowani meletakkan
telur pada satu kelompok telur penggerek tetapi seekor Telonomus rowani hanya
dapat berkembang dalam tiap telur. Telenomus rowani meletakkan telurnya di
dalam telur penggerek batang yang baru diletakkan. Seekor imago Telenomus
rowani betina memarasit 20-40 telur dan hidup selama 2-4 hari atau lebih lama
bergantung dari ketersediaan nektar (Shepard et al. 1995).
100
80
60
40
20
0
Organik
Konvensional
6 MST
8 MST
10 MST
Umur tanaman
12 MST
Gambar 8 Fluktuasi rata-rata Telenomus rowani yang keluar dari kelompok telur
PBPK
14
Jumlah individu
Trichogramma japonicum yang ditemukan berjumlah dua ekor dan hanya
ditemukan pada minggu ke-8 MST. Rendahnya populasi Trichogramma
japonicum yang ditemukan dilapang dapat disebabkan oleh beberapa faktor.
Menurut Yunus (2012) kemampuan pemarasitan Trichogramma japonicum
dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal yang berpengaruh
terhadap tingkat kemapanan parasitoid adalah lingkungan (suhu, kelembapan
udara, curah hujan, angin, dan intensitas cahaya) dan adanya pesaing sesama
parasitoid. Faktor internal yang berpengaruh adalah kebugaran dari setiap
parasitoid yang ada di lapang.
Gambar 9 menunjukkan bahwa Tetrastichus schenobii mulai ditemukan
pada minggu ke-8 sampai ke-12 MST. Jumlah rata-rata Tetrastichus schoenobii
yang ditemukan di petak lahan sistem organik pada minggu ke-10 MST adalah
86.33 ekor. Jumlah ini lebih banyak daripada yang ditemukan saat tanaman
berumur 8 MST dan 12 MST. Jumlah Tetrastichus schoenobii yang ditemukan
saat pengamatan sangat bergantung dari jumlah kelompok telur yang ditemukan.
Semakin banyak kelompok telur yang ditemukan maka jumlah Tetrastichus
schoenobii yang ditemukan juga semakin banyak. Pada minggu ke-12 MST
Tetrastichus schoenobii menjadi parasitoid utama yang ditemukan.
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
Organik
Konvensional
6 MST
8 MST
10 MST
12 MST
Umur tanaman
Gambar 9 Fluktuasi jumlah rata-rata Tetrastichus schoenobii yang keluar dari
kelompok telur PBPK
Parasitoid telur yang ditemukan di lapang tingkat parasitisasinya berbeda
sesuai dengan waktu pengamatan. Trichogramma japonicum merupakan
parasitoid yang populasi dan tingkat parasitisasinya paling rendah. Rauf (2000)
menyatakan bahwa, rendahnya tingkat parasitisasi T. japonicum dikarenakan oleh
perbedaan tekstur kelompok telur. Parasitoid T. japonicum tidak menyukai
kelompok telur yang ditutupi sisik. Hal ini juga dibenarkan oleh Baehaki (2013)
yang menyatakan bahwa T. japonicum bertubuh sangat kecil dan sangat sulit
menembus kelompok telur PBPK dan PBPP. Telenomus rowani merupakan
parasitoid yang mempunyai tingkat parasitasi tertinggi. tingkat parasitisasi T.
rowani anatara 0-100% dan paling banyak ditemukan memarasit kelompok telur
PBPK. Tingginya tingkat parasitisasi Telenomus rowani pada pengamatan ini
15
disebabkan oleh parasitoid tersebut lebih mudah menyebar dan mencari inang di
lapang (Hamijaya et al. 2004). Walaupun relatif lebih unggul Telenomus rowani
juga kurang memberikan harapan karena masih banyak larva yang dapat muncul
dari telur yang terparasit. parasitoid dengan tingkat parasitisasi tinggi lainnya
adalah Tetrastichus schoenobii. Tingkat parasitisasi T. Schoenobii mencapai 0100%. Minggu ke-12 MST, Tetrastichus schoenobii terlihat dominan
dibandingkan dengan parasitoid lainnya. Saat populasi Tetrastichus schoenobii
dominan, hampir tidak ada larva yang muncul dari kelompok telur PBPK. Hal ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Suharto dan Usyati (2009) yang
mengatakan bahwa T. schoenobii merupakan parasitoid yang paling efektif
dibandingkan dengan parasitoid lainnya. Hal ini terkait dengan sifat parasitoid T.
schoenobii yang juga berperan sebagai predator. Dilaporkan bahwa setiap larva T.
schoenobii mampu memangsa 2-3 butir kelompok telur dan daya kompetisinya
sangat kuat (Tabel 8).
Selain parasitisasi tunggal oleh satu parasitoid, pada pengamatan ini juga
ditemukan parasitisasi ganda, yaitu kombinasi antara T. rowani dan T. japonicum
serta kombinasi T.rowani dan T.schoenobii. Kombinasi T. Rowani dan T.
Schoenobii merupakan kombinasi yang paling banyak ditemukan. Tingkat
parasitisasi kombinasi kedua parasitoid mampu mencapai 100%. Tingkat
parasitisasi tertingi seluruh parasitoid ditemukan pada minggu ke-8 MST
kemudian pada minggu ke-10 MST masing masing 70.74% dan 64.02% pada
lahan sistem organik serta 66.48% dan 53.8% pada lahan sistem konvensional.
Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak kelompok telur yang ditemukan di
lapang tidak mempengaruhi tingkat parasitisasi tetapi akan mempengaruhi jumlah
larva dan parasitoid yang muncul.
13
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Parasitoid telur PBPK yang ditemukan ada tiga, yaitu Trichogramma
japonicum, Telenomus rowani, dan Tetrastichus schooenobii. Kelimpahan
parasitoid telur PBPK di lahan sistem budidaya organik lebih banyak
dibandingkan pada lahan sistem budidaya konvensional. Kelimpahan parasitoid
telur PBPK antara lahan organik dan konvensional tidak berbeda nyata antara 6
MST, 8 MST, dan 12 MST, tetapi berbeda nyata pada 10 MST. Parasitoid T.
rowani merupakan parasitoid yang dominan ditemukan pada minggu ke-8 dan 10
MST. T. schoenobii merupakan parasitoid yang dominan ditemukan dominan
pada minggu ke-12 MST
Saran
Parasitoid telur PBPK berpotensi untuk menekan populasi PBPK di lapang.
Untuk itu perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui teknik manipulasi
populasi parasitoid telur PBPK di lapang dan cara memadukan dengan teknik
pengendalian lain yang kompatibel agar efektif dalam mengendalikan PBPK.
13
DAFTAR PUSTAKA
Amuwitagama I. 2002. Analysis of pest management methods used for rice stem
borer (Scirpophaga incertulas) in Sri Lanka based onthe concept sustainable
development (Thesis). Sri Lanka. Land University
Barion AT, Litsinger JA. 1994. Taxonomy of Rice Insect Pests and Their
Arthropod Parasites and Predators. Los Banos (PH). IRRI
Djunaedy A. 2009. Ketahanan padi (Way Apo Baru, Sinta Nur, Ciherang, Singkil,
dan IR 64) terhadap serangan penyakit bercak cokelat (Drechslera oryzae).
Agrovigor. 2(1):8-13
EffendI BS. 2013. Penggerek batang padi dan teknologi pengendalian. Iptek
Tanaman Pangan. 8(1):1-14
Hamijaya MZ, Tamrin M, Asikin S. 2004. Dominasi spesies parasitoid telur
penggerek batang padi pada tipelogi lahan basah di Kalimantan Selatan.
Prosiding seminar nasional entomologi dalam perubahan lingkungan sosial.
2004 Oktober 5. Bogor (ID): Hlm 467-474
Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Laan PA van der,
penerjemah. Jakarta (ID): Ichtiar Baru-van Hoeve. Terjemahan dari: De
Plagen van de Cultuurgewassen in Indonesië.
Latif A. 2012. Hama penggerek batang serang tanaman padi. Kompas [internet]
[diunduh
2014
Mei
25].
Tersedia
pada
http://regional.kompas.com/read/2012/05/15/19581752/Hama.Penggerek
batang serang tanaman padi
Lubis Y. 2005. Peranan keanekaragaman hayati artropoda sebagai musuh alami
pada ekosistem padi sawah. Jurnal Penelitian Bidang Ilmu Pertanian.
3(3):16-24
Misnaheti, Baco J, Aisyah. 2010. Tren perkembangan penggerek batang pada
tanaman di Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan
Tahunan PEI dan PFI XX Komisariat Daerah Sulawesi Selatan: 2010 Mei
27; Sulawesi Selatan. Sulawesi Selatan (ID): PEI. Hlm 410-415
Muralidharan IP. 2006. Assessments of crops losses in rice ecosystems due to
stem borer damage (Lepidoptera: Pyralidae) Crop Prot. 25:409-417
Rachmawati A. 2012. Dinamika Populasi Parasitoid Penggerek Batang Padi
Kunig, Scirpophaga incertulas (Walker) (Lepidoptera: Pyralidae) pada
Pertanaman Padi di Klaten (skripsi). Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Rauf A. 2000. Parasitisasi telur penggerek batang padi putih, Scirpophaga
innotata (Walker) (Lepidoptera: Pyralidae), saat terjadi ledakan di karawang
pada awal 1990-an. Buletin Hama dan Penyakit Tumbuhan.12(1): 1-10.
Santoso JS, Sulistyo J. 2007. Peranan musuh alami hama utama padi pada
ekosistem sawah. J INNOFARM. 6(1). (1-10)
Shepard B, Barrion AT, Litsinger JA. 1995. Serangga, laba-laba dan patogen yang
membantu. Ed ke-7. Untung K dan Wirjosuharjo S, penerjemah. Philipina
(PH). Helpful insect, spiders, and phathogens. IRRI 127 hlm.
Suharto H, Usyati N. 2005. The stem borer infestation on rice cultivars at three
planting times. Indones J Agric Sci. 6(2):39-45
18
Suharto H, Usyati N. 2009. Pengendalian hama penggerek batang padi. Laporan
balai besar penelitian tanaman padi. Hlm. 323-246
Supartha INY, Wijana G, Adnyana GM. 2012. Aplikasi jenis pupuk organik pada
tanaman padi sistem pertanian organik. J Agrotek Trop. 1(2): 98-106
Van der Goot P. 1925. Levenswijze en bestrijding van den witten rijstboorder op
Java. Meded Inst Plantenziekten 66: 1-308.
Wangiyana W, Laiwan Z, Sanisah. 2009. Pertumbuhan dan hasil tanaman padi
var. Ciherang dengan teknik budidaya “SRI (System of rice intensification)”
pada berbagai umur dan jumlah bibit per lubang tanam. Crop Agro. 2(1):7078
Wilyus, Nurdiansyah F, Herlinda S, Irsan C, Pujiastuti Y. 2012. Potensi parasitoid
telur penggerek batang padi kuning Scirpophaga incertulas (Walker) pada
beberapa tipologi lahan di provinsi Jambi. JHPT Trop. 12(1):56-63
Winarso S.2005. Kesuburan Tanah, Dasar Kesehatan dan Kualitas Tanah.
Yogyakarta (ID) : Gava Media
Yunus M. 2012. Kehidupan Scirpophaga incertulas dan Peran Trichogamma
japonicum sebagai Pengendali Populasi (disertasi). Yogyakarta (ID):
Universitas Gajah Mada.
.
13
LAMPIRAN
20
Lampiran 1 Hasil analisis ragam jumlah kelompok telur di lahan sistem organik
dan konvensional
Sumber
8 MST
Perlakuan
Galat
Total Terkoreksi
10 MST
Perlakuan
Galat
Total Terkoreksi
DB
JK
KT
F hit
Pr > F
1
4
5
0.66666667
10.66666667
11.33333333
0.66666667
2.66666667
0.25
0.6433
1
4
5
2.66666667
66.66666667
69.33333333
2.66666667
16.66666667
0.16
0.7096
Lampiran 2 Hasil analisis ragam jumlah total parasitoid di lahan sistem organik
dan konvensional
Sumber
DB
JK
KT
F hit
Pr > F
8 MST
Perlakuan
1
130.666667 130.666667
0.07
0.8086
Galat
4 7804.666667 1951.166667
Total Terkoreksi
5 7935.333333
10 MST
Perlakuan
1 24193.50000 24193.50000
12.27
0.0248
Galat
4
7889.33333 1972.33333
Total Terkoreksi
5 32082.83333
Lampiran 3 Hasil analisis ragam persentase parasitisasi parasitoid telur PBPK
pada lahan sistem organik dan konvensional
Sumber
DB
JK
KT
F hit
Pr > F
8 MST
Perlakuan
1
27.264017
27.264017
0.03
0.8636
Galat
4 3250.475867 812.618967
Total Terkoreksi
5 3277.739883
10 MST
Perlakuan
1
156.774817 156.774817
0.34
0.5905
Galat
4 1837.743333 459.435833
Total Terkoreksi
5 1994.518150
21
Lampiran 4 Hasil analisis ragam jumlah Tetrastichus schoenobii yang ditemukan
di lahan sistem organik dan konvensional
Sumber
DB
JK
KT
F hit
Pr > F
8 MST
Perlakuan
1
88.166667
88.166667
0.19
0.6855
Galat
4 1856.666667 464.166667
Total Terkoreksi
5 1944.833333
10 MST
Perlakuan
1 2688.166667 2688.166667
2.76
0.1718
Galat
4 3890.666667 972.666667
Total Terkoreksi
5 6578.833333
Lampiran 5 Hasil analisis ragam jumlah Telenomus rowani yang ditemukan di
lahan sistem organik dan konvensional
Sumber
DB
JK
KT
F hit
Pr > F
8 MST
Perlakuan
1
468.166667 468.166667
0.23
0.6580
Galat
4 8219.333333 2054.833333
Total Terkoreksi
5 8687.500000
10 MST
Perlakuan
1 10752.66667 10752.66667
4.09
0.1133
Galat
4 10525.33333 2631.33333
Total Terkoreksi
5 21278.00000
Lampiran 6 Hasil analisis ragam jumlah larva PBPK yang ditemukan di lahan
sistem organik dan konvensional
Sumber
DB
JK
KT
F hit
Pr > F
8 MST
Perlakuan
1
7993.50000 7993.50000
1.11
0.3520
Galat
4 28873.33333 7218.33333
Total Terkoreksi
5 36866.83333
10 MST
Perlakuan
1
5828.16667 5828.16667
0.40
0.5606
Galat
4 58018.66667 14504.66667
Total Terkoreksi
5 63846.83333
13
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Desa Gelumbang pada tanggal 6 Maret 1993 dari ayah
Wahidin dan ibu Umi Kalsum. Penulis adalah putra ke empat dari empat
bersaudara. Tahun 2010 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Kikim Timur dan pada
tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB)
melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah dan diterima di Departemen Proteksi
Tanaman, Fakultas Pertanian.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten praktikum
Dasar-Dasar Proteksi Tanaman pada tahun ajaran 2013/2014. Penulis pernah aktif
sebagai staf komisi 2 dewan perwakilan mahasiswa tingkat persiapan bersama
(DPM TPB) periode 2010/2011. Ketua divisi penegak disiplin masa perkenalan
departemen proteksi tanaman angkatan 48 (MPD PTN 48), dan ketua divisi dana
us