Biopelet: Energi Terbarukan dari Batang Kelapa Sawit
BIOPELET: ENERGI TERBARUKAN DARI BATANG
KELAPA SAWIT
MOH ARIF ROHMATULLAH
DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Biopelet: Energi
Terbarukan dari Batang Kelapa Sawit adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, 2014
Moh Arif Rohmatullah
NIM E24100098
ABSTRAK
MOH ARIF ROHMATULLAH. Biopelet: Energi Terbarukan dari Batang Kelapa
Sawit. Dibimbing oleh NYOMAN JAYA WISTARA dan GUSTAN PARI.
Batang kelapa sawit memiliki potensi yang besar dalam pemanfaatannya
sebagai bahan baku pelet. Dalam penelitian ini, biopelet dibuat dari batang sawit
berumur 25 tahun dengan modifikasi pencampuran bagian meristem dengan
variasi kadar kulitnya (0, 10, dan 30% dari berat total pelet). Karakteristik pelet
dianalisis berdasarkan analisis statistik. Ketahanan pelet diuji berdasarkan standar
ASABE dan sifat pembakarannya dianalisis dengan metode thermogravimetry
and differential thermal analysis (TG–DTA). Perlakuan kadar kulit 30% dengan
suhu densifikasi 130 oC menunjukkan ketahanan pelet yang paling tinggi.
Scanning electron microscopy (SEM) menunjukkan bahwa pelet batang sawit
memiliki ikatan partikel yang masih rendah diakibatkan rendahnya tekanan
densifikasi. Karakteristik pelet lainnya seperti kadar air, kerapatan, kadar abu, dan
nilai kalor pelet secara berturut-turut memiliki nilai 3.55–5.35%, 525.56–855.23
kg/m3, 2.76–3.44%, dan 17.89–19.14 MJ/kg. Sifat pembakaran pelet pada kurva
TGA tidak dipengaruhi oleh perlakuan kadar kulit. Analisis Thermogravimetric
DTA menunjukkan komponen kimia seperti hemiselulosa, selulosa, dan lignin
memiliki perbedaan pada sifat pirolisis.
Kata kunci: Batang kelapa sawit, pelet, ketahanan, pirolisis
ABSTRACT
MOH ARIF ROHMATULLAH. Biopellet: Renewable Energy from Oil Palm
Trunk. Supervised by NYOMAN JAYA WISTARA dan GUSTAN PARI.
Oil palm trunk (OPT) is a potentional source of biomass for the production
of biopellet. In the present research, biopellets were prepared from 25 years old
OPT. It was prepared by mixing the meristem part with various percentages of its
bark (0, 10, dan 30% bark content). The properties of the resulting biopellet were
statistical examined. The durability of biopellet was measured according to
ASABE standard procedures and its combustion behavior was examined by
thermogravimetry and differential thermal analysis (TG–DTA). The highest
biopellet durability was found for biopellet produced at 130 oC pressing
temperature with 30% bark content. Scanning electron microscopy (SEM) of
pellet of OPT showed the weak of particle bonding due to low of pelletizing
pressure. The moisture content, unit density, ash content, and caloric value of
pellets were 3.55–5.35%, 525.56–855.23 kg/m3, 2.76–3.44%, dan 17.89–19.14
MJ/kg, respectively. The combustion profiles of biopellet seemed to be unaffected
by the bark content on TGA curve. Thermogravimetric analysis on DTA curve
indicated that hemicellulose, cellulose, and lignin retained a different pyrolysis
characteristic.
Keywords: Oil palm trunk, pellet, durability, pyrolysis
BIOPELET: ENERGI TERBARUKAN DARI BATANG
KELAPA SAWIT
MOH. ARIF ROHMATULLAH
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Hasil Hutan
DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Biopelet: Energi Terbarukan dari Batang Kelapa Sawit
Nama
: Moh. Arif Rohmatullah
NIM
: E24100098
Disetujui oleh,
Komisi Pembimbing
Pembimbing I
Pembimbing II
Nyoman J. Wistara, Ph.D
NIP. 19631231 198903 1 027
Prof. (R). Dr. Gustan Pari, M.Si
NIP. 19620802 198603 1 003
Diketahui oleh,
Ketua Departemen Hasil Hutan
Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Fauzi Febrianto, MS.
NIP. 19630209 198903 1 002
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Skripsi ini
mengangkat tema Biopelet: Energi Terbarukan dari Batang Kelapa Sawit dan
dilaksanakan sejak bulan Agustus 2013 sampai Maret 2014.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Asmuni, Ibu Afiati Moradi atas
jasa luar biasa sebagai orang tua yang selalu hadir dan tidak pernah lelah dalam
memberikan motivasi dan doa bagi kelancaran studi dan skripsi penulis. Terima
kasih juga kepada Bapak Nyoman Jaya Wistara, Ph.D, dan Prof. (R). Dr. Gustan
Pari, M.Si selaku pembimbing yang telah membantu penulis untuk menyelesaikan
karya ilmiah ini, serta seluruh dosen, dan karyawan Departemen Hasil Hutan
Fakultas Kehutanan IPB yang telah banyak memberi saran dan masukan. Terima
kasih kepada BUD Kementerian Agama RI dan Sobat Bumi Pertamina
Foundation yang telah memberikan kepercayaan beasiswa studi selama penulis
belajar di IPB. Begitu juga terima kasih untuk semua teman-teman Teknologi
Hasil Hutan dan BUD angkatan 2010.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, 2014
Moh. Arif Rohmatullah
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
METODE
2
Persiapan Bahan Baku
2
Analisis Kimia Batang Sawit
3
Densifikasi dan Metode Penentuan Kualitas Pelet
3
Pengolahan Data
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4
Karakteristik Komponen Kimia Batang Kelapa Sawit
4
Holoselulosa, Hemiselulosa, dan α-selulosa
4
Ekstraktif dan Kadar Abu
5
Karakteristik Pelet Batang Sawit
5
Ketahanan Pelet
5
Kadar Air Pelet
7
Kerapatan Pelet
8
Kadar Abu Pelet
9
Nilai Kalor Pelet
10
Sifat Termal Batang Sawit
11
SIMPULAN DAN SARAN
12
Simpulan
12
Saran
12
DAFTAR PUSTAKA
13
RIWAYAT HIDUP
16
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
Komposisi bagian batang dan kulit dalam pelet batang sawit
Rata-rata kandungan komponen kimia batang sawit
Uji wilayah berganda Duncan ketahanan pelet batang sawit
Uji wilayah berganda Duncan kadar air pelet batang sawit
Uji wilayah berganda Duncan kerapatan pelet batang sawit
Uji wilayah berganda Duncan kadar abu pelet batang sawit
Karakteristik nilai kalor pelet batang sawit
Analisis termal batang sawit
3
5
6
8
9
10
10
12
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
Persiapan bahan baku penelitian
Garis besar penelitian
Karakteristik ketahanan pelet batang sawit
Permukaan pelet pada mikrograf SEM
Karakteristik kadar air pelet batang sawit
Karakteristik kerapatan pelet batang sawit
Karakteristik kadar abu pelet batang sawit
Kurva TG-DTA batang sawit
2
3
6
7
8
9
10
11
PENDAHULUAN
Kelapa sawit adalah salah satu sumber biomassa yang tergolong melimpah di
Indonesia. Luas perkebunan besar kelapa sawit pada tahun 2013 mencapai 6.2 juta
hektar atau meningkat 16% dari tahun 2010 (Badan Pusat Statistik 2014). Produktivitas
kelapa sawit menurun pada umur 20–25 tahun (Kosugi et al. 2010; Prawitwong et al.
2012) dan setelah ditebang, batang sawit umumnya dibuang atau dibakar di tempat
penanaman (Yamada et al. 2010). Jika batang sawit yang umumnya berkerapatan 128–
148 batang per hektar (Lamaming et al. 2014) ditebang habis, maka dengan rata-rata
diameter 40 cm dan tinggi 10 meter, jumlah batang kelapa sawit yang diperoleh dari
hasil penebangan dapat mencapai sekitar 160–185 m3/ha. Oleh karena itu potensi
peningkatan nilai tambah batang sawit yang terbuang sangat besar.
Batang sawit memiliki stabilitas dimensi rendah dan mengandung beragam jenis
cacat seperti raised grain, warping, dan collapse setelah pengeringan sehingga perlu
usaha stabilisasi dimensi melalui impregnasi dengan bulking agent seperti fenol
formaldehida (PF) (Dungani et al. 2013). Penulis ini menemukan bahwa impregnasi
dengan PF meningkatkan mutu papan batang kelapa sawit, namun penggunaan
teknologi ini masih tergolong mahal. Salah satu alternatif pemanfaatan batang kelapa
sawit adalah menggunakannya menjadi sumber energi alternatif terbarukan dalam
bentuk biopelet.
Teknologi pelet dari biomassa (biopelet) merupakan teknologi yang banyak
diterapkan di berbagai negara. Pelet memiliki ukuran dimensi dengan diameter 4.8–19
mm dan panjang 12.7–25.4 mm (Kaliyan dan Morey 2009a). Carroll dan Finnan (2012)
menyebutkan beberapa keunggulan pelet sebagai energi yaitu dapat mengurangi
terjadinya emisi debu, mudah dalam penyimpanan, dan dapat meningkatkan kerapatan.
Pelet memiliki parameter penting untuk menjadi bahan energi terbarukan.
Beberapa parameter tersebut adalah kerapatan (unit atau bulk density), kadar air,
ketahanan (durability), dan kadar abu (Theerarattananoon et al. 2011). Kerapatan pelet
yang rendah berpengaruh negatif terhadap biaya transportasi dan kapasitas
penyimpanan (Obernberger dan Thek 2004). Kadar air pelet yang melebihi 10% selama
proses penyimpanan menyebabkan nilai ketahanannya turun 11–50% (Tabil 1996).
Ketahanan pelet yang rendah sangat dihindari karena dapat menimbulkan kerugian
seperti terjadinya proses pembakaran yang tidak homogen (Temmerman et al. 2006)
sehingga mengakibatkan pembakaran menjadi tidak efisien. Kadar abu pelet berdampak
terhadap pembentukan slag dan endapan berupa abu setelah proses pembakaran
(Obernberger dan Thek 2004).
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa ketahanan merupakan parameter
penting pelet (Carroll dan Finnan 2012; Lee et al. 2013; Temmerman et al. 2006).
Ketahanan pelet merupakan sifat kekuatan pelet dalam menahan pengaruh goncangan,
tekanan, dan gesekan selama proses penanganan dan pengangkutan (Kaliyan dan Morey
2009b). Penulis yang sama selanjutnya mengatakan bahwa kekuatan dan ketahanan
pelet dan briket dipengaruhi oleh beberapa faktor yang terdiri atas bahan baku
(komponen kimia, kadar air, ukuran partikel, dan formulasi bahan baku), preconditioning (preheating dan penambahan perekat), alat densifikasi (pellet mill), dan
kondisi setelah produksi (cooling). Berdasarkan Thomas et al. (1997), kontribusi
beberapa faktor yang mempengaruhi ketahanan pelet adalah formulasi bahan baku
(40%), ukuran partikel (20%), steam conditioning (20%), die pellet mill (15%), dan
cooling (5%). Ketahanan pelet dipengaruhi oleh ikatan inter-partikel di dalam pelet
2
akibat pengaruh suhu dan tekanan (Filbakk et al. 2011; Lee et al. 2013), proses
kristalisasi bahan, reaksi kimia, dan mengerasnya lignin atau perekat setelah proses
densifikasi (Kaliyan dan Morey 2010).
Komponen kimia dalam bahan baku selain lignin, yaitu ekstraktif, pati, dan gula
memiliki pengaruh terhadap karaktristik pelet. Stelte et al. (2011) menyatakan bahwa
tingginya ekstraktif pada pelet mengakibatkan kekuatan tekan peletnya rendah. Namun
tingginya kandungan ekstraktif dapat meningkatkan nilai kalor pelet (Telmo dan
Lousada 2011). Pati (Lehmann et al. 2012) dan gula (Lamaming et al. 2014) dapat
berfungsi sebagai perekat sehingga dapat meningkatkan ikatan antar partikel pelet.
Penelitian ini dilakukan untuk menentukan pengaruh komponen kimia batang
sawit, kadar kulit, suhu, dan tekanan densifikasi terhadap mutu biopelet berbahan dasar
batang sawit. Ketahanan, kadar air, kerapatan, kadar abu, dan nilai kalor biopelet
ditentukan mengikuti prosedur standar DIN EN 14961–2 A2. Sifat dari pengaruh
perlakuan suhu dan tekanan selama proses densifikasi dilihat dengan scanning electron
microscopy (SEM). Perilaku termal batang sawit dianalisis dengan metode
thermogravimetry and differential thermal analysis (TG–DTA).
METODE
Persiapan Bahan Baku
Tahap persiapan bahan baku dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Batang sawit umur 25 tahun dipotong menjadi tiga bagian yaitu pangkal, tengah, dan
ujung. Masing-masing bagian batang sawit dipisahkan dari kulitnya. Rajangan batang
digiling menggunakan willey mill dan disaring menggunakan saringan bertingkat.
Serbuk berukuran 40–60 mesh digunakan untuk analisis kimia (Tappi T 257 om–85),
sedangkan serbuk berukuran 20–40 mesh dengan kadar air 8–10% untuk membuat pelet
(Kaliyan dan Morey 2009a). Kegiatan penelitian ini secara garis besar ditunjukkan oleh
skema pada Gambar 2.
Gambar 1 Persiapan bahan baku penelitian
3
Analisis kandungan komponen kimia
Gambar 2 Garis besar penelitian
Analisis Komponen Kimia Batang Sawit
Komponen kimia yang dianalisis meliputi kadar ekstraktif, holoselulosa, lignin
klason, α-selulosa, dan abu masing–masing ditentukan berdasarkan prosedur TAPPI T
204 om-88, Browning (1967), Dence (1992), TAPPI T 203 os-4, dan TAPPI T211 om93. Kadar hemiselulosa ditentukan dengan pengurangan nilai kadar α-selulosa dari
kadar holoselulosa.
Densifikasi dan Metode Penentuan Kualitas Pelet
Densifikasi biomassa batang sawit menggunakan pellet mill yang memiliki
penampang 1.6 cm dengan tekanan densifikasi 10.3 MPa. Biopelet dibuat dengan
perlakuan variasi kadar kulit (0, 10, dan 30% dari berat total pelet) (Tabel 1) dengan
suhu densifikasi 130, 160, dan 190 °C. Lamanya waktu kempa adalah 6 menit dengan
preheating dan pelletizing masing-masing dilakukan selama 3 menit (Kaliyan dan
Morey 2009a; Lee et al. 2013).
Tabel 1 Komposisi bagian batang dan kulit dalam pelet batang sawitPenelitian
Komposisi (%)
Formulasi
Pangkal
Tengah
Ujung
Kulit
K0
35
35
30
0
K10
35
35
20
10
K30
25
25
20
30
Kadar air pelet ditentukan dengan mengeringkan bahan di dalam oven pada suhu
103±2 oC sampai beratnya konstan dan kerapatan pelet ditentukan dengan metode
perpindahan cairan (Rabier et al. 2006). Kadar abu pelet ditentukan dengan mengikuti
4
standar TAPPI T211 om–93. Ketahanan pelet ditentukan dengan mengikuti standar
ASABE (2003) mengacu pada Fasina (2008). Nilai kalor pelet diukur dengan alat Bomb
Calorimeter LECO UK AC–500.
Sifat ikatan antar partikel di dalam pelet diamati dengan menggunakan alat
scanning electron microscopy (SEM) JEOL USA JSM-6510LV dengan perbesaran 50x
dan 500x. Sifat termal (TG–DTA) pelet dengan kadar kulit batang sawit 0% dan 30%
ditentukan menggunakan alat TG–50 Shimadzu dan ZG–127. Dalam analisis TG–DTA,
3–6 mg sampel dianalisis pada suhu 30–600 oC dengan heating rate 10 °C/menit.
Serbuk alumina (α–Al2O3) dengan jumlah yang sama digunakan sebagai kontrol.
Pengolahan Data
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan
dua faktor yaitu faktor kadar kulit batang sawit dan suhu densifikasi dengan 3 kali
ulangan. Data dianalisis menggunakan Microsoft Excel 2007, kemudian dilanjutkan
dengan menggunakan statistical analysis system (SAS) 9.1.3. Data yang bersifat
kualitatif dianalisis secara deskriptif. Model umum percobaan yang digunakan dalam
penelitian adalah sebagai berikut:
Yijkl = μ + Ai + Bj+ (AB)ij + ∑ijk
Keterangan :
Yijk
: nilai pengamatan pada ulangan ke – l yang memperoleh perlakuan
kadar kulit ke – i, pelakuan suhu densifikasi ke – j
μ
: nilai rata-rata pengamatan
Ai
: pengaruh taraf ke – i dari faktor kadar kulit batang sawit
Bj
: pengaruh taraf ke – j dari faktor suhu densifikasi
(AB)ij
: interaksi faktor kadar kulit batang sawit pada taraf ke – i dan faktor
suhu densifikasi taraf ke – j
∑ijk
: pengaruh galat dari percobaan pada faktor kadar kulit kayu pada taraf
ke – i, dan faktor suhu densifikasi taraf ke – j
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Kandungan Komponen Kimia Batang Kelapa Sawit
Komponen kimia batang sawit dapat dilihat pada Tabel 2. Kadar holoselulosa,
lignin, dan kadar abu bagian meristem sawit (pangkal, tengah dan ujung) berbeda dari
kadarnya dalam bagian kulit.
Holoselulosa, Hemiselulosa, dan α-selulosa
Holoselulosa merupakan fraksi karbohidrat total dalam kayu sebagai komponen
struktural penyusun dinding sel yang terdiri atas selulosa dan hemiselulosa. α-selulosa
seringkali dipakai sebagai ukuran tingkat kemurnian selulosa. α-selulosa adalah selulosa
berantai panjang, tidak larut dalam larutan NaOH 17.5%, sedangkan hemiselulosa
merupakan heteropolimer yang disusun oleh monomer gula yang beragam.
5
Kandungan holoselulosa batang sawit yang diperoleh pada bagian meristem
(73.06%) lebih tinggi daripada bagian kulitnya (64.98%). Hasil ini sesuai dengan
penelitian Demirbas (2001) pada beberapa jenis biomassa menunjukkan kandungan
holoselulosa bagian meristem lebih tinggi daripada bagian kulitnya.
Tabel 2 Rata-rata kandungan komponen kimia batang sawit
Meristem
Analisis Komponen Kimia
Pangkal
Tengah
Struktural
(%)
Holoselulosa
72.92
73.85
(%)
Hemiselulosa
22.55
23.78
(%)
α-Selulosa
50.37
50.07
(%)
Lignin
25.78
24.73
Non-struktural
(%)
Ekstraktif
8.39
9.25
Kadar Abu
(%)
2.52
2.52
Ujung
Kulit
72.41
18.46
53.95
21.56
64.98
15.80
49.18
33.61
7.63
3.16
9.22
6.05
Lignin merupakan bagian dari tumbuhan dengan struktur yang kompleks dan
heterogen. Lignin diperoleh melalui isolasi dari bahan bebas ekstraktif sebagai sisa yang
tidak larut setelah penghilangan polisakarida dengan menggunakan asam sulfat 72%.
Lignin batang sawit pada bagian meristem berkisar 21.56–25.78% lebih rendah dari
bagian kulitnya yaitu 33.61%. Hasil serupa ditemukan pada penelitian Chow et al.
(2008); Demirbas (2001) yang menunjukkan bahwa bagian kulit memiliki kandungan
lignin lebih tinggi dibanding bagian meristemnya.
Ekstraktif dan Kadar Abu
Ekstraktif merupakan komponen non-struktural kayu yang larut dalam pelarut
organik. Kandungan ekstraktif pada bagian meristem dan kulit batang sawit adalah
tinggi dan memiliki nilai hampir sama yaitu berkisar 7.63–9.25%. Tingginya kandungan
ekstraktif dapat meningkatkan nilai kalor pelet (Filbakk et al. 2011) namun juga dapat
menghalangi terjadinya ikatan hidrogen antar partikel pelet (Stelte et al. 2011).
Abu merupakan hasil sisa pembakaran yang terjadi pada suhu 575±25 oC. Kadar
abu pada bagian meristem batang sawit memiliki nilai yang lebih rendah (2.52–3.16%)
dibandingkan dengan bagian kulitnya (6.05%). Haygreen dan Bowyer (1987)
menyebutkan bahwa terkonsentrasinya kandungan mineral pada bagian kulit
menyebabkan kadar abu kulit lebih tinggi daripada bagian meristemnya. Konsentrasi
kandungan mineral paling tinggi pada bagian meristem batang sawit adalah klorin (535
μg/g), kalsium (210 μg/g), magnesium (145 μg/g), dan natrium (22 μg/g) (Kosugi et al.
2010).
Karakteristik Pelet Batang Sawit
Ketahanan Pelet
Karakteristik ketahanan pelet batang sawit dapat dilihat pada Tabel 3. Rerata
nilai ketahanan pelet berkisar dari 19.05–42.11% (Gambar 3). Ketahanan pelet hasil
penelitian ini (2.5% menurunkan nilai ketahanan di
bawah tingkat 95%.
Pengaruh suhu densifikasi dan tekanan pellet mill yang tinggi dapat
menyebabkan partikel bahan pelet saling mengunci sehingga pelet terhindar dari
kekuatan daya lentingan setelah pengempaan (interlocking) (Kaliyan dan Morey 2010).
Mikrograf SEM dapat menunjukkan bentuk ikatan antar partikel di dalam pelet
(Gambar 4).
o
Gambar 4 Permukaan pelet pada mikrograf SEM
Pelet perlakuan formulasi K0 dengan suhu 190 oC, (a) perbesaran 50x (b) 500x
Pelet perlakuan formulasi K30 dengan suhu 190 oC, (c) perbesaran 50x (d) 500x
Mikrograf SEM pelet menunjukkan terdapatnya celah-celah dan patahan pada
permukaan pelet yang kemungkinan menyebabkan ketahanan pelet relatif rendah. Hal
ini dapat menjadi indikasi bahwa lelehan lignin belum dapat berfungsi optimal sebagai
perekat antar partikel. Selain rongga dan patahan di permukaan pelet, keberadaan
ekstraktif dapat menghambat terbentuknya ikatan hidrogen antar partikel yang juga
menyebabkan kekuatan pelet yang rendah (Stelte et al. 2011). Ikatan antar partikel utuh
yang kuat untuk meningkatkan ketahanan pelet kemungkinan dapat dibentuk melalui
proses pengempaan dengan beban kempa yang lebih tinggi seperti yang dilakukan oleh
Kaliyan dan Morey (2009a) yang menggunakan tekanan sebesar 100–150 Mpa.
8
Kadar Air Pelet
Karakteristik kadar air pelet batang sawit dapat dilihat pada Tabel 4. Rerata nilai
kadar air berkisar dari 3.55–5.35% (Gambar 5). Kadar air pelet memenuhi standar DIN
EN 14961–2 A2 yaitu ≤10%. Tabil (1996) menyatakan apabila pelet selama proses
penyimpanan mengalami peningkatan kadar air melebihi 10% mengakibatkan nilai
ketahanan pelet turun sebesar 11-50%.
Formulasi bahan dan suhu densifikasi, serta interaksinya berpengaruh nyata
terhadap kadar air pelet (α = 0.05). Uji lanjut Duncan menunjukkan kadar kulit 30%
yang dibuat dengan masing-masing suhu densifikasi memiliki nilai kadar air yang
berbeda.
Tabel 4 Uji wilayah berganda Duncan kadar air pelet batang sawit
Perlakuan
Kode
Kadar Air (%)*
K0
3.92B
Formulasi Bahan
K10
3.80B
K30
4.44A
130 oC
4.75A
o
Suhu Densifikasi
160 C
3.86B
190 oC
3.48C
*Huruf yang berbeda menunjukkan nilai kadar air yang berbeda nyata pada taraf 5%
10
Kadar Air (%)
8
6
130 °C
4
160 °C
2
190 °C
0
0
10
Kadar Kulit (%)
Gambar 5 Karakteristik kadar air pelet batang sawit
30
Kadar air rerata bahan pada kadar kulit 0, 10, dan 30% masing-masing adalah
8.45%, 8.54%, dan 9.24%. Tingginya kadar air bahan pada kadar kulit 30%
menyebabkan nilai kadar air peletnya lebih tinggi daripada formulasi lainnya. Semakin
tinggi suhu densifikasi menghasilkan kadar air pelet yang semakin rendah. Hal serupa
juga ditemukan pada penelitian Kaliyan dan Morey (2009c) bahwa kadar air pelet
dipengaruhi oleh kadar air bahan dan suhu densifikasi yang digunakan.
Kerapatan Pelet
Karakteristik kerapatan pelet batang sawit dapat dilihat pada Tabel 5. Rerata
nilai kerapatan pelet berkisar dari 525.56–855.23 kg/m3 (Gambar 6). Kerapatan pelet
tersebut tergolong kerapatan rendah. Pelet seharusnya memiliki nilai kerapatan ≥1000
kg/m3 (DIN 51731) (Obernberger dan Thek 2004). Standar DIN EN 14961-2 A2 hanya
mensyaratkan pada standar bulk density pelet ≥600 kg/m3.
9
Formulasi bahan dan suhu densifikasi, serta interaksinya berpengaruh nyata
terhadap kerapatan pelet (α = 0.05). Uji lanjut Duncan menunjukkan kadar kulit
0%yang dibuat dengan masing-masing suhu densifikasi memiliki nilai kerapatan yang
berbeda.
Tabel 5 Uji wilayah berganda Duncan kerapatan pelet batang sawit
Perlakuan
Kode
Kerapatan (%)*
K0
707.78A
Formulasi Bahan
K10
677.62B
K30
665.95B
o
130 C
583.28C
Suhu Densifikasi
160 oC
641.59B
o
190 C
826.48A
*Huruf yang berbeda menunjukkan nilai kerapatan yang berbeda nyata pada taraf 5%
Kerapatan (Kg/m3)
1000
800
130 C
600
160 C
400
190 C
200
0
0
10
30
Kadar Kulit (%)
Gambar 6 Karakteristik kerapatan pelet batang sawit
Formulasi bahan pada kadar kulit 0% menunjukkan nilai kerapatan paling tinggi
dibandingkan dengan formulasi lainnya. Hal ini dimungkinkan oleh pengaruh semakin
rendahnya kandungan ekstraktif dalam pelet. Tingginya kadar ekstraktif bahan akan
mengurangi terjadinya ikatan hidrogen dalam pelet (Stelte et al. 2011).
Semakin tinggi suhu densifikasi menunjukkan kerapatan yang semakin tinggi.
Hal tersebut diakibatkan oleh tekanan dan suhu densifikasi (Kaliyan dan Morey 2010)
sehingga dapat meningkatkan kerapatan dan ikatan antar partikel pelet yang berdekatan.
Kadar Abu Pelet
Karakteristik kadar abu pelet batang sawit dapat dilihat pada Tabel 6. Rerata nilai
kadar abu pelet berkisar dari 2.76–3.44% (Gambar 7). Kadar abu tidak memenuhi
standar DIN EN 14961–2 A2 yang mensyaratkan nilai kadar abu ≤1.50%.
Suhu densifikasi pelet tidak berpengaruh nyata terhadap kadar abu pelet,
sedangkan formulasi bahan dan interaksinya berpengaruh nyata (α = 0.05). Uji lanjut
Duncan menunjukkan kadar kulit 30% memiliki nilai kadar abu yang berbeda
dibandingkan kadar kulit lainnya. Hal tersebut dipengaruhi oleh tingginya kandungan
bahan inorganik dalam pelet.
10
Tabel 6 Uji wilayah berganda Duncan kadar abu pelet batang sawit
Perlakuan
Kode
Kadar Abu (%)*
K0
2.97B
Formulasi Bahan
K10
2.99B
K30
3.41A
130 oC
3.12A
o
Suhu Densifikasi
160 C
3.11A
190 oC
3.10A
*Huruf yang berbeda menunjukkan nilai kadar abu yang berbeda nyata pada taraf 5%
Kadar Abu (%)
5
4
3
130 °C
160 °C
2
190 °C
1
0
0
10
Kadar kulit (%)
Gambar 7 Karakteristik kadar abu pelet batang sawit
30
Hasil penelitian ini sesuai dengan Filbakk et al. (2011) yang menyatakan bahwa
semakin tingginya proporsi kulit Pinus sylvestris dalam pelet menghasilkan kadar abu
pelet yang semakin tinggi. Tingginya kadar abu pelet sangat dihindari karena dapat
mengganggu sistem pembakaran, mengakibatkan terbentuknya slag, dan endapan
sehingga perlu adanya perlakuan khusus seperti pembersihan abu secara rutin pada
tungku pembakaran (Obernberger dan Thek 2004).
Nilai Kalor Pelet
Nilai kalor pelet batang sawit berkisar 17.89–19.14 MJ/kg (Tabel 7). Nilai kalor
ini memenuhi standar DIN 14961-2 A2 yang mensyaratkan nilai kalor berkisar 16.3–19
MJ/kg.
Tabel 7 Karakteristik nilai kalor pelet batang sawit
Formulasi Bahan
Kadar Kulit (%)
K0
0
K10
10
K30
30
*Tiga kali ulangan
Nilai Kalor (MJ/kg)*
17.89–19.14
18.07–18.37
18.17–18.92
Tabel 7 menunjukkan nilai kalor pelet formulasi pada kadar kulit 0, 10, dan 30%
masing-masing memiliki nilai kalor terendah yaitu 17.89, 18.07, dan 18.17 MJ/kg. Hasil
ini sesuai dengan Fillbakk et al. (2011) yang menyatakan semakin tinggi kadar kulit
dalam pelet menyebabkan nilai kalornya semakin tinggi. Namun nilai kalor ini
11
bervariasi pada kisaran nilai kalornya. Variasi kisaran nilai kalor juga ditemukan Telmo
dan Lousada (2001) pada beberapa jenis softwood dan hardwood. Hal tersebut
dimungkinkan oleh pengaruh perbedaan pada kandungan kimia (lignin, ekstraktif,
selulosa, dan hemiselulosa) (Demirbas 2001) dalam pelet. Ferre et al. (2014)
menyatakan bahwa nilai kalor berkorelasi dengan kandungan lignin (0.854), selulosa
(0.582), ekstraktif (0.285), dan hemiselulosa (-0.220) dalam bahan.
Sifat Termal Batang Sawit
Analisis termal dilakukan pada dua sampel yaitu formulasi bahan pada kadar
kulit 0 dan 30%. Hasil analisis termal TG–DTA dapat dilihat pada Gambar 8. Kurva
masing-masing formulasi menunjukkan tiga tahap reaksi termal (kehilangan massa)
yang sama pada suhu 30–600 oC.
(a)
(b)
Gambar 8 Kurva TG–DTA batang sawit: formulasi bahan pada kadar kulit 0% (a) dan
kadar kulit 30% (b).
Kehilangan massa dari batang sawit pada setiap tahapan dekomposisi dapat
dilihat pada Tabel 8. Tahap pertama adalah terjadinya reaksi kehilangan massa ±5%
pada suhu 105 oC yang merupakan reaksi hilangnya air dalam pelet (Yang et al. 2007;
Pasangulapati et al. 2012).
Tahap kedua merupakan tahap terjadinya reaksi dekomposisi massa pelet
sebesar 86–91%. Pada tahap ini dimungkinkan terjadi dekomposisi selulosa,
hemiselulosa, dan lignin. Hal tersebut didukung oleh terjadinya reaksi termal
eksotermik dan endotermik pada kurva DTA.
Pada kurva DTA, formulasi bahan pada kadar kulit 0% menunjukkan tiga reaksi
eksotermik pada kisaran suhu 243–272 oC, 317–349 oC, dan 453–512 oC. Beberapa
hasil penelitian menunjukkan bahwa pada masing-masing suhu tersebut merupakan
reaksi dekomposisi hemiselulosa, selulosa, dan lignin (Basu 2010; Parthasarathy et al.
2013). Formulasi bahan pada kadar kulit 30% menunjukkan reaksi endotermik (217–
251 oC) dan eksotermik (333–354 oC). Reaksi endotermik terjadi akibat reaksi
depolimerisasi (Acma et al. 2010) atau volatilisasi selulosa (Yang et al. 2007)
sedangkan reaksi eksotermiknya merupakan reaksi dekomposisi hemiselulosa-selulosa.
Perbedaan reaksi termal eksotermik dan endotermik kadar kulit 0 dan 30% terjadi akibat
perbedaan pada kandungan kimia bahan.
Tahap ketiga merupakan tahap pembakaran sisa yaitu kadar abu yang
ditunjukkan oleh suhu konstan kehilangan massa pada suhu >470 oC. Sisa pembakaran
pada kadar kulit 0% (5.35%) lebih rendah daripada kadar kulit 30% (5.76%). Kadar zat
12
inorganik dalam bahan baku berpengaruh terhadap sisa pembakaran (Parthasarathy et al.
2013). Semakin tinggi kadar zat inorganik dalam pelet menyebabkan sisa
pembakarannya (abu) semakin tinggi.
Tabel 8 Analisis termal batang sawit
Formulasi Sampel
Kadar kulit 0%
Kadar kulit 30%
Keterangan
Kehilangan massa (%)
Tahap 1
Tahap 2
Kisaran suhu kehilangan massa (oC)
Tahap 1
Tahap 2
Suhu konstan kehilangan massa (oC)
5.58
90.87
5.76
86.84
34–105
210–450
>470
34–105
210–450
>470
Sifat termal batang sawit pada kurva TG–DTA diperoleh informasi sebagai
acuan untuk proses densifikasi batang sawit. Densifikasi (pelet) biomassa sebaiknya
dilakukan pada suhu
KELAPA SAWIT
MOH ARIF ROHMATULLAH
DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Biopelet: Energi
Terbarukan dari Batang Kelapa Sawit adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, 2014
Moh Arif Rohmatullah
NIM E24100098
ABSTRAK
MOH ARIF ROHMATULLAH. Biopelet: Energi Terbarukan dari Batang Kelapa
Sawit. Dibimbing oleh NYOMAN JAYA WISTARA dan GUSTAN PARI.
Batang kelapa sawit memiliki potensi yang besar dalam pemanfaatannya
sebagai bahan baku pelet. Dalam penelitian ini, biopelet dibuat dari batang sawit
berumur 25 tahun dengan modifikasi pencampuran bagian meristem dengan
variasi kadar kulitnya (0, 10, dan 30% dari berat total pelet). Karakteristik pelet
dianalisis berdasarkan analisis statistik. Ketahanan pelet diuji berdasarkan standar
ASABE dan sifat pembakarannya dianalisis dengan metode thermogravimetry
and differential thermal analysis (TG–DTA). Perlakuan kadar kulit 30% dengan
suhu densifikasi 130 oC menunjukkan ketahanan pelet yang paling tinggi.
Scanning electron microscopy (SEM) menunjukkan bahwa pelet batang sawit
memiliki ikatan partikel yang masih rendah diakibatkan rendahnya tekanan
densifikasi. Karakteristik pelet lainnya seperti kadar air, kerapatan, kadar abu, dan
nilai kalor pelet secara berturut-turut memiliki nilai 3.55–5.35%, 525.56–855.23
kg/m3, 2.76–3.44%, dan 17.89–19.14 MJ/kg. Sifat pembakaran pelet pada kurva
TGA tidak dipengaruhi oleh perlakuan kadar kulit. Analisis Thermogravimetric
DTA menunjukkan komponen kimia seperti hemiselulosa, selulosa, dan lignin
memiliki perbedaan pada sifat pirolisis.
Kata kunci: Batang kelapa sawit, pelet, ketahanan, pirolisis
ABSTRACT
MOH ARIF ROHMATULLAH. Biopellet: Renewable Energy from Oil Palm
Trunk. Supervised by NYOMAN JAYA WISTARA dan GUSTAN PARI.
Oil palm trunk (OPT) is a potentional source of biomass for the production
of biopellet. In the present research, biopellets were prepared from 25 years old
OPT. It was prepared by mixing the meristem part with various percentages of its
bark (0, 10, dan 30% bark content). The properties of the resulting biopellet were
statistical examined. The durability of biopellet was measured according to
ASABE standard procedures and its combustion behavior was examined by
thermogravimetry and differential thermal analysis (TG–DTA). The highest
biopellet durability was found for biopellet produced at 130 oC pressing
temperature with 30% bark content. Scanning electron microscopy (SEM) of
pellet of OPT showed the weak of particle bonding due to low of pelletizing
pressure. The moisture content, unit density, ash content, and caloric value of
pellets were 3.55–5.35%, 525.56–855.23 kg/m3, 2.76–3.44%, dan 17.89–19.14
MJ/kg, respectively. The combustion profiles of biopellet seemed to be unaffected
by the bark content on TGA curve. Thermogravimetric analysis on DTA curve
indicated that hemicellulose, cellulose, and lignin retained a different pyrolysis
characteristic.
Keywords: Oil palm trunk, pellet, durability, pyrolysis
BIOPELET: ENERGI TERBARUKAN DARI BATANG
KELAPA SAWIT
MOH. ARIF ROHMATULLAH
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Hasil Hutan
DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Biopelet: Energi Terbarukan dari Batang Kelapa Sawit
Nama
: Moh. Arif Rohmatullah
NIM
: E24100098
Disetujui oleh,
Komisi Pembimbing
Pembimbing I
Pembimbing II
Nyoman J. Wistara, Ph.D
NIP. 19631231 198903 1 027
Prof. (R). Dr. Gustan Pari, M.Si
NIP. 19620802 198603 1 003
Diketahui oleh,
Ketua Departemen Hasil Hutan
Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Fauzi Febrianto, MS.
NIP. 19630209 198903 1 002
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Skripsi ini
mengangkat tema Biopelet: Energi Terbarukan dari Batang Kelapa Sawit dan
dilaksanakan sejak bulan Agustus 2013 sampai Maret 2014.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Asmuni, Ibu Afiati Moradi atas
jasa luar biasa sebagai orang tua yang selalu hadir dan tidak pernah lelah dalam
memberikan motivasi dan doa bagi kelancaran studi dan skripsi penulis. Terima
kasih juga kepada Bapak Nyoman Jaya Wistara, Ph.D, dan Prof. (R). Dr. Gustan
Pari, M.Si selaku pembimbing yang telah membantu penulis untuk menyelesaikan
karya ilmiah ini, serta seluruh dosen, dan karyawan Departemen Hasil Hutan
Fakultas Kehutanan IPB yang telah banyak memberi saran dan masukan. Terima
kasih kepada BUD Kementerian Agama RI dan Sobat Bumi Pertamina
Foundation yang telah memberikan kepercayaan beasiswa studi selama penulis
belajar di IPB. Begitu juga terima kasih untuk semua teman-teman Teknologi
Hasil Hutan dan BUD angkatan 2010.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, 2014
Moh. Arif Rohmatullah
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
METODE
2
Persiapan Bahan Baku
2
Analisis Kimia Batang Sawit
3
Densifikasi dan Metode Penentuan Kualitas Pelet
3
Pengolahan Data
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4
Karakteristik Komponen Kimia Batang Kelapa Sawit
4
Holoselulosa, Hemiselulosa, dan α-selulosa
4
Ekstraktif dan Kadar Abu
5
Karakteristik Pelet Batang Sawit
5
Ketahanan Pelet
5
Kadar Air Pelet
7
Kerapatan Pelet
8
Kadar Abu Pelet
9
Nilai Kalor Pelet
10
Sifat Termal Batang Sawit
11
SIMPULAN DAN SARAN
12
Simpulan
12
Saran
12
DAFTAR PUSTAKA
13
RIWAYAT HIDUP
16
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
Komposisi bagian batang dan kulit dalam pelet batang sawit
Rata-rata kandungan komponen kimia batang sawit
Uji wilayah berganda Duncan ketahanan pelet batang sawit
Uji wilayah berganda Duncan kadar air pelet batang sawit
Uji wilayah berganda Duncan kerapatan pelet batang sawit
Uji wilayah berganda Duncan kadar abu pelet batang sawit
Karakteristik nilai kalor pelet batang sawit
Analisis termal batang sawit
3
5
6
8
9
10
10
12
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
Persiapan bahan baku penelitian
Garis besar penelitian
Karakteristik ketahanan pelet batang sawit
Permukaan pelet pada mikrograf SEM
Karakteristik kadar air pelet batang sawit
Karakteristik kerapatan pelet batang sawit
Karakteristik kadar abu pelet batang sawit
Kurva TG-DTA batang sawit
2
3
6
7
8
9
10
11
PENDAHULUAN
Kelapa sawit adalah salah satu sumber biomassa yang tergolong melimpah di
Indonesia. Luas perkebunan besar kelapa sawit pada tahun 2013 mencapai 6.2 juta
hektar atau meningkat 16% dari tahun 2010 (Badan Pusat Statistik 2014). Produktivitas
kelapa sawit menurun pada umur 20–25 tahun (Kosugi et al. 2010; Prawitwong et al.
2012) dan setelah ditebang, batang sawit umumnya dibuang atau dibakar di tempat
penanaman (Yamada et al. 2010). Jika batang sawit yang umumnya berkerapatan 128–
148 batang per hektar (Lamaming et al. 2014) ditebang habis, maka dengan rata-rata
diameter 40 cm dan tinggi 10 meter, jumlah batang kelapa sawit yang diperoleh dari
hasil penebangan dapat mencapai sekitar 160–185 m3/ha. Oleh karena itu potensi
peningkatan nilai tambah batang sawit yang terbuang sangat besar.
Batang sawit memiliki stabilitas dimensi rendah dan mengandung beragam jenis
cacat seperti raised grain, warping, dan collapse setelah pengeringan sehingga perlu
usaha stabilisasi dimensi melalui impregnasi dengan bulking agent seperti fenol
formaldehida (PF) (Dungani et al. 2013). Penulis ini menemukan bahwa impregnasi
dengan PF meningkatkan mutu papan batang kelapa sawit, namun penggunaan
teknologi ini masih tergolong mahal. Salah satu alternatif pemanfaatan batang kelapa
sawit adalah menggunakannya menjadi sumber energi alternatif terbarukan dalam
bentuk biopelet.
Teknologi pelet dari biomassa (biopelet) merupakan teknologi yang banyak
diterapkan di berbagai negara. Pelet memiliki ukuran dimensi dengan diameter 4.8–19
mm dan panjang 12.7–25.4 mm (Kaliyan dan Morey 2009a). Carroll dan Finnan (2012)
menyebutkan beberapa keunggulan pelet sebagai energi yaitu dapat mengurangi
terjadinya emisi debu, mudah dalam penyimpanan, dan dapat meningkatkan kerapatan.
Pelet memiliki parameter penting untuk menjadi bahan energi terbarukan.
Beberapa parameter tersebut adalah kerapatan (unit atau bulk density), kadar air,
ketahanan (durability), dan kadar abu (Theerarattananoon et al. 2011). Kerapatan pelet
yang rendah berpengaruh negatif terhadap biaya transportasi dan kapasitas
penyimpanan (Obernberger dan Thek 2004). Kadar air pelet yang melebihi 10% selama
proses penyimpanan menyebabkan nilai ketahanannya turun 11–50% (Tabil 1996).
Ketahanan pelet yang rendah sangat dihindari karena dapat menimbulkan kerugian
seperti terjadinya proses pembakaran yang tidak homogen (Temmerman et al. 2006)
sehingga mengakibatkan pembakaran menjadi tidak efisien. Kadar abu pelet berdampak
terhadap pembentukan slag dan endapan berupa abu setelah proses pembakaran
(Obernberger dan Thek 2004).
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa ketahanan merupakan parameter
penting pelet (Carroll dan Finnan 2012; Lee et al. 2013; Temmerman et al. 2006).
Ketahanan pelet merupakan sifat kekuatan pelet dalam menahan pengaruh goncangan,
tekanan, dan gesekan selama proses penanganan dan pengangkutan (Kaliyan dan Morey
2009b). Penulis yang sama selanjutnya mengatakan bahwa kekuatan dan ketahanan
pelet dan briket dipengaruhi oleh beberapa faktor yang terdiri atas bahan baku
(komponen kimia, kadar air, ukuran partikel, dan formulasi bahan baku), preconditioning (preheating dan penambahan perekat), alat densifikasi (pellet mill), dan
kondisi setelah produksi (cooling). Berdasarkan Thomas et al. (1997), kontribusi
beberapa faktor yang mempengaruhi ketahanan pelet adalah formulasi bahan baku
(40%), ukuran partikel (20%), steam conditioning (20%), die pellet mill (15%), dan
cooling (5%). Ketahanan pelet dipengaruhi oleh ikatan inter-partikel di dalam pelet
2
akibat pengaruh suhu dan tekanan (Filbakk et al. 2011; Lee et al. 2013), proses
kristalisasi bahan, reaksi kimia, dan mengerasnya lignin atau perekat setelah proses
densifikasi (Kaliyan dan Morey 2010).
Komponen kimia dalam bahan baku selain lignin, yaitu ekstraktif, pati, dan gula
memiliki pengaruh terhadap karaktristik pelet. Stelte et al. (2011) menyatakan bahwa
tingginya ekstraktif pada pelet mengakibatkan kekuatan tekan peletnya rendah. Namun
tingginya kandungan ekstraktif dapat meningkatkan nilai kalor pelet (Telmo dan
Lousada 2011). Pati (Lehmann et al. 2012) dan gula (Lamaming et al. 2014) dapat
berfungsi sebagai perekat sehingga dapat meningkatkan ikatan antar partikel pelet.
Penelitian ini dilakukan untuk menentukan pengaruh komponen kimia batang
sawit, kadar kulit, suhu, dan tekanan densifikasi terhadap mutu biopelet berbahan dasar
batang sawit. Ketahanan, kadar air, kerapatan, kadar abu, dan nilai kalor biopelet
ditentukan mengikuti prosedur standar DIN EN 14961–2 A2. Sifat dari pengaruh
perlakuan suhu dan tekanan selama proses densifikasi dilihat dengan scanning electron
microscopy (SEM). Perilaku termal batang sawit dianalisis dengan metode
thermogravimetry and differential thermal analysis (TG–DTA).
METODE
Persiapan Bahan Baku
Tahap persiapan bahan baku dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Batang sawit umur 25 tahun dipotong menjadi tiga bagian yaitu pangkal, tengah, dan
ujung. Masing-masing bagian batang sawit dipisahkan dari kulitnya. Rajangan batang
digiling menggunakan willey mill dan disaring menggunakan saringan bertingkat.
Serbuk berukuran 40–60 mesh digunakan untuk analisis kimia (Tappi T 257 om–85),
sedangkan serbuk berukuran 20–40 mesh dengan kadar air 8–10% untuk membuat pelet
(Kaliyan dan Morey 2009a). Kegiatan penelitian ini secara garis besar ditunjukkan oleh
skema pada Gambar 2.
Gambar 1 Persiapan bahan baku penelitian
3
Analisis kandungan komponen kimia
Gambar 2 Garis besar penelitian
Analisis Komponen Kimia Batang Sawit
Komponen kimia yang dianalisis meliputi kadar ekstraktif, holoselulosa, lignin
klason, α-selulosa, dan abu masing–masing ditentukan berdasarkan prosedur TAPPI T
204 om-88, Browning (1967), Dence (1992), TAPPI T 203 os-4, dan TAPPI T211 om93. Kadar hemiselulosa ditentukan dengan pengurangan nilai kadar α-selulosa dari
kadar holoselulosa.
Densifikasi dan Metode Penentuan Kualitas Pelet
Densifikasi biomassa batang sawit menggunakan pellet mill yang memiliki
penampang 1.6 cm dengan tekanan densifikasi 10.3 MPa. Biopelet dibuat dengan
perlakuan variasi kadar kulit (0, 10, dan 30% dari berat total pelet) (Tabel 1) dengan
suhu densifikasi 130, 160, dan 190 °C. Lamanya waktu kempa adalah 6 menit dengan
preheating dan pelletizing masing-masing dilakukan selama 3 menit (Kaliyan dan
Morey 2009a; Lee et al. 2013).
Tabel 1 Komposisi bagian batang dan kulit dalam pelet batang sawitPenelitian
Komposisi (%)
Formulasi
Pangkal
Tengah
Ujung
Kulit
K0
35
35
30
0
K10
35
35
20
10
K30
25
25
20
30
Kadar air pelet ditentukan dengan mengeringkan bahan di dalam oven pada suhu
103±2 oC sampai beratnya konstan dan kerapatan pelet ditentukan dengan metode
perpindahan cairan (Rabier et al. 2006). Kadar abu pelet ditentukan dengan mengikuti
4
standar TAPPI T211 om–93. Ketahanan pelet ditentukan dengan mengikuti standar
ASABE (2003) mengacu pada Fasina (2008). Nilai kalor pelet diukur dengan alat Bomb
Calorimeter LECO UK AC–500.
Sifat ikatan antar partikel di dalam pelet diamati dengan menggunakan alat
scanning electron microscopy (SEM) JEOL USA JSM-6510LV dengan perbesaran 50x
dan 500x. Sifat termal (TG–DTA) pelet dengan kadar kulit batang sawit 0% dan 30%
ditentukan menggunakan alat TG–50 Shimadzu dan ZG–127. Dalam analisis TG–DTA,
3–6 mg sampel dianalisis pada suhu 30–600 oC dengan heating rate 10 °C/menit.
Serbuk alumina (α–Al2O3) dengan jumlah yang sama digunakan sebagai kontrol.
Pengolahan Data
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan
dua faktor yaitu faktor kadar kulit batang sawit dan suhu densifikasi dengan 3 kali
ulangan. Data dianalisis menggunakan Microsoft Excel 2007, kemudian dilanjutkan
dengan menggunakan statistical analysis system (SAS) 9.1.3. Data yang bersifat
kualitatif dianalisis secara deskriptif. Model umum percobaan yang digunakan dalam
penelitian adalah sebagai berikut:
Yijkl = μ + Ai + Bj+ (AB)ij + ∑ijk
Keterangan :
Yijk
: nilai pengamatan pada ulangan ke – l yang memperoleh perlakuan
kadar kulit ke – i, pelakuan suhu densifikasi ke – j
μ
: nilai rata-rata pengamatan
Ai
: pengaruh taraf ke – i dari faktor kadar kulit batang sawit
Bj
: pengaruh taraf ke – j dari faktor suhu densifikasi
(AB)ij
: interaksi faktor kadar kulit batang sawit pada taraf ke – i dan faktor
suhu densifikasi taraf ke – j
∑ijk
: pengaruh galat dari percobaan pada faktor kadar kulit kayu pada taraf
ke – i, dan faktor suhu densifikasi taraf ke – j
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Kandungan Komponen Kimia Batang Kelapa Sawit
Komponen kimia batang sawit dapat dilihat pada Tabel 2. Kadar holoselulosa,
lignin, dan kadar abu bagian meristem sawit (pangkal, tengah dan ujung) berbeda dari
kadarnya dalam bagian kulit.
Holoselulosa, Hemiselulosa, dan α-selulosa
Holoselulosa merupakan fraksi karbohidrat total dalam kayu sebagai komponen
struktural penyusun dinding sel yang terdiri atas selulosa dan hemiselulosa. α-selulosa
seringkali dipakai sebagai ukuran tingkat kemurnian selulosa. α-selulosa adalah selulosa
berantai panjang, tidak larut dalam larutan NaOH 17.5%, sedangkan hemiselulosa
merupakan heteropolimer yang disusun oleh monomer gula yang beragam.
5
Kandungan holoselulosa batang sawit yang diperoleh pada bagian meristem
(73.06%) lebih tinggi daripada bagian kulitnya (64.98%). Hasil ini sesuai dengan
penelitian Demirbas (2001) pada beberapa jenis biomassa menunjukkan kandungan
holoselulosa bagian meristem lebih tinggi daripada bagian kulitnya.
Tabel 2 Rata-rata kandungan komponen kimia batang sawit
Meristem
Analisis Komponen Kimia
Pangkal
Tengah
Struktural
(%)
Holoselulosa
72.92
73.85
(%)
Hemiselulosa
22.55
23.78
(%)
α-Selulosa
50.37
50.07
(%)
Lignin
25.78
24.73
Non-struktural
(%)
Ekstraktif
8.39
9.25
Kadar Abu
(%)
2.52
2.52
Ujung
Kulit
72.41
18.46
53.95
21.56
64.98
15.80
49.18
33.61
7.63
3.16
9.22
6.05
Lignin merupakan bagian dari tumbuhan dengan struktur yang kompleks dan
heterogen. Lignin diperoleh melalui isolasi dari bahan bebas ekstraktif sebagai sisa yang
tidak larut setelah penghilangan polisakarida dengan menggunakan asam sulfat 72%.
Lignin batang sawit pada bagian meristem berkisar 21.56–25.78% lebih rendah dari
bagian kulitnya yaitu 33.61%. Hasil serupa ditemukan pada penelitian Chow et al.
(2008); Demirbas (2001) yang menunjukkan bahwa bagian kulit memiliki kandungan
lignin lebih tinggi dibanding bagian meristemnya.
Ekstraktif dan Kadar Abu
Ekstraktif merupakan komponen non-struktural kayu yang larut dalam pelarut
organik. Kandungan ekstraktif pada bagian meristem dan kulit batang sawit adalah
tinggi dan memiliki nilai hampir sama yaitu berkisar 7.63–9.25%. Tingginya kandungan
ekstraktif dapat meningkatkan nilai kalor pelet (Filbakk et al. 2011) namun juga dapat
menghalangi terjadinya ikatan hidrogen antar partikel pelet (Stelte et al. 2011).
Abu merupakan hasil sisa pembakaran yang terjadi pada suhu 575±25 oC. Kadar
abu pada bagian meristem batang sawit memiliki nilai yang lebih rendah (2.52–3.16%)
dibandingkan dengan bagian kulitnya (6.05%). Haygreen dan Bowyer (1987)
menyebutkan bahwa terkonsentrasinya kandungan mineral pada bagian kulit
menyebabkan kadar abu kulit lebih tinggi daripada bagian meristemnya. Konsentrasi
kandungan mineral paling tinggi pada bagian meristem batang sawit adalah klorin (535
μg/g), kalsium (210 μg/g), magnesium (145 μg/g), dan natrium (22 μg/g) (Kosugi et al.
2010).
Karakteristik Pelet Batang Sawit
Ketahanan Pelet
Karakteristik ketahanan pelet batang sawit dapat dilihat pada Tabel 3. Rerata
nilai ketahanan pelet berkisar dari 19.05–42.11% (Gambar 3). Ketahanan pelet hasil
penelitian ini (2.5% menurunkan nilai ketahanan di
bawah tingkat 95%.
Pengaruh suhu densifikasi dan tekanan pellet mill yang tinggi dapat
menyebabkan partikel bahan pelet saling mengunci sehingga pelet terhindar dari
kekuatan daya lentingan setelah pengempaan (interlocking) (Kaliyan dan Morey 2010).
Mikrograf SEM dapat menunjukkan bentuk ikatan antar partikel di dalam pelet
(Gambar 4).
o
Gambar 4 Permukaan pelet pada mikrograf SEM
Pelet perlakuan formulasi K0 dengan suhu 190 oC, (a) perbesaran 50x (b) 500x
Pelet perlakuan formulasi K30 dengan suhu 190 oC, (c) perbesaran 50x (d) 500x
Mikrograf SEM pelet menunjukkan terdapatnya celah-celah dan patahan pada
permukaan pelet yang kemungkinan menyebabkan ketahanan pelet relatif rendah. Hal
ini dapat menjadi indikasi bahwa lelehan lignin belum dapat berfungsi optimal sebagai
perekat antar partikel. Selain rongga dan patahan di permukaan pelet, keberadaan
ekstraktif dapat menghambat terbentuknya ikatan hidrogen antar partikel yang juga
menyebabkan kekuatan pelet yang rendah (Stelte et al. 2011). Ikatan antar partikel utuh
yang kuat untuk meningkatkan ketahanan pelet kemungkinan dapat dibentuk melalui
proses pengempaan dengan beban kempa yang lebih tinggi seperti yang dilakukan oleh
Kaliyan dan Morey (2009a) yang menggunakan tekanan sebesar 100–150 Mpa.
8
Kadar Air Pelet
Karakteristik kadar air pelet batang sawit dapat dilihat pada Tabel 4. Rerata nilai
kadar air berkisar dari 3.55–5.35% (Gambar 5). Kadar air pelet memenuhi standar DIN
EN 14961–2 A2 yaitu ≤10%. Tabil (1996) menyatakan apabila pelet selama proses
penyimpanan mengalami peningkatan kadar air melebihi 10% mengakibatkan nilai
ketahanan pelet turun sebesar 11-50%.
Formulasi bahan dan suhu densifikasi, serta interaksinya berpengaruh nyata
terhadap kadar air pelet (α = 0.05). Uji lanjut Duncan menunjukkan kadar kulit 30%
yang dibuat dengan masing-masing suhu densifikasi memiliki nilai kadar air yang
berbeda.
Tabel 4 Uji wilayah berganda Duncan kadar air pelet batang sawit
Perlakuan
Kode
Kadar Air (%)*
K0
3.92B
Formulasi Bahan
K10
3.80B
K30
4.44A
130 oC
4.75A
o
Suhu Densifikasi
160 C
3.86B
190 oC
3.48C
*Huruf yang berbeda menunjukkan nilai kadar air yang berbeda nyata pada taraf 5%
10
Kadar Air (%)
8
6
130 °C
4
160 °C
2
190 °C
0
0
10
Kadar Kulit (%)
Gambar 5 Karakteristik kadar air pelet batang sawit
30
Kadar air rerata bahan pada kadar kulit 0, 10, dan 30% masing-masing adalah
8.45%, 8.54%, dan 9.24%. Tingginya kadar air bahan pada kadar kulit 30%
menyebabkan nilai kadar air peletnya lebih tinggi daripada formulasi lainnya. Semakin
tinggi suhu densifikasi menghasilkan kadar air pelet yang semakin rendah. Hal serupa
juga ditemukan pada penelitian Kaliyan dan Morey (2009c) bahwa kadar air pelet
dipengaruhi oleh kadar air bahan dan suhu densifikasi yang digunakan.
Kerapatan Pelet
Karakteristik kerapatan pelet batang sawit dapat dilihat pada Tabel 5. Rerata
nilai kerapatan pelet berkisar dari 525.56–855.23 kg/m3 (Gambar 6). Kerapatan pelet
tersebut tergolong kerapatan rendah. Pelet seharusnya memiliki nilai kerapatan ≥1000
kg/m3 (DIN 51731) (Obernberger dan Thek 2004). Standar DIN EN 14961-2 A2 hanya
mensyaratkan pada standar bulk density pelet ≥600 kg/m3.
9
Formulasi bahan dan suhu densifikasi, serta interaksinya berpengaruh nyata
terhadap kerapatan pelet (α = 0.05). Uji lanjut Duncan menunjukkan kadar kulit
0%yang dibuat dengan masing-masing suhu densifikasi memiliki nilai kerapatan yang
berbeda.
Tabel 5 Uji wilayah berganda Duncan kerapatan pelet batang sawit
Perlakuan
Kode
Kerapatan (%)*
K0
707.78A
Formulasi Bahan
K10
677.62B
K30
665.95B
o
130 C
583.28C
Suhu Densifikasi
160 oC
641.59B
o
190 C
826.48A
*Huruf yang berbeda menunjukkan nilai kerapatan yang berbeda nyata pada taraf 5%
Kerapatan (Kg/m3)
1000
800
130 C
600
160 C
400
190 C
200
0
0
10
30
Kadar Kulit (%)
Gambar 6 Karakteristik kerapatan pelet batang sawit
Formulasi bahan pada kadar kulit 0% menunjukkan nilai kerapatan paling tinggi
dibandingkan dengan formulasi lainnya. Hal ini dimungkinkan oleh pengaruh semakin
rendahnya kandungan ekstraktif dalam pelet. Tingginya kadar ekstraktif bahan akan
mengurangi terjadinya ikatan hidrogen dalam pelet (Stelte et al. 2011).
Semakin tinggi suhu densifikasi menunjukkan kerapatan yang semakin tinggi.
Hal tersebut diakibatkan oleh tekanan dan suhu densifikasi (Kaliyan dan Morey 2010)
sehingga dapat meningkatkan kerapatan dan ikatan antar partikel pelet yang berdekatan.
Kadar Abu Pelet
Karakteristik kadar abu pelet batang sawit dapat dilihat pada Tabel 6. Rerata nilai
kadar abu pelet berkisar dari 2.76–3.44% (Gambar 7). Kadar abu tidak memenuhi
standar DIN EN 14961–2 A2 yang mensyaratkan nilai kadar abu ≤1.50%.
Suhu densifikasi pelet tidak berpengaruh nyata terhadap kadar abu pelet,
sedangkan formulasi bahan dan interaksinya berpengaruh nyata (α = 0.05). Uji lanjut
Duncan menunjukkan kadar kulit 30% memiliki nilai kadar abu yang berbeda
dibandingkan kadar kulit lainnya. Hal tersebut dipengaruhi oleh tingginya kandungan
bahan inorganik dalam pelet.
10
Tabel 6 Uji wilayah berganda Duncan kadar abu pelet batang sawit
Perlakuan
Kode
Kadar Abu (%)*
K0
2.97B
Formulasi Bahan
K10
2.99B
K30
3.41A
130 oC
3.12A
o
Suhu Densifikasi
160 C
3.11A
190 oC
3.10A
*Huruf yang berbeda menunjukkan nilai kadar abu yang berbeda nyata pada taraf 5%
Kadar Abu (%)
5
4
3
130 °C
160 °C
2
190 °C
1
0
0
10
Kadar kulit (%)
Gambar 7 Karakteristik kadar abu pelet batang sawit
30
Hasil penelitian ini sesuai dengan Filbakk et al. (2011) yang menyatakan bahwa
semakin tingginya proporsi kulit Pinus sylvestris dalam pelet menghasilkan kadar abu
pelet yang semakin tinggi. Tingginya kadar abu pelet sangat dihindari karena dapat
mengganggu sistem pembakaran, mengakibatkan terbentuknya slag, dan endapan
sehingga perlu adanya perlakuan khusus seperti pembersihan abu secara rutin pada
tungku pembakaran (Obernberger dan Thek 2004).
Nilai Kalor Pelet
Nilai kalor pelet batang sawit berkisar 17.89–19.14 MJ/kg (Tabel 7). Nilai kalor
ini memenuhi standar DIN 14961-2 A2 yang mensyaratkan nilai kalor berkisar 16.3–19
MJ/kg.
Tabel 7 Karakteristik nilai kalor pelet batang sawit
Formulasi Bahan
Kadar Kulit (%)
K0
0
K10
10
K30
30
*Tiga kali ulangan
Nilai Kalor (MJ/kg)*
17.89–19.14
18.07–18.37
18.17–18.92
Tabel 7 menunjukkan nilai kalor pelet formulasi pada kadar kulit 0, 10, dan 30%
masing-masing memiliki nilai kalor terendah yaitu 17.89, 18.07, dan 18.17 MJ/kg. Hasil
ini sesuai dengan Fillbakk et al. (2011) yang menyatakan semakin tinggi kadar kulit
dalam pelet menyebabkan nilai kalornya semakin tinggi. Namun nilai kalor ini
11
bervariasi pada kisaran nilai kalornya. Variasi kisaran nilai kalor juga ditemukan Telmo
dan Lousada (2001) pada beberapa jenis softwood dan hardwood. Hal tersebut
dimungkinkan oleh pengaruh perbedaan pada kandungan kimia (lignin, ekstraktif,
selulosa, dan hemiselulosa) (Demirbas 2001) dalam pelet. Ferre et al. (2014)
menyatakan bahwa nilai kalor berkorelasi dengan kandungan lignin (0.854), selulosa
(0.582), ekstraktif (0.285), dan hemiselulosa (-0.220) dalam bahan.
Sifat Termal Batang Sawit
Analisis termal dilakukan pada dua sampel yaitu formulasi bahan pada kadar
kulit 0 dan 30%. Hasil analisis termal TG–DTA dapat dilihat pada Gambar 8. Kurva
masing-masing formulasi menunjukkan tiga tahap reaksi termal (kehilangan massa)
yang sama pada suhu 30–600 oC.
(a)
(b)
Gambar 8 Kurva TG–DTA batang sawit: formulasi bahan pada kadar kulit 0% (a) dan
kadar kulit 30% (b).
Kehilangan massa dari batang sawit pada setiap tahapan dekomposisi dapat
dilihat pada Tabel 8. Tahap pertama adalah terjadinya reaksi kehilangan massa ±5%
pada suhu 105 oC yang merupakan reaksi hilangnya air dalam pelet (Yang et al. 2007;
Pasangulapati et al. 2012).
Tahap kedua merupakan tahap terjadinya reaksi dekomposisi massa pelet
sebesar 86–91%. Pada tahap ini dimungkinkan terjadi dekomposisi selulosa,
hemiselulosa, dan lignin. Hal tersebut didukung oleh terjadinya reaksi termal
eksotermik dan endotermik pada kurva DTA.
Pada kurva DTA, formulasi bahan pada kadar kulit 0% menunjukkan tiga reaksi
eksotermik pada kisaran suhu 243–272 oC, 317–349 oC, dan 453–512 oC. Beberapa
hasil penelitian menunjukkan bahwa pada masing-masing suhu tersebut merupakan
reaksi dekomposisi hemiselulosa, selulosa, dan lignin (Basu 2010; Parthasarathy et al.
2013). Formulasi bahan pada kadar kulit 30% menunjukkan reaksi endotermik (217–
251 oC) dan eksotermik (333–354 oC). Reaksi endotermik terjadi akibat reaksi
depolimerisasi (Acma et al. 2010) atau volatilisasi selulosa (Yang et al. 2007)
sedangkan reaksi eksotermiknya merupakan reaksi dekomposisi hemiselulosa-selulosa.
Perbedaan reaksi termal eksotermik dan endotermik kadar kulit 0 dan 30% terjadi akibat
perbedaan pada kandungan kimia bahan.
Tahap ketiga merupakan tahap pembakaran sisa yaitu kadar abu yang
ditunjukkan oleh suhu konstan kehilangan massa pada suhu >470 oC. Sisa pembakaran
pada kadar kulit 0% (5.35%) lebih rendah daripada kadar kulit 30% (5.76%). Kadar zat
12
inorganik dalam bahan baku berpengaruh terhadap sisa pembakaran (Parthasarathy et al.
2013). Semakin tinggi kadar zat inorganik dalam pelet menyebabkan sisa
pembakarannya (abu) semakin tinggi.
Tabel 8 Analisis termal batang sawit
Formulasi Sampel
Kadar kulit 0%
Kadar kulit 30%
Keterangan
Kehilangan massa (%)
Tahap 1
Tahap 2
Kisaran suhu kehilangan massa (oC)
Tahap 1
Tahap 2
Suhu konstan kehilangan massa (oC)
5.58
90.87
5.76
86.84
34–105
210–450
>470
34–105
210–450
>470
Sifat termal batang sawit pada kurva TG–DTA diperoleh informasi sebagai
acuan untuk proses densifikasi batang sawit. Densifikasi (pelet) biomassa sebaiknya
dilakukan pada suhu