Tingkat Maturasi dan Fertilisasi Oosit Domba yang Dimaturasi dalam Media yang Ditambahkan Sericin In Vitro

TINGKAT MATURASI DAN FERTILISASI OOSIT DOMBA
YANG DIMATURASI DALAM MEDIA YANG
DITAMBAHKAN SERICIN SECARA IN VITRO

CUT YASMIN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Tingkat Maturasi dan
Fertilisasi Oosit Domba yang Dimaturasi dalam Media yang Ditambahkan
Sericin secara In Vitro adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014
Cut Yasmin
B352120051

RINGKASAN
CUT YASMIN. Tingkat Maturasi dan Fertilisasi Oosit Domba yang Dimaturasi
dalam Media yang Ditambahkan Sericin secara In Vitro. Dibimbing oleh NI
WAYAN KURNIANI KARJA dan MOHAMAD AGUS SETIADI.
Produksi embrio in vitro merupakan salah satu teknologi yang diterapkan
dalam bidang reproduksi. Teknologi ini memanfaatkan limbah ovarium yang
diperoleh dari rumah potong hewan (RPH). Oosit yang dikoleksi dari ovarium
tersebut berikutnya dimatangkan secara in vitro pada lingkungan kultur dengan
kadar CO2 5% dan O2 ~20%. Kondisi ini berbeda dengan in vivo, dimana dalam
saluran reproduksi betina kadar O2 berkisar antara 3-18%. Tingginya kadar O2
memungkinkan terbentuknya reactive oxygen species (ROS) sebagai produk
oksidasi dari metabolisme oksigen. Konsentrasi ROS yang tinggi menyebabkan
gangguan pada membran sel, disfungsi mitokondria, DNA, RNA, kerusakan
protein, lipid dan juga berperan dalam terjadinya apoptosis. Untuk melindungi
oosit dari stres oksidatif selama kultur dapat dilakukan penambahan berbagai

antioksidan. Sericin merupakan protein yang berasal dari kepompong ulat sutra
dan memiliki aktivitas antioksidan. Selain itu, sericin merupakan kelompok
protein albuminoid yang diperlukan untuk perkembangan oosit. Selama ini,
bovine serum albumin (BSA) merupakan komponen yang umum disuplementasi
ke dalam media maturasi. Sericin sebagai albuminoid protein berpotensi
digunakan sebagai alternatif lain yang dapat disuplementasi ke dalam media
selain BSA. Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi efektifitas sericin sebagai
antioksidan dan pengganti BSA terhadap kompetensi perkembangan oosit domba
yang dimaturasi dan difertilisasi secara in vitro.
Penelitian tahap 1 dilakukan evaluasi tingkat kompetensi meosis oosit yang
dikultur pada media dengan penambahan sericin dengan atau tanpa BSA.
Kumulus oosit dimaturasi dalam media yang ditambahkan sericin dengan
konsentrasi 0%, 0,1%, 0,25%, dan 0,5% dengan atau tanpa BSA. Setelah
diinkubasi selama 24 jam oosit difiksasi untuk evaluasi status inti oosit. Pada
penelitian tahap 2, dilakukan evaluasi tingkat fertilisasi oosit yang dimaturasi pada
media yang ditambahkan sericin dengan atau tanpa BSA. Penelitian tahap 1
menunjukkan terjadi penurunan tingkat maturasi inti pada oosit yang dimaturasi
dengan konsentrasi 0,5%, oleh karena itu, pada penelitian tahap 2 konsentrasi
tersebut tidak digunakan. Thawing semen beku dilakukan pada suhu 30-32°C
selama 30 detik dalam media fertilisasi. Berikutnya semen disentrifugasi dengan

kecepatan 1800 rpm selama 5 menit dalam media fertilisasi. Selanjutnya,
dilakukan penghitungan konsentrasi serta dilakukan penambahan media fertilisasi
untuk mendapatkan konsentrasi 1x106. Kemudian, oosit ditransfer ke dalam 100
μl drop media in vitro fertilization (IVF) yang mengandung spermatozoa dan
diinkubasi selama 14 jam dalam inkubator CO2 5% temperatur 39°C. Setelah 14
jam ko-inkubasi, oosit difiksasi untuk dievaluasi tingkat fertilisasinya.
Hasil penelitian tahap 1 menunjukkan bahwa suplementasi sericin 0,1%
tanpa BSA memiliki persentase tertinggi dari oosit pada tahap germinal vesicle
break down (GVBD) dibandingkan dengan kontrol (92,2% ± 2,3 vs 35,0% ± 4,2)
(P < 0,05). Namun demikian tidak ada perbedaan yang signifikan antara
konsentrasi sericin 0,1% dan 0,25% (92,2% ± 2,3 vs 84,7% ± 3,2) (P > 0,05).

Lebih lanjut terjadi penurunan persentase pada konsentrasi 0,5% (67,9% ± 5,4).
Tingkat maturasi oosit pada media dengan penambahan sericin pada media
dengan BSA tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap persentase
oosit pada tahap GVBD. Suplementasi sericin pada media tanpa BSA
meningkatkan persentase tingkat maturasi oosit (MII) dibandingkan dengan
kontrol tanpa sericin. Persentase oosit pada tahap MII yang dimaturasi dengan
sericin 0,1% (83,7% ± 1,8) secara signifikan lebih tinggi (P < 0,05) dibandingkan
dengan konsentrasi yang lain ( sericin 0,25%; 63,6% ± 2,9, 0,5%; 39,7% ± 3,4).

Penambahan sericin 0,1% (73,0% ± 3,3) ketika oosit yang dimaturasi dengan
BSA memiliki persentase oosit tahap MII yang sama dibandingkan dengan tanpa
sericin (70,0% ± 4,4). Pada konsentrasi sericin 0,25% dan 0,5% (58,1% ± 3,8 dan
46,0% ± 2,5) persentase oosit menurun secara signifikan dibandingkan dengan
kontrol (P < 0,05).
Penelitian tahap 2 memperlihatkan suplementasi sericin tanpa BSA hanya
terlihat pada hasil evaluasi tingkat fertilisasi total (P < 0,05) tapi tidak pada
fertilisasi normal dan polispermi (P > 0,05). Oosit yang dimaturasi sericin 0,1%
tanpa BSA dan kemudian difertilisasi dengan spermatozoa memiliki tingkat total
fertilisasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi 0,25% dan tanpa
sericin (84,8% ± 3,5 vs 54,8% ± 6,7 dan 16,6% ± 4,1). Disamping itu, pada
penelitian tahap dua suplementasi sericin dengan BSA tidak berpengaruh pada
tingkat fertilisasi (total, normal, dan polispermi) dan memiliki kecenderungan
menurun pada konsentrasi yang lebih tinggi (P < 0,05). Kesimpulan dari
penelitian ialah suplementasi sericin 0,1% tanpa BSA ke dalam media maturasi
mampu meningkatkan tingkat perkembangan oosit domba
Keywords: sericin, antioksidan, albumin, maturasi, oosit domba

SUMMARY
CUT YASMIN. Maturation and Fertilization of Sheep Oocytes Matured in

Sericin Supplemented Media In Vitro. Supervised by NI WAYAN KURNIANI
KARJA dan MOHAMAD AGUS SETIADI.
In vitro embryo production is one of the applied technologies in the field of
reproduction. This technology used waste ovaries obtained from slaughter house.
Oocytes were collected from ovaries will be finalized following the in vitro
culture environment with 5% CO2 and 20% O2. In vitro culture conditions for
oocytes contain higher concentrations of oxygen than in vivo, this conditions may
produce more free radicals and increased level of ROS. Oxygen concentration
within the lumen of the female reproductive tract is about 3-11 %, whereas the
concentration in vitro condition is about 20%. High level of ROS can damage cell
membrane, mitochondrial dysfunction, DNA, RNA, protein damage and play a
role in apoptosis. To protect oocytes from oxidative stress during culture, various
anti-oxidative substances can be added to the media. Sericin is one type of protein
which is obtained from the silk cocoons with strong antioxidan activity. In
addition, sericin is an albuminioid protein that improve developmental
competence of oocyte. Bovine serum albumin (BSA) widely used as variable
component of a maturation media. Sericin, as an albuminoid protein would be
used as alternative compenent to media supplement instead of BSA. This study
was designed to evalute the effect of sericin supplemented on maturation media to
improve developmental competence of sheep oocyte.

In the first experiment, to evaluate the effects of sericin supplementation on
the meiotic competence of sheep oocytes cultured with or without BSA, the COCs
were cultured in the maturation media supplemented with sericin at various
concentrations of 0 (control), 0,1, 0,25 and 0,5%, either with or without BSA
supplementation. The nuclear status of oocytes were examined after maturation
culture for 24 hours. In the second experiment, we evaluated the effects of sericin
supplementation on the fertilization rate of sheep oocytes matured with or without
BSA. In the first experiment, we found that the maturation rate of oocytes
decreased when 0,5% sericin was supplemented into the maturation media.
Therefore, the sericin concentration (0,5%) was excluded in this experiment.
Frozen semen were thawed 30-32°C for 30 seconds and was diluted in in vitro
fertilization (IVF) media. Sperm suspension was centrifuged at 1800 rpm for 5
min. After centrifugation, a portion of sperm pellet was diluted in the IVF
media.The sperm concentration was adjusted to 1x106 spermatozoa/mL. COCs
(10-15 oocytes) were introduced into 100μl of the spermatozoa microdroplet, and
then co-incubated for 14 h. After 14 h of co-incubation with spermatozoa, the
oocytes were fixed for evaluation of fertilization rate.
The first experiment result showed, supplemented 0,1% sericin without
BSA was significantly higher on the percentage of GVBD stage compared to
control (92,2% ± 2,3 vs 35,0% ± 4,2) (P > 0,05). However, there is no significant

differences between 0,1% and 0,25% (92,2% ± 2,3 vs 84,7% ± 3,2) (P > 0,05).
Furthemore, the percentage of GVBD stage was significantly decreased when
cultures with 0,% sericin 0,5% (67,9% ± 5,4). Oocytes were matured on
supplemented sericin with BSA had no significant effect on the percentage of

GVBD. When the COCs were matured without BSA, the supplementation of
sericin increased the percentage of oocytes on MII stage compared with the
control oocytes cultured without sericin. Moreover, the percentage MII stage
cultured with 0,1% sericin (83,7% ± 1,8) was significantly higher (P < 0,05) than
that of oocytes cultured with the other concentrations of sericin (sericin 0,25%;
63,6% ± 2,9, 0,5%; 39,7% ± 3,4). When the COCs were matured with BSA, the
percentage of oocytes on MII stage cultured with 0,1% sericin (73,0% ± 3,3) was
similar to that of the control oocytes cultured without sericin (70,0% ± 4,4). In
contrast, the the percentage of oocytes cultured with 0,25 and 0,5% sericin (58,1%
± 3,8 and 46,0% ± 2,5, respectively) significantly decreased as compared with the
control oocytes (P < 0,05).
The result of second experiment showed
when evaluating sericin
supplemented without BSA was observed in the total fertilization rates (P < 0,05).
There is no significant difference was observed in the monospermic and

polyspermic. When the COCs were matured without BSA and then fertilized with
spermatozoa, the total fertilization rates of oocytes matured with 0,1% sericin
were significantly higher (P < 0,05) than the rates of oocytes matured with 0,25%
and without sericin (84,8% ± 3,5 vs 54,8% ± 6,7 and 16,6% ± 4,1). In addition,
supplementing sericin with BSA had no significant differences in the percentage
of fertilization rate (total, monospermic, polyspermic) and appeared to have
decreasing tendency (P < 0,05) on the higher concentration. In conclusion,
supplementation of 0,1% sericin without BSA to in vitro maturation media
improve the developmental compentecy of sheep oocytes.
Keywords: sericin, antioxidant, albumin, maturation, sheep oocyte

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


TINGKAT MATURASI DAN FERTILISASI OOSIT DOMBA
YANG DIMATURASI DALAM MEDIA YANG
DITAMBAHKAN SERICIN SECARA IN VITRO

CUT YASMIN

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biologi Reproduksi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr drh Iman Supriatna


Judul Tesis : Tingkat Maturasi dan Fertilisasi Oosit Domba yang Dimaturasi
dalam Media yang Ditambahkan Sericin In Vitro
Nama
: Cut Yasmin
NIM
: B352120051

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

drh Ni Wayan Kurniani Karja MP, PhD
Ketua

Prof Dr drh Mohamad Agus Setiadi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Biologi Reproduksi


Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr drh Mohamad Agus Setiadi

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 12 Agustus 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tesis ini
mengemukakan tentang upaya peningkatan produksi embrio in vitro pada domba
dengan penambahan senyawa antioksidan.
Terimakasih penulis ucapkan kepada drh. Ni Wayan Kurniani Karja MP,
Ph.D dan Prof Dr drh Mohamad Agus Setiadi selaku dosen pembimbing yang
telah banyak memberikan arahan dan bimbingan. Disamping itu penghargaan
penulis disampaikan kepada pimpinan dan staf Rumah Potong Hewan
Kambing/Domba Kampung Cikanyong Babakan Madang, Bogor yang telah
banyak membantu selama penelitian. Ungkapan terimakasih juga disampaikan
kepada kedua orang tua, keluarga, Zultinur Muttaqin sebagai sahabat dan rekan
penelitian yang telah banyak membantu dan memberikan semangat serta kasih
sayang selama penelitian dan penulisan karya ilmiah ini. Ungkapan terimakasih
juga disampaikan kepada teman-teman Biologi Reproduksi 2012 dan 2013 atas
segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2014
Cut Yasmin

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

x

DAFTAR GAMBAR

x

DAFTAR LAMPIRAN

x

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kerangka Pemikiran
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Hipotesis

1
1
2
3
3
3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Pematangan Oosit dan Fertilisasi In Vitro
Reactive Oxygen Species (ROS) dan Kerja Antioksidan
Sericin dan Potensi Antioksidan
Sericin Sebagai Albuminoid Protein

3
3
4
5
7

3 BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Metode Penelitian
Tahap I: Kemampuan Pematangan Inti Oosit
Evaluasi Tingkat Maturasi Oosit
Tahap II: Fertilisasi In Vitro
Rancangan Penelitian
Prosedur Analisis Data
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL
Tingkat Maturasi Inti Oosit Domba pada Media
yang Disuplemantasi Sericin tanpa atau dengan BSA
Tingkat Fertilisasi In Vitro dari Oosit yang Dimaturasi dalam Media
yang Ditambahkan Sericin tanpa atau dengan BSA
PEMBAHASAN

8
8
8
8
9
9
10
10
10
10
10

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

15
15
16

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

17
22
25

11
13

DAFTAR TABEL
1 Tingkat maturasi inti oosit domba pada media yang ditambahkan
sericin tanpa atau dengan BSA
2 Tingkat fertilisasi oosit domba setelah dimaturasi pada media yang
ditambahkan sericin tanpa atau dengan BSA

12
13

DAFTAR GAMBAR
1 Status inti sel oosit setelah maturasi in vitro
2 Pembentukan pronukleus (PN) pada oosit setelah fertilisasi

10
12

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4

Komposisi media transportasi
Komposisi media koleksi oosit
Komposisi media dasar TCM-199 untuk maturasi oosit
Komposisi media fertilisasi in vitro

23
23
23
24

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Produksi embrio in vitro (PEIV) sebagai salah satu metode dalam
bioteknologi reproduksi melibatkan beberapa tahapan penting yaitu in vitro
maturation (IVM), in vitro fertilization (IVF), dan in vitro culture (IVC) (Gordon
2003). Kultur secara in vitro (IVM/F/C) umumnya dilakukan pada lingkungan
dengan kadar O2 yang hampir sama dengan kadar O2 di dalam atmosfir (in
air≈20%). Kadar O2 di dalam atmosfir diketahui lebih tinggi daripada kadar di
dalam tubuh dimana kadar O2 dalam saluran reproduksi betina berkisar antara 218%, sedangkan di dalam cairan folikel tekanan oksigen berkisar antara 3-13%
(Fischer et al. 1993;Hashimoto et al. 2000). Kondisi kultur dengan kadar O2
mencapai 20% dilaporkan dapat menyebabkan terjadinya peningkatan
metabolisme oksigen sehingga akan terjadi peningkatan pembentukan radikal
bebas atau reactive oxygen species (ROS) (Correa et al. 2008; Mingoti et al.
2009).
Radikal bebas termasuk diantaranya superoxide anion radicals (O2-),
hydroxyl radicals (OH-), dan hydrogen peroxyde (H2O2) adalah beberapa jenis
produk oksidasi dari metabolisme oksigen reaksi biologis atau faktor eksogen
lainnya. Menurut Agarwal et al. (2003) metabolisme yang berlangsung optimal
akan membentuk ROS sebagai hasil dari metabolisme oksigen. Radikal bebas
merupakan kelompok molekul kimia yang tidak stabil, sangat reaktif, dan mudah
berikatan dengan satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan. Secara
fisiologis radikal bebas dalam jumlah yang seimbang akan berperan positif dalam
proliferasi dan diferensiasi sel, serta regulasi komunikasi antara sel (signalling
pathways) tapi akan memberi efek negatif pada jumlah yang berlebih (Droge
2002; Poli et al. 2004). Covarrubias et al. (2008) menyatakan bahwa
ketidakseimbangan antara ROS dan mekanisme pertahanan antioksidan endogen
menyebabkan terjadinya jumlah ROS berlebihan sehingga terjadinya peroksidasi
lipid dan stres oksidatif yang apabila terjadi secara terus menerus akan
berpengaruh terhadap perubahan dan modifikasi membran secara seluler atau
molekul intraseluler lainnya. Reactive oxygen species (ROS) bisa menyebabkan
kerusakan pada struktur sel seperti disfungsi mitokondria, mikrotubul, DNA,
RNA, dan gangguan fungsi sel secara normal (Takahashi et al. 2000). Berbagai
variasi antioksidan yang diproduksi di dalam tubuh berperan penting dalam
mengeliminasi ROS dan peroksidasi lipid guna melindungi sel dari efek toksik
ROS dan peroksidasi lipid (Guerin et al. 2001).
Ketidakseimbangan produksi ROS akibat adanya peningkatan metabolisme
oksigen pada kondisi kultur in vitro dapat dikurangi dengan penambahan senyawa
antioksidan ke dalam media kultur. Asam askorbat (Dalvit et al. 2005),
glutathione (Livingston et al. 2009), berbagai senyawa fenol (Du et al. 2009), dan
tokoferol (Natarajan 2010) adalah berbagai jenis antioksidan yang sudah
dilaporkan mampu menekan peroksidasi lipid dan meningkatkan hasil embrio
yang diperoleh secara in vitro. Akhir-akhir ini dilaporkan potensi sericin sebagai
antioksidan (Kato et al. 1998; Dash et al. 2008). Sericin merupakan protein yang
dimurnikan dari kepompong ulat sutra dengan berat molekul 33 kDA (Altman et
al. 2003). Kandungan asam amino dalam sericin seperti tirosina, fenilalanina, dan

2

histidina mampu berperan sebagai penangkap ROS (ROS scavenger) dan juga
sebagai donor proton (Chlapanidas et al. 2013) sehingga mampu menekan
peroksidasi lipid secara in vitro (Kato et al. 1998 ; Elias et al. 2008). Sementara
Patel dan Modasiya (2011) melaporkan bahwa sericin menekan peroksidasi lipid
melalui mekanisme kelat logam (metal chelation) dengan mengikat element
logam seperti besi (Fe2+) dan tembaga (Cu2+) yang dapat mengkatalisis terjadinya
reaksi oksidasi lipid, sehingga kemampuan sel atau jaringan dalam mengurangi
tingkat kerusakan akibat ion metal yang mengkatalisis oksidasi lipid meningkat.
Potensi sericin lainnya yang sedang banyak diteliti adalah kemampuannya
sebagai protein albuminoid dan mempunyai aktifitas yang sama dengan bovine
serum albumin (BSA) (Terada et al. 2002). Sericin mampu menginduksi
proliferasi sel hibridoma mamalia (murine hybridoma 2E3-O, human
hepatoblasma HepG2, human epithelial HeLa, dan human embryonal kidney 293
yang dikultur dalam media tanpa BSA (Terada et al. 2002). Sedangkan Isobe et
al. (2012) menyatakan kemampuan sericin dalam menginduksi proliferasi sel
embrio sehingga jumlah embrio yang berkembang sampai tahap blastosis
meningkat. Serum termasuk di dalamnya bovine serum albumin secara rutin
ditambahkan ke dalam media kultur secara in vitro (Dattena et al. 2007; SouzaFabjan et al. 2014). Penambahan serum dalam media kultur memungkinkan
terbawanya patogen seperti bovine spongiform encephalopathy (BSE) dan virus.
Hal ini menyebakan adanya peningkatan resiko penyebaran penyakit (Thibier
2006). Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan evaluasi efektivitas sericin
sebagai antioksidan dan pengganti BSA dalam media maturasi terhadap
kompetensi perkembangan oosit domba yang dimaturasi dan difertilisasi secara in
vitro.
Kerangka Pemikiran
Protein yang tersusun atas beberapa asam amino memiliki fungsi penting
dalam mendukung pertumbuhan dan perkembangan sel, serta berperan sebagai
antioksidan yang dapat melindungi sel dari radikal bebas (ROS). Kerja
antioksidan dalam menangkal ROS antara lain adalah dengan memutus rantai
reaksi pembentukan radikal bebas dengan memberikan ion hidrogen atau elektron
sehingga mencegah terbentuknya radikal bebas, dan sebagai pengkelat logam
reaktif. Kandungan protein yang terdapat dalam sericin mampu berperan sebagai
antioksidan guna mengurangi peroksidasi lipid yang disebabkan oleh ROS..
Kandungan asam amino pada sericin dapat menghambat peroksidasi lipid dengan
cara menangkap radikal bebas dan mengkelat logam reaktif pemicu peroksidasi
lipid. Di sisi lain, BSA yang merupakan albuminoid protein sering disuplementasi
pada media untuk produksi embrio in vitro sebagai penyedia sumber protein untuk
proliferasi sel. Diketahui sericin juga mengandung komponen albuminoid
sehingga penambahan sericin pada media maturasi mampu meningkatkan
perolehan jumlah oosit yang matang dan terfertilisasi. Dengan demikian
penambahan sericin mampu secara sinergis menggantikan fungsi BSA, bahkan
memiliki fungsi dukungan ganda untuk keberhasilan fertilisasi in vitro.

3

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi efektifitas sericin sebagai
antioksidan dan pengganti BSA dalam media maturasi terhadap kompetensi
perkembangan oosit domba yang dimaturasi dan difertilisasi secara in vitro.
Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
efektivitas sericin sebagai antioksidan dan pengganti BSA pada medium maturasi
in vitro oosit domba
Hipotesis
Media maturasi tanpa BSA yang ditambahkan sericin mampu meningkatkan
kompetensi perkembangan oosit domba secara in vitro.
TINJAUAN PUSTAKA
Pematangan Oosit dan Fertilisasi In Vitro
Kualitas oosit domba ditentukan berdasarkan kompleks lapisan kumulus
oophorus (cumulus oocyte complex) yaitu sel-sel granulosa yang mengelilingi
oosit dalam kondisi utuh (padat) atau tidak (Gordon 2003). Leibfried-Rutledge et
al. (1986) menyatakan bahwa oosit yang akan digunakan dalam IVM adalah oosit
yang dikelilingi sel kumulus dan memiliki granula sitoplasma yang sama dan
seragam. Morfologi sel kumulus yang mengelilingi oosit umumnya masih
digunakan sebagai kriteria utama seleksi untuk maturasi in vitro dan tingkat
ekspansi sel kumulus dapat digunakan sebagai salah satu indikator morfologi dari
kualitas oosit.
Oosit domba yang digunakan untuk fertilisasi in vitro terlebih dahulu harus
melalui proses maturasi atau pematangan di dalam inkubator selama 24 jam,
dengan temperatur sekitar 39°C. Pematangan oosit merupakan salah satu tahap
penting dari rangkaian produksi embrio in vitro. Pematangan in vitro membantu
oosit agar mampu menyelesaikan proses meiosis hingga mencapai tahap
metaphase II untuk dapat difertilisasi (Alomar et al. 2008). Oosit hewan mamalia
secara umum harus mengalami pematangan inti dan pematangan sitoplasma
hingga dapat difertilisasi sampai akhirnya berkembang menjadi embrio (Beilby et
al. 2009).
Pematangan inti berhubungan dengan aktivitas sintesis ribonucleic acid
(RNA), yang ditandai dengan perubahan inti dari fase diploten ke metafase II.
Aktivitas RNA tersebut divisualisasi oleh perubahan konfigurasi yang terjadi pada
kromatin (Hodgman et al. 2001). Perubahan konfigurasi kromatin ini
dihubungkan dengan tingginya level sintesis RNA dan diikuti oleh kondensasi
kromatin yang menandakan aktifnya proses transkripsi RNA (Lodde et al. 2008).
Selama maturasi oosit, struktur kromatin dalam oosit yang belum matang
(immature) berupa membran nuklear utuh/germinal vesicle (GV) dan kemudian
akan mengalami pelepasan membran inti membentuk germinal vesicle breakdown
(GVBD). Setelah tahap GVBD, berikutnya oosit akan masuk ke dalam tahap

4

metaphase I (MI). Pada oosit domba, tahapan ini dicapai 12 -14 jam setelah
inkubasi dan diikuti oleh tahapan anaphase (A) dan telophase (T) yang
berlangsung singkat. Lebih lanjut oosit akan mencapai tahapan metaphase II, yang
ditandai dengan terbentuknya polar body I. Ekstruksi badan polar I merupakan
indikasi dari proses meiosis dan keberhasilan dalam tahapan metaphase II
(Gordon 2003). Sel kumulus sangat berperan dalam maturasi oosit dengan jalan
mempengaruhi kelanjutan meiosis dan maturasi sitoplasma. Fungsi ini berkaitan
dengan adanya gap junction dan kemampuan metabolisme. Gap junction berperan
dalam transfer nutrien dan faktor penting dalam perkembangan oosit (Lv et
al. 2010).
Selain kriteria kematangan inti, oosit juga harus mengalami pematangan
sitoplasma. Pematangan sitoplasma ditandai dengan organisasi sitoskeletal dari
oosit seperti migrasi kortikal granul ke oolema, peningkatan mitokondria dan lipid
droplet, mulai terbentuknya retikulum endoplasma dan peningkatan metabolisme
oosit (Rahman et al. 2008). Pada saat mengalami pematangan sitoplasma terjadi
akumulasi protein dan mRNA, regulasi kalsium, perubahan aktivitas maturation
promoting factor (MPF) dan mitogen activited protein kinase (MAPK) dan
pendistribusian kembali dari organel seluler (Anguita 2007).
Oosit yang telah mencapai tahap MII merupakan oosit yang dapat
difertilisasi. Pada fase ini oosit telah mengalami pematangan inti maupun
sitoplasma. Inisiasi oleh spermatozoa akan menyebabkan oosit menyempurnakan
pembelahan meosis II yang ditandai dengan pelepasan polar body II (Cleine
1996). Pada domba, penetrasi spermatozoa ke dalam oosit membutuhkan waktu 23 jam. Selanjutnya kromosom oosit akan membentuk pronukleus betina. Kromatin
yang terdapat pada kepala spermatozoa akan mengalami dekondensasi dalam
waktu 2 jam post inseminasi. Selama proses dekondensasi kromatin, terjadi
penggantian antara protamin yang terdapat pada kepala spermatozoa dengan
histon yang diikuti oleh pembentukan pronukleus jantan dan betina 3 jam
kemudian. Kedua pronukleus akan berkembang sempurna dan berada pada posisi
saling berdekatan 14-16 jam post inseminasi (Crozet 1988; Huneau dan Crozet
1989). Fertilisasi yang normal ditandai dengan terbentuknya dua pronukleus, dua
badan kutub, bentuk sel telur yang teratur dengan zona pelusida utuh dan
sitoplasma jelas terlihat. Pembentukan lebih dari 2 pronukleus dikategorikan tidak
normal atau polispermi (Elder dan Dale 2003).
Reactive Oxygen Species (ROS) dan Kerja Antioksidan
Radikal bebas adalah atom, gugus, atau molekul yang memiliki satu atau
lebih elektron yang tidak berpasangan pada orbit paling luar, termasuk atom
hidrogen, logam-logam transisi, dan molekul oksigen. Adanya elektron tidak
berpasangan ini, menyebabkan radikal bebas secara kimiawi menjadi sangat aktif.
Radikal bebas dapat bermuatan positif (kation), negatif (anion), atau tidak
bermuatan (Halliwell dan Gutteridge 2007b). Sumber radikal bebas bisa berasal
dari proses metabolisme dalam tubuh (internal) dan dapat berasal dari luar tubuh
(eksternal). Dari dalam tubuh mencakup superoksida (O2), hidroksil (OH),
peroksil (ROO), hidrogen peroksida (H2O2), singlet oksigen (IO2), oksida nitrit
(NO), dan peroksinitrit (ONOO). Sumber dari luar tubuh antara lain berasal dari:
asap rokok, polusi, radiasi, sinar UV, obat, pestisida, limbah industri, dan ozon
(Agarwal et al. 2003).

5

Radikal bebas pada umumnya mempunyai efek yang sangat
menguntungkan, seperti membantu destruksi sel-sel mikroorganisme dan kanker.
Akan tetapi, produksi radikal bebas yang berlebihan dan produksi antioksidan
yang tidak memadai dapat menyebabkan kerusakan sel-sel jaringan dan enzim
enzim. Kerusakan jaringan dapat terjadi akibat gangguan oksidatif yang
disebabkan oleh radikal bebas asam lemak atau dikenal sebagai peroksidasi lipid.
Aktivitas radikal bebas dapat menjadi penyebab berbagai kerusakan dalam sel dan
jaringan. Di antara senyawa-senyawa oksigen reaktif, radikal hidroksil (OH)
merupakan senyawa yang paling berbahaya karena mempunyai tingkat reaktivitas
sangat tinggi (Agarwal et al. 2003). Radikal hidroksil dapat merusak tiga jenis
senyawa yang penting untuk mempertahankan integritas sel yaitu (1) Asam lemak
tak jenuh jamak (PUFA) yang merupakan komponen penting fosfolipid penyusun
membran sel (2) DNA, yang merupakan piranti genetik dari sel. (3) Protein, yang
memegang berbagai peran penting seperti enzim, reseptor, antibodi, pembentuk
matriks, dan sitoskeleton (Halliwell dan Gutteridge 1990a).
Rajalakshmi dan Narisimhan (1996) menggolongkan antioksidan menjadi
tiga tipe yaitu :
(1) Antioksidan primer
Senyawa-senyawa yang berfungsi sebagai antioksidan primer mampu
memutus rantai reaksi pembentukan radikal bebas dengan memberikan ion
hidrogen atau elektron pada radikal bebas sehingga menjadi produk yang stabil.
Senyawa yang digolongkan sebagai antioksidan primer adalah kelompok senyawa
polifenol, asam askorbat (vitamin C), kelompok senyawa asam galat, BHT, BHA,
TBHQ, PG, dan tokoferol.
(2) Antioksidan sekunder
Antioksidan sekunder berfungsi untuk mencegah terbentuknya radikal
bebas, menginaktifkan singlet oksigen (IO2), menyerap radiasi ultraviolet dan
bekerja sinergis dengan antioksidan primer. Senyawa yang digolongkan sebagai
antioksidan sekunder adalah asam tiodipropionat, dilauril dan distearil ester.
(3) Agen pengkelat (Chelator sequestransts)
Senyawa yang tergolong sebagai chelator berfungsi sebagai pengikat
logam-logam yang dapat mengkatalis reaksi oksidasi lemak seperti Fe dan Cu.
Pengikatan logam-logam tersebut oleh chelating agent mampu meningkatkan
efisiensi reaksi antioksidan, menghambat oksidasi asam askorbat dan vitaminvitamin yang larut lemak. Senyawa yang digolongkan sebagai chelator atau
chelating agent adalah asam sitrat, suksinat, oksalat, laktat, malat, tartarat, asam
polifosfat, ethylenediaminetetraacetic acid (EDTA), asam amino dan peptida.
Sericin dan Potensi Antioksidan
Serangga kelompok lepidoptera dari famili Bombycidae seperti ulat sutra
(Bombyx mori) menghasilkan sutra yang memiliki komponen utama berupa
protein. Sutra yang diproduksi dari kepompong ulat sutra secara luas telah
diketahui sebagai material yang unik dan berguna (Patel dan Modasiya 2011).
Kandungan protein yang ada dalam sutra merupakan protein yang mirip dengan
kolagen, elastin, keratin, dan sporgi (Kweon et al. 2009). Serat protein tersebut
disintesis di kelenjar sutra dan disimpan pada bagian lumennya. Kombinasi
berbagai kelebihan dari material ini seperti daya regang yang tinggi, lebih kuat,
dan tahan terhadap temperatur tinggi membuat material ini banyak diaplikasikan

6

diberbagai bidang, termasuk secara biomedis dan merupakan biomaterial yang
kompatibel (Takasu et al. 2002). Kepompong ulat sutra secara umum
mengandung dua tipe protein yaitu sericin dan fibroin dengan berat molekul 33
kDa and 25 kDa (Altman et al. 2003). Menurut Agarwal dan Bushant et al. (2012)
sericin adalah salah satu protein yang berasal dari kepompong ulat sutra dan
merupakan komponen penyusun kepompong ulat sutra dengan persentase sebesar
20-30%. Sericin berwarna kekuningan dan bersifat tidak elastis.
Sericin tergolong dalam kelompok glikoprotein dengan kandungan 18 asam
amino, termasuk diantaranya yang essensial yang dikarakterisasi oleh kandungan
serina dalam persentase sebesar 32%. Total jumlah hidroksil asam amino dalam
sericin adalah 48,5 %, dengan komposisi 42,3 % berupa asam amino yang bersifat
polar dan 12,2 % yang non polar. Tingginya jumlah hidroksil asam amino yang
memiliki sifat hidrofilik ini juga menyebabkan sericin merupakan komponen yang
larut dalam air (Padamwar dan Pawar 2005;Gillis et al. 2009). Menurut
Sothornvit et al. (2010) kandungan dari sericin terdiri dari 80% asam amino yang
merupakan kelompok hidrofilik seperti serina, aspartat, dan glisina. sericin mulai
digunakan secara medis sebagai agen antikoagulan. Selain itu, sericin dapat
digunakan secara medis sebagai biomaterial yang bersifat dapat terurai,
mengandung polimer, biomembran yang fungsional dan hidrogel. Penelitian lain
terkait dengan sericin adalah peranannya dalam pertumbuhan sel secara in vitro.
Hal ini didasarkan pada kemampuan sericin yang berpotensi sebagai antitirosinase
dan antioksidan. Penelitian Kato et al. (1998) memberikan informasi potensi lain
dari sericin, berupa adanya aktivitas antioksidan dari sericin yang dilakukan pada
otak tikus. Dash et al (2008) melakukan penelitian terkait potensi antioksidan dari
sericin pada sel fibroblas yang telah dipaparkan hidrogen peroksida sehingga
memicu stres oksidatif. Pada penelitian tersebut sericin dapat dalam melindungi
sel fibroblas dengan berperan sebagai antioksidan endogen yang mempengaruhi
kerja enzim.
Penambahan antioksidan ke dalam media merupakan upaya untuk menekan
dan menstabilkan ROS yang terbentuk dari hasil metabolisme oksigen. Reative
oxygen species mampu memodifikasi protein, lipid, dan asam nukleat (Agarwal et
al. (2003). Covarrubias et al. (2008) menyatakan bahwa dalam kondisi normal
organisme, jaringan dan sel hidup mempunyai beberapa mekanisme untuk
melindungi diri dari serangan ROS yaitu dengan menangkap ROS dan
prekursornya, mengikat ion logam katalitik yang diperlukan untuk pembentukan
ROS serta menghasilkan dan mengatur sistem pertahanan antioksidan endogen.
Sericin yang terdiri dari sejumlah asam amino mampu menangkap radikal bebas
dan mengurangi produksinya. Menurut Elias et al. (2008) asam amino seperti
metionina, sisteina, dan triptopan mampu berperan sebagai penangkap radikal
bebas. Metionina berperan dalam mekanisme pertahanan antioksidan endogen
melalui aktivitas penangkapan radikal bebas dalam protein. Antioksidan lain
seperti triptofan dan sisteina memiliki sensitifitas yang tinggi terhadap tingginya
oksidasi yang berlangsung. Selain itu, sericin dapat meningkatkan level hidroksil
amino. Peningkatan hidroksil amino mengindikasikan sericin berperan penting
dalam menangkap ROS (Chlapanidas et al. 2013). Sericin dapat menekan
peroksidasi lipid dengan aktivitas antioksidannya melalui mekanisme chelation
hidroksil (OH-) dengan mengkelat element logam seperti besi (Fe2+) dan tembaga
(Cu2+). Transisi ion metal seperti Fe2+ dan Cu2+ dapat mengkatalisis terbentuknya

7

ROS dengan oksidasi lipid. Fe2+ juga mengkatalisis reaksi Haber-Weiss dan
menginduksi terjadinya superoksidasi anion menjadi bentuk radikal hidroksil yang
lebih berbahaya. Radikal hidroksil akan bereaksi dengan biomolekul yang ada
didekatnya dan menyebabkan kerusakan jaringan dan sel, terutama akibat oksidasi
lipid. Komponen protein yang merupakan kandungan dari sericin dapat
memperlambat reaksi oksidasi akibat transisi ion metal melalui mekanisme
chelation. Aktivitas pengkelatan (chelating) dalam hidrolisis protein
meningkatkan kemampuan sel atau jaringan dalam mengurangi tingkat kerusakan
akibat ion metal yang mengkatalisis oksidasi lipid (Patel dan Modasiya 2011).
Protein dengan gugus karboksil serta asam amino (Glx dan Asx) dan asam amino
utama (Lys, His, dan Arg) berperan penting dalam chelating ion metal (Zhang
2004).
Sericin Sebagai Albuminoid Protein
Albumin merupakan protein utama dalam serum dengan persentase sebesar
60% dari total albumin yang ada dalam ruang ekstravaskuler, ruang interstitial
jaringan dan berperan penting dalam fungsi fisiologis sel (Ellmerer et al. 2000).
Albumin bersama dengan globulin berperan penting sebagai molekul pembawa
lemak atau mineral dan secara luas digunakan dalam media tanpa serum (Ali dan
Sirard 2002). Bovine albumin serum (BSA) umumnya ditambahkan ke dalam
media kultur sebagai sumber energi dan protein untuk proses metabolik.
Penambahan BSA tersebut mampu mencukupi komponen penting seperti steroid,
vitamin, asam lemak dan kolesterol, tapi juga membantu dalam persediaan ionion dan molekul-molekul kecil (Wrenzycki et al. 2001). Menurut Francis (2010)
albumin berfungsi untuk mempertahankan pH, molekul pembawa dengan
berikatan dengan ligand (lemak, ion logam, asam amino), dan sebagai
antioksidan. Selain itu, molekul albumin mampu berinteraksi dengan sel dan
meningkatkan pertumbuhan sel.
Sericin merupakan
kelompok protein albuminoid yang mampu
menginduksi proliferasi sel hibridoma mamalia (murine hybridoma 2E3- O,
human hepatoblasma HepG2, human epithelial HeLa, dan human embryonal
kidney 293 (Terada et al.2002). Isobe et al. (2012) menyatakan sericin mampu
menginduksi proliferasi dan meningkatkan blastocyst rate dari embrio sapi yang
dikultur secara individual.

8

3 BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fertilisasi In Vitro Bagian
Reproduksi dan Kebidanan, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi,
Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan
dari Desember 2013- Mei 2014.
Metode Penelitian
Tahap I. Kemampuan Pematangan Inti Oosit
Koleksi Ovarium dan Seleksi Oosit
Ovarium diperoleh dari domba yang dipotong di RPH kambing/domba
Kampung Cikanyong Desa Citaringgul Kecamatan Babakan Madang Kabupaten
Bogor. Ovarium dibawa ke laboratorium menggunakan termos berisi larutan
NaCl 0,9% yang ditambahkan antibiotik 100 IU/ml penicillin (Sigma-Aldrich, St.
Louis, MO, USA) dan 0,1 g/ml streptomycin (Sigma-Aldrich) dengan temperatur
35-37°C. Di laboratorium ovarium kemudian dicuci kembali dengan NaCl 0,9%
dan berikutnya dicacah (slicing) dengan scalpel untuk mengeluarkan oosit.
Pencacahan dilakukan di cawan petri yang berisi PBS ditambah 0,3% bovine
serum albumin (BSA) (Sigma-Aldrich. Inc, A-7030), 100 IU/ml penicillin
(Sigma-Aldrich, St. Louis, MO, USA) dan 0,1 g/ml streptomycin (Sigma-Aldrich)
dan diekuilibrasi terlebih dahulu di dalam inkubator. Oosit yang digunakan adalah
oosit dengan sel-sel kumulus yang kompak serta sitoplasma yang homogen. Oosit
hasil seleksi dicuci dalam media maturasi sebanyak dua kali untuk kemudian
dimaturasi secara in vitro. Oosit dimaturasi di dalam drop berisi 100 μl media
maturasi yang ditutup mineral oil selama 24 jam. Media dasar yang digunakan
untuk maturasi adalah tissue culture media (TCM) 199 with Earle’s salts (Gibco,
Grand Island, NY, USA) ditambah dengan 10 IU/ml Pregnant Mare Serum
Gonadotrophin (PMSG) (Kyoritsu Seiyaku, Tokyo, Japan), 10 IU/ml (hCG)
(Kyoritsu Seiyaku, Tokyo, Japan) dan 50 μg/μl gentamycin (Sigma-Aldrich. Inc,
P-4687). Pada penelitian ini, oosit dimaturasi dalam media yang dibagi dalam dua
kelompok, yaitu kelompok tanpa BSA (BSA-) berupa media dasar tanpa
penambahan 0,3% BSA tetapi ditambah sericin 0%, 0,1%, 0,25%, dan 0,5%.
Kelompok dengan BSA, berupa media dasar ditambah dengan 0,3% BSA
(BSA+) dan sericin 0% (kontrol), 0,1%, 0,25%, dan 0,5%. Penggunaan
konsentrasi sericin mengacu pada Isobe et al. (2012). Semua kultur dilakukan
pada suhu 39°C dalam 5% CO2 in air. Setelah 24 jam, oosit kemudian difiksasi
untuk dievaluasi status intinya.
Evaluasi Tingkat Maturasi Oosit
Oosit yang telah dimaturasi didenudasi sel-sel kumulusnya dengan bantuan
enzim hyaluronidase 0,25% dengan cara dipipet berulang menggunakan pipet
yang sesuai dengan ukuran oosit. Setelahnya oosit dibilas dengan PBS+BSA
0,3%. Oosit yang telah dilepaskan sel kumulusnya diletakkan pada drop

9

PBS+BSA 0,3% diatas gelas objek yang telah diberi bantalan paraffin dan
vaseline (1:9) pada keempat sisi, kemudian difiksir dan ditutup dengan cover
glass sambil meratakan parafin dan vaseline agar menempel sempurna pada gelas
objek. Preparat selanjutnya difiksasi dalam larutan asam asetat dan ethanol
absolute dengan perbandingan 1:3 selama 48-72 jam. Setelah 48-72 jam preparat
diwarnai dengan 2% aceto-orcein selama 2-3 menit, kemudian pewarna dibilas
dengan 25% asam asetat dan seluruh sisi cover glass diberi larutan kuteks bening
untuk selanjutnya dilakukan pengamatan morfologi dengan menggunakan
mikroskop fase kontras (Olympus IX, Japan). Status inti oosit dikelompokkan
menjadi tahap germinal vesicle (GV), germinal vesicle breakdown (GVBD) dan
metaphase II (MII). Tingkat maturasi merupakan perbandingan antara jumlah
oosit yang mencapai tahap MII dengan jumlah keseluruhan oosit yang dimaturasi.
Tahap II. Fertilisasi In vitro (FIV)
Oosit yang telah dimaturasi dari semua kelompok kemudian difertilisasi in
vitro. Pada tahap ini konsentrasi sericin 0,5% tidak digunakan karena menurunkan
tingkat maturasi oosit. Thawing semen beku domba dilakukan dalam waterbath
pada suhu 30-32°C selama 30 detik, kemudian disentrifugasi pada kecepatan 1800
rpm selama 5 menit dalam media fertilisasi. Setelah sentrifugasi, endapan
spermatozoa diencerkan dengan media fertilisasi sampai konsentrasi akhir 1×106
spermatozoa/ml. Campuran spermatozoa dan media fertilisasi dibuat dalam
bentuk drop 100 μl dan ditutup dengan mineral oil (Sigma-Aldrich. Inc, M-8410).
Oosit yang sudah dimaturasi dicuci dalam media fertilisasi sebanyak 2 kali,
kemudian dipindahkan ke dalam drop dan diinkubasi selama 14 jam dalam
inkubator CO2 5% temperatur 39°C. Setelah 14 jam ko-inkubasi, dilakukan
evaluasi tingkat fertilisasi oosit. Oosit difiksasi dengan metode yang sama dengan
yang digunakan untuk melihat tingkat maturasi inti oosit.
Penentuan tingkat kemampuan fertilisasi in vitro dilakukan berdasarkan
pembentukan dan jumlah pronukleus (PN). Oosit yang terfertilisasi normal
ditandai dengan terbentuknya dua pronukleus (jantan dan betina, 2PN) dalam
sitoplasma oosit, sedangkan yang terfertilisasi polispermi terdiri dari lebih 2 PN.
Tingkat fertilisasi dibagi dalam 3 kriteria, yaitu total, normal, dan polispermi.
Total fertilisasi merupakan perbandingan antara jumlah oosit yang dibuahi dengan
jumlah keseluruhan oosit. Tingkat fertilisasi normal diperoleh dari perbandingan
oosit yang membentuk 2 PN dengan jumlah oosit yang terfertilisasi, sedangkan
polispermi adalah perbandingan antara oosit yang terdiri dari >2PN dengan
jumlah oosit terfertilisasi.
Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 8
perlakuan dan masing-masing 5 ulangan. Penelitian tahap 1 berupa maturasi oosit
secara in vitro dengan media yang dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok tanpa
BSA (BSA-) dengan sericin 0%, 0,1%, 0,25%, dan 0,5%. Kelompok dengan BSA
(BSA+) berupa 0,3% BSA (BSA+) dan sericin 0% (kontrol), 0,1%, 0,25%, dan
0,5%.Penelitian tahap II adalah fertilisasi in vitro dari oosit yang dimaturasi
dengan metode yang sama pada tahap I.

11

Tingkat maturasi inti oosit domba pada perlakuan berbagai konsentrasi
sericin dengan atau tanpa BSA dapat dilihat pada tabel 1. Dari hasil penelitian
terlihat 70-92% oosit yang dimaturasi dalam media dengan suplementasi sericin
dan BSA+sericin mampu mencapai tahapan germinal vesicle breakdown (GVBD)
dan melanjutkan proses meosisnya setelah IVM. Tahapan GVBD pada penelitian
ini diawali dengan oosit yang mampu mencapai MI dengan persentase (4,6518,6%) dan dilanjutkan dengan A/T (1,7-11,6%), MII (21,0-83,7%). Pada
kelompok BSA-, terjadi penurunan persentase oosit yang mencapai fase MII
secara signifikan pada konsentrasi sericin 0,5% (P < 0,05) dari persentase oosit
yang mencapai tahap GVBD (67,9% ± 5,4). Persentase oosit yang mencapai tahap
GVBD tertinggi terlihat pada kelompok sericin 0,1% (92,2% ± 2,3) dan berbeda
nyata dibandingkan dengan kontrol (35,0% ± 4,2) dan sericin 0,5% (67,9 ± 5,4).
Namun demikian tidak terlihat perbedaan yang signifikan antara sericin 0,1% dan
0,25% (84,7% ± 3,2) (P > 0,05). Lebih lanjut, tabel 1 menunjukkan persentase
oosit yang mampu mencapai MII tertinggi terlihat pada konsentrasi sericin 0,1%
(83,7% ± 1,8) dan berbeda nyata jika dibandingkan dengan konsentrasi sericin 0%
(20,6% ± 4,1), sericin 0,25% (63,6% ± 2,9 ) dan sericin 0,5% (39,7% ± 3,4) (P <
0,05).
Tabel 1. Tingkat maturasi inti oosit domba pada media yang ditambahkan sericin
tanpa atau dengan BSA
Perlakuan
BSA
Sericin
(%)
(%)
0
0,1
BSA 0,25
0,5

Tingkat maturasi inti n (% rata-rata± SEM)
Jumlah
oosit
GVBD
MII
57
86
86
86

20 (35,0 ± 4,2)a
79 (92,2 ± 2,3)bc
73 (84,7 ± 3,2)c
57 (67,9 ± 5,4)d

12 (20,6 ± 4,1)a
72 (83,7 ± 1,8)b
55 (63,6 ± 2,9)c
33 (39,7 ± 3,4)d

0
86
75 (87,5 ± 1,8)
59 (70,0 ± 4,4)a
0,1
86
74 (87,1 ± 3,4)
63 (73,0 ± 3,3)a
BSA +
0,25
86
68 (79,4 ± 2,8)
49 (58,1 ± 3,8)b
0,5
86
65 (77,1 ± 5,1)
39 (46,0 ± 2,5)c
Keterangan:
GVBD : germinal vesicle breakdown, MII : metaphase II
a,b,c,d
Superskrip yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan
yang nyata (P < 0,05)
Tingkat Fertilisasi In Vitro dari Oosit yang Dimaturasi dalam Media yang
Ditambahkan Sericin tanpa atau dengan BSA
Tingkat fertilisasi oosit dapat diketahui dengan melihat adanya
pembentukan pronukleus (Gambar 2). Persentase oosit yang terfertilisasi setelah
dimaturasi pada media yang ditambahkan sericin ditampilkan dalam tabel 2.

12

a

b

Gambar 2. Pembentukan pronukleus (PN) pada oosit setelah fertilisasi. a. Oosit
dengan 2 pronukleus ( 2 PN), ), b. Oosit dengan lebih 2 pronukleus
(>2 PN), tanda panah menunjukkan pronuklues (perbesaran 200x).
Tabel 2. Tingkat fertilisasi oosit domba setelah dimaturasi pada media yang
ditambahkan sericin tanpa atau dengan BSA
Perlakuan
Oosit yang terfertilisasi n (% rata-rata± SEM)
Jumlah
BSA
Sericin
oosit
Total
Normal
Polispermi
(%)
(%)
0
42
7 (16,6 ± 4,1)a
6 (85,7 ± 3,3)
1 (14,3 ± 2,4)
b
0,1
85
72 (84,7 ± 3,5)
61 (84,7 ± 2,8) 11 (15,3 ± 3,9)
BSA 0,25
85
46 (54,8 ± 6,7)c 39 (88,1 ± 3,3)
7 (11,8 ± 4,0)
0
85
58 (68,7 ± 4,3)
45 (79,1 ± 3,2) 13 (20,8 ± 5,0)
0,1
85
56 (66,0 ± 2,5)
45 (80,4 ± 3,1) 11 (19,5 ± 5,6)
0,25
85
45 (53,3 ± 7,9)
33 (81,0 ± 2,8) 12 (18,9 ± 3,0)
Keterangan:
a,b,c,d
Superskrip yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan
yang nyata (P < 0,05)
BSA +

Penelitian tahap kedua dilakukan dengan mengevaluasi tingkat fertilisasi
dari oosit yang terfertilisasi secara keseluruhan (total) dan monospermi, setelah 14
jam inkubasi. Tabel 2 menunjukkan, kultur oosit pada media yang disuplementasi
sericin dengan atau tanpa BSA, hanya memberikan pengaruh pada persentase
total fertilisasi dari oosit (P < 0,05), namun tidak berpengaruh pada persentase
fertilisasi normal dan polispermi (P > 0,05). Oosit yang dimaturasi pada perlakuan
BSA- lalu difertilisasi secara in vitro, persentase total oosit terfertilisasi yang
paling tinggi terlihat pada oosit yang dimaturasi dengan sericin 0,1% (84,7% ±
3,5) (P < 0,05) dibandingkan dengan sericin 0,25% (54,8% ± 6,7) dan kontrol
(16,5% ± 4,1). Pada kelompok perlakuan BSA+, tidak terdapat perbedaan
persentase total oosit yang terfertilisasi, monospermi dan polispermi antar
perlakuan (P > 0,05).

13

Pembahasan
Sericin dilaporkan memiliki aktivitas antioksidan dan mencegah kerusakan
sel akibat radikal bebas melalui mekanisme penghambatan peroksidasi lipid (Kato
et al. 1998). Penghambatan peroksidasi lipid melalui peningkatan gugus hidroksil
mengindikasikan sericin memiliki aktivitas menangkap ROS yang tinggi (Kato et
al. 1998; Chlapanidas et al 2013). Gugus hidroksil pada asam amino menghambat
peroksidasi lipid dengan berikatan dengan ROS sehingga menjadi senyawa yang
lebih stabil serta dengan cara mengkelat logam reaktif seperti besi (Fe2+) dan
tembaga (Cu2+) yang memicu peroksidasi lipid (Patel dan Modasiya 2011;
Chlapanidas et al. 2013). Transisi ion logam seperti Fe2+ dan Cu2+ mengkatalisis
produksi radikal bebas yang berbahaya (Halliwell dan Gutteridge 1990a).
Menurut Minnoti dan August (1989) Fe2+ merupakan element yang bersifat paling
merusak (detrimental) terhadap sel, Fe2+ mampu menginduksi superoksidasi anion
menjadi radikal hidroksil. Produksi radikal hidroksil yang dikatalisasi oleh Fe2+
akan mengoksidasi lipid dan menyebabkan stres oksidatif Pengikatan logam
reaktif oleh hidroksil amino akan mengurangi kereaktifan logam tersebut serta
mencegah terjadinya reaksi yang menghasilkan radikal hidroksil (Young dan
Woodside 2001). Selanjutnya, potensi sericin sebagai antioksidan dilaporkan
dapat meningkatkan proliferasi sel embrio sehingga persentase blastosis yang
diproduksi secara in vitro juga meningkat (Isobe et al. 2012). Dalam penelitian
ini, sericin ditambahkan ke dalam media maturasi untuk mengevaluasi potensi
antioksidan dari sericin, tetapi tidak ditemukan adanya perbedaan yang signifikan
antara kelompok oosit yang dimaturasi dengan dan tanpa sericin. Terada et al.
(2002) melaporkan sericin memiliki target yang sama dengan BSA pada sel,
sehingga kemungkinan terjadi pengaruh yang bersamaan dan tidak saling
mendukung (overlapping effect) dalam penambahan sericin ke dalam media
dengan BSA. Hal tersebut di atas mungkin juga terjadi pada penelitian ini karena
pada saat oosit dimaturasi dalam media dengan sericin tanpa BSA, sericin mampu
mendukung oosit untuk berkembang sampai pada fase MII. Oleh karena itu
diperlukan penelitian lanjutan tentang konsentrasi antioksidan yang ada di dalam
oosit setelah maturasi. Kemungkinan lainnya adalah bahwa dilaporkan oosit
masih mempunyai kandungan GSH yang tinggi sehingga masih mampu
mentoleransi pembentukan radikal bebas yang meningkat akibat sistem kultur
yang digunakan (De Matos et al. 2002).
Sericin dan BSA, keduanya merupakan kelompok protein albumin, menurut
Ellmerer et al. (2000) albumin merupakan protein yang berperan sebagai
pembawa molekul-molekul penting seperti asam lemak, steroid, serta mampu
berinteraksi dengan sel dan meningkatkan pertumbuhan sel. Albumin juga
berperan penting dalam melindungi sel dari stres oksidatif akibat radikal bebas.
Kelompok protein ini memiliki kemampuan untuk berikatan dengan molekul
logam yang bersifat reaktif (Halliwell dan Gutteridge 1990a). Kesamaan target
dan peranannya dalam mengurangi stres oksidatif, memungkinkan sericin dapat
dijadikan sebagai pengganti BSA. Terada et al. (2002) menjelaskan bahwa,
sericin memiliki efek yang sama dengan BSA dan merupakan komponen
alternatif yang dapat disuplementasi ke dalam media selain BSA. Selama ini,
serum dan BSA merupakan kompenen yang umum ditambahkan ke dalam media
untuk memenuhi kebutuhan protein dalam perkembangan oosit