Respon Perkecambahan Polen Pepaya IPB 6 dan IPB 9 terhadap Penyimpanan Suhu Rendah

RESPON PERKECAMBAHAN POLEN PEPAYA IPB 6 DAN
IPB 9 TERHADAP PENYIMPANAN SUHU RENDAH

FIDIANINTA

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Respon Perkecambahan Polen Pepaya IPB 6 dan IPB 9 terhadap Penyimpanan Suhu Rendah adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.


Bogor, Februari 2015

Fidianinta
NIM A24100144

ABSTRAK
FIDIANINTA. Respon Perkecambahan Polen Pepaya IPB 6 dan IPB 9 terhadap
Penyimpanan Suhu Rendah. Dibimbing oleh KETTY SUKETI dan WINARSO
DRAJAD WIDODO.
Percobaan dilakukan untuk mempelajari daya simpan dan daya
berkecambah polen pepaya IPB 6 dan IPB 9 yang disimpan pada suhu 10 oC, 5 oC,
dan -20 oC dengan waktu penyimpanan hingga 4 minggu. Percobaan dilaksanakan
di Laboratorium Biofisik dan Biologi Reproduksi, Laboratorium Kultur Jaringan 3,
dan Laboratorium Mikroteknik, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada bulan April–Juni 2014. Parameter yang
diamati pada percobaan ini adalah diameter polen, daya berkecambah, dan
panjang tabung polen. Hasil percobaan menunjukkan bahwa suhu penyimpanan
mempengaruhi ketiga parameter yang diamati. Selama penyimpanan 4 minggu,
daya berkecambah terbaik untuk pepaya IPB 6 ditunjukkan oleh polen yang

disimpan pada suhu 10 oC yaitu sebesar 23.11%, sedangkan untuk IPB 9
ditunjukkan oleh polen yang disimpan pada suhu 5 oC yaitu sebesar 30.68%.
Tabung polen terpanjang untuk pepaya IPB 6 ditunjukkan oleh polen yang
disimpan pada suhu -20 oC yaitu sebesar 63 µm, sedangkan tabung polen
terpanjang untuk IPB 9 ditunjukkan oleh polen yang disimpan pada suhu 10 oC
yaitu sebesar 47.72 µm. Diameter dan panjang tabung polen tidak mempengaruhi
daya berkecambah polen pepaya IPB 6 dan IPB 9.
Kata kunci: daya berkecambah, daya simpan, diameter polen, tabung polen

ABSTRACT
FIDIANINTA. Response of Papaya Pollen Germination IPB 6 and IPB 9 to
Storage at Low Temperature. Supervised by KETTY SUKETI and WINARSO
DRAJAD WIDODO.
Experiment was conducted to study the germination and storability of
papaya pollen IPB 6 and IPB 9 were stored for 4 weeks at 10 oC, 5 oC, and -20 oC.
The experiment was conducted at Laboratory of Biophysics and Reproductive
Biology, Laboratory of Tissue Culture 3, and Laboratory of Microtechnic,
Department of Agronomy and Horticulture, Faculty of Agriculture, Bogor
Agricultural University on April to June 2014. Three parameters were observed in
this experiment: pollen diameter, the germination rate, and length of pollen tube.

The experimental results showed that storage temperature affects the three
parameters were observed. The best germination for IPB 6 indicated by pollen
stored at 10 °C (23.11%) while for IPB 9 indicated by pollen stored at 5 °C
(30.68%). The longest pollen tube for IPB 6 indicated by pollen stored at -20 °C
(63 µm), while for IPB 9 indicated by pollen stored at 10 °C (47.72 µm). There is
no corellation between pollen diameter and length of pollen tube with pollen
germination of papaya pollen IPB 6 dan IPB 9.
Keywords: germination, pollen diameter, pollen tube, storability

RESPON PERKECAMBAHAN POLEN PEPAYA IPB 6 DAN
IPB 9 TERHADAP PENYIMPANAN SUHU RENDAH

FIDIANINTA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura


DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Judul Skripsi
Nama
NIM

: Respon Perkecambahan Polen Pepaya IPB 6 dan IPB 9 terhadap
Penyimpanan Suhu Rendah
: Fidianinta
: A24100144

Disetujui oleh

Dr Ir Ketty Suketi, MSi
Pembimbing I


Ir Winarso D. Widodo, MS, PhD
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Agus Purwito, MSc Agr
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Respon
Perkecambahan Polen Pepaya IPB 6 dan IPB 9 terhadap Penyimpanan Suhu
Rendah”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
sarjana dan sebagai tugas akhir Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Penulisan skripsi ini juga tidak lepas dari peranan berbagai pihak yang telah
memberikan bimbingan dan dukungannya. Pada kesempatan kali ini penulis ingin
menyampaikan terima kasih kepada:

1. Keluarga yang telah memberikan dukungan secara moril maupun materil
selama penulis kuliah di Institut Pertanian Bogor
2. Dr Ir Ketty Suketi, MSi dan Ir Winarso Drajad Widodo, MS, PhD
sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan panduan dan
bimbingannya selama penelitian ini berlangsung
3. Dr Sintho Wahyuning Ardie, SP, MSi sebagai dosen pembimbing
akademik yang telah memberikan bimbingan selama penulis belajar di
Institut Pertanian Bogor
4. Pusat Kajian Hortikultura Tropika yang telah menyediakan fasilitas
kebun pepaya untuk penelitian ini
5. Bapak Joko sebagai laboran dari Laboratorium Mikroteknik yang telah
memberikan bimbingan dan arahan dalam pelaksanaan penelitian
6. Bapak Baesuni dan Bapak Awang sebagai petugas Kebun Percobaan
PKHT Pasir Kuda dan Tajur
7. Wina, Tika, SOBAT (Abang Jarjit, Radhiya, Imdad, Agung, Ufa, dan
Nilam) yang telah memberikan dukungan dan semangat kepada penulis
selama belajar di Institut Pertanian Bogor
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2015

Fidianinta

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Hipotesis
TINJAUAN PUSTAKA
Bunga Pepaya
Polen
Penyimpanan Polen
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Percobaan
Bahan Percobaan
Peralatan Percobaan
Prosedur Percobaan
Pengamatan

Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Diameter Polen
Daya Berkecambah
Panjang Tabung Polen
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

x
x
x
1
1
2
2
3
3
4

5
6
6
6
6
6
7
8
9
9
11
12
14
14
18
19

DAFTAR TABEL
1 Diameter polen pepaya IPB 6 dan IPB 9
2 Persentase polen pepaya IPB 6 dan IPB 9 yang mengalami plasmolisis

3 Daya berkecambah polen pepaya IPB 6 dan IPB 9

9
10
11

DAFTAR GAMBAR
1 Kriteria perkecambahan polen; (a) polen yang telah berkecambah
(b) polen yang belum berkecambah
2 Polen pepaya IPB 6 dan IPB 9 sebelum perlakuan penyimpanan
3 Diameter polen pepaya IPB 6 setelah disimpan selama 4 minggu
4 Diameter polen pepaya IPB 9 setelah disimpan selama 4 minggu
5 Panjang tabung polen pepaya IPB 6 selama 4 minggu penyimpanan
6 Panjang tabung polen pepaya IPB 9 selama 4 minggu penyimpanan

8
9
10
10
13

13

DAFTAR LAMPIRAN
1 Deskripsi pepaya IPB 6 (varietas Sukma)
2 Deskripsi pepaya IPB 9 (varietas Callina)

18
18

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pepaya merupakan salah satu tanaman buah yang banyak ditanam oleh
masyarakat Indonesia. Menurut Suketi (2011), kendala pengembangan pepaya
diantaranya adalah produktivitas yang masih rendah dan beberapa varietas unggul
belum memenuhi kriteria yang disukai konsumen karena mutu buah yang belum
optimum. Permasalahan mutu buah yang belum optimum memiliki keterkaitan
dengan sifat penyerbukannya. St-Pierre (2006) melaporkan bahwa penyerbukan
pada tanaman buah berhubungan dengan pembentukan buah dan jumlah biji.
Pembentukan buah didefinisikan sebagai bagian dari urutan perkembangan
ovarium sekaligus penentu keberhasilan penyerbukan. Penelitian yang telah
dilakukan oleh Shore dan Barrett (1984) pada tanaman Turnera ulmifolia
menunjukkan rata-rata jumlah polen yang dibutuhkan untuk pembentukan 1 biji
berkisar 2–7 polen dan lebih dari 95 polen dibutuhkan untuk mencapai jumlah biji
yang maksimum. Sabran et al. (2012) menyatakan bahwa penyerbukan pada
bunga tergantung pada ketersediaan polen itu sendiri, sehingga apabila polen tidak
habis dipakai dapat disimpan.
Penyimpanan merupakan salah satu cara agar ketersediaan polen tetap
terjaga. Polen pepaya yang disimpan dapat digunakan untuk kegiatan
pengendalian penyerbukan dengan harapan kegiatan ini dapat meningkatkan
kualitas buah pepaya. Menurut Hoekstra (1995) polen yang dikumpulkan dan
disimpan dapat digunakan untuk keperluan pemuliaan. Meskipun polen yang
berperan dalam pembentukan individu baru jumlahnya sedikit, namun hal tersebut
akan lebih efisien apabila dilakukan pengumpulan polen dalam jumlah yang lebih
besar untuk memastikan ketersediaan polen dalam jangka waktu yang cukup lama.
Shivanna et al. (1991) menyatakan bahwa keberhasilan pengendalian
penyerbukan juga ditentukan oleh viabilitas polen sebelum diaplikasikan ke
lapang karena viabilitas polen mengindikasikan kemampuan polen untuk
menghantarkan gamet jantan menuju kantung embrio setelah penyerbukan terjadi.
Denney (1992) menjelaskan bahwa perbaikan kualitas buah dapat dilakukan
dengan efek metaxenia yaitu suatu keadaan dimana polen berpengaruh langsung
terhadap jaringan tetua betina khususnya pada endosperma buah. Fenomena ini
dapat dilihat pada ukuran, warna, bentuk, serta komposisi kimia dari bagian buah.
Suketi et al. (2010) menyatakan bahwa kualitas buah pepaya yang sesuai dengan
kriteria yang disukai konsumen dapat diperoleh dengan pengendalian
penyerbukan. Penyerbukan dari polen pepaya genotipe lain diharapkan dapat
menghasilkan peningkatan ukuran dan bentuk buah pepaya betina. Penelitian yang
telah dilakukan oleh Febriyanti et al. (2010) menunjukkan terjadinya peningkatan
bobot buah IPB 9 yang dihasilkan dari pengendalian penyerbukan antara bunga
hermafrodit pepaya IPB 9 dan polen yang bersumber dari bunga hermafrodit
pepaya IPB 3.
Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Sulistyo et al. (2006)
menunjukkan bahwa polen yang berasal dari pepaya IPB 6 dapat meningkatkan
rasa manis dan ketebalan daging buah pada pepaya betina IPB 1. Nadila (2014)
menjelaskan bahwa pada buah naga penyerbukan merupakan faktor penting dalam

2
produksi karena penyerbukan mempengaruhi produktivitas dan kualitas. Semakin
banyak polen yang diserbukan maka semakin besar buah yang dihasilkan karena
semakin banyak biji yang terbentuk. Selain itu menurut Widiastuti dan Palupi
(2008), pada kelapa sawit semakin banyak polen yang digunakan cenderung
meningkatkan pembentukan buah normal.
Polen merupakan salah satu komponen yang berperan dalam penyerbukan.
Pengecambahan polen memerlukan media yang sesuai dengan polen yang akan
dikecambahkan. Salah satu metode pengecambahan adalah dengan cara
pengecambahan polen secara in vitro. Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan oleh Warid (2009), metode ini tidak dapat digunakan secara umum
karena setiap tanaman memerlukan media perkecambahan polen yang berbeda,
sehingga diperlukan komposisi dan konsentrasi bahan kimia yang tepat, selain itu
media perkecambahan polen PGM dan BK (Brewbaker dan Kwack) tidak
menunjukkan adanya hasil yang berbeda pada daya berkecambah famili Poaceae,
Euphorbiaceae, Solanaceae, dan Myrtaceae.
Sari et al. (2010) menyatakan bahwa lama simpan polen dapat ditingkatkan
dengan mengendalikan faktor-faktor yang mempengaruhi viabilitasnya. Khan dan
Perveen (2006) menjelaskan bahwa salah satu faktor yang paling mempengaruhi
viabilitas polen selama penyimpanan adalah suhu. Setiawan dan Ruskandi (2005)
juga menjelaskan bahwa tidak semua polen habis dipakai dalam 1 hari pada
persilangan buatan, bergantung pada jumlah bunga betina yang sudah siap untuk
diserbuki, sehingga polen perlu disimpan dan proses penyimpanan polen akan
mempengaruhi viabilitasnya. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh
Perveen (2007), mempertahankan kapasitas perkecambahan polen yang disimpan
dapat bermanfaat untuk menghemat waktu dalam program pemuliaan dan juga
dalam perbaikan tanaman. Perveen et al. (2007) menunjukkan bahwa faktor yang
memiliki pengaruh besar terhadap kondisi polen adalah suhu dengan hasil polen
pepaya yang disimpan pada suhu -60 oC menghasilkan viabilitas terbaik yaitu
60% setelah disimpan selama 48 minggu.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh penyimpanan suhu rendah
terhadap daya simpan dan daya berkecambah polen pepaya IPB 6 dan IPB 9.
Hipotesis
Penyimpanan suhu rendah dapat memperpanjang masa simpan polen dan
terdapat suhu terbaik untuk penyimpanan polen pepaya.

3

TINJAUAN PUSTAKA
Bunga Pepaya
Genus Carica L. merupakan tanaman asli Amerika Tropis dan berasal dari
proses hibridisasi alami antara Carica peltata Hook. dan Arn. Tanaman ini
kemudian dibawa ke Karibia dan Asia Tenggara melalui eksplorasi Spanyol pada
abad ke-16, lalu menyebar dengan cepat ke India, Afrika, dan saat ini sudah
banyak ditemukan baik di daerah subtropika maupun daerah tropika (Villegas
1991). Tanaman pepaya banyak ditemukan di berbagai daerah Indonesia. Sebagai
salah satu negara tropika, hampir seluruh pelosok negeri Indonesia terdapat
pepaya dengan ragam bentuk dan jenis yang berbeda-beda, mulai dari yang
berbentuk lonjong, bulat, dan silindris. Berbagai pepaya berukuran kecil, sedang,
dan besar dengan daging buah berwarna merah, kuning, hingga oranye serta kulit
buah yang berwarna hijau muda, hijau tua, dan kuning. Keanekaragaman ini
merupakan bahan genetik tanaman pepaya yang menjadi bahan dasar untuk
merakit varietas pepaya unggul (Sujiprihati dan Suketi 2009).
Bunga pepaya banyak diproduksi di dekat puncak batang dan membuka
antara jam 07.00 sampai 09.00 pagi. Umur dari bunga pepaya berkisar antara 3–4
hari, namun untuk masa reseptif putik masih belum diketahui. Tanaman
hermafrodit dan betina menghasilkan jumlah bunga yang bervariasi, antara 2–15
bunga. Tanaman jantan menghasilkan jumlah bunga yang lebih banyak
dibandingkan tanaman hermafrodit dan betina, bunga yang dihasilkan bisa
mencapai puluhan bahkan ratusan bunga dalam 1 tanaman. Produksi nektar dan
aroma yang banyak dihasilkan oleh bunga pepaya dapat menarik serangga seperti
ngengat, kupu-kupu, lebah, lalat, burung kolibri, dan lainnya (Decraene dan Smets
1999). Proses penyerbukan sampai penetrasi pada ovul membutuhkan waktu
selama 25 jam dan suhu 28 oC (Cohen et al. 1989).
Tanaman pepaya memiliki 3 jenis bunga, yaitu bunga jantan, bunga betina,
dan bunga hermafrodit. Masing-masing bunga tersebut terletak pada tanaman
yang berbeda. Bunga jantan terletak pada malai yang panjangnya 25–100 cm
dengan bentuk kelopak bergerigi, daun mahkota berbentuk terompet dengan
panjang sekitar 2.5 cm, dan memiliki stamen sebanyak 10. Bunga betina memiliki
panjang sekitar 3.5–5 cm, ukuran daun kelopak berkisar antara 3–4 mm berwarna
kuning kehijauan, ovarium berbentuk bulat telur sampai lonjong dengan rongga
yang berada di pusat, memiliki banyak ovul, memiliki stigma berjumlah 5, dan
berbentuk kipas. Bunga hermafrodit memiliki 2 tipe, yaitu tipe elongata dan
pentandria. Bunga hermafrodit tipe elongata memiliki batang yang pendek dan
sebagian kelopak bergabung dengan benang sari, memiliki 10 benang sari dan
ovarium memanjang. Bunga hermafrodit tipe pentandria mirip dengan bunga
betina namun hanya memiliki 5 benang sari. Bunga intermediate atau bunga
antara sewaktu-waktu dapat muncul dan menghasilkan buah yang bentuknya tidak
teratur. Proporsi dan jenis bunga yang dihasilkan dapat berbeda dalam satu pohon,
tergantung pada usia dan kondisi lingkungan (Villegas 1991).

4
Polen
Polen juga hidup seperti organisme hidup lainnya. Perilaku dan
keberlangsungan hidup polen dipengaruhi oleh lingkungan dan genotipe.
Penggunaan kontrol dan variabel juga harus diperhatikan untuk menilai kualitas
polen. Kualitas polen dapat dilihat melalui penilaian dalam beberapa kondisi
seperti dalam penelitian ataupun kondisi dari tanaman seperti produksi polen dari
jam ke jam, hari ke hari, dan musim ke musim. Antera mulai pecah pada pukul
05.00 pagi dan polen yang dikumpulkan 12 jam setelah antera pecah dapat
dikatakan sebagai polen yang tidak viabel. Nutrisi dari tanaman induk juga
mempunyai pengaruh besar terhadap viabilitas polen dan mungkin juga akan
berpengaruh terhadap hasil dari tes perkecambahan polen secara in vitro (Harrison
1992).
Perkembangan polen terjadi di dalam antera. Antera terdiri dari 4 lapis
dinding (epidermis, endotesium, lapisan tengah, dan tapetum) yang disertai
dengan lokul berisi cairan. Lokul mengandung sel sporogenic yang akan
mengalami meiosis. Lapisan pada antera yang berdekatan dengan lokul disebut
sebagai tapetum, dimana jaringan ini sangat berperan dalam mikrosporogenesis.
Setiap mikrosporosit mengalami 2 pembelahan meiosis selama kurang lebih 3
hari. Pembelahan ini menghasilkan 4 sel haploid yang disebut mikrospora yang
masih terbungkus dalam dinding kalus. Setelah peleburan dinding kalus,
mikrospora tumbuh cepat selama 5 hari dan membentuk bagian terluar dinding
polen yaitu exine. Sekitar 5 hari setelah pembelahan meiosis, bagian asimetris
yang disebut mikrospora mengalami mitosis dan menghasilkan dua sel dengan
fungsi yang berbeda. Sel yang dihasilkan ini disebut sebagai polen. Selama 7 hari
berikutnya, proses pematangan pada polen terjadi. Sel generatif dalam polen
terbagi menjadi 2 sel gamet jantan, pada beberapa spesies tanaman lain, mitosis
kedua ini terjadi hanya setelah perkecambahan tabung polen (Bedinger 1992).
Sel-sel polen berada pada dinding polen yang unik dimana susunan ini
dimulai saat meiosis dengan lapisan permukaan yang mengembang dari waktu ke
waktu. Saat matang, permukaan polen dapat dibedakan menjadi 3 strata utama: (1)
dinding bagian terluar, terdiri dari banyak lapisan, mengandung bahan polimer
kimia sporopollenin dan memiliki lubang yang disebut celah; (2) bagian lebih
dalam, terkadang terdiri dari banyak lapisan dan terbuat dari selulosa; (3) mantel
polen, mengandung lemak, protein, pigmen, dan senyawa aromatik (Edlund et al.
2004). Bedinger (1992) menyatakan bahwa sporopollenin penting untuk
kelangsungan hidup polen sebelum pembuahan terjadi. Sporopollenin memiliki
nilai yang besar bagi evolusioner dan peneliti arkeologi yang mampu
menggunakan pola exine polen untuk sampel pada tanaman dan dalam waktu
tertentu. Santos el al. (2008) menjelaskan bahwa perkembangan butir polen
pepaya mengikuti perkembangan pola normal perkembangan polen yang ada pada
tanaman angiospermae. Antera yang masih muda memiliki 2 kelompok sel yang
berbeda yaitu, sel reproduktif dan sel nonreproduktif. Menurut Twiddle (2012)
polen yang diawetkan dapat digunakan untuk mengidentifikasi tanaman
berdasarkan tingkat famili, genus, atau spesies dengan cara mempelajari
perbedaan karakteristik morfologinya.

5
Penyimpanan Polen
Widiastuti dan Palupi (2008) menyatakan bahwa salah satu masalah dalam
pengelolaan polen adalah kontinuitas ketersediaannya sehingga perlu dilakukan
upaya agar viabilitas polen dapat dipertahankan dalam jangka waktu lama dengan
penyimpanan. Polen merupakan jaringan hidup yang mengalami kemunduran
seiring lamanya waktu penyimpanan. Modifikasi suhu dan kelembaban relatif
(RH) yang rendah, atau salah satu diantaranya dapat mempertahankan viabilitas
lebih lama. Menurut Agustin et al. (2014) pengelolaan polen pada melon
bermanfaat dalam pengembangan produksi benih hibrida, di antaranya menjamin
ketersediaan polen jika sewaktu-waktu diperlukan, menjamin keamanan koleksi
plasma nutfah, meningkatkan efisiensi penggunaan lahan penangkar benih karena
tidak perlu menanam tanaman tetua jantan, dan mempertahankan viabilitas polen
tetap tinggi sampai periode waktu tertentu.
Sedgley dan Harbard (1993) menyatakan bahwa dalam upaya pengendalian
hibridisasi, penyimpanan polen merupakan hal yang penting untuk
mempertahankan produksi benih yang fertil. Selain itu, fleksibilitas dari teknik
hibridisasi akan meningkat jika polen berhasil disimpan dalam jangka waktu yang
lama. Hal ini juga akan mempermudah transportasi dari satu lokasi ke lokasi
lainnya dan memungkinkan penyimpanan polen dari tahun ke tahun sehingga
tanaman yang memiliki perbedaan umur dan waktu pembungaan akan dapat
dihibridisasi. Bhat et al. (2012) menyatakan bahwa penyimpanan polen dalam
jangka panjang dapat bermanfaat untuk konservasi gen dan mengisolasi spesies
induk dalam program pemuliaan, selain itu polen yang disimpan diperlukan untuk
pengendalian penyerbukan dan memecahkan beberapa kendala dalam produksi
buah. Hal ini penting untuk program pemuliaan, konservasi plasma nutfah, dan
penyerbukan buatan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Akond et al.
(2012) pada Lagerstroemia spp. menyatakan bahwa penyimpanan polen yang
layak tidak lebih dari 75 sampai 100 hari, sehingga akan membuat kegiatan
hibridisasi yang dilakukan oleh para pemulia menjadi cukup efisien dalam
penggunaan polen meskipun lokasi yang berjauhan.
Kadar air polen mengalami penurunan selama penyimpanan. Hal ini
membuat ketepatan dalam uji perkecambahan meningkat. Sampel polen yang
sedikit saat ini banyak digunakan karena polen yang dikecambahan secara in vitro
akan mengalami rehidrasi sangat cepat ketika ditempatkan pada lingkungan yang
memiliki suhu sebesar 20 oC dan kadar air dapat mencapai 20% dalam waktu 2
jam. Keadaan ini dapat menghasilkan perkecambahan tertinggi pada pinus.
Rehidrasi yang cepat akan memungkinkan laboratorium untuk memproses lebih
banyak serbuk sari dalam waktu yang telah ditentukan (Jett et al. 1993). Webber
(1991) menjelaskan bahwa kadar air polen merupakan faktor penting untuk
keberhasilan penyimpanan polen dalam jangka waktu yang lama, namun
penentuan kadar air tidak harus dilakukan sebelum polen disimpan. Selain itu juga
memantau persentase kadar air dalam mengekstraksi polen juga menjadi penting
untuk mengoptimalkan jadwal pengeringan.

6

METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Percobaan
Percobaan dilaksanakan di Laboratorium Biofisik dan Biologi Reproduksi,
Laboratorium Mikroteknik, dan Laboratorium Kultur Jaringan 3, Departemen
Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Percobaan dilaksanakan pada bulan April 2014 sampai dengan bulan Juni 2014.
Bahan Percobaan
Polen diperoleh dari Kebun Percobaan Pusat Kajian Hortikultura Tropika
(PKHT) IPB, Tajur dan Pasir Kuda. Bunga pepaya yang digunakan dalam
percobaan ini adalah bunga pepaya hermafrodit. Polen yang digunakan berasal
dari bunga 2 genotipe pepaya yaitu IPB 6 (varietas Sukma) yang berasal dari
pohon pepaya berumur 5 bulan setelah tanam dan IPB 9 (varietas Callina) yang
berasal dari pohon pepaya berumur 6 bulan setelah tanam dengan masing-masing
deskripsi dapat dilihat pada Lampiran 1 dan Lampiran 2. Media perkecambahan
polen pepaya yang digunakan adalah Brewbaker dan Kwack (BK) yang terdiri
atas 0.01 g H3BO3, 0.03 g Ca(NO3)2 4H2O, 0.02 g MgSO4 7H2O, 0.01 g KNO3,
10% sukrosa, dan 100 ml aquades.
Peralatan Percobaan
Alat yang digunakan antara lain cool box, kain strimin, aluminium foil, kain
nilon, pinset, wadah plastik, microtube, deck glass, cover glass, kertas label, pipet,
mikroskop Olympus BX 51, dan perlengkapan dokumentasi.
Prosedur Percobaan
Persiapan dan Penyimpanan Polen
Pengambilan bunga dilakukan sekitar pukul 08.00 hingga 09.00 pagi. Bunga
yang diambil adalah bunga pada fase satu hari sebelum mengalami antesis dengan
warna bunga yang sudah menguning namun belum mekar. Proses pengambilan
bunga mengacu pada penelitian Suketi et al. (2011). Bunga yang telah dipanen
dimasukkan ke dalam kain strimin yang telah dimodifikasi, lalu kain strimin yang
berisi bunga dimasukkan ke dalam cool box untuk segera diekstrak di
Laboratorium. Polen diekstrak dengan dengan cara memisahkan antera dari bunga
dengan menggunakan pinset. Antera diletakkan di atas kertas alumunium foil
untuk dikeringkan di dalam ruang ber-AC selama 24 jam. Antera yang telah
dikeringkan dimasukkan ke dalam box yang telah dimodifikasi dan di dalamnya
terdapat kain kasa nilon sebagai alat ekstraktor polen. Pengeringan antera
mengacu pada penelitian yang telah dilakukan oleh Agustin et al. (2014) untuk
antera tanaman melon. Polen yang diamati pada hari ke-0 dipisahkan dari polen
yang akan disimpan.

7
Polen yang telah diekstrak kemudian dimasukkan ke dalam microtube dan
disimpan pada 3 jenis lemari pendingin dengan suhu yang berbeda, yaitu 10 oC,
5 oC, dan -20 oC. Setiap lemari pendingin menyimpan 3 microtube untuk 1
genotipe dimana 1 ulangan merupakan 1 microtube. Penyimpanan polen untuk
minggu ke-1 dilakukan dengan cara mengambil microtube yang ada pada 3 lemari
pendingin, kemudian dikeluarkan dan didiamkan selama 30 menit, setelah itu
microtube dimasukkan kembali ke lemari pendingin. Metode penyimpanan polen
pada minggu selanjutnya sama dengan penyimpanan minggu ke-1.
Perkecambahan
Media perkecambahan yang digunakan adalah media Brewbaker dan Kwack
dengan komposisi yang terdiri atas 0.01 g H3BO4, 0.03 g Ca(NO3)2 4H2O, 0.02 g
MgSO4 7H2O, 0.01 g KNO3, 10% sukrosa dan 100 ml aquades. Bahan-bahan
tersebut ditakar kemudian dicampur. Bahan-bahan yang telah tercampur
dimasukkan ke dalam botol kultur lalu ditutup rapat dengan plastik dan disimpan
dalam lemari pendingin untuk menjaga kualitas dan kesterilannya. Microtube
yang berisi polen dikeluarkan dari lemari pendingin lalu didiamkan selama 30
menit, setelah 30 menit, polen yang akan dikecambahkan ditaburkan masingmasing di atas 3 deck glass, 1 deck glass mewakili 1 ulangan. Polen yang telah
ditaburkan di atas deck glass ditetesi media perkecambahan lalu diinkubasi selama
4 jam dengan cara diletakkan pada wadah plastik yang di dalamnya telah diberi
kertas tisu lembab kemudian ditutup rapat.
Pengamatan
Pengamatan dilakukan setiap minggu selama 4 minggu. Pengamatan
pertama dilakukan dengan mengukur diameter polen, daya berkecambah polen,
dan panjang tabung polen pada hari ke-0 atau sebelum disimpan. Pengamatan
selanjutnya dilakukan pada 7, 14, 21, dan 28 hari setelah penyimpanan. Parameter
yang diamati yaitu daya berkecambah, panjang tabung polen, dan diameter polen
yang telah diinkubasikan selama 4 jam. Waktu inkubasi selama 4 jam mengacu
pada penelitian yang telah dilakukan oleh Suketi et al. (2011). Perkecambahan
polen diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya Olympus BX 51 dengan
perbesaran 200 kali. Setiap ulangan terdiri atas 4 bidang pandang dan 1 bidang
pandang polen yang diamati terdiri dari 20 polen. Setiap parameter memiliki
perbedaan kriteria untuk diamati.
Diameter Polen
Pengukuran diameter polen dilakukan dengan menggunakan mikroskop
yang dilengkapi dengan mikrometer. Diameter polen diukur dengan perbesaran
200 kali. Jumlah polen yang diamati dalam 1 deck glass sebanyak 80 polen.
Daya Berkecambah
Perkecambahan polen dihitung dengan satuan persen. Polen yang pecah
tidak dihitung sebagai polen yang berkecambah. Polen yang memiliki ukuran
panjang tabung lebih tinggi dibandingkan diameternya merupakan polen yang
telah berkecambah (Gambar 1). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh

8
Raganata (2006), daya berkecambah polen diamati dengan mikroskop dengan
perhitungan sebagai berikut :
Daya Berkecambah =

Jumlah polen yang berkecambah
Jumlah total polen yang diamati

(a)

×100%

(b)

Gambar 1 Kriteria perkecambahan polen; (a) polen yang telah
berkecambah (b) polen yang belum berkecambah
Panjang Tabung Polen
Pengukuran panjang tabung polen tidak jauh berbeda dengan pengukuran
diameter polen, untuk mempermudah pengamatan, perbesaran dapat ditingkatkan
menjadi 400 kali.
Analisis Data
Percobaan dilakukan dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan
faktor tunggal yaitu perbedaan suhu dalam penyimpanan. Pengujian dilakukan
terhadap 2 genotipe dengan 3 taraf perlakuan yaitu suhu 10 oC, 5 oC, dan -20 oC
dengan masing-masing 3 ulangan sehingga terdapat 18 satuan percobaan. Setiap
deck glass merupakan 1 ulangan dan diperlukan 4 bidang pandang.
Model rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut :
Yij = π + σi + εij
Keterangan:
Yij
: Respon pengamatan viabilitas polen pada perlakuan suhu ke-i dan
ulangan ke-j (i = 1,2,3) (j = 1,2,3)
π
: Rataan umum
σi
: Pengaruh perlakuan suhu ke-i (i = 1,2,3)
εij
: Pengaruh galat percobaan perlakuan suhu ke-i dan ulangan ke-j
(i = 1,2,3) (j = 1,2,3)
Data percobaan perkecambahan polen pepaya dianalisis dengan Uji-F
menggunakan software SAS pada selang kepercayaan 95% (α = 5%). Hasil yang
menunjukkan pengaruh nyata pada taraf 5% dilanjutkan dengan uji Duncan
Multiple Range Test (DMRT).

9

HASIL DAN PEMBAHASAN
Diameter Polen
Hasil percobaan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan ukuran antara
kedua genotipe, terlihat pada penyimpanan minggu ke-4 dimana diameter polen
pepaya IPB 6 lebih kecil dibandingkan minggu sebelumnya, namun diameter
polen pepaya IPB 9 hampir sama pada setiap minggunya (Tabel 1).
Tabel 1 Diameter polen pepaya IPB 6 dan IPB 9
Genotipe

Umur simpan (minggu)
Suhu simpan

IPB 6

IPB 9

1

2

3

4

10 oC (µm)

32.93

31.23

30.11

31.18

5 oC (µm)

33.09

31.05

32.21

28.83

-20 oC (µm)

32.51

32.89

29.51

28.81

10 oC (µm)

33.63

33.23

32.60

33.76

5 oC (µm)

34.15

32.38

33.38

32.88

-20 oC (µm)

33.65

34.24

33.42

34.19

Polen pepaya IPB 6 dan IPB 9 segar atau tanpa perlakuan penyimpanan
memiliki ukuran diameter rata-rata sebesar 31.31 µm dan 35.03 µm (Gambar 2).

Gambar 2 Polen pepaya IPB 6 dan IPB 9 sebelum perlakuan
penyimpanan
Kelly et al. (2002) juga melakukan penelitian yang menunjukkan bahwa pada
Mimulus guttatus polen yang viabel merupakan polen yang memiliki ukuran
berkisar antara 25 sampai 35 µm dan polen yang tidak viabel memiliki ukuran 10
sampai 25 µm.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa polen pepaya IPB 6 dan IPB 9 yang
telah disimpan dalam suhu 5 oC dan -20 oC selama 4 minggu terdapat perubahan

10
bentuk dan diameter dari beberapa bidang pandang yang diamati. Polen yang
disimpan pada suhu lebih tinggi yaitu 10 oC memiliki diameter dan bentuk yang
lebih menyerupai polen segar. Perubahan tersebut dapat dilihat dari polen yang
disimpan pada suhu 5 oC dan -20 oC dan ditunjukkan oleh panah merah, polen
tersebut terlihat lebih kecil dan mengkerut dibandingkan dengan polen yang
disimpan pada suhu 10 oC (Gambar 3 dan Gambar 4).

Gambar 3 Diameter polen pepaya IPB 6 setelah disimpan selama 4 minggu

Gambar 4 Diameter polen pepaya IPB 9 setelah disimpan selama 4 minggu
Hasil percobaan juga menunjukkan saat diamati terdapat polen yang
mengalami plasmolisis setelah disimpan pada beberapa suhu. Jumlah polen yang
mengalami plasmolisis berbeda antara suhu dan umur penyimpanan (Tabel 2).
Tabel 2 Persentase polen pepaya IPB 6 dan IPB 9 yang mengalami plasmolisis
Genotipe

Suhu simpan
o

IPB 6

IPB 9

10 C (%)
5 oC (%)
-20 oC (%)
10 oC (%)
5 oC (%)
-20 oC (%)

1
7.68
4.64
2.48
2.08
7.21
7.14

Umur simpan (minggu)
2
3
9.63
2.17
8.98
4.17
6.00
2.78
13.19
6.87
8.46
9.93
7.95
2.73

4
4.21
7.57
0.00
11.49
2.27
4.33

Menurut Knowlton (1922) polen yang mengalami plasmolisis dapat
disebabkan oleh kandungan air yang terdapat pada polen. Polen yang memiliki
kandungan air tinggi dan aktivitas respirasi tinggi lebih mudah mengalami

11
kerusakan. Hussein (2014) menunjukkan bahwa pada Impatiens glandulifera
pertumbuhan tabung polen memang terlihat lebih cepat pada suhu ruang
dibandingkan dengan suhu rendah (4–8 oC), namun pada suhu ini jumlah polen
yang mengalami plasmolisis lebih sedikit. Bhojwani dan Bhatnagar (2009)
menyatakan bahwa pada polen beberapa spesies dalam famili angiospermae akan
mengalami plasmolisis jika ditempatkan dalam air. Penambahan gula dalam
jumlah tertentu akan membatasi laju difusi air ke dalam polen dan hal tersebut
dapat mencegah polen dari plasmolisis. Menurut Jon dan Lesley (1990) ukuran
polen dapat menentukan pertumbuhan tabung polen maksimum. Daya
berkecambah mungkin memang tidak dipengaruhi oleh ukuran polen baik yang
berukuran kecil maupun yang lebih besar, namun luas permukaan yang lebih luas
terhadap ukuran polen yang lebih kecil menyebabkan polen dapat terhidrasi dan
aktivitas metabolisme menjadi lebih cepat dibandingkan dengan polen yang
berukuran lebih besar.
Daya Berkecambah
Polen pepaya IPB 6 dan IPB 9 yang telah disimpan selama 4 minggu
menunjukkan respon perkecambahan yang berbeda pada masing-masing suhu.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu dan lama penyimpanan mempengaruhi
daya berkecambah polen pepaya IPB 6 dan IPB 9 (Tabel 3).
Tabel 3 Daya berkecambah polen pepaya IPB 6 dan IPB 9
Genotipe

IPB 6

IPB 9

Suhu simpan

Umur simpan (minggu)
1

2

3

4

10 oC (%)
5 oC (%)
-20 oC (%)

13.68a
10.52a
12.00a

31.45a
11.65b
8.96b

6.67b
6.67b
8.33a

23.11a
11.11a
22.42a

10 oC (%)

23.45a

43.75a

43.63a

20.29ab

5 C (%)

39.59a

14.86b

20.66b

30.68a

-20 oC (%)

26.74a

35.38ab

21.17b

0.00b

o

Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom dan genotipe yang
sama tidak berbeda nyata menurut DMRT taraf 5%

Polen pepaya IPB 6 segar atau kontrol yang dikecambahkan pada suhu
ruang memiliki daya berkecambah sebesar 17.8% sedangkan untuk polen pepaya
IPB 9 sebesar 22.11%. Sampai penyimpanan minggu ke-4, polen pepaya IPB 6
yang disimpan dalam suhu 10 oC dan -20 oC mengalami peningkatan persentase
daya berkecambah dari minggu sebelumnya dan memiliki persentase daya
berkecambah yang lebih tinggi dibandingkan polen pepaya IPB 6 yang disimpan
pada suhu 5 oC. Hal ini menunjukkan bahwa polen pepaya IPB 6 masih dapat
berkecambah dengan baik sampai 4 minggu apabila disimpan pada suhu 10 oC
dan -20 oC. Penelitian yang telah dilakukan oleh Sari et al. (2010) pada buah naga
putih menunjukkan bahwa adanya kecenderungan peningkatan viabilitas pada
penyimpanan minggu ke-4 berkaitan dengan respon polen terhadap suhu rendah.

12
Suhu rendah dapat memecahkan dormansi karena adanya adaptasi polen pada
kondisi lingkungan yang dingin atau beku.
Polen pepaya IPB 9 mengalami penurunan persentase daya berkecambah
pada penyimpanan minggu ke-4, namun jika dilihat dari persentase daya
berkecambah, polen yang telah disimpan selama 4 minggu dalam suhu 5 oC
memiliki nilai persentase daya berkecambah yang lebih tinggi dibandingkan
dengan polen pepaya IPB 9 yang disimpan dalam suhu 10 oC dan -20 oC, bahkan
pada suhu -20 oC daya berkecambah polen pepaya IPB 9 menjadi 0.00%.
Berdasarkan penelitian Handayani et al. (2012) pada Hemerocallis fulva L. polen
yang disimpan pada suhu 4 oC viabilitasnya menurun hingga penyimpanan pada
minggu ke-4 sedangkan penelitian Martinez-Gomez et al. (2002) menunjukkan
bahwa penyimpanan polen almond (Prunus dulcis) pada suhu 4 oC tidak
menunjukkan penurunan viabilitas yang signifikan selama 2 bulan.
Penurunan persentase daya berkecambah pada minggu ke-4 dapat
disebabkan oleh pengeringan polen pada saat sebelum polen disimpan dalam
pendingin. Menurut Daher et al. (2008) pada polen Arabidopsis thaliana yang
dikeringkan selama 24 jam sebelum disimpan dalam pendingin menyebabkan
daya berkecambah berkurang sebanyak 20%, sedangkan jika dikeringkan selama
2 jam maka daya berkecambahnya akan sama dengan daya berkecambah polen
segar.
Daya berkecambah polen pepaya IPB 6 dan IPB 9 pada Tabel 3 rata-rata
kurang dari 80%, nilai daya berkecambah yang rendah ini dapat disebabkan oleh
suhu ruangan pada saat inkubasi sebesar 27 oC. Menurut Beyhan dan Serdar
(2008), pada tanaman Castanea sativa L. persentase viabilitas polen yang tinggi
tidak kurang dari 80%. Boavida dan McCormick (2007) menyatakan bahwa suhu
24 oC atau lebih, meskipun tabung polen terlihat tumbuh lebih cepat,
perkecambahan polen berkurang dan sekitar 50% tabung polen menunjukkan
morfologi yang abnormal dan cacat. Suhu di bawah 20 oC sangat menghambat
perkecambahan dan banyak butir polen yang mengalami plasmolisis. Hal ini
sangat penting untuk menjaga suhu selama jalannya penelitian, karena variasi
suhu sewaktu-waktu dapat menyebabkan tabung polen tertahan ataupun memiliki
morfologi yang abnormal.
Data pada Tabel 3 menunjukkan persentase daya berkecambah polen pepaya
IPB 6 dan IPB 9 tidak konsisten. Masing-masing genotipe memiliki respon yang
berbeda, terdapat peningkatan dan penurunan persentase daya berkecambah pada
setiap suhu dan umur penyimpanan. Menurut Handayani et al. (2012) peningkatan
dan penurunan viabilitas setiap minggunya pada polen Hemerocallis fulva L,
berkaitan dengan adaptasi pada suhu dan lama penyimpanan. Penelitian yang telah
dilakukan oleh Baki (1992) pada buah tomat menyatakan bahwa daya
berkecambah polen akan menurun seiring bertambahnya waktu penyimpanan dan
suhu penyimpanan yang terbaik adalah 6 oC.
Panjang Tabung Polen
Suhu dan lama penyimpanan mempengaruhi panjang tabung polen pepaya
IPB 6 dan IPB 9 (Gambar 5 dan Gambar 6 ). Panjang tabung polen pepaya IPB 6
segar atau tanpa perlakuan penyimpanan sebesar 128.04 µm sedangkan pada
polen pepaya IPB 9 segar sebesar 138.81 µm.

13

Gambar 5 Panjang tabung polen pepaya IPB 6 selama 4 minggu penyimpanan

Gambar 6 Panjang tabung polen pepaya IPB 9 selama 4 minggu penyimpanan
Polen pepaya IPB 6 yang disimpan sampai minggu ke-3 menghasilkan
tabung polen yang lebih panjang dari minggu sebelumnya, namun pada
penyimpanan minggu ke-4 menunjukkan tabung polen yang lebih pendek dari
minggu sebelumnya dengan tabung polen terpanjang ditunjukkan oleh polen
pepaya IPB 6 yang disimpan pada suhu -20 oC. Serupa dengan polen pepaya IPB
6, polen pepaya IPB 9 yang disimpan sampai minggu ke-4 menghasilkan tabung
polen yang lebih pendek dari minggu sebelumnya dengan tabung polen terpanjang
diperoleh dari polen yang disimpan dalam suhu 10 oC. Penelitian yang telah
dilakukan oleh Boavida dan McCormick (2007) menunjukkan bahwa pada
Arabidopsis thaliana, daya berkecambah polen yang tinggi memiliki nilai panjang
tabung polen yang rendah pada ekotipe Columbie sedangkan pada ekotipe Ler
yang memiliki daya berkecambah rendah menunjukkan nilai panjang tabung polen
yang lebih tinggi. Penelitian Widiastuti dan Palupi (2008) juga menunjukkan
bahwa pada polen kelapa sawit yang telah disimpan selama 6 bulan menunjukkan
viabilitas yang masih baik tetapi panjang tabung polen selama perkecambahan

14
berkurang yang mengindikasikan terjadinya penurunan vigor polen. Shivanna et
al. (1991) melaporkan bahwa suhu dan RH tinggi (38/45 oC) tidak mempengaruhi
viabilitas polen, namun akan berpengaruh terhadap vigor polen. Polen dengan
perlakuan suhu 38 oC membutuhkan waktu yang lama untuk berkecambah dan
tabung polen untuk muncul sehingga waktu yang dibutuhkan untuk mencapai
ovarium akan lebih lama.
Suhu rendah memang dapat mempertahankan viabilitas polen namun akan
menghasilkan tabung polen yang lebih pendek. Suhu tinggi (>20 oC) dapat
menurunkan viabilitas dan memberikan pengaruh yang bervariasi pada panjang
tabung polen. Penelitian pada Crassula ovata yang disimpan selama 12 jam
menunjukkan bahwa suhu penyimpanan mempengaruhi pertumbuhan tabung
polen. Suhu penyimpanan sebesar -20 oC dan 16 oC mempengaruhi panjang
tabung polen sedangkan pada suhu 4 oC dan 35 oC tidak berpengaruh terhadap
panjang tabung polen (Tong 2014).
Panjang tabung polen pada Gambar 5 dan Gambar 6 tidak menunjukkan
adanya hubungan dengan persentase daya berkecambah pada Tabel 3. Hal ini
dapat dilihat dari persentase daya berkecambah paling tinggi pada polen pepaya
IPB 6 dan IPB 9 yang sudah disimpan sampai minggu ke-4 tidak menunjukkan
tabung polen paling panjang. Kamrani (2012) menyatakan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara persentase perkecambahan dengan pertumbuhan
panjang tabung polen. Lord dan Eckard (1986) menunjukkan pada Collomia
grandiflora bahwa polen yang berukuran kecil menghasilkan pertumbuhan tabung
polen yang lambat dibandingkan dengan polen yang berukuran lebih besar.

KESIMPULAN
Polen pepaya IPB 6 dapat disimpan selama 4 minggu pada suhu 10 oC, 5 oC,
dan -20 oC, sedangkan untuk polen pepaya IPB 9 dapat disimpan selama 4 minggu
pada suhu 10 oC dan 5 oC. Suhu penyimpanan 5 oC dan 10 oC dapat digunakan
untuk menyimpan polen pepaya IPB 6 dan IPB 9 selama 4 minggu.

DAFTAR PUSTAKA
Agustin H, Palupi ER, Suhartanto MR. 2014. Pengelolaan polen untuk produksi
benih melon hibrida Sunrise Meta dan Orange Meta. J Hort. 24(1): 32–41.
Akond ASMG, Pounders CT, Blythe EK, Wang X. 2012. Longevity of
crapemyrtle pollen stored at different temperatures. Scientia Horticulturae.
139(2012): 53–57.
Baki AAA. 1992. Determination of pollen viability in tomatoes. J Amer Soc Hort
Sci. 117(3): 473–476.
Bedinger P. 1992. The remarkable biology of pollen. The Plant Cell. 4: 879–877.
Beyhan N, Serdar U. 2008. Assesment of pollen viability and germinability in
some european chestnut genotype (Castanea sativa L.). Hort Science. 35(4):
171–178.

15
Bhat ZA, Dhillon WS, Shafi RHS, Rather JA, Mir AH, Shafi W, Rashid R, Bhat
JA, Rather TR, Wani TA. 2012. Influence of storage temperature on viability
and in vitro germination capacity of pear (Pyrus spp.) pollen. Journal of
Agricultural Science. 4(11): 128–135.
Bhojwani SS, Bhatnagar SP. 2009. The Embryology of Angiosperms. New Delhi
(IN): Vikas Publishing.
Boavida LC, McCormick S. 2007. Temperature as a determinant factor for
increased and reproducible in vitro pollen germination in Arabidopsis thaliana.
The Plant Journal. 52: 570–582.
Cohen E, Lavi U, Spiegel-Roy P. 1989. Papaya pollen viability and storage.
Scientia Horticulturae. 40(4): 317–324.
Daher FB, Chebli Y, Geitmann A. 2008. Optimization of conditions for
germination of cold storage Arabidopsis thaliana pollen. Plant Cell Rep. 28(3):
347–357.
Decraene RLP, Smets EF. 1999. The floral development and anatomy of Carica
papaya. Can J Bot. 77(4): 582–598.
Denney JO. 1992. Xenia includes metaxenia. Hort Science. 27(7): 722–728.
Edlund AF, Swanson R, Preuss D. 2004. Pollen and stigma structure and fuction:
the role of diversity in pollination. The Plant Cell. 16: 84–97.
Febriyanti N, Sujiprihati S, Widodo WD. 2010. Kajian metaxenia pada buah
pepaya genotipe IPB 9. Di dalam: Utama IMS, Susila AD, Poerwanto R,
Antara NS, Putra, Susrua KB, editor. Reorientasi Riset untuk Mengoptimalkan
Produksi dan Rantai Nilai Hortikultura; 20 Nop 25–26; Denpasar, Indonesia.
Bogor (ID): Perhimpunan Hortikultura Indonesia.
Handayani NKSD, Kriswiyanti E, Astarini IA. 2012. Uji viabilitas serbuk sari
Hemerocallis fulva L. (Liliceae) setelah penyimpanan pada waktu dan suhu
yang berbeda. Jurnal Metamorfosa. 1(1): 17–24.
Harrison JSH. 1992. Cytological techniques to assess pollen quality. Di dalam:
Cresti M, Tiezzi A, editor. Sexual Plant Reproduction. Norwich(GB):
Springer-Verlag.
Hoekstra FA. 1995. Collecting pollen for genetic resources conservation. Di
dalam: Guarino L, Rao R, Reid R, editor. Collecting Plant Genetic Diversity:
Technical Guidelines [internet]. Fort Collins(USA): IUCN. [Diunduh 2014 Feb
2]. Tersedia pada: http://cropgenebank.sgrp.cgiar.org/index.php?.php?option=
com_ content& view=article&id=654.
Hussein N. 2014. In vitro manipulation of Impatiens glandulifera pollen for
transporting extracellular substances to the embryo sac. Curr Res J Biol Sci.
6(2): 66–70.
Jett JB, Bramlett DL, Webber JE, Eriksson U. 1993. Pollen collection, storage,
and testing. Di dalam: Bramlett DL, Askew GR, Blush TD, Bridgwater FE, Jett
JB, editor. Advances in Pollen Management. Washington DC (US): United
States Departemen of Agriculture.
Jon LD, Lesley LD. 1990. Plant Reproductive Ecology Patterns and Strategies.
New York (US): Oxford University Press.
Kamrani R. 2012. Study on pollen germination and pollen tube growth of five
iranian apricot cultivars on in vitro condition. International Conference on
Applied Life Science.

16
Kelly JK, Rasch A, Kalisz S. 2002. A method to estimate pollen viability from
pollen size variation. American Journal of Botany. 89(6): 1021–1023.
Khan SA, Perveen A. 2006. Germination capacity of stored pollen of
Abelmoschus esculentus L. (Malvaceae). Pak J Bot. 38(2): 233–236.
Knowlton HE. 1922. Studies in Pollen with Special Reference to Longevity. New
York(US): Cornell University.
Lord EM, Eckard KJ. 1986. Ultrastructure of the dimorphic pollen and stigmas of
the cleistogamous species Collomia grandiflora. Protoplasma. 132(1–2): 12–
22.
Martinez-Gomez P, Gradziel TM, Ortega E, Dicenta F. 2002. Low temperature
storage of almond pollen. Hort Science. 37(4): 691-692.
Nadila D. 2014. Fenologi pembungaan dan penyerbukan buah naga Hylocereus
undatus, Hylocereus costaricensis, dan Selenicereus megalanthus [skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Perveen A. 2007. Pollen germination capacity, viability, and maintanence of
Pisium sativum L. (Papilionaceae). Middle – East Journal of Scientific
Research. 2(2): 79–81.
Perveen A, Khan SA, Abid R. 2007. Maintenance of pollen germination capacity
of Carica papaya L (Caricaceae). Pak J Bot Sci. 39(5): 1403–1406.
Raganata AP. 2006. Kajian pengelolaan serbuk sari kelapa sawit (Elaeis
guineensis Jacq.) pisifera [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Sabran M, Gunawan E, Hardono, Prabawati S, Pitono J, Sankarto B, Wardana IP,
Mamat HS, Rachmat R, Romjali E, Pardal S, Wachid, Hermawanto R. 2012.
Inovasi Teknologi Membangun Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan Petani.
Jakarta(ID): IAARD Press.
Sari NKY, Kriswiyanti E, Astarini IA. 2010. Uji viabilitas dan perkembangan
serbuk sari buah naga putih (Hylocereus undatus (Haw.) Britton & Rose),
merah (Hylocereus polyrhizus (Web.) Britton & Rose) dan super merah
(Hylocereus costaricensis (Web.) Britton & Rose) setelah penyimpanan. J
Biologi. 14(2): 39–44.
Santos LMS, Pereira TNS, Souza MM, Damasceno PC, Costa FR, Ribeiro BF,
Freitas NG, Pereira MG. 2008. Optical and ultrastructural study of the pollen
grain development in hermaphrodite papaya tree (Carica papaya L.). Braz arch
biol technol. 51(3).
Sedgley M, Harbard J. 1993. Pollen storage and breeding system in relation to
controlled pollination of four species of Acacia (Leguminosae: Mimosoidae).
Aust J Bot. 41: 601–609.
Setiawan O, Ruskandi. 2005. Teknik penyimpanan serbuk sari tiga kultivar kelapa
dalam. Bul Teknik Pertanian. 10(1): 37–38.
Shivanna KR, Linskens HF, Cresti M. 1991. Pollen viability and pollen vigor.
Theor Appl Genet. 81(1): 38–42.
Shore JS, Barrett SCH. 1984. The effect of pollination intensity and incompatible
pollen on seed set in Turnera ulmifolia. Can J Bot. 62: 1298–1303.
St-Pierre RG. 2006. Factors affecting fruit yield and quality [internet]. [Diunduh
2014 Des 23]. Tersedia pada: http://www.prairie-elements. ca/ sas katoon/15.1yield&quality.pdf.
Sujiprihati S, Suketi K. 2009. Budidaya Pepaya Unggul. Depok (ID): Penebar
Swadaya.

17
Suketi K. 2011. Studi morfologi bunga penyerbukan dan perkembangan buah
sebagai dasar pengendalian mutu buah pepaya IPB [disertasi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Suketi K, Sujiprihati S, Handayani TL. 2010. Peningkatan kualitas buah pepaya
melalui pengendalian penyerbukan. Di dalam: Utama IMS, Susila AD,
Poerwanto R, Antara NS, Putra NK, Susrua KB, editor. Reorientasi Riset untuk
Mengoptimalkan Produksi dan Rantai Nilai Hortikultura. Seminar Nasional
Hortikultura Indonesia; 20 Nop 25–26; Denpasar, Indonesia. Bogor (ID):
Perhimpunan Hortikultura Indonesia. hlm 111–116.
Suketi K, Tuharea CIH, Widodo, WD. 2011. Pollen viability and pollen tube
growth of IPB’s papaya. J Agron Indonesia. 39(1): 43–48.
Sulistyo A, Sujiprihati S, Trikoesoemaningtyas. 2006. Studi persilangan efek
metaxenia pada pepaya. Di dalam: Dwiyanto K, Agung T, Muladno, Sujiprihati
S, Siagian PH, editor. Pemuliaan Sebagai Pendukung Kemandirian dan
Ketahanan Pangan 2020; 2006 Agu 25–26; Purwokerto, Indonesia. Bogor
(ID): PERIPI. hlm 282–289.
Tong J. 2013. The effect of storage temperature on Crassula ovata pollen tube
elongation [internet]. [Diunduh 2015 Jan 03]. Tersedia pada :
https://uci.academia.edu/JuneTong/Activity
Twiddle CL. 2012. Pollen analysis: not just a qualitative tool. Geomorphological
Techniques. 4(1):1–11.
Villegas VN. 1991. Carica papaya L. Di dalam: Verheij EWM, Coronel RE,
editor. Plant Resources of South-East Asia No. 2: Edible Fruits and Nuts.
Bogor (ID): Prosea Foundation. hlm 108–112.
Warid. 2009. Korelasi metode pengecambahan in vitro dan pewarnaan dalam
pengujian viabilitas polen [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Webber JE. 1991. Interior Spruce Pollen Management Manual. Columbia (CO):
Ministry of Forests.
Widiastuti A, Palupi ER. 2008. Viabilitas serbuk sari dan pengaruhnya terhadap
keberhasilan pembentukan buah kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.).
Biodiversitas. 9(1): 35–38.

18
Lampiran 1 Deskripsi pepaya IPB 6 (varietas Sukma)
Bentuk buah
Ukuran buah
Panjang buah (cm)
Diameter buah (cm)

Bobot per buah (g)
Warna daging buah
Kulit buah
Rasa daging buah
Umur petik
Sumber

: lonjong
: sedang
: 15–18
: 12.425  0.34 (ujung)
13.484  0.28 (tengah)
10.703  0.32 (pangkal)
: 2.700  240
: kemerahan/jingga
: hijau tua
: manis (10–11 O Brix)
:  140–150 hari setelah antesis (bunga mekar)
: Sujiprihati dan Suketi (2009)

Lampiran 2 Deskripsi pepaya IPB 9 (varietas Callina)
Bentuk buah
Ukuran buah
Panjang buah (cm)
Diameter buah (cm)
Bobot per buah (g)
Bobot 100 biji (g)
Jumlah biji
Tekstur kulit
Warna daging buah
Warna kulit buah
Rasa daging buah
pH
Kadar vitamin C
Kadar karoten
Sumber

: silindris
: sedang
: 23.00  0.00
: 9.36  0.18
: 1236.67  63.51
: 7.89  0.08
: 1 048.00  84.87
: halus
: jingga
: hijau
: manis (10.67  0.58 OBrix)
: 5.68  0.15
: 78.6  5.7
: 37.9  13.2 µmol/100 g
: Sujiprihati dan Suketi (2009)

19

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Serang, 23 Maret 1992 dan merupakan anak pertama
dari Bapak Abdul Haris dan Ibu Mimin Mintarsih. Penulis memiliki 1 saudara
kandung laki-laki bernama Gede Nugraha Trimurti. Penulis lulus dari SMAN 5
Depok pada tahun 2010 dan diterima sebagai mahasiswa Departemen Agronomi
Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur masuk
Ujian Talenta Mandiri (UTM).
Penulis aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) beladiri Karate pada
periode 2011-2012 sebagai anggota internal. Penulis juga mengikuti beberapa
kegiatan kepanitian seperti