Proses Produksi Bioinsektisida Bacillus thuringiensis Isolat Lokal Menggunakan Limbah Agroindustri pada Kultivasi Media Padat.

PROSES PRODUKSI BIOINSEKTISIDA Bacillus thuringiensis
ISOLAT LOKAL MENGGUNAKAN LIMBAH AGROINDUSTRI
PADA KULTIVASI MEDIA PADAT

RINI PURNAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Proses Produksi
Bioinsektisida Bacillus thuringiensis Isolat Lokal Menggunakan Limbah
Agroindustri pada Kultivasi Media Padat adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Rini Purnawati
NIM F 361090131

RINGKASAN
RINI PURNAWATI. Proses Produksi Bioinsektisida Bacillus thuringiensis Isolat
Lokal Menggunakan Limbah Agroindustri pada Kultivasi Media Padat.
Dibimbing oleh TITI CANDRA SUNARTI, KHASWAR SYAMSU dan
MULYORINI RAHAYUNINGSIH
Meningkatnya kesadaran akan perlunya insektisida yang aman, maka
sekarang penggunaan bioinsektisida semakin diminati oleh petani yang ingin
memproduksi sayur dan buah yang aman untuk dikonsumsi. Begitu juga dalam
mengendalikan larva nyamuk yang dapat menjadi vektor beberapa penyakit
berbahaya, penggunaan insektisida yang aman sangat diperlukan agar tidak
mencemari tanah, perairan maupun mahluk hidup yang lain. Keunggulan
menggunakan bioinsektisida mikrobial adalah aman, ramah lingkungan, spesifik
terhadap hama serangga tertentu, tidak berbahaya bagi binatang peliharaan, tidak
mengakibatkan residu pada hasil pertanian dan tanah.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan proses produksi

bioinsektisida (Bacillus thuringiensis) menggunakan isolat lokal dengan starter
dan media kultivasi menggunakan hasil samping agroindustri, dengan cara
kultivasi media padat, sehingga diperoleh bioinsektisida yang murah dan mudah
untuk diproduksi. Adapun tujuan masing-masing tahapan adalah didapat
karakteristik isolat yang cocok untuk kultivasi media padat dan cocok dengan
lingkungan iklim di Indonesia, pengembangan starter dari limbah agroindustri,
merancang kondisi proses produksi kultivasi media padat menggunakan limbah
agroindustri, dan evaluasi dan analisis efikasi pada serangga sasaran.
Tahapan penelitian dimulai dari isolasi isolat dari bangkai ulat Attacus atlas
dan Bombyx mori. Isolat yang diperoleh selanjutnya dikarakterisasi dan
diidentifikasi hingga diperoleh B. thuringiensis, dari kedua isolat yang diperoleh,
dipilih salah satu yang paling cocok untuk kultivasi media padat. Tahap
berikutnya adalah pemilihan media starter dari limbah agroindustri, dilanjutkan
dengan produksi bioinsektisida menggunakan media campuran ampas sagu dan
ampas iles-iles dengan cara kultivasi media padat. Bioinsektisida yang dihasilkan
dikarakterisasi kadar asam amino, profil protein dan kemampuan toksisitas
terhadap larva A. aegepty dan larva C. pavonana
B. thuringiensis yang menghasilkan endotoksin yang berfungsi sebagai
bahan aktif biopestisida dapat diisolasi dari bangkai ulat A. atlas dan B. mori dari
Bogor-Indonesia. Karakteristik isolat dari ulat A. atlas, bakteri tersebut termasuk

Gram positif, memiliki flagela, koloni berbentuk punctiform, berlendir, berwarna
putih, sel vegetatif berbentuk batang dengan ukuran panjang sekitar 1700 nm dan
lebar sekitar 830 nm serta kristal protein yang dihasilkan berbentuk bulat, dengan
diameter 470-770 nm, serta diameter spora sekitar 550-750 nm. Karakteristik
isolat dari ulat B. mori, bakteri tersebut termasuk Gram positif, tidak memiliki
flagela, koloni berbentuk circular, berlendir, berwarna putih, sel vegetatif
berbentuk batang dengan ukuran panjang sekitar 3900-9500 nm dan lebar sekitar
830 nm serta kristal protein yang dihasilkan berbentuk bulat, bipiramid dan kubus
dengan ukuran 300-700 nm, serta diameter spora sekitar 500-770 nm.
Rekonstruksi pohon philogenetik menunjukkan kedua isolat tersebut satu kluster
dengan B. thuringiensis.

Isolat terpilih dari kedua isolat untuk produksi bioinsektisida dengan
kultivasi media padat adalah yang berasal dari A. atlas. Pemilihan isolat
berdasarkan pada sifat motilitas lebih tinggi, pertumbuhan sel, jumlah spora yang
dihasilkan, dan toksisitasnya terhadap serangga uji.
Media starter dipilih dengan melihat pertumbuhan B. thuringiensis pada
media limbah cair tahu, limbah cair tahu ditambah urea, air kelapa, dan nutrient
broth. Diperoleh hasil tertinggi pada limbah cair tahu dengan jumlah sel
maksimum sebesar 10.51 (Log CFU/mL), jumlah spora maksimum sebesar 8.67

(Log CFU/mL), dan laju pertumbuhan sel maksimum 0.052 jam-1. Media starter
menggunakan limbah cair tahu cocok digunakan sebagai media starter B.
thuringiensis.
Selama kultivasi ketebalan media dan pemberian aerasi berpengaruh
terhadap pH, pertumbuhan sel, jumlah spora, dan konsumsi substrat.
Bertambahnya ketebalan substrat menyebabkan pH media semakin rendah dan
jumlah sel serta spora yang dihasilkan semakin rendah. Begitu juga kemampuan
toksisitas semakin menurun. Pemberian aerasi memberi pengaruh yang lebih baik
karena dapat meningkatkan jumlah sel, jumlah spora dan asam amino yang
terbentuk.
Toksisitas terhadap larva nyamuk A. aegepty maupun larva C. pavonana
tidak dipengaruhi oleh jumlah sel, sedangkan jumlah spora memperlihatkan
semakin tinggi spora semakin tinggi nilai toksisitasnya. Berarti pembentukan
spora sejalan dengan pembentukan protein kristal. Bioinsektisida yang dihasilkan
memiliki daya toksisitas terhadap larva C. pavonana (golongan Lepidoptera) dan
larva nyamuk A. aegepty (golongan Diptera), tetapi lebih efektif terhadap larva A.
aegepty. Kemampuan toksisitas tertinggi terhadap larva nyamuk A. aegepty
sebesar LC50 0.03 mg/mL dan terhadap larva C. pavonana sebesar LC50 0.33
mg/mL.


Kata kunci: Bioinsektisida, kultivasi padat, Bacillus thuringiensis, ampas sagu,
ampas iles-iles

SUMMARY
RINI PURNAWATI. Production Process of Bioinsecticide Bacillus thuringiensis
Local Isolates Production using Agroindustry Waste by Solid-state Cultivation.
Supervised by TITI CANDRA SUNARTI, KHASWAR SYAMSU and
MULYORINI RAHAYUNINGSIH
Due to increased awareness of the need for safe insecticide, currently the
use of bioinsecticide is increasingly in demand by farmers who want to produce
vegetables and fruits safe for consumption. Also, it is used in the control of
mosquito larvae that can be vectors of several dangerous diseases. The use of safe
insecticides is needed, so as not to pollute the soil, water and other living
creatures. The advantages of using microbial bioinsecticide are safe,
environmentally friendly, specific to certain insect pests, not harmful to pets, do
not result in residues on crops and soil.
The purpose of this research was to develop the production process of
bioinsecticide (Bacillus thuringiensis) using local isolates with starter and
cultivation media of agroindustrial by products, using solid state cultivation, in
order to obtain bioinsecticide that is cheap and easy to produce. The purpose of

each stage are to obtained isolate characteristics suitable with the solid state
cultivation and suitable with climatic environment in Indonesia, development of
starter from agroindustrial waste, design the condition of solid state cultivation
production process using agroindustrial waste, and for evaluation and analysis of
efficacy in the target insects.
The stages of research began from isolate isolation from Attacus atlas and
Bombyx mori caterpillar carrions. Isolates further obtained were then
characterized and identified to obtain B. thuringiensis, from both isolates
obtained, it was then selected one of the most suitable for solid state cultivation.
The next stage was the selection of starter medium from agroindustrial waste,
followed by a bioinsecticide production using the mixed media of sago lees and
iles-iles lees by solid state cultivation. Bioinsecticide produced was characterized
by amino acid content protein profiles and toxicity ability against A. aegepty
larvae dan C. pavonana larvae.
B. thuringiensis producing endotoxins that served as a bioinsecticide active
ingredient could be isolated from A. atlas and B. mori caterpillar carrions from
Bogor, Indonesia. The isolate characteristics of A. atlas caterpillar are the
bacteria belonging to Gram-positive, having flagella, punctiform shaped colonies,
slimy, white, rod-shaped vegetative cells with a length of approximately 1700 nm
and a width of about 830 nm. The protein crystals yielded are spherical, with a

diameter of 470-770 nm, and diameter of spore of 550-750 nm. The isolate
characteristics of B. mori caterpillar are, belonging to Gram-positive bacteria,
motile, circular, white and slimy, long and round vegetative cells with a length
approximately of 3900-9500 nm and a width approximately of 830 nm. The
protein crystals yielded are spherical, bipyramid and cuboid with a size of 300700 nm, and diameter of spore of 500-750 nm. Philogenetic tree reconstruction
showed that both isolates are in the same cluster with B. thuringiensis.
Of two selected isolates, for bioinsecticide production by solid state
cultivation is isolates from A. atlas. Selection of isolate is based on the nature of

higher motility characteristic, cell growth, the number of spores produced and
their toxicity against the test insects.
Starter media is selected based on the growth parameters of B.
thuringiensisin tofu whey media, tofu whey plus urea, coconut water, and nutrient
broth. It is obtained the highest results in tofu whey with the maximum number of
cells of 10.51 (log CFU/mL), the maximum number of spores of 8.67 (log
CFU/mL), and the maximum cell growth rate of 0.052 hour-1. Starter media uses
tofu whey suitable to be used as the starter media of B. thuringiensis.
During cultivation, media thickness and aeration provision effect pH, cell
growth, the number of spores, and substrate consumption. increasing thickness of
substrate causes pH decrease, and resulting decrease in cell growth, spores

and substrate consumption. Like wise, the ability toxicity is decreasing. Aeration
provision gives a better effect because it can increase the number of cells, the
number of spores and amino acids formed.
Toxicity to mosquito larvae and caterpillar larvae are not affected by the
number of cells, where as the number of spores shows that the higher the spore is
the higher the toxicity value is. It means that the formation of spores is in line with
the formation of crystalprotein. Bioinsecticide produced has a toxicity against C.
pavonanalarvae (Lepidoptera group) and A. aegypti (Diptera groups), but it is
more effective against A. aegypti larvae. The ability of the highest toxicity against
A. aegypti larvae is equal to LC50 0.03 mg/mL and against C. pavonana is equal
to LC50 0.33 mg/mL.
Keywords: Bioinsecticide, solid-state cultivation, B. thuringiensis, solid waste
sago, solid waste iles-iles.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PROSES PRODUKSI BIOINSEKTISIDA Bacillus thuringiensis
ISOLAT LOKAL MENGGUNAKAN LIMBAH AGROINDUSTRI
PADA KULTIVASI MEDIA PADAT

RINI PURNAWATI

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014


Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Ir Moh Yani, M Eng
Dr Ir Liesbetini Hartoto, MS

Penguji pada Ujian Terbuka: Prof Dr Ir Dadang, MSc
Prof (Riset) Dr Ir Nur Richana, MSi

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2011 hingga
Desember 2014 ialah Proses Produksi Bioinsektisida Bacillus thuringiensis Isolat
Lokal Menggunakan Limbah Agroindustri pada Kultivasi Media Padat.
Banyak pihak telah membantu penulis dalam penyelesaian karya ilmiah ini,
untuk itu penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus
kepada:
1. Dr Ir Titi Candra Sunarti, MSi, Prof Dr Ir Khaswar Syamsu, MScSt. dan Dr Ir
Mulyorini Rahayuningsih, MSi yang telah memberi bimbingan dan arahan sejak
awal penyusunan proposal penelitian hingga penulisan karya ilmiah ini.
2. Dr Ir Liesbetini Haditjaroko, MS dan Dr Ir Mohammad Yani, M Eng yang telah

berkenan selaku penguji dalam ujian tertutup. Prof Dr Ir Dadang, MSc dan Prof
(R) Dr Ir Nur Richana, MSi yang telah berkenan selaku penguji dalam ujian
terbuka.
3. Rektor IPB, Dekan FATETA, Ketua Departemen Teknologi Industri Pertanian
FATETA atas ijin untuk melanjutkan pendidikan dan dukungan berupa moril
maupun materiil kepada penulis hingga penulis bisa menyelesaikan pendidikan.
4. Tenaga kependidikan FATETA khususnya dari Departemen TIN atas dorongan
semangat dan bantuan kepada penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan
pendidikan.
5. Kedua orangtuaku yang selalu berdoa dan melimpahkan kasih sayangnya buat
penulis. Kepada anak-anakku tersayang Fatih Anantamukhta dan Maulana Fatah
Purbawisesa terima kasih atas kerelaannya berbagi waktu, perhatian dan doa
selama penyelesaian studi. Kepada adik-adiku Arif Setiawan, Triza Pahala
Setianto, Indria Wahyu Mulsanti, serta seluruh keluarga besar terima kasih atas
doa dan kasih sayangnya.
6. Tidak lupa kepada teman-teman TIP-S3-2009 (Andes, Ade, Dwi, Fakih, Ida, Ike,
Indri, Meilita, Mersi, Rahman, Sidik, Sugiarto, Suharman, Syarifudin, Vina dan
Wiwin) semoga kebersamaan dan kekompakan kita tidak berhenti dengan
selesainya pendidikan S3 ini.
7. Serta kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang sudah
membantu penulis menyelesaikan penelitian hingga karya tulis ini terwujud.
Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014
Rini Purnawati

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xiii

DAFTAR GAMBAR

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

xiv

DAFTAR ISI

vi

1 PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
1. 2 Perumusan Masalah dan Klaim Kebaruan
1. 3 Tujuan Penelitian
1. 4 Manfaat Penelitian
1. 5 Ruang Lingkup Penelitian

1
1
3
4
4
4

2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bacillus thuringiensis (Bt.)
2.2 Kristal Protein
2.3 Kultivasi Substrat Padat
2.4 Media Kultivasi Bacillus thuringiensis
2.5 Kondisi Kultivasi Bacillus thuringiensis

6
6
7
8
9
10

3 METODE
3.1 Kerangka Pemikiran
3.2 Metodologi Penelitian
3.3 Bahan
3.4 Alat
3.5 Tahapan Penelitian
3.6 Analisis Nilai Tambah Ampas Sagu dan Ampas Iles-iles sebagai Media
Tumbuh Bacillus thuringiensis

11
11
11
12
13
13
20

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
22
4.1 Karakteristik dan Identitas Isolat
22
4.2 Penapisan Isolat
30
4.3 Media untuk Produksi Inokulum (Starter)
32
4.4 Produksi Bioinsektisida Menggunakan Ampas Sagu dan Ampas Iles-iles 39
4.5 Karakteristik Produk
49
4.6 Potensi Aplikasi Bioinsektisida
55
4.7 Analisis Nilai Tambah Limbah Cair Tahu, Ampas Sagu dan Ampas Ilesiles sebagai Media Starter dan Media Kultivasi
56
SIMPULAN DAN SARAN

58

DAFTAR PUSTAKA

59

LAMPIRAN

67

RIWAYAT HIDUP

85

DAFTAR TABEL
1 Subspesies Bacillus thuringiensis untuk kelompok serangga sasaran
2 Model Perhitungan Nilai Tambah
3 Hasil BLAST sekuen gen 16S rRNA isolat A dan B
4 Komposisi proksimat nutrient broth, limbah cair tahu dan air kelapa
5 Kandungan karbon dan nitrogen pada media starter
6 Komposisi mineral media starter
7 Parameter kinetika kultivasi B. thuringiensis pada berbagai media limbah
8 Komposisi kimia dan sifat fisik ampas sagu dan ampas iles-iles
9 Kandungan mineral pada ampas sagu dan ampas iles-iles
10 Parameter kinetika kultivasi produksi bioinsektisida pada beberapa
ketebalan
11 Kadar asam amino hasil kultivasi tanpa aerasi dan dengan aerasi
12 Toksisitas produk bioinsektisida terhadap larva nyamuk A. aegepty
13 Toksisitas produk bioinsektisida terhadap larva Crocidolomia pavonana
14 Toksisitas B. thuringiensis yang dihasilkan dari berbagai media kultivasi
dan serangga sasaran yang berbeda
15 Hasil perhitungan nilai tambah limbah cair tahu, ampas sagu dan ampas
iles-iles

8
21
29
33
33
34
38
39
40
46
50
52
52
53
57

DAFTAR GAMBAR
1 Diagram alir tahapan kegiatan penelitian
2 Diagram alir isolasi mikroba
3 Diagram alir proses pemilihan media inokulum
4 Diagram alir proses kultivasi produksi bioinsektisida
5 Bioreaktor untuk kultivasi tanpa aerasi
6 Bioreaktor untuk kultivasi dengan aerasi
7 (a) Koloni isolat A dan (b) Koloni isolat B pada media nutrient agar
8 Isolat A
9 Isolat B
10 (a) Kristal protein isolat A (b) Kristal protein Bti Federici et al.(2010)
11 (a) Kristal protein isolat B (b) Kristal protein Btk Federici et al.(2010)
12 Profil protein isolat A (lajur A), isolat B (lajur B) dan marker bobot
molekul (lajur M)
13 Hasil pewarnaan Gram isolat A (a) dan isolat B (b)
14 Hasil isolasi DNA isolat A (lajurA), isolat B (lajur B), Produk komersial
Bactospeine WP (lajur C) dan marker DNA ladder (lajur M)
15 Produk PCR isolat A (lajur A) dan isolat B (lajur B)
16 Urutan nukleotida fragmen DNA 16S rRNA isolat A
17 Urutan nukleotida fragmen DNA 16S rRNA isolat B
18 Pohon filogenetik gen 16S rRNA isolat A dan isolat B
19 Pertumbuhan sel isolat A dan isolat B
20 Jumlah spora hidup isolat A dan isolat B
21 Perubahan pH selama kultivasi pada media NB, LCT, LCTU dan AK

12
14
16
17
18
19
22
23
23
24
24
25
26
27
27
28
28
29
31
31
35

22 Perubahan Total gula selama kultivasi pada media nutrient broth, limbah
cair tahu dan limbah cair tahu dengan urea.
23 Pertumbuhan sel selama kultivasi pada media nutrient broth, limbah cair
tahu, limbah cair tahu dengan urea dan air kelapa
24 Produksi spora selama kultivasi pada media nutrient broth, limbah cair
tahu dan limbah cair tahu dengan urea
25 Hubungan kadar air dengan aktivitas air pada media campuran ampas
sagu dan ampas iles-iles
26 Pengaruh ketebalan media terhadap perubahan pH selama kultivasi
27 Pertumbuhan sel selama kultivasi
28 Hubungan pertumbuhan sel dengan ketebalan media
29 Hubungan pembentukan spora dengan lama kultivasi
30 Hubungan jumlah spora dengan ketebalan media
31 Hubungan kadar gula dengan lama kultivasi
32 Perubahan bobot sisa selama kultivasi
33 Hubungan bobot sisa dengan ketebalan media pada jam ke-144
34 Perubahan pH selama kultivasi pada kultivasi tanpa aerasi (TA) dan
dengan aerasi(DA)
35 Perubahan suhu substrat selama kultivasi pada kultivasi tanpa aerasi(TA)
dan dengan aerasi (DA)
36 Pertumbuhan sel selama kultivasi pada kultivasi tanpa aerasi(TA) dan
dengan aerasi (DA)
37 Pembentukan spora selama kultivasi pada kultivasi tanpa aerasi(TA) dan
dengan aerasi(DA)
38 Profil pita protein yang dihasilkan pada kultivasi tanpa aerasi(TA) dan
dengan aerasi (DA)
39 Pengaruh jumlah sel terhadap LC50 pada larva A. aegepty (a) dan C.
pavonana (b)
40 Pengaruh jumlah spora terhadap LC50 pada larva A. aegepty (a) dan C.
pavonana (b).

36
36
37
40
41
42
43
44
44
45
45
46
47
48
48
49
51
54
54

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Prosedur analisis karakterisasi dan identifikasi mikroba
Prosedur analisa hasil kultivasi
Prosedur analisa komposisi bahan baku
Hasil analisis Anova pengaruh lama kultivasi dan ketebalan substrat
terhadap jumlah sel hidup
Hasil analisis Anova pengaruh lama kultivasi dan ketebalan substrat
terhadap jumlah spora
Hasil analisis Anova pengaruh lama kultivasi dan ketebalan substrat
terhadap sisa total gula
Contoh perhitungan penambahan air untuk mengatur kadar air
Contoh perhitungan komposisi rasio C dan N pada media fermentasi
Contoh penentuan LC50 menggunakan program Probit Quant

67
72
75
79
80
81
82
83
84

1 PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Pestisida kimia yang digunakan untuk mengendalikan hama dapat
membahayakan jiwa manusia karena residu pestisida dalam sayur dan buah dapat
menyebabkan berbagai penyakit, serangga non target akan terkena dampaknya,
dan hama menjadi resisten. Meningkatnya kesadaran akan perlunya insektisida
yang aman, menyebabkan penggunaan bioinsektisida semakin diminati oleh
petani yang ingin memproduksi sayur dan buah yang aman untuk dikonsumsi.
Begitu juga dalam mengendalikan larva nyamuk yang dapat menjadi vektor
beberapa penyakit berbahaya, penggunaan insektisida yang aman sangat
diperlukan agar tidak mencemari tanah, perairan maupun mahluk hidup yang lain.
Keunggulan menggunakan bioinsektisida mikrobial adalah aman, ramah
lingkungan, spesifik terhadap hama serangga tertentu, tidak berbahaya bagi
binatang peliharaan, tidak mengakibatkan residu pada hasil pertanian dan tanah
(Ellis, 2004).
Keberhasilan aplikasi bioinsektisida mikrobial tergantung pada spesies
mikroorganisme, sifat serangga sasaran, serta potensi untuk dapat diproduksi
dalam skala besar menggunakan formulasi yang tepat dan bersifat ekonomis
(Dulmage et al.1990). Produksi bioinsektisida dipengaruhi oleh komposisi media
dan Menurut Mumigati dan Raghunathan (1990) komposisi media berpengaruh
terhadap pertumbuhan dan toksisitas Bacillus thuringiensis.
B. thuringiensis merupakan bioinsektisida mikrobial yang cukup banyak
digunakan dibandingkan yang berasal dari miroba yang lain. Bakteri ini adalah
bakteri Gram positif, berbentuk batang, dan memiliki kemampuan menghasilkan
kristal protein selama masa sporulasinya. Sebagai pengendali hayati, spora dan
kristal protein ini dapat bersifat racun pada sistem pencernaan serangga (Valicente
dan Maurao 2008).
Produk komersial Bt telah beredar di pasaran dengan merk dagang Agritol,
Vectobac, Dipel, Thuricide dari USA, Bathurin dari Cheko, Biosphor dari Jerman,
Aquabac, Teknar, Bactimos dan lain-lain. Semua produk ini masih impor
sehingga diperlukan devisa yang cukup besar untuk membelinya. Oleh sebab itu
perlu dilakukan upaya untuk memproduksi sendiri bioinsektisida tersebut,
sehingga dapat menghindari ketergantungan akan bahan-bahan impor.
Sebenarnya industri bioinsektisida cukup potensial untuk dikembangkan di
Indonesia. Hal ini didukung oleh adanya galur lokal dan bahan media tumbuh
berbasis agroindustri yang melimpah dan murah. Sesuai pendapat Devi dan Rao
(2005) hasil samping produk pertanian adalah bahan yang dapat dimanfaatkan
sebagai media pertumbuhan mikroba karena merupakan bahan organik dan juga
mengandung trace element yang dibutuhkan untuk pertumbuhan sel.
Kondisi geografis yang berbeda menunjukkan perbedaan genetik dan daya
toksisitas B. thuringiensis. Habitat yang berbeda memungkinkan didapat isolatisolat yang baru dengan potensi daya toksisitas yang lebih efektif. Sebab itu
banyak penelitian dilakukan untuk mendapatkan native strain B. thuringiensis dari
lingkungan yang berbeda-beda seperti dari tanah, biji-bijian, debu, feses hewan,

2
jerami dan batang pohon, serta lokasi yang berbeda, dengan tujuan untuk
memperoleh strain B. thuringiensis yang baru dengan potensi daya toksisitas
tinggi dan serangga sasaran yang lebih luas (Apaydin 2004; Maheswaran et al.
2010 dan Patel et al. 2009).
Pada penelitian ini isolat mikroba diisolasi dari larva Attacus atlas dan
Bombyx mory yang mati. Pemilihan sumber isolat dari bangkai ulat A. atlas karna
ulat tersebut memiliki ukuran yang cukup besar dengan panjang larva sekitar 3 cm
dan ulat dewasa mencapai 17 cm. Ulat tersebut pemakan daun sirsak, Daun sirsak
diketahui bisa dimanfaatkan sebagai bioinsektisida. Mikroba yang dapat
mematikan ulat yang cukup tahan tersebut, diharapkan mampu juga mematikan
ulat atau serangga yang lain. Bangkai ulat B. mory dipilih berdasarkan lokasi, dari
daerah dataran tinggi. Kedua bangkai ulat dipilih yang berwarna hitam, sesuai ciri
khas B. thuringiensis apabila menginfeksi ulat akan berwarna hitam, sehingga
diharapkan isolat yang diperoleh adalah B. thuringiensis.
Media untuk kebutuhan industri perlu dicari media semurah mungkin,
untuk menekan biaya produksi. Alternatif yang dapat dipilih sebagai media
murah adalah limbah agroindustri. Limbah cair industri tahu dapat menjadi
alternatif untuk media perbanyakan inokulum (starter) B. thuringiensis, karena
memiliki komposisi kimia dengan kandungan air 98.63%, nitrogen 0.02%,
karbon 0.27% dan mineral 0.43% (Nelly, 2012). Air kelapa memiliki
kandungan gizi yang cukup bagus, menurut Hasbullah (2001) air kelapa
mengandung air 95.5%, protein 0.2%, lemak 1.0%, karbohidrat 3.8%, dan
kalsium 0.015%. Bahan-bahan tersebut diperlukan pada pertumbuhan sel baru,
spora dan endotoksin (Valicente dan Mourao 2008). Ampas sagu dan ampas
iles-iles mengandung pati yang tinggi. Ampas sagu masih mengandung pati
51.53% (Asben et al. 2012) dan ampas iles-iles masih mengandung pati 34 %
(Syaefullah 1990). Pati yang terkandung pada kedua bahan tersebut dapat
dimanfaatkan sebagai sumber karbon. Protein dapat dimanfaatkan sebagai
sumber nitrogen, sedangkan mineral akan membantu pertumbuhan sel dan
pembentukan endotoksin, serta kandungan serat sebesar 14% pada ampas sagu
(Awg-Adeni et al. 2010) akan memberikan sifat porus pada media, sehingga akan
memperbaiki kondisi kultivasi media padat.
Penelitian tentang penggunaan produk samping industri pertanian sebagai
sumber karbon untuk memproduksi bioinsektisida B. thuringiensis telah banyak
dilakukan di Indonesia, tetapi pada umumnya menggunakan media cair atau semi
padat (Syamsu et al. 2007, Susanti dan Blondin 2013, Nelly 2012). Untuk
penerapan di industri bila akan dilakukan kultivasi substrat cair dibutuhkan modal
yang cukup besar dan teknologi yang tidak sederhana.
Produksi bioinsektisida secara komersial sangat penting. Dalam rangka
meningkatkan produksi diperlukan sumber daya manusia, teknologi peralatan
produksi, ketersediaan bahan baku yang murah, serta mikroorganisme yang
mudah beradaptasi. Hal ini akan mengurangi biaya produksi dan meningkatkan
jumlah produk yang dihasilkan sehingga berpengaruh baik untuk kepentingan
pertanian dan program kesehatan (Devi dan Rao 2005)
Kultivasi menggunakan media padat memiliki beberapa keunggulan
diantaranya adalah menghemat ruang, tidak menghasilkan limbah cair yang
banyak, kondisi pertumbuhan bakteri sama dengan di alam, kontrol terhadap
kontaminasi relatif lebih mudah, alat-alat yang digunakan relatif lebih sederhana,

3
sehingga mengurangi biaya proses membuat produk menjadi lebih murah
(Bhargav et al. 2008) Beberapa penelitian menunjukan B. thuringiensis dapat
tumbuh pada kultivasi media padat menggunakan berbagai media, baik pada
media produk pertanian maupun bila menggunakan limbah pertanian, limbah
industri maupun limbah rumah tangga (Capablo et al. 2001, Devi dan Rao 2005,
Zuang et al. 2011, Zang et al. 2013)
1. 2 Perumusan Masalah dan Klaim Kebaruan
Bioinsektisida yang dijual di pasaran masih merupakan produk impor. Oleh
sebab itu agar dapat diproduksi sendiri perlu dicari teknologi proses produksi
bioinsektisida yang mudah, sederhana dan murah. Menurut Dulmage dan Rhodes
(1971) keberhasilan produksi bioinsektisida terutama dipengaruhi oleh galur
bakterinya dan medium kultivasi yang digunakan, metode pemanenan (recovery)
produk, serta faktor lingkungan yang mempengaruhi proses kultivasi.
Perbanyakan inokulum dari nutrient agar sebelum diinokulasi ke medium
kultivasi menggunakan nutrient broth (Foda et al. 2010; Capablo et al. 2001;
Dulmage et al. 1990). Pada industri umumnya digunakan glukosa. Penggunaan
media komersial nutrient broth harganya cukup mahal, begitu pula glukosa, sirup
jagung dan lain-lain, meskipun lebih murah dari NB masih relatif mahal, sehingga
perlu dicari alternatif bahan lain yang relatif lebih murah agar dapat menekan
biaya produksi.
Limbah agroindustri cukup melimpah dan belum seluruhnya termanfaatkan
sehingga dapat menyebabkan pencemaran lingkungan. Limbah cair tahu, ampas
sagu dan ampas iles-iles mengandung karbon, nitrogen dan mineral yang dapat
dimanfaatkan sebagai media tumbuh Bt. sehingga pemanfaatan bahan tersebut
dapat menekan biaya produksi
Produksi bioinsektisida pada umumnya menggunakan kultivasi substrat
kultur cair, bila akan dikembangkan pada skala industri, dibutuhkan modal yang
cukup besar dan teknologi yang tidak sederhana, sehingga investor di Indonesia
cenderung tidak tertarik untuk membangun industri tersebut.
Setiap bioisektisida memiliki toksisitas yang spesifik. Informasi mengenai
karakteristik bioinsektisida yang dihasilkan dari isolat lokal dengan cara kultivasi
media padat menggunakan campuran ampas sagu dan iles-iles perlu diamati.
Kebaruan dari penelitian ini adalah digunakannya isolat lokal yang baru dari
bangkai ulat A. Atlas. Isolat tersebut tergolong galur yang baru, berbeda dengan
galur yang sudah ada pada bank Gen. Media perbanyakan inokulum (starter)
menggunakan limbah cair tahu, karena limbah cair tahu mengandung karbon,
nitrogen dan trace element yang dibutuhkan untuk pertumbuhan sel dan sporulasi
Bacillis thuringiensis, terutama Ca yang dapat meningkatkan pembentukan spora,
disamping jumlahnya berlimpah dan masih banyak yang belum termanfaatkan.
Media produksi menggunakan campuran ampas sagu dan ampas iles-iles.
Keduanya mengandung pati yang tinggi, nitrogen serta trace element yang
lengkap untuk kebutuhan pertumbuhan sel dan sporulasi. Ampas sagu memiliki
serat yang tinggi sehingga akan memberikan sifat porus pada media, sedangkan
ampas iles-iles mengandung glukomanan yang mengikat air sehingga dapat
menjaga kelembaban media. Mencampurkan kedua bahan tersebut akan
memperbaiki kinerja substrat untuk pertumbuhan B. thuringiensis pada kultivasi

4
media padat. Cara produksi menggunan teknologi yang sederhana sehingga akan
mudah untuk dibuat meskipun oleh industri skala rumah tangga.
1. 3 Tujuan Penelitian
Tujuan akhir penelitian ini adalah untuk mengembangkan proses produksi
bioinsektisida (B. thuringiensis) menggunakan isolat lokal dengan starter dan
media kultivasi menggunakan hasil samping agroindustri, dengan cara kultivasi
media padat, sehingga diperoleh bioinsektisida yang murah dan mudah untuk
diproduksi tetapi kualitasnya cukup baik. Agar dapat tercapai tujuan penelitian
akhir, maka dilakukan beberapa tahapan penelitian dengan tujuan masing-masing
adalah:
a. Mendapatkan karakteristik isolat lokal yang toksik dan dapat digunakan untuk
tujuan produksi dengan cara kultivasi media padat.
b. Mendapatkan media starter yang lebih baik dari limbah agroindustri.
c. Mendapatkan rancangan kondisi proses produksi kultivasi media padat
menggunakan limbah agroindustri, dengan melihat pengaruh ketebalan media
dan aerasi terhadap pertumbuhan dan produk yang dihasilkan.
d. Mendapatkan produk yang potensial melalui evaluasi dan analisis efikasi
pada serangga sasaran.
1. 4 Manfaat Penelitian
Keuntungan menggunakan bioinsektisida diantaranya, menjaga kesuburan
tanah dan meningkatkan bahan organik tanah, spesies tertentu yang digunakan
aman baik sebagai musuh alami dan organisme non target, bioinsektisida tidak
terlalu beracun seperti insektisida kimia sehingga aman untuk lingkungan,
bioinsektisida mengandalkan senyawa biokimia potensial yang disintesis oleh
mikroba, hanya dibutuhkan dalam jumlah terbatas, dan mudah membusuk
sehingga dapat mengurangi pencemaran. Penggunaan Bioinsektisida dapat
membantu hasil produk pertanian dalam penerapan Good Agricultural Practices
(GAP) dan kesehatan masyarakat, khususnya mencegah penyakit yang disebabkan
oleh nyamuk sebagai vektornya.
Limbah industri tahu, limbah air kelapa, limbah industri pati sagu dan
limbah industri glukomanan masih belum dimanfaatkan seluruhnya, sehingga
dapat menyebabkan pencemaran lingkungan. Pemanfaatan limbah tersebut
berkontribusi dalam mengatasi masalah lingkungan, disamping itu memberi nilai
tambah pada limbah agroindustri tersebut.
1. 5 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dari penelitian agar dapat dicapai tujuan sesuai yang
diharapkan yaitu :
a) Isolat bakteri yang digunakan adalah B. thuringiensis hasil diisolasi dari
bangkai ulat Attacus atlas dan Bombyx mori yang mati bukan disebabkan
oleh pemberian insektisida.

5
b) Media untuk perbanyakan inokulum (starter) adalah limbah cair dari industri
tahu pada skala rumah tangga dan limbah air kelapa.
c) Substrat yang digunakan sebagai media tumbuh bakteri adalah campuran
ampas sagu dan ampas iles-iles.
d) Kultivasi media padat dilakukan menggunakan wadah dari plastik dengan
volume 4400 mL.
e) Serangga target yang digunakan dari golongan Diptera adalah larva instar 2
nyamuk Aedes aegepty dan untuk golongan Lepidoptera digunakan larva
instar 2 ulat Crocidolomia pavonana.

6

2 TINJAUAN PUSTAKA
Bioinsektisida adalah insektisida yang berasal dari mahluk hidup,
diantaranya yang berbasis mikrobial. Bioinsektisida mikrobial mengandung bahan
aktif yang berasal dari bakteri, virus atau kapang. Bioinsektisida yang cukup
banyak diproduksi saat ini adalah dari bakteri. Bakteri-bakteri tersebut dapat
menghasilkan endotoksin yang dapat meracuni serangga hama tanaman tertentu.
Mikroba yang telah sukses dan berpotensi sebagai insektisida biologi salah
satunya adalah B. thuringiensis. Menurut Federici et al. (2010) endotoksin yang
dihasilkan oleh B. thuringiensis dapat mematikan serangga kelas Lepidoptera,
Diptera dan Coleoptera.
2.1 Bacillus thuringiensis (Bt.)
Bacillus thuringiensis (Bt.) pertama kali diisolasi oleh Ishiwata dari larva
sutra pada tahun 1901 di Jepang. Ishiwata berpendapat bahwa yang menjadi
penyebab matinya larva tersebut adalah bakteri dan diberi nama B. satto. Pada
tahun 1911, Berliner menemukan bakteri yang sama di provinsi Thuringia,
Jerman. Bakteri ini telah membunuh kupu-kupu Mediterania, Anagasta
kuehniella. Berliner menamakan bakteri tersebut dengan nama B. thuringiensis
(Dulmage et al. 1990). Bioinsektisida Bt. pertama kali digunakan sebagai
pembasmi serangga secara komersial di Perancis pada tahun 1938, kemudian di
AS pada tahun 1950 (Neppl 2000).
Setelah tahun 1976, Bt. telah tersedia dipasaran untuk mengontrol golongan
lepidoptera seperti kupu-kupu dan ngengat. Pada tahun 1980, gen pengkode
protein yang beracun berhasil diaplikasikan pada tanaman. Tanaman transgenik
pertama yang berhasil mengekspresikan toksin B. thuringiensis adalah tembakau
dan tomat (Van Frankenhuyzen 1993). Setelah berkembangnya teknologi
rekombinan DNA, sudah banyak dikembangkan tanaman transgenik Bt. Tanaman
transgenik utama meliputi jagung, kapas, kentang dan beras, yang telah
dikomersialisasikan secara luas di Kanada, Jepang, Meksiko, Argentina, Australia
dan Amerika Serikat (Frutos et al. 1999). Meskipun demikian penggunaan
formulasi Bt. dengan cara semprot masih banyak digunakan.
B. thuringiensis (Bt.) adalah bakteri yang bersifat Gram positif, berbentuk
batang, fakultatif anaerob dan mampu membentuk spora (Valicente et al., 2010).
Bakteri ini mempunyai sel-sel vegetatif, berbentuk batang lurus dengan ukuran
panjang 3 – 5 m dan lebar 1.0 -1.2 m jika ditumbuhkan pada medium cair
standar (Stahly et al. 1992). Pada medium padat, koloni B. thuringiensis (Bt.)
berbentuk bulat dengan dengan tepian berkerut, berwarna putih, elevasi timbul
dan permukaan koloni kasar (Bucher 1981; Maheswaran et al. 2010).
Karakteristik B. thuringiensis adalah dapat menghasilkan endotoksin yang
disebut paraspora crystal (kristal paraspora) yang merupakan protein alami
bersifat toksik spesifik terhadap serangga terutama dari species Lepidoptera,
Diptera, dan Coleoptera (Federici et al. 2010). Ketika kondisi pertumbuhan
bakteri tidak optimal, Bt. seperti juga bakteri lainnya, akan membentuk spora.
Spora adalah fase dorman (tidur) pada rantai kehidupan bakteri. Seperti

7
kebanyakan bakteri, ketika Bt. membentuk spora juga membentuk protein kristal
yang merupakan komponen toksik bagi serangga. Sel vegetatif Bt. lebarnya
mendekati 1 µm dan panjang 5 µm. Selama masa sporulasi bakteri ini dapat
menghasilkan protein kristal yang berbentuk bipiramid (Federici et al. 2010).
Spora Bt. berbentuk oval berwarna hijau kebiruan dan berukuran 1.0 -1.3 m.
Pembetukan spora terjadi dengan cepat pada suhu 35-37 oC. Spora yang
dihasilkan tersebut relatif tahan terhadap pengaruh fisik dan kimia (Gill et al.
1992).
B. thuringiensis juga dapat menghasilkan enzim urease, fosfolipase,
lesitinase, amylase, selulase, protease dan kitinase (Martin et al. 2010; Ling Lin et
al. 2012; Tyagi et al. 2002; Driss et al. 2005). Selain enzim juga menghasilkan
asam yang diproduksi dari salisin dan sukrosa (Martin et al. 2010).
Banyak manfaat yang telah diperoleh dengan ditemukannya B. thuringiensis
adalah salah satu agen hayati, yang mampu menghasilkan endotoksin yang
bersifat racun terhadap serangga tertentu. Kemampuan meracuni dari bakteri
tersebut dapat dimanfaatkan untuk membantu meningkatkan produktifitas hasil
pertanian dengan mengendalikan organisme pengganggu tanaman. Juga
pemanfaatannya pada kesehatan dalam mengendalikan serangga sebagai vektor
penyakit yang berbahaya bagi manusia.
B. thuringiensis sangat beragam baik dari segi morfologi maupun
kemampuan reaksi biokimianya. Hal ini karena metabolit sekunder yang
dihasilkan, seperti jenis enzim dan protein kristal yang dihasilkan cukup
bervariasi. Beberapa galur B. thuringiensis dapat menghasilkan beberapa jenis
enzim yang berbeda. Begitu pula dengan protein kristal dihasilkan cukup
bervariasi jenis cry dan cyt yang dikandungnya.
B. thuringiensis telah diisolasi di banyak negara dan dari berbagai habitat,
tetapi pencarian isolat baru masih terus dilakukan, seiring dengan bertambahnya
hama serangga yang harus dikendalikan, disamping perlunya menyiapkan galur
baru apabila terjadi resistensi terhadap toksin yang selama ini sudah digunakan.
2.2 Kristal Protein
Patogenitas Bt. berkaitan erat dengan toksin yang dihasilkannya dan sampai
saat ini telah diketahui ada 4 jenis toksin yaitu eksotoksin alpha, eksotoksin beta,
eksotoksin gamma dan endotoksin delta. Eksotoksin alfa dan gamma tidak banyak
dibicarakan karena bukan merupakan komponen yang aktif merusak tubuh
organisme induk semang Eksotoksin beta ini terbukti merupakan toksin terhadap
larva serangga pada fase pergantian kulit atau selama proses metamorfosa, namun
sebaliknya tidak toksin terhadap serangga dewasa (Burgerjon dan Martouret 1971).
B. thuringiensis memproduksi lebih dari satu kristal protein, dan setiap
subspesies memiliki kombinasi yang spesifik dan efektifitas kerja toksin spesifik
untuk setiap kombinasinya. Tabel 1 menunjukan setiap subspesies B.
thuringiensis menghasilkan kombinasi endotoksin target serangga sasaran yang
tertentu.
Menurut Tokcaer (2003) bentuk struktur protein kristalnya menyebabkan
kristal ini disebut sebagai protein kristal (Cry) atau δ-endotoksin. Gen yang
mengkode kristal ini adalah gen cry, dimana gen ini diekspresikan selama fase

8
stasionernya. Protein kristal terakumulasi di dalam sel induk dan dilepaskan
setelah masa sporulasi selesai.
Tabel 1 Subspesies Bacillus thuringiensis untuk kelompok serangga
sasaran
Protein endotoksin
(Bobot dalam kDa)
Kurstaki
Cry1Aa(133),Cry1Ab(131),
Cry1Ac(133), Cry2Aa(72)
Aizawai
Cry1Aa(133),Cry1Ab(131),
Cry1Ca(135), Cry1Da(133)
Morrisoni
Cry3Aa, Cry3Bb(73)
Israelensis
Cry4Aa(134),Cry4Ab(128),
Cry11Aa(72), Cyt1Aa(27)
Sumber: Federici et al. (2010)
Subspesies

Serangga sasaran
Lepidoptera
Lepidoptera
Coleoptera
Diptera

Hasil penelitian tentang bioinsektisida dari B. thuringiensis dari banyak
peneliti, telah menghasilkan data yang cukup memadai tentang hubungan yang
kompleks antara struktur, mekanisme kerja, dan genetika dari protein kristal
bioinsektisida. Beberapa penelitian lain berfokus pada peran ekologis dari protein
kristal B. thuringiensis, kinerjanya pada pertanian maupun dunia kesehatan, dan
evolusi mekanisme resistensi hama sasaran.
Penelitian toksisitas dengan protein murni tunggal menunjukan bahwa setiap
protein kristal yang dijelaskan ditandai dengan sangat spesifik dan kadang-kadang
terbatas hanya pada serangga tertentu. Ekspresi gen protein kristal dipengaruhi
sejumlah faktor, yaitu pada beberapa tahap sporulasi dan ekspresi protein kristal
pada tingkat pasca-translasi (Tokcaer 2003).
2.3 Kultivasi Substrat Padat
Kultivasi substrat padat merupakan suatu proses dimana pertumbuhan
mikroorganisme pada bahan padat dalam kondisi air bebas sangat sedikit.
Aktivitas biologis menurun bila kandungan air substrat sekitar 12%. Substrat yang
paling banyak digunakan dalam kultivasi substrat padat adalah biji-bijian serealia,
kacang-kacangan, sekam gandum, bahan yang mengandung lignoselulosa, dan
berbagai bahan lain yang berasal dari tanaman dan hewan. Senyawaan tersebut
selalu berupa molekul primer, tak larut atau sedikit larut dalam air, tetapi murah,
mudah diperoleh dan merupakan sumber hara yang tinggi.
Jenis mikroorganisme yang tumbuh baik dibawah kondisi kultivasi substrat
padat ditentukan terutama oleh faktor aktivitas air (aw). Nilai aw substrat secara
kuantitatif menyatakan banyaknya air yang dibutuhkan bagi aktivitas mikroba.
Selama proses kultivasi akan terjadi variasi perubahan kadar air, tetapi tidak akan
menghambat pertumbuhan maupun pembentukan spora Bt., karena pada kadar air
55% masih menghasilkan aw yang baik untuk pertumbuhan Bt (Capablo et al.
2001).
Beberapa parameter dapat mempengaruhi selama kultivasi media padat.
Variabel-variabel yang mempengaruhi adalah ukuran partikel dan bentuk sustrat,
banyaknya substrat padat, kadar air awal, kelembaban udara, kecepatan agitasi,

9
laju aerasi dan takaran inokulum spora. Fungsi-fungsi fisik adalah pergerakan
mekanis substrat padat dan suhu substrat. Serta aktifitas fisiologi adalah
pertumbuhan, pembentukan produk, konsumsi oksigen, evolosi karbondioksida,
evolusi panas metabolik, produk air metabolik dan kontaminan (Rahman 1990)
Pada kultivasi media padat, ukuran partikel menentukan banyaknya ruang
dalam massa media yang dapat ditempati oleh udara (ruang kosong). Hampir
semua kultivasi melibatkan mikroorganisme aerobik dan transpor oksigen
kedalam ruang kosong merupakan parameter kritis yang mengendalikan
perkembangan pertumbuhan dan pembentukan produk. Pemindahan oksigen ke
dalam ruang kosong berkaitan erat dengan tingkat kadar air bahan karena tingkat
kadar air bebas yang tinggi yang ditimbulkan oleh pembuangan udara keluar
menyebabkan ruang kosong yang rendah.
Keunggulan menggunakan kultivasi media padat adalah biaya dapat lebih
rendah karena biasanya menggunakan media sederhana dari hasil samping produk
pertanian, proses sederhana, peralatan sederhana, hemat ruang, menghasilkan
limbah cair sedikit, kondisi pertumbuhan sama dengan di alam, dan kontrol
kontaminasi lebih mudah (Devi dan Rao 2005).
Salah satu kelemahan teknik kultivasi media padat adalah kesulitan untuk
melakukan analisis kuantitatif dan analisis sifat-sifat fisik seperti pertumbuhan
biomassa, konsumsi substrat dan yield produk (Rahman 1990, Bhargav et al.
2008). Selain itu untuk mendapatkan produk murni menjadi sulit karena produk
biasanya ada bersama media, terutama bila menggunakan media yang tidak inert.
Kunci dari penggunaan media padat adalah pemilihan media yang tepat,
memiliki sifat tidak larut dan mengandung nutrisi yang dapat menunjang
pertumbuhan. Selain itu pertimbangan pemilihan media adalah nilai tambah bahan
dan berhubungan dengan tujuan menghasilkan produk tertentu dari media yang
sesuai.
2.4 Media Kultivasi Bacillus thuringiensis
Faktor-faktor yang sangat mempengaruhi kultivasi Bt adalah komposisi
medium, kondisi untuk pertumbuhan mikroba seperti pH, oksigen terlarut dan
temperatur (Dulmage dan Rhodes 1971). Karbon adalah bahan utama untuk
mensintesis sel baru dan produk sel. Sementara banyak sumber karbon yang dapat
dimanfaatkan sebagai media tumbuh diantaranya gula jagung, beras, dedak
gandum, dedak beras, lumpur aktif atau limbah rumah tangga (Valicente et al.
2008; Capablo et al. 2001; Marzban 2012; Zhuang et al. 2011; Zang et al. 2013).
Kebutuhan nitrogen yang diperlukan mikroorganisme dapat dipenuhi oleh
garam-garam ammonium. mengatakan bahwa urea juga merupakan sumber
nitrogen yang sesuai untuk pertumbuhan mikroorganisme karena kemampuannya
untuk mempertahankan pH, namun urea bersifat tidak stabil sehingga
penggunaannya dibatasi (Stanburry dan Whitaker 1984). Selain sumber nitrogen
dari garam, kebutuhan nitrogen dapat juga dipenuhi dari protein. Sumber protein
yang ditambahkan bisa dalam bentuk ekstrak atau dari tumbuhanmaupun hewan.
Sumber protein tumbuhan yang potensial adalah kacang-kacangan dan produk
olahannya, sedangkan sumber protein hewani yang potensial adalah ikan-ikan
kecil yang tidak dikonsumsi, sisa pengolahan ikan dan limbah rumah potong
hewan.

10
Selain karbon dan nitrogen, mikroorganisme juga membutuhkan mineral
untuk pertumbuhan dan pembentukan produk metabolit. Kebutuhan mineral
tergantung jenis mikroorganisme yang ditumbuhkan. Menurut Dulmage dan
Rhodes (1971), unsur-unsur mineral yang diperlukan untuk pertumbuhan dan
sporulasi meliputi K, Mg, P, S, serta Ca, Zn, Fe, Co, Cu, Mo, dan Mn juga
diperlukan meski dalam jumlah yang sangat sedikit.
Jenis nutrisi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan B. thuringiensis umumnya
ada pada bahan-bahan lignoselulosa. Lignuselulosa mengandung serat seperti
selulosa, hemiselulosa dan lignin yang dapat memberi sifat porus pada media
sekaligus juga sebagai sumber karbon. Selain serat sumber C yang lain juga masih
ada seperti pati dan gula. Kandungan protein yang ada dapat dimanfaatkan
sebagai sumbar N. Pada kultivasi media padat dibutuhkan jumlah substrat yang
relatif banyak jika dibandingkan media cair, sehingga pemanfaatan limbah
lignuselulosa akan menghemat biaya produksi, mengatasi pencemaran dan
memberi nilai tambah.
2.5 Kondisi Kultivasi Bacillus thuringiensis
Selain komposisi medium, kondisi pertumbuhan juga mempengaruhi
produksi bioinsektisida B. thuringiensis, karena B. thuringiensis adalah bakteri
yang bersifat anaerob fakultatif, maka aerasi merupakan salah satu faktor yang
berpengaruh terhadap pertumbuhan, sporulasi maupun produksi bioinsektisida
(Rahayuningsih 2003).
Faktor-faktor yang berpengaruh pada pertumbuahan mikroorganisme
menurut Bhargav et al. (2008) bila menggunakan kultivasi media padat
diantaranya adalah kadar air, aktifitas air (Aw), transfer massa, suhu dan transfer
panas.
Kultivasi B. thuringiensis secara normal dilakukan pada temperatur 27-330C
dengan temperatur optimal pada 300C. Nilai pH awal medium ditetapkan pada pH
6.8 – 7.2. Selama kultivasi nilai pH dapat berubah dengan cepat tergantung pada
penggunaan karbohidrat dan protein. Penggunaan karbohidrat dapat menurunkan
pH, sedangkan penggunaan protein dapat menaikkan pH. Nilai pH dapat
dikendalikan dengan menjaga kesetimbangan antara senyawa gula dan protein
(Quinlan dan Lisansky 1985).
Mengingat media yang digunakan mengandung karbohidrat tinggi, sementara
kandungan karbohidrat akan mempengaruhi pH pada media pertumbuhan,
sehingga perlu dikaji pengaruh ketebalan substrat yang digunakan. Pengkajian
difokuskan pada pencarian ketebalan yang efektif untuk menghasilkan produk.
Pada kultivasi media padat semakin tebal menyebabkan kontak dengan oksigen
semakin berkurang, sehingga perlu dilihat apakah ada pengaruhnya pemberian
aerasi.

11

3 METODE
3.1 Kerangka Pemikiran
Dalam rangka mencari sumber bahan aktif untuk membuat bioinsektisida
mikrobial yang dapat mematikan/mengurangi populasi hama serangga kelas
Lepidoptera dan Diptera, maka perlu dicari mikroorganisme yang dapat
mematikan serangga tersebut. Ulat mati yang bukan disebabkan oleh pemberian
insektisida, bisa disebabkan oleh tumbuhnya mikroorganisme. Pada penelitian ini
dilakukan isolasi mikroba dari ulat yang mati bukan disebabkan oleh insektisida.
Diharapkan penyebab kematian ulat tersebut dapat juga bersifat toksin terhadap
serangga dari kelas yang sama.
Nutrient Broth merupakan media komersial yang biasa digunakan untuk
perbanyakan inokulum pada produksi bioinsektisida. Untuk menurunkan biaya
produksi perlu dicari media perbanyakan inokulum yang cocok untuk
menggatikan media komersial. Hasil samping dari pengolahan tahu, yaitu limbah
cairnya memiliki kandungan nutrisi karbon, nitrogen, dan mineral (Ca, Fe, Mg
dan Zn) yang berpotensi digunakan untuk pertumbuhan Bt.
Ampas iles-iles adalah hasil samping industri pengolahan glukomanan yang
memiliki kandungan pati yang tinggi, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai
sumber karbon bagi pertumbuhan B. thuringiensis. Bahan tersebut yang belum
banyak dimanfaatkan karena mengandung kalsium oksalat yang dapat
menimbulan rasa gatal pada kulit. Ion Ca dapat dimanfaatkan untuk membantu
proses sporulasi pada B. thuringiensis, sedangkan glukomanan yang tersisa di pati
iles-iles dapat meningkatkan ketersediaan air karena sifatnya sebagai hidrokoloid
mampu menyerap air dengan baik, dan memiliki kemapuan pengikatan air yang
kuat, sehingga bisa mensuplai kebutuhan air yang dapat mendukung kondisi
kultivasi. Ampas sagu masih mengandung pati, protein dan mineral yang dapat
mendukung pertumbuhan Bt. disamping itu mengandung serat yang tinggi, serat
yang terkandung akan memberikan difusi lalu lintas O2, panas dan lain-lain lebih
baik pada media sehingga akan mengoptimalkan pertumbuhan bakteri.
Proses kultivasi akan menggunakan kultivasi media padat. Agar diperoleh
hasil yang optimum perlu dilihat interaksi bahan dan komponen yang terkandung
dalam bahan untuk meningkatkan aplikasi dalam membantu pertumbuhan B.
thuringiensis menghasilkan bioinsektisida. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
diperoleh teknik produksi bioinsektisida (B. thuringiensis) yang murah, mudah
dan efisien untuk mengendalikan larva C. pavonana dan larva nyamuk A.
aegepty.
3.2 Metodologi Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam enam tahapan yaitu (1) Isolasi bakteri yang
potensial untuk produksi bioinsektisida, (2) Karakterisasi dan identifikasi isolat,
(3) Penapisan isolat, (4) Seleksi media perbanyakan inokulum, (5) Kultivasi
produk dan (