Waktu henti darah memancar pada penyembelihan Sapi dengan pemingsanan dan tanpa pemingsanan

ABSTRAK
NADHEAR NADADYANHA DANNAR. Waktu Henti Darah Memancar pada
Penyembelihan Sapi dengan Pemingsanan dan Tanpa Pemingsanan. Dibimbing
oleh HERWIN PISESTYANI dan KOEKOEH SANTOSO.
Parameter yang dapat digunakan untuk melihat hewan mati sempurna
setelah disembelih yaitu dengan melihat refleks kelopak mata dan atau waktu
henti darah memancar. Waktu henti darah memancar merupakan indikasi bahwa
jantung sudah tidak dapat memompa darah keluar dari tubuh akibat tidak ada lagi
asupan oksigen darah dalam jantung, sehingga hewan tersebut dapat dikatakan
mati. Tujuan dari penelitian ini untuk menghitung waktu henti darah memancar
pada penyembelihan sapi dengan pemingsanan dan tanpa pemingsanan sehingga
diperoleh data rataan waktu hewan mati sempurna. Tiga puluh ekor sapi Brahman
Cross dibagi menjadi dua kelompok perlakuan yaitu, sebanyak 15 ekor yang
disembelih dengan pemingsanan (kelompok 1) dan sebanyak 15 ekor yang
disembelih tanpa pemingsanan (kelompok 2). Waktu henti darah memancar
dihitung sesaat setelah hewan disembelih sampai darah berhenti memancar. Hasil
dari penelitian diperoleh rataan waktu henti darah memancar pada sapi yang
dipingsankan sebelum disembelih adalah sebesar 3.02 menit dan rataan waktu
henti darah memancar pada sapi yang disembelih tanpa pemingsanan adalah
sebesar 2.13 menit. Selang waktu henti darah memancar antara sapi yang
dipingsankan dengan sapi yang tidak dipingsankan sebelum disembelih adalah

53.4 detik. Waktu henti darah memancar dipengaruhi oleh perlakuan hewan
sebelum pemotongan.
Kata kunci: Pemingsanan, sapi, tanpa pemingsanan, waktu henti darah

ABSTRACT
NADHEAR NADADYANHA DANNAR. Blood Gushing Downtime of Cattle
Slaughter by Stunning and Non Stunning. Supervised by HERWIN PISESTYANI
and KOEKOEH SANTOSO.
Palpebra reflex and gushing blood downtime can be used as parameters to
see animals death after slaughtered. Stop bleeding time was an indication that the
heart is unable to pump blood out of the body due to no more oxygen in the blood
of the heart, so that the cattle can be said has been dead perfectly. The aims of
this study was to calculate the stop bleeding time of cattle slaughtered by stunning
and non stunning methods, thus obtained the avaraging data of perfectly death
time of animals. Thirty catlles’s Brahman Cross divided into two treatment groups,
firstly 15 cattle’s were slaughtered by stunning method (group 1) and the second
one 15 cattle’s were slaughtered by non stunning method (group 2). Blood
gushing downtime was calculated immediately after the animal is slaughtered
until the blood stops radiating. The results showed the average blood gushing
downtime in cattles that were stunning before slaughtered is 3.02 minutes and the

average time to stop blood gushing in cattles of non stunning group is 2.13
minutes. The interval blood gushing downtime between the cattles' slaughtered by
stunning and non stunning was 53.4 seconds. Blood gushing downtime was
affected by the treatment of animals before they were slaughtered.
Keywords: Cattle, gushing blood downtime, non stunning, stunning.

WAKTU HENTI DARAH MEMANCAR PADA PENYEMBELIHAN
SAPI DENGAN PEMINGSANAN DAN TANPA PEMINGSANAN

NADHEAR NADADYANHA DANNAR

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Waktu Henti Darah
Memancar pada Penyembelihan Sapi dengan Pemingsanan dan Tanpa

Pemingsanan adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2015

Nadhear Nadadyanha Dannar
NIM B04100130

ABSTRAK
NADHEAR NADADYANHA DANNAR. Waktu Henti Darah Memancar pada
Penyembelihan Sapi dengan Pemingsanan dan Tanpa Pemingsanan. Dibimbing
oleh HERWIN PISESTYANI dan KOEKOEH SANTOSO.
Parameter yang dapat digunakan untuk melihat hewan mati sempurna
setelah disembelih yaitu dengan melihat refleks kelopak mata dan atau waktu
henti darah memancar. Waktu henti darah memancar merupakan indikasi bahwa
jantung sudah tidak dapat memompa darah keluar dari tubuh akibat tidak ada lagi

asupan oksigen darah dalam jantung, sehingga hewan tersebut dapat dikatakan
mati. Tujuan dari penelitian ini untuk menghitung waktu henti darah memancar
pada penyembelihan sapi dengan pemingsanan dan tanpa pemingsanan sehingga
diperoleh data rataan waktu hewan mati sempurna. Tiga puluh ekor sapi Brahman
Cross dibagi menjadi dua kelompok perlakuan yaitu, sebanyak 15 ekor yang
disembelih dengan pemingsanan (kelompok 1) dan sebanyak 15 ekor yang
disembelih tanpa pemingsanan (kelompok 2). Waktu henti darah memancar
dihitung sesaat setelah hewan disembelih sampai darah berhenti memancar. Hasil
dari penelitian diperoleh rataan waktu henti darah memancar pada sapi yang
dipingsankan sebelum disembelih adalah sebesar 3.02 menit dan rataan waktu
henti darah memancar pada sapi yang disembelih tanpa pemingsanan adalah
sebesar 2.13 menit. Selang waktu henti darah memancar antara sapi yang
dipingsankan dengan sapi yang tidak dipingsankan sebelum disembelih adalah
53.4 detik. Waktu henti darah memancar dipengaruhi oleh perlakuan hewan
sebelum pemotongan.
Kata kunci: Pemingsanan, sapi, tanpa pemingsanan, waktu henti darah

ABSTRACT
NADHEAR NADADYANHA DANNAR. Blood Gushing Downtime of Cattle
Slaughter by Stunning and Non Stunning. Supervised by HERWIN PISESTYANI

and KOEKOEH SANTOSO.
Palpebra reflex and gushing blood downtime can be used as parameters to
see animals death after slaughtered. Stop bleeding time was an indication that the
heart is unable to pump blood out of the body due to no more oxygen in the blood
of the heart, so that the cattle can be said has been dead perfectly. The aims of
this study was to calculate the stop bleeding time of cattle slaughtered by stunning
and non stunning methods, thus obtained the avaraging data of perfectly death
time of animals. Thirty catlles’s Brahman Cross divided into two treatment groups,
firstly 15 cattle’s were slaughtered by stunning method (group 1) and the second
one 15 cattle’s were slaughtered by non stunning method (group 2). Blood
gushing downtime was calculated immediately after the animal is slaughtered
until the blood stops radiating. The results showed the average blood gushing
downtime in cattles that were stunning before slaughtered is 3.02 minutes and the
average time to stop blood gushing in cattles of non stunning group is 2.13
minutes. The interval blood gushing downtime between the cattles' slaughtered by
stunning and non stunning was 53.4 seconds. Blood gushing downtime was
affected by the treatment of animals before they were slaughtered.
Keywords: Cattle, gushing blood downtime, non stunning, stunning.

WAKTU HENTI DARAH MEMANCAR PADA PENYEMBELIHAN

SAPI DENGAN PEMINGSANAN DAN TANPA PEMINGSANAN

NADHEAR NADADYANHA DANNAR

Skripsi
salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya tulis ini berhasil diselesaikan. Judul yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan September 2013 hingga
Maret 2014 ini ialah Waktu Henti Darah Memancar pada Penyembelihan Sapi

dengan Pemingsanan dan Tanpa Pemingsanan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr med vet Drh Hadri Latif,
MSi selaku ketua peneliti dengan penelitian yang berjudul Aspek Kesejahteraan
Hewan, Status Fisiologis Hewan, dan Kehalalan Daging pada Sapi yang
Disembelih dengan Pemingsanan dan Tanpa Pemingsanan dengan pendanaan
yang berasal dari Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Drh Supratikno, MSi PAVet selaku
dosen pembimbing akademik serta Ibu Drh Herwin Pisestyani, MSi dan Bapak Dr
Drh Koekoeh Santoso selaku pembimbing tugas akhir yang telah banyak
memberikan saran dan bimbingannya. Penulis ucapkan terima kasih kepada teman
sepenelitian yaitu saudari Drh Anis Trisna Fitrianti, Drh Karunia Maghfiroh, MSi
dan Fikri Mukhlisina Latief, SKH serta saudara Tri Handoko Lasrianto, SKH.
Ucapan terima kasih penulis ucapkan juga kepada kedua orang tua dan seluruh
keluarga atas doa dan dukungannya.
Penulis menyadari bahwa karya ini jauh dari sempurna, oleh karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan karya tulis ini. Semoga karya ini dapat berguna bagi penulis dan
pembaca serta untuk kemajuan bidang pendidikan kedokteran hewan.

Bogor, Januari 2015


Nadhear Nadadyanha Dannar

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Rumah Potong Hewan Ruminansia
Sapi Brahman Cross
Metode Penyembelihan Sapi
Penyembelihan Sapi Dengan Pemingsanan
Penyembelihan Sapi Tanpa Pemingsanan
Restraining Box
Syok Hemoragik
METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian

Alat dan Bahan
Metode Penelitian
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

viii
viii
1
1
2
2
2
2
3
3
3

5
5
7
10
10
10
10
10
10
13
13
17
19

DAFTAR TABEL
1 Waktu henti darah memancar pada sapi yang disembelih dengan
pemingsanan dan tanpa pemingsangan

11


DAFTAR GAMBAR
1 Posisi penggunaan captive bolt pada sapi
2 Penetrative, trigger-fired captive-bolt stunner Key: Bolt (A), Stop
washers (B), Flange & piston (C), Expansion chamber (D), Breech (E),
Ejector (F), Hammer (G), Trigger mechanism (H), Trigger (I), Undercut
(J), Recuperator Sleeves (K)
3 Non-pentrative, trigger-fired captive-bolt stunner Key: Cocking
mechanism (A), Trigger (B), Breech (C), Ejector (D), Expansion
chamber (E), Flange & piston (F), Bolt (G), Barrel (H), Damper (I),
Mushroom head (J)
4 Restraining box mark I
5 Restraining box mark II
6 Restraining box mark III
7 Restraining box mark IV
8 Mekanisme tubuh dalam upaya mengembalikan tekanan arteri dan
volume darah kembali normal
9 Mekanisme tubuh dalam upaya mengembalikan tekanan arteri dan
volume darah kembali normal

4

4

4
5
6
6
7
8
9

DAFTAR LAMPIRAN
1 Uji kenormalan data
2 Hasil uji t data
3 Waktu henti darah memancar pada penyembelihan sapi dengan pemingsanan
4 Waktu henti darah memancar pada penyembelihan sapi tanpa pemingsanan

17
17
18
18

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebutuhan daging sapi dan kerbau untuk konsumsi dan industri di
Indonesia pada tahun 2012 mencapai 484 ribu ton (Ditjennak dan Keswan 2012).
Setiap tahun permintaan tersebut akan terus meningkat seiring dengan
bertambahnya populasi penduduk dan tingginya minat masyarakat terhadap
konsumsi daging. Tingginya permintaan menyebabkan intensitas pemotongan
juga meningkat, sehingga keberadaan rumah potong hewan (RPH) sebagai tempat
untuk pemotongan hewan sangat diperlukan. Dalam pelaksanaannya RPH harus
dapat menjaga kualitas daging, baik dari tingkat kebersihan, kesehatan, ataupun
kehalalan dagingnya. Berdasarkan hal tersebut maka pemerintah mendirikan RPH
di berbagai daerah seluruh Indonesia. Semakin bertambahnya RPH, namun belum
diikuti dengan meningkatnya fasilitas di RPH. Hampir sebagian besar RPH masih
menggunakan metode konvensional dalam proses penyembelihan, yaitu dengan
cara sapi diikat dan ditarik dengan kuat sehingga sapi roboh ke lantai baru
kemudian disembelih. Perlakuan tersebut mengakibatkan banyak hewan
mengalami stres sehingga dapat mempengaruhi nilai karkas atau daging yang
dihasilkan. Perlakuan yang kasar dalam penanganan pemotongan hewan akan
menyebabkan stres pada hewan dan menghasilkan kualitas daging yang rendah.
Penanganan hewan saat pemotongan harus diatur dengan baik untuk
mempertahankan standar karena kesejahteraan hewan merupakan bagian dari
kualitas daging (Grandin 2001). Di Indonesia ada dua metode sebelum
pemotongan, yaitu dengan pemingsanan dan tanpa pemingsanan. Praktik
pemotongan sapi tanpa dipingsankan terlebih dahulu telah dilakukan sejak lama di
Indonesia, sedangkan pemotongan dengan pemingsanan bertujuan agar sapi
mendapatkan perlakuan sesuai dengan kesejahteraan hewan, sehingga
meminimalkan kejadian stres pada sapi.
Daging yang dihasilkan oleh RPH harus memenuhi persyaratan aman, sehat,
utuh, dan halal (ASUH). Halal merupakan syarat penting yang harus dipenuhi
oleh daging yang dihasilkan oleh RPH karena sebagian besar masyarakat
Indonesia memeluk agama Islam. Daging yang halal diperoleh dari hewan yang
disembelih sesuai dengan syariah Islam. Penyembelihan sesuai dengan syarat
Islam harus dilakukan oleh seorang laki-laki baligh beragama Islam, hewan
disembelih dengan menyebut nama Allah, penyembelihan hewan dilakukan di
daerah leher dengan memotong tiga saluran (esofagus, trakhea, dan pembuluh
darah, yaitu vena jugularis dan arteri karotis), menghadap kiblat, dan memisahkan
karkas dari tubuh hewan setelah hewan mati sempurna. Parameter yang dapat
digunakan untuk melihat hewan mati sempurna adalah dengan melihat reflek
kornea atau waktu henti darah memancar. Waktu henti darah memancar
merupakan indikasi bahwa jantung sudah tidak dapat memompa darah keluar dari
tubuh akibat tidak ada lagi asupan oksigen darah dalam jantung, sehingga hewan
tersebut dapat dikatakan mati. Menurut EFSA (2004) kematian merupakan suatu
keadaan yang ditandai dengan respirasi fisiologis dan sirkulasi darah telah
berhenti sebagai akibat dari pusat sistem tersebut di batang otak secara permanen
kehilangan fungsi karena kekurangan oksigen dan energi. Selama ini parameter

2
yang digunakan untuk menentukan hewan mati sempurna adalah dengan melihat
refleks kelopak mata. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk
menghitung waktu henti darah memancar pada penyembelihan sapi dengan
pemingsanan dan tanpa pemingsanan sehingga diperoleh data rataan waktu hewan
mati sempurna.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menghitung waktu henti darah memancar pada sapi
yang disembelih dengan pemingsanan dan tanpa pemingsanan.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan gambaran perbedaan laju
pemancaran darah pada sapi yang disembelih dengan perlakuan pemingsanan dan
tanpa pemingsanan.

TINJAUAN PUSTAKA
Rumah Potong Hewan Ruminansia
Rumah potong hewan (RPH) merupakan suatu bangunan atau kompleks
bangunan dengan desain dan syarat tertentu yang digunakan sebagai tempat
memotong hewan bagi masyarakat konsumsi umum. RPH merupakan unit
pelayanan masyarakat dalam penyedia daging yang aman, sehat, utuh, dan halal
serta sebagai sarana yang berfungsi untuk melaksanakan:
a. Pemotongan hewan secara benar (sesuai dengan persyaratan kesehatan
masyarakat veteriner, kesejahteraan hewan, dan syariah agama);
b. Pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dipotong (ante-mortem inspection)
dan pemeriksaan karkas, jeroan (post-mortem inspection) untuk mencegah
penyakit zoonotik;
c. Pemantauan dan surveilans penyakit hewan dan zoonosis yang ditentukan
pada pemeriksaan ante-mortem dan pemeriksaan post-mortem guna
pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit hewan menular dan
zoonosis di daerah asal hewan. (Permentan No. 13/2010 tentang RPH)
Perancangan bangunan RPH berkualitas sebaiknya sesuai dengan standar
yang telah ditentukan untuk menjamin produk sehat dan halal. Produk sehat dan
halal dapat dijamin dengan RPH yang memiliki sarana untuk pemeriksaan
kesehatan hewan potong, memiliki sarana menjaga kebersihan, dan mematuhi
kode etik dan tata cara pemotongan hewan secara tepat.

3
Sapi Brahman Cross
Sapi Brahman Cross merupakan persilangan antara sapi Brahman dengan
sapi Eropa (Bos taurus), awalnya merupakan bangsa sapi American Brahman
yang diimpor ke Australia pada tahun 1933 (Minish dan Fox 1979). Sapi Brahman
Cross mulai diimpor dari Australia ke Indonesia sejak tahun 1973. Sapi-sapi
impor ini memiliki kelebihan mudah beradaptasi dengan lingkungan tropis di
Indonesia, memiliki pertambahan bobot badan yang tinggi dengan waktu yang
singkat dan produktivitas karkas yang tinggi (Hafid 1998). Di Indonesia sapi ini
memiliki kontribusi yang cukup berarti bagi pemenuhan daging di Indonesia. Ciriciri sapi Brahman Cross mempunyai telinga besar, punuk besar, bertanduk, dan
gelambir yang memanjang berlipat-lipat dari kepala ke dada. Sapi Brahman Cross
memiliki warna kulit yang bervariasi, mulai dari abu-abu muda, merah sampai
hitam. Kebanyakan berwarna abu-abu muda dan abu-abu tua. Sapi jantan
warnanya lebih tua dari betina dan memiliki warna gelap di daerah leher, bahu
dan paha bawah (Gunawan et al. 2008). Sapi ini senang menerima perlakuan
halus dan dapat menjadi liar jika menerima perlakuan kasar. Konsekuensinya
penanganan sapi ini harus hati-hati, tetapi secara keseluruhan sapi Brahman Cross
mudah dikendalikan. Sapi Brahman Cross memiliki sifat pemalu dan cerdas serta
dapat beradaptasi dengan lingkungan yang bervariasi.

Metode Penyembelihan Sapi
Penyembelihan adalah suatu aktivitas atau kegiatan menghilangkan nyawa
hewan atau binatang dengan menggunakan alat bantu atau benda yang tajam ke
arah leher dengan cara memotong trakhea, esophagus, arteri karotis, dan vena
jugularis. Penyembelihan pada sapi biasanya dilakukan dengan menggunakan
pisau. Penyembelihan dilakukan dengan pisau yang tajam pada bagian ventral
leher (8-10 cm di belakang lengkung rahang bawah) sehingga trakhea, esophagus,
arteri karotis, dan vena jugularis terpotong sekaligus. Prinsip penyembelihan
hewan adalah hewan harus disembelih secepat mungkin dengan seminimal
mungkin mengurangi rasa sakit untuk menghindari stres karena dapat
mempengaruhi kualitas karkas yang dihasilkan. Di Indonesia ada dua teknik
sebelum penyembelihan, yaitu dengan pemingsanan dan tanpa pemingsanan.
Penyembelihan Sapi dengan Pemingsanan
Pemingsanan merupakan salah satu teknik sebelum pemotongan pada
hewan dengan tujuan untuk menghilangkan rasa sakit pada hewan dan
memudahkan manusia dalam melaksanakan penyembelihan. Pemingsanan dapat
dilakukan dengan berbagai cara, yaitu kimia (CO2), mekanik (captive bolt dan
gunshot), dan menggunakan arus listrik. Captive bolt stun gun merupakan sebuah
alat berbentuk silinder yang menyerupai pistol dan berisi selongsong tanpa peluru.
Ada dua tipe captive bolt stun gun yaitu penetrating dan non-penetrating. Alat ini
bekerja dengan cara memberikan tekanan pada kepala sapi dan membuat hewan
kehilangan kesadaran secara langsung. Keefektifan
stun gun tergantung pada
pukulan yang diberikan ke bagian yang benar dari tengkorak. Posisi terbaik adalah
diantara otak dengan permukaan kepala, yaitu di daerah frontal (HSA 2013).

4
Menurut EFSA (2004) stun gun dapat bekerja maksimal jika dipukulkan 2 cm di
atas titik silang dari garis imajiner yang ditarik antara pangkal tanduk dan mata
kontra lateral.

Gambar 1 Posisi penggunaan captive bolt pada sapi (sumber: Giliam et al. 2012)
Captive bolt stun gun tipe penetrating dapat membuat kerusakan permanen
pada otak dan menyebabkan kematian, sedangkan captive bolt tipe nonpenetrating tidak menyebabkan kematian kecuali terjadi perdarahan pada otak.
RPH di Indonesia menggunakan Captive bolt stun gun tipe non-penetrating
karena terkait dengan aspek kehalalan. Hewan dinyatakan pingsan dengan baik
apabila tidak ada refleks kelopak mata, tidak ada rotasi bola mata, pupil
mengalami dilatasi, dan reaksi menendang minimal saat disentuh (Algers dan
Atkinson 2007).

Gambar 2 Penetrative, trigger-fired captive-bolt stunner Key: Bolt (A), Stop washers (B),
Flange & piston (C), Expansion chamber (D), Breech HAS, Ejector (F),
Hammer (G), Trigger mechanism (H), Trigger (I), Undercut (J), Recuperator
Sleeves (K) (sumber : HSA 2013).

Gambar 3 Non-pentrative, trigger-fired captive-bolt stunner Key: Cocking mechanism
(A), Trigger (B), Breech (C), Ejector (D), Expansion chamber HAS, Flange &
piston (F), Bolt (G), Barrel (H), Damper (I), Mushroom head (J)
(sumber : HSA 2013).

5
Penyembelihan Sapi Tanpa Pemingsanan
Teknik tanpa pemingsanan sebelum penyembelihan dapat dilakukan dengan
dua cara, yaitu secara konvensional dan menggunakan restraining box.
Restraining Box
Restraining box merupakan alat yang digunakan untuk memfiksasi hewan
sebelum pemotongan. Menurut Grandin (1991), restraining box adalah alat yang
digunakan untuk mengendalikan sapi sebelum disembelih agar tingkat stres pada
sapi berkurang. Pada prinsipnya, tingkat stres dapat diturunkan karena (1) saat
sapi masuk ke dalam restraining box sapi tidak merasa takut karena terhindar dari
pengaruh lingkungan area penyembelihan. Hal tersebut penting terutama bagi sapi
yang cukup agresif; (2) untuk mengatasi terjangan kepala sapi karena pandangan
di sekeliling sapi tertutup penuh; (3) memudahkan dalam merobohkan sapi tanpa
perlakuan kasar; (4) stabilitas alat ini membuat sapi menjadi lebih tenang dan
mengatasi gerakan berontak yang tiba-tiba; dan (5) tekanan alat pada sapi tidak
menimbulkan kesakitan dan berlangsung cepat. Ada beberapa tipe restraining box,
yaitu restraining box mark I, restraining box mark II, restraining box mark III,
dan restraining box mark IV.
Restraining box mark I merupakan alat fiksasi yang dirancang untuk
memanipulasi perilaku melarikan diri alami pada hewan dalam proses perobohan
dan pengekangan. Alat ini dirancang untuk merobohkan sapi dengan cara
memasukkannya ke dalam restraining box, setelah sapi masuk kemudian kaki sapi
diikat dengan tali agar saat pintu sebelah samping alat dibuka sapi mudah roboh.
Sapi yang roboh kemudian pada bagian kepala, leher dan tanduk hewan dikekang
menggunakan tali agar sapi tidak bisa berdiri kembali, dan selanjutnya sapi dapat
disembelih.

Gambar 4 Restraining box mark I (sumber: Whittington dan Hewitt 2009)

Restraining box mark II dikembangkan untuk merobohkan hewan yang
berukuran lebih besar dengan penambahan dinding berbentuk L. Pada dasarnya
proses perobohan hewan hampir sama dengan restraining box mark I, akan tetapi
saat hewan roboh tidak jatuh ke lantai beton namun ke dinding berbentuk L
tersebut.

6

Gambar 5 Restraining box mark II (sumber: Whittington dan Hewitt 2009)

Restraining box mark III memiliki konstruksi dan fungsi yang sama dengan
Restraining box mark II akan tetapi memiliki fitur tambahan berupa alat otomatis
yang digunakan untuk memiringkan restraining box.

Gambar 6 Restraining box mark III (sumber: Whittington dan Hewitt 2009)

Restraining box mark IV merupakan penyempurnaan dari restraining box III
yang semua mekanisme penggunaan alat ini dilakukan secara otomatis dan
memiliki kelebihan, yaitu:
 Lantai tidak licin
 Rangka kotak yang padat, membatasi gangguan eksternal, dan meningkatkan
efisiensi
 Pergerakan alat halus dan memiliki kebisingan yang rendah sehingga dapat
mengurangi tingkat stres
 Alat pengekang yang nyaman
 Meja miring lateral yang nyaman untuk posisi hewan saat akan dipotong
maupun pendarahan
 Alat pengekang leher untuk menahan pergerakan kepala

7

Gambar 7 Restraining box mark IV (sumber: Review of modified and copy mark IV
type restraint boxes 2013)

Syok Hemoragik
Penghilangan nyawa melalui penyembelihan berdasarkan pada pengeluaran
darah secara sengaja, tiba-tiba dan dalam jumlah yang banyak akibat pemotongan
pembuluh darah besar di daerah leher yaitu arteri karotis dan vena jugularis. Syok
hemoragik adalah gejala klinis hasil dari penurunan volume darah (hipovolemia)
yang disebabkan oleh hilangnya darah, yang berakibat berkurangnya curah
jantung dan perfusi organ. Menurut lokasinya perdarahan dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu perdarahan eksternal dan perdarahan internal. Perdarahan
eksternal yaitu perdarahan yang keluar dari kulit atau jaringan lunak di bawahnya.
Ada tiga jenis perdarahan eksternal, yaitu perdarahan yang terjadi pada arteri,
vena dan kapiler. Diantara ketiga jenis perdarahan tersebut, perdarahan yang
terjadi di arteri merupakan jenis perdarahan yang sangat serius karena kehilangan
darah dalam jumlah besar dapat terjadi dalam waktu yang singkat. Perdarahan
internal adalah perdarahan yang ditandai dengan masuknya darah ke dalam
rongga tubuh atau jaringan (misalnya pendarahan internal yang disebabkan oleh
pecahnya aorta aneurisma). Aorta aneurisma dapat terjadi di ruang abdominal
yang disebabkan oleh aterosklerosis, infeksi, dan cedera. Selain itu, aorta
aneurisma juga dapat terjadi di ruang thorak yang disebabkan oleh tekanan darah
yang terlalu tinggi dan cedera secara tiba-tiba pada daerah thorak (Aortic
aneurysm fact sheet 2009). Dalam konteks penyembelihan yang terjadi adalah
perdarahan eksternal.
Tingkat keparahan syok hemoragik dan gejala yang terkait tergantung pada
volume darah yang hilang dan cepatnya darah hilang. Secara umum, kehilangan
darah