Pengembangan Energi Terbarukan Dari Limbah Cair Pabrik Minyak Kelapa Sawit

(1)

LIMBAH CAIR PABRIK MINYAK KELAPA SAWIT

EDWI MAHAJOENO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengembangan Energi Terbarukan dari Limbah Cair Pabrik Minyak Kelapa Sawit adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2008

Edwi Mahajoeno NRP P 062020081


(3)

Minyak Kelapa Sawit. Di bawah bimbingan: BIBIANA W. LAY, sebagai ketua,

SURJONO H. SUTJAHJO dan SISWANTO, sebagai anggota.

Indonesia merupakan negara dengan pertumbuhan industri minyak kelapa

sawit terbesar, bahkan akan menjadi produsen utama dunia 2010, yang akan memiliki

sumberdaya yang belum tersentuh lebih dari 50 juta ton pertahun. Inovasi

pengembangan teknologi pengekstrak biogas dari produk samping pabrik minyak

kelapa sawit (LCPMKS) untuk memproduksi bahan bakar terbarukan dan manfaatnya

sebagai pengganti bahan bakar kendaraan (solar) dan peralatan internal pabrik

mendesak untuk dilakukan. LCPMKS bersifat asam, pH 4, mengandung bahan

organik tinggi dan total solid 4-5%, sehingga sangat potensial untuk produksi biogas

melalui fermentasi anaerob. Perombakan bahan organik dari LCPMKS menjadi gas

metan melalui beberapa tahapan reaksi oleh bakteri asetogenik dan metanogenik, yan

berpotensi untuk produksi biogas. Pabrik kelapa sawit di Indonesia berjumlah 320

buah pabrik dan menghasilkan LCPMKS > 40 juta m

3

/tahun. Volume LCPMKS yang

berlimpah, selain sebagai sumber pencemar yang potensial baik tanah, udara maupun

lingkungan air, di satu sisi LCPMKS adalah sumber energi terbarukan, dan sampai

saat ini belum dimanfaatkan secara optimal, upaya pemanfaaan teknologi anaerob

untuk meningkatkan potensi LCPMKS yang berhasil guna, juga menekan terjadinya

pencemaran. Pengelolaan LCPMKS di Indonesia umumnya secara konvensional

menggunakan beberapa kolam terbuka. Sistem tersebut mudah dan tidak memerlukan

teknologi tinggi namun kurang efisien, sehingga memerlukan lahan sangat luas, cepat

mengalami pendangkalan, biaya pemeliharaan mahal, emisi gas metan, meningkatkan

pencemaran udara, penyebab pemanasan global. Penelitian dilakukan di pabrik

minyak kelapa sawit PT. Pinago Utama dengan kapasitas olah pabrik 60 ton TBS/jam

menghasilkan LCPMKS sebanyak 700 m

3

/hari.

Tujuan penelitian 1) mempelajari karakteristik dan faktor biotik abiotik yang

berpengaruh terhadap laju produksi biogas, total produksi biogas dan efisiensi

pengurangan bahan organik dari LCPMKS, 2) mengukur emisi biogas kolam

LCPMKS anaerob terbuka, memantau kualitas kolam pengolahan LCPMKS, efisiensi

pengurangan bahan organik, dan cara peningkatan kualitas atau pemurnian biogas. 3)

merancang dan menguji teknologi perombakan kolam anaerob tertutup laju tinggi

dengan perlakuan resirkulasi dan peningkatan suhu gradasi untuk pengelolaan

LCPMKS lebih efisien, efektif, dan berdaya guna. 4) mengkaji kelayakan

tekno-ekonomi anaerob tertutup laju tinggi secara tekno-ekonomis, dan mendapatkan teknologi

pengolahan LCPMKS untuk produksi biogas yang layak diaplikasikan sesuai analisis

ekonomi secara sederhana.

Hasil penelitian skala laboratorium dilakukan di rumah kaca menggunakan

modifikasi bioreaktor anaerob volume 20 L secara curah (batch) menggunakan limbah

LCPMKS, waktu fermentasi 12 minggu. Faktor biotik yang diuji adalah lumpur aktif


(4)

dari kolam limbah LCPMKS dan kotoran sapi. Sedang faktor abiotik yang diuji antara

lain pengaruh penambahan bahan penetral pH, pH substrat awal, agitasi, dan

temperatur. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa karakteristik LCPMKS PT.

Pinago Utama pH asam, bahan organik tinggi (COD >55; BOD >26; TS >35 dan SS

26 g.l

-1

), berpotensi sebagai sumber pencemar dan sumber energi terbarukan. Faktor

biotik dan abiotik yang dapat meningkatkan produksi biogas dan efisiensi

pengurangan bahan organik adalah lumpur aktif konsentrasi 20%, sedang faktor

abiotik dengan penambahan Ca(OH)

2

, pH substrat awal 7, agitasi yang dilakukan

sehari satu kali, dan peningkatan suhu termofilik (40

o

C). Rerata efisiensi pengurangan

bahan organik substrat sistem curah relatif tinggi, masing-masing 88 %, 74,8%, 64,4%

dan 61% untuk COD, BOD, SS, dan TS.

Hasil percobaan baseline study pengelolaan LCPMKS terdiri dari tiga kolam

fakultatif anaerob dan tiga kolam aerob. Parameter kualitas limbah COD, BOD, TS

dan SS diamati dalam 10 bulan (September 2006 hingga Juni 2007). Pengolahan

limbah secara konvensional dengan sistem kolam menghasilkan kualitas limbah dari

kolam terakhir, sebelum masuk ke sungai belum memenuhi baku mutu KLH antara

lain, COD, BOD, TS, SS dan VS masing-masing adalah COD kolam I- VI 44,1; 5,5;

7,9; 3,9; 0,9; 0,7; BOD 15,3; 3,0; 3,1; 1,3; 0,4; 0,3; TS 30,0; 10,9; 9,8; 5,2; 5,6; 3, ;5

SS 31,6 7,8, 7,4, 2,1, 2,0, 1,6. Persentase penurunan COD (%) kolam I-VI

masing-masing 100, 87,3; 82,1; 91,2; 79,6, 98,4. BOD 100, 80,4, 79,7, 91,5, 94,4 98,0. TS

100, 63,0; 67,3; 82,7, 81,3; 88,3. SS 100, 75,3; 76,6 93,4; 93,7; 94,9. VS 100; 81,0;

85,9; 89,7; 93,5; 94,3. Emisi gas metan pada kolam fakultatif anaerob sebesar 3.555

m

3

/hari/10.800m

2

dengan kadar CH

4

1935,6 kg/hari, dan potensi pemanasan global

23.866 ton.CO

2

-e/tahun. Rerata pengurangan bahan rganik > 80% dengan waktu

tinggal relatif lama (>10 bulan). Biogas yang dihasilkan dapat dimurnikan dengan

Ca(OH)

2

dan CaCl

2

, dan dapat digunakan sebagai pengganti bahan bakar biogas

(BBG) jenis lain.

Digester kolam anaerob tertutup (bioreaktor) dibangun pada kolam I.1

berkapasitas total 4500 m

3

, volume kerja 4000 m

3

, dan aklimatisasi inokulum 20%

(b/v) dengan suhu >40

o

C. Percobaan optimasi produksi biogas dilakukan dua periode

yaitu 2006 - 2007, dengan variasi feeding rate 25 m

3

/hari sampai dengan 300 m3/ hari

masing-masing sela interval 3 hari. Parameter yang diamati antara lain volume biogas,

pH, COD, BOD, TS dan SS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa volume gas

meningkat secara kontinyu sesuai dengan peningkatan laju pengumpanan LCPMKS.

Kinerja optimum bioreaktor adalah laju pengumpanan 200 m

3

/hari diproduksi biogas

sebesar 10.000 m

3

/hari, dengan efisiensi penurunan organik rerata >90%. Studi

kelayakan tekno-ekonomi pembangunan modifikasi bioreaktor diperoleh nilai Break

Even Point = 120.992 m

3

, Net B/C=17348. Net present value (NPV)/Bulan Rp

460.416.000,00,IRR diatas 35%. Operasional produksi PT.Pinago Utama

menghasilkan limbah antara 650- 700 m

3

setiap hari dapat ditampung dalam tiga

reaktor dengan ukuran yang sama akan menghasilkan 40.000 m

3

biogas/hari, setara

dengan 20.000 L minyak solar. Harga solar industri mencapai Rp 7.000 – 8.000/L,

maka hasil yang diperoleh dari limbah kurang lebih 130 juta/hari, atau Rp 33 M/

tahun. Hasil limbah cair mampu mendukung biaya operasional pabrik. Tampak betapa


(5)

pentingnya pengolahan LCPMKS dengan inovasi teknologi yang telah diuji terapkan,

dan dapat menekan kebutuhan lahan utuk penampungan lebih meluas. Pemasangan

digester kolam anaerob tertutup secara tekno-ekonomi sangat layak diaplikasikan dan

ramah lingkungan.

Hasil percobaan yang diperoleh dari skala laboratorium, base line study dan

skala pilot, pengurangan bahan organik yang diukur dari COD, BOD, TS dan SS

mengalami penurunan, namun masih di atas ambang baku mutu yang diperuntukkan.

Semua percobaan yang dilakukan dapat memproduksi biogas, sehingga LCPMKS

dapat digunakan sebagai sumber energi terbarukan, yang disebut bioenergi bersih dan

berkesinambungan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa implementasi modifikasi

teknologi digester anaerob kolam tertutup laju tinggi dapat dipengaruhi oleh faktor

biotik dan abiotik. Pengolahan LCPMKS secara konvensional, yang umum dilakukan

oleh pabrik minyak kelapa sawit tidak efisien dan efektif, pemberdayaan LCPMKS

kurang optimal, sehingga berdampak pada pemanasan global akibat gas rumah kaca,

yang mengancam kehidupan organisme di dunia. Inovasi teknologi pengelolaan

LCPMKS pada digester anaerob kolam tertutup laju tinggi, dapat meningkatkan

pemberdayaan LCPMKS yang lebih efektif, efisien dan berdaya guna.

Menguntungkan industri sehingga mampu meningkatkan daya saing, menciptakan

industri bersih, serta mendukung ratifikasi Protokol Kyoto .


(6)

ABSTRACT

Mahajoeno Edwi. Development of Renewable Energy from Palm Oil Mill Effluent

(POME), supervised by Bibiana W. Lay, as Principal Advisor, Surjono H. Sutjahjo

and Siswanto as Co-Advisor.

Indonesia is a country having the growth largest on palm oil mill, while will be

primarily the producers in the world and it have been more than 50 million MT of the

hidden resources of POME annually. The innovation on establishing technology of

biogas extracting of by-product the palm oil mill to produce the renewable energy and

it uses as alternatives vehicle fuel and internal factory equipment were critical

conducted. These objectives of the investigation were to: 1) know the effects of

chemical, biological and physical factors on anaerobic digestion system the biogas

production in the laboratory scale, 2) measure methane emission potential and

upgrading biogas quality, and 3) develop the technical digestion anaerobic by

closed-high rate anaerobic lagoon 4) analyze the feasibility of techno-economical biogas plant

substrate temperature rising.

The results show that POME sludge generated from PT Pinago Utama this

substrate is a potential source of environmental pollutants. The biotic factors were

kind and concentration of the inoculums sludge of anaerobic lagoon II-B of 20% (w/v)

respectively. Both physical and chemical factors pH, pH neutralizer matter Ca (OH)

2

,

temperature

40

o

C, agitation effect to increase biogas production, but in both

coagulant concentration. The efficiency removal organics each of parameters average

were

90%, except total solid (TS), 63%. Biogas emission from anaerobic lagoon

II-B which its capacity approximately 10.800 m

2

was 3.555 m

3

/day and methane average

was 53,4%. Total methane (CH

4

) emission 1936 kg/day, and global warming potential

equivalent to 23.866 ton CO

2

equivalent/year. Average efficiency removal organics,

80%, and hydrolytic retention time more than 10-12 months. The principles and

technological points of the designed-reactor modification were accelerated by actives

microbial sludge anaerobic lagoon of working volume substrates. Bioreactor working

volume 4000 m

3

, to add the process component such as agitation, temperature more

than 40

o

C. The optimum biogas production through reactor modification, i.e., feeding

rate per days and percentage in removal efficiency, were 200 m

3

POME.day

-1

and

90%, respectively.

The feasibility study of techno-economical of the biogas plant modification

revealed that developing closed-high rate lagoon for POME treatment plant was much

appropriated. Implementation of the innovation another obtains to the renewable

energy environmentally and promotes the efficiency of organic removal of pollutant.

---

Kata Kunci:

Renewable energy, POME, anaerobic digester closed lagoon, pilot

scale,


(7)

ABSTRACT

EDWI MAHAJOENO. Development of Renewable Energy from Palm Oil Mill

Effluent (POME), supervised by BIBIANA W. LAY, as Principal Advisor SURJONO

H. SUTJAHJO and SISWANTO, as Co-Advisor.

The total area of oil palm plantations in Indonesia is about 5,9 million hectares

and produces the crude palm oil (CPO) as much 16, 6 million tons palm oil mills

(POM) is 350 mills, from which 258 residing in Sumatra. The number of process

production of fresh fruits bunch EFB), generate solid wastes such as empty fruit bunch

(EFB) about 9 million ton, fiber 5,5 million ton, as well as liquid waste of palm oil

mill (POME) more than 40 million ton/year. The utilization of solid and liquid wastes

in Indonesia until now has not yet been optimal because of technological limitation.

On the other hand to increase industrial competitiveness, and efficiency of oil palm

plantation, needs efforts to reduce the production cost. Technology for processing the

liquid waste of POM uses a lagoon system, which has a lot of weakness such as:

needed a large number of ponds, emission of methane gas, which is contaminating air

environment with the global warming potency higher than CO

2

emission, long

retention hydrolytic time and management expense very high. These problems can be

overcome by an Anaerobic Digester Closed Lagoon (ADCL) technology which does

not need large ponds, and the evolved can be used as renewable energy to replace

fossil fuel. This will assist to overcome the energy crisis in Indonesia.

The main objective of this research was to obtain the technology processing of

POME to produce biogas in pilot scale, efficient and economically feasible to be

applied at industrial scale. To pursue this objective, three step of research activities

were conducted i.e.: 1) Study of several different parameters influence the biogas

production from POME in laboratory scale, 2) Measurement of emission of methane

gas from opened anaerobic lagoon as traditionally, existing conditions in palm oil

industries; 3) The production of biogas in pilot scale of Anaerobic Digester Closed

Lagoon (ADCL).

The experiment results at laboratory scale indicated that the POME has

characteristic of high COD > 55, BOD > 27, TS > 35 and SS > 26 g/L, which are

potentially water and air pollutions contributing to the change of global climate. In

experiment scale biogas can be produced in an optimal condition by using

activated-sludge inoculums at 20% concentration (w/v), adjusting the acidity substrate to pH 7,0

by adding Ca(OH)

2

, agitation, temperature on 40

o

C. The ponding system on POME

treatment commonly installed almost all of POM in Indonesia, result in methane

emission significant as cause of global warming. Result of biogas measurement in two

hectares of facultative anaerobic lagoon, indicated that emissions of methane gas as

much 13.300 m

3

/ year or equivalent to 24,000 ton CO

2

-eq/year. Result of experiment

on pilot scale with the system of ADCL (Anaerobic Digester Covered lagoon) shows

that feeding rate at 200 m

3

raw POME/days give the optimum yield of biogas, efficient

on removal organic substance reduction, reduction efficiency of COD and some other


(8)

parameter equal to > 90% and economically feasible for the application of ADCL

system. Ca(OH)

2

and CaCl

2

is most effective for scrubbing biogas. Thereby that

treatment of POME by ADCL are feasible to be applied to replace the conventional

technology by lagoon system.

Key word: POME, the biotic and abiotic factors, methane emission from anaerobic

lagoon, anaerobic digester closed lagoon,


(9)

ABSTRACT

EDWI MAHAJOENO. Development of Renewable Energy from Palm Oil Mill

Effluent (POME), supervised by BIBIANA W. LAY, as Principal Advisor SURJONO

H. SUTJAHJO and SISWANTO, as Co-Advisor.

The total area of oil palm plantations in Indonesia is about 5,9 million hectares and produces the crude palm oil (CPO) as much 16, 6 million tons palm oil mills (POM) is 350 mills, from which 258 residing in Sumatra. The number of process production of fresh fruits bunch EFB), generate solid wastes such as empty fruit bunch (EFB) about 9 million ton, fiber 5,5 million ton, as well as liquid waste of palm oil mill (POME) more than 40 million ton/year. The utilization of solid and liquid wastes in Indonesia until now has not yet been optimal because of technological limitation. On the other hand to increase industrial competitiveness, and efficiency of oil palm plantation, needs efforts to reduce the production cost. Technology for processing the liquid waste of POM uses a lagoon system, which has a lot of weakness such as: needed a large number of ponds, emission of methane gas, which is contaminating air environment with the global warming potency higher than CO2 emission, long retention

hydrolytic time and management expense very high. These problems can be overcome by an Anaerobic Digester Closed Lagoon (ADCL) technology which does not need large ponds, and the evolved can be used as renewable energy to replace fossil fuel. This will assist to overcome the energy crisis in Indonesia. This main objective of this research was to obtain the technology processing of POME to produce biogas in pilot scale, efficient and economically feasible to be applied at industrial scale. To pursue this objective, three step of research activities were conducted i.e.: 1) Study of several different parameters influence the biogas production from POME in laboratory scale, 2) Measurement of emission of methane gas from opened anaerobic lagoon as traditionally, existing conditions in pal oil industries; 3) The production of biogas in pilot scale of Anaerobic Digester Closed Lagoon (ADCL).The experiment results at laboratory scale indicated that the POME has characteristic of high COD > 55, BOD > 27, TS > 35 and SS > 26 g/L, which are potentially water and air pollutions contributing to the change of global climate. In experiment scale biogas can be produced in an optimal condition by using activated-sludge inoculum at 20% concentration (w/v), adjusting the acidity substrate to pH 7,0 by adding Ca(OH), agitation, temperature on 40oC. The ponding system on POME treatment commonly installed almost all of POM in Indonesia, result in methane emission significant as cause of global warming. The measures of facultative anaerobic lagoon have large 2 ha, its show that methane emission were 13.300 m3/year or equivalent to 24. 000 ton. CO2-e/year. The pilot scale on biogas production experiment by

ADCL show that feeding rate 200 m3 raw POME/day optimal yield biogas and efficiency removal organic. The latter COD and other parameters were >90%, both Ca (OH)2 and CaCl2

were most effective to upgrading biogas quality, and economical most feasibility ADCL applied. Conclusion of the research revealed that the increment POME treatment by ADCL will be obtain more efficient, effective and environmentally friendly

Key word: POME, the biotic and abiotic factors, methane emission from anaerobic lagoon,


(10)

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah subhanahu wata’ala atas segala karunia rahmat, nikmat dan hidayah, disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi tentang pemanfaatan biomasa limbah industri perkebunan dengan judul “Pengembangan Energi Terbarukan dari Limbah Cair Pabrik Minyak Kelapa Sawit” ini disusun dengan bantuan pembiayaan dana APBN KMNRT RUK 2005-2006 melalui Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia.

Dalam kesempatan ini disampaikan penghargaan yang tinggi dan ucapan terimakasih kepada yang terhormat :

1. Prof. Dr. drh. Bibiana W. Lay, M.Sc. bertindak sebagai ketua komisi pembimbing, Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS, dan Dr. Siswanto, DEA, APU. sebagai anggota komisi pembimbing, atas segala bantuan moril dan materiil, saran mulai dari rencana penelitian hingga penyelesaian penulisan, tidak terhingga pengetahuan yang diberikan, kebijaksanaan, kesabaran, ketegasan, kedisiplinan serta tanggung jawab seorang peneliti ditanamkan secara tidak langsung sejalan dengan proses penyelesaian studi. Hanya Allah SWT yang dapat membalas segala kebaikan, dan sebagai catatan ibadah di sisi Allah SWT.

2. Pimpinan Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia, di Bogor dan penanggung jawab Laboratorium Rekayasa Genetika dan Biomolekuler yang telah memberikan kesempatan menggunakan fasilitas laboratorium.

3. Direktur Utama PT Pinago Utama Palembang yang telah memberikan fasilitas penelitian pada Areal Pengelolaan LCPMKS di Desa Sugiwaras Babatoman Sekayu Musi Banyuasim Sumatera Selatan.

4. Pimpinan Laboratorium Rekayasa Genetika dan Biomolekuler, dan Laboratorium Mikrobiologi dan Bioproses BPBPI Bogor dan teknisi yang dengan kesabaran dan sukarela membantu dari persiapan hingga penyusunan laporan ilmiah ini dengan menggunakan berbagai fasilitas yang ada.

5. Pimpinan Pabrik Minyak Kelapa Sawit dan Pabrik Karet serta Workshop (Bengkel) dan Laboratorium Bio-Dev PT Pinago Utama yang telah memberi


(11)

Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor umumnya, atas bantuan pendidikan, layanan administrasi dalam bentuk apapun yang sangat berguna. 7. Ayahanda H. Setiohadi Woerjanto, lbu Hj. Salmiyah dan Ibu A. Marzuki

almarhumah yang tercinta serta isteri dan anak-anak tercinta Siti Chalimah, Kautsar Hidayatullah, Nashril Abdillah dan Aldilla Arifatunurrillah, dengan penuh keikhlasan berkorban, pengertian, dorongan dan semangat untuk terus maju serta do’a yang selalu dipanjatkan kepada Allah SWT, sehingga penulisan disertasi dapat diselesaikan.

8. Kakak Nurchikmah Marzuki, Djarwo H. Nurrindrat, serta adiku tercinta Yunaedy, Yunaety dan Eko Wicaksono, Wiwik dan Asjito sekeluarga, Naning Wuryaningsih, saudara/kakakku Drs. Rameli, MSi. sekeluarga dan Drs.H. Totok Supiyanto, MM. sekeluarga yang telah banyak memberikan bantuan materi dan dorongan serta do’a yang tiada henti, serta Ir. Rudy Sigit Darsolo sekeluarga yang banyak membantu baik materiil maupun moril pada akhir-akhir penulisan hingga ujian.

9. Bapak/Ibu/saudara sekaligus teman baik berbagi cerita suka dan duka, yang dapat memberi inspirasi, memotivasi dan menggugah dalam banyak hal baik selama penelitian hingga penulisan disertasi ini antara lain: Ir. Suharyanto, MSi, Dr. Sidikmarsudi, Dr. Tri Panji, Dr.Agus Purwantara, Dr.Happy Widiastuti, Isroi, MSi, Efi SSi, Yanti SSi, Alfana, Annida, Taupan, Nuning, Fitma, Ahmad DS, Ari S., Dewi dan Erwin, serta teman-teman seperjuangan yang tidak dapat saya sebut satu persatu.

Semoga disertasi ini dapat memberi manfaat bagi pihak yang memerlukan, dan semoga bimbingan serta semua kebaikan menjadi nilai ibadah di sisi Allah SWT, Amin Amin Yaa Robbal ‘Alamiien.

Bogor, Februari 2008


(12)

@ Ha k c ipta m ilik Institut Pe rta nia n Bo g o r, ta hun 2008

Ha k c ip ta d iling ung i und a ng -und a ng

1) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a) Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b) Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor

2) Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin Institut Pertanian Bogor


(13)

EDWI MAHAJOENO

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor

pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(14)

Edwi Mahajoeno, putra kedua dari tujuh bersaudara, Ayah Setyohadi Woerjanto dan Ibu Salmiyah, dilahirkan pada tanggal 25 Oktober 1960 di Surabaya, menikah tanggal 28 Januari 1988 dengan Siti Chalimah dan dikaruniai tiga anak, 2 putra dan 1 putri, Kautsar Hidayatullah (Surabaya, 14 Oktober 1988), Nashril Abdillah (Tuban, 15 April 1990), dan Aldilla Arifatunurrillah (Tuban, 21 Desember 1994).

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah pertama di Sidoarjo, yaitu di SD Negeri Kedungrejo I (tahun 1972) dan SMP Negeri Taman (tahun 1975), dan melanjutkan di PPSP IKIP Surabaya (tahun 1979). Gelar sarjana Biologi diperoleh pada 1987, dari Fakultas Biologi Universitas Gajah Mada. Pada tahun 1994 mendapatkan gelar Magister Sains dari UGM Yogyakarta. Pada tahun 2002 melanjutkan studi pada jenjang Doktor (S3) program studi PSL Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor di Bogor. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Dirjen DIKTI melalui BPPS.


(15)

ABSTRACT RINGKASAN DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

i iv vi vii viii BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang 1 1.2. Tujuan Penelitian 5 1.3. Manfaat Penelitian 6 1.4. Kerangka Pemikiran 6

1.5. Permasalahan 10

1.6. Hipotesis 12

1.7. Kebaharuan 13

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengelolaan Air Limbah PMKS 14 2.2. Teknologi Perombakan Anaerob 17 2.2.1. Prinsip-dasar proses perombakan anaerob 19 2.2.2. Faktor faktor berpengaruh pada perombakan anaerob 20 2.2.3. Beberapa faktor ketidak seimbangan proses perombakan anaerob 26 2.2.4. Keuntungan perombakan anaerob 27 2.3. Produksi Biogas 29 2.3.1. Kualitas biogas dan penjerapan 30 2.3.2. Pemanfaatan biogas 31 2.3.3. Penyimpanan biogas 32 2.3.4. Biogas sebagai sumber energi terbarukan 33 BAB III. OPTIMASI PRODUKSI BIOGAS DARI LIMBAH CAIR

PABRIK MINYAK KELAPA SAWIT SKALA LABORATORIUM...

Abstrak Abstract

1. Pendahuluan 2. Metode Penelitian 3. Hasil dan Pembahasan 4. Kesimpulan

36 36 36 37 40 43 64


(16)

Abstract 1. Pendahuluan 2. Metode Penelitian 3. Hasil dan Pembahasan 4. Kesimpulan

67 69 72 95

BAB V. OPTIMASI PRODUKSI BIOGAS PADA DIGESTER ANAEROB KOLAM TERTUTUP (DAKT) SKALA PILOT Abstrak

Abstract 1. Pendahuluan 2. Metode Penelitian 3. Hasil dan Pembahasan 4. Kesimpulan

96 96 96 97 100 103 122 BAB VI. PEMBAHASAN UMUM

Fenomena hasil penelitian

123 139 BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan 7.2. Saran

143 143 145

DAFTAR PUSTAKA 146


(17)

Halaman 1. Perkembangan konsumsi dan produksi CPO dunia 3 2. Karakteristik LCPMKS PT Pinago Utama 44 3. Pengaruh jenis dan konsentrasi inokulum terhadap total produksi biogas

skala laboratorium dengan waktu fermentasi 12 minggu 46 4. Pengaruh penambahan NaOH dan Ca(OH)2 terhadap produksi biogas 48 5. Pengaruh perbedaan pH substrat awal terhadap produksi biogas 49 6. Pengaruh agitasi terhadap produksi biogas 50 7. Pengaruh suhu substrat terhadap produksi biogas 51 8. Profil awal temperatur dan pH pada berbagai titik pengukuran

kolam LCPKMS PT. Pinago Utama 74 9. Monitoring rerata nilai COD, BOD, TS dan VS LCPMKS kolam

anaerob dan kolam aerob selama 10 bulan 83 10. Emisi gas metan, pH, dan suhu berbagai titik sampling kolam

fakultatif anaerob 85

11. Bahan organik berbagai titik sampling kolam fakultatif anaerob 85 12. Ringkasan base line study kolam anaerob terbuka 88 13. Rerata efisiensi pengurangan bahan organik 10 bulan pada kolam

I-VI areal pengelolaan LCPMKS 90 14. Rerata hasil peningkatan kualitas biogas dalam persen sebelum dan

sesudah penjerapan 92

15. Perhitungan tekno-ekonomi pengelolaan LPCKMS digester anaerob

kolam tertutup 121


(18)

Halaman

1. Bagan Alir pengembangan produksi biogas LCPMKS 9 2. Digester anaerob sistem curah untuk produksi biogas skala

laboratorium

43 3. Interaksi jenis, konsentrasi inokulum dan waktu fermentasi terhadap

produksi biogas 45

4. Interaksi pemberian bahan penetral dan waktu fermentasi terhadap

produksi biogas 48

5. Interaksi pH awal dan waktu fermentasi terhadap produksi biogas 49 6. Interaksi pemberian agitasi pada substrat dan waktu fermentasi

terhadap produksi biogas 50 7. Interaksi peningkatan suhu dan waktu fermentasi terhadap produsi

biogas

51 8. Pengaruh jenis dan konsentrasi inokulum terhadap efisiensi pengurangan

COD 53

9. Pengaruh jenis dan konsentrasi inokulum terhadap efisiensi

pengurangan BOD 53

10. Pengaruh jenis dan konsentrasi inokulum terhadap efisiensi

pengurangan SS 54

11. Pengaruh jenis dan konsentrasi inokulum terhadap efisiensi

pengurangan TS 54

12. Pengaruh NaOH dan Ca(OH)2 terhadap efisiensi penguranganTS 56 13. Pengaruh NaOH dan Ca(OH )2 terhadap efisiensi pengurangan SS 57 14. Pengaruh NaOH dan Ca(OH )2 terhadap efisiensi pengurangan 57 15. Pengaruh NaOH dan Ca(OH )2 terhadap efisiensi pengurangan BOD 57 16. Pengaruh pH substrat awal terhadap efisiensi pengurangan COD 58 17. Pengaruh pH substrat awal terhadap efisiensi pengurangan BOD 59 18. Pengaruh pH substrat awal terhadap efisiensi pengurangan TS 59 19. Pengaruh pH substrat awal terhadap efisiensi pengurangan SS 59 20. Pengaruh agitasi terhadap efisiensi pengurangan SS 61 21. Pengaruh agitasi terhadap efisiensi pengurangan TS 61 22. Pengaruh agitasi terhadap efisiensi pengurangan BOD 61 23. Pengaruh agitasi terhadap efisiensi pengurangan COD 62 24. Pengaruh suhu terhadap efisiensi pengurangan SS 62 25. Pengaruh suhu terhadap efisiensi pengurangan TS 63 26. Pengaruh suhu terhadap efisiensi pengurangan BOD 63 27. Pengaruh suhu terhadap efisiensi pengurangan COD 63 28. Denah lokasi percobaan di areal pengelolaan LCPMKS 72 29. Visualisasi emisi biogas kolam II-B 77 30. COD LCPMKS kolam fakultatif anaero (kolam I-III) 77


(19)

35. Total solid (TS) LCPMKS kolam aerob (kolam IV-VI) 79 36. Padatan tersuspensi (SS) LCPMKS kolam fakultatif anaerob (kolam

I-III)

80 37. Padatan tersuspensi (SS) LCPMKS kolam aerob (kolam IV-VI) 80 38. Volatil solid (VS) LCPMKS kolam fakultatif anaerob (kolam I-III) 81 39. Volatil solid (VS) LCPMKS kolam aerob (kolam IV-VI) 81 40. Lokasi baseline study emisi gas metan kolam II-B 84 41. Penampung emisi biogas kolam II-B berupa sungkup ukuran 4 m x 6

m x tinggi 0,65 m

86 42. Kantong penyimpanan sementar emisi gas metan kolan anaerob II-B 88 43. Efisiensi pengurangan COD LCPMKS selama 10 bulan 89 44. Efisiensi pengurangan BOD LCPMKS selama 10 bulan 89 45. Efisiensi pengurangan TS LCPMKS selama 10 bulan 89 46. Efisiensi pengurangan SS LCPMKS selama 10 bulan 90 47. Efisiensi pengurangan VS LCPMKS selama 10 bulan 90 48. Tangki penjerab (scraber) untuk peningkatan kualitas biogas 93 49. Tabung berkapasitas 36 liter berisi biogas dengan tekanan 8 bar (A).

Kompresor (B) dan Kompor (C) dengan bahan bakar 94 50. Konstruksi kerangka atap bioreaktor modifikasi (ADCL kolam I.1) 104 51. Rancangan distribusi LCPMKS pada dasar kolam perombakan

tertutup tampak atas 105 52. Rancangan kolam digester anaerob tertutup tampak samping 106 53. Kolam I.1 sebagai biogas plant modifikasi. 107 54. Kualitas pH, COD, BOD, TS dan SS substrat bioreaktor persiapan

awal operasi 109

55. Optimasi laju pengumpanan terhadap produksi biogas dan suhu substrat

110 56. Optimasi laju pengumpanan terhadap produksi biogas dan pH

substrat

111 57. Optimasi laju pengumpanan terhadap efisiensi pengurangan organik

COD dan interaksi dengan pH substrat 111 58. Optimasi laju pengumpanan terhadap efisiensi pengurangan organik

COD dan interaksi dengan suhu substrat 112 59. Optimasi laju pengumpanan terhadap produksi biogas dan efisiensi

pengurangan organik substrat 113 60. COD influen, efluen dan efisiensi perombakan substrat kolam I.1. 114 61. BOD influen, efluen dan efisiensi perombakan substrat kolam I.1. 115 62. SS influen, efluen dan efisiensi perombakan substrat kolam I.1. 116 63. TS influen, efluen dan efisiensi perombakan substrat kolam I.1. 116


(20)

Halaman 1 Naskah Publikasi Jurnal “Potensi Limbah Cair Pabrik Minyak

Kelapa Sawit untuk Produksi Biogas 156 2 Metode Analisis Penelitian 161


(21)

1.1. Latar Belakang

Bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan batubara merupakan sumber

energi utama di Indonesia, akan tetapi sumber energi tersebut berdampak merusak

lingkungan termasuk pencemaran udara, emisi gas rumah kaca dan pemanasan

global. Permasalahan lain adalah tingginya harga bahan bakar fosil, kenaikan

jumlah impor minyak bumi akibat konsumsi bahan bakar nasional, serta cadangan

minyak bumi yang semakin menipis. Dalam energi

mix

nasional diketahui bahwa

lebih dari 50% penggunaan energi nasional didominasi oleh bahan bakar fosil, untuk

itu pengembangan energi alternatif menjadi pilihan yang penting. Sudah saatnya

semua negara memutuskan ketergantungan terhadap sumber energi fosil beralih ke

sumber energi alternatif berbahan baku nabati yang sifatnya terbarukan (Hambali

et

al.

2007).

Usaha mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan, dan pengembangan

sumber energi alternatif termasuk bioenergi yang terus diupayakan dan dilakukan.

Bioenergi adalah energi terbarukan yang berasal dari biomasa. Biomasa merupakan

materi hasil proses fotosintesis, tetapi biomasa juga dapat dihasilkan dari hewan

misalkan kulit dan kotoran yang mengandung mikroorganisme. Energi terbarukan

dihasilkan dari sumberdaya yang tidak pernah habis, sumber energi terbarukan

meliputi, matahari, angin, bumi, air, biomasa dan energi dari limbah (CADDET

1998).

Sejak tahun 2006, Indonesia mulai memasuki era kebangkitan energi II,

dengan pengembangan energi yang memprioritaskan ekspansi energi alternatif

sebagai sumber energi, dan mengurangi penggunaan energi berbasis minyak bumi,

melalui peraturan Presiden Republik Indonesia nomer 5 tahun 2006, tentang

kebijakan energi nasional. Pemerintah telah menetapkan bauran energi nasional

tahun 2025 dengan peran minyak bumi sebagai energi, akan dikurangi dari 52% saat


(22)

ini, hingga kurang dari 20% pada tahun 2025. Strategi utama yang ditetapkan oleh

pemerintah untuk pengembangan bahan bakar nasional dikenal dengan sebutan

Fast

Track Program

, yaitu pengembangan desa mandiri energi sesuai dengan potensi

daerah masing-masing. Dengan strategi tersebut diharapkan dalam jangka pendek

akan tercipta lapangan kerja dan pengurangan kemiskinan, sehingga jangka panjang

akan tercapai keamanan pasokan energi dan pertumbuhan ekonomi (Hambali

et al.

2007).

Bioenergi merupakan salah satu bentuk energi alternatif yang prospektif

untuk dikembangkan. Pengembangan bioenergi bukan saja dapat mengurangi

ketergantungan terhadap bahan bakar minyak (BBM) yang harganya terus

meningkat, tetapi juga dapat meningkatkan keamanan pasokan energi nasional.

Perhatian masyarakat dunia yang semakin meningkat pada penggunaan bahan bakar

ramah lingkungan seperti tertuang dalam Protokol Kyoto menjadikan

pengembangan bioenergi sangat strategis dan menuntut untuk direalisasikan.

Indonesia sebagai negara agraris dan tropis, mempunyai kekayaan alam

melimpah bermanfaat sebagai sumber bahan baku bioenergi guna menghadapi

kelangkaan energi fosil di masa mendatang. Bioenergi bersifat ramah lingkungan,

dapat diperbaharui, serta mampu mengeliminasi emisi gas kontaminan dan efek

rumah kaca. Bahan baku bioenergi yang melimpah, diantaranya singkong, sagu,

kelapa sawit, jarak pagar, dan kelapa, limbah organik, bahkan minyak goreng bekas

dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan bioenergi (Indartono 2006).

Ketersediaan bahan baku yang melimpah menuntut pengetahuan teknologi

pengolahan bioenergi dikuasai dengan baik, agar sumberdaya yang ada tidak sia-sia.

Perkembangan energi terbarukan dan kekayaan alam di Indonesia khususnya

komoditas pertanian yaitu meningkatnya produksi pertanian minyak kelapa sawit

mentah (CPO) menjadi primadona ekspor. Pertumbuhan produksi CPO Indonesia

paling tinggi di antara negara produsen CPO lainnya dalam satu dekade terakhir

1995-2004 atau tumbuh 2,7 kali dari 4,2 juta ton pada 1995 menjadi 11,4 juta ton

pada 2004, sehingga kontribusi CPO dunia tahun lalu naik menjadi 38,06%.


(23)

Produksi CPO dunia meningkat hingga 1,97 kali lipat, pertanda baik bagi industri

CPO secara nasional

http//:www.djikah.dprin.go.id/query-info/pjp-action/htm

3/1/07.

Ekspor Indonesia pada 1995 sampai 2004 tumbuh berlipat dari 1,856 juta ton

pada 1995 menjadi 8,05 juta ton pada 2004. Pada 1995 pangsa pasar ekspor CPO

Indonesia sekitar 18,2% dari total ekspor CPO dunia yang mencapai 10,194 juta ton.

Namun pada 2004 pangsa pasar ekspor Indonesia naik menjadi 34,3% dari total

ekspor CPO seluruh produsen CPO dunia yang mencapai 23,4 juta ton. Malaysia

dan Indonesia menjadi pemimpin produksi dan ekspor CPO dunia, dengan total

pangsa pasar keduanya menjadi 88% dari total ekspor CPO dunia pada 2004. Dalam

jangka panjang, diyakini permintaan CPO juga akan terus meningkat seiring dengan

adanya penelitian dan pengembangan untuk mengubah minyak sawit menjadi

bioenergi, melalui proyek biodiesel untuk mengurangi pemakaian energi dari BBM.

http://www.presidenri.go.id/ index.php/fokus/

/1391.html.

19/12/2006

Peningkatan permintaan CPO Indonesia yaitu konsumsi domestik dan ekspor

sebelumnya meningkat dengan laju 8% per tahun, untuk periode 2000-2005 peluang

konsumsi CPO domestik diperkirakan meningkat dengan laju 5-6% per tahun.

Selanjutnya untuk periode 2005-2010, laju peningkatan konsumsi diperkirakan

3-5% per tahun, sehingga konsumsi domestik pada tahun 2005 dan 2010

masing-masing adalah 3,92 juta ton dan 4,58 juta ton. Selain mengandalkan pasar domestik,

pasar ekspor merupakan pasar utama CPO Indonesia. Ekspor CPO Indonesia pada

dekade terakhir meningkat dengan laju antara 7-8% per tahun.

Tabel 1. Perkembangan Konsumsi dan Produksi CPO Dunia

Tahun 2001-2005 (juta ton)

Uraian

2001 2002 2003 2004 2005 Pertumbuhan/tahun

Produksi 23,94 25,22 28,08 30,89 33,50 8,79%

Konsumsi 23,79 25,09 28,31 29,9 33,03 8,59%

(sumber: Djikah 2007)


(24)

Tahun 2005 Laju pertumbuhan produksi CPO di Malaysia sebesar 16,5 juta

ton, menghasilkan produksamping LCPMKS lebih dari 40 juta ton / tahun (Yacob

et

al.

2005 a). Emisi metana kolam anaerob antara 35 – 79%, dan kisaran laju alir

biogas antara 0,5-2,45 L/menit/m

2

. Potensi emisi biogas demikian besar sebagai gas

efek rumah kaca yang berdampak nyata terhadap pemanasan global, sehingga

upaya mitigasi GRK menjadi prioritas utama dan mendesak dilakukan (Yacob

et al.

2005b). Kondisi yang sama telah berlangsung pula di Indonesia, terutama pada

kolam pengelolaan LCPMKS secara konvensional yang umum diterapkan (Yuliasari

et al.

2001).

Terkait juga dengan kajian yang menyatakan bahwa perluasan areal

mencapai 2.960 juta ha untuk perluasan perkebunan kelapa sawit. Satu sisi lahan

yang tersedia cukup memadahi untuk memanfaatkan peluang pasar, tetapi harus

dilakukan pendekatan yang tepat untuk memperkecil terjadi konflik lahan, air serta

lingkungan udara, yang kini menjadi salah satu potret industri kelapa sawit

Indonesia untuk dieliminasi dengan mendiseminasikan pembangunan agroindustri

kelapa sawit ramah lingkungan (Yuliasari

et al.

2001).

Prospek industri kelapa sawit semakin cerah, baik di pasar dalam negeri

maupun di pasar dunia. Sektor ini akan semakin strategis karena berpeluang besar

menjadi motor pertumbuhan ekonomi nasional, dan penyerapan tenaga kerja. Saat

ini Indonesia telah menguasai 37% pasar dunia, sementara Malaysia sebesar 42%.

Diperkirakan, dalam dua tahun ke depan pangsa pasar Indonesia akan dapat

melampaui pangsa pasar Malaysia. Namun, di sisi lain, banyak kalangan meragukan

apakah Indonesia mampu mengoptimalkan daya saingnya untuk memperoleh nilai

tambah (

added

value

) yang maksimal bagi pembangunan ekonomi nasional. Ini

tidak terlepas dari kenyataan, sebagian besar produk kelapa sawit nasional masih

diperdagangkan dalam bentuk CPO atau minyak goreng, belum masuk ke dalam

tahap industri yang mempunyai nilai tambah besar seperti industri oleo kimia.

Dalam rangka mencapai target proyek BBN, pemerintah akan mendorong investasi


(25)

di sektor sawit. Secara keseluruhan pemerintah telah mencadangkan 24,4 juta ha

lahan hingga 2010 mendatang.

http//www.dprind.goid.publikasi /siaran.2007

Produksi minyak kelapa sawit membutuhkan air dalam jumlah besar, dan

satu ton minyak kelapa sawit menghasilkan 2,5 ton limbah cair, yaitu berupa limbah

organik berasal dari input air pada proses separasi, klarifikasi dan sterilisasi. Limbah

cair yang dihasilkan dalam jumlah besar dari berbagai tahapan proses fisika,

perebusan, pembantingan, penghancuran, pengempaan, klarifikasi dan pemecahan

biji. Produksi minyak kelapa sawit (PMKS) berkapasitas olah 60 ton tandan buah

segar (TBS)/jam menghasilkan limbah cair sebanyak 42 m

3

(Yuliasari

et al.

2001).

Hasil samping proses produksi tersebut berasal dari air kondensat rebusan 36%

(150-175 kg/ton TBS), air

drab

klarifikasi 60% (350-450 kg/ton TBS) dan air

hidrosiklon 4% (100-150 kg/ton TBS) (Loebis dan Tobing 1992, Ahuat 2005).

Perkembangan pesat industri minyak kelapa sawit dalam dekade terakhir

berakibat semakin besar buangan limbah berbahan baku lignoselulosa. Air buangan

pabrik minyak kelapa sawit (PMKS) dengan nilai BOD, COD, padatan tersuspensi

dan kandungan total padatan tinggi merupakan sumber pencemar sangat potensial.

Pembuangan air LCPMKS ke dalam perairan umum tanpa pengolahan terlebih

dahulu mengandung BOD setara dengan BOD buangan populasi 10 juta manusia.

LCPMKS berpotensi mncemari air minum, mengurangi kadar oksigen terlarut,

menurunkan kesehatan ikan dan udang dalam badan air sekitarnya atau biota

perairan (Qu dan Bathhacharya 1997)

Pertumbuhan industri kelapa sawit yang cukup pesat menghasilkan

LCPMKS sangat melimpah dan berdampak mencemari lingkungan tanah, air dan

udara, dengan emisi metana yang potensial. Dengan demikian, di satu sisi potensi

produksi biogas yang sangat menjanjikan perlu dilakukan penelitian dan

pengembangan sebagai sumber energi terbarukan dan upaya mendukung program

pemerintah berkaitan keamanan pasokan energi serta teknologi bersih bagi industri

yang diharapkan dapat meningkatkan daya saing di pasaran.


(26)

1.2. Tujuan Penelitian

1.

Mempelajari karakteristik dan faktor biotik abiotik yang berpengaruh

terhadap laju produksi biogas, total produksi biogas dan efisiensi

pengurangan bahan organik dari LCPMKS,

2.

Mengukur emisi biogas kolam LCPMKS anaerob terbuka, memantau

kualitas kolam pengolahan LCPMKS, efisiensi pengurangan bahan organik,

dan cara peningkatan kualitas atau pemurnian biogas.

3.

Merancang dan menguji teknologi perombakan kolam anaerob tertutup laju

tinggi dengan perlakuan resirkulasi dan peningkatan suhu gradasi untuk

pengelolaan LCPMKS lebih efisien , efektif, dan berdaya guna

4.

Mengkaji kelayakan tekno-ekonomi anaerob tertutup laju tinggi secara

ekonomis, dan mendapatkan teknologi pengolahan LCPMKS untuk produksi

biogas yang layak diaplikasikan sesuai analisis ekonomi secara sederhana.

1.3. Manfaat Penelitian

1.

Mendapatkan teknologi pengelolaan LCPMKS yang lebih efisien,

efektif, berdaya guna, dan upaya reduksi residu agroindustri

2.

Mendapatkan informasi hasil penerapan teknologi tepat guna sebagai

bentuk implementasi ratifikasi Protokol Kyoto, dengan teknologi bersih,

efisiensi energi dan energi terbarukan

3.

Pemanfaatan LCPMKS dengan sistem perombakan anaerob tertutup laju

tinggi sebagai bahan penghasil biogas merupakan alternatif peningkatan

pengelolaan limbah industri (

end of pipe

)

4.

Mendukung kebijakan pemerintah sektor energi sebagai upaya

pemenuhan kebutuhan energi masyarakat pedesaan melalui masyarakat

(desa) mandiri energi.

5.

Memberi kontribusi bagi khasanah ilmu pengetahuan dan implementasi

teknologi tepat guna di daerah-daerah sumber biomas, dengan potensi

energi terbarukan yang melimpah dan tidak mencemari.


(27)

6.

Memberi solusi bagi industri untuk menambah keuntungan melalui

peningkatan nilai tambah LCPMKS produksi energi ramah lingkungan

dengan pemanfaatan keanekaragaman hayati mikroba anaerob, selain

dapat.

1.4. Kerangka Pemikiran

Pemanfaatan teknologi perombakan anaerob untuk mengurangi beban

limbah industri pertanian akhir-akhir ini digiatkan kembali seiring perkembangan

ilmu pengetahuan dan rekayasa sistem produksi bioenergi (biogas). LCPMKS

sebagai sumber bioenergi melalui proses fermentasi/perombakan anaerob menjadi

biogas sangat potensial, namun belum banyak dimanfaatkan. Di satu sisi kebutuhan

energi Indonesia terutama bahan bakar minyak kian bertambah dan harga

perolehannya semakin mahal, meskipun pemakaian energi tidak terbarukan

berpotensi tinggi sebagai bahan pencemar dan semakin menyusut ketersediaannya.

Teknologi produksi bioenergi merupakan teknologi tepat guna untuk pengelolaan

LCPMKS yang memiliki nilai BOD dan COD tinggi, berturut-turut lebih dari

20.000 dan 40.000 mg/l. Proses perombakan anaerob LCPMKS terjadi di

kolam-kolam limbah atau dapat dilakukan pada tangki tertutup tanpa oksigen bebas, yang

disebut teknologi digester anaerob.

Pengelolaan LCPMKS sistem kolam terbuka umum diterapkan, namun

diketahui menjadi sumber pencemar udara yang nyata, penyebab pemanasan global

akibat efek gas rumah kaca. Pertambahan kapasitas proses produksi minyak sawit

kasar dan produksi perkebunan kelapa sawit yang disebut tandan buah segar (TBS),

semakin bertambah besar beban organik yang dibuang ke dalam kolam penampung,

sehingga luaran dari kolam pengelolaan tidak memenuhi ambang baku mutu

perairan umum yang diperbolehkan. Pengembangan teknologi perombakan anaerob

dan rekayasa sistem pembangkit biogas melalui percepatan perombakan bahan

organik yang dihasilkan, sebagai alternatif penanganan yang lebih cepat dan

penting dilakukan.


(28)

Pengelolaan LCPKMS di Indonesia dalam kurun waktu dua dekade terakhir

dan informasi produksi biogas hasil perombakan anaerob LCPMKS skala

laboratorium memiliki potensi tinggi untuk dikembangkan. Di samping itu menurut

Ma dan Ong (1988) dalam Suzuki

et al.

(2001), industri kelapa sawit FELDA di

Lepas Hilir Malaysia yang bekerjasama dengan pihak Jepang, produksi biogas dari

LCPMKS dapat diperoleh rerata 24 m

3

biogas dari setiap 1 m

3

LCPMKS

terfermentasi. Pabrik berkapasitas proses tandan buah segar (TBS) 60 ton/jam

dengan asumsi rasio produksi biogas sama, akan mampu menghasilkan 840 m

3

biogas per jam, setara dengan energi listrik sebesar 1050 kWj. Di sisi lain, pabrik

minyak kelapa sawit dengan kapasitas sama biasa beroperasi 16-20 jam dihasilkan

listrik rerata sebesar 21.000 kWj / hari. Sisanya dimanfaatkan untuk keperluan baik

pengganti bahan bakar minyak maupun pembangkit energi listrik keluarga (rumah

tangga). Sebagai pengganti bahan bakar minyak sisa kebutuhan pabrik dapat

digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik dan bahan bakar kalor rumah tangga

sebanyak 250-400 keluarga yang terdiri atas 4-5 orang per keluarga per hari

(EEREC 2000, Stowell dan Victoria 2000, NAS 1981).

Pengelolaan LCPMKS dengan teknologi digesti anaerob kolam tertutup

(DAKT), selain menghasilkan biogas, juga memperoleh hasil samping berupa

lumpur pekat (sebagai pupuk organik) yang dapat dimanfaatkan untuk pertanian

sekitar pabrik. Begitu pula bila biogas yang dihasilkan digunakan untuk berbagai

keperluan diantaranya bahan bakar mobil, energi listrik, dan keperluan pabrik

lainnya. Dengan demikian untuk kperluan bahan bakar pabrik, baik produksi

maupun mobilisasi dapat terpenuhi, sehingga dapat menekan pengeluaran. Dengan

demikian diharapkan dapat meningkatkan daya saing CPO di pasaran dunia.

Dampak positif lebih jauh keberadaan energi biogas adalah meningkatkan aktivitas

dan ekonomi masyarakat. Pemanfaatan biogas sebagai sumber energi akan

mendukung program pemerintah mengurangi emisi CO

2

hasil kegiatan


(29)

Biogas hasil LCPMKS yang telah ditingkatkan, dapat dimanfaatkan untuk

sumber energi pembangkit listrik pabrik minyak kelapa sawit, juga pengganti bahan

bakar minyak. Pertimbangan terhadap upaya mengatasi berbagai keterbatasan yang

ada dan peluang luaran yang lebih bermanfaat, maka penelitian akan lebih

difokuskan pada kajian dan penyelesaian baik pada skala laboratorium, skala semi

pilot dan atau pilot. Pelaksanaan penelitian lapang dilakukan di areal kelola

LCPMKS PT Pinago Utama Palembang, yang secara keseluruhan dapat diringkas

sebagaimana pada bagan alir berikut (Gambar 1.).


(30)

Gambar

1.

Bagan alir pengembangan produksi biogas LCPMKS

Keterangan : bagian percobaan yang dilakukan

Proses produksi minyak

kelapa sawit PT. Pinago

Sumsel

Limbah Cair

proses perombakan anaerob dengan

resirkulasi dlm sistem kolam tertutup

laju tinggi (percobaan 3)

proses perombakan

anaerob sistem curah skala

laboratorium (percobaan 1)

proses perombakan anaerob

dalam sistem kolam terbuka

(percobaan 2)

Pemanfaatan Pupuk cair

organik

Pengemasan dan

pengompresan Tabung

gas (piping)

Limbah padat

Tandan Buah

Segar

Minyak sawit mentah

Pengukuran kualitas

LCPMKS

Pengukuran

kualitas biogas

Analisis kelayakan

tekno-ekonomi

produksi gasbio

Pengukuran

kuantitas

biogas

Optimasi konsen-

trasi

scrubber

terbaik

Pemanfaatan biogas

Peningkatan mutu

luaran sesuai baku


(31)

1.5. Permasalahan

Agroindustri pabrik minyak kelapa sawit (PMKS) merupakan salah satu

industri penghasil limbah cair organik pekat yang dibuang ke lingkungan. Lokasi

pabrik umumnya berada di sekitar sumber-sumber air untuk proses produksi. Selain

sumberdaya air diambil cukup besar bagi keperluan produksi, juga dibuang limbah

yang akan mencemari lingkungan di sekitarnya. Meskipun pengendalian

pencemaran organik yang ditimbulkan telah dilakukan dengan menyediakan areal

pengelolaan limbah cair dalam kolamyang luas, namun permasalahan serius masih

sering terjadi. Limbah cair produk samping proses produksi minyak oleh pabrik

biasanya dengan mudah dibuang ke sungai, kurang memperhatikan dampak negatif

yang ditimbulkan oleh buangan limbah. Walaupun buangan telah melalui sistem

pengendalian air buangan, tetapi luarannya masih belum memenuhi ambang baku

mutu air yang diperuntukkan. Bahkan beberapa kasus air buangan tidak mengalami

pengolahan terlebih dahulu terutama pabrik dengan kapasitas produksi kecil yang

tidak memiliki sistem pengelolaan buangan yang memadai.

Penanganan LCPMKS di Indonesia sampai saat ini biasa diolah dengan

sistem kolam. Sistem kolam terbuka dilakukan karena cukup sederhana dan

dianggap murah, namun sistem demikian mempunyai beberapa kekurangan antara

lain diperlukan lahan untuk pengolahan limbah cair sangat luas dan efisiensi

perombakan sebesar 60-70%, namun efisiensi perombakan organik kolam anaerob

semakin menurun, bahkan di bawah efisiensi perombakan yang dihasilkan di atas.

Pengolahan sistem kolam seringkali mengalami pendangkalan sehingga masa

retensi lebih singkat (Yuliasari

et al.

2001). Limbah cair organik, pekat, dengan

konsentrasi BOD dan COD rata-rata sebesar 25 dan 50 g/l dialirkan ke dalam

kolam-kolam penampungan yang terdiri atas tiga tahap, berturut-turut kolam

pengendapan, kolam anaerob dan kolam aerob, sebelum dibuang ke badan perairan

umum (Ahuat 2005).

Pengelolaan LCPMKS sistem kolam terbuka, selain dibutuhkan

pertambahan luas areal, terjadi pencemaran udara berupa peningkatan gas efek


(32)

rumah kaca dan pemanasan global sebagai akibat perombakan anaerob maupun

anaerob fakultatif, serta menimbulkan bau tidak sedap dan menyengat. Meskipun

banyak faktor lingkungan lain berpengaruh terhadap perombakan limbah cair pada

kolam anaerob, juga luaran bahan orgnik masih tinggi belum memenuhi baku mutu

air peruntukan.

Pengelolaan LCPMKS PT Pinago Utama secara konvensional, yaitu dengan

sistem kolam terbuka. LCPMKS dari pabrik mengalir ke kolam-kolam penampungan

secara elevasi. Suhu kolam primer mencapai 50-70

o

C dan dapat dikutip minyak

sebanyak lebih kurang 1%, disebut kolam pendinginan (

cooling pond

) dan atau kolam

pengutipan (

oil recovery

). Pengolahan LCPMKS dalam kolam anaerob menampung

aliran kolam pengendapan, memanfaatkan bakteri anaerob untuk menurunkan

konsentrasi BOD dan menetralisir keasaman limbah. Pada kolam anaerob, air limbah

dapat digunakan untuk irigasi sekaligus pemupukan tanaman perkebunan sekitar pabrik.

namun demikian masih diperlukan kajian dosis perlakuan (keseimbangan hara dan

reaksi kimia dalam tanah) dan sangat terbatas (H-Kittikun

et al.

2000). Pertumbuhan

produksi kelapa sawit dapat berakibat pertambahan bebanorganik, pendangkalan dan

memperpendek aktu tinggal organik, sehingga efisiensi perombakan bhan pencemr

menurun. Belum adanya erubahankolm anaerob berkurang dan belum mamp

menghasilkan limbah sesuai baku mutu lingkungan (Yuliasari

et al.

2001)

Kegiatan penelitian untuk memecahkan masalah tersebut hingga kini masih

sangat terbatas dan belum diterapkan skala lapang. Penanganan dampak negatif

LCPMKS terhadap lingkungan, dengan penerapan teknologi bersih, yaitu

pemanfaatan potensi optimal LCPMKS dengan teknologi perombakan anaerob

sistem kolam tertutup untuk produksi biogas belum pernah diujicobakan, sehingga

penting dilakukan. Eksplorasi ilmiah pengelolaan LCPMKS dengan metode digesti

anaerob kolam tertutup (DAKT) belum pernah dilakukan. Untuk keperluan

penelitian tersebut, diperlukan beberapa tahapan diantaranya, uji skala

laboratorium,

baseline study

dalam skala semi pilot, dan skala lapang segera

dilakukan untuk dapat diperoleh solusi yang tepat guna dan berhasil guna. Dengan


(33)

demikian permasalahan yang menjadi tantangan dan perlu dikaji serta

dikembangkan dapat dirumuskan sebagai berikut:

1). Bagaimanakah karakterstik LCPMKS, dan pengaruh faktor biotik dan

abiotik terhadap produksi biogas sistem curah skala laboratorium, sebagai

landasan tataran perkemangan dan aplikasi pada skala yang lebih besar ?

2). Bagaimana emisi gas metan kolam anaerob terbuka LCPMKS sistem

kualitas biogas dalam tabung pengumpul?

3). Bagaimana rancangan dan hasil uji teknologi digesti anaerob kolam tertutup

laju tinggi dengan perlakuan resirkulasi dan peningkatan suhu gradasi

pengelolaan LCPMKS yang lebih efisien efektif dan berdaya guna ?

4) Bagaimana study kelayakan tekno-ekonomi sistem digesti anaerob laju

tinggi secara ekonomis, dan sistem tersebut layak diaplikasikan ?

1.6. Hipotesis

Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan hipotesis, antara lain:

1.

LCPMKS berpotensi sebagai sumber pencemar lingkungan baik tanah,

udara dan air

2.

Faktor lingkungan baik biotik maupun abiotik berpengaruh terhadap

peningkatan produksi biogas

3.

Pengelolaan LCPMKS sistem konvensional menyebabkan emisi metana dan

gas efek rumah kaca

4.

Teknologi perombakan digester anaerob kolam tertutup lebih efisiensi dan

efektif.

1.7. Kebaharuan (Novelty)

Pengelolaan LCPMKS umum menggunakan sistem konvensional, kolam

terbuka di atas areal lahan luas dan menimbulkan masalah lingkungan, misalkan

emisi gas meta penyebab pemanasan global, bau yang tidak sedap, dan hasil

pengolahan yang dikeluarkan dalam bada perairan umum masih diatas baku mutu,

sehingga menimbulkan dampak negatif terhadap badan air. Di Indonesia sampai


(34)

dengan laporan ini dibuat hampir keseluruhan industri kelapa sawit menerapkan

sistem konvensional tersebut.

Seiring dengan pertumbuhan produksi perkebunan kelapa sawit yang pesat

penerapan sistem demikian tidak memadai, masih banyak memberi dampak negatif

terhadap lingkungan di samping tidak memberi nilai tambah apapun bagi

perusahaan.

Peningkatan metode pengelolaan LCPMKS menggunakan teknologi

perombakan anaerob sistem kolam tertutup, selain

mengurangi pencemaran

lingkungan bagi perairan sekitar dan udara, juga bernilai tambah memberi kontribusi

persediaan energi sebagai pengganti bahan bakar minyak solar untuk peralatan

mesin industri. Di samping itu peningkatan nilai tambah menguntungkan bagi

lingkungan yakni: penurunan konsentrasi bahan pencemar lebih baik, peningkatan

efisiensi pengurangan bahan pencemar, diperoleh produk samping (daur ulang)

pupuk cair, penghematan areal kolam dan lebih ramah lingkungan serta produksi

energi terbarukan. Dengan demikian kebaharuan penelitian ini adalah :

1.

Pengembangan sistem mengelolaan LCPMKS yang lebih efisien, efektif

dan lebih berdaya guna.

2.

Pengembangan sistem pengurangan bahan organik yang lebih cepat skala

industri

3.

Pengukuran emisi gas metan LCPMKS sistem kolam terbuka skala industri

belum pernah dilakukan

4.

Teknologi perombakan digester anaerob kolam tertutup laju tinggi dengan

resirkulasi pada pengelolaan LCPMKS skala industri belum pernah

dilakukan.


(35)

2.1. Pengelolaan Air Limbah PMKS

Indonesia merupakan negara dengan pertumbuhan industri minyak kelapa sawit terbesar di dunia dalam satu dekade tuimbuh hingga 2,7 kali dari 4,2 juta ton pada 1995 menjadi 11,4 juta ton pada 2004, dan kontribusi Indonesia pada produksi crude palm oil (CPO) dunia naik menjadi 38,06 % dari total produksi dunia yang mencapai 29,95 juta ton (Djikah 2007). Produksi CPO pada akhir 2006 diperkirakan melampaui 13,5 juta ton, sementara sasaran jangka menengah pada 2010 Indonesia menjadi eksportir dan produsen CPO terbesar dunia yaitu 18 juta ton dari luas lahan perkebunan 5,6 juta ha (Deprind 2006). Hal ini diyakini dalam jangka panjang permintaan CPO juga akan terus meningkat, seiring dengan adanya penelitian dan pengembangan mengubah minyak sawit menjadi bioenergi, termasuk proyek biodiesel dan biogas sebagai energi terbarukan untuk mengurangi pemakaian energi dari bahan bakar minyak bumi (Perpres no.5 RI 2006).

Pabrik minyak kelapa sawit (PMKS) rerata mengolah setiap ton tandan buah segar (TBS) kelapa sawit dihasilkan 120-200 kg minyak mentah, 230-250 kg tandan kosong kelapa sawit (TKKS), 130-150 kg serat/ fiber, 60-65 kg cangkang dan 55-60 kg kernel dan air limbah 0,7 m3. Proses ekstraksi produksi minyak sawit mentah dapat dilakukan tiga cara berbeda yakni, proses kering, proses penggorengan dan proses basah. Proses kering (decanter) dihasilkan campuran minyak perikarp dan kernel, proses ini tidak menghasilkan limbah cair. Proses basah lebih banyak digunakan oleh industri minyak sawit, selain lebih mudah proses ekstraksi minyak juga diperoleh produk samping limbah cair. Air limbah yang dihasilkan dari sterilisasi dan ruang separasi minyak secara keseluruhan berupa campuran buangan cair, bahan organik tinggi sebagai pencemar berat. Buangan cair pencemar ringan berasl dari air kondensat, air pendingin, buangan boiler dan buangan sanitasi. Pengelolaan LCPMKS umum diterapkan secara biologis, dialirkan ke dalam kolam-kolam penampungan


(36)

Yuliasari et al. 2001).

Sistem pengolahan anaerob limbah cair mempunyai keuntungan nyata dibanding sistem pengolahan aerob, antara lain: dioperasikan hampir tanpa energi tambahan, mampu menurunkan beban pencemar berat hingga sedang dan terbentuk lumpur sebagai pengganti pupuk organik (kompos). Rancangan teknik perombakan anaerob dalam sistem kolam biasanya merupakan serangkaian kolam terbuka yang tersusun atas beberapa kolam (Loebis dan Tobing 1992). Rancangan dan operasi dalam sistem kolam seharusnya mempertimbangkan kebutuhan volume tampung pengendapan lumpur primer, seimbang dengan kelebihan lumpur anaerob. Akumulasi lumpur akan menyebabkan pengurangan volume dan efisiensi pengolahan limbah secara keseluruhan. Banyak faktor menentukan desain maupun operasi sistem pengolahan antara lain, luas dan harga areal lahan, kondisi sekitar areal kolam juga hilangnya sumber energi biogas. Namun demikian biogas belum penting sebagai sumber energi yang diperoleh cukup dari pembakaran cangkang, TKKS, dan janjang kelapa sawit (H-Kittikun et al. 2000).

Surplus energi dari sistem kolam terbuka, biaya investasi dan operasi rendah, sederhana, menyebabkan penerapan sistem anaerob tertutup belum mendesak dilakukan oleh PMKS. Walaupun berbagai sistem perombakan anaerob tertutup telah banyak tersedia dan digunakan untuk pengolahan limbah organik, misalnya reaktor pencampuran lengkap (Complete Mixed), (Fixed Film), (Fixed Bed) (Faisal dan Unno 2001), (Anaerobic Filter), (Hybrid System) (Borja dan Banks 1995) dan aliran ke atas lapis lumpur anaerob (Upflow Anaerobic Sludge Blanket) (Lettinga dan Zeeman 1999, Metchalf dan Eddy 2003, Reith et al. 2003). Reaktor atau perombak UASB yang dikembangkan oleh Lettinga et al. (1979), selama dua dekade terakhir telah banyak digunakan untuk pengolahan limbah organik. Reaktor terdiri dari suatu tangki/ tabung (Tinggi/Diameter= 2), di mana aliran limbah ke atas menembus lapisan/selimut limbah organik anaerob yang menempati separuh volume reaktor dengan suatu kerucut penetap terbalik, pada puncak perombak yang memungkinkan separasi padat-cair efisien (Lettinga dan Zeeman 1999). Namun diperlukan keseimbangan operasional sistem perombakan anaerob, terutama stabilitas pengaliran dan laju


(37)

suhu substrat (H-Kittikun et al. 2000).

Tiga lingkup minat paling potensial dalam memanfaatkan teknologi perombakan anaerob (Technology Digestion Anaerobic/TDA), dalam pengelolaan limbah organik maupun residu agroindustri. Pertama pengelolaan limbah untuk mengendalikan polusi udara yaitu emisi metana dan bau busuk, minat kedua peningkatan kualitas lumpur (digestat) sebagai pupuk organikyang berdayaguna dan minat ketiga untuk memperoleh produk energi terbarukan (Wellinger 1999). Minat produksi energi dan efisiensi menjadi sasaran utama, maka desain dan perlengkapan teknis digesti anaerob lebih diperlukan untuk dapat memproduksi biogas maksimum, sedangkan minat untuk pengendalian polusi cukup diperlukan desain perombak yang memadai (Wellinger 1999). Perombakan anaerob tertutup merupakan sistem penolahan yang lebih efisien, dan biogas yang dihasilkan dari pengolahan tertutup dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar. Oleh karena energi dan lingkungan merupakan isu yang menarik akhir-akhir ini, pengelolaan limbah industri sawit dengan memanfaatkan teknologi perombak anaerob skala lapang dan minat produksi maksimum biogas, diperlukan desain dan peralatan teknis digesti dengan serta prioritas menerapkan sistem UASB atau kontak anaerob dimodifikasi untuk pengelolaan LCPMKS (Suzuki 2003, Reith et al. 2003).

Penerapan TDA umum dilakukan dalam pengelolaan buangan maupun limbah cair dengan konsentrasi bahan organik tinggi, karena dihasilkan biogas sebagai sumber energi terbarukan dan lumpur sebagai pupuk organik. Di samping itu degradasi anaerob bahan organik kompleks menjadi bahan dengan berat molekul rendah lebih efisien, sebagai alternatif pemecahan masalah penumpukan, mengurangi bau menyengat sebagai sumber penyakit (Reith et al. 2003). Potensi terbesar TDA terletak pada industri pertanian sesuai dengan ketersediaan melimpah biomas pertanian. Pembangunan perombak setidaknnya separuh dari kuantitas industri pertanian dalam jangka pendek maupun menengah memberi jumlah signifikan lapangan kerja baru (Werner et al. 1989). Pengembangan TDA yang memfokuskan pada produksi biogas sebagai alternatif pengganti bahan bakar minyak, dan sumber listrik peralatan internal pabrik serta


(38)

dilakukan (H-Kittikun et al. 2001). Pemanfaatan TDA pada pengelolaan limbah cair industri pertanian secara umum dapat mengurangi masalah pencemaran lingkungan, memperbaiki kondisi sosial ekonomi masyarakat pedesaan, menyediakan energi terbarukan guna memenuhi kebutuhan energi rumah tangga sekaligus penerapan teknologi tepat guna yang terdapat di seluruh pelosok tanah air serta wahana mewujudkan mekanisme pembangunan bersih dan pembangunan berkelanjutan (MenLH 2006).

2.2. Teknologi Perombakan Anaerob

Pada hakekatnya, energi yang terkandung dalam bahan organik merupakan energi matahari yang diikat oleh tanaman melalui proses fotosintesis. Pemanfaatan kembali menjadi energi, baik secara langsung maupun tidak langsung adalah pengambilan kembali energi matahari yang terikat biomasa. Proses daur hidup di alam oleh semua makhluk hidup berlangsung melalui berbagai tahapan panjang yang dibedakan menjadi dua arah yaitu, pembentukan (biosintesa) dan pemecahan (biolisa). Kedua proses ini disebut biokonversi, terjadi perubahan bentuk bahan polimer atau produk biomasa berbagai jenis produk nabati maupun hewani berlangsung secara simultan, meskipun terdapat fluktuasi keseimbangan proses akibat berbagai pengaruh (Judoamidjojo et al. 1989).

Proses produksi agroindustri menghasilkan air buangan dengan beban organik tinggi, salah satunya adalah pabrik minyak kelapa sawit yang berbahan baku lignoselulosa. Air limbah pabrik minyak kelapa sawit (PMKS) tersusun atas bahan organik dengan nilai BOD, COD dan kandungan padatan tinggi. Air buangan merupakan sumber pencemar sangat potensial. Pengelolaan air limbah industri dengan cara fisika-kimia biasa dilakukan dengan koagulasi dan flokulasi, namun biaya ini sangat mahal walaupun hasilnya cukup memuaskan, sehigga banyak industri kecil tidak sanggup melakukan kegiatan produksi lebih lanjut, karena dianggap mencemari lingkungan perairan sekitarnya (Syafila et al. 2001, Metcalf dan Eddy 2003).


(39)

untuk melindungi lingkungan melalui pengelolaan limbah dan air limbah. Produk akhir biokonversi anaerob adalah biogas, campuran metana dan karbon dioksida yang bermanfaat sebagai sumber energi terbarukan. Perombakan anaerob merupakan proses sederhana secara teknologi membutuhkan energi rendah untuk mengubah bahan organik dari berbagai jenis air limbah, buangan padat dan biomas menjadi metana. Aplikasi TDA yang lebih luas, menjadi kebutuhkan dalam usaha menuju pembangunan berkelanjutan dan produksi energi terbarukan. Kecenderungan ini didukung oleh pertumbuhan kebutuhan pasar akan energi ”hijau” oleh optimisasi substansial TDA, terutama perkembangan modern sistem ko-perombakan dan ”laju tinggi” (de Mez et al. 2003).

Teknologi perombakan (perombakan) anaerob merupakan salah satu bagian strategi pengelolaan air limbah atau buangan industri yang cukup berdayaguna dan efektif. Penerapan teknologi ini selain murah dan praktis untuk buangan dengan beban organik, mampu mereduksi energi terkandung dalam limbah untuk pengelolaan lingkungan dan mampu mendegradasi senyawa-senyawa senobiotik maupun rekalsitran (Bitton 1999). Perombakan anaerob secara alami terjadi di sedimen sungai/ aliran dan kolam yang tidak teraerasi cukup, yang mengubah senyawa karbon menjadi gas metan, nitrogen dan asam sulfida (penyusun gas rawa dan sawah), sebagai pengganti karbon dioksida maupun air yang dihasilkan dalam perombakan aerob. Dalam lingkungan anaerob mikroorganisme berperan membebaskan metana dari asam cuka antara lain, Methanosarcina, Methanococcus, Methanobacterium, dan Methanobacillus. Perombakan anaerob secara luas digunakan untuk memantapkan padatan organik terkonsentrasi (memadat/lumpur), dengan BOD lebih besar dari 10,000 mg/l, dipindahkan dari tangki-endap, filter biologik, dan pembangkit lumpur aktif. Beberapa pembangkit menggunakan perombak anaerob sebagai langkah pertama membuang kelebihan zat nitrogen dari aliran sisa sebelum perlakuan aerob (Werner et al. 1989).

Sistem pengolahan dengan perombak anaerob laju tinggi seperti reaktor UASB (Upflow Anaerobic Sludge Blanket), Filter Anaerob (Anaerobic Filter) dan Proses Kontak (Anaerob Contact Process) kurang layak untuk perombakan


(40)

bagian dari suatu sistem beberapa fase. Waktu tinggal lumpur lebih lama dibanding waktu tinggal hidraulik, karena kotoran tertahan dalam reaktor. Sistem laju tinggi lebih baik untuk aliran limbah dengan padatan mengendap rendah. Berbagai jenis perombak pengolahan air limbah digunakan di seluruh dunia, antara lain:

• Proses Kontak; System-Biobulk; • Upflow Anaerobic Sludge Blanket ( UASB); • Anaerobic Film Fixed Reactor (AFFR); • Fixed Film Repair Bed / Fluidized System; • Expanded Granule Sludge Blanket (EGSB); • Hybrid System; • Anaerobic Filter (AF) (Reith et al. 2003).

2.2.1. Prinsip-prinsip proses perombakan anaerob

Dekomposisi anaerob mikrobiologis merupakan proses mikroorganisme tumbuh dan menggunakan energi dengan memetabolisis bahan organik dalam lingkungan anaerob dan menghasilkan metana. Proses perombakan anaerob dapat dibagi menjadi empat tahap berikut, masing-masing menurut karakteristik kelompok mikroorganisme sendiri.

1). Hidrolisis senyawa polimer organik menjadi senyawa sederhana dapat diserap membran sel mikroba. Hidrolisis karbohidrat menjadi monomernya, protein menjadi asam-asam amino, dan lemak atau minyak menjadi asam-asam lemak rantai panjang ataupun alkohol.

2). Fermentasi senyawa sederhana dalam reaksi bertahap. Proses ini merupakan sumber energi populasi non-metanogenik. Fermentasi hasil hidrolisis tersusun berbagai senyawa organik sederhana terutama asam lemak volatil (VFA) gas-gas CO2 dan H2, beberapa asam laktat dan etanol. Tahap ini dikenal sebagai fermentasi asam atau asidogenesis.

3). Banyak hasil reduksi fermentasi asam harus dioksidasi di bawah kondisi anaerob menjadi asam asetat, CO2, dan hidrogen yang akan menjadi substrat bakteri metana. Konversi ini terjadi jika tekanan hidrogen parsial tetap sangat rendah karena asupan hidrogen oleh metanogen. Bakteri pembentuk oksidasi ini adalah bakteri syntrofik atau disebut juga bakteri asetogen atau mikroba obligat pereduksi proton.


(41)

metana: yakni dua tipe reaksi terjadi, pertama CO2 dan H2 diubah menjadi metana dan air, dan tahapan kedua, asetat diubah menjadi metana dan CO2. (Werner et al. 1989).

2.2.2. Faktor-faktor yang berpengaruh pada perombakan anaerob

Perombakan anaerob merupakan proses biologis, yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Faktor pengendali utama antara lain, suhu, pH, dan senyawa beracun (de Mez et al. 2003). Proses perombakan anaerob untuk pembentukan biogas dipengaruhi oleh dua faktor yaitu, biotik dan abiotik. Faktor biotik berupa mikroorganisme dan jasad aktif di dalam proses perombakan sistem anaerob. Faktor abiotik meliputi, pengadukan, suhu, pH, substrat, kadar air substrat, rasio C/N dan P dalam substrat dan kehadiran bahan toksik (Wellinger 1999).

Bioreaktor (perombak) fermentasi dibedakan menurut sistem pengumpanan (feeding), penggunaan suhu, tingkat fermentasi, dan proses fermentasi dua fase. Berdasarkan sistem pengumpanan, fermentasi dibedakan lebih lanjut dalam: tiga macam cara: fermentasi kontinyu, semi kontinyu dan curah. Fermentasi satu tingkat, fermentasi dilakukan dalam satu tangki atau dapat dilakukan pada dua tingkat atau lebih sehingga terjadi waktu retensi lebih lama tapi dekomposisi bahan organik lebih baik. Fermentasi dua fase dirancang menjadi 2 periode, periode pembentukan asam dan periode pembentukan metana. Keuntungan proses dua fase selain pengendaliannya lebih mudah rendeman gas tinggi. Fermentasi kering, sistem filter sering dilakukan dalam penelitian lebih lanjut (Loebis dan Tobing 1992, Metcalf dan Eddy 2003).

Perombak pembangkit biogas secara mendasar terdiri dari dua bagian yaitu, bagian perombakan dan penyimpanan gas. Banyak perombak biogas bersifat curah, limbah organik tinggal dalam tanki selama beberapa waktu dan kemudian dipindahkan setelah produksi gas. Umum perombak kontinyu, lebih efisien, tempat lumpur baru dihasilkan setiap hari, laju produksi gas lebih tinggi per volume perombak, dan mempunyai bagian tambahan tempat komponen bermacam gas bercampur dan bagian akhir tempat lumpur ”masak”. Dalam perombak kontinyu, lebih layak karena mendapat umpan setiap hari. Dimensi


(42)

kuantitas setiap bahan per ton, persentase kandungan bahan organik, dan total padatan (Werner et al. 1989).

Suhu merupakan faktor penting mempengaruhi aktifitas mikroorganisme. Suhu optimal proses perombakan anaerob (fermentasi) dibedakan menjadi tiga macam yaitu suhu termofil (45-60) oC untuk penghancuran cepat dan produksi tinggi (m3 gas/m3 bahan per hari) serta waktu retensi pendek bebas dari desinfektan, suhu mesofil 27-40 oC (suhu kamar ruang/lingkungan), dan suhu kryofil < 22 oC (banyak dipengaruhi udara musim sedang, biaya relatif lebih murah) (Metcalf dan Eddy 2003). Pada kondisi kryofilik, 5-25 oC, proses perombakan berjalan lambat, kondisi mesofilik, 30-40 oC, perombakan berlangsung cukup baik dan terjadi percepatan proses perombakan dengan kenaikan suhu, serta kondisi termofilik, 45-65 oC untuk bakteri termofil dengan perombakan optimal pada 55 oC (NAS 1981, Bitton 1999). Proses perombakan anaerob sangat peka terhadap perubahan suhu, suhu optimal termofil umum pada kisaran 52-58 oC, namun dampak negatif dapat terjadi pada suhu lebih tinggi dari 60oC. Hal ini disebabkan oleh toksisitas ammonia meningkat dengan meningkatnya suhu, sementara pengenceran substrat pada suhu tinggi memudahkan difusi bahan terlarut. Di lain pihak pada suhu di bawah 50 oC laju pertumbuhan bakteri termofil rendah dan lebih rendah dari pada laju tinggal hidraulik. sehingga populasi mikroba dapat tercuci (washout) (Wellinger 1999).

Waktu tinggal merupakan faktor penting, periode waktu tetap dipertahankan antara laju beban ke dalam perombak dan potensi penghilangan bahan yang dicerna (digestat). Dua faktor ini saling berhubungan dan karena itu mempertahankan kondisi optimal kedua parameter penting untuk meningkatkan efisiensi proses perombakan. Perombak anaerob efisien adalah reaktor yang menghasilkan banyak biogas atau jumlah biomas lebih banyak tercernak. Kondisi ini dapat dilakukan dengan mengoperasikan reaktor pada beban input biomas tinggi atau dengan menurunkan waktu tinggal. Pada kondisi operasi sama perombak termofil lebih efisien dari pada perombak mesofil (Lusk1997).


(43)

• Waktu tinggal organik dalam pembangkit biogas lebih singkat karena laju pertumbuhan bakteri termofil lebih tinggi dibandingkan dengan laju pertumbuhan bakteri mesofil.

• Pembasmian organisme patogen lebih baik, ini merupakan keuntungan sangat penting

• Meningkatkan pemisahan bahan padatan dari fase cair • Degradasi asam lemak rantai panjang lebih baik • Residu pembentukan biomas rendah

• Meningkatkan kelarutan dan ketersediaan substrat. Kerugian proses termofil antara lain:

o Derajat ketidakstabilan tinggi

o Jumlah konsumsi energi lebih tinggi/besar

o Risiko hambatan ammonia tinggi (Wellinger 1999).

Interval pH selama pembentukan biogas adalah 6.8-8.5, nilai pH di luar interval ini dapat menyebabkan proses tidak seimbang. Parameter pH berpengaruh pada pertumbuhan bakteri dan mempengaruhi disosiasi ammonia, sulfida dan asam-asam organik, yang merupakan senyawa penting untuk proses perombakan anaerob. Tingkat keasaman perombak anaerob terutama dikendalikan sistem penyangga bikarbonat yang juga dikendalikan oleh tekanan parsial CO2 dan konsentrasi alkali maupun komponen asam fase cair. Beberapa senyawa seperti asam organik dan karbon dioksida menyebabkan penurunan nilai pH, sebaliknya senyawa seperti ammonia akan meningkatkan nilai pH. Nilai pH pada reaktor termofil lebih tinggi dari pada reaktor mesofil (Bitton 1999)

Pembentukan asetat berlangsung selama degradasi substrat dalam perombak anaerob, tetapi akumulasi asetat tidak dapat diketahui langsung dari nilai pH yang menurun. Konsentrasi asetat akan melebihi konsentrasi yang dapat dideteksi sebagai perubahan pH signifikan. Karena itu jika pH dalam reaktor turun menunjukkan konsentrasi asetat tinggi sehingga proses perombakan terhambat. Nilai pH bukan indikator yang baik untuk ketidak seimbangan fermentasi biomas kotoran hewan. Nilai pH yang umum untuk proses fermentasi LCPMKS berkisar pH 6,7 – 8,5,


(44)

2003).

Bakteri campuran terlibat dalam proses perubahan bentuk (tranformasi) senyawa organik kompleks dengan berat molekul tinggi menjadi metana. Interaksi sinergi di antara berbagai kelompok mikroba terjadi pada perombakan anaerob LCPMKS. Dalam kondisi anaerob asam asetat (cuka) direduksi menghasilkan gas metana oleh Methanosarcina, Methanococcus, Methanobacterium, dan Methanobacillus. Terdapat dua kelompok bakteri metanogen penting pada proses anaerob, yaitu metanogen hidrogenotrofik (menggunakan H/ kemolitotrofik) mengubah hidrogen dan CO2 menjadi metana, dan metanogen asetotrofik (asetoklastik) metanogen pemisah asetat, mengubah asetat menjadi metana dan CO2 (Bitton 1999).

Aktifitas mikroorganisme membutuhkan beberapa jenis unsur hara, bergantung pada komposisi kimia bahan sel. Konsentrasi minimum unsur hara yang dibutuhkan sebaiknya ada dalam substrat/media agar dapat menjadi pakan organisme perombakan anaerob (Wellinger 1999). Nutrisi itu adalah: a) Hydrogen H, nitrogen N, oxygen O, dan carbon C sebagai bahan utama penyusun bahan organik b.) Sulphur untuk sintesis asam amino c.) Phosphor: komponen penting dalam asam nukleat d.) Kalium K, kalsium Ca, magnesium Mg, dan besi Fe: dibutuhkan untuk aktifitas ensim dan komponen-komponen logam kompleks.

Sepuluh unsur di atas sebaiknya terdapat dalam konsentrasi sekitar 10-4 M. unsur lain yang sebaiknya terdapat dalam konsentrasi lebih kecil, misalnya Nikel (Ni) penting untuk pertumbuhan bakteri anaerob. Konsentrasi tinggi Ca, Mg, K dan Na dapat menjadi faktor penghambat. Sementara konsentrasi rendah (0,01-0,005 M) kation-kation sel tersebut dapat aktif dan meningkatkan proses perombakan. Akibatnya terjadi hubungan antar kation-kation berbeda (Werner et al. 1989).

Bahan baku (substrat) dengan rasio C/N tinggi dicampur dengan rasio C/N rendah akan memberikan rerata rasio komposisi input sesuai kadar optimal produksi biogas yang diinginkan. Seperti di Cina, rasio C/N seimbang diperoleh dari campuran sekam padi pada dasar perombak dengan kotoran/limbah domestik. Di Nepal dan India pengumpanan perombak dengan kotoran gajah


(1)

(X0 – X3) - (B0 – B3)

BOD3 (ppm)= (1-f)

f X0: Kadar oksigen terlarut dalam contoh pada hari-0

X3 : Kadar oksigen terlarut dalam contoh pada hari-5 B0: Kadar oksigen terlarut dalam blangko pada hari-0

B3 : Kadar oksigen terlarut dalam blangko pada hari-5; f : Faktor pengenceran Penentuan oksigen terlarut:

Contoh dalam botol Winkler yang tertutup ditambahkan 2 ml larutan MnSO4 dengan ujung pipet tercelup pada contoh. Sebanyak 2 ml larutan, alkali-iodida-azida ditambahkan, kemudian botol ditutup dan digoyang beberapa kali selanjutnya didiamkan selama 10-20 menit. Sebagian filtrat yang telah jernih dimasukkan ke dalam Erlenmeyer, sedangkan sebagian yang tertinggal ditambahkan 2 ml H2SO4 dan digoyang sampai seluruh endapan larut. Seluruh sisa filtrasi dituang ke dalam erlenmeyer yang berisi filtrat jernih. Larutan dititrasi dengan thiosulfat sehingga timbul warna coklat muda, dengan penambahan indikator kanji akan berwarna biru. Titrasi dilanjutkan kembali dengan larutan thiosulfat sampai warna biru tepat hilang.

a x N x 8000 OT: Oksigen Terlarut;

OT (Ppm) = N: Normalitas thiosulfat;

mL contoh a: volume titrasi thiosulfat

pH dan suhu. Bahan disediakan: larutan Buffer pH: 4, larutan Buffer pH: 7 dan pH–meter. Elektroda pH-meter dimasukkan ke dalam air suling, dilap dengan tisu lalu dimasukan dalam larutan Buffer pH: 4, bilas dengan air, lap dengan tisu dan dimasukan ke dalam larutan Buffer pH : 7. Pengukuran pada contoh, elektroda dimasukkan kedalam 25 ml contoh dalam piala gelas lalu pH-meter dibaca. Demikian pula untuk pengukuran suhu substrat menggunakan elektroda terpasang.


(2)

Padatan Total (Metode Evaporasi; Greenberg et al. 1992). Sebanyak 25 - 50 ml contoh yang telah diaduk dimasukkan ke dalam cawan dan ditimbang bersama cawan dan dianggap sebagai w2. Sebelum digunakan cawan dibersihkan dan dikeringlcan dalam oven pada suhu 103oC selama satu jam. Setelah itu cawan didinginkan di dalam desikator hingga suhu ruang dan ditimbang (wl). Contoh diuapkan dalam cawan dan diteruskan dengan pengeringan di dalam oven pada sub 103oC, selama satu jam atau hingga bobot konstan. Setelah didinginkan di dalam desikator cawan ditimbang lagi (W3).

(W3 - W1) x 100%

Padatan Total =

(W2 - W1)

Padatan Tersuspensi (Metode Penyaringan dan Evaporasi; Greenberg

et al. 1992). Sebanyak 25 ml contoh yang telah disaring dengan kertas saring

miliporous berdiameter pori 0.4 um (menggunakan pompa vakum) dimasukkan ke dalam cawan aluminium yang telah diketahui bobotnya. Sebelum ditimbang cawan aluminium dibersihkan dan dikeringkan di dalam oven selama satu jam, selanjutnya didinginkan dan ditimbang (w'l). Contoh dalam cawan tersebut diuapkan dan selanjutnya dikeringkan dalam oven hingga dicapai bobot konstan (w3).

(w3 - w1) x 1000 Padatan tersuspensi =

ml contoh

Pengukuran gasbio (metana). Komposisi gasbio (CO2, CH4) dalam reaktor ditetapkan dengan kromatografi gas (Fison GC-8000) yang dilengkapi dua kolom. Chromodsorb teflon 108 (60-80 mesh) dan saringan molekuler (60-80 mesh) lapis baja antikarat. Kolom dihubungkan paralel dengan split 1:1. Nitrogen sebagai gas pembawa dengan total laju gas pembawa 45ml/menit. Suhu kolom, injektor dan


(3)

detektor penghubung suhu masing-masing 40, 110 dan 100 oC. Pengujian aktivitas gas metan diukur dalam kromatografi gas Sigma (Perkin Elmer) dilengkapi detektor penghubung panas 100mA. Gas dipisahkan dengan argon sebagai gas pembawa dalam kolom saringan molekuler pada 100 oC (Weijma et al. 2000).

Penghitungan Rasio Biaya Manfaat. Analisis Biaya Manfaat inidilakukan

terhadap para pengguna gasbio dan produsen dalam hal ini PT Pinago Utama. Analisis ini untuk mengetahui biaya yang harus dikeluarkan untuk kelangsungan proses produksi dengan menggunakan rumus:

1). Analisis biaya internal tanpa eksternal TC = TFC + TVC

TC = Total biaya; TFC = total biaya tetap; TVC = total biaya berubah

2). Analisis biaya internal dengan eksternal: TC = TFC + TVC + EC

TC = Total biaya; TFC = total biaya tetap; TVC = total biaya berubah; dan EC = biaya eksternalitas

3). Analisis penerimaan:

TR = Q x H

TR = penerimaan total; Q = jumlah output terjual; H = harga

4). Analisis pendapatan: N = TR - TC

N = keuntungan; TR = penerimaaan total; TC = biaya total dikeluarkan

Analisis finansial digunakan untuk mengetahui apakah kegiatan usaha penyediaan dan laju penerimaan internal (IRT) layak dilakukan, digunakan rumus sebagai berikut:


(4)

a). Net Present Value:

NPV =

Bn - Cn dan NPV =

Bn – Cn - EC n=1 (1 + i)n n=1 (1 + i)n

Bn = penerimaan minggu (bulan) ke-n; Cn = biaya minggu (bulan) ke-n; i = tingkat suku bunga harian; n = minggu (bulan) ke-n; EC = biaya eksternal

b). Internal Rate Return:

IRR = I1 + (i 2 – i1)

[

NPV

]

NPV1 – NPV2

i1 = tingkat suku bunga (discount rate) yang lebih rendah; i2 = tingkat suku bunga yang lebih tinggi; NPV1 = nilai sekarang pada i1 dan NPV2 = nilai sekarang pada i2

Setelah dilakukan survey kuesioner terhadap pengguna (konsumen) dan analisis biaya penerimaan dilakukan analisis finansial mencakup penghitungan net present value; cost-benefit ratio; dan internal rate return, sedangkan analisis sensistivitas akan dilakukan bila terjadi perubahan harga bahan bakar konvensional skala nasional (Kadariah 1988, Kadarsan 1995).

Padatan mudah uap (Volatile Solids) (Greenberg et al. 1992). Setelah penetapan padatan total kemudian dibakar pada suhu 550oC selama 3 jam dengan menggunakan furnace lalu didinginkan dalam desikator dan timbang sampai bobot tetap.

(W3 – WO) x 1000 Padatan Total (ppm) = ml contoh

Asam lemak mudah uap (Volatile Fatty Acids) (Greenberg et al. 1992).

Bahan pereaksi disediakan: H2SO4 50%, indikator PP, Anti–foam ICI Sictol AF dan Larutan BaOH / NaOH 0,01 N. Pemeriksaan limbah contoh dipipet 5 ml LCPMKS


(5)

contoh, ditambahkan 2 ml H2SO4 dan 1 tetes anti-foam lalu disuling dan biarkan sampai volume mencapai 50 ml. Ditambahkan 2 tetes indikator PP kemudian titar dengan larutan BaOH / NaOH 0,01 N sampai terjadi perubahan warna menjadi merah muda.

Kadar Lemak Kasar (Metode Ekstraksi, AOAC 1984). Sebanyak 2 - 3

gram contoh bebas air diekstraksi dengan pelarut n-hexan dalam alat soxhlet selama kurang lebih 6 jam. Hasil ekstraksi diuapkan pelarutnya dengan dikering-anginkan, kemudian dipanaskan dalam oven bersuhu 105oC hingga diperoleh bobot yang tetap.

bobot lemak (g)

Kadar lemak = X 100

bobot contoh (g)

Kadar Nitrogen Total (Metode Mikro-Kejdahl, Greenberg et al. 1992).

Contoh sebanyak 0,25 g dimasukkan ke dalam labu Kjedahl 100 ml ditambah 1 g campuran katalisator selen dan 10 ml asam sulfat pekat lalu dipanaskan diatas alat dekstruksi, sampai larutan berwarna jernih. Setelah dingin ditambah 10 ml air dan dipindahkan kedalam labu takar 50 ml ditepatkan sampai tanda tera dengan air suling. Larutan dalam labu takar dipipet 10 mi dimasukan ke dalam alat destilasi, ditambahkan 15 ml natrium hidroksida 30 %. Hasil destilasi ditampung dengan 25 ml asam borat 1% dengan beberapa tetes indikator Conway. Penyulingan dihentikan setelah 10 menit dari perubahan warna indikator pada larutan penampung. Hasil destilasi dititrasi dengan HCl 0,05 N sampai titik akhir titrasi berupa perubahan warna dari biru menjadi merah. Perlakuan yang sama dilakukan untuk blanko. Volume medium dicatat sebagai data hasil percobaan.

Kadar N total = (ml Contoh - ml Blanko) x Fp x N HCl x 14 x 100%


(6)

Kadar asam organik (AOAC 1984). Asam organik bereaksi dengan NaOH menjadi garam basa karena NaOH adalah basa kuat dan sebaliknya asam organik merupakan asam lemah. Phenolphtalin dipergunakan sebagai indikator pada pH 8,9. Untuk pengukurannya disiapkan 700 mg limbah cair contoh dibilas dalam air suling sebanyak 100 ml lalu diencerkan hingga tanda garis pada labu. Larutan ini sebanyak 25 ml dipipetkan ke dalam erlenmeyer 250 ml dibubuhi 3 tetes indikator PP lalu dititar dengan NaOH 0,1 N sampai warna merah muda timbul.

Penetapan rasio C/N (AOAC 1984). Perhitungan nilai karbon (C)

didasarkan perhitungan nilai COD, bahwa 1 gr COD setara dengan 0,5 g C. Dengan demikian nilai C adalah 0,5COD. Nilai N dapat ditentukan dengan metode analisis N total di atas.