Pemingsanan Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus) dengan Ekstrak Akar tuba (Derris elliptica Roxb. Benth) dan Kelulusan Hidupnya selama Penyimpanan dalam Media Serbuk Gergaji

(1)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Permintaan komoditi perikanan di pasar internasional maupun domestik terus mengalami pergeseran, dari bentuk beku ke bentuk segar kemudian ke bentuk hidup. Komoditas perikanan bernilai ekonomis tinggi yang diperdagangkan dalam keadaan hidup antara lain udang, lobster dan beberapa jenis ikan laut dan air tawar lainnya (Junianto 2003).

Salah satu alasan permintaan konsumen terhadap komoditi hidup perikanan adalah keinginan konsumen untuk memperoleh kepuasan cita rasa dan tekstur daging yang lebih baik. Konsumen bersedia membayar lebih tinggi untuk memperoleh produk hidup demi mendapatkan cita rasa dan tekstur daging yang lebih baik. Harga udang dan lobster dalam keadaan hidup dapat mencapai tiga atau empat kali lipat dibandingkan dengan harga ketika sudah mati (Lee dan Sadovy 1998 dalam Suryaningrum et al. 2005).

Lobster air tawar (Cherax quadracarinatus) merupakan salah satu jenis komoditas perikanan air tawar yang potensial. Lobster air tawar merupakan hasil budidaya yang terdapat hampir di seluruh wilayah Indonesia. Permintaan terhadap jenis lobster tersebut dalam keadaan hidup terus meningkat baik oleh pasar domestik maupun pasar internasional.

Dukungan teknologi penanganan dan transportasi dibutuhkan dalam memenuhi permintaan pangsa pasar yang terus meningkat terhadap lobster air tawar hidup. Transportasi lobster hidup dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu sistem basah menggunakan air dan sistem kering tanpa menggunakan media air (Suryaningrum et al. 2005)

Sistem kering tanpa menggunakan media air dianggap sebagai cara yang lebih praktis dan memiliki resiko yang lebih rendah dibandingkan dengan transportasi dengan media air. Pada transportasi tanpa media air ini, udang dikondisikan dalam keadaan metabolisme, respirasi dan aktivitas rendah dengan menggunakan teknik immotilisasi. Dengan demikian, lobster dalam kondisi tersebut memiliki kemampuan tinggi untuk bertahan hidup diluar kondisi habitat hidupnya (Wibowo et al. 1994).


(2)

Salah satu metode yang dapat dilakukan dalam teknik immotilisasi adalah pembiusan dengan menggunakan zat anestesi. Zat anestesi yang biasa digunakan untuk proses pemingsanan ikan, yaitu bahan kimia misalnya MS-222 (tricaine methane sulphonate), CO2 dan quinaldine, dan bahan alami berupa ekstrak biji

karet dan ekstrak cengkeh.

Pemingsanan dengan zat anestesi kimia diyakini dapat mempengaruhi aspek kesehatan, sehingga banyak penelitian yang mengarah pada penggunaan ekstrak bahan alam dalam transportasi ikan hidup. Penelitian ini merupakan salah satu upaya dalam menganalisis kemampuan bahan ekstrak etanol tumbuhan akar tuba sebagai bahan anestesi dalam transportasi lobster air tawar hidup.

Akar tuba (Derris elliptica) merupakan tumbuhan perdu yang memiliki kandungan aktif dominan berupa rotenon. Senyawa ini merupakan senyawa isoplavon yang memiliki kadar toksisitas rendah terhadap mamalia, termasuk terhadap manusia. Ikan yang diracuni dengan akar tuba dapat dikomsumsi oleh manusia tanpa memberikan efek yang signifikan terhadap kesehatan (Acevado-Rodriquez 1990 dalam Hien et al. 2003).

Kandungan aktif yang terkandung dalam akar tuba (Derris elliptica) merupakan bahan aktif yang memiliki tingkat toksisitas rendah. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu penelitian tentang pemanfaatan ekstrak akar tuba (Derris elliptica) sebagai bahan pemingsan dalam transportasi ikan hidup. Hal ini diperkuat dengan 3 alasan utama yang berdasarkan penelitian Matsumura (1985) dan Hamid (1999) dalam Irwan (2006), yaitu:

a) Manusia dapat mengkomsumsinya dan relatif aman bagi kesehatan; b)Bukan merupakan psikotoksik;

c) Tidak bersifat stabil terhadap cahaya dan panas, sifat toksik rotenon akan hilang setelah 2 atau 3 hari.

Penyimpanan lobster air tawar hidup dalam media serbuk gergaji dingin merupakan suatu simulasi transportasi yang dapat dilakukan dalam skala laboratorium. Teknik ini bertujuan untuk mencari waktu yang dapat ditempuh oleh udang untuk tetap dapat bertahan hidup diluar kondisi habitatnya yang sebenarnya. Teknik ini juga bertujuan untuk mengamati beberapa parameter uji yang susah untuk dilakukan dalam transportasi dinamis. Beberapa parameter uji


(3)

tersebut adalah pengukuran suhu, kadar oksigen dan kelangsungan hidup udang setelah penyimpanan.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi terbaik ekstrak akar tuba sebagai bahan anestesi dalam transportasi ikan hidup sistem kering. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui kelulusan hidup lobster air tawar yang dipingsankan dengan ekstrak akar tuba selama penyimpanan dalam media serbuk gergaji.


(4)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus) Lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) termasuk ke dalam keluarga Parasticidae. Cherax quadricarinatus dikenal dengan nama dagang red claw, disebut demikian karena pada kedua ujung capitnya terdapat warna merah. Selain sebagai lobster konsumsi, red claw juga cocok dijadikan lobster hias karena memiliki keunggulan pada bentuk dan warna tubuhnya. Wama biru mengkilap terpancar dari tubuhnya (Hartono dan Wijayanto 2006).

Lobster air tawar termasuk kelompok udang air tawar yang siklus hidupnya hanya di air tawar. Lobster air tawar memiliki habitat asli di Australia yang kemudian menyebar ke berbagai belahan bumi. Lobster ini diikelompokkan ke dalam tiga famili berdasarkan daerah penyebarannya, yaitu Famili Astacidae dan Cambridae yang tersebar di belahan bumi utara serta Parastacidae yang tersebar di belahan bumi selatan (Lukito dan Prayugo 2007).

Jenis lobster air tawar yang dikembangkan di Indonesia adalah jenis Cherax quadricarinatus, jenis ini termasuk ke dalam Famili Parasticidae. Fetzner (2008) mengklasifikasikan lobster air tawar sebagai berikut:

Filum : Arthropoda

Sub Filum : Mandibulata

Kelas : Crustacea

Ordo : Malacostraca

Sub Ordo : Decapoda Superfamili : Astacidae

Famili : Parastacidae Genus : Cherax

Spesies : Cherax quadricarinatus (von Martens)

Lobster air tawar memiliki ukuran tubuh yang relatif lebih besar dari udang air tawar lainnya. Tubuh lobster air tawar dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian chepalotorax dan abdomen. Chepalotorax merupakan bagian depan yang terdiri atas kepala dan dada, sedangkan abdomen adalah bagian belakang yang terdiri atas badan dan ekor (Hartono dan Wijayanto 2006).


(5)

Kepala lobster terdiri atas enam bagian ruas yang ditutupi oleh cangkang kepala (carapace). Bagian depan kepala memiliki kelopak yang berbentuk segitiga memipih, lebar, bergerigi dan dikelilingi oleh duri yang dikenal dengan rostrum. Pada bagian kepala terdapat lima pasang kaki (periopod). Pasangan kaki pertama, kedua dan ketiga mengalami perubahan bentuk dan fungsi menjadi capit. Capit pertama berfungsi sebagai senjata untuk menghadapi musuh. Capit kedua dan ketiga sebagai alat yang berfungsi seperti tangan. Kedua pasang kaki lainnya digunakan sebagai alat bergerak atau kaki jalan (Sukmajaya dan Suharjo 2003).

Bagian badan lobster terdiri atas enam ruas badan (abdomen) dengan bentuk agak memipih. Rata-rata lebar badan hampir sama dengan lebar kepala (Sukmajaya dan Suharjo 2003). Pada bagian abdomen terdapat empat pasang kaki renang yang terletak pada masing-masing ruas. Bagian ekor lobster air tawar terdiri atas dua bagian, yaitu ekor kipas (uropod) dan ujung ekor (telson) (Hartono dan Wijayanto 2006). Kelengkapan morfologi lobster air tawar disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus)

Lobster air tawar hidup dan berkembang dengan baik pada lingkungan perairan yang memiliki kisaran suhu optimal 25-29 oC, derajat keasaman (pH) 7-8, alkalinitas 50-200 ppm, oksigen terlarut (DO) sekitar 4 ppm, karbondioksida (CO2) maksimal 10 ppm, dan amoniak maksimal 0,05 ppm. Sumber air

pemeliharaan dapat berasal dari air sungai, air tanah, atau air irigasi (Lukito dan Prayugo 2007).


(6)

2.2 Klasifikasi dan Deskripsi Akar Tuba (Derris elliptica Roxb. Benth)

Akar tuba dikenal dengan nama dagang (umum) jenu (Melayu). Di daerah Sumatera tumbuhan ini dikenal dengan nama jenu (Melayu) dan tuba (Sumatera Utara), sedangkan di Jawa dikenal dengan nama tuwa (Sunda), jenu (Jawa) dan thoba (Madura). Tumbuhan perdu ini memiliki klasifikasi sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Ordo : Relases

Sub Ordo : Papilionaceae Genus : Derris

Spesies : Derris elliptica (Roxb.) Benth.

Tumbuhan akar tuba merupakan perdu pemanjat dengan tinggi dapat mencapai 10 m. Batang berkayu, bercabang monopodial, ketika muda berwarna hijau dan setelah tua berwarna cokelat kekuningan. Daun majemuk, helaian anak daun berbentuk bulat telur, ujung runcing, tepi rata, pangkal tumpul, pertulangan menyirip, panjang 15-25 cm, lebar 5-8 cm, berwarna cokelat saat muda, dan berwarna hijau ketika tua. Bunga majemuk, bentuk tandan, berambut, panjang 12-25 cm, dan tangkai bunga berwarna ungu. Mahkota berbentuk kupu-kupu, berdiameter sekitar 2 cm, dan berwarna cokelat muda. Buah polong, berbentuk bulat telur, bersayap, panjang 3,5-7 cm, diameter sekitar 2 cm, dan berwarna cokelat muda. Akar tunggang dan berwarna kuning kecokelatan (Kardinan 2002). Penampakan fisik akar tuba dapat dilihat pada Gambar 2.


(7)

Tuba dapat tumbuh baik di semak-semak, hutan atau pinggir sungai pada ketinggian 1-700 m dpl. Tuba tumbuh liar, mulai dari India bagian timur sampai Papua Nugini. Di Indonesia, tuba ditemukan hampir diseluruh wilayah Nusantara. Di Jawa ditemukan mulai dari dataran rendah sampai 1.500 m dpl. Tumbuh berpencar di tepi hutan, di pinggir sungai atau dalam hutan belukar yang masih liar (Kardinan 2002).

2.3 Kandungan Aktif Akar Tuba (Derris elliptica Roxb. Benth)

Bagian akar Derris elliptica memiliki kandungan aktif rotenon sebesar 5,0% (w/w) hingga 13,0% (w/w) dengan total eter yang digunakan sebesar 31,0% (w/w) dari total volume akar yang diekstrak. Selain itu, akar tuba juga mengandung deguelin, elipton, toksikarol, sumatrol, teprosin, malakol, dan lain-lain. Setiap kandungan tersebut bersifat toksik atau berpengaruh terhadap lingkungan dan memiliki efek psikologi terhadap ikan dan serangga, namun tidak terlalu berpengaruh terhadap mamalia termasuk manusia (Dev dan Koul 1997 dalam Irwan 2006).

2.3.1 Rotenon

Rotenon merupakan isoflavonoid dengan isoprene yang terikat pada C-8. Rotenoid yang diekstrak dari akar tuba (Derris elliptica) memiliki nama kimia 1,2; 12a-tetrahydro-8,9-dimethoxy-2 (1-methylethenyl-(1) benzopyrano (2,4b) furo (2,3-h) (1) benzophyran-6 (6H)-one) dengan titik leleh pada 163 oC (Kidd dan James dalam Irwan 2006). Bentuk molekul rotenoid dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Struktur kimia rotenon (Kidd dan James 1991; Kole et al. 1992 dalam Irwan 2006)


(8)

Rotenon memiliki rumus kimia C23H22O6 dengan berat molekul sebesar

394,41 g/mol (Schnick 1974 dalam Hien et al. 2003). Rotenon merupakan senyawa yang mudah larut dalam sejumlah larutan organik misal alkohol dan aseton, akan tetapi tidak larut dalam air (John 1944 dalam Irwan 2006). Berdasarkan penelitian Kidd dan James (1991) dalam Irwan (2006), rotenon sedikit larut dalam air, yaitu sekitar 16 mg/L air pada suhu 100 oC. Cahaya dan udara dapat menyebabkan rotenon mengalami dekomposisi, ditandai dengan perubahan warna dari kuning menjadi merah pekat.

Rotenon merupakan racun kontak atau racun perut terhadap serangga, namun memiliki toksisitas rendah terhadap mamalia (termasuk manusia). Isoplavonoid golonganini memiliki toksisitas tinggi terhadap hewan berdarah dingin terutama terhadap ikan (Matsumura 1985 dalam Irwan 2006). Senyawa golongan ini membunuh serangga dengan menginaktifkan enzim respirasi dan menghasilkan asam glutamik oksidase dalam kondisi oksigen rendah (John 1944 dalam Irwan 2006).

2.3.2 Deguelin

Deguelin merupakan salah satu rotenoid bahan aktif utama dalam akar tuba. Deguelin dilaporkan dapat menghambat pertumbuhan koloni sel kanker dengan menginduksi apoptosis dan menghentikan siklus sel kanker. Bahan aktif ini juga dilaporkan dapat menghambat pertumbuhan sel kanker kulit. Beberapa data penelitian menunjukkan bahwa deguelin secara efektif mampu menghambat perkembangbiakan sel kanker paru-paru tanpa menunjukkan efek samping yang menonjol pada sel normal. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa deguelin mampu memicu apoptosis secara selektif kanker jantung dengan menurunkan pengaruh inhibitor, yaitu protein apoptosis (Wenjie et al. 2009).

Ekstrak cair deguelin pada umumnya dapat diproduksi dengan beberapa metode yang menggunakan pelarut organik, yaitu ekstraksi pada suhu ruang, ekstraksi dengan bantuan getaran, dan ekstraksi dengan metode Soxchlet. Selain beberapa metode tersebut, beberapa penelitian menggunakan metode ekstraksi dengan bantuan ultrasonik. Selain itu, berdasarkan beberapa literatur yang ada tentang teknologi pemisahan dan purifikasi deguelin dari rotenoid, beberapa penelitian menghubungkan dengan pemisahan metode kromatografi menggunakan


(9)

silica gel dan kristalisasi deguelin dengan metode kromatografi (high performance liquid chromatography – HPLC), metode yang sering dianggap banyak memberikan kerugian (Wenjie et al. 2009)

Struktur kimia deguelin dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Struktur kimia deguelin (Wenjie et al. 2009) 2.4 Toksisitas

Toksisitas merupakan kemampuan atau daya racun suatu bahan yang dapat menyebabkan keracunan. Sedangkan toksikan adalah materi atau agen yang mampu menghasilkan efek merugikan pada sistem biologi yang akan menyebabkan kematian. Beberapa jenis toksikan yang umum ditemui adalah pestisida, klorin, limbah industri yang umumnya bersifat racun dan karsinogenik (Koeman 1983).

Parameter kualitas air diantaranya temperatur, kesadahan air, dan oksigen terlarut umumnya digunakan untuk mengetahui pengaruh dari bahan tercemar yang ada di dalam perairan (Abel 1989). Sedangkan faktor lain yang mempengaruhi pengukuran toksisitas adalah waktu dedah (exposure time) atau waktu onset, cara pendedahan, dan sifat fisika kimia bahan tersebut. Jenis dan stadia organisme juga berpengaruh pada pengukuran tingkatan toksisitas suatu bahan (Cassaret dan Donev 1975).

Toksisitas suatu bahan dapat ditentukan dengan mengkaji besarnya (dalam persen) kematian populasi organisme uji. Salah satunya adalah dengan menggunakan uji toksisitas bahan uji terhadap hewan uji yaitu konsentrasi terkecil pada saat kematian 100% organisme uji. Namun, tingkat toksisitas suatu bahan


(10)

sering digunakan pada tingkat kematian 50% organisme uji pada berbagai waktu dedah (LC50) (Cassaret dan Donev 1975).

Kinerja toksik dalam mempengaruhi suatu organisme pada umumnya melalui tiga fase (Koeman 1983):

a. Fase eksposisi

Penyerapan suatu zat oleh suatu objek biologi yang akan memberikan pengaruh berupa efek biologi atau toksik setelah absorbsi zat tersebut.

b. Fase farmakokinetik (toksokinetik)

Penyerapan suatu zat dalam bentuk aktif di dalam peredaran darah atau yang mencapai tempat bekerjanya syaraf.

c. Fase farmakodinamik (toksodinamik)

Fase farmakodinamik atau toksodinamik meliputi interaksi antara molekul zat obat atau zat racun dan tempat kerja spesifik yaitu reseptor.

2.5 Pembiusan (Imotilisasi)

Transportasi lobster merupakan suatu usaha memindahkan lobster hidup dengan diberi tindakan untuk menjaga agar derajat kelulusan hidup tetap tinggi setelah sampai di tempat tujuan. Salah satu tindakan yang digunakan dalam menjaga kelulusan hidup lobster adalah dengan cara menekan metabolisme lobster selama transportasi dengan metode pembiusan (Suryaningrum et al. 1993).

Proses pembiusan adalah suatu cara yang dapat digunakan untuk mengurangi aktivitas ikan selama transportasi yang berprinsip menekan metabolisme ikan sehingga mampu mempertahankan hidup lebih lama dalam kondisi yang tidak normal. Metode pembiusan merupakan metode yang digunakan dalam transportasi lobster dengan media tanpa air. Metode ini menggunakan prinsip hibernasi, yaitu usaha untuk menekan metabolisme lobster sehingga masuk ke dalam metabolisme basal atau dapat bertahan dalam kondisi minimum (Junianto 2003). Fase ini merupakan fase ketika ikan masih dapat bertahan hidup hanya dengan kebutuhan yang minimal dan menghasilkan metabolisme yang minimal pula (Tseng 1987). Proses hibernasi dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya penurunan suhu, pembiusan dengan CO2 yang digelembungkan dalam air atau dengan


(11)

Anestesi merupakan suatu kondisi ketika sebagian atau seluruh tubuh kehilangan kemampuan kesadaran. Pada bagian tubuh yang diberikan suatu zat atau obat maka bagian tubuh tersebut akan kehilangan kemampuan untuk merespon rangsangan dari luar. Selain kehilangan respon, anestesi dapat pula menyebabkan kehilangan kesadaran. Hal ini disebabkan oleh pengaruh zat atau obat yang dimasukkan ke dalam tubuh tersebut mempengaruhi sistem syaraf. Zat atau obat anestesi dapat dimasukkan ke dalam tubuh dengan cara disuntik, dihisap, maupun bersinggungan secara langsung dengan anggota tubuh (Furlong 2004). Anestesi dapat disebabkan adanya pengaruh dari senyawa-senyawa kimia, suhu yang dingin, arus listrik, dan penyakit. Anestesi yang terjadi pada sistem syaraf pusat menyebabkan organisme tidak sadar atau pingsan (Achmadi 2005).

Bahan anestesi mengganggu secara langung maupun tidak langsung terhadap keseimbangan kationik tertentu dalam otak selama masa anestesi (Willford 1970). Gangguan keseimbangan ionik yang disebabkan adanya sianida yang akan menginaktivasi enzim sitokrom dalam sel mitokondria dengan mengikat ion Fe3+/Fe2+ yang terkandung dalam enzim. Adanya pengikatan ion Fe3+/Fe2+

akan menyebabkan biota mati rasa (pingsan) akibat kinerja syaraf kurang berfungsi. Pembiusan (anestesi) akan menyebabkan penurunan laju respirasi pada ikan, hal ini sangat menguntungkan dalam praktek transportasi (FRANZ 2004).

Kecepatan distribusi dan penyerapan oleh sel ini sangat beragam, tergantung pada persediaan darah dan kandungan lemak pada setiap jaringan. Proses terjadinya pemingsanan meliputi tiga tahap (Wright dan Hall 1961):

a) Berpindahnya bahan pembius dari lingkungan ke dalam alat pernafasan suatu organisme;

b) Difusi membran dalam organisme tubuh yang menyebabkan terjadinya penyerapan bahan pembius ke dalam darah;

c) Sirkulasi darah dan difusi jaringan menyebarkan substansi tersebut ke seluruh tubuh.

Lobster yang telah terbius ditandai dengan kondisi lobster yang diam, tidak bergerak tetapi masih dapat memberikan respon terhadap rangsangan fisik dari luar meskipun lemah. Kondisi ini disebut dengan kondisi terbius dan perlakuan


(12)

yang menyebabkan lobster menjadi dalam keadaan tersebut disebut dengan pembiusan (Wibowo et al. 1994). Kriteria aktivitas lobster pada suhu rendah disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Kriteria aktivitas lobster pada suhu rendah Kondisi

Lobster

Kriteria Lobster

normal

Lobster normal, aktif, reaktif, agresif, responsif, keseimbangan bagus, atau aktivitas dan respon lobster mulai berkurang. Antena sangat reaktif dan responsif atau sedikit berkurang terhadap rangsangan fisik dari luar.

Lobster tenang

Lobster tidak menunjukkan gerakan-gerakan reaktif berlebihan atau gerakan yang tidak terkendali. Lobster cenderung tidak banyak bergerak tetapi respon dan keseimbangan masih bagus. Repon antena terhadap gangguan dari luar masih jelas dan kuat.

Lobster lamban

Lobster tidak banyak bergerak, reaksi dan aktivitas makin berkurang, respon terhadap rangsangan fisik dari luar lamban, tetapi keseimbangan masih bagus.

Lobster lemah

Lobster tidak banyak bergerak, reaksi dan aktivitas makin berkurang dan respon lemah.

Lobster diam

Lobster tidak banyak bergerak, reaksi dan aktivitas makin berkurang, respon terhadap gangguan fisik dari luar rendah, jika diganggu tidak memberikan respon tetapi tubuh masih tegak dengan kaki jalan merapat ke cepalootoraks atau keseimbangan mulai terganggu.

Lobster limbung

Lobster diam, respon terhadap rangsangan dari luar mulai lemah atau tidak ada, tubuh menempel pada dasar akuarium. Kaki jalan merapat pada cepalotoraks, keseimbangan terganggu dan posisi tubuh miring. Jika dibalik sulit untuk tegak kembali.

Lobster roboh

Lobster diam, hanya ada sedikit gerakan lemah pada beberapa anggota badannya, tidak ada keseimbangan dengan tubuh roboh. Ketika dibalik tidak tegak kembali, dan ketika diangkat tidak bergerak.

Lobster pingsan

Lobster diam tidak bergerak sama sekali baik di dalam air maupun di udara terbuka. Tetapi jika dibiarkan di udara beberapa saat, 5-10 menit, mulai tampak bergerak-gerak lemah pada kaki jalan dan organ di sekitar mulut.

Lobster mati

Lobster tidak bergerak meskipun sudah ditempatkan di dalam air yang bersuhu normal 24-27 oC.

Sumber: Wibowo et al. (1994)

2.6 Kualitas Air

Air merupakan elemen paling penting bagi kehidupan lobster air tawar. Kualitas perairan yang bagus akan menjadi media hidup yang sangat menunjang kelangsungan hidup lobster air tawar. Sebaliknya, kualitas perairan yang buruk


(13)

dan ekstrim akan menyebabkan lobster air tawar mengalami stres dan akan mempercepat kematian.

Karakteristik fisika dan kimia air memberikan pengaruh mendasar bagi kelangsungan hidup lobster air tawar. Karaktersistik tersebut meliputi oksigen terlarut (disolved oxigen), keasamaan (pH), salinitas, suhu, kandungan nitrogen, material biologi, dan partikel organik atau material tersuspensi (Lesmana 2004). a. Disolved oxigen (DO)

Konsentrasi DO merupakan salah satu parameter kualitas air yang penting bagi kelangsungan hidup lobster air tawar. Deplesi oksigen merupakan penyebab kematian ikan secara mendadak dalam jumlah besar. Rust (2000) menyatakan bahwa oksigen dibutuhkan untuk mempertahankan kesehatan ikan dan sebagai fasilitator proses oksidatif kimiawi. Jika konsentrasi DO yang sesuai tidak dipertahankan, ikan akan mengalami stres dan mempercepat kematian. Kisaran nilai konsentrasi DO dan pengaruhnya terhadap kehidupan ikan disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2 Kisaran nilai konsentrasi DO dan pengaruhnya pada ikan Kisaran DO (mg/l) Kondisi ikan

0,0 – 0,3 Ikan kecil hidup untuk beberapa saat 0,3 – 1,0 Mematikan dalam jangka waktu yang lama 1,0 – 5,0 Ikan hidup tapi pertumbuhan lambat bila terjadi

dalam jangka waktu yang lama > 5,0 Baik untuk pertumbuhan

Sumber: Swingle (1969) dalam Boyd (1990)

b. Derajat keasaman (pH)

Perubahan pH menyebabkan stress pada ikan. Kemampuan air menahan perubahan pH sangatlah penting bagi kelangsungan hidup ikan. Kemampuan kapasitas buffer perairan ini berhubungan dengan adanya karbonat, bikarbonat, dan hidroksida. Air dengan kesadahan rendah memiliki kemampuan yang rendah dalam menahan keasaman (Shepherd dan Bromage 1992). Pengaruh pH terhadap ikan disajikan dalam Tabel 3.


(14)

Tabel 3 Pengaruh perubahan pH terhadap ikan Kisaran pH Pengaruh terhadap ikan

< 4,0 Titik mati asam 4,0 – 5,0 Tidak ada reproduksi 5,0 – 6,5 Pertumbuhan lambat

6,5 – 9,0 Kisaran yang layak untuk reproduksi > 9,0 Titik mati basa

Sumber: Swingle (1969) dalam Boyd (1990)

c. Amoniak

Nitrogen dalam air dapat berbentuk amoniak (NH3), nitrit (NO2) maupun nitrat

(NO3). Senyawa ini merupakan gas nitrogen buangan dari hasil metabolisme

udang oleh perombakan protein, yaitu berupa kotoran (feses dan urin). Amoniak merupakan kompetitor kuat oksigen dalam berikatan dengan hemoglobin darah, sehingga kandungan amoniak dalam konsentrasi tinggi akan berdampak buruk pada kesehatan ikan bahkan kematian. Substansi ini sangat beracun, terutama pada pH tinggi. Ketahanan udang terhadap amoniak bervariasi menurut jenis dan stadianya. Konsentrasi sebesar 0,45 mg/L akan menghambat laju pertumbuhan sebesar 50% (Lesmana 2004). Colt (1983) menambahkan bahwa toksisitas amoniak akan meningkat pada kondisi DO yang rendah. Sumber utama amoniak di lingkungan perairan adalah metabolisme ikan, ekskresi ikan, pemupukan dan dekomposisi mikrobial dari komponen nitrogen (Boyd 1982). Ketika amonia memasuki perairan, ion hidrogen langsung bereaksi dan mengubah amonia ke dalam suatu kondisi kesetimbangan antara ion amonium yang tidak beracun (NH4+) dan amonia

tidak terionisasi (NH3) yang beracun.

NH3 + H+ + OH- NH4+ + OH-

Penguraian amonia di air dipengaruhi oleh pH dan suhu (Shepherd dan Bromage 1992).

2.7 Transportasi Sistem Kering

Transportasi lobster air tawar hidup pada dasarnya adalah pemindahan lobster air tawar hidup dari suatu tempat ke tempat lain di dalam suatu wadah yang memiliki berbagai keterbatasan persyaratan hidup dibandingkan dengan


(15)

lingkungan asalnya. Selama transportasi akan terjadi berbagai perubahan lingkungan yang sangat mendadak. Perubahan yang drastis ini dapat mengakibatkan kematian lobster air tawar, sehingga perlu dilakukan modifikasi media transportasi agar perubahan-perubahan tersebut dapat direduksi.

Transportasi udang hidup dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu transportasi sistem basah dan transportasi sistem kering (Junianto 2003). Transportasi sistem kering merupakan pengangkutan udang hidup dengan menggunakan media pengangkutan tanpa air. Pada sistem transportasi ini, udang dikondisikan dalam keadaan tenang atau aktivitas dan metabolismenya rendah. Teknik yang disebut juga dengan imotilisasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan suhu rendah maupun dengan bahan anestesi (Wibowo et al. 1994).

Permasalahan yang dihadapi pada transportasi komoditas perikanan hidup adalah bagaimana cara menekan aktivitas metabolisme ikan (udang) agar kebutuhan oksigen dan hasil metabolismenya serendah mungkin. Berbagai cara yang dilakukan untuk menekan metabolisme pada transportasi dapat meningkatkan kelulusan hidup komoditas perikanan hidup (Tseng 1987).

Transportasi sistem kering memanfaatkan serbuk gergaji, serutan kelapa, maupun rumput laut sebagai media dalam kemasan pengangkutan (Junianto 2003). Suhu memiliki peranan yang sangat penting agar udang tetap

berada dalam kondisi basal. Pada kondisi ini, kadar oksigen yang dikomsumsi udang sangat minimal, yakni hanya untuk mempertahankan hidup saja. Pada transportasi tanpa media air, rongga karapas udang dapat menyimpan air sehingga oksigen yang terdapat dalam air dapat diserap untuk keperluan metabolisme tubuh (Prasetyo 1993).

Kelulusan hidup udang selama transportasi sistem kering dipengaruhi oleh suhu media dan posisi udang dalam kemasan. Udang yang mati sebagian besar adalah udang yang disusun pada lapisan bawah kemasan serta yang berdekatan dengan es. Suhu yang sangat rendah (di bawah suhu pemingsanan) tidak dapat ditoleransi oleh udang selama transportasi menyebabkan udang akan mengalami kedinginan dan mati (Prasetyo 1993).


(16)

2.8 Persiapan dan Persyaratan Lobster Air Tawar untuk Transportasi Lobster air tawar yang ditransportasikan pada umumnya merupakan lobster ukuran komsumsi. Lobster hidup yang akan ditransportasikan harus memenuhi kelengkapan organ sesuai persyaratan SNI 01-4488-1998. Selain harus memenuhi ukuran komersial untuk komsumsi, lobster yang akan ditransportasikan juga harus dalam keadaan sehat, tidak cacat fisik dan tidak mengalami pergantian kulit (moulting), dan tidak sedang bertelur (BSN 2007a). Lobster yang sedang moulting atau bertelur cenderung memiliki daya tahan hidup yang rendah dan berpeluang mati selama transportasi (Suryaningrum et al. 1993).

Tahap penanganan lobster untuk transportasi diatur dalam SNI 01-4490-1998, yaitu penanganan awal, pengangkutan, sortasi, penampungan dan pengkondisian, penenangan, dan pengemasan (BSN 2007b). Proses adaptasi lobster perlu dilakukan sebelum proses pemindahan atau transportasi lobster hidup. Selain itu, lobster harus dipuasakan selama 1-3 hari sebelum proses transportasi. Hal ini

bertujuan untuk mengurangi sebanyak mungkin kotoran yang ada dalam perut, serta mengurangi aktivitas metabolisme lobster yang akan terjadi selama proses

transportasi (Suryaningrum et al. 1993) 2.9 Media Pengisi Kemasan

Pengemasan berfungsi sebagai wadah, pelindung, penunjang, sarana penyimpanan dan transportasi, serta alat persaingan dalam pemasaran (Hambali et al. 1990). Kemasan dalam transportasi lobster air tawar disertai dengan bahan pengisi kemasan, yaitu bahan yang dapat ditempatkan di antara lobster air tawar (ikan hidup). Media pengisi berfungsi untuk menahan agar ikan tidak bergeser di dalam kemasan, menjaga suhu lingkungan di dalam kemasan tetap rendah agar ikan tetap berada dalam kondisi pingsan, serta memberi lingkungan udara dan kelembaban yang memadai untuk kelangsungan hidup ikan (Prasetyo 1993).

Media pengisi yang baik memiliki kapasitas panas yang baik, tidak bersifat toksik, mampu mempertahankan kelembaban, memiliki tekstur yang halus, dan tidak mudah rusak (Wibowo dan Soekarto 1993). Sisi ekonomi bahan pengisi juga penting untuk dipertimbangkan, harga murah dan pemakaian yang dapat berulang


(17)

merupakan faktor lain yang dipertimbangkan dalam pemilihan bahan pengisi kemasan yang akan digunakan saat transportasi.

Media pengisi yang dapat digunakan dalam transportasi krustasea hidup tanpa media air adalah serbuk gergaji, kertas koran, serutan kayu, rumput laut, dan karung goni. Serbuk gergaji merupakan penghambat panas yang terbaik dari beberapa jenis bahan pengisi tersebut (Prasetyo 1993). Media pengisi yang digunakan dalam transportasi lobster hidup untuk komsumsi harus memenuhi persyaratan yang telah ditentukan, seperti saniter, higienis, dan tidak meracuni serta mencemari produk (BSN 2007b).

Serbuk gergaji memiliki beberapa keunggulan lain dibandingkan dengan jenis media pengisi lain, diantaranya adalah mampu mempertahankan suhu rendah selama 9 jam tanpa bantuan es dan tanpa beban di dalamnya. Kondisi ini ditunjukkan oleh serbuk gergaji yang dilembabkan dengan air laut, dengan perbandingan 4 bagian serbuk gergaji dan 3 bagian air laut. Selain itu, serbuk gergaji memiliki panas jenis yang lebih besar dibanding sekam dan serutan kayu, daya serap air yang tinggi dan harganya murah (Junianto 2003). Bahan pengisi lain misalnya rumput laut memiliki tingkat kelembaban yang lebih tinggi dibandingkan dengan serbuk gergaji. Namun demikian, rumput laut yang membusuk akan memproduksi amoniak yang bersifat toksik bagi udang (lobster) (Wibowo dan Soekarto 1993).

Pengemasan untuk transportasi udang (lobster) hidup untuk tujuan ekspor umumnya menggunakan kotak styrofoam sebagai kemasan. Styrofoam berfungsi sebagai kemasan primer dan kotak kardus sebagai kemasan sekunder. Tujuan dari penggunaan karton kardus adalah untuk menekan goncangan selama pengangkutan dan memperbaiki penampilan atau estetika kemasan. Kotak karton kardus yang digunakan sebaiknya berdinding ganda yang dilapisi lilin. Lapisan lilin ini dimaksudkan untuk mencegah kerusakan kotak karton karena kelembaban yang tinggi selama pengemasan (Junianto 2003).

Kotak styrofoam digunakan sebagai kemasan primer dalam transportasi komoditas perikanan hidup untuk menghindari penetrasi panas yang dapat merubah suhu di dalam kotak pengemas. Kenaikan suhu di dalam kemasan dapat


(18)

meningkatkan aktivitas metabolisme yang berakibat fatal bagi kehidupan udang (lobster) yang dikemas (Junianto 2003).

Konstruksi kemasan dalam media kering ada tiga, yaitu konstruksi kemasan berlapis, konstruksi bertingkat dan konstruksi kemasan sistem rak. Penilaian susunan dan konstruksi didasarkan pada (1) fungsi melindungi; (2) efesiensi kemasa; (3) kapasitas dingin; dan (4) stabilitas suhu kemasan. Efesiensi kemasan yang paling tinggi adalah tipe kemasan berlapis dengan efesiensi sebesar 50% (Prasetyo 1993).

Suhu kemasan dapat dipertahankan sebesar 15, 20 maupun 25 oC dengan

menggunakan butiran es seberat 115-1.600 gram, 1.120-1.450 gram, dan 990-1.325 gram yang dibungkus dengan plastik. Butiran es diletakkan pada

bagian atas atau bawah kemasan. Butiran es dimasukkan ke dalam plastik kemudian dibungkus dengan kertas koran (Junianto 2003).


(19)

3 METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan mulai dari tanggal 8 November hingga 13 Desember 2011. Penelitian ini terdiri atas beberapa rangkaian yang dipusatkan

pada tiga tempat utama. Tahap ekstraksi akar tuba (Derris elliptica), persiapan dan pengentalan ekstrak etanol akar tuba, dilaksanakan di Laboratorium Kimia Analitik, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan. Tahap analisis kadar air dan perhitungan rendemen ekstrak akar tuba dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Penelitian utama, yaitu pemingsanan lobster air tawar dengan ekstrak akar tuba dan pengujian kelulusan hidup selama penyimpanan dalam media tanpa air dilaksanakan di Laboratorium Bahan Baku Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Kualitas air yang digunakan sebelum dan setelah proses pemingsanan lobster air tawar dianalisis di Laboratorium Lingkungan Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas bahan utama dan bahan pembantu yang digunakan dalam berbagai rangkaian percobaan. Penelitian ini menggunakan peralatan yang meliputi peralatan yang digunakan untuk aklimatisasi dan peralatan untuk pengukuran kualitas air.

3.2.1 Bahan

Bahan utama yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah lobster air tawar (Cherax quadricanatus) dan ekstrak akar tuba (Derris elliptica). Lobster uji yang digunakan pada penelitian memiliki panjang pada kisaran 7,0 ± 0,297 cm dan bobot tubuh 18,98 ± 1,835 gram. Lobster uji yang digunakan padan penilitian berumur ± 3 bulan, diperoleh dari pembudidaya di daerah Ciseeng-Parung, Bogor. Bahan akar tuba yang digunakan pada penelitian ini didatangkan dari daerah Tapanuli Selatan, tanaman ini selanjutnya dibudidayakan selama ± 6 bulan di daerah Dramaga-Bogor. Bagian yang digunakan dari tanaman ini hanya akar yang tertanam dalam tanah dengan diameter berkisar 0,3-1 cm. Rendemen kandungan


(20)

bahan dihitung setelah diekstrak menggunakan etanol 95% dengan perbandingan 1:3 selama proses ekstraksi. Bahan pembantu yang digunakan dalam penelitian ini meliputi styrofoam, dan serbuk gergaji.

3.2.2 Alat

Lobster uji yang digunakan, dipelihara dalam akuarium sebelum dan sesudah proses pemingsanan. Proses pemingsanan lobster air tawar dilaksanakan dalam baskom. Kualitas air yang digunakan sebelum dan setelah proses pemingsanan diukur dengan menggunakan alat DO-meter untuk nilai oksigen terlarut, pH-meter untuk nilai kesadahan, dan spektrofotometer untuk pengujian kadar amoniak.

Hasil ekstraksi etanol akar tuba dipekatkan dengan menggunakan alat rotary vacuum evaporator untuk memperoleh ekstrak akar tuba yang kental. Peralatan lain yang digunakan dalam penelitian ini meliputi gelas labu, gelas Meyer, neraca analitik, DO meter, pisau, dan aerator.

3.3 Metode Penelitian

Prosedur penelitian ini diawali dengan persiapan lobster air tawar sebagai biota uji dan ekstraksi akar tuba sebagai bahan pemingsan yang akan digunakan. Penelitian dibagi menjadi dua tahapan utama, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama.

3.3.1 Persiapan penelitian

a. Aklimatisasi lobster air tawar (Koesoemadinata 2003)

Proses aklimatisasi bertujuan untuk mengadaptasikan lobster air tawar dengan kondisi baru lingkungan laboratorium. Akuarium yang digunakan untuk aklimatisasi berukuran 100x50x40 cm3. Air yang digunakan adalah air PAM yang telah diendapkan dan diaerasi selama dua hari untuk menghilangkan klorin dan senyawa-senyawa beracun lainnya. Tahap aerasi juga berfungsi untuk meningkatkan kandungan oksigen terlarut dalam media uji. Kesehatan dan kelayakan kondisi ikan ditentukan berdasarkan persyaratan yang terdapat dalam pengujian toksisitas. Kriteria yang harus dipenuhi oleh populasi uji toksisitas adalah:

1)Stok populasi ikan tidak layak digunakan untuk percobaan bila selama 7 hari masa adaptasi mortalitas ikan ≥ 10% dari populasi;


(21)

2)Bila angka mortalitas ikan tercatat antara 5% dan 10%, maka masa adaptasi dilanjutkan selama 7 hari, dan bila setelah masa pengamatan tambahan tersebut angka mortalitas ≤ 5% stok populasi ikan layak digunakan untuk percobaan; 3)Stok populasi ikan tidak layak digunakan untuk suatu percobaan bila pada

masa adaptasi ada wabah penyakit, atau bila jumlah ikan yang cacat atau abnormal ≥ 1% dari jumlah ikan dalam stok populasi tersebut.

b. Ektraksi akar tuba dan perhitungan rendemen

Proses ekstraksi diawali dengan pembersihan akar tuba dari sisa-sisa tanah yang masih tersisa. Pembersihan dilakukan segera setelah akar tuba dipanen, dan dilakukan dengan hati-hati untuk mengurangi terjadinya proses lisis kandungan akar tuba. Akar yang telah bersih kemudian dihaluskan dengan menggunakan parutan. Akar yang telah halus atau terpotong lebih kecil ditimbang dengan menggunakan neraca analitik.

Sebanyak 50 mg akar tuba halus ditimbang dan direndam dalam 150 ml larutan etanol 95% selama 48 jam. Proses ini dilakukan secara berulang hingga bahan pelarut (etanol) tidak mengalami perubahan warna saat ditambah dengan potongan akar tuba. Pada penelitian ini, proses perendaman dihentikan hingga pelarut yang digunakan mencapai 450 ml. Hasil ekstraksi etanol selanjutnya dipekatkan dengan menggunakan vacuum rotary evaporator. Proses pemekatan dilaksanakan di Laboratorium Kimia Analitik, Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

Sejumlah akar tuba halus lainnya ditimbang untuk analisis kadar air. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan metode pengeringan. Tahapan ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Hasil pemekatan ekstraksi etanol dan hasil analisis kadar air digunakan untuk perhitungan rendemen akar tuba. Perhitungan rendemen dilakukan dengan menggunakan rumus:


(22)

3.3.1 Penelitian pendahuluan

Penelitian pendahuluan ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi ekstrak akar tuba yang terbaik untuk memingsankan lobster air tawar. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui waktu pendedahan (onset), waktu pulih sadar dan tingkat kelulusan hidup dari masing-masing konsentrasi uji.

a. Penentuan konsentrasi ekstrak akar tuba sebagai bahan anestesi

Konsentrasi uji ekstrak akar tuba ditentukan berdasarkan konsentrasi yang umum digunakan oleh masyarakat di daerah Tapanuli Selatan Sumatera Utara dalam proses penangkapan ikan dengan menggunakan ekstrak kasar akar tuba. Data empiris yang diperoleh penulis setelah pengamatan di lapangan adalah sebanyak 1 kg akar tuba (sebelum dihaluskan) dapat memingsankan ikan dalam kolam berukuran ± 10 x 5 x 1 m3 (p x l x t). Dengan demikian, konsentrasi ditentukan dengan perhitungan sebagai berikut:

Volume kolam = p x l x t = 10 x 5 x 1 m3

= 500 m3 = 50.000 dm3

= 50.000 L air (1 dm3 = 1 L) Konsentrasi yang digunakan oleh masyarakat di lapangan (K):

= 20 ppm

Konsentrasi 20 ppm dipilih sebagai konsentrasi maksimum, konsentrasi yang dianggap mampu membunuh ikan. Konsentrasi pengujian selanjutnya ditentukan lebih kecil dari konsentrasi tersebut dengan selang sebesar 2,5 ppm; sehingga diperoleh konsentrasi uji sebagai berikut: 5 ppm; 7,5 ppm; 10 ppm; 12,5 ppm; 15 ppm; 17,5 ppm; dan 20 ppm.

b. Pengujian ekstrak akar tuba sebagai bahan anestesi

Prosedur kerja pengujian ini dimulai dengan mempersiapkan tujuh buah ember plastik masing-masing diisi dengan tiga liter air dan lima ekor lobster air


(23)

tawar. Ekstrak air tawar dengan konsentrasi yang telah ditentukan kemudian dimasukkan ke dalam ember plastik tersebut. Kegiatan selanjutnya adalah pengamatan terhadap masing-masing paramater uji pada setiap konsentrasi. Prosedur ini dilaksanakan sebanyak tiga kali ulangan.

Pengamatan kualitas air dilakukan pada setiap konsentrasi perlakuan sebelum dan setelah pemberian ekstrak akar tuba. Parameter kualitas air yang diukur adalah DO, pH, dan amonia. Cara pengukuran parameter kualitas air disajikan dalam Tabel 4.

Tabel 4 Parameter kualitas air beserta peralatan Parameter Peralatan utama Cara peneraan

DO Peralatan titrasi Metode titrimetri

pH pH-meter Pembacaan skala

Amoniak Spektrofotometer Metode indofenol

Pengukuran karakteristik DO media air dilakukan dengan menggunakan alat ukur elektronik DO-meter. Prosedur diawali dengan kalibrasi alat dengan membandingkan hasil pengukuran dengan cara titrasi standar Enkler terhadap air contoh yang sama. Setelah proses kalibrasi selesai, air sampel dimasukkan ke dalam gelas erlenmeyer sebanyak 25 ml. Proses selanjutnya adalah magnetic stirrer dimasukkan ke dalam sampel untuk menghomogenkan kandungan oksigen dalam air, kemudian dilakukan pengukuran dengan DO-meter (Rand et al. 1975).

Nilai pH diukur dengan menggunakan alat pH-meter. Sebelum digunakan, pH-meter dikalibrasi terlebih dahulu dengan aquades yang memiliki nilai derajat keasaman 6 dan 8. Sebanyak 25 ml air sampel selanjutnya dimasukkan ke dalam erlenmeyer untuk diukur derajat keasamannya dengan alat pH-meter yang telah dikalibrasi terlebih dahulu (Rand et al. 1975).

Parameter total amoniak-nitrogen (TAN) ditentukan dengan menggunakan prosedur berikut (Metode Fenat) (Rand et al. 1975):

a. Sebanyak 50 ml sampel air didestilasi. Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya galat yang terlalu tinggi, karena sampel air yang digunakan setelah proses pemingsanan mengalami perubahan warna menjadi warna putih (susu).


(24)

b. Sebanyak 25 ml sampel air yang telah didestilasi dimasukkan ke dalam gelas Erlenmeyer.

c. Pada sampel tersebut ditambahkan 1 tetes MnSO4, 0,5 ml kloroks, dan 0,6 ml

fenat. Larutan tersebut didiamkan selama ± 15 menit hingga terjadi perubahan warna dari bening menjadi kebiruan. Jika setelah 15 menit berlalu, dan belum terjadi perubahan warna, prosedur penambahan MnSO4, kloroks dan fenal

kembali diulangi hingga sampel tersebut mengalami perubahan warna.

d. Larutan blanko aquades sebanyak ± 10,00 ml disiapkan pada gelas erlenmeyer. e. Larutan blanko standar amoniak (0,30 ppm) sebanyak ± 10,00 ml disiapkan

pada gelas erlenmeyer.

f. Pengukuran larutan blanko dengan menggunakan perangkat spektrofotometer pada panjang gelombang 630 nm dan absorbance 0,0000 (transmiter 100%), kemudian dilakukan pengukuran sampel dan larutan standar.

g. Konsentrasi amoniak-N total (TAN) dihitung dengan persamaan: Mg NH3/L

Keterangan:

C : konsentrasi larutan standar (0,30 mg/L) Abs sampel : nilai absorbance larutan sampel

Abs standar : nilai absorbance larutan standar 3.3.2 Penelitian utama

Penelitian utama pada percobaan ini merupakan pengujian kelulusan hidup lobster air tawar yang telah dipingsankan dengan berbagai konsentrasi selama proses penyimpanan. Konsentrasi yang digunakan merupakan konsentrasi terbaik yang diperoleh dari hasil pengujian pada penelitian pendahuluan, yang dalam hal ini dipilih menjadi tiga konsentrasi yaitu 10; 12,5; dan 15ppm.

Lobster uji yang telah disiapkan dipingsankan dengan ketiga konsentrasi tersebut. Selanjutnya dimasukkan ke dalam kemasan transportasi yang telah disiapkan sebelumnya. Kemasan terdiri atas kotak styrofoam, es batu dalam kantong plastik, dan serbuk gergaji.

Kotak styrofoam kosong terlebih dahulu diisi dengan es batu dalam kantong plastik. Media serbuk gergaji yang didinginkan hingga mencapai suhu pembiusan


(25)

lobster air tawar (15 oC) ditaburkan di atas es batu tersebut. Selanjutnya, sebanyak 15 ekor lobster air tawar yang telah pingsan disusun di atas serbuk gergaji tersebut dan dilapisi kembali dengan serbuk gergaji dingin. Skema penyusunan lobster sampel saat penyimpanan dalam kotak styrofoam disajikan dalam Gambar 5.

Gambar 5 Penyusunan lobster dalam kotak styrofoam

Lobster yang telah dipingsankan dengan ekstrak akar tuba selanjutnya disimpan dalam kotak styrofoam selama interval waktu 12, 24, 36, dan 48 jam. Pada setiap interval waktu tersebut, kemasan dibongkar dan lobster dibugarkan kembali dengan memasukkannya ke dalam akuarium dengan aerasi kuat. Tingkat kelulusan udang selanjutnya dihitung dengan menggunakan rumus:

3.3.3 Rancangan percobaan

Hasil dari penelitian percobaan transportasi udang hidup ini diuji dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Faktor pertama terdiri atas tujuh tingkat pemberian dosis ekstrak akar tuba. Setiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali dengan setiap unit percobaan terdiri atas lima ekor lobster air tawar.

Model rancangan percobaan yang akan digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:

Yij = µ + Xij + ∑ij

Keterangan:

Yijk : Hasil pengamatan dari pengaruh konsentrasi ekstrak akar tuba taraf ke-i

dengan ulangan ke-j

µ : Pengaruh nilai rata-rata umum

Penutup styrofoam Styrofoam

Serbuk gergaji Lobster 15 ekor Serbuk gergaji Es dalam plastik


(26)

Xij : Pengaruh perlakuan konsentrasi ekstrak akar tuba taraf ke-i dan ulangan

ke-j

∑ij : Pengaruh galat percobaan karena perlakuan ke-i dan ulangan ke-j i : 1,2,3,4,5 adalah konsentrasi ekstrak akar tuba

j : 1,2,3,4 adalah ulangan

Bila hasil percobaan yang digunakan memberikan pengaruh nyata, uji diteruskan dengan uji lanjut Tukey. Pengolahan data dianalisis dengan menggunakan program SPSS 13 for Windows.


(27)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Persiapan Hewan Uji dan Bahan Pemingsan

Lobster air tawar yang digunakan dalam penelitian ini memiliki karakteristik yang sesuai dengan SNI 01-4488-1998, persyaratan lobster air tawar sebagai bahan uji transportasi (BSN 2007a). Lobster yang digunakan sebagai bahan uji dalam keadaan sehat, tidak cacat fisik dan tidak mengalami pergantian kulit (moulting), serta tidak dalam keadaan bertelur.

Kondisi awal lobster air tawar yang digunakan dalam penelitian ini memiliki keseimbangan yang baik di dalam air. Hal ini ditandai dengan posisi lobster yang tegak dan kokoh, aktif, agresif dan responsif di dalam air. Lobster akan memberikan reaksi kejutan yang sangat tinggi saat suatu benda atau tangan didekatkan kepada lobster. Lobster menunjukkan pertahanan yang kuat saat diangkat dari air, ditandai dengan mengepaknya bagian ekor, meronta dan kedua capit sangat responsif.

Penanganan lobster untuk transportasi disesuaikan dengan metode yang diatur dalam SNI 01-4490-1998. Tahapan tersebut terdiri atas penanganan awal, pengangkutan, sortasi, penampungan dan pengkondisian, penenangan, serta pengemasan (BSN 2007b). Sortasi lobster dilakukan untuk memperoleh ukuran dan bobot hewan uji yang setara. Lobster uji yang digunakan memiliki panjang pada kisaran 7,0 ± 0,297 cm dan bobot tubuh 18,98 ± 1,835 gram (Lampiran 1).

Penampungan dan pengkondisian diawali dengan proses pengendapan air keran yang akan digunakan sebagai media penampung lobster air tawar di laboratorium. Air keran yang digunakan didiamkan selama 3 hari, bertujuan untuk mengendapkan bahan-bahan terlarut yang dapat mempengaruhi derajat keasaman air. Proses adaptasi (aklimatisasi) lobster sebelum proses pemingsanan dilakukan selama satu minggu. Selama dua hari terakhir sebelum proses pemingsanan, lobster dipuasakan terlebih dahulu. Hal ini bertujuan untuk mengurangi sebanyak mungkin kotoran yang ada dalam perut, serta mengurangi aktivitas metabolisme lobster selama transportasi (Suryaningrum et al. 1993).

Akar tuba sebagai bahan pemingsan, memiliki kandungan aktif rotenon sebesar 5,0% (w/w) hingga 13,0% (w/w). Selain itu, akar tuba juga memiliki


(28)

rotenoid lain, yaitu deguelin, elipton, toksikarol, sumatrol, teprosin, dan malakol (Dev dan Koul 1997 dalam Irwan 2006). Sedangkan menurut penelitian Kidd dan James (1991) dalam Irwan (2006), rotenon sedikit larut dalam air, yaitu sekitar 16 mg/L air pada suhu 100 oC.

Berdasarkan hasil perhitungan rendemen, akar tuba yang digunakan dalam penelitian ini mengandung 13,184 % kadar ekstrak kental akar tuba (Lampiran 2). Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan 500 ml larutan etanol 95%. Hasil tersebut merupakan ekstrak yang di dalamnya mengandung keseluruhan rotenoid kandungan akar tuba (belum dimurnikan). Pengentalan ekstraksi dilakukan dengan menggunakan alat rotary vacuum epavorator sebagaimana tampak pada Gambar 6.

Gambar 6 Proses pengentalan ekstrak akar tuba dengan alat rotary vacuum epavorator

4.2 Pengaruh Ekstrak Akar Tuba (Derris elliptica Roxb. Benth) Terhadap Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus)

Konsentrasi ekstrak akar tuba yang digunakan dalam pemingsanan terdiri atas tujuh konsentrasi, yaitu 5 ppm; 7,5 ppm; 10 ppm; 12,5 ppm; 15 ppm; 17,5 ppm; dan 20 ppm. Perubahan tingkah laku lobster air tawar yang diberi masing-masing konsentrasi tersebut diamati setiap 15 menit. Perobaan ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi akar tuba yang optimal untuk pemingsanan lobster air tawar. Hasil pengamatan disajikan pada Lampiran 3.


(29)

Lampiran 3 menunjukkan bahwa pemberian konsentrasi uji 5 ppm; 7,5 ppm; 10 ppm; dan 12,5 ppm memberikan pengaruh yang lambat terhadap perubahan aktivitas lobster uji. Perubahan aktivitas lobster mulai terlihat pada kisaran menit ke-40 hingga 60. Pada kisaran ini lobster mulai terlihat gelisah, kembali normal, dan responsif terhadap rangsangan dari luar. Pada kisaran menit ke-60 hingga 105 untuk konsentrasi uji 5 ppm dan 7,5 ppm; lobster menunjukkan perubahan aktivitas berupa gerakan-gerakan panik, kembali tenang, dan responsif terhadap rangsangan luar. Sebagian lobster pada konsentrasi uji 5 ppm dan 7,5 ppm mulai terlihat lamban masing-masing pada menit ke-135 dan 123. Lobster uji dengan konsentrasi 5 ppm terlihat diam pada menit ke-175 dan 166 untuk pengujian dengan konsentrasi 7,5 ppm. Keseimbangan lobster mulai rapuh pada menit ke-193 (5 ppm) dan 180 (7,5 ppm), serta roboh pada menit ke-210 (5 ppm) dan 195 (7,5 ppm). Pada selang menit 210-225, lobster uji pada kedua konsentrasi mengalami pingsan. Walaupun demikian, sebagian kecil lobster pada kedua pengujian tersebut masih terlihat normal hingga akhir proses pemingsanan (tidak bisa dipingsankan dengan kedua konsentrasi uji tersebut).

Gerakan lobster yang mulai panik terlihat pada menit ke-85 dan 70 masing-masing untuk pengujian 10 ppm dan 12,5 ppm. Gerakan tersebut ditandai dengan lobster berenang mundur tanpa arah yang terkendali. Pada menit ke-100 (10 ppm) dan 87 (12,5 ppm), sebagian lobster terlihat mulai kembali tenang dengan pergerakan kaki yang masih aktif. Lobster uji mulai terlihat lamban masing-masing pada menit ke-115 dan 105 pengujian. Pada menit berikutnya lobster terlihat lemah, selanjutnya diam, dan keseimbangan tubuh mulai terganggu. Sebagian lobster terlihat roboh masing-masing pada menit ke-186 dan 175 pengujian.

Pengujian dengan konsentrasi 15 ppm mulai memberikan pengaruh gelisah terhadap lobster uji pada menit ke-45 pengujian. Kegelisahan lobster semakin jelas terlihat pada selang waktu 45-60 menit, ditandai dengan gerakan yang tidak konsisten, kadang-kadang normal namun sesekali berenang mundur tanpa arah terkendali. Gerakan-gerakan mundur semakin sering terjadi pada selang menit 60-75, menunjukkan bahwa lobster mengalami kepanikan, namun lobster masih responsif terhadap rangsangan dari luar. Sebagian lobster terlihat mulai tenang


(30)

pada menit ke-80, panik dan gerakan kaki mulai melemah. Selang menit 90-105 lobster terlihat lamban, ditandai dengan respon terhadap rangsangan dari luar mulai berkurang. Lobster selanjutnya terlihat lemah dan lebih banyak diam, serta keseimbangan tubuh mulai menurun (limbung). Pada akhirnya, lobster mulai roboh pada menit ke-155 dan pingsan pada selang menit 165-180 dan 180-195 masa pemingsanan.

Berdasarkan Lampiran 3, masing-masing konsentrasi uji memberikan pengaruh panik pada lobster pada waktu yang berbeda-beda. Lobster dengan konsentrasi uji 17,5 ppm dan 20 ppm menunjukkan kepanikan yang lebih awal dibanding konsentrasi uji lainnya, yaitu mulai panik masing-masing pada menit ke-43 dan 32. Gerakan panik ini mulai berakhir pada menit ke-48 untuk konsentrasi 20 ppm dan menit ke-62 untuk konsentrasi 17,5 ppm. Pada menit berikutnya lobster terlihat mulai lamban namun masih ada gerakan-gerakan kecil pada organ tubuh lobster. Keseimbangan lobster mulai roboh terlihat pada menit ke-130 (20 ppm) dan menit ke-145 untuk konsentrasi 17,5 ppm ekstrak akar tuba.

Perbedaan selang waktu lobster mengalami fase panik disebabkan oleh pengaruh perbedaan konsentrasi pengujian yang digunakan. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak akar tuba yang digunakan, semakin lama fase panik yang ditimbulkan. Lobster yang mengalami fase panik lebih lama akan lebih lemah kondisinya, sehingga diharapkan tingkat kelulusan hidup lobster akan lebih lama.

Berdasarkan hasil pengamatan tersebut, konsentrasi uji 5 ppm dan 7,5 ppm tidak akan digunakan untuk pengujian transportasi kering lobster dengan bahan pemingsan ekstrak akar tuba. Hal ini dikarenakan kedua konsentrasi tersebut tidak dapat memingsankan seluruh lobster uji.

Hasil pengamatan pengaruh ekstrak akar tuba terhadap perubahan aktivitas lobster secara keseluruhan jika dibandingkan dengan hasil pengujian yang

dilakukan oleh Wijaya (2008). Pembiusan lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) dengan metode penurunan suhu bertahap yang

dilakukan oleh Wijaya (2008), memberikan pengaruh perubahan aktivitas lobster yang lebih cepat dibandingkan dengan penelitian ini. Hal ini ditunjukkan oleh fase panik lobster yang terjadi pada penelitian tersebut jauh lebih cepat daripada fase panik pada penelitian ini.


(31)

4.3 Waktu Onset Pemingsanan

Penentuan kondisi pingsan lobster air tawar pada penelitian ini berdasarkan kriteria lobster pingsan oleh Wibowo et al. (1994), yaitu lobster diam tidak bergerak sama sekali baik di dalam air maupun di udara terbuka, namun jika dibiarkan di udara beberapa saat (5-10 menit), lobster mulai bergerak-gerak lemah pada kaki jalan dan disekitar mulut. Pencatatan waktu onset pemingsanan dilakukan mulai dari kondisi lobster normal sampai kondisi pingsan. Pencatatan ini bertujuan untuk melihat pengaruh penambahan ekstrak akar tuba terhadap waktu yang dibutuhkan lobster hingga pingsan.

Hipotesis awal pada parameter ini adalah bahwa pemberian berbedaan konsentrasi ekstrak akar tuba tidak berpengaruh terhadap waktu onset yang dibutuhkan oleh lobster hingga pingsan. Sebaliknya, hipotesis pembandingnya adalah perbedaan konsentrasi ekstrak akar tuba memberikan pengaruh terhadap waktu onset pemingsanan. Hasil pencatatan waktu onset disajikan dalam grafik pada Gambar 7.

Gambar 7 Grafik pengaruh pemberian ekstrak akar tuba dengan berbagai konsentrasi berbeda terhadap waktu onset

Gambar 7 menunjukkan bahwa adanya penambahan berbagai konsentrasi ekstrak akar tuba menyebabkan waktu onset yang dibutuhkan hingga pingsan berbeda-beda. Waktu terkecil yang dibutuhkan lobster hingga pingsan ditunjukkan oleh pemberian ekstrak akar tuba dengan konsentrasi 20 ppm, yaitu selama 150,67 menit. Sebaliknya, waktu yang paling lama dibutuhkan hingga lobster pingsan ditunjukkan oleh pemberian ekstrak akar tuba dengan konsentrasi 5 ppm,


(32)

yaitu selama 226,69 menit. Gambar di atas juga menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi ekstrak akar tuba yang diberikan, menyebabkan waktu onset yang dibutuhkan lobster hingga pingsan semakin kecil (cepat).

Pencatatan waktu onset selanjutnya diuji dengan menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL). Berdasarkan pengujian dengan menggunakan metode RAL (Lampiran 4a), pada selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi ekstrak akar tuba memberikan pengaruh nyata terhadap waktu onset pemingsanan lobster air tawar. Hasil uji ini selanjutnya diuji lanjut dengan menggunakan metode Tukey, yang hasilnya disajikan dalam Lampiran 4b.

Hasil pengujian lanjut Tukey (α=0,05) menunjukkan bahwa terdapat pengaruh berbeda nyata pada masing-masing konsentrasi ekstrak akar tuba yang diberikan terhadap lobster air tawar. Pengaruh berbeda nyata ditunjukkan oleh setiap konsentrasi dengan setiap konsentrasi uji lainnya. Sebagai contoh, konsentrasi uji 5 ppm dengan konsentrasi lain (7,5 ppm; 10 ppm; 12,5 ppm; 15 ppm; 17,5 ppm; dan 20 ppm) memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap waktu onset yang dibutuhkan lobster hingga pingsan.

Berdasarkan hasil pengujian lanjut Tukey, pemberian ekstrak akar tuba dengan berbagai konsentrasi memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap waktu onset yang dibutuhkan oleh lobster hingga pingsan. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya rotenoid yang terkandung dalam akar tuba yang dapat menyebabkan perubahan aktivitas fisiologis di dalam tubuh hewan berdarah dingin, seperti lobster. Bahan aktif akar tuba (rotenoid) akan menginaktifkan enzim respirasi dan menyebabkan ikan memproduksi asam glutamik, sehingga laju respirasi ikan (lobster) akan terhambat (Matsumura 1985 dalam Irwan 2006). Hal inilah yang diduga bisa menyebabkan terjadinya lobster pingsan pada percobaan ini.

Pengujian waktu onset akibat pemberian ekstrak akar tuba pada penelitian ini menujukkan rendahnya daya anestesi ekstrak akar tuba. Rendahnya daya anestesi ekstrak akar tuba penelitian ini dikarenakan oleh rendahnya konsentrasi ekstrak akar tuba yang digunakan. Selain itu, ekstrak akar tuba yang digunakan juga merupakan ekstrak kasar yang didalamnya masih ada kemungkinan terjadinya proses dekomposisi bahan aktif. Daya anestesi yang rendah ini juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain, seperti faktor hewan uji, bahan baku, dan teknis


(33)

ekstraksi. Lukito dan Prayugo (2007) menyatakan bahwa lobster air tawar memiliki kisaran toleransi yang tinggi terhadap perubahan lingkungan kualitas air, yakni suhu, pH, salinitas, dan kandungan O2 maupun CO2, sehingga diduga

lobster air tawar mampu mentolerir bahan anestesi ekstrak akar tuba sampai tingkat konsentrasi yang cukup tinggi.

4.4 Waktu Pulih Sadar Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus)

Pencatatan waktu pulih sadar lobster air ditentukan untuk mengetahui waktu yang dibutuhkan oleh lobster untuk pulih kembali normal setelah proses pemingsanan. Waktu pulih sadar ditentukan sejak lobster pingsan dimasukkan ke dalam air mengalir (DO tinggi) hingga lobster pulih kembali ke kondisi normal. Parameter ini diharapkan akan menunjukkan adanya pengaruh bahan aktif akar tuba yang terserap oleh lobster terhadap proses pingsan.

Pemberian ekstrak akar tuba dengan berbagai konsentrasi berbeda tidak memberikan pengaruh nyata terhadap waktu pulih yang dibutuhkan oleh lobster untuk normal kembali, diasumsikan sebagai hipotesis awal. Pengaruh nyata yang ditunjukkan oleh pemberian ekstrak akar tuba dengan berbagai konsentrasi terhadap waktu pulih sadar lobster diasumsikan sebagai hipotesis pembanding. Pencacatan waktu pulih sadar lobster air tawar disajikan dalam Gambar 8.

Gambar 8 Grafik pengaruh pemberian ekstrak akar tuba dengan berbagai konsentrasi berbeda terhadap waktu pulih sadar

Grafik pada Gambar 8 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan waktu pulih sadar yang dihasilkan akibat pemberian ekstrak akar tuba yang berbeda. Waktu


(34)

pulih sadar terkecil (tercepat) ditunjukkan oleh pemberian ekstrak akar tuba dengan konsentrasi 5 ppm, yaitu 14,42 menit. Sebaliknya, pemberian ekstrak akar tuba dengan konsentrasi 20 ppm menyebabkan waktu pulih sadar yang paling lama dibutuhkan oleh lobster air tawar, yaitu 41,50 menit. Pengaruh pemberian ekstrak akar tuba dengan konsentrasi berbeda terhadap waktu pulih sadar, dibuktikan dengan pengujian metode Rancangan Acak Lengkap (RAL).

Berdasarkan pengujian dengan metode RAL (α=0,05), perbedaan konsentrasi ektrak akar tuba memberikan pengaruh nyata terhadap waktu pulih sadar yang dibutuhkan oleh lobster untuk sadar kembali (Lampiran 5a). Pengaruh yang berbeda nyata dari masing-masing konsentrasi selanjutnya dibuktikan dengan pengujian lanjut Tukey (Lampiran 5b).

Pengujian lanjut dengan metode Tukey (α=0,05) menujukkan adanya pengaruh yang berbeda nyata dari perbedaan konsentrasi ekstrak akar tuba terhadap waktu pulih sadar lobster air tawar, kecuali antara konsentrasi 5 ppm dengan 7,5 ppm. Pengaruh berbeda nyata tidak ditemukan diantara konsentrasi 5 ppm dengan 7,5 ppm; terhadap waktu pulih sadar. Selain daripada itu, pengaruh berbeda nyata ditunjukkan oleh tiap-tiap konsentrasi lainnya, termasuk antara konsentrasi 7,5 ppm dengan 10 ppm.

Hasil pengujian tersebut di atas menunjukkan adanya pengaruh pemberian ekstrak akar tuba terhadap proses pingsan lobster air tawar. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya bahan aktif (rotenoid) yang terkandung di dalam akar tuba. Selain itu, pengujian di atas juga menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi uji yang diberikan akan menyebabkan proses penyadaran yang lebih lama, karena semakin besar jumlah bahan aktif yang berada pada sistem peredaran darah membutuhkan waktu yang lebih lama untuk bisa kembali ke kondisi normal. Nilai pH dan kandungan O2 terlarut dalam air juga mempengaruhi limit

waktu yang dibutuhkan oleh lobster untuk pulih kembali ke kondisi normal. 4.5 Survival Rate Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus)

Parameter survival rate (SR) pada penelitian ini dibedakan menjadi dua, yaitu SR setelah proses pemulihan sadar setelah pemberian ekstrak akar tuba dan SR setelah proses simulasi transportasi sistem kering. Pengujian parameter SR pada


(35)

percobaan ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi uji yang akan digunakan untuk proses simulasi transportasi kering.

Hipotesis awal pengujian ini adalah pemberian ekstrak akar tuba tidak memberikan pengaruh nyata terhadap mortalitas lobster air tawar. Pemberian ekstrak akar tuba dengan konsentrasi berbeda memberikan pengaruh nyata terhadap nilai SR lobster air diasumsikan sebagai hipotesis pembanding. Hasil perhitungan nilai SR disajikan dalam Gambar 9.

Keterangan: 8

= sebanyak 13,33% lobster uji dinyatakan mati setelah 1 jam proses penyadaran kembali 88

= sebanyak 26,67% lobster uji dinyatakan mati setelah 1 jam proses penyadaran kembali

Gambar 9 Grafik pengaruh pemberian ekstrak akar tuba dengan berbagai konsentrasi berbeda terhadap nilai SR

Pemberian ektrak akar tuba secara umum tidak menyebabkan kematian terhadap lobster air tawar, kecuali pada konsentrasi 17,5 ppm dan 20 ppm. Konsentrasi 17,5 ppm dan 20 ppm menyebabkan kematian pada lobster air tawar, sehingga nilai SR masing-masing adalah 86,67% dab 73,33%. Pengaruh pemberian ekstrak akar tuba terhadap nilai SR selanjutnya diuji dengan menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL).

Berdasarkan pengujian dengan metode RAL (Lampiran 6a), pada selang kepercayaan 95%, pemberian ekstrak akar tuba dengan konsentrasi berbeda memberikan pengaruh nyata terhadap nilai SR lobster air tawar. Hasil ini selanjutnya dipastikan dengan pengujian dengan menggunakan metode Tukey (Lampiran 6b).


(36)

Hasil pengujian dengan metode Tukey menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata antara 20 ppm dan 17,5 ppm dalam memberikan pengaruh mortalitas lobster air tawar. Pengaruh berbeda nyata hanya terlihat antara konsentrasi 20 ppm dengan konsentrasi uji selain 17,5 ppm (5 ppm; 7,5 ppm; 10 ppm; 12,5 ppm; dan 15 ppm). Pengaruh berbeda nyata juga tidak ditemukan masing-masing diantara konsentrasi 5 ppm; 7,5 ppm; 10 ppm; 12,5 ppm; 15 ppm; dan 17,5 ppm.

Penyebab kematian pada konsentrasi uji 20 ppm dan 17,5 ppm diduga karena bahan aktif yang terdapat pada ektrak akar tuba adalah rotenoid. Kedua konsentrasi tersebut diduga mengandung bahan aktif anestetif yang tidak dapat ditolerir oleh lobster air tawar. Menurut Matsumura (1985) dalam Irwan (2006), bahan aktif ini akan menginaktifkan enzim respirasi dan menghasilkan asam glutamik sehingga laju respirasi pada ikan akan berkurang, dan pada akhirnya bisa menyebabkan kematian pada ikan (lobster).

4.6 Pengujian Kualitas Air

Kualitas air merupakan salah satu faktor yang memberikan pengaruh mendasar bagi kelangsungan hidup lobster air tawar. Pengujian kualitas air pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik kimia fisik air baik sebelum maupun setelah proses pemingsanan. Pengujian sebelum proses pemingsanan bertujuan untuk melihat kelayakan kualitas air yang akan digunakan sebagai media pada proses pemingsanan. Sedangkan, proses pengujian kualitas air setelah proses pemingsanan bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh pemberian berbagai konsentrasi berbeda terhadap karakteristik fisik kimia air yang telah digunakan setelah proses pemingsanan.

Berdasarkan ketiga pengujian parameter sebelumnya, konsentrasi yang akan digunakan pada pengujian kualitas air dan pengujian selanjutnya adalah 10 ppm; 12,5 ppm; dan 15 ppm. Konsentrasi 5 ppm dan 7,5 ppm tidak digunakan pada pengujian parameter ini dan pengujian selanjutnya oleh karena kedua konsentrasi itu tidak memberikan pengaruh berbeda yang nyata terhadap waktu pulih sadar lobster. Selain itu, kedua konsentrasi ekstrak akar tuba tersebut tidak dapat memingsankan keseluruhan lobster uji pada saat pengujian. Kedua konsentrasi uji lainnya, yaitu konsentrasi uji 17,5 ppm dan 20 ppm, juga tidak diujikan pada


(37)

pengujian ini dan selanjutnya dikarenakan oleh kedua konsentrasi tersebut tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai SR lobster air tawar. Selain itu, kedua konsentrasi tersebut menyebabkan kematian lobster pada saat pengujian.

Parameter air yang diuji pada percobaan ini adalah DO, pH, dan TAN. Hasil pengukuran ketiga parameter kualitas air tersebut disajikan dalam Tabel 5.

Tabel 5 Hasil pengukuran kualitas air sebelum dan sesudah proses pemingsanan Konsentrasi

(ppm)

DO pH TAN Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah

10 2,40±0,025 2,17±0,006 7,22±0,015 7,13±0,015 0,274±0,002 0,206±0,002 12,5 2,39±0,026 2,13±0,020 7,21±0,020 7,10±0,006 0,275±0,001 0,195±0,002 15 2,41±0,020 2,02±0,012 7,21±0,015 7,07±0,015 0,275±0,001 0,134±0,001

Keterangan: Konsentrasi yang dimaksud adalah konsentrasi ekstrak akar tuba

Kandungan oksigen terlarut dalam air merupakan faktor pembatas dalam mendukung optimalisasi organisme perairan. Rust (2000) menyatakan bahwa oksigen dibutuhkan untuk mempertahankan kesehatan ikan dan sebagai fasilitator proses oksidatif kimiawi. Jika konsentrasi DO yang sesuai tidak dipertahankan, ikan akan stres yang akhirnya menyebabkan kematian (Stickney 1979).

Berdasarkan Tabel 5, kandungan DO air yang digunakan sebelum proses pemingsanan terlihat merata. Kandungan DO air tertinggi ditunjukkan oleh pemberian 10 ppm ekstrak akar tuba, yaitu sebesar 2,17±0,006 mg/L. Sebaliknya, pemberian ekstrak akar tuba dengan konsentrasi 15 ppm menyebabkan kandungan DO air setelah proses pemingsanan menurun hingga sebesar 2,02±0,012 mg/L. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi uji yang diberikan akan menyebabkan kandungan DO semakin menurun. Semakin tinggi konsentrasi yang diberikan maka semakin besar bahan aktif terkandung yang akan menginaktifkan enzim respirasi dan menghasilkan asam glutamik sehingga laju respirasi pada lobster akan berkurang (Matsumura 1985 dalam Irwan 2006).

Kandungan DO pada kisaran 1,0 – 5,0 mg/L merupakan kisaran yang menyebabkan kondisi ikan (lobster) masih hidup dengan pertumbuhan lambat bila terjadi dalam jangka waktu yang lama (Swingle 1969 dalam Boyd 1990). Sedangkan menurut Rouse (1977), lobster masih dapat mentolerir kadar oksigen


(38)

hingga 10 ppm. Oleh karena itu, kandungan DO air yang digunakan selama penelitian bisa dinyatakan masih dalam kisaran yang mampu mendukung bagi kehidupan lobster air tawar selama transportasi. Dengan kata lain, pemberian ekstrak akar tuba dengan berbagai konsentrasi tidak menyebabkan penurunan DO yang membahayakan bagi kelangsungan hidup lobster air tawar.

Kemampuan air menahan perubahan pH sangatlah penting bagi kelangsungan hidup ikan. Kemampuan kapasitas buffer perairan ini berhubungan dengan adanya karbonat, bikarbonat, dan hidroksida. Air dengan kesadahan rendah memiliki kemampuan yang rendah dalam menahan keasaman (Shepherd 1992). Semakin tinggi kapasitas buffer perairan akan semakin mampu untuk menahan perubahan pH yang menyebabkan stres pada ikan (lobster).

Derajat asam (pH) air yang digunakan pada penelitian ini terlihat merata (Tabel 5) pada setiap perlakuan. Pemberian ekstrak akar tuba menyebabkan penurunan nilai pH di setiap perbedaan konsentrasi yang diberikan. Nilai pH yang menunjukkan nilai paling asam diperoleh dari pemberian ekstrak akar tuba dengan konsentrasi 15 ppm (7,07±0,015 mg/L), sedangkan derajat air yang lebih basa ditunjukkan oleh pemberian ekstrak akar tuba dengan konsentrasi 10 ppm, yaitu sebesar 7,13±0,015 mg/L.

Menurut Swingle (1969) dalam Boyd (1990), kisaran pH 6,5 – 9,0 merupakan kisaran yang layak bagi ikan (lobster) untuk reproduksi. Kisaran pH air yang digunakan pada penelitian ini masih berada pada kisaran tersebut, sehingga bisa diasumsikan bahwa perubahan pH air akibat pemberian ekstrak akar tuba masih dapat ditolerir oleh lobster untuk tetap bertahan hidup.

Berdasarkan Tabel 5, perubahan nilai TAN semakin menurun sejalan dengan semakin tinggi konsentrasi ekstrak akar tuba yang digunakan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi yang diberikan akan semakin besar menekan laju metabolisme lobster yang diuji. Selain itu, nitrogen dalam bentuk amoniak di dalam air merupakan kompetitor utama oksigen dalam berikatan dengan hemoglobin darah. Oleh karena itu, jika kandungan DO dalam air masih tinggi akan mereduksi produksi nitrogen di dalam air.

Menurut Lesmana (2004), ketahanan udang (lobster) terhadap amoniak bervariasi menurut jenis dan stadianya. Konsentrasi sebesar 0,45 mg/L akan


(39)

menghambat laju pertumbuhan sebesar 50%. Rata-rata nilai TAN air pada penelitian ini berada pada kisaran yang lebih kecil dari 0,45 mg/L, yaitu 0,206±0,002 mg/L; 0,195±0,002 mg/L; dan 0,134±0,001mg/L. Oleh karena itu, nilai TAN yang dihasilkan pada percobaan ini bisa diasumsikan masih berada pada kisaran yang masih mendukung bagi kehidupan lobster air tawar.

4.7 Pengujian Kelulusan Hidup Lobster Air Tawar selama Proses Penyimpanan

Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui limit waktu yang bisa ditempuh oleh lobster air tawar yang dipingsankan dengan ekstrak akar tuba berbagai konsentrasi untuk dapat tetap dapat bertahan hidup selama waktu penyimpanan. Hasil pengamatan nilai SR lobster pingsan yang disimpan dalam media serbuk gergaji disajikan dalam Gambar 9.

Gambar 10 Persentase kelulusan hidup lobster air tawar setelah penyimpanan Gambar 10 menunjukkan bahwa hampir tidak ada kematian lobster air tawar pada setiap perlakuan yang diberi ekstrak akar tuba selama proses penyimpanan. Nilai SR menurun ditunjukkan pada lobster yang diberi ekstrak akar tuba sebesar 15 ppm setelah lama penyimpanan 48 jam, yaitu sebesar 86,67%. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi ekstrak akar tuba yang semakin besar, memiliki kandungan bahan aktif yang lebih tinggi, akan menekan laju metabolisme lobster semakin menurun sehingga memiliki waktu metabolisme basal yang semakin menurun.


(40)

Gambar 10 juga menunjukkan bahwa lobster air tawar mengalami kematian mulai dari masa penyimpanan 36 jam hingga 48 jam. Kematian lobster tanpa ekstrak akar tuba (kontrol) semakin tinggi dengan semakin lamanya proses penyimpanan. Jika dibandingkan dengan lobster yang diberi ekstrak akar tuba, lobster yang dipingsankan dengan ekstrak akar tuba memiliki waktu penyimpanan yang lebih lama. Hal ini menunjukkan bahwa bahan aktif yang terkandung dalam akar tuba mampu menahan laju metabolisme lobster air tawar, sehingga lobster dalam keadaan basal dapat dipertahankan lebih lama.

Berdasarkan pengujian nilai SR selama penyimpanan, ekstrak akar tuba dengan konsentrasi 10 dan 12,5 ppm mampu mempertahankan hidup lobster hingga 48 jam penyimpanan. Lain halnya pengujian ekstrak akar tuba dengan konsentrasi 15 ppm, meskipun mampu mempertahankan sebagian besar hidup lobster hingga 48 jam masih menyebabkan 13,33% kematian pada lobster uji.

Media pengisi yang digunakan pada pengujian penyimpanan lobster air tawar adalah serbuk gergaji. Kriteria serbuk yang digunakan pada proses penyimpanan disesuaikan dengan persyaratan media pengisi kemasan transportasi kering lobster pada SNI 01-4490-1998 (BSN 2007b). Persyaratan tersebut adalah media pengisi yang digunakan dalam transportasi lobster hidup memenuhi persyaratan saniter, higienis, dan tidak meracuni serta mencemari produk. Selain itu, serbuk gergaji juga merupakan media pengisi yang memiliki kapasitas panas yang baik, mampu mempertahankan kelembaban, memiliki tekstur yang halus, dan tidak mudah rusak (Wibowo dan Soekarto 1993).

Pemilihan serbuk gergaji sebagai bahan pengisi tidak terlepas dari keunggulan yang dia miliki dibandingkan dengan jenis media pengisi lain. Keunggulan tersebut antara lain adalah mampu mempertahankan suhu rendah selama 9 jam tanpa bantuan es dan tanpa beban di dalamnya dan memiliki daya serap air yang tinggi dan harganya murah (Junianto 2003). Oleh karena itu, setelah suhu media pengisi disesuaikan dengan suhu transportasi lobster (sekitar 12-15 0C), media pengisi diasumsikan dapat mempertahankan suhu tersebut hingga 9 jam. Selanjutnya, suhu media pengisi dalam penelitian ini tetap dipertahankan pada suhu tersebut dengan tenggat waktu pengamatan setiap 6 jam.


(41)

5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Hasil penelitian ini memberikan pengetahuan tentang salah satu manfaat dari akar tuba, yaitu sebagai bahan pemingsan biota perairan. Pengaruh pemberian ekstrak akar tuba terhadap perubahan tingkah laku lobster air tawar sebagai hewan uji selama penelitian tergolong sangat lambat. Kondisi pingsan lobster air tawar baru ditemukan pada selang menit ke-135-150 waktu pengujian.

Berdasarkan pengujian terhadap waktu onset pemingsanan, waktu pulih sadar, dan nilai SR lobster uji, konsentrasi pemingsanan lobster yang baik adalah 10 ppm; 12,5 ppm; dan 15 ppm. Ketiga konsentrasi ini selanjutnya dipilih sebagai konsentrasi yang digunakan pada pengujian kelulusan hidup lobster selama proses penyimpanan.

Pengujian kelulusan hidup lobster selama proses penyimpanan diawali dengan pengujian kualitas air yang digunakan saat pendedahan lobster pada ketiga konsentrasi uji yang telah ditentukan. Hasil pengujian parameter kualitas air menunjukkan bahwa pemberian ektrak akar tuba dengan konsentrasi berbeda tidak menyebabkan perubahan parameter kualitas air yang membahayakan bagi hidup lobster. Hasil ketiga parameter (pH, DO, dan TAN) air yang diukur masih berada pada kisaran yang dapat ditolerir oleh lobster air tawar.

Berdasarkan hasil uji nilai SR, waktu penyimpanan paling lama dihasilkan oleh konsentrasi 10 ppm dan 12,5 ppm. Kedua konsentrasi tersebut mampu mempertahankan hidup lobster hingga 48 jam. Namun, jika waktu onset pemingsanan dari kedua konsentrasi tersebut dibandingkan kembali, konsentrasi 12,5 ppm dipilih sebagai konsentrasi pemingsan lobster terbaik.

5.2 Saran

Percobaan pada penelitian ini menggunakan crude extraction dari akar tuba, yang dianggap mengandung berbagai senyawa golongan rotenoid. Dengan demikian, penelitian dengan menggunakan bahan aktif ekstrak yang telah dipurifikasi akan memberikan hasil pengamatan yang jauh lebih baik. Hasil penelitian ini diharapkan bisa dijadikan sebagai bahan pengetahuan bagi masyarakat Tapanuli Selatan, yang menyalahgunakan manfaat akar tuba.


(42)

DALAM MEDIA SERBUK GERGAJI

HENDRA SAKTI NASUTION C34061727

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(43)

HENDRA SAKTI NASUTION. C34061727. Pemingsanan Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus) dengan Ekstrak Akar tuba (Derris elliptica Roxb. Benth) dan Kelulusan Hidupnya selama Penyimpanan dalam Media Serbuk Gergaji. Dibawah bimbingan RUDDY SUWANDI dan AGOES M. JACOEB.

Dukungan teknologi penanganan dan transportasi yang baik merupakan dua hal penting yang harus diperhatikan dalam pemenuhan permintaan komoditas perikanan hidup yang terus mengalami peningkatan. Transportasi kering tanpa menggunakan media air dianggap sebagai cara yang lebih praktis dan memiliki resiko yang lebih rendah dibandingkan dengan transportasi dengan media air.

Derris elliptica yang digunakan dalam penelitian ini didatangkan dari daerah Tapanuli Selatan yang ditumbuhkan di daerah Dramaga, Bogor. Ekstrak bahan ini diharapkan bisa dijadikan sebagai bahan anestesi alternatif dalam transportasi kering lobster air tawar. Konsentrasi uji ditentukan berdasarkan data empiris yang biasa digunakan oleh masyarakat Tapanuli Selatan dalam penangkapan ikan. Konsentrasi uji yang digunakan adalah 5; 7,5; 10; 12,5; 15; 17,5; dan 20 ppm.

Lobster uji yang digunakan dalam penelitian ini memiliki panjang pada kisaran 7,0±0,297 cm dan bobot tubuh 18,87±1,835 gram. Lobster uji yang digunakan memiliki karakteristik yang sesuai dengan SNI 01-4488-1998, persyaratan lobster air tawar sebagai bahan uji transportasi. Penanganan lobster untuk transportasi disesuaikan dengan SNI 01-4490-1998. Berdasarkan perhitugan rendemen, akar tuba yang digunakan mengandung 13,184% rotenoid kental yang diekstrak dengan larutan etanol 95%.

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui kadar senyawa golongan rotenoid yang terkandung dalam akar tuba, perubahan aktifitas lobster air tawar setelah penambahan ekstrak akar tuba hingga lobster pingsan, serta konsentrasi terbaik yang digunakan dalam pemingsanan. Hasil pengamatan dan perhitungan parameter dianalisis dengan metode RAL dan uji lanjut Tukey.

Percobaan pada penilitian utama bertujuan untuk mengetahui kelulusan hidup lobster air tawar selama penyimpanan dalam media serbuk gergaji. Konsentrasi yang digunakan pada penelitian ini merupakan konsentrasi terbaik berdasarkan hasil pengujian pada penelitian pendahuluan, yaitu 10; 12,5; dan 15 ppm. Nilai pH, DO, dan TAN air yang digunakan sebelum proses pemingsanan merata pada setiap konsentrasi uji. Hasil pengamatan menunjukkan, penambahan ekstrak akar tuba menyebabkan penurunan masing-masing nilai kualitas air, semakin besar konsentrasi ekstrak yang ditambahkan menyebabkan semakin menurunnya nilai DO, TAN dan pH (semakin asam) air.

Berdasarkan pengujian nilai SR, lobster air tawar yang tanpa diberi ekstrak akar tuba mampu bertahan hingga 36 jam, dengan kematian 33,37% pada jam yang sama. Pemberian konsentrasi 10 dan 12,5 ppm mampu mempertahankan hidup lobster air tawar hingga 48 jam dengan nilai SR 100%, sedangkan konsentrasi 15 ppm menyebabkan 13,33% kematian lobster uji pada jam yang sama. Dengan demikian, pemberian ektrak akar tuba ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan anestesi alternatif pemingsanan pada transportasi dengan waktu tempuh hingga 48 jam.


(44)

DALAM MEDIA SERBUK GERGAJI

Hendra Sakti Nasution C34061727

SKIRIPSI

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(45)

Judul : Pemingsanan Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus) dengan Ekstrak Akar tuba (Derris elliptica Roxb. Benth) dan Kelulusan Hidupnya selama Penyimpanan dalam Media Serbuk Gergaji

Nama : Hendra Sakti Nasution

NRP : C34061727

Menyetujui:

Pembimbing I Pembimbing II

(Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, MPhil) (Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl.-Biol.)

NIP: 19580511 198503 1 002 NIP: 19591127 198601 1 005

Mengetahui:

Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan

(Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, MPhil) NIP: 19580511 198503 1 002


(46)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul “Pemingsanan Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus) dengan Ekstrak Akar tuba (Derris elliptica Roxb. Benth) dan Kelulusan Hidupnya selama Penyimpanan dalam Media Serbuk Gergaji” adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing, dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapuan. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, 9 Maret 2012

Hendra Sakti Nasution


(47)

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa ijin tertulis dari Institut Pertanian Bogor sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi,


(48)

V

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT atas berkah, rahmat serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pemingsanan Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus) dengan Ekstrak Akar tuba (Derris elliptica Roxb. Benth) dan Kelulusan Hidupnya selama Penyimpanan dalam Media Serbuk Gergaji”. Selanjutnya, shalawat beriring salam kita hadiahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang selalu kita harapkan syafa’atnya.

Penyelesaian penulisan laporan penelitian ini tidak lepas dari bantuan dan partisipasi berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan partisipasi dalam penulisan laporan ini, yaitu kepada:

1. Kedua orang tua penulis, yang ridha dari keduanya merupakan pegangan bagi

penulis sebagai seorang anak.

2. Bapak Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, MPhil; selaku Ketua Departemen

Teknologi Hasil Perairan sekaligus pembimbing skripsi penulis.

3. Bapak Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl.-Biol; selaku Ketua Program Studi

Departemen Teknologi Hasil Perairan sekaligus pembimbing skripsi penulis. 4. Ibu Dr. Dra. Pipih Suptijah, MBA; dosen penguji sidang skripsi penulis.

5. Seluruh Dosen dan Staf Departemen Teknologi Hasil Perairan, terima kasih

atas bimbingan, arahan, kerja sama, ilmu dan pengetahuan yang diberikan.

6. Agus Salim Hasibuan, SE (Alm.); Raja Amin Hasibuan, MM, MBA beserta

keluarga besar lainnya; selaku inspirator dan motivator bagi penulis.

7. Mira Humairo Nasution dan Gusti Aulia Nasution; kedua adik yang selalu

memberikan dukungan dan do’a bagi penulis.

8. Teman-teman THP 43 beserta civitas THP lainnya; terima kasih atas kerja

sama dan kebaikannya.

9. Halilintar Siagian, Agus S. Nasution, Iqbal Z. Nasution, Amli R. Harahap,

Rahmad W. Siregar, dan Wahyudi Lubis; terima kasih telah membuat suasana rantau di Bogor menjadi suasana keluarga bagi penulis

10.M. Adi Sofyan, Amri Siregar, Ramadhani Siregar beserta anggota IKADM


(49)

VI

11.Rio S.S.M. Tampubolon, Rudi Setiawan, Vickar Muhammad, Trias Alvinoor,

Ginanjar Pratama, Fauzi Iriawan, Fitri Hardyanti, Afif Zulfikar, Fitri Astuti, Hana Nurulita P, dan Iis Setiany M; terima kasih telah membuat suasana kampus seperti suasana keluarga.

12.Seluruh penghuni Pondok Saroha dan Pondok Dahlia beserta anggota

IMATAPSEL Bogor lainnya, yang selalu setia memberikan dukungan dan semangat bagi penulis.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat diharapkan oleh penulis. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.

Bogor, 9 Maret 2012 Penulis


(1)

Lampiran 5 Analisis waktu pemulihan lobster air tawar

A.Tabel ANOVA pengaruh penambahan ekstrak akar tuba terhadap waktu pulih sadar

Waktu Pulih Sadar

Sum of

Squares Df

Mean

Square F Sig.

Between

Groups 2098,703 6 349,784 1328,077 ,000

Within Groups 3,687 14 ,263

Total 2102,390 20

B.Tabel uji lanjut Tukey pengaruh penambahan ekstrak akar tuba terhdap waktu pulih sadar

Tukey HSD

Konsentrasi (ppm)

N Subset for alpha = .05

1 2 3 4 5 6

20 3 12,4167

17,5 3 13,0000

15 3 16,7500

12,5 3 19,0667

10 3 24,5333

7,5 3 32,4167

5 3 41,5000

Sig. ,797 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.


(2)

Lampiran 6 Analisis nilai SR lobster air tawar

A.Tabel ANOVA pengaruh penambahan ekstrak akar tuba terhadap nilai SR Survival Rate

Sum of Squares Df

Mean

Square F Sig.

Between

Groups 1980,952 6 330,159 8,667 ,000 Within Groups 533,333 14 38,095

Total 2514,286 20

B.Tabel uji lanjut Tukey penambahan ekstrak akar tuba terhadap SR

Tukey HSD Konsentrasi

(ppm) N

Subset for alpha = .05

1 2

20 3 73,3333

17,5 3 86,6667 86,6667

15 3 100,0000

12,5 3 100,0000

10 3 100,0000

7,5 3 100,0000

5 3 100,0000

Sig. ,184 ,184

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.


(3)

(4)

Lampiran 8 Proses pemingsanan dan penyadaran kembali lobster air tawar

A.Proses pemingsanan lobster air tawar dengan ekstrak akar tuba


(5)

Lampiran 9 Foto peralatan analisis yang digunakan dalam penelitian

A. DO meter


(6)

HENDRA SAKTI NASUTION. C34061727. Pemingsanan Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus) dengan Ekstrak Akar tuba (Derris elliptica Roxb. Benth) dan Kelulusan Hidupnya selama Penyimpanan dalam Media Serbuk Gergaji. Dibawah bimbingan RUDDY SUWANDI dan AGOES M. JACOEB.

Dukungan teknologi penanganan dan transportasi yang baik merupakan dua hal penting yang harus diperhatikan dalam pemenuhan permintaan komoditas perikanan hidup yang terus mengalami peningkatan. Transportasi kering tanpa menggunakan media air dianggap sebagai cara yang lebih praktis dan memiliki resiko yang lebih rendah dibandingkan dengan transportasi dengan media air.

Derris elliptica yang digunakan dalam penelitian ini didatangkan dari daerah Tapanuli Selatan yang ditumbuhkan di daerah Dramaga, Bogor. Ekstrak bahan ini diharapkan bisa dijadikan sebagai bahan anestesi alternatif dalam transportasi kering lobster air tawar. Konsentrasi uji ditentukan berdasarkan data empiris yang biasa digunakan oleh masyarakat Tapanuli Selatan dalam penangkapan ikan. Konsentrasi uji yang digunakan adalah 5; 7,5; 10; 12,5; 15; 17,5; dan 20 ppm.

Lobster uji yang digunakan dalam penelitian ini memiliki panjang pada kisaran 7,0±0,297 cm dan bobot tubuh 18,87±1,835 gram. Lobster uji yang digunakan memiliki karakteristik yang sesuai dengan SNI 01-4488-1998, persyaratan lobster air tawar sebagai bahan uji transportasi. Penanganan lobster untuk transportasi disesuaikan dengan SNI 01-4490-1998. Berdasarkan perhitugan rendemen, akar tuba yang digunakan mengandung 13,184% rotenoid kental yang diekstrak dengan larutan etanol 95%.

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui kadar senyawa golongan rotenoid yang terkandung dalam akar tuba, perubahan aktifitas lobster air tawar setelah penambahan ekstrak akar tuba hingga lobster pingsan, serta konsentrasi terbaik yang digunakan dalam pemingsanan. Hasil pengamatan dan perhitungan parameter dianalisis dengan metode RAL dan uji lanjut Tukey.

Percobaan pada penilitian utama bertujuan untuk mengetahui kelulusan hidup lobster air tawar selama penyimpanan dalam media serbuk gergaji. Konsentrasi yang digunakan pada penelitian ini merupakan konsentrasi terbaik berdasarkan hasil pengujian pada penelitian pendahuluan, yaitu 10; 12,5; dan 15 ppm. Nilai pH, DO, dan TAN air yang digunakan sebelum proses pemingsanan merata pada setiap konsentrasi uji. Hasil pengamatan menunjukkan, penambahan ekstrak akar tuba menyebabkan penurunan masing-masing nilai kualitas air, semakin besar konsentrasi ekstrak yang ditambahkan menyebabkan semakin menurunnya nilai DO, TAN dan pH (semakin asam) air.

Berdasarkan pengujian nilai SR, lobster air tawar yang tanpa diberi ekstrak akar tuba mampu bertahan hingga 36 jam, dengan kematian 33,37% pada jam yang sama. Pemberian konsentrasi 10 dan 12,5 ppm mampu mempertahankan hidup lobster air tawar hingga 48 jam dengan nilai SR 100%, sedangkan konsentrasi 15 ppm menyebabkan 13,33% kematian lobster uji pada jam yang sama. Dengan demikian, pemberian ektrak akar tuba ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan anestesi alternatif pemingsanan pada transportasi dengan waktu tempuh hingga 48 jam.