Kajian rasio C/N terhadap produksi bioinsektisida dari Bacillus thuringiensis subsp. aizawai menggunakan substrat limbah cair tahu dan air kelapa

(1)

KAJIAN RASIO C/N TERHADAP PRODUKSI BIOINSEKTISIDA

DARI Bacillus thuringiensis subsp. aizawai MENGGUNAKAN

SUBSTRAT LIMBAH CAIR TAHU DAN AIR KELAPA

SKRIPSI

RIRYN NUR RACHMAWATI

F34070004

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

STUDY OF CARBON-NITROGEN RATIO FOR

BIOINSECTICIDE PRODUCTION BY Bacillus thuringiensis

subsp. aizawai USING TOFU LIQUID WASTE AND COCONUT

WATER AS SUBSTRATES

Riryn Nur Rachmawati, Mulyorini Rahayuningsih

Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 16680, Bogor, West Java,

Indonesia.

Phone 62 852 935 199 00, e-mail : davryn_chayank@yahoo.co.id

ABSTRACT

Bioinsecticide is an active substance from biological agent that kills insects and disease vector. Bioinsecticide or microbial insecticide can be developed from bacteria, virus, mushroom, and protozoa. Bacteria that often used to produce bioinsecticide is Bacillus thuringiensis (B.t). Bacillus thuringiensis subsp. aizawai (B.t.a) as one of Bacillus thuringiensis species produces crystal protein called delta endotoxin (δ-endotoxin). As other B.t crystal protein, this crystal protein is specifically toxic to larvae Lepidoptera and Diptera. Bioinsecticide is an alternatif solution, because it cannot cause pests resistance, does not make residue to the environment and does not kill non target organisms. This research aims to produce an active material bioinsecticide that is produced by B.t.a using tofu liquid waste and coconut water, which is cheap material can be used as nitrogen and carbon sources and it has protein, vitamin, mineral that are needed by microorganism to grow. Coconut water as fermentable sugar in fermentation bioinsecticide. The specific objective of this research is to obtain the best media formulation with optimal C/N ratio for bioinsecticide production. Carbon-nitrogen ratios in this research are A (3:1), B (5:1), C(7:1), D (9:1), and E (11:1), with 80 : 20 composition of liquid waste of industrial tofu and coconut water, the starter added 10 (%v/v) and cultivation time during 0-72 hours. The highest toxicity of the product can be resulted through bioassay test to Crocidolomia pavonana (C. binotalis) larvae instar-II. The pH value and weight of dry biomass during cultivation was increased while total sugars and OD (Optical Density) is decreased. Range of pH value from 6.5-7.96. For cultivation 0 hours the highest of dry cell biomass is media A (C/N=3:1) 0.60 g/L whereas the lowest is media B (C:N=5:1) and C (C/N=7:1) 0.40 g/L and for cultivation 72 hours the highest of biomass is media C (C/N=7:1) 15.90 g/L whereas the lowest is media A (C/N=3:1) 7.55 g/L. For cultivation 0 hours the highest OD is media D (C/N=9:1) 0.0214 and the end of cultivation the highest OD is media B (C/N=5:1) 2.91. The highest total plate count (TPC) is media C (C/N=7:1) 2.8 x 108 cell/ml or 7.40 cfu/ml in cultivation 48 hours whereas the lowest is media B (C/N=5:1) 1.19 x 107 cell/ml or 6.68 cfu/ml in cultivation 0 hours. The highest

viable spore count (VSC) is media D (C/N=9:1) 5.63 x 106 spore/ml in cultivation 48 hourswhereas

the lowest is media C (C/N=7:1) 2.85x 106 spore/ml in cultivation 24 hours. The highest level toxicity (LC50) is media C (C/N=7:1) 0.01 mg/L in cultivation 48 hours and potential product is 80,000 IU/mg. The level toxicity (LC50) is contrary to potential product.


(3)

RIRYN NUR RACHMAWATI. F34070004. Kajian Rasio C/N terhadap Produksi Bioinsektisida dari Bacillus thuringiensis subsp. aizawai Menggunakan Substrat Limbah Cair Tahu dan Air Kelapa. Di Bawah Bimbingan Mulyorini Rahayuningsih. 2011.

RINGKASAN

Bioinsektisida mikrobial adalah jenis insektisida yang bersifat ramah lingkungan yang menggunakan organisme hidup untuk mengontrol hama, seperti virus, bakteri, jamur, pemakan serangga, dan tanaman yang dimodifikasi. Sifat insektisida ini aman terhadap organisme non-target, manusia, dan lingkungan. Mikroorganisme yang sering digunakan dalam memproduksi insektisida mikroba adalah Bacillus thuringiensis (B.t). B.t merupakan spesies bakteri dari genus Bacillus yang tergolong dalam kelompok bakteri gram positif.

Bacillus thuringiensis (B.t) adalah bakteri tanah yang terbentuk melalui endospora yang dapat

menghasilkan protein yang bersifat insektisida (δ-endotoksin) atau kristal protein yang akan berikatan dengan reseptor spesifik dalam sel larva, sehingga terjadi lisis sel atau pecah. Bakteri ini digunakan terhadap ulat bulu, nyamuk, dan larva lalat hitam. Sifatnya tidak beracun bagi manusia dan mamalia dan aman bagi spesies non-target serta biodegradable. Bacillus thuringiensis subsp. aizawai merupakan salah satu jenis bakteri yang banyak dimanfaatkan dalam produksi bioinsektisida mikrobial. Patotipe Bacillus thuringiensis subsp. aizawai sangat efektif mengendalikan larva Lepidoptera, terutama ulat daun kubis dan hama-hama sayuran lainnya. Oleh karena itu, kajian ini adalah memproduksi bioinsektisida yang dihasilkan oleh Bacillus thuringiensis subsp. aizawai berbahan baku limbah cair tahu dan air kelapa yang murah sebagai bahan baku utama. Pemilihan kedua bahan tersebut dikarenakan keduanya mengandung karbon dan nitrogen serta vitamin dan mineral yang dibutuhkan mikroorganisme dalam pertumbuhannya.

Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan limbah cair tahu dan air kelapa untuk produksi bioinsektisida dari Bacillus thuringiensis subsp. aizawai. Sedangkan tujuan penelitian secara khusus adalah untuk mengetahui formulasi media limbah cair tahu dan air kelapa dengan perbandingan rasio C/N yang optimal terhadap produksi bioinsektisida Bacillus thuringiensis subsp. aizawai (B.t.a).

Formulasi media menggunakan limbah cair tahu dengan perbandingan 20% : 80%, jumlah starter yang ditambahkan 10%, serta penambahan urea untuk mendapatkan rasio C/N 3:1, 5:1, 7:1, 9:1, dan 11:1. Uji toksisitas dilakukan terhadap larva Crocidolomia pavonana (C. binotalis) atau ulat kubis instar II.

Nilai pH fermentasi berada pada kisaran 6.50 – 7.96. Hal ini berarti nilai pH masih berada pada pH pertumbuhan B.t.a. Menurut Benhard dan Utz (1993), kisaran pH pertumbuhannya adalah 5.5-8.5 dengan pH optimum 6.5-7.5. Penurunan pH dapat disebabkan adanya proses enzimatis bakteri yang menguraikan glukosa menjadi asam organik.

Hasil penghitungan jumlah sel per ml cairan fermentasi menunjukkan bahwa jumlah sel tertinggi terdapat pada formulasi media C jam ke-48 (C/N=7:1) yaitu 2.80 x 108 sel/ml kultur atau 7.40 cfu/ml. Adapun jumlah sel terendah sebesar 1.19 x 107 sel/ml kultur atau 6.68 cfu/ml pada formulasi media B jam ke-0 (C/N=5:1).

Hasil penghitungan jumlah spora hidup per ml cairan fermentasi menunjukkan bahwa jumlah spora tertinggi terdapat pada formulasi media D jam ke-48 (C/N=9:1), yaitu 5.63 x 106 spora/ml atau 6.23 log spora/ml kultur. Adapun jumlah spora terendah sebesar 2.85x 106 spora/ml kultur atau 6.05 log spora/ml pada formulasi media B jam ke-24 (rasio C/N=5:1).

Uji kadar gula sisa metode fenol menunjukkan bahwa pada jam ke-0 formulasi media B (C/N=5:1) memiliki total gula tertinggi yaitu 14.40 g/L, sedangkan yang terendah adalah media D (C/N=9:1) yaitu 12.90 g/L. Nilai total gula sisa cenderung menurun hal ini disebabkan selama proses kultivasi, sel akan mengkonsumsi substrat sumber karbon menjadi biomassa dan produk.

Bobot kering biomassa dari masing-masing media cenderung mengalami kenaikan. Ini disebabkan aktivitas sel dalam mengkonversi substrat sumber karbon menjadi biomassa dan produk. Pada jam ke-0 bobot biomassa kering tertinggi adalah media E (C/N=11:1) 0.60 g/L dan terendah


(4)

media B dan C 0.40 g/L. Sedangkan pada akhir fermentasi bobot kering biomassa tertinggi adalah media C (C/N=7:1) 15.90 g/L dan terendah media A(C/N=3:1) 7.55 g/L.

Kekeruhan (Optical Density) diukur dengan menggunakan rumus OD = 2 - Log %Transmisi. Dari hasil perhitungan menunjukkan bahwa semakin lama cairan fermentasi cenderung semakin keruh, hal ini ditandai secara fisik dan perhitungan semakin besarnya nilai OD. Pada jam ke-0 kekeruhan tertinggi adalah media D (C/N=9:1) 0.0214 sedangkan akhir kultivasi jam ke-72 kekeruhan tertinggi adalah media B (C/N=5:1) 2.91.

Aktivitas bioinsektisida dapat ditentukan dengan menghitung jumlah spora hidup melalui bioassay untuk menentukan kadar letal (LC50) dan International Unit (IU) (Vandekar & Dulmage,

1982). LC50 = konsentrasi bioinsektisida yang menyebabkan 50 % serangga uji mati. Hasil

menunjukkan bahwa tingkat toksisitas tertinggi adalah media C (C/N=7:1) dengan LC50 0.01 mg/L.

Secara keseluruhan tingkat toksisitas tertinggi adalah media C (C/N=7:1) sedangkan yg terendah adalah media E (C/N=11:1).

Hasil analisis ragam dengan tingkat kepercayaan 95% (α=5%) menunjukkan bahwa formulasi media tidak berpengaruh nyata terhadap nilai pH dan bobot kering biomassa pada semua jam, berpengaruh nyata terhadap jumlah sel pada jam ke- 0, 36 dan 48 tetapi tidak berpengaruh nyata pada jam 72. Formulasi media berpengaruh nyata terhadap total spora pada jam 24 dan jam ke-36, tetapi tidak berpengaruh nyata pada jam ke-48 dan jam ke-72. Formulasi media berpengaruh nyata terhadap total gula sisa cairan fermentasi pada semua jam. Formulasi media berpengaruh nyata terhadap kekeruhan cairan pada jam ke-0, 24, 36 jam. Sedangkan pada jam ke-48 dan jam ke-72 tidak berpengaruh nyata terhadap kekeruhan cairan fermentasi. Formulasi berpengaruh nyata terhadap toksisitas bioinsektisida pada semua jam fermentasi yaitu jam ke-24, 36, 48, dan 72.


(5)

KAJIAN RASIO C/N TERHADAP PRODUKSI BIOINSEKTISIDA

DARI

Bacillus thuringiensis

subsp.

aizawai

MENGGUNAKAN

SUBSTRAT LIMBAH CAIR TAHU DAN AIR KELAPA

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Teknologi Industri Pertanian,

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh

RIRYN NUR RACHMAWATI

F34070004

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(6)

Judul Skripsi : Kajian Rasio C/N terhadap Produksi Bioinsektisida dari Bacillus thuringiensis subsp. aizawai Menggunakan Substrat Limbah Cair Tahu dan Air Kelapa. Nama : Riryn Nur Rachmawati

NIM : F34070004

Menyetujui, Pembimbing

( Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, M.Si ) NIP. 19640810 198803 2 002

Mengetahui : Ketua Departemen

( Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti ) NIP 19621009 198903 2 001


(7)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Kajian Rasio C/N terhadap Produksi Bioinsektisida dari Bacillus thuringiensis subsp. aizawai Menggunakan Substrat Limbah Cair Tahu dan Air Kelapa adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juli 2011

Yang membuat pernyataan

Riryn Nur Rachmawati F34070004


(8)

© Hak cipta milik Riryn Nur Rachmawati, tahun 2011 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya.


(9)

BIODATA PENULIS

..Riryn Nur Rachmawati. Lahir di Klaten, 18 Maret 1989 dari ayah Suyamto

...dan ibu Nuryati, sebagai putri pertama dari tiga bersaudara. Penuliss ...menamatkan SMA pada tahun 2007 dari SMA Muhammadiyah 1 Klaten dan

...pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk

...IPB. Penulis memilih Program Studi Teknologi Industri Pertanian,

...Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian.

...Selama mengikuti .perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai kegiatan di

...Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri, Forum Bina Islami FATETA dan

...Organisasi Mahasiswa Daerah Keluarga Mahasiswa Klaten, dan termasuk menjadi Asisten Mata Kuliah Praktikum Bioproses 2011. Pada tahun 2009 dalam Program Kreatifitas εahasiswa bidang Penelitian dengan judul “Pemanfaatan Ubi Jalar dalam Formulasi Pengembangan Baso Nabati Prebiotik” yang lolos didanai DIKTI. Penulis melaksanakan Praktik Lapangan pada tahun 2010 di Pabrik Spiritus Madukismo, PT. Madubaru, DIY dengan judul

mempelajari “Aspek Penyediaan Bahan Baku, Teknologi Proses Produksi serta Pengawasan Mutu Alkohol dan Spiritus di Pabrik Spiritus Madukismo PT. Madubaru, Yogyakarta”.


(10)

iii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa dipanjatkan ke hadapan Allah SWT atas berkah dan karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian dengan judul Kajian Rasio C/N terhadap Produksi Bioinsektisida dari Bacillus thuringiensis subsp. aizawai Menggunakan Substrat Limbah Cair Tahu dan Air Kelapa dilaksanakan di Laboratorium Bioindustri dan Laboratorium Dasar Ilmu Terapan, Departemen Teknologi Industri Pertanian sejak bulan Maret sampai Juni 2011.

Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa yang selalu memberikan rahmat dan nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan skripsi dengan lancar.

2. Ayah dan Ibu tercinta (Bpk Suyamto dan Ibu Nuryati), David Ady Prasetya, Istighfarinda Evi Dian Sari dan Jihan Nadia Syifaizzah tersayang yang selalu memberikan dukungan, bantuan dan do’a. 3. Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, M.Si sebagai dosen pembimbing akademik yang telah

membimbing penulis, memberikan saran dan bantuan moril selama perkuliahan, penelitian, dan skripsi.

4. Prof. Dr. Ir. Khaswar Syamsu, M.Sc dan Prof. Dr. Ing. Ir. Suprihatin selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan demi penyempurnaan skripsi penulis.

5. Ibu Rini Purnawati, Ibu Egnawati Sari, Ibu Sri Mulyasih, Bpk Edi Sumantri, Pak Gunawan , Pak Sugiyardi, Pak Darwan dan Pak Dicky selaku laboran yang selalu membantu penulis selama penelitian. Serta Pak Anwar, Pak Mul, Bu Ketty, Pak Ihsan dan karyawan Dept. TIN yang telah membantu penulis dalam hal administrasi dan fasilitas selama menyelesaikan perkuliahan di TIN. 6. Fata Qurrota A’yun, Putri Yulianingtyas, Siti Ulfah Deasy Triani, Devi Aryati, dan Nita Diansari

yang selalu memberikan motivasi dan bantuan dalam hal apapun. Serta teman-teman seperjuangan ‘Atiqotun Fitriyah, Danang Setiawan, Diyah Yuningsih, Nur Indawati Hidayah, Ririn Nurmawati, dan Zhenita Vinda, terima kasih atas persahabatan yang selama ini terjalin. 7. Teman-teman TIN 44 atas dukungan dan kebersamaannya selama ini.

8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang teknologi bioindustri.

Bogor, Juli 2011


(11)

iv

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

I. PENDAHULUAN ... 1

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 LIMBAH INDUSTRI TAHU DAN AIR KELAPA ... 3

2.2 BIOINSEKTISIDA ... 4

2.3 Bacillus thuringiensis SEBAGAI BIOINSEKTISIDA ... 5

2.4 FERMENTASI Bacillus thuringiensis subsp aizawai DAN KONDISINYA ... 8

2.5 LARVA Croccidolomia pavonana (C. binotalis) SEBAGAI SERANGGA SASARAN Bacillus thuringiensis subsp aizawai ... 10 2.6 KINETIKA FERMENTASI ... 13

III. METODOLOGI ... 14

3.1 ALAT DAN BAHAN ... 14

3.2 TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN ... 14

3.3 METODE PENELITIAN ... 14

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20

4.1 ANALISA BAHAN BAKU ... 20

4.2 PERUBAHAN pH CAIRAN KULTUR SELAMA FERMENTASI ... 21

4.3 PERTUMBUHAN SEL Bacillus thuringiensis subsp. aizawai SELAMA FERMENTASI ... 22 4.4 PERUBAHAN BOBOT KERING BIOMASSA SEL Bacillus thuringiensis subsp. aizawai SELAMA FERMENTASI ... 24 4.5 PENGGUNAAN SUBSTRAT SELAMA FERMENTASI ... 25

4.6 PEMBENTUKAN SPORA SELAMA KULTIVASI ... 26

4.7 PERUBAHAN KEKERUHAN (OPTICAL DENSITY) SELAMA FERMENTASI ... 28

4.8 KINETIKA FERMENTASI ... 29

4.9 PENENTUAN AKTIVITAS BIOINSEKTISIDA ... 30

V. PENUTUP ... 32

5.1 KESIMPULAN ... 32

5.2 SARAN ... 32

DAFTAR PUSTAKA ... 33


(12)

v

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Kandungan kimia limbah cair tahu ... 3

Tabel 2. Kandungan zat gizi kelapa tua dan muda per 100 g ... 4

Tabel 3. Perbandingan media fermentasi ... 16

Tabel 4. Kondisi kultivasi ... 16

Tabel 5. Hasil analisa kimia limbah cair tahu dan air kelapa ... 20

Tabel 6. Jumlah penambahan urea untuk memperoleh rasio C/N yang diinginkan ... 20

Tabel 7 Hasil perhitungan parameter kinetika fermentasi ... 29 Tabel 8. Perbandingan LC50 untuk masing-masing formulasi media serta produk komersial 30

Tabel 9. Perbandingan potensi produk untuk masing- masing formulasi media serta produk komersial ...


(13)

vi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Proses toksisitas Bacillus thuringiensis pada larva ulat ... 7

Gambar 2. Daur hidup ulat krop kubis dan kerusakan yang diakibatkan olehnya ... 11

Gambar 3. Ngengat dewasa sedang berada pada permukaan daun ... 11

Gambar 4. Kumpulan telur ulat krop kubis ... 11

Gambar 5. Kerusakan yang diakibatkan larva ulat krop kubis... 12

Gambar 6. Diagram alir penyiapan inokulum B.t.a ... 15

Gambar 7. Diagram alir produksi bioinsektisida B.t.a ... 17

Gambar 8. Diagram alir penentuan jumlah spora hidup ... 17

Gambar 9. Diagram alir penentuan jumlah sel hidup ... 18

Gambar 10. Grafik kurva standar glukosa ... 18

Gambar 11. Prosedur penentuan aktivitas bioinsektisida ... 19

Gambar 12. Perubahan pH cairan kultur selama fermentasi B.t.a dalam media dengan berbagai rasio C/N ... 21 Gambar 13. Pertumbuhan sel selama fermentasi B.t.a dalam media dengan berbagai rasio C/N 23 Gambar 14. Perubahan bobot kering biomassa selama fermentasi B.t.a dalam media dengan berbagai rasio C/N ... 24 Gambar 15 Perubahan total gula sisa selama fermentasi B.t.a dalam media dengan berbagai rasio C/N ... 26 Gambar 16. Pengaruh formulasi media (rasio C/N) terhadap jumlah spora ... 27 Gambar 17. Pengaruh formulasi media (rasio C/N) terhadap tingkat kekeruhan cairan kultivasi 28


(14)

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Perhitungan susunan media kultivasi (berikut perhitungan total penambahan

urea pada beberapa perbedaan rasio C/N ... 38 Lampiran 2. Rekapitulasi data pH rata-rata media kultivasi pada jam ke-0 hingga jam ke-72

(dua kali ulangan) ... 39 Lampiran 3. Rekapitulasi data log TPC rata-rata media kultivasi pada jam ke-0 hingga jam

ke-72 (dua kali ulangan) ... 40 Lampiran 4. Rekapitulasi data log VSC rata-rata media kultivasi pada jam ke-0 hingga jam

ke-72 (dua kali ulangan) ... 41 Lampiran 5. Rekapitulasi data tingkat kekeruhan (optical density) rata-rata media kultivasi

pada jam ke-0 hingga jam ke-72 (dua kali ulangan) ... 42 Lampiran 6. Rekapitulasi data nilai total gula sisa rata-rata media kultivasi pada jam ke-0

hingga jam ke-72 (dua kali ulangan) ... 43 Lampiran 7. Rekapitulasi data bobot kering biomassa rata-rata media kultivasi pada jam

ke-0 hingga jam ke-72 (dua kali ulangan) ... 44 Lampiran 8. Contoh penentuan LC50 menggunakan program Probit Quant ... 45

Lampiran 9. Hasil analisis ragam uji F formulasi media(rasio C/N) terhadap perubahan pH (α = 0.05) ...

46 Lampiran 10. Hasil analisis ragam uji F formulasi media (rasio C/N) terhadap jumlah sel

hidup (α = 0.05) ... 47 Lampiran 11. Hasil analisis ragam uji F formulasi media (rasio C/N) terhadap bobot kering

biomassa (α = 0.05) ... 48 Lampiran 12. Hasil analisis ragam uji F formulasi media (rasio C/N) terhadap total gula sisa

(α = 0.05) ... 49 Lampiran 13. Hasil analisis ragam uji F formulasi media (rasio C/N) terhadap jumlah spora

hidup (α = 0.05) ... 52 Lampiran 14. Hasil analisis ragam uji F formulasi media (rasio C/N) terhadap kekeruhan (α

= 0.05) ... 53 Lampiran 15. Hasil analisis ragam uji F formulasi media (rasio C/N) terhadap tingkat

toksisitas (α = 0.05) ... 56 Lampiran 16. Konsentrasi Pengenceran Untuk Pengamatan Tingkat Toksisitas (Bioassay)

Hasil Kultivasi ... 57 Lampiran 17. Perhitungan Parameter Kinetika Fermentasi ... 60 Lampiran 18. Dokumentasi Penelitian ... 62


(15)

1

I. PENDAHULUAN

1.1

LATAR BELAKANG

Dewasa ini, masalah hama semakin banyak terjadi di wilayah Indonesia. Hama merupakan salah satu faktor pembatas yang dapat menghambat peningkatan produksi hasil pertanian. Berbagai jenis hama telah banyak ditemukan di lahan pertanian. Hama pengganggu ini umumnya berupa serangga, seperti wereng, belalang, tungau, ulat, kumbang, kupu-kupu dan sebagainya.

Pada tingkat petani, pengendalian hama pengganggu ini seringkali dilakukan dengan menggunakan berbagai jenis insektisida kimia yang sesuai untuk hama tertentu. Hal ini dilakukan manakala cara manual maupun cara lainnya kurang efektif mengingat serangan hama yang semakin meluas dan parah hingga dapat merugikan secara ekonomis.

Cara pemberantasan hama yang semata-mata hanya didasarkan atas penggunaan insektisida kimia apalagi dilakukan secara berlebihan, dapat menimbulkan berbagai masalah yang tidak diinginkan. Dampak yang muncul misalnya terjadinya resistensi (kekebalan) pada hama sasaran, munculnya hama-hama sekunder, merusak lingkungan bahkan lebih jauh lagi dapat menyebabkan terjadinya gangguan keseimbangan ekosistem. Kemungkinan juga dapat berefek tidak baik bagi kesehatan petani itu sendiri, karena terhirup atau terhisap insektisida tersebut.

Banyaknya permasalahan serta dampak negatif yang ditimbulkan terhadap penggunaan insektisida kimia, kiranya upaya terbaik yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan sistem pengendalian hama terpadu (PHT) yang melibatkan pengendalian serangga pengganggu secara kimiawi, biologis, kultur teknis dan penggunaan varietas resisten terhadap hama tertentu. Pengendalian hama secara biologis dapat dilakukan dengan cara membuat insektisida biologis yang memanfaatkan mikroorganisme serta menggunakan bahan-bahan yang murah dan tersedia dalam jumlah yang cukup banyak, misalnya limbah industri pertanian. Mengingat insektisida biologi yang saat ini ada di pasaran merupakan impor dari luar negeri dan harganya relatif jauh lebih mahal.

Dalam kegiatan industri pertanian Indonesia seringkali menimbulkan limbah yang sangat potensial untuk diolah lagi menjadi produk yang bernilai tambah. Salah satu karakteristik limbah industri pertanian seperti industri tahu kaya akan protein dan senyawa organik yang dapat dikonversi menjadi produk ekonomis, salah satunya merupakan bahan baku dalam pembuatan bioinsektisida. Limbah industri tahu ini meliputi limbah cair dan ampas tahu sebagai limbah padat.

Bila dilihat dari jumlahnya, limbah industri tahu cukup banyak menghasilkan limbah cair 15-20 L/kg bahan baku kedelai dan juga limbah padat (Radiyati 15-2000). Untuk limbah cairnya, tanpa perlakuan terlebih dahulu limbah ini langsung dibuang ke lingkungan sehingga akan mencemari lingkungan sekitar industri. Begitu juga dengan industri kelapa, pemanfaatan paling banyak pada daging buahnya. Buah kelapa tua terdiri dari empat komponen utama, yaitu 35 % sabut, 12% tempurung, 28% daging buah, dan 25% air kelapa, sehingga satu buah kelapa rata-rata mengandung sekitar 200 ml air kelapa. Air kelapa biasanya dimanfaatkan dalam pembuatan nata de coco. Air kelapa menjadi sumber karbon dan berperan sebagai fermentable sugar dalam fermentasi bioinsektisida berbahan aktif Bacillus thuringiensis subsp. aizawai yang dapat mengoptimalkan proses fermentasi(www.transdigit.com).

Bila diteliti secara mendetail, ternyata limbah cair tahu dan air kelapa ini merupakan bahan yang bisa dimanfaatkan untuk pembuatan produk dengan nilai ekonomis tinggi seperti bioinsektisida. Dimana dalam masa sekarang ini, insektisida yang berbahan baku alami dan tidak berbahaya bagi


(16)

2 lingkungan sangat dibutuhkan terutama untuk tanaman itu sendiri. Selain itu insektisida tersebut juga harus efektif sebagai pembasmi serangga.

Untuk itu diperlukan suatu proses dalam pengkonversian limbah cair tahu dan air kelapa untuk dimanfaatkan komposisi di dalamnya sebagai bahan baku pembuatan bioinsektisida. Salah satu perlakuan awal yang dilakukan untuk proses produksi bioinsektisida ini adalah dengan menganalisa bahan baku yaitu limbah cair tahu dan air kelapa. Selanjutnya dilakukan penyiapan inokulum Bacillus thuringiensis subsp. aizawai. Untuk penelitian utamanya dengan melakukan proses kultivasi menggunakan media yang telah dibuat perbandingan karbon dan nitrogennya.

Limbah cair tahu sangat baik digunakan dalam produksi bioinsektisida. Perbandingan limbah cair dan ampas tahu yang menggunakan perbandingan 80% : 20% diperoleh hasil yang paling baik dan memiliki tingkat toksisitas tertinggi. Hal ini didasarkan pada hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Syarfat (2010) yang menyatakan bahwa tingkat toksisitas tertinggi untuk kultivasi 30 jam dan 48 jam diperoleh pada formulasi media limbah cair tahu dan ampas tahu dengan perbandingan 80%: 20%.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Wicaksono (2002) yang menyatakan bahwa tingkat toksisitas tertinggi dihasilkan dari perbandingan karbon dan nitrogen (rasio C/N) yaitu 7:1. Sedangkan berdasarkan penelitian Syarfat (2010), menunjukkan hasil bahwa makin tinggi konsentrasi limbah cair tahu yang digunakan sebagai media, maka semakin kecil nilai LC50 dan semakin tinggi

potensi produknya. Dalam penelitian ini menggunakan limbah cair tahu dan air kelapa yang bertujuan untuk mendapatkan sumber karbon dan nitrogen. Mengacu pada penelitian-penelitian tersebut, penelitian ini menggunakan lima perlakuan perbandingan untuk mendapatkan perbandingan media yang tepat yang menghasilkan tingkat toksisitas tertinggi dan nilai LC50 yang lebih kecil. Rasio

karbon (C) dan nitrogen (N) yang digunakan dalam penelitian ini adalah 3:1, 5:1, 7:1, 9:1, dan 11:1. Sehingga diperoleh formula bioinsektisida yang paling optimum dalam membasmi serangga.

1.2

TUJUAN

Tujuan dari penelitian ini adalah memanfaatkan limbah cair tahu dan air kelapa untuk produksi bioinsektisida dari Bacillus thuringiensis subsp. aizawai. Sedangkan tujuan penelitian secara khusus adalah untuk mengkaji formulasi limbah cair tahu dan air kelapa dengan perbandingan rasio C/N yang optimal terhadap produksi bioinsektisida Bacillus thuringiensis subsp. aizawai (B.t.a).


(17)

3

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1

LIMBAH INDUSTRI TAHU DAN AIR KELAPA

Proses produksi tahu menghasilkan dua jenis limbah, yaitu limbah padat dan limbah cairan. Pada umumnya, limbah padat dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan dibuat kerupuk, sedangkan limbah cair dibuang langsung ke lingkungan. Limbah cair pabrik tahu ini memiliki kandungan senyawa organik yang tinggi. Tanpa proses penanganan dengan baik, limbah tahu dapat menyebabkan dampak negatif seperti polusi air, sumber penyakit, bau tidak sedap, meningkatkan pertumbuhan nyamuk, dan menurunkan estetika lingkungan sekitar (www.okenet-kimia.com).

Dalam proses produksi tahu, dihasilkan limbah cair antara 15-20 L/kg bahan baku kedelai dan limbah padat. Jumlah produksi tahu yang semakin meningkat akan mengakibatkan jumlah limbah cair yang dihasilkan semakin melimpah. Mengingat kedelai sebagai bahan baku pembuatan tahu yang memiliki kadar protein (34-45%), karbohidrat (12-30%), lemak (18-32%), dan air (7%) (Radiyati 2000), akibatnya limbah cair tahu memiliki zat-zat organik yang tinggi. Jika limbah cair industri tahu tersebut dibuang langsung ke lingkungan tanpa proses pengolahan, akan terjadi blooming (pengendapan zat-zat organik pada badan perairan), proses pembusukan dan berkembangnya mikroorganisme patogen (Sudaryati et al. 2007).

Tabel 1. Kandungan kimia limbah cair tahu

Komponen Jumlah Limbah Cair Tahu (% )

Air 99.34*

Abu 0.11*

Protein 1.73** Lemak 0.63** Nitrogen 0.05**

Serat -

Sumber: *(Hartati 2010) **(Nuraida et al. 1996)

Pada tahun 2000 produksi kelapa di Indonesia mencapai 5.6 juta ton per tahun. Buah kelapa tua terdiri dari empat komponen utama, yaitu 35 % sabut, 12 % tempurung, 28 % daging buah, dan 25 % air kelapa, sehingga satu buah kelapa rata-rata mengandung sekitar 200 ml air kelapa. Air kelapa mempunyai potensi yang baik untuk dibuat media fermentasi karena kandungan zat gizinya yang kaya dan relatif lengkap, sehingga sesuai untuk pertumbuhan mikroba. Komposisi gizi air kelapa tergantung pada umur kelapa dan varietasnya. Air kelapa mengandung sejumlah zat gizi, yaitu protein, lemak, gula, sejumlah vitamin, asam amino, dan hormon pertumbuhan. Kandungan gula maksimal, yaitu 3 gram per 100 ml air kelapa, sehingga air kelapa dapat menjadi sumber karbon dan berperan sebagai fermentable sugar dalam fermentasi bioinsektisida berbahan aktif Bacillus thuringiensis subsp. aizawai yang dapat mengoptimalkan proses fermentasi(www.transdigit.com).


(18)

4 Kelapa yang dibudidayakan di Indonesia pada umumnya adalah kelapa dalam dan kelapa hibrida. Buah kelapa terdiri dari kulit luar, sabut, tempurung, kulit daging (testa), daging buah, air kelapa, dan lembaga. Setiap butir kelapa dalam dan hibrida mengandung air kelapa masing-masing sebanyak 300-230 ml dengan berat jenis rata-rata 1.02 dan pH sedikit asam (5.6). Air kelapa mengandung sedikit karbohidrat, protein, lemak, dan beberapa mineral. Kandungan zat gizi ini tergantung kepada umur buah. Di samping zat gizi tersebut, air kelapa juga mengandung berbagai asam amino bebas.

Kandungan zat gizi air kelapa tua dan muda disajikan dalam tabel berikut : Tabel 2. Kandungan zat gizi air kelapa muda dan tua per 100 g

Zat Gizi Satuan Muda Tua

Kalori K 17.0 -

Lemak g 0.20 0.14

Protein g 1.00 1.50

Karbohidrat g 3.80 4.60

Kalsium mg 15.00 -

Fosfor mg 8.00 0.50

Besi mg 0.20 -

Vitamin C mg 1.00 -

Air g 95.50 91.50

Sumber : http://warintek.ristek.go.id/pangan/umum/tanaman

... perkebunan.pdf

2.2

BIOINSEKTISIDA

Bioinsektisida merupakan salah satu dari beberapa jenis pestisida yang dapat digunakan untuk mengendalikan hama berupa serangga. Bioinsektisida dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ovisida dan larvisida. Ovisida khusus digunakan untuk mengendalikan telur serangga, sedangkan larvisida khusus digunakan untuk mengendalikan larva serangga. Bioinsektisida memanfaatkan bakteri, cendawan, jamur, nematoda untuk membunuh hama serangga. Bioinsektisida juga merupakan insektisida generasi baru dan sangat dianjurkan untuk digunakan dalam PHT (Pengendalian Hama Terpadu) (Djojosumarto 2008).

Bioinsektisida (insektisida mikrobial) merupakan produk yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang dapat membunuh hama serangga dan vektor pembawa penyakit. Insektisida mikrobial didefinisikan juga sebagai racun biologis dihasilkan oleh mikroorganisme yang dapat membunuh serangga (entomopathogen). Sebagai entomopathogen, insektisida mikrobial dapat dikembangkan dari bakteri, virus, fungi, dan protozoa (Ignoffo dan Anderson 1979).

Menurut Bravo (1997), adapun bakteri yang paling banyak digunakan untuk memproduksi bioinsektisida adalah Bacillus. Bakteri ini mampu membentuk δ-endotoksin yang bersifat toksin terhadap larva serangga.

Penggunaan bioinsektida ditujukan untuk menggantikan insektisida kimia yang banyak digunakan selama ini. Menurut Behle et al. (1999), bioinsektisida memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan insektisida kimia. Keunggulan tersebut adalah sifat dari bioinsektisida yang spesifik terhadap hama serangga sehingga tidak membahayakan organisme non target lainnya, penggunaannya aman, dan bersifat ramah lingkungan karena tidak menyebabkan terjadinya penumpukan residu pada hasil pertanian dan dalam tanah. Menurut Becker dan Margalit (1993),


(19)

5 penggunaan insektisida kimia dengan dosis dan frekuensi yang tinggi menjadikan serangga vektor penyakit menjadi resisten terhadap insektisida kimia tersebut dan menyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem.

2.3

Bacillus thuringiensis

SEBAGAI BIOINSEKTISIDA

A.

Bacillus thuringiensis

(

B.t

)

B.t merupakan bakteri yang berbentuk batang dengan ukuran 3-5 µm ketika tumbuh pada media. Bakteri ini tergolong ke dalam kelas Schizomycetes, ordo Eubacteriales, dan famili Bacillaceae. Bakteri ini bersifat gram positif, aerob umumnya anaerob fakultatif, dan berflagelum. Bakteri ini dapat membentuk spora secara aerobik dan selama masa sporulasi juga dapat membentuk kristal protein yang toksik. Kristal protein ini dikenal dengan nama δ -endotoksin (Shieh 1994).

εenurut Dulmage (1981), menyatakan bahwa selain menghasilkan δ-endotoksin,

bakteri ini juga menghasilkan α-eksotoksin, β-eksotoksin, dan faktor kutu. α-eksotoksin memiliki sifat yang tidak tahan terhadap panas dan larut di dalam air. β-eksotoksin memiliki sifat yang tahan terhadap panas, larut di dalam air, dan sangat beracun terhadap larva beberapa

jenis lalat. β-eksotoksin diproduksi pada masa pertumbuhan sel vegetatif dan terdiri atas adenine, ribose, glukosa, dan asam allaric dengan sekelompok fosfat. Sel-sel vegetatif yang dihasilkan dapat membentuk suatu rantai yang terdiri dari lima sampai enam sel.

B.t merupakan bakteri yang paling penting secara ekonomi dan terbanyak digunakan untuk produksi bioinsektisida, sehingga bioinsektisida komersial B.t digunakan secara luas untuk mengendalikan larva hama serangga (Feitelson et al. 1992). Selain itu, menurut de Barjac dan Frachon (1990), B.t mempunyai sifat yang spesifik, aman terhadap lingkungan, dan bersifat entomopatogenik. Spora B.t berbentuk oval, letaknya subterminal, berwarna hijau kebiruan, dan berukuran 1.0-1.3 µm. Pembentukan spora terjadi dengan cepat pada suhu 35-37oC. Spora tersebut relatif tahan terhadap pengaruh fisik dan kimia. Spora ini mengandung asam dipikolinik (DPA), merupakan 10-15% dari berat kering spora. Asam ini bisa terdapat dalam bentuk kombinasi dengan unsur kalsium.

B.

Bacillus thuringiensis

subsp.

aizawai

(

B.t.a

) Sebagai Bahan Aktif

Bioinsektisida

Bacillus thuringiensis subsp. aizawai (B.t.a) pertama kali ditemukan oleh Aizawa pada tahun 1962 (Dulmage 1981). Bakteri ini mempunyai endospora subterminal berbentuk oval dan selama masa sporulasi menghasilkan satu kristal protein dalam setiap selnya. Kristal protein ini dikenal juga sebagai δ-endotoksin yang merupakan komponen utama yang menyebabkan bersifat insektisidal. εenurut Faust dan Bulla (1982), δ-endotoksin tersebut bersifat termolabil karena dapat terdenaturasi oleh panas (walaupun lebih stabil dibandingkan eksotoksin yang terlarut) dan tidak larut dalam pelarut organik namun larut dalam pelarut alkalin.

Sebagai organisme mesofilik, kisaran suhu pertumbuhannya ialah 15-45oC dengan suhu optimum 26-30oC. Kisaran pH pertumbuhannya ialah 5.5-8.5 dengan pH optimum 6.5-7.5 (Benhard dan Utz 1993).

B.t.a dapat membentuk endospora yang berbentuk elips di bagian subterminal sel. Seperti halnya pada Bacillus thuringiensis lain, selama masa sporulasi, B.t.a membentuk tubuh paraspora berupa kristal protein yang disebut juga δ-endotoksin (Sneath 1986).


(20)

6 Kristal protein B.t.a berbentuk bipiramida yang bersifat insektisida terhadap larva serangga yang tergolong dalam ordo Lepidoptera dan Diptera (Lereclus et al. 1993).

Sifat insektisida B.t.a berhubungan dengan gen penyandi kristal protein yang disebut gen cry. Menurut klasifikasi terbaru, dikenali ada 22 gen cry dan 2 gen cyt. Gen cry yang dimiliki B.t.a meliputi cry1A(a), cry1A(b), cry1C(a), cry1D(a) (Crickmore et al. 1998). Protein cry1C(a) menyandikan protein yang toksik terhadap Spodoptera litura, sedangkan protein cry1 lain yang dimiliki B.t.a, yaitu cry1A(a), cry1A(b), cry1D(a) kurang toksik terhadap Spodoptera litura, tetapi dapat memberikan pengaruh sinergis pada protein cry1C(a) sehingga dapat meningkatkan keampuhannya (Muller et al. 1996). Sedangkan menurut Liu et al. (1998), pada beberapa kasus, spora ternyata secara sinergis dapat meningktakan toksisitas kristal protein. Pada B.t.a, sinergisme yang terjadi adalah antara spora dengan protein cry1C(a) tetapi tidak dengan protein cry1 yang lain.

C.

Kristal Prot

ein (δ

-endotoksin)

Bacillus thuringiensis

Komponen utama penyusun kristal protein pada sebagian besar B.t adalah polipeptida dengan berat molekul (BM) berkisar antara 130-140 kilodalton (kDa). Polipeptida ini adalah protoksin yang dapat berubah menjadi toksin dengan BM yang bervariasi dari 30-80 kDa, setelah mengalami hidrolisis pada kondisi pH alkali dan adanya protease dalam saluran pencernaan serangga. Aktivitas insektisida tersebut akan menghilang jika BM lebih rendah dari 30 kDa (Aronson et al. 1986 dan Gill et al. 1992).

Kristal protein ini terbentuk bersamaan dengan pembentukan spora, yaitu pada waktu sel mengalami sporulasi. Kristal tersebut merupakan komponen protein yang mengandung toksin (δ-endotoksin) yang terbentuk di dalam sel selama 2-3 jam setelah akhir fase eksponensial dan baru keluar dari sel pada waktu sel mangalami autolisis setelah sporulasi sempurna. Sekitar 95% dari keseluruhan komponen kristal terdiri dari protein dengan asam amino (umumnya terdiri dari asam glutamat, asam aspartat, dan arginin), sedangkan 5% sisanya terdiri dari karbohidrat yaitu mannosa dan glukosa (Bulla et al. 1977), serta tidak mengandung asam nukleat maupun asam lemak. Protein yang mnyusun kristal protein tersebut terdiri dari 18 asam amino. Kandungan asam amino yang terbesar adalah asam aspartat dan asam glutamat (Fast 1981).

Kristal protein B.t mempunyai beberapa bentuk, di antaranya bentuk bulat pada subsp. israelensis yang toksik terhadap Diptera, bentuk kubus yang toksik terhadap Diptera tertentu dan Lepidoptera, bentuk pipih empat persegi panjang (flat rectangular) pada subsp. tenebriosis yang toksik terhadap Coleoptera, bentuk piramida pada subsp. kurstaki yang toksik terhadap Lepidoptera (Shieh 1994).

Sedangkan menurut Trizelia (2001), kristal protein memiliki beberapa bentuk. Ada hubungan nyata antara bentuk kristal dengan kisaran daya bunuhnya. Varietas yang memiliki daya bunuh terhadap serangga ordo Lepidoptera memiliki kristal protein yang berbentuk bipiramida dan jumlahnya hanya satu tiap sel, sedangkan yang berbentuk kubus, oval, dan amorf umumnya bersifat toksik terhadap serangga ordo Diptera dan jumlahnya dapat lebih dari satu tiap sel. Kristal yang memiliki daya bunuh terhadap serangga ordo Coleoptera berbentuk empat persegi panjang dan datar batu pipih.

Aktifitas toksin dari kristal protein ini tergantung pada sifat intrinsik dari usus serangga, seperti kadar pH dari sekresi enzim proteolitik dan kehadiran spora bakteri secara terus menerus beserta kristal protein yang termakan (Burgerjon dan Martouret 1971). Selain itu,


(21)

7 efektifitas dari toksin tertentu dipengaruhi oleh kelarutan, afinitas terhadap reseptor yang ada serta pemecahan proteolitik ke dalam toksin.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa cara kerja kristal protein sebagai toksin dari B.t dapat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor spesifikasi dari mikroorganisme dan kerentanan dari serangga sasaran (Milne et al. 1990). Selain itu, umur dari serangga merupakan salah satu faktor yang menentukan toksisitas dari B.t. Jentik serangga yang lebih muda lebih rentan jika dibandingkan dengan jentik yang lebih tua (Swadener 1994).

D.

Proses Toksisitas dan Infeksi

Bacillus thuringiensis

Proses toksisitas kristal protein (δ-endotoksin) sebagai bioinsektisida dimulai ketika serangga memakan kristal protein tersebut, maka kristal tersebut akan larut di dalam usus tengah serangga. Setelah itu, dengan bantuan enzim protease pada pencernaan serangga, maka kristal protein tersebut akan terpecah struktur kristalnya. Toksin aktif yang dihasilkan akan berinteraksi dengan reseptor pada sel-sel epitelium usus tengah larva serangga, sehingga akan membentuk pori-pori kecil berukuran 0.5-1.0 nm. Hal ini akan mengganggu keseimbangan osmotik sel di dalam usus serangga sehingga ion-ion dan air dapat masuk ke dalam sel dan menyebabkan sel mengembang dan mengalami lisis (hancur). Larva akan berhenti makan dan akhirnya mati (Hofte dan Whiteley 1989; Gill et al. 1992).

Kristal protein yang bersifat insektisida ini sebenarnya hanya protoksin yang jika larut dalam usus serangga akan berubah menjadi polipeptida yang lebih pendek (27-147 kDa). Pada umumnya, kristal protein di alam bersifat protoksin karena adanya aktivitas proteolisis dalam sistem pencernaan serangga yang mengubah B.t protoksin menjadi polipeptida yang lebih pendek dan bersifat toksin. Toksin yang telah aktif berinteraksi dengan sel-sel epitelium di usus tengah serangga sehingga menyebabkan terbentuknya pori-pori di sel membran saluran pencernaan serangga (Bahagiawati, 2002). Proses toksisitas Bacillus thuringiensis pada larva ulat dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Proses toksisitas Bacillus thuringiensis pada larva ulat Sumber : (http://www.inchem.org/documents/ehc/ehc/ehc217.htm)

Kristal protein B.t.a yang tersusun atas protein cry1A(a) (32%), cry1A(b) (38%), cry1C(a) (26%), cry1D(a) (5%) (Wright et al. 1997) dengan berat molekul 130-140 kDa, apabila terserap dalam suasana basah, saluran pencernaan tengah serangga yang rentan akan


(22)

8 terlarut dan terhidrolisis untuk menghasilkan protein toksin. Selama aktivitas proteolitiknya tersebut, protease akan mengubah polipeptida tersebut menjadi fragmen toksin aktif berukuran 60-70 kDa. Toksin cry1A(a) dan cry1A(b) akan berikatan dengan reseptor spesifik yang berukuran 210 kDa pada membran mikrofili apikal sel epithelium usus tengah serangga, sementara protein cry1C(a) berikatan dengan reseptor lainnya yang berukuran 40 kDa. Ikatan antara toksin dengan reseptornya itu akan menginduksi perubahan konformasi toksin yang diikuti dengan penyisipan toksin pada membran sehingga terjadi oligomerisasi toksin berupa lubang pada pori membran (Bravo 1997). Fenomena tersebut mengakibatkan sistem pompa ion K+ pada membran aplikasinya tidak berfungsi sehingga mengganggu keseimbangan osmotik yang berakibat lisisnya sel. Akhirnya, larva akan berhenti makan dan mati karena gejala septisemia setelah satu atau tiga hari (Aronson et al. 1986 ; Hofte and Whiteley 1989 ; Prieto-Samsonov et al. 1997).

Efektifitas dari toksin tertentu juga dipengaruhi oleh kelarutan, afinitas tehadap reseptor yang ada serta pemecahan proteolitik ke dalam toksin. Secara umum dapat disimpulkan bahwa cara kerja kristal protein sebagai toksin dari B.t dapat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor spesifikasi dari mikroorganisme dan kerentanan dari serangga sasaran (Milne et al. 1990). Selain itu, umur dari serangga merupakan salah satu faktor yang menentukan toksisitas dari B.t. Jentik serangga yang lebih muda lebih rentan jika dibandingkan dengan jentik yang lebih tua (Swadener 1994).

2.4

FERMENTASI

Bacillus

thuringiensis

subsp.

aizawai

DAN

KONDISINYA

A. Media Pertumbuhan Dan Fermentasi

Faktor yang sangat mempengaruhi fermentasi B.t adalah komponen media dan kondisi fermentasi untuk pertumbuhan seperti pH, kelarutan oksigen, dan temperatur (Dulmage dan Rhodes 1971). Dalam pertumbuhan mikroorganisme membutuhkan sumber air, karbon, nitrogen, unsur mineral, dan faktor pertumbuhan dalam media pertumbuhannya (Vandekar dan Dulmage 1982). Media basal untuk pertumbuhan B.t terdiri dari garam, glukosa, dan asam amino, seperti asam glutamat, asam aspartat, dan alanin dalam konsentrasi yang cukup untuk mendukung pertumbuhan dan sporulasi B.t (Dulmage et al. 1990).

Pearson dan Ward (1988) mengemukakan bahwa komposisi media berpengaruh pada produk bioinsektisida yang dihasilkan. Beberapa formula media menghasilkan jumlah sel maksimum dan waktu terjadinya lisis sel yang berbeda-beda. Hal ini didukung juga oleh pendapat Mummigatti dan Raghunathan (1990) bahwa komposisi media berpengaruh terhadap pertumbuhan, toksisitas, dan potensi produk B.t.

Menurut Dulmage dan Rhodes (1971), karbon adalah bahan utama untuk mensintesis sel baru atau produk sel. Beberapa sumber karbon yang dapat digunakan untuk memproduksi bioinsektisida B.t dengan fermentasi terendam adalah glukosa, sirup jagung, dekstrosa, sukrosa, laktosa, pati, minyak kedelai, dan molases dari bit dan tebu. Dalam penentuan sumber karbon, konsentrasi yang digunakan harus dipilih secara hati-hati. Hal ini karena semua galur B.t yang telah diteliti sejauh ini dapat memproduksi asam dari metabolisme glukosa. Menurut Rehm dan Reed (1981), jika konsentrasi glukosa terlalu tinggi, yaitu 50 g/L, pH media akan turun lebih rendah dari 5.6-5.8 dan keasaman yang terlalu tinggi akan menghambat dan menghentikan pertumbuhan B.t. Akan tetapi, jika konsentrasi gula terlalu rendah, menurut Vandekar dan Dulmage (1982), akan dapat menghentikan pertumbuhan B.t dengan segera, sehingga biomassa yang dihasilkan akan kurang baik karena dapat memperlambat proses


(23)

9 sporulasi yang menyebabkan proses fermentasi menjadi lebih lama. Nitrogen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme biasanya dipenuhi oleh garam amonium. Dalam hal ini, sering nitrogen organik harus disediakan dalam bentuk asam amino tunggal atau bahan kompleks termasuk asam nukleat dan vitamin. Beberapa sumber nitrogen yang sering digunakan dalam memproduksi bioinsektisida B.t adalah tepung kedelai, tepung biji kapas (proflo), corn steep, gluten jagung, ekstrak khamir, pepton kedelai, tepung ikan, tripton, tepung endosperma, dan kasein.

Selain sumber karbon dan nitrogen, mikroorganisme juga memerlukan mineral untuk pertumbuhan dan pembentukan produk metabolit. Kebutuhan mineral bervariasi tergantung pada jenis mikroorganisme yang ditumbuhkan. Menurut Dulmage dan Rhodes (1971), garam-garam organik yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroorganisme meliputi K, Mg, P, S, dan yang diperlukan dalam jumlah yang sedikit seperti Ca, Zn, Fe, Co, Cu, Mo, dan Mn. Dalam media fermentasi B.t ditambahkan 0.3 g/l MgSO4.7H2O, 0.02 g/l MnSO4.7H2O, 0.02 g/l

ZnSO4.7H2O, 0.02 g/l FeSO4.7H2O, dan 1.0 g/l CaCO3.

Menurut Dulmage dan Rhodes (1971), Ca selain berperan dalam pertumbuhan dan

produksi δ-endotoksin juga berfungsi untuk menjaga kestabilan spora terhadap panas. Penambahan ion Mg2+, Mn2+, Zn2+, dan Ca2+ ke dalam media perlu dipertimbangkan, karena berperan dalam pertumbuhan dan sporulasi B.t (Vandekar dan Dulmage, 1982).

B. Kondisi Fermentasi

Kondisi fermentasi B.t dalam labu kocok dilakukan pada suhu 28-32 0C, pH awal media diatur sekitar pH 6.8-7.2, agitasi 142-340 rpm, dan dipanen pada waktu inkubasi 24-48 jam. Sedangkan fermentasi B.t dalam fermentor dilakukan pada kondisi suhu 28-320C, pH awal media sekitar 6.8-7.2, volume media sekitar setengah sampai dua per tiga dari kapasitas volume fermentor, agitasi 400-700 rpm, aerasi 0.5-1.5 volume udara/volume media/menit (v/v/m), dan dipanen pada waktu inkubasi 40-72 jam (Vandekar dan Dulmage 1982; Pearson dan Ward 1988; dan Sikdar et al. 1993).

Pertumbuhan optimum sebagian bakteri terjadi pada pH sekitar 7. Nilai pH awal media fermentasi sering kali diatur dengan menggunakan larutan penyangga atau dengan penambahan alkali atau asam steril. Nilai pH awal untuk media fermentasi Bacillus ditentukan pada kisaran 6.8-7.2. Selama fermentasi pH dapat berubah dengan cepat tergantung pada penggunaan karbohidrat dan protein. Penggunaan karbohidrat yang terlalu banyak daripada protein dapat menurunkan pH, sedangkan penggunaan protein yang terlalu banyak daripada karbohidrat dapat menaikkan pH. Nilai pH dapat dikendalikan dengan memelihara keseimbangan antara senyawa gula dan nitrogen (Quinlan dan Lisansky 1985).

Menurut Vandekar dan Dulmage (1982), tiap mikroorganisme akan berbeda-beda dalam hal kebutuhan oksigen, dan kebutuhan ini akan berubah-ubah selama fase pertumbuhan yang berbeda. Dalam kondisi fermentasi yang aerob, penting untuk memperoleh campuran yang sesuai antara mikroorganisme, nutrien, dan udara. Untuk memperoleh hal tersebut harus dilakukan agitasi secara terus-menerus terhadap cairan fermentasi selama proses fermentasi. Hal ini penting apabila kultur ditumbuhkan dalam tabung atau labu. Agitasi dan aerasi tidak praktis jika dilakukan terhadap setiap labu secara sendiri-sendiri, maka aerasi dilakukan di atas mesin kocok.

Aerasi (O2 bebas dari udara) dibutuhkan untuk pertumbuhan sel bakteri. Tujuan aerasi

adalah memperoleh udara untuk fermentasi pada kecepatan yang akan memenuhi kebutuhan mikroorganisme untuk pertumbuhannya (Vandekar dan Dulmage 1982).


(24)

10

C. Pemanenan (Recovery)

Bahan aktif insektisida B.t dapat dipanen dengan sentrifugasi, filtrasi, presipitasi, spray drying, atau kombinasi dari proses-proses tersebut. Bahan aktif insektisida tersebut kemudian dapat diformulasikan menjadi produk flowable liquid, wettable powder, dust, atau granular tergantung pada tipe fermentasi, segi ekonomi dari proses, dan kebutuhan formulasi tertentu (Quinlan dan Lisansky 1985).

D. Penentuan Aktivitas Insektisida Mikroba

Terdapat perbedaan pengukuran aktivitas mikroba antara insektisida kimia dengan bioinsektisida. Pada insektisida kimia prosedur yang dilakukan untuk memonitor produksi relatif sederhana. Hal ini karena produk yang digunakan adalah produk murni yang telah dievaluasi dan aktivitas insektisidanya telah diketahui sebelumnya. Sedangkan pada bioinsektisida, aktivitas insektisida dari mikroorganisme tidak dapat diukur secara kimia, melainkan dengan bioassay. Bioassay merupakan salah satu cara untuk menentukan serbuk bahan aktif yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Pada insektisida kimia, bioassay hanya digunakan sebagai pelengkap (Vandekar dan Dulmage 1982).

Insektisida mikroba ditentukan aktivitasnya dengan menghitung jumlah spora hidup dan melalui bioassay untuk menentukan kadar letal (LC50) dan International Unit (IU) (Vandekar

dan Dulmage 1982) atau dosis letal (LD50), Diet Dillution Unit (DDU50) dan IU (Dulmage dan

Rhodes, 1971). LC50, LD50, DDU50 sebenarnya hanya menunjukkan potensi relatif produk,

karena potensi produk insektisida mikroba (Bacillus thuringiensis) dinyatakan dalam satuan internasional (SI) dengan cara pengukuran sebagai berikut :

2.5

LARVA

Crocidolomia pavonana

(

C. binotalis

) SEBAGAI SERANGGA

SASARAN

Bacillus thuringiensis

subsp

aizawai

Ulat krop kubis (Crocidolomia pavonana)memiliki nama lokal dalam Bahasa Indonesia: ulat krop kubis; hileud cocok; olet bosok. Kubis yang dimakan larva ulat krop kubis dapat mengakibatkan tanaman Brassica tidak laku dijual. Penggunaan pendekatan Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) akan membantu mengatasi hal ini serta hama penting lainnya seperti ngengat ulat daun kubis (www.indopetani.com)

Crocidolomia pavonana (C. binotalis) tergolong dalam famili Pyralidae, ordo Lepidoptera, filum Arthropoda, genus Croccidolomia, dan kelas Insecta (Kalshoven 1981). Dalam siklus hidupnya, ulat ini mengalami metamorfosis sempurna yang melewati empat stadium, yaitu telur, larva, pupa, dan imago (Suyanto 1994).

C. pavonana atau C. binotalis merupakan hama utama pada tanaman kubis-kubisan seperti kubis, sawi, lobak, petsai, dan brokoli (Kalshoven 1981). Daerah persebaran hama ini cukup luas mencakup Afrika Selatan, Asia Tenggara, Australia, dan Kepulauan Pasifik. Di Pulau Jawa, hama ini ditemukan di dataran rendah maupun dataran tinggi. Ulat C. binotalis dapat dilihat pada Gambar 2.

Di dataran tinggi Indonesia, ulat krop kubis memerlukan waktu satu bulan lebih sedikit bagi telur untuk berkembang menjadi ulat dewasa. Daur hidupnya serta kerusakan yang ditimbulkannya dapat dilihat dibawah Gambar 2.


(25)

11 Gambar 2. Daur hidup ulat krop kubis dan kerusakan yang diakibatkan olehnya

(Sumber : www.indopetani.com)

Gambar 3. Ngengat dewasa sedang berada pada permukaan daun ( Sumber : www.indopetani.com)

Ngengat ulat krop kubis memiliki panjang sekitar 18 mm dan berwarna cokelat krem muda (Gambar 3). Telur yang diratakan ditaruh di saling tumpang tindih dalam gugusan yang mengandung 10-140 telur. Gugusan telur yang baru ditaruh di berwarna hijau pucat. Warnanya berubah menjadi kuning cerah sebelum segera menjadi coklat tua sebelum menetas. Gugusan telur ulat krop kubis berbeda dengan gugusan telur ulat grayak (Spodoptera) yang ditutupi sisik halus.

Gambar 4. Kumpulan telur ulat krop kubis: a) berumur satu hari berwarna kuning, b) lebih dewasa saat bentuk seperti irisan jeruk terlihat; dan c) telur berwarna coklat tua siap untuk menetas (Sumber : www.indopetani.com) Larva yang baru menetas berukuran panjang 2-3 mm, berbulu dan terlihat ‘basah’ serta makan secara berkelompok. Larva yang lebih dewasa berwarna hijau muda, berbulu dan memiliki garis-garis hijau pucat atau muda sepanjang punggung mereka. Mereka menutupi permukaan tanaman dengan anyaman sutera tebal dan makan di bawahnya. Larva yang telah tumbuh sempurna (panjang 20 mm) menggali tanah dan membentuk kepompong cokelat mengkilap. Ngengat dewasa muncul sekitar dua minggu kemudian.

Hama ini sangat merusak karena larva memakan daun baru di bagian tengah tanaman kubis. Saat bagian tengah telah hancur, larva pindah ke ujung daun dan kemudian turun ke daun yang lebih tua (Gambar 2). Kebanyakan tanaman yang terserang akan hancur seluruhnya jika ulat krop kubis tidak dikendalikan.


(26)

12 Gambar 5. Kerusakan yang diakibatkan larva ulat krop kubis: ke bagian tengah

tanaman (kiri), kemudian menghancurkan seluruh tanaman dari bagian tengah (Sumber : www.indopetani.com)

Ulat krop kubis rentan terhadap sebagian besar insektisida tetapi insektisida tersebut harus dipilih dengan hati-hati untuk memastikan mereka tidak merugikan musuh alami ngengat ulat kubis. PHT adalah pendekatan yang paling efektif salah satunya adalah gunakan insektisida selektif yang tidak begitu berbahaya bagi musuh alami: Bacillus thuringiensis atau B.t (seperti Bacillin, Bite, Dipel), abamektin (seperti Amect, Mitigate) atau spinosad (seperti Success, Tracer). Insektisida ini membunuh larva bukan telur dan harus digunakan saat larva masih kecil.

Kerusakan yang disebabkan C. pavonana atau C. binotalis dapat menurunkan hasil baik kualitas maupun kuantitas, karena menyebabkan kerusakan krop kubis bahkan kubis tidak dapat membentuk krop (Uhan 1993). Kehilangan hasil akibat serangan C. binotalis dapat mencapai 65.8 %.

Larva yang baru keluar telur akan hidup berkelompok, memakan daun dari permukaan bawah karena menghindari cahaya. Bekas daun yang dimakan kelompok larva instar I biasanya berupa bercak putih yang merupakan lapisan epidermis daun yang tidak ikut dimakan dan berlubang bila epidermis mengering. Apabila serangga terjadi pada saat kubis sudah membentuk krop, larva yang telah mencapai instar III akan menggerek ke dalam krop dan merusak bagian ini, sehingga menurunkan nilai ekonomi. Pembusukan pada krop yang sudah rusak dapat terjadi karena munculnya serangan sekunder oleh cendawan dan bakteri (Sastrosiswojo dan Setiawati 1993).

Larva C. binotalis melewati empat instar. Larva instar I berkelompok pada permukaan bawah daun, berwarna krem dengan kepala hitam kecoklatan, berukuran 2.1-2.7 mm dengan stadium rata-rata 2 hari. Larva instar II bewarna hijau terang, berukuran 5.5-6.1 mm dengan stadium rata-rata-rata-rata 2 hari. Larva instar III berwarna hijau, berukuran 1.1-1.3 mm, stadium rata-rata 1.5 hari. Larva instar IV berwarna hijau dengan tiga garis putih pada bagian dorsal dan satu pada bagian lateral tubuh, stadium rata-rata 3.2 hari.

Dua hari setelah ganti kulit, warna kulit larva instar IV berubah menjadi coklat, larva menjadi tidak aktif, dan tidak banyak makan. Setelah 24 jam, larva akan masuk ke dalam tanah dan membentuk pupa. Pupa berwarna kecoklatan dan ukuran tubuhnya 9-10 mm (Prijono dan Hassan 1992). Masa pupa berlangsung selama 9-13 hari (Othman 1982) dan rata-rata 11.4 hari pada brokoli (Prijono dan Hassan 1992).


(27)

13

2.6

KINETIKA FERMENTASI

Kinetika fermentasi secara umum dikaji berdasarkan laju penggunaan substrat, laju pertumbuhan biomassa dan laju pembentukan produk (Judoamidjojo et al. 1990).

Keterangan :

µ

x = Laju pertumbuhan biomassa

µ

N = Laju pertumbuhan sel

Y X/S = Yield atau koefisien randemen biomassa (g sel/g substrat)

Y N/S = Yield atau koefisien randemen sel (cfu/g substrat)

Y P/S = Yield atau koefisien randemen produk (g produk/g substrat)

Y P/N = Yield atau koefisien randemen produk (g produk/cfu)

Kinetika pertumbuhan sel dan pembentukan produk dipengaruhi oleh kemampuan sel

(Gumbira Sa’id 1987). εenurut εangunwidjaja dan Suryani (1994), hubungan kinetika pertumbuhan

sel dan pembentukan produk tergantung pada peranan produk tersebut dalam metabolisme sel. Pertumbuhan sel B.t.a dapat dicirikan dengan waktu yang digunakan untuk menggandakan jumlah atau massa sel dan konversi substrat menjadi biomassa.

(1.2)

(1.3)

(1.4)


(28)

14

III. METODE PENELITIAN

3.1

ALAT DAN BAHAN

Alat-alat yang digunakan adalah rotary shaking incubator, autoklaf, pH-meter, oven, lemari es, inkubator, neraca analitik, desikator, spektrofotometer, freezer, loop inokulasi, dan alat-alat gelas lainnya seperti labu erlenmeyer, tabung reaksi, pipet, bunsen, cawan petri, dan gelas piala.

Bahan yang digunakan adalah kultur Bacillus thuringiensis subsp. aizawai yang diperoleh dari IPB Culture Collection (IPBCC) pada media agar miring. Substrat yang digunakan adalah limbah cair tahu yang diperoleh dari Industri Tahu Yun Yi dan air kelapa dari Pasar Cibereum. Kubis yang digunakan diperoleh dari petani sayur organik Darmaga. Larva ulat Crocidolomia pavonana (C.

binotalis) atau ulat kubis yang diperoleh dari Laboratorium Fisiologi dan Toksin Departemen Hama

dan Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB. Mineral yang digunakan adalah MgSO4.7H2O,

MnSO4.7H2O, ZnSO4.7H2O, FeSO4.7H2O, CaCO3, dan urea. Bahan-bahan yang digunakan untuk

analisa adalah nutrien agar (NA), nutrien broth (NB), HCl, NaOH, CH3COOH, H2SO4 pekat, fenol,

garam fisiologis, etanol 95%, aqua destilata, Pro-Stiker, dan spiritus.

3.2

TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioindustri dan Laboratorium Dasar Ilmu Terapan (DIT) Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada bulan Februari-Juni 2011.

3.3

METODE PENELITIAN

A. Penelitian Pendahuluan 1.Analisa Bahan Baku

a) Penetapan Kadar Air dengan Metode Oven (AOAC, 1984)

Cawan aluminium kosong dipanaskan dengan oven 105oC selama 15 menit, kemudian didinginkan dengan desikator selama 30 menit dan ditimbang. Prosedur pengeringan cawan ini diulang sampai didapatkan bobot tetap. Sampel sebanyak 4-5 gram ditimbang dalam cawan tersebut, kemudian dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC selama 3-5 jam. Setelah cawan dikeluarkan dari oven dan didinginkan, diulang sampai didapatkan bobot tetap bahan. Presentase kadar air dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Keterangan :

A : Bobot cawan berisi sampel sebelum dioven (g) B : Bobot cawan berisi sampel setelah dioven (g) C : Bobot sampel basa (g)

b) Penetapan Kadar Abu dengan Metode Oven (AOAC, 1984)

Sampel sebanyak 4-5 gram ditimbang dalam cawan yang bobotnya konstan. Dibakar sampai tak berasap di atas bunsen dengan api kecil, kemudian dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600oC sampai menjadi abu. Cawan didinginkan dalam desikator selama 15 menit (1.6)


(29)

15 kemudian ditimbang. Pengabuan diulangi, dengan cara dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600oC selama 1 jam sampai didapat bobot yang tetap. Presentase kadar abu dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Keterangan :

A : Bobot cawan berisi abu sampel (g) B : Bobot cawan (g)

C : Bobot sampel basa (g)

c) Penetapan Kadar Protein (Nitrogen) dengan Metode Kjedhal

Sampel sebanyak 10 gram ditimbang dan ditambahkan dengan 1 gram katalis (CuSO4 +

Na2SO4) dan 5 ml larutan H2SO4 pekat. Kemudian sampel didestruksi dengan labu Kjedhal

selama 1 jam atau sampai warna menjadi hijau bening. Setelah dingin, sampel didistilasi dengan NaOH 6 N dan asam borat selama 4 menit, selanjutnya dititrasi menggunakan H2SO4

0.02 N sampai warna berubah menjadi ungu. Blanko disiapkan seperti pada prosedur penentuan kadar nitrogen dengan metode Kjedhal. Penentuan kadar nitrogen dihitung berdasarkan rumus berikut:

2. Penyiapan Inokulum Bacillus thuringiensis subsp. aizawai

Inokulum (kultur bibit) kultivasi disiapkan secara bertahap mengikuti metode Vandekar dan Dulmage (1982). Diagram alir persiapan inokulum disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6. Diagram alir penyiapan inokulum B.t.a Penentuan waktu pemanenan cairan kultivasi :

Sampling 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Jam Ke- 0 3 6 9 12 15 18 24 36 48 72 (1.7)

(1.8)

Satu loop biakan B.t subsp. aizawai

Inokulasi dalam 50 ml medium NB (labu pembibitan 1) Inkubasi dalam rotary shaking incubator 30oC ; 180 rpm ; 12 jam

Kultur digunakan untuk menginokulasi medium NB labu pembibitan II (5% dari volume media kedua)

Inkubasi dalam rotary shaking incubator 30oC ; 180 rpm ; 12 jam Inokulum/Starter


(30)

16

B. Penelitian Utama

1. Penyiapan Media Kultivasi

Susunan media kultivasi yang akan dibuat dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3. yang dibuat dua kali ulangan.

Tabel 3. Perbandingan media kultivasi

Sandi Media Rasio C/N Perbandingan Media Urea

A 3:1

80% Limbah Cair Tahu dan 20% Air Kelapa

0.0558 gr

B 5:1 0.0243 gr

C 7:1 0.0120 gr

D 9:1 0.0054 gr

E 11:1 0.0013 gr

Jenis dan jumlah mineral yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan yang digunakan oleh Dulmage dan Rhodes (1971), yaitu 0.3 g/l MgSO4.7H2O, 0.02 g/l

ZnSO4.7H2O, 0.02 g/l FeSO4.7H2O, 0.02 g/L ZnSO4.7H2O dan 1.0 g/l CaCO3.

Pembuatan media kultivasi yang dilakukan adalah sebagai berikut : limbah cair tahu, air kelapa, urea, trace element dan CaCO3 dicampur hingga homogen kemudian

pH diatur hingga 6.8 - 7.2 selanjutnya disterilisasi. Setelah disterilisasi menggunakan autoklaf didinginkan sampai ± 50oC. Kemudian media dibagi-bagi dalam beberapa labu erlenmeyer dan ditambahkan starter inokulum B.t.a sebanyak 10% dari volume media.

2. Kultivasi

Kultivasi B.t.a dilakukan secara curah dengan kondisi kultivasi sebagai berikut : kultivasi dilakukan dalam labu erlenmeyer 250 ml pada suhu 28-32oC, pH awal media diatur 6.5-7.5, volume media fermentasi 50 ml. Diinkubasi dengan kecepatan 180 rpm, dan dipanen pada waktu inkubasi 0-72 jam. Kultivasi dilakukan dua kali ulangan dengan kondisi kultivasi yang sama antara ulangan I dan ulangan II disajikan dalam Tabel 4. sebagai berikut :

Tabel 4. Kondisi kultivasi

Sandi Media Sandi Media Kultivasi Jumlah starter yang ditambahkan

A A1 dan A2 10 % (v/w)

B B1 dan B2 10 % (v/w)

C C1 dan C2 10 % (v/w)

D D1 dan D2 10 % (v/w)

E E1 dan E2 10 % (v/w)

3. Pemanenan

Pemanenan hasil kultivasi dilakukan pada waktu inkubasi yang telah ditentukan, yaitu pada jam ke-0,3,6,9,12,15,18,24,36,48 dan jam ke-72. Kemudian dilakukan analisis pH, total mikroba, jumlah spora hidup, total gula sisa, kekeruhan, bobot kering biomassa dan toksisitas. Gambar 7. menunjukkan diagram alir produksi bioinsektisida B.t.a.


(31)

17

4. Penentuan Toksisitas Produk (Bioassay)

Penentuan jumlah spora hidup yang terkandung dalam produk bioinsektisida atau campuran spora kristal hasil kultivasi dan pengujian toksisitasnya terhadap larva Crocidolomia pavonana yang dinyatakan dalam LC50 dengan metode bioassay. LC50

dapat ditentukan dengan menggunakan analisis probit program Probit Quant (software dari Steve Maund, University of Wales, College of Cardiff, Inggris).

C. Analisa Pra dan Paska Kultivasi 1. Pengukuran pH

Pengukuran pH cairan dilakukan dengan menggunakan pH-meter yang telah dikalibrasi dengan menggunakan buffer standar (4,7, dan 10). Sampel cairan kultur diambil pada waktu yang telah ditentukan dan langsung diukur dengan pH-meter tanpa dilakukan pengenceran terlebih dahulu.

2. Jumlah Spora Hidup (Viable Spore Count atau VSC)

Gambar 8. Diagram alir penentuan jumlah spora hidup 1 ml cairan fermentasi

Inkubasi pada suhu 30oC selama 24 jam

1 ml dari setiap pengenceran ditumbuhkan pada medium agar cawan Pembuatan sederetan pengenceran

Pemanasan pada suhu 70oC selama 15 menit Pengenceran ke dalam 9 ml larutan garam fisiologis

Penghitungan jumlah koloni Starter B.t subsp. aizawai

B.t subsp. aizawai

50 ml medium NB (Labu pembibitan 1) Rotary shaking incubator

180 rpm, 30oC, 12 jam Inokulasi pada 550 ml medium NB

(Labu pembibitan II) (5% dari volume media) Rotary shaking incubator 180 rpm, 30oC, 12 jam

Sterilisasi

Hasil fermentasi Uji Toksisitas pada Larva C. pavonana (C. binotalis) Inkubasi pada rotary shaking incubator

180 rpm, 30oC, 3-72 jam

Gambar 7. Diagram alir produksi bioinsektisida B.t.a.

Limbah cair tahu, air kelapa, trace element,

urea, NaOH


(32)

18 1 ml cairan fermentasi

1 ml dari setiap pengenceran ditumbuhkan pada medium agar cawan Pembuatan sederetan pengenceran

Inkubasi pada suhu 30oC selama 24 jam Penghitungan jumlah koloni

Pengenceran ke dalam 9 ml larutan garam fisiologis

3. Pengamatan Jumlah Sel dengan Metode TPC

Gambar 9. Diagram alir penentuan jumlah sel hidup

4. Penetapan Total Gula dengan Metode Fenol H2SO4 (Dubois et al. 1956)

Sebelum dilakukan pengujian sampel perlu diketahui kurva standar fenol yang digunakan. Pembentukan kurva standar fenol adalah sebagai berikut : Sebanyak 2 ml larutan glukosa standar yang mengandung 0, 10, 20, 30,40, 50 dan 60 µg glukosa masing-masing dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 1 ml larutan fenol dan dikocok. Kemudian 5 ml H2SO4 pekat ditambahkan dengan cepat. Biarkan selama 10

menit, dikocok dan ditempatkan dalam penangas air selama 15 menit. Absorbansinya diukur pada 490 nm. Pengujian sampel sama dengan pembuatan kurva standar fenol, hanya 2 ml larutan glukosa diganti dengan 2 ml sampel.

Gambar 10. Grafik kurva standar glukosa

5. Pengukuran Bobot Kering Biomassa

Tabung eppendorf dipanaskan pada suhu 70oC selama 1 jam sampai berat konstan dan didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang. Sebanyak 1 ml sampel cairan kultur fermentasi dimasukkan dalam tabung eppendorf dan


(33)

19 (1.9)

1 ml cairan fermentasi dari tiap-tiap perlakuan

10 larva ulat kubis

Pemotongan daun kubis Pengenceran ke dalam 1 L air suling yang diberi Pro-Stiker (1ml/L)

Pembuatan sederetan pengenceran Perendaman di dalam suspensi spora kristal selama 1 menit

Dikeringanginkan Cawan Petri Inkubasi 4 (empat) hari

Perhitungan jumlah larva mati sampai hari keempat

(1.10)

(1.11) dikeringkan dalam oven pada suhu 800C selama 4-5 jam atau sampai endapan kering. Selanjutnya didinginkan dalam desikator seelama 30 menit dan ditimbang. Bobot kering biomassa dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut:

6. Pengukuran Tingkat Kekeruhan (Optical Density atau OD)

Pengukuran tingkat kekeruhan menggunakan alat spektrofotometer dengan menggunakan λ = 660 nm (Fardiaz 1999). Sebanyak ±10 ml sampel cairan kultivasi dimasukkan ke dalam kuvet spektrofotometer, kemudian dibaca % Transmisinya. Nilai OD diperoleh dengan rumus :

Keterangan :

OD : Nilai kekeruhan sampel

% T : Jumlah transmisi yang dilewatkan

7. Uji Aktivitas Bioinsektisida (Bioassay) (dilakukan pasca kultivasi)

Gambar 11. Prosedur penentuan aktivitas bioinsektisida

D. Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap Faktor Tunggal dengan dua kali ulangan. Rancangan percobaan ini terdiri dari satu faktor tunggal yaitu rasio C/N yang terdiri dari 5 taraf yaitu C/N = 3:1, 5:1, 7:1, 9:1, dan 11:1. Model yang digunakan adalah sebagai berikut :

Keterangan :

Yij : variabel yang akan dianalisis pada taraf ke- i ulangan ke-j µ : pengaruh rataan sebenarnya

αi : efek yang sebenarnya pada taraf ke- i (i=1,2,3,4,5) ij : eror pada perlakuan ke- i ulangan ke- j

i : taraf perlakuan rasio C/N ke-1, 2, 3, 4, 5 j : ulangan ke-1, 2


(34)

20

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1

ANALISIS BAHAN BAKU

Hasil analisa kimia bahan baku disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil analisa kimia limbah cair tahu dan air kelapa

Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa limbah cair tahu dan air kelapa mengandung senyawa-senyawa yang dibutuhkan oleh mikroorganisme, seperti air, karbon, dan nitrogen (Vandekar dan Dulmage 1982).

Rasio karbon (C) dan nitrogen (N) yang digunakan dalam penelitian ini adalah 3:1, 5:1, 7:1, 9:1, dan 11:1. Hal ini didasarkan pada hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya oleh Wicaksono (2002) dan Syarfat (2010) yang menyatakan bahwa tingkat toksisitas tertinggi dihasilkan dari perbandingan karbon dan nitrogen (rasio C/N) adalah 7:1.

Tabel 6. Jumlah penambahan urea untuk memperoleh rasio C/N yang diinginkan

Sandi Media Rasio C/N Urea

A 3:1 0.0558 gr

B 5:1 0.0243 gr

C 7:1 0.0120 gr

D 9:1 0.0054 gr

E 11:1 0.0013 gr

Penambahan urea dalam penelitian ini didasarkan pada rasio karbon dan nitrogen dari limbah cair tahu dan air kelapa yang tidak sesuai dengan rasio C/N yang diinginkan. Urea merupakan sumber nitrogen yang sesuai untuk pertumbuhan mikroorganisme karena kemampuannya untuk mempertahankan pH, tetapi penggunaannya cenderung tidak stabil sehingga perlu dibatasi (Stanburry dan Whitaker 1984).

Selain sumber karbon dan nitrogen, mikroorganisme juga memerlukan mineral untuk pertumbuhan dan pembentukan produk metabolit. Kebutuhan mineral bervariasi tergantung pada jenis mikroorganisme yang ditumbuhkan. Menurut Dulmage dan Rhodes (1971), garam-garam organik yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroorganisme meliputi K, Mg, P, S, dan yang

Komponen

Jumlah (% berat dalam basis basah) Limbah Cair Tahu Air Kelapa Urea

Air 99.44 95.24 -

Abu 0.26 0.51 -

Nitrogen 0.02 0.01 46.67 Karbon 0.05 0.70 20.00


(35)

21 diperlukan dalam jumlah yang sedikit seperti Ca, Zn, Fe, Co, Cu, Mo, dan Mn. Pada penelitian ini, media fermentasi B.t.a ditambahkan 0.3 g/l MgSO4.7H2O, 0.02 g/l MnSO4.7H2O, 0.02 g/l

ZnSO4.7H2O, 0.02 g/l FeSO4.7H2O, dan 1.0 g/l CaCO3.

Wakasika et al. (1982) di dalam Dulmage et al. (1990) menunjukkan bahwa ion K+ menstimulasi produksi δ-endotoksin. Ion organik lainnya seperti Ca2+ dan Mn2+ juga menstimulir sporulasi. Menurut Benhard dan Utz (1993), garam-garam fosfat pada umumnya ditambahkan dalam jumlah besar, karena sekaligus berfungsi sebagai larutan penyangga pH.

4.2

PERUBAHAN pH CAIRAN KULTUR SELAMA FERMENTASI

Laju pertumbuhan bakteri sangat tergantung pada pH, karena pH dapat mempengaruhi kinerja membran sel, enzim dan komponen intra seluler lainnya (Rehm dan Reed, seperti dikutip Judoamidjojo et al. 1989). Sehingga perlu dilakukan pengamatan pH cairan kultur selama kultivasi untuk mengetahui apakah nilai pH cairan tersebut berada pada kisaran yang dapat ditoleransi untuk pertumbuhan bakteri. Pengukuran pH dilakukan pada jam ke-0 sampai dengan jam ke-72 waktu kultivasi.

Gambar 12. Perubahan pH cairan kultur selama fermentasi B.t.a dalam media dengan berbagai rasio C/N

Hasil pengukuran pH cairan kultur menunjukkan bahwa pada jam ke-0 pH berada pada kisaran 6.84-7.03. Pada jam ke-0 ini, pH cairan kultur masih berada pada kisaran pH optimum pertumbuhan B.t. Secara umum pH cairan kultur mengalami penurunan mulai dari jam ke-3 hingga jam ke-9 selanjutnya mengalami peningkatan selama fermentasi. Pada jam ke-24 hingga jam ke-72 nilai pH mengalami peningkatan, dimana pada jam ke-24 pH berkisar antara 6.50-7.59, pada jam ke-36 berkisar antara 6.91-7.61, pada jam ke-48 berkisar antara 7.20-7.62, dan pada jam ke-72 berkisar antara 7.68-7.96. Peningkatan nilai pH ini masih berada pada kisaran pertumbuhan B.t.a. Menurut Benhard dan Utz (1993), peningkatan pH tersebut juga tidak memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan B.t.a karena pH tersebut masih berada pada pH pertumbuhan B.t pada umumnya, yaitu 5.5-8.5 dengan pH optimum 6.5-7.5.


(36)

22 Hasil pengukuran pH tersebut masih lebih rendah bila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya oleh Syarfat (2010), dimana pada jam ke-0 pH cairan kultivasi berkisar antara 7.27-7.34, pada jam ke-30 pH berkisar 7.63-7.82, pada jam ke-48 pH berkisar 7.94-8.21.

Penurunan pH disebabkan adanya proses enzimatis oleh B.t.a yang menguraikan glukosa menjadi asam-asam organik, seperti asam piruvat dalam proses metabolismenya. Menurut Norris (1971), selama fase eksponensial sel B.t.a mengkonsumsi gula, sehingga menghasilkan asam asetat dan asam piruvat yang menyebabkan nilai pH turun. Selain itu, hal ini juga dapat disebabkan adanya perbedaan formulasi rasio C/N yang dilakukan. Sedangkan peningkatan pH dapat disebabkan oleh terakumulasinya bahan-bahan alkali sebagai hasil biosintetik asam-asam amino ketika berinteraksi dengan air (Sneath 1986).

Pada Gambar 12 dapat dilihat pula bahwa untuk semua formulasi media memiliki nilai pH yang stabil. Hal ini didukung dengan hasil analisis ragam uji F dengan tingkat kepercayaan 95 % (Lampiran 9), yang menunjukkan bahwa perbedaan rasio C/N yang digunakan tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan pada pH semua waktu kultivasi.

4.3

PERTUMBUHAN SEL Bacillus thuringiensis subsp. aizawai SELAMA FERMENTASI

Pertumbuhan sel B.t.a dapat diukur dengan menggunakan metode TPC (Total Plate Count) dimana yang teramati hanya koloni sel hidup B.t.a saja. Dengan metode TPC ini dapat dihitung jumlah koloni B.t.a yang tumbuh serta penampakannya.

Berdasarkan hasil pengamatan jumlah sel hidup diperoleh hasil untuk waktu kultivasi 24 jam, jumlah sel hidup tertinggi terdapat pada formulasi media C dengan rasio C/N = 7:1 yaitu 1.23x108 sel/ml atau 7.32 cfu/ml, sedangkan jumlah sel hidup terendah terdapat pada formulasi media B dengan rasio C/N = 5:1 yaitu 5.37x107 sel/ml atau 7.35 cfu/ml. Untuk waktu kultivasi 36 jam, jumlah sel hidup tertinggi terdapat pada formulasi media C dengan rasio C/N = 7:1 yaitu 1.23x108 sel/ml atau 7.39 cfu/ml, sedangkan jumlah sel hidup terendah terdapat pada formulasi media E dengan rasio C/N = 11:1 yaitu 5.22x107 sel/ml atau 7.32 cfu/ml. Untuk waktu kultivasi 48 jam, jumlah sel hidup tertinggi terdapat pada formulasi media C dengan rasio C/N = 7:1 yaitu 1.19x108 sel/ml atau 7.40 cfu/ml, sedangkan jumlah sel hidup terendah terdapat pada formulasi media D dengan rasio C/N = 9:1 yaitu 5.99x107 sel/ml atau 7.37 cfu/ml. Untuk waktu kultivasi 72 jam, jumlah sel hidup tertinggi terdapat pada formulasi media C dengan rasio C/N = 7:1 yaitu 1.12x108 sel/ml atau 7.42 cfu/ml, sedangkan jumlah sel hidup terendah terdapat pada formulasi media D dengan rasio C/N = 9:1 yaitu 5.22x107 sel/ml atau 7.36 cfu/ml.


(37)

23 Gambar 13. Perubahan jumlah koloni selama fermentasi B.t.a dalam media dengan berbagai rasio C/N

Dari hasil tersebut menandakan bahwa jumlah sel hidup tertinggi pada penelitian ini dihasilkan oleh formulasi media C dengan rasio C/N = 7:1 pada waktu kultivasi 24 dan 36 jam, sedangkan jumlah sel hidup terendah adalah media D dengan rasio C/N = 9:1 pada waktu kultivasi 48 jam. Namun, jumlah sel hidup yang diperoleh dalam penelitian ini masih jauh lebih rendah dari hasil penelitian Rumiyantie (1999) yang menyatakan bahwa konsentrasi sel berkisar antara 2.15x109 sel/ml - 2.53x109 sel/ml untuk waktu kultivasi selama 48 jam dan penelitian yang dilakukan oleh Syarfat (2010) menyatakan bahwa konsentrasi sel pada kultivasi 30 jam berkisar antara 3.08x107 sel/ml – 1.79x109 sel/ml, sedangkan untuk kultivasi 48 jam berkisar antara 1.00x107 sel/ml - 2.14x108 sel/ml.

Dari Gambar 13 dapat dilihat bahwa secara umum jumlah sel hidup atau log TPC cenderung mengalami peningkatan. Hal ini karena sel terus mengalami pertumbuhan sesuai dengan fase pertumbuhannya. Pada jam ke-0 sel mengalami fase lag atau fase awal dimana sel belum terlalu banyak berkembang biak karena sel masih beradaptasi dengan lingkungannya yaitu media. Setelah beradaptasi sel terus berkembang dan jauh lebih banyak, dimana pada fase ini terjadi pertumbuhan sel yang sangat cepat secara eksponensial atau fase log. Selanjutnya sel mulai memasuki tahap atau fase stasioner pada jam ke-24, dimana terjadi pertumbuhan sel yang lambat. Sedangkan fase kematian sel tidak dapat diperkirakan karena setelah akhir pengamatan yaitu kultivasi jam ke-72 jumlah sel hidup juga masih cukup banyak.

Berdasarkan hasil tersebut, dapat diketahui bahwa formulasi media (rasio C/N) dan waktu kultivasi mempengaruhi jumlah sel hidup pada cairan kultivasi. Hal ini didukung dengan hasil analisis ragam uji F (Lampiran 10) dengan tingkat kepercayaan 95 % (α=0.05), yang menunjukkan bahwa perbedaan rasio C/N yang digunakan berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah sel hidup untuk semua waktu kultivasi.


(1)

60 Lampiran 16. Konsentrasi Pengenceran Untuk Pengamatan Tingkat Toksisitas (Bioassay) Hasil

Kultivasi

Konsentrasi pengenceran untuk bioassay hasil kultivasi selama 24 jam SANDI

MEDIA

BOBOT (g/L)

Konsentrasi penggunaan produk (mg/L)

10-1 10-2 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7 10-8

A 18.55 1855 185.5 18.55 1.855 0.1855 0.01855 0.001855 0.000186 B 19.15 1915 191.5 19.15 1.915 0.1915 0.01915 0.001915 0.000192 C 24.85 2485 248.5 24.85 2.485 0.2485 0.02485 0.002485 0.000249 D 24.25 2425 242.5 24.25 2.425 0.2425 0.02425 0.002425 0.000243 E 20.55 2055 205.5 20.55 2.055 0.2055 0.02055 0.002055 0.000206

Konsentrasi pengenceran untuk bioassay hasil kultivasi selama 36 jam SANDI

MEDIA

BOBOT (g/L)

Konsentrasi penggunaan produk (mg/L)

10-1 10-2 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7 10-8

A 20.20 2020 202.0 20.20 2.020 0.2020 0.02020 0.002020 0.0002020 B 20.55 2055 205.5 20.55 2.055 0.2055 0.02055 0.002055 0.0002055 C 27.35 2735 273.5 27.35 2.735 0.2735 0.02735 0.002735 0.0002735 D 25.30 2530 253.0 25.30 2.530 0.2530 0.02530 0.002530 0.0002530 E 21.85 2185 218.5 21.85 2.185 0.2185 0.02185 0.002185 0.0002185

Konsentrasi pengenceran untuk bioassay hasil kultivasi selama 48 jam SANDI

MEDIA

BOBOT (g/L)

Konsentrasi penggunaan produk (mg/L)

10-1 10-2 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7 10-8

A 20.85 2085 208.5 20.85 2.085 0.2085 0.02085 0.002085 0.0002085 B 21.00 2100 210.0 21.00 2.100 0.2100 0.02100 0.002100 0.0002100 C 28.50 2850 285.0 28.50 2.850 0.2850 0.02850 0.002850 0.0002850 D 27.40 2740 274.0 27.40 2.740 0.2740 0.02740 0.002740 0.0002740 E 23.35 2335 233.5 23.35 2.335 0.2335 0.02335 0.002335 0.0002335

Konsentrasi pengenceran untuk bioassay hasil kultivasi selama 72 jam SANDI

MEDIA

BOBOT (g/L)

Konsentrasi penggunaan produk (mg/L)

10-1 10-2 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7 10-8

A 21.45 2145 214.5 21.45 2.145 0.2145 0.02145 0.002145 0.0002145 B 22.95 2295 229.5 22.95 2.295 0.2295 0.02295 0.002295 0.0002295 C 30.00 3000 300.0 30.00 3.000 0.3000 0.03000 0.003000 0.0003000 D 28.75 2875 287.5 28.75 2.875 0.2875 0.02875 0.002875 0.0002875 E 28.40 2840 284.0 28.40 2.840 0.2840 0.02840 0.002840 0.0002840

Konsentrasi pengenceran untuk Bactospeine (Produk Komersial) SANDI

MEDIA

Konsentrasi penggunaan produk (mg/L)

10-1 10-2 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7 10-8 Bactospeine 100000 10000 1000 100 10 1 0.1 0.01


(2)

61 Lampiran 17. Perhitungan Parameter Kinetika Fermentasi pada Media C (rasio C/N = 7:1)

Jam ke-

P N S

P-Po (Log Spora/L)

N-No (CFU/L)

So-S

(g/L) Ln N Ln Nt-Ln N0 µN (jam-1)

(Log spora/L) (CFU/L) (g/L)

0 0.00 9.43 13.11 0.00 0.00 0.00 2.2439

3 8.06 9.62 13.00 8.06 0.19 0.11 2.2638 0.0199

6 8.89 9.77 11.25 8.89 0.34 1.86 2.2793 0.0354

9 9.00 10.13 10.96 9.00 0.70 2.15 2.3155 0.0716 0.0239

12 8.87 10.21 8.84 8.87 0.78 4.27 2.3234 0.0795 0.0265

15 9.03 10.19 8.05 9.03 0.76 5.06 2.3214 0.0775 0.0258

18 9.09 10.34 7.80 9.09 0.91 5.31 2.3360 0.0921

0.0307

24 9.10 10.30 7.52 9.10 0.87 5.59 2.3321 0.0882 0.0147

36 9.15 10.38 7.04 9.15 0.95 6.07 2.3399 0.0960 0.0080

48 9.15 10.40 5.46 9.15 0.97 7.65 2.3418 0.0979


(3)

62 Lampiran 18. Dokumentasi Penelitian

Pengujian Bioassay

Biakan B.t.a Pembibitan kultur I Pembibitan Kultur II

Fermentasi pada rotary shaker Inkubasi


(4)

63

Persiapan Inokulasi Sedang Inokulasi

Jumlah Spora Hidup Jumlah Spora Hidup (Pengenceran 10-5) (Pengenceran 10-4)

Jumlah Sel Hidup Jumlah Sel Hidup (Pengenceran 10-6) (Pengenceran 10-5)


(5)

64 Gambar Hasil Foto Mikroskop Bacillus thuringiensis subsp. aizawai

Penampakan cairan kultivasi jam ke-24 di bawah mikroskop perbesaran 1000x


(6)

65 Penampakan cairan kultivasi jam ke-2 di bawah mikroskop perbesaran 1000x