Pemodelan Fenologi Populasi Penggerek Batang Padi Kuning Scirpophaga incertulas (Walker) Berbasis Pengaruh Iklim

PEMODELAN FENOLOGI POPULASI PENGGEREK BATANG
PADI KUNING Scirpophaga incertulas (Walker) BERBASIS
PENGARUH IKLIM

SYAHRIZAL KOEM

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pemodelan Fenologi
Populasi Penggerek Batang Padi Kuning Scirpophaga incertulas (Walker)
Berbasis Pengaruh Iklim adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2013

Syahrizal Koem
NIM G251110031

RINGKASAN
SYAHRIZAL KOEM. Pemodelan Fenologi Populasi Penggerek Batang Padi
Kuning Scirpophaga incertulas (Walker) Berbasis Pengaruh Iklim. Dibimbing
oleh YONNY KOESMARYONO dan IMPRON.
Provinsi Jawa Barat merupakan daerah produksi padi tertinggi di Indonesia,
menyumbang rata-rata produksi beras nasional sebesar 17.4% tahun 2009 sampai
2012. Jumlah produksi dapat dipertahankan atau ditingkatkan jika mampu
memproteksi padi dari serangan hama. Tahun 1995, populasi penggerek batang
padi putih (PBP) Scirpophaga innotata (Walker) menurun sedangkan populasi
penggerek batang padi kuning (PBK) Scirpophaga incertulas (Walker) meningkat
menjadi 30%. Sejak itu, PBK lebih mendominasi dengan populasi lebih dari 90%.
Berdasarkan laporan dari Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, beberapa
wilayah di Jawa Barat khususnya wilayah Pantai Utara memiliki total luas

serangan tahunan yang tinggi dibanding dengan wilayah-wilayah lain, mencapai ±
10 sampai 12 ribu ha. Penyebab munculnya PBK diduga sebagai akibat dari
peralihan varietas padi. Selain itu, faktor iklim sangat mempengaruhi dinamika
populasi penggerek batang padi.
Memahami siklus hidup dan dinamika populasi hama yang erat kaitannya
dengan iklim penting dilakukan untuk strategi manajemen jangka panjang,
sedangkan prediksi musiman penting untuk menerapkan tindakan pengendalian
yang efektif untuk mengurangi kehilangan hasil produksi dan kerugian ekonomi.
Penelitian ini menggunakan perangkat lunak DYMEX dan bertujuan menyusun
model prediksi populasi PBK dan menilai kemampuan model untuk memprediksi
kelimpahan dan puncak populasi PBK pada skenario perubahan iklim SRES A1FI
dan B1. Pemodelan PBK membutuhkan dua komponen utama yaitu paramater
iklim dan suhu ambang bawah perkembangan (To) untuk menggambarkan siklus
hidup PBK dari telur, larva, pupa, dan tahap imago. DYMEX juga dapat
menggambarkan perkembangan, mortalitas, transfer individu dari satu tahap ke
tahap kehidupan selanjutnya, serta fekunditas dan reproduksi PBK.
Nilai koefisien determinasi (R2) kalibrasi model antara prediksi dan
observasi menunjukan korelasi positif yang kuat dengan nilai R2 0.72. Validasi
model juga dapat memprediksi populasi puncak, dengan R2 sebesar 0.42. Hasil
simulasi menunjukan bahwa kecenderungan puncak populasi terjadi ketika

intensitas curah hujan tinggi yaitu pada bulan Maret sampai April, Juli sampai
September, dan November sampai Desember. Model memprediksi populasi PBK
di wilayah Sukamandi dan Pusaka Negara mencapai 3 generasi per tahun
sedangkan di Kuningan 2 generasi per tahun. Penurunan jumlah populasi akan
mempengaruhi jumlah generasi PBK di tiga wilayah.
Simulasi model di bawah skenario perubahan iklim SRES A1FI dan B1
menunjukan perbedaan sensitivitas. Kecenderungan peningkatan populasi PBK di
wilayah Pusaka Negara dan Kuningan dan penurunan di wilayah Sukamandi. Di
bawah perubahan iklim, kondisi lingkungan di Pusaka Negara dan Kuningan
menjadi lebih cocok untuk perkembangbiakan PBK, yang memungkinkan
peningkatan jumlah generasi per tahun.

Tingkat akurasi model masih dapat ditingkatkan dengan mengeksplorasi
interaksi antara PBK dan tanaman inang (padi) serta parasitasi musuh alami
terhadap PBK, menjadi variabel yang dapat ditambahkan sebagai input. Hal ini
menjadikan model lebih kompleks, sehingga dapat mencerminkan kondisi
populasi PBK di lapangan. Lebih lanjut kemampuan model dapat ditingkatkan
dengan mengintegrasikan perangkat lunak DYMEX dan CLIMEX untuk
menentukan distribusi spesies dalam kaitannya dengan iklim. Integrasi model ini
dapat mensimulasikan risiko regional dan menentukan apakah suatu lokasi

berpotensi terserang oleh spesies PBK.
Penelitian ini menghasilkan sebuah model yang mampu memprediksi
pengaruh iklim terhadap populasi PBK dan menghasilkan pola yang sesuai antara
prediksi dan observasi. Model memprediksi dengan baik jumlah generasi dan
puncak populasi ketika intensitas curah hujan tinggi maupun intensitas curah
hujan rendah. Hasil ini menunjukkan bahwa DYMEX dapat digunakan sebagai
alat untuk merumuskan manajemen dan perencanaan pengendalian PBK pada
kondisi iklim saat ini dan masa depan.

Kata kunci: DYMEX, kelimpahan, model populasi, perubahan iklim, puncak
populasi

SUMMARY
SYAHRIZAL KOEM. Population Phenology Modelling of Rice Yellow Stem
Borer Scirpophaga incertulas (Walker) Based Effects of Climate. Supervised by
YONNY KOESMARYONO and IMPRON.
West Java province is the highest of rice production area in Indonesia,
contributing an average of national rice production about 17.4% in 2009 to 2012.
Rice production can be maintained or enhanced if we have a great capability to
protect rice from pests’ infestation. In 1995, the population of rice white stem

borer (WSB) Scirpophaga innotata (Walker) decreased, while the population of
the rice yellow stem borer (YSB) Scirpophaga incertulas (Walker) increased to
30%. Since 1995, YSB was more dominant than WSB, with population of more
than 90%. Based on the report from Directorate of Food Crop Protection, some
areas in the West Java in particular of North Coastal region has a total area of high
annual infestation compared to other regions, reaching ± 10 to 12 thousand ha.
High infestation of YSB is suspected as a result from transition of rice varieties.
Furthermore, climatic might have strong influence on population dynamics of rice
stem borer.
Understanding relationship between climatic factors and life cycle and
population dynamics of YSB is important for long- and short term management
strategies, as control measures to reduce production and economic losses. This
research utilized DYMEX software and aims to develop a population dynamic
model of YSB and to assess model's ability to predict abundance and population
peak of YSB under climate change scenario SRES A1FI and B1. Modeling the
YSB requires two major components: climate parameter and lower developmental
threshold temperatures (To) to describe life cycle of YSB from the egg, larva,
pupa, and adult stages. DYMEX also describe development, mortality, transfer of
individuals from one to the next life stages, fecundity and reproduction of YSB.
The coefficient of determination (R2) of calibration models between

predictions and observations showed a strong positive correlation of 0.72. Model
validation could well predict the peak population, with R2 of 0.42. The
simulations showed that the trend of population peaks occur at high rainfall i.e. in
March to April, July to September, and November to December. The model
predicted YSB population in the Sukamandi and Pusaka Negara reaches 3
generations per year, while in Kuningan 2 generations per year. Decrease in the
population will affect the number generations of YSB in the three regions.
Simulation models under climate change scenarios SRES A1FI and B1
showed differences in the sensitivities. Trend of YSB population is increasing in
the regions Pusaka Negara and Kuningan and decreasing in region Sukamandi.
Under changing climate, environment conditions in Pusaka Negara and Kuningan
become more suitable for the proliferation YSB, allowing an increase in the
number of generations per year.
The level of model accuracy can still be improved by exploring more
variables to include interactions between YSB and host plant (paddy) and the
natural predators parasitism against the YSB. This makes model becomes more
complex but may reflect better condition of YSB populations in the field. Further

model improvement could be facilitated by be integrating DYMEX and CLIMEX
software to determine the distribution of species in relation to climatic conditions.

This models integration can simulate regional risks and determine whether a site
could potentially be infested by YSB species.
This study produces a model which is able to predict effect of climate on
YSB populations and generate patterns that fit between the predictions and
observations. The model produced good predictions on number of generations and
population peaks under high and low rainfall intensities. These results show that
DYMEX could be used as a tool for planning and managing YSB control under
current and future climatic conditions.
Keywords: abundance, climate change, DYMEX, population models, population
peak

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


PEMODELAN FENOLOGI POPULASI PENGGEREK BATANG
PADI KUNING Scirpophaga incertulas (Walker) BERBASIS
PENGARUH IKLIM

SYAHRIZAL KOEM

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Klimatologi Terapan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Penguji luar komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Rini Hidayati, MS


Judul Tesis : Pemodelan Fenologi Populasi Penggerek Batang Padi Kuning
Scirpophaga incertulas (Walker) Berbasis Pengaruh Iklim
: Syahrizal Koem
Nama
: G251110031
NIM

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Yonny Koesmaryono, MS
Ketua

Dr Ir Impron, MAgrSc
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Klimatologi Terapan


Tanggal Ujian: 28 Juni 2013

Tanggal Lulus:

Judul Tesis : Pemodelan Fenologi Populasi Penggerek Batang Padi Kuning
Scirpophaga incertulas (Walker) Berbasis Pengaruh Iklim
Nama
: Syahrizal Koem
NIM
: G251110031

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Yonny Koesmaryono, MS
Ketua

Dr Ir Impron, MAgrSc
Anggota


Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Klimatologi Terapan

Dr Ir Tania June, MSc

Tanggal Ujian: 28 Juni 2013

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Puji syukur senantiasa tetap kita haturkan kepada Allah subhanahu wa
ta’ala atas rahmat dan kuasanya sehingga penelitian ini dapat diselesaikan.
Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Januari 2013 dengan mengambil judul
Pemodelan Fenologi Populasi Penggerek Batang Padi Kuning Scirpophaga
incertulas (Walker) Berbasis Pengaruh Iklim.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih terdapat kekurangan. Oleh
karena itu, saran dan kritik yang sifatnya membangun sangat dibutuhkan untuk
kesempurnaan penelitian ini, sehingga dapat menjadi masukan dalam penyusunan
penelitian lainnya.
Ucapan terima kasih kepada dosen pembimbing Prof Dr Ir Yonny
Koesmaryono, MS dan Dr Ir Impron, MAgrSc atas bimbingan dan ilmunya,
disamping itu penulis sampaikan terima kasih yang tulus kepada Ir Lilik
Retnowati dan Davied Aprianto Sofyan, SP dari Balai Besar Peramalan
Organisme Penggangu Tanaman (BBPOPT) atas dukungan data light trap imago
dan data iklim. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Karmila Sari, SSi
MSi dari Balai Penelitian Agroklimatologi dan Hidrologi (BALITKLIMAT) atas
dukungan data iklim dan kepada jajaran Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan
RI atas dukungan data serangan penggerek batang padi. Ungkapan terima kasih
disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas doa dan dukungannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat

Bogor, Juni 2013

Syahrizal Koem

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
3
3
3
3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Bioekologi Penggerak Batang Padi Kuning
Morfologi dan Siklus Hidup Penggerak Batang Padi Kuning
Pengaruh Unsur Iklim Terhadap Dinamika Penggerak Batang Padi Kuning
Pengaruh Kelembaban Tanah Terhadap Penggerak Batang Padi Kuning
Penelitian Sebelumnya yang Pernah Dilakukan Terkait dengan Pemodelan
Fenologi Serangga Menggunakan DYMEX

4
4
4
6
8
8

3 METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Alat
Data dan Sumber Data
Pemodelan Populasi
Proses Menjalankan Sumulasi

9
9
9
9
10
13

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Iklim dan Topografi Wilayah Kajian
Persyaratan Ambang Suhu Perkembangan Penggerek Batang Padi Kuning
Kalibrasi Model
Validasi Model
DYMEX: Simulasi Model
Prediksi Populasi Penggerek Batang Padi Kuning di Bawah Skenario
Perubahan Iklim
Managemen Pengendalian Populasi Penggerek Batang Padi Kuning
Penerapan dan Perbaikan Model Populasi ke Depan

16
16
17
18
21
23
25
30
31

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

32
32
32

LAMPIRAN

38

RIWAYAT HIDUP

48

DAFTAR TABEL
1

Stasiun cuaca yang digunakan untuk menguji dan menjalankan
dinamika populasi penggerek batang padi kuning dalam DYMEX
2 Periode perkembangan (hari) telur, larva, dan pupa penggerek batang
padi kuning pada suhu konstan (oC)
3 Inisialisasi nilai yang digunakan dalam simulasi
4 Nilai yang digunakan dalam simulasi untuk skenario perubahan iklim
tahun 2020-an dan tahun 2050-an
5 Rata-rata tahunan unsur iklim wilayah Kuningan, Pusaka Negara, dan
Sukamandi tahun 2010 - 2012
6 Suhu (oC), periode perkembangan (hari), laju perkembangan (DR),
untuk telur, larva, dan pupa penggerek batang padi kuning
7 Persamaan regresi laju perkembangan, R2, suhu ambang bawah
perkembangan (To), dan degree days untuk perkembangan telur, larva,
dan pupa penggerek batang padi kuning
8 Hasil uji statistik kalibrasi model populasi penggerek batang padi
kuning wilayah Jatisari 5 Juni – 31 Desember 2011
9 Prediksi dinamika populasi penggerek batang padi kuning wilayah
Sukamandi, Pusaka Negara, dan Kuningan di bawah skenario
perubahan iklim SRES A1FI
10 Prediksi dinamika populasi penggerek batang padi kuning wilayah
Sukamandi, Pusaka Negara, dan Kuningan di bawah skenario
perubahan iklim SRES B1

9
12
13
14
16
17

18
19

26

26

DAFTAR GAMBAR
1
2
3

4
5
6

7

8

Siklus hidup penggerek batang padi kuning
Kerangka penelitian
Jumlah populasi imago 3 minggu 5 Juni - 31 Desember 2011, hasil
prediksi (- - -) dan observasi (—) penggerek batang padi kuning. (a)
mortalitas 0.1; (b) mortalitas 0.15; (c) mortalitas 0.2; (d) mortalitas
0.25
Jumlah populasi imago penggerek batang padi kuning 3 minggu 22
Januari-10 November 2012, hasil prediksi (- - -) dan observasi (—)
Hubungan antara jumlah populasi imago penggerek batang padi
kuning hasil prediksi dan observasi
DYMEX model prediksi untuk imago dan telur penggerek batang padi
kuning, total populasi bulanan wilayah Sukamandi dan Pusaka
Negara, 1 April 2009 – 31 Oktober 2012
DYMEX model prediksi untuk imago dan telur penggerek batang padi
kuning, total populasi bulanan wilayah Kuningan, 1 April 2009 – 31
Oktober 2012
Dinamika populasi penggerek batang padi kuning pada skenario
perubahan iklim SRES A1FI dan B1 untuk imago dan telur wilayah
Sukamandi. (—) kini, (—) 2020-an, (—) 2050-an

5
11

20
22
22

23

24

27

9

Dinamika populasi penggerek batang padi kuning pada skenario
perubahan iklim SRES A1FI dan B1 untuk imago dan telur wilayah
Pusaka Negara. (—) kini, (—) 2020-an, (—) 2050-an
10 Dinamika populasi penggerek batang padi kuning pada skenario
perubahan iklim SRES A1FI dan B1 untuk imago dan telur wilayah
Kuningan. (—) kini, (—) 2020-an, (—) 2050-an

28

29

DAFTAR LAMPIRAN
Hubungan antara suhu (oC) dan laju perkembangan pada berbagai fase.
(a) telur, (b) larva, (c) pupa penggerek batang padi kuning
2 Hubungan antara jumlah populasi imago hasil prediksi dan observasi
penggerek batang padi kuning menggunakan nilai ln (x + 1). (a)
mortalitas 0.1; (b) mortalitas 0.15; (c) mortalitas 0.2; (d) mortalitas
0.25
3 DYMEX prediksi model untuk larva dan pupa penggerek batang padi
kuning, total populasi bulanan, 1 April 2009 – 31 Oktober 2012
menggunakan nilai ln (x + 1). Wilayah Sukamandi, Pusaka Negara,
dan Kuningan
4 Hubungan antara curah hujan (mm/bln) dan jumlah populasi
penggerek batang padi kuning luaran DYMEX. Wilayah Sukamandi
dan Pusaka Negara 1 April 2009 – 31 Oktober 2012
5 Hubungan antara curah hujan (mm/bln) dan jumlah populasi
penggerek batang padi kuning luaran DYMEX. Wilayah Kuningan 1
April 2009 – 31 Oktober 2012
6 Dinamika populasi penggerek batang padi kuning pada skenario
perubahan iklim SRES A1FI dan B1 untuk larva dan pupa wilayah
Sukamandi dan Pusaka Negara. (—) kini, (—) 2020-an, (—) 2050-an
7
Dinamika populasi penggerek batang padi kuning pada skenario
perubahan iklim SRES A1FI dan B1 untuk imago, telur, larva dan
pupa wilayah Kuningan. (—) kini, (—) 2020-an, (—) 2050-an
8 Window komponen dalam model builder yang ditampilkan untuk
menunjukkan beberapa rincian modul.
9 Window komponen dalam model simulator
10 Contoh data jumlah populasi penggerek batang padi kuning luaran
DYMEX
1

38

39

40

41

42

43

44
45
46
47

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hama penggerek batang padi kuning (PBK) Scirpophaga incertulas
(Walker) terdistribusi di wilayah tropis seperti Bangladesh, India, Malaysia,
Pakistan, Filipina, Sri Langka, Thailand, Vietnam, dan sebagian wilayah
Indonesia (Pathak dan Khan 1994). Di Indonesia, PBK merupakan hama utama
pada tanaman padi dan lebih dominan menyerang khusunya di Provinsi Jawa
Barat. Di sisi lain, Jawa Barat merupakan provinsi dengan produksi padi tertinggi
menyumbang rata-rata produksi beras nasional sebesar 17.4% dengan rata-rata
luas panen mencapai 1 967 781 ha pada tahun 2009 sampai 2012 (BPS 2012).
Sehingga munculnya PBK dapat menyebabkan kehilangan hasil produksi dan
kerugian ekonomi.
Berdasarkan data Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan beberapa
wilayah di Jawa Barat khususnya wilayah Pantai Utara memiliki luas serangan
penggerek batang padi yang tinggi dibanding dengan wilayah-wilayah lain. Pada
tahun 2012 luas serangan penggerek batang padi di Kabupaten Karawang, Bekasi,
Indramayu, dan Subang masing-masing mencapai 11 544, 10 191, 2377, dan 1163
ha. Tingginya luas serangan oleh penggerek batang padi yang dapat menyebabkan
padi terkena puso merupakan masalah serius yang perlu mendapat perhatian untuk
meminimalisir kehilangan jumlah produksi.
Penyebab munculnya PBK diduga akibat dari perubahan iklim (Estay et al.
2009). Fenomena kemarau panjang yang terjadi pada tahun 1982 sampai 1983
menunjukan bahwa faktor iklim memicu kematian PBK, sementara kondisi pada
saat terjadi kemarau panjang hanya memungkinkan untuk penggerek batang padi
putih (PBP) S. innotata bertahan hidup, sebab larva PBP mampu berdiapause dan
bertahan hidup 10 sampai 12 bulan (Litsinger et al. 2006a). Namun pada tahun
1995, populasi PBP mengalami penurunan, sedangkan populasi PBK meningkat
menjadi 30%, sehingga PBK lebih mendominasi dengan populasi lebih dari 90%
(Suharto dan Sembiring 2007; Suharto dan Usyati 2008). Disisi lain, PBK lebih
mudah beradaptasi dengan iklim monsun (Litsinger et al. 2006a) yang merupakan
tipe iklim di wilayah Jawa Barat (Aldrian dan Susanto 2003), hal ini semakin
mendukung perkembangan PBK menjadi lebih cepat dan melimpah sehingga
menyebabkan kerusakan tanaman padi.
PBK adalah spesies wilayah tropis yang memiliki musim kemarau dan
musim hujan yang jelas (curah hujan tahunan lebih dari 1000 mm), dengan jumlah
generasinya bergantung pada faktor-faktor lingkungan seperti suhu, curah hujan,
dan ketersediaan tanaman inang (Reissig et al. 1986; Khan et al. 1991; Heinrichs
1994; Pathak dan Khan 1994; Litsinger et al. 2006a). PBK muncul dan dapat
betahan hidup dengan suhu ambang batas minimum dan maksimum masingmasing berkisar antara 10 sampai 15 oC dan 35 sampai 40 oC (Rahman
dan Khalequzzaman 2004). Berdasarkan kondisi tersebut, maka PBK cocok
hidup dan berkembang di wilayah Pantai Utara Jawa Barat yang memiliki suhu
rata-rata minimum dan maksimum masing-masing 22 dan 30 oC serta total curah
hujan tahunan mencapai 1500 sampai 1600 mm.

2
Berbagai faktor yang mempengaruhi dinamika populasi hama penggerek
batang padi masih menjadi hal yang menarik untuk diteliti. Telah banyak
penelitian yang menyatakan bahwa kelimpahan hama disebabkan oleh tanaman
inangnya. Khusus untuk penggerek batang padi, dinamika populasi lebih
disebabkan oleh peralihan varietas padi (Triwidodo 1993). Namun, beberapa
peneliti menyimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi dinamika populasi
penggerek batang padi sangat dipengaruhi oleh faktor iklim (Litsinger et al.
2006a; Estay et al. 2009). Iklim merupakan faktor paling penting dalam
menentukan distribusi geografis, dinamika populasi serangga, dan hama tanaman,
yang mana iklim dapat mengontrol tingkat perkembangan, kelangsungan hidup,
tingkat aktivitas serta migrasi dan pembentukan serangga sehingga menjadi wabah
(Mavi dan Tupper 2004).
Secara kuantitatif, dinamika populasi penggerek batang padi dikendalikan
oleh faktor iklim dengan pola tanam konvensional (Yang et al. 2009), akan tetapi
faktor iklim seperti suhu, kelembaban, dan curah hujan untuk setiap kelompok
yang berbeda, secara signifikan menunjukkan peran penting dalam dinamika
populasi hama (Kwon et al. 2012).
Penyusunan model prediksi dinamika populasi PBK dilakukan untuk
keperluan manajemen strategis dan pengambilan keputusan ke depan pada kondisi
iklim yang cenderung mengalami perubahan setiap dekade. Berdasarkan laporan
IPCC (2007a), sejak tahun 1990 sampai 2005 terjadi peningkatan suhu rata-rata
global antara 0.15 sampai 0.30 oC. Dampak perubahan iklim secara langsung akan
mempengaruhi dinamika populasi hama pertanian seperti fisiologi, kelimpahan,
fenologi, dan distribusi serangga (Bale et al. 2002; Dukes et al. 2009; Lastuvka
2009; Shi et al. 2011). Selain itu, perubahan iklim mempengaruhi perubahan
dimensi hama (Thomson et al. 2010). Beberapa penelitian yang dilakukan
menyatakan bahwa perubahan iklim dapat mempengaruhi distribusi serangga
fitofag khususnya lepidoptera yang merupakan bangsa dari PBK (Cannon 1998;
Parmesan et al. 1999; Batalden et al. 2007; Trnka et al. 2007). Respon serangga
terhadap perubahan iklim akan memberikan informasi tentang faktor-faktor yang
mengatur hubungan populasi serangga dengan lingkungan untuk pengendalian di
masa depan (Kwon et al. 2012)
Memahami siklus hidup dan dinamika populasi hama yang erat kaitannya
dengan iklim penting dilakukan untuk strategi manajemen jangka panjang (Nylin
2001), sedangkan untuk mengurangi kehilangan hasil produksi dan kerugian
ekonomi diperlukan prediksi musiman yang dapat digunakan dalam menerapkan
tindakan pengendalian yang efektif (Nahrung et al. 2008). Proses dinamika
tersebut dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak DYMEX, yang meliputi
antara lain perkembangan dan mortalitas, kelimpahan dan waktu puncak populasi
PBK pada kondisi iklim yang cenderung fluktuatif.
Penelitian menggunakan DYMEX untuk memprediksi dinamika populasi
serangga masih dikembangkan di wilayah-wilayah subtropis seperti Australia dan
New Zealand (Yonow et al. 2004; Nahrung et al. 2008; Kriticos et al. 2009),
sedangkan di wilayah tropis, khususnya di Indonesia sejauh ini belum
dikembangkan. DYMEX didasarkan pada konsep kohort dalam tahap kehidupan.
Konsep kohort menyediakan mekanisme untuk menjelaskan berbagai tanggapan
populasi serangga yang dimodelkan terhadap kondisi yang berbeda, sehingga
model lebih realistis daripada model berdasarkan probabilitas (Yonow et al. 2004).

3
Perumusan Masalah
Wilayah Pantai Utara Jawa Barat saat ini menjadi wilayah endemik spesies
PBK. Selain itu, PBK mampu beradaptasi dengan tipe iklim monsun yang
merupakan tipe iklim di wilayah tersebut. Disisi lain, wilayah Pantai Utara
sebagai produksi beras nasional, sehingga upaya pengendalian PBK menjadi
penting dilakukan untuk mengurangi kehilangan hasil produksi beras. Upaya
untuk mengatasi masalah tersebut dapat dilakukan melalui pengembangan model
prediksi dinamika populasi PBK. DYMEX merupakan perangkat lunak yang
memudahkan dalam penyusunan model prediksi. Penyusunan model prediksi
dalam DYMEX menggambarkan siklus hidup dan dapat mepredikasi kelimpahan,
jumlah, dan puncak populasi PBK. Berdasarkan permasalahan tersebut, beberapa
hal yang hendak dikaji dalam penelitian ini adalah:
1.
Apakah model dapat memprediksi dengan baik jumlah dan puncak populasi
PBK?
2.
Bagaimana kemampuan model dalam memprediksi kelimpahan dan puncak
populasi PBK pada skenario perubahan iklim SRES A1F1 dan B1?
Tujuan Penelitian
1.
2.

Penelitian ini bertujuan:
Menyusun model prediksi jumlah dan puncak populasi PBK berbasis iklim.
Menguji kemampuan model dalam memprediksi kelimpahan dan puncak
populasi PBK pada skenario perubahan iklim SRES A1F1 dan B1.
Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat dimanfatkaan sebagai sumber informasi
dalam pegendalian PBK sehingga dapat mengurangi kehilangan produksi dan
kerugian ekonomi.
Ruang Lingkup Penelitian
Interaksi antara populasi PBK dengan iklim menyebabkan kelimpahan
populasi PBK jika lingkungan berada pada kondisi iklim yang ideal untuk
perkembangbiakan PBK. Oleh karena itu, ruang lingkup dalam penelitian ini
adalah melihat kemampuan model untuk memprediksi dinamika populasi PBK di
wilayah Jawa Barat. Penelitian ini difokuskan pada pengaruh iklim terhadap
dinamika populasi PBK. Pemodelan fenologi PBK pada penelitian ini tidak
memasukan faktor musuh alami, parasitasi, aplikasi pestisida, dan pengaruh
tanaman inang. Pemodelan fenologi PBK menggunakan perangkat lunak DYMEX
sebagai tool untuk menyusun model.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Bioekologi Penggerak Batang Padi Kuning
Perkembangan suatu spesies hama tidak lepas dari kondisi lingkungan yang
cocok untuk perkembangannya baik dari segi iklim, ketersedian makanan, dan
musuh alami. Saat terjadi kondisi lingkungan ekstrim seperti fenomena El Nino,
perubahan distribusi curah hujan dapat membawa pengaruh yang cukup besar bagi
organisme disekitarnya termasuk pada hama yang cenderung berubah secara
drastis (Koesmaryono et al. 2005). Akan tetapi, pada kondisi normal hama selalu
ada dan biasanya dalam jumlah yang tidak mengkhawatirkan (Triwidodo 1993;
Koesmaryono et al. 2005). Respon serangga terhadap perubahan global tidak
terkecuali hama PBK, berbeda-beda pada saat terjadi peningkatan suhu yang
berpotensi mengubah struktur populasi dan ekologi bergantung pada serangga dan
wilayah (Cornelissen 2011). Selain itu, Perubahan suhu akan mempengaruhi
perbedaan respon fenologi pada serangga (Kiritani 2006).
Dalam sistem pertanian, upaya pengendalian hama dilakukan untuk menjaga
kualitas dan hasil produksi. Saat ini, pengendalian suatu spesies hama seperti PBK
masih dilakukan dengan cara-cara yang kurang bijaksana seperti penggunaan
pestisida yang dampaknya tidak hanya mempengaruhi spesies hama, tetapi juga
dapat mempengaruhi ekosistem menjadi tidak berperan maksimal sebagaimana
fungsinya.
PBK merupakan hama yang bermetamorfosis sempurna, siklus hidupnya
terdiri atas stadia telur, larva, pupa, dan imago. Larva merupakan stadia yang
menggerek tanaman sehingga menimbulkan kerusakan, karena larva bergerak ke
dalam batang padi melalui pelepah dan batang menuju bagian tengah anakan padi.
Saat padi berada pada stadia generatif, larva PBK menggerek tanaman yang akan
bermalai, sehingga aliran hasil asimilasi tidak sampai ke dalam bulir padi, gejala
serangan pada tanaman stadia generatif disebut beluk, kerugian hasil yang
disebabkan oleh setiap persen gejala beluk berkisar antara 1 sampai 3% (Pathak
dan Khan 1994). Larva hidup dalam tanaman sampai instar ke-5 atau ke-6
bergantung pada lingkungan. Larva pindah dari satu tunas ke tunas lainnya
(Suharto dan Usyati 2008). Selain itu, PBK merupakan spesies yang mampu
bertahan pada kondisi sawah yang tergenang air (Khan et al. 1991).
Morfologi dan Siklus Hidup Penggerak Batang Padi Kuning
Siklus hidup PBK membutuhkan kondisi lingkungan yang sesuai dengan
perkembangannya, mulai dari telur sampai menjadi imago dan kemudian bertelur
lagi. Siklus hidup ini dapat menggambarkan tinggi rendahnya populasi serta
kerusakan dan kehilangan hasil produksi yang disebabkan oleh PBK. Lama siklus
hidup PBK dipengaruhi oleh suhu, sehingga di daerah subtropik siklus hidupnya
lebih panjang (Suharto dan Usyati 2008).
Di daerah tropik, penanaman tanaman padi secara terus-menerus sepanjang
tahun menyebabkan PBK akan terus berkembang sehingga dalam 1 tahun terdapat
7 sampai 8 generasi (Suharto dan Usyati 2008). PBK terdistribusi di wilayah Asia
dimana suhu di atas 10 oC (Pathak dan Khan 1994). Siklus hidup PBK berkisar

5
antara 39 sampai 58 hari. Periode perkembangan PBK bergantung pada
lingkungan dan makanan. Pada periode telur, menetas antara 0 sampai 5 hari
sampai berubah menjadi larva muda, sementara periode larva berkisar antara 6
sampai 35 hari sampai menjadi pupa (Reissig et al. 1986). Periode pupa sampai
menjadi imago berkisar antara 35 sampai 44 hari (Gambar 2.1), sedangkan
periode perkembangan imago membutuhkan waktu 44 sampai 54 hari (Reissig et
al. 1986).
Telur
Perkembangan telur dari hama endemik di suatu wilayah ditentukan oleh
kondisi iklim di wilayah tersebut. Jika suhu dan kelembaban masing-masing lebih
besar dari 34 0C dan kurang dari 70%, maka telur PBK tidak akan berkembang
dengan baik (Khan et al. 1991; Pathak dan Khan 1994; Catling dan Islam 1995).
Perkembangan yang ideal dan penetasan telur PBK masing-masing terjadi pada
suhu 13 dan 16 0C dengan kelembaban ideal antara 90 sampai 100% serta waktu
inkubasi mencapai 4 sampai 9 hari dan penetasan biasanya terjadi pada siang hari
(Khan et al. 1991; Pathak dan Khan 1994). Lebih lanjut, dalam setiap kelompok,
betina PBK mampu bertelur antara 100 sampai 600 butir dan biasanya telur
tersebut diletakkan di bawah bilah daun atau di ujung helai daun (Pathak dan
Khan 1994; Heinrichs 1994; Litsinger et al. 2006b; Suharto dan Usyati 2008).
Larva
Larva biasanya melewati 4 sampai 5 stadia sebelum menjadi pupa (Reissig
et al 1986; Khan et al. 1991). Larva muda PBK umumya berwarna putih dan
memiliki panjang 25 mm dengan durasi hidup antara 5 sampai 35 hari serta dapat
menembus kelopak daun dan menerobos ke dalam batang padi (Heinrichs 1994).
Dengan kemampuan membuat lubang pada kelopak daun dan batang padi selama
masa perkembangannya menyebabkan larva terhindar dari musuh alami. Selama
fase vegetatif tanaman, larva umumnya memasuki bagian dasar, biasanya 5
sampai 10 cm di atas air, sedangkan pada fase generatif tanaman, larva menggerek
bagian pangkal atau ruas batang padi sehingga menimbulkan gejala beluk,
sehingga pada tahap ini larva menyebabkan kerusakan maksimum (Khan et al.
1991; Pathak dan Khan 1994).

Gambar 2.1 Siklus hidup penggerek batang padi kuning

6
Perilaku PBK bergantung pada geografi, di daerah subtropik PBK
mengalami diapause sedangkan daerah tropis seperti di Indonesia tidak terjadi
diapause (Suharto dan Usyati 2008). Ketika musim hujan larva bermetamorfosis
menjadi pupa hingga menjadi ngengat. Pathak dan Khan (1994) mengemukakan
bahwa suhu ambang batas minimum dan optimum perkembangan larva PBK
masing-masing adalah 16 dan 35 oC. Lebih lanjut Khan et al. (1991); Pathak dan
Khan (1994) melaporkan bahwa larva PBK biasanya mencapai 4 sampai 7 instar
larva sampai pada tahap imago. Tetapi, kebanyakan larva hanya sampai pada larva
instar 5 jika suhu mencapai 23 sampai 29 oC dan sampai larva instar 4 jika suhu
mencapai 29 sampai 35 oC. Kondisi ini menunjukan semakin tinggi suhu maka
perkembangan larva semakin cepat.
Pupa
Perkembangan pupa penggerek batang padi dari larva menjadi pupa
biasanya terjadi pada jerami batang padi atau dalam batang padi (Khan et al.
1991). Periode perkembangan pupa sebelum menjadi imago berkisar antara 7
sampai 9 hari, dengan ambang batas suhu perkembangan 15 sampai 16 oC dan
suhu optimum 33 sampai 35 oC (Pathak dan Khan 1994). Diopsid pupa biasanya
ditemukan dalam jaringan yang membusuk (Khan et al. 1991; Pathak dan Khan
1994).
Imago
Tanaman inang utama PBK adalah padi, tetapi imago dapat bertelur pada
tanaman lain (Reissig et al. 1986). Kehadiran imago di areal persawahan hanya
terlihat pada saat musim hujan dan biasanya berproduksi selama 3 sampai 5
generasi tanaman padi (Heinrichs 1994), selain itu keberadaan imago tergantung
pada durasi penaburan benih dan pemindahan bibit padi, serta mengalami
pelonjakan populasi (melebihi populasi musuh alami) pada awal musim hujan.
Hal ini disebakan ketika awal musim hujan yang merupakan masa diapause akhir,
jumlah populasi musuh alami rendah dan secara masal imago terkonsentrasi untuk
bertelur. Heinrichs (1994) mengemukakan bahwa pada siang hari, imago PBK
berada di sawah atau di persemaian, dan ketika terganggu mereka terbang hanya
beberapa meter. Lebih lanjut, Suharto dan Usyati (2005) menyatakan bahwa
imago PBK pada siang hari tidak aktif dan bersembunyi diantara tanaman padi
atau gulma di dekat sawah, serta biasanya muncul dan bertelur pada jam 19.00
sampai 22.00 selama 3 sampai 5 malam.
Pengaruh Unsur Iklim Terhadap Dinamika Penggerak Batang Padi Kuning
Radiasi, suhu, curah hujan, kelembaban, dan angin yang berperan dalam
kehidupan serta distribusi PBK dapat menggambarkan dinamika PBK secara
keseluruhan. Selama ini, kajian hubungan iklim dengan serangga dan
perkembangan populasinya dapat dikategorikan menjadi 2 aliran yang berbeda
yaitu pertama aliran iklim yang menyatakan bahwa iklimlah yang mengatur
populasi organisme, sedangkan yang kedua yaitu aliran biologi yang menyatakan
bahwa faktor yang bertautan (parasit dan predator) yang dapat mengatur populasi
dan bukan iklim yang bekerja secara tidak bertautan (Koesmaryono 1991).

7
Curah Hujan
Curah hujan dapat berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap
tinggi rendahnya serangan organisme pengganggu tanaman. Pola curah hujan
yang berbeda setiap tahun, mempengaruhi dimensi ekologi hama serangga.
Diberbagai belahan dunia, curah hujan adalah faktor utama yang mempengaruhi
populasi hama (Mavi dan Tupper 2004). Akumulasi ambang batas curah hujan
untuk mengakhiri masa diapause penggerek batang padi adalah sekitar 10 mm
(Heinrichs 1994).
Kelembaban
Lingkungan yang hangat dan lembab dapat mendukung perkembangan
jumlah spesies hama yang banyak. Efek stres kelembaban baik langsung dan tidak
langsung pada tanaman membuat tanaman lebih rentan terserang oleh hama
sampai tanaman tersebut rusak dan mati, terutama pada tahap awal perkembangan
tanaman (Huang et al. 2010). Spesies penggerek batang padi membutuhkan
kelembaban yang tinggi, mortalitas penggerek batang padi relatif lebih tinggi pada
kelembaban kurang dari 70% (Khan et al. 1991; Catling dan Islam 1995).
Suhu
Suhu memainkan peran penting dalam menentukan fisiologi dan ekologi
hama, khususnya distribusi populasi, tingkat perkembangan, dan fenologi (Huang
et al. 2010). Penggerek batang padi sangat sensitif terhadap tinggi rendahnya suhu
lingkungan tempat berkembang. Pada saat suhu mengalami kenaikan secara
drastis, jenis PBP mampu berdiapause pada kondisi tersebut. Tetapi, di wilayah
tropis termasuk Indonesia PBK tidak berdiapause. Sedangkan untuk jenis
pengerek batang padi bergaris (PBG) Chilo suppressalis (Walker) berasal dari
family yang sama (Pyralidae dan Crambidae) dengan PBK suhu tinggi secara
signifikan mempercepat diapause larva PBG (Xiao et al. 2011). Selain itu suhu
minimum tahunan yang secara tidak langsung mencerminkan pemanasan iklim,
memiliki pengaruh signifikan terhadap tingkat perkembangan populasi hama
tahunan (Shi et al. 2012).
Angin
Pengaruh angin umumnya secara tidak langsung berperan terhadap
kelembaban udara dan terjadinya embun. Sedangkan pengaruh langsungnya
adalah terhadap penyebaran serangga. Angin menyebabkan perpindahan serangga
dan karenanya mempengaruhi perubahan angka populasi dengan mempengaruhi
angka populasi serangga yang masuk atau keluar dari suatu wilayah (Mavi dan
Tupper 2004). Agin dapat membawa serangga pada jarak yang cukup jauh ke
habitat baru (Shields dan Testa 1999). Serangga melakukan migrasi besar meliputi
ratusan bahkan ribuan kilometer dengan memanfaatkan angin sebagai sumber
energi (Shields dan Testa 1999; Byrne 1999). Imago PBK memiliki kemampuan
terbang lebih dari 100 km, dengan kemapuan terbang betina dan jantan masingmasing lebih dari 32 dan 50 km (Sun et al. 1993).

8
Pengaruh Kelembaban Tanah Terhadap Penggerak Batang Padi Kuning
Tingkat kelembaban tanah di area persawahan secara umum dipengaruhi
oleh faktor irigasi dan curah hujan. Kelembaban tanah secara langsung
mempengaruhi perkembangan maupun mortalitas pupa (Yonow et al. 2004). Pada
sawah yang beririgasi, PBK mampu berkembang dengan baik (Pathak dan Khan
1994), karena hama ini lebih cenderung hidup pada sawah yang menerapkan
penanaman secara berkelanjutan. Rencana pemerintah meningkatkan produksi
beras melalui pembangunan kawasan budidaya padi irigasi di Jawa Barat yang
meliputi 5 kabupaten yaitu Bekasi, Karawang, Subang, Indramayu, dan Cirebon
memungkinkan dilakukan penanaman 2 kali dalam setahun (Rubia et al. 1997).
Tentunya, hal ini sangat disukai oleh PBK untuk berkembang.
Penelitian Sebelumnya yang Pernah Dilakukan Terkait dengan Pemodelan
Fenologi Serangga Menggunakan DYMEX
Penelitian-penelitian untuk memprediksi dinamika populasi menggunakan
DYMEX belum pernah dilakukan di Indonesia. Namun, penelitian menggunakan
DYMEX telah banyak dilakukan di wilayah subtropis, karena perancangan
perangkat lunak DYMEX dilakukan oleh CSIRO dan Hearne Scientific Software
di Australia, sehingga aplikasi perangkat lunak DYMEX masih terbatas untuk
wilayah subtropis seperti Australia dan New Zealand. Penelitian-penelitian
sebelumnya yang terkait dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:
Yonow et al. (2004) melihat pengaruh faktor abiotik (iklim) mempengaruhi
fenologi lalat buah Queensland (QFF) Bactrocera tryoni pada 5 titik wilayah New
South Wales Australia menggunakan data iklim harian (suhu maksimum dan
minimum, curah hujan, dan evaporasi). Hasil populasi luaran model dibandingkan
dengan data tangkapan perangkap. Hasil penelitian menunjukan bahwa hasil
prediksi dan observasi ada kecocokan, namun pada lokasi lain tidak memberikan
hasil yang baik antara prediksi dan observasi. Nilai koefisien determinasi (R2)
terbaik adalah 0.37.
Nahrung et al. (2008) melakukan penelitian tentang persyaratan ambang
batas suhu perkembangan dari populasi kumbang Paropsis atomaria, data ambang
suhu yang diperloleh menjadi salah satu input utama untuk memodelkan fenologi
populasi kumbang Paropsis atomaria dalam DYMEX untuk memprediksi waktu,
durasi, kelimpahan yang terjadi di lapangan dan jumlah generasi di musim semi
dan musim gugur dengan menggunakan data iklim di wilayah Canberra dan
Queensland Australia. Hasil penelitian menunjukan bahwa ada kemiripan antara
puncak populasi luaran model dengan puncak populasi yang terjadi di lapangan.
Namun, ada pergeseran waktu puncak populasi antara model dan lapangan.
Kriticos et al. (2009) mengembangkan sebuah model dinamika populasi
untuk mengeksplorasi interaksi antara agen biokontrol Cleopus japonicus dan
tanaman inang Buddleja davidii di pulau utara New Zealand menggunakan data
iklim harian (suhu maksimum dan minimum, curah hujan, dan evapotranspirasi
potensial). Model menunjukan bahwa faktor iklim berdampak signifikan pada
interaksi antara kumbang Cleopus japonicus dan Buddleja davidii. Kumbang
Cleopus japonicus berpotensi mengancam pertumbuhan Buddleja davidii
tergantung pada kesesuaian iklim untuk kumbang Cleopus japonicus.

3 METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai April 2013 di
Laboratorium Agrometeorologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Alam, Institut Pertanian Bogor.
Alat
Penelitian ini menggunakan perangkat lunak (i) DYMEX versi 3.0 untuk
menganalisis dinamika populasi PBK, (ii) Climatic Data Generator versi 2.0 untuk
membangkitkan data iklim dan. (iii) Minitab versi 16 untuk uji statistik. Climatic
Data Generator versi 2.0 dikembangkan oleh Laboratorium Klimatologi
Departemen Geofisika dan Meteorologi.
Data dan Sumber Data
Data Iklim Harian
Penelitian ini menggunakan data sekunder. Data suhu minimum dan
maksimum, kelembaban relatif minimum dan maksimum, serta data curah hujan
dari 3 lokasi stasiun milik Balai Penelitian Agroklimatologi dan Hidrologi
(BALITKLIMAT) dan 1 stasiun milik Balai Besar Peramalan Organisme
Penggangu Tanaman (BBPOPT) Jatisari di wilayah Pantai Utara Jawa Barat tahun
2009 sampai 2012 (Tabel 3.1). Setiap data yang hilang dibangkitkan dengan
menggunakan perangkat lunak Climatic Data Generator versi 2.0 berbasis pada
pola curah hujan bulanan dan anomali suhu muka laut (SST) bulanan di wilayah
nino 3.4.
Data Light Trap Imago PBK
Data light trap populasi harian imago diperoleh dari Balai Besar Peramalan
Organisme Penggangu Tanaman (BBPOPT) Jatisari Kabupaten Karawang 5 Juni
2011 sampai 10 November 2012. Data ini digunakan untuk kalibrasi dan validasi
populasi imago dari hasil luaran model.
Tabel 3.1

Stasiun cuaca yang digunakan untuk menguji dan menjalankan
dinamika populasi penggerek batang padi kuning dalam DYMEX

Sukamandi BALITPA

Subang

Lintang
selatan
6.35o

Pusaka Negara IPPTP

Subang

6.28o

107.87o

56

Kuningan IPPTP

Kuningan

6.98o

108.46o

577

Karawang

o

o

Nama Stasiun

SMPK Jatisari

Kabupaten

6.21

Bujur
timur
107.65o

Ketinggian
(mdpl)
50

107.30

28

10
Pemodelan Populasi
Deskripsi Model
DYMEX merupakan model waktu diskrit yang dapat menelusuri keadaan
individu dalam kohort. Sebuah kohort baru akan terbentuk jika satu atau lebih
individu memasuki sebuah tahapan kehidupan melalui pengunaan fungsi fisiologis
tergantung keadaan variabel pada satu waktu tertentu (Kriticos et al. 2009).
Pemodelan PBK membutuhkan 2 komponen utama yaitu paramater iklim dan
suhu ambang bawah perkembangan (To) yang dapat diproses dalam siklus hidup
menggunakan DYMEX (Gambar 3.1). Dalam model ini, siklus hidup PBK dapat
dimodelkan dari telur, larva, pupa, dan imago. DYMEX mengidentifikasi tahap
kehidupan dalam siklus hidup PBK, serangkaian proses menggambarkan siklus
hidup, perkembangan, mortalitas, transfer individu dari satu tahap ke tahap
kehidupan berikutnya, fekunditas dan reproduksi (Nahrung et al. 2008).
Panjang Hari (Daylenght) dan Evaporasi
Input utama dalam menentukan panjang hari (daylenght) adalah garis
lintang, untuk menghitung waktu antara matahari terbit dan terbenam. Nilai yang
diperoleh menjadi nilai input untuk menentukan nilai evaporasi. Evaporasi
dihitung dengan menggunakan variabel input suhu harian minimum dan
maksimum, kelembaban minimum dan maksimum, dan panjang hari (daylenght)
yang dapat diestimasi dalam DYMEX.
Kelembaban Tanah
Nilai kelembaban tanah dapat dibangkitkan oleh DYMEX dengan input
utama curah hujan dan evaporasi. Kelembaban tanah dapat dinyatakan dalam
jumlah air (Handoko 1994), dengan indeks antara titik layu permanen (0) dan
kapasitas lapang (1) (Kriticos et al. 2003; Maywald et al. 2007a). Nilai
kelembaban tanah digunakan untuk menentukan mortalitas pada fase larva dan
pupa PBK, sebab larva dan pupa PBK berada di dalam batang padi dan cukup
dekat dengan tanah. Asumsi nilai inisialisasi kelembaban tanah yang digunakan
dalam pemodelan didorong oleh beberapa parameter sebagai berikut:
1.
Kapasitas kelembaban tanah (C): kapasitas menahan air dari lapisan tanah
didefinisikan sebagai 1 meter kedalaman perakaran yang diperlukan, dalam
mm. Tanah berpasir dapat menyimpan hanya 50 mm, sedangkan tanah liat
dan lempung masing-masing dapat menahan 150 mm dan 200 mm
(Maywald et al. 2007a).
2.
Koefisien evapotranspirasi (r): jumlah evaporasi dan transpirasi dari
vegetasi dinyatakan sebagai proporsi evaporasi panci terbuka. Dalam model
ini, koefisien evapotranspirasi didefinisikan sebagai fungsi kelembaban
tanah (Yonow et al. 2004). Umumnya antara 0.5 sampai 1.2 dengan nilai
tipikal 0.8 (Maywald et al. 2007a).
3.
Evapotranspirasi dasar (Eo): input evaporasi yang tersedia untuk
evapotranspirasi, terlepas dari status kelembaban tanah (mm). Kisaran nilai
0 sampai 5 mm, nilai yang digunakan diasumsikan 0 (Maywald et al. 2007a).

11
ulai

uhu min an ma
min an ma
urah u an

uhu am an awah
per em an an o

an an
ari

elur

ali rasi

ar a 1-

elem a an
tanah

aporasi

ar a

ar a
umlah
populasi luaran

l

a

Ima o

i e ai an mo el
oefisien eterminasi

pa ah pola
luaran
men e ati
o ser asi

i a
ola inami a
populasi
ulanan

upa

a

a

1 I

1
a

ana emen an
re omen asi

elesai

imulasi mo el
pa a on isi
i lim a tual

ata luaran
apat i una an

ali asi
mo el

Gambar 3.1 Kerangka penelitian
Perkembangan dan Mortalitas
Periode perkembangan (hari) digunakan untuk menentukan suhu ambang
bawah perkembangan (To) pada fase telur, larva, dan pupa disajikan pada (Tabel
3.2). To dimaksudkan sebagai suhu ambang yang dapat ditoleransi oleh setiap fase
untuk berkembang dan hubungan fungsi linier antara suhu dan laju perkembangan
PBK.

12
Tabel 3.2

Periode perkembangan (hari) telur, larva, dan pupa
penggerek batang padi kuning pada suhu konstan (oC)

Suhu (oC)
15
20
25
30
35

Periode perkembangan (hari)
Telur
Larva
Pupa
24.77
75.56
15.83
10.5
55.98
12.66
9.6
22.5
9.51
5.56
15.94
5.73
2.73
15.41
4.03

Sumber: Rahman dan Khalequzzaman (2004)

Mortalitas dalam model ini didorong oleh suhu dan kelembaban tanah.
Mortalitas konstan pada fase larva diasumsikan 0.01 per hari, sedangkan
mortalitas imago dimodelkan dengan menggunakan nilai 0.1, sehingga
mengurangi jumlah populasi sebesar 10% (Maywald et al. 2007b). Mortalitas
diasumsikan terkait dengan musuh alami, faktor biotik dan abiotik, serta
mortalitas akibat usia. Selain itu, larva terlindungi dari faktor-faktor yang
menyebabkan mortalitas, sebab posisi larva berada di dalam batang padi. Hal ini
yang menyebabkan mortalitas larva relatif lebih rendah dari mortalitas imago.
Nilai mortalitas imago 0.1 menjadi nilai dasar yang digunakan untuk
meningkatkan nilai mortalitas sampai 0.25 per hari. Variasi nilai mortalitas imago
sebagai pendekatan untuk menentukan nilai mortalitas pada kondisi real sebab
keterbatasan data mortalitas imago di lokasi kajian.
Proses tersebut dilakukan untuk menentukan parameter mortalitas imago
yang paling baik dan mendekati pola fluktuasi di lapangan. Data pada Tabel 3.2
digunakan untuk menentukan laju perkembangan (development rate) pada setiap
fase menggunkan persamaan (Lauziere et al. 2002):
1
DR 
(1)
d
dimana:
DR
= laju perkembangan (development rate)
d
= lama perkembangan (hari)
Suhu ambang bawah perkembangan (To) yaitu suhu yang menyebabkan
tidak terjadi perkembangan PBK atau laju perkembangan (DR) = 0. Suhu ambang
bawah perkembangan (To) setiap fase perkembangan PBK ditentukan dengan
model regeresi linier antara laju perkembangan dan suhu berdasarkan persamaan
(Lauziere et al. 2002; Nahrung et al. 2008):
y  a  bx
(2)
dimana :
y
= laju perkembangan (1/d)
x
= suhu
a, b
= konstanta
Untuk menentukan suhu ambang bawah perkembangan (To) pada fase
imago, menggunakan persamaan (Lauziere et al. 2002):
DD  d T - To 
(3)

13
dimana:
d
= lama perkembangan (hari)
T
= suhu tinggi yang dibutuhkan untuk perkembangan (oC)
To
= suhu dasar (oC)
DD
= derajat hari (degree day)
Tahapan Transfer, Fekunditas dan Reproduksi
Seluruh fase mentransfer setelah mencapai perkembangan penuh yaitu
mencapai usia fisiologis 1. Jika ambang usia fisiologis diatur ke nilai 1, maka usia
fisiologis pada setiap waktu akan sama seperti akumulasi degree days di atas
ambang suhu perkembangan (Yonow et al. 2004; Maywald et al. 2007a; Nahrung
et al. 2008).
Fekunditas secara umum diartikan sebagai kemampuan serangga untuk
bereproduksi, dan dimodelkan dalam bentuk parameter potensial telur PBK. Jika
setiap betina PBK mampu memproduksi telur sebanyak 100 sampai 600 butir
(Suharto dan Usyati 2008) dan usia rata-rata jantan dan betina masing-masing 2.5
dan 5.09 hari (Krishnaiah et al. 2004), serta dengan mengasumsikan bahwa sex
ratio antara jantan dan betina adalah 1:2, maka diperoleh telur sebanyak 400 butir
dalam populasi.
Labih lanjut, dalam pemodelan fenologi PBK, reproduksi diasumsikan
dikendalikan oleh siklus suhu harian dan curah hujan. Produksi meningkat jika
siklus suhu harian berkisar 22 oC, hal ini didasarkan pada suhu minimum rata-rata
wilayah kajian. Penggunaan suhu minimum sebagai indikator reproduksi
disebabkan imago betina bereproduksi dan meletakan telur pada malam hari
(bersifat nocturnal). Oleh karena itu, suhu minimum rata-rata dinilai cukup tepat
untuk digunakan. Sedangkan curah hujan 5-40 mm atau lebih digunakan sebagai
nilai acuan puncak aktivitas munculnya imago betina untuk bereproduksi (Yonow
et al. 2004; Krishnaiah et al. 2004).
Proses Menjalankan Sumulasi
Inisialisasi Model
Sebelum menjalankan simulasi model harus diinisialisasi. Inisialisasi
meliputi pengaturan berbagai nilai yang diperlukan untuk menjalankan model
(Maywald et al. 2007b). Standar inisialisasi diterapkan untuk memastikan
peniruan hasil untuk simulasi (Yonow et al. 2004). Nilai inisialisasi yang
digunakan dalam simulasi terdiri atas luas area, komponen kelembaban tanah, dan
sex ratio (Tabel 3.3).
Tabel 3.3 Inisialisasi nilai yang digunakan dalam simulasi
Variabel model
Luas area (ha)
Kelembaban tanah:
Kapasisitas kelembaban tanah (mm)
Koefisien evapotranspirasi
Basal evapotranspirasi (mm)
Sex ratio antara jantan dan betina

Nilai inisialisasi
1
0.5
50-200
0.5-1.2
0-5
1:2

14
Kalibrasi, Validasi dan Simulasi Model
Kalibrasi dan validasi model dilakukan di wilayah J

Dokumen yang terkait

Perubahan Populasi Penggerek Batang Padi Kuning (Tryporyza incertulas Walker, Lepidoptera Pyralidae) dan Hubungannya dengan Kehilangan Hasil Padi

0 9 164

Perkembangan dan Perilaku Kawin Penggerek Batang Padi Kuning, Scirpophaga incertulas Walker, pada Tiga Varietas Padi

0 6 32

Dinamika Populasi Parasitoid Telur Penggerek Batang Padi Kuning Scirpophaga incertulas (Walker) (Lepidoptera: Pyralidae) pada Pertanaman Padi di Kabupaten Klaten

1 14 88

Karakterisasi Gen Odorant Receptor (OR) Parsial Serangga Penggerek Batang Padi Kuning Scirpophaga incertulas (Walker)

0 3 20

Perkembangan Parasitoid Telur Penggerek Batang Padi Kuning Scirpophaga incertulas Walker (Lepidoptera: Pyralidae) pada Pertanaman Padi Organik dan Konvensional di Ngawi, Jawa Timur

0 3 39

Sinergisme Ekstrak Piper aduncum dan Tephrosia vogelii terhadap Penggerek Batang Padi Kuning Scirpophaga incertulas

1 5 32

PENGARUH PENERAPAN SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI) TERHADAP POPULASI PENGGEREK BATANG PADI KUNING (Scirpophaga incertulas Wlk)

0 9 32

KETAHANAN PADI TRANSGENIK DB1 TERHADAP PENGGEREK BATANG PADI KUNING Scirpophaga incertulas WALKER (LEPIDOPTERA: PYRALIDAE.

0 1 14

Struktur komonitas dan parasitisme parasitoid telur penggerek batang padi kuning Scirpophaga incertulas Walker (Lepidoptera, Pyrallidae) pada pertanaman padi sawah di Bali Indonesia.

0 0 6

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pengaruh Pola Tanam Padi Terhadap Populasi Hama Penggerek Batang Padi Kuning (Scirpophaga Incertulas Wlk.)

0 1 8