Kondisi Sosial Ekonomi Usaha Perikanan Tangkap di Pelabuhan Perikanan Pantai Kuala Tungkal Jambi

i

KONDISI SOSIAL EKONOMI USAHA PERIKANAN
TANGKAP DI PELABUHAN PERIKANAN PANTAI KUALA
TUNGKAL JAMBI

NATALIA WIDYA SAGALA

DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

iii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Kondisi Sosial Ekonomi
Usaha Perikanan Tangkap di Pelabuhan Perikanan Pantai Kuala Tungkal Jambi
adalah karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan

dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya ilmiah yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan
dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar
pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Maret 2015
Natalia Widya Sagala
NIM C44110063

v

ABSTRAK
NATALIA WIDYA SAGALA. Kondisi Sosial Ekonomi Usaha Perikanan
Tangkap di Pelabuhan Perikanan Pantai Kuala Tungkal Jambi. Dibimbing oleh
SUGENG HARI WISUDO dan EKO SRI WIYONO.
Kabupaten Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi terkenal dengan usaha
perikanan tangkapnya yang berlokasi di PPP Kuala Tungkal. Alat tangkap utama
di PPP Kuala Tungkal adalah gillnet, trawl mini, dan togok. Sumberdaya
perikanan yang menurun akibat penangkapan yang tidak diperhatikan akan
mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi nelayan. Aspek sosial ditinjau dari
pola operasi penangkapan, sumber yang berpengaruh dalam peminjaman modal

serta jaminan sosial. Aspek ekonomi ditinjau dari tingkat pendapatan nelayan
dalam usaha penangkapan. Kondisi sosial dan ekonomi masyarakat nelayan di
PPP Kuala Tungkal sangat penting untuk dikaji, agar dapat diketahui besarnya
tingkat kesejahteraan masyarakat dan dapat digunakan untuk memperbaiki sistem
pola penangkapan di PPP Kuala Tungkal Jambi. Oleh sebab itu, dilakukan
penelitian dengan metode survei melalui wawancara nelayan untuk mengetahui
kondisi sosial dan ekonomi nelayan di PPP Kuala Tungkal. Kondisi sosial dari
pola operasi penangkapan dilakukan dalam satu hari dan tidak tetap, sumber
modal yang paling diminati adalah touke, tidak ada jaminan sosial yang diterima
oleh nelayan di PPP Kuala Tungkal. Kondisi ekonomi yang masih
menguntungkan diukur dari besarnya investasi usaha, pendapatan, biaya,
keuntungan, nilai R/C, dan nilai NPV. Usaha penangkapan gillnet dan trawl mini
mendapatkan keuntungan karena nilai R/C>1 dan NPV>1 sehingga layak untuk
dilanjutkan, sedangkan usaha penangkapan togok mendapatkan keuntungan
dengan nilai R/C>1 tetapi nilai NPV1 and NPV>1, so that the business
gillnet and trawl mini still feasible, while business of togok generate profits with
R/C>1, but NPV TC, maka usaha mendapat keuntungan
2. Apabila TR < TC, maka usaha mengalami kerugian
3. Apabila TR = TC, maka usaha mengalami titik impas
Analisis revenue cost ratio (R/C)

Dilakukan dengan tujuan untuk melihat keuntungan relatif dalam sebuah
usaha perikanan yang diperoleh dalam 1 tahun terhadap biaya yang dikeluarkan
dalam kegiatan usaha perikanam tersebut.
b.

R/C =
Keterangan:
1. Bila R/C > 1, maka usaha dikatakan sangat layak
2. Bila R/C < 1, maka usaha dikatakan tidak layak
3. Bila R/C = 1, maka usaha dikatakan layak
c. Analisis net present value (NPV)
Analisis ini bertujuan untuk mengetahui nilai keuntungan bersih yang
diperoleh selama umur usaha. Net present value (NPV) merupakan selisih antara
nilai sekarang (present value) dari keuntungan dan nilai sekarang dari biaya,
dinyatakan dalam rumus (Nurmalina et al 2010) :
n

Keterangan :
NPV
Bt

Ct
n
i
t

NPV

I 0

Bt Ct
1 i

= Net Present Value
= manfaat pada tahun ke-t
= biaya pada tahun ke -t
= umur ekonomis usaha
= tingkat suku bunga
= tahun kegiatan proyek (t = 0,1,2,3,..n tahun)

Kriteria:

Jika NPV ≥ 0, maka usaha menguntungkan dan layak untuk dilanjutkan
Jika NPV < 0, maka usaha merugi dan tidak layak untuk dilanjutkan

7

HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Unit Penangkapan Ikan di PPP Kuala Tungkal
Alat Tangkap
Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di PPP Kuala Tungkal rata-rata
masih tergolong tradisional dan dalam skala kecil. Alat tangkap yang digunakan
bermacam-macam (Tabel 1). Terdapat 3 unit penangkapan yang mendominasi
usaha penangkapan, yaitu : gillnet (42%), trawl mini (19%), serta togok (12%),
dan terdapat 3 unit penangkapan terendah yaitu rawai/pancing (3.2%), perangkap
(3.1%) serta fishnet (0.4%).
Gillnet atau jaring insang adalah salah satu dari bahan jaring monofilament
atau multifilament yang dibentuk menjadi empat persegi panjang, kemudian pada
bagian atasnya dilengkapi dengan beberapa pelampung (floats) dan pada bagian
bawahnya dilengkapi dengan pemberat (singkers) (Martasuganda 2008). Gillnet
yang dioperasikan di PPP Kuala Tungkal (Lampiran 1) adalah jenis gillnet hanyut
permukaan (drift gillnet) milenium. Trawl mini merupakan alat penangkap ikan

yang terbuat dari jaring berbentuk kerucut yang menyapu dasar perairan atau
menyaring kolom air dan ditarik oleh kapal. Trawl yang dioperasikan di PPP
Kuala Tungkal (Lampiran 2) ukurannya kecil dibandingkan dengan ukuran trawl
sebenarnya, sehingga disebut trawl mini. Togok (Lampiran 3) merupakan alat
tangkap yang dibuat menggunakan batang nibung yang dibentuk seperti gawang
dan diberi jaring berbentuk segitiga (Widarmanto et al 2006). Cara pengoperasian
togok di PPP Kuala Tungkal adalah jaring togok dipasang ketika air bergerak
surut, ketika arus air sungai mulai deras disaat itulah udang dan ikan masuk dan
berakhir setelah air surut kembali dan jaring togok diangkat.
Tabel 1 Jumlah alat tangkap di PPP Kuala Tungkal tahun 2012
Kecamatan
No.
Jenis alat tangkap
Jumlah
Tungkal Ilir
Kuala Betara
1.
Gillnet
340
125

465
2.
Trawl mini
192
23
215
3.
Togok
138
138
4.
Sondong
52
80
132
5.
Pengumpul Kerang
45
4
49

6.
Belat
11
28
39
7.
Rawai/pancing
29
7
36
8.
Perangkap
25
10
35
9.
Fishnet
5
5
Sumber: Data Statistik Perikanan Tangkap, Dinas Perikanan dan Kelautan

Kabupaten Tanjung Jabung Barat tahun 2012.
Kapal
Kapal merupakan salah satu modal investasi yang digunakan oleh nelayan
untuk melakukan usaha penangkapan. Kapal yang digunakan kebanyakan
berukuran kecil yaitu antara 0-5 GT (Tabel 2). Rata-rata kapal yang dioperasikan

8

di PPP Kuala Tungkal adalah kapal motor. Jumlah terbesar kapal yang beroperasi
adalah tipe kapal motor 0-5 GT yaitu sebanyak 848 kapal.
Tabel 2 Jumlah dan ukuran kapal di PPP Kuala Tungkal tahun 2012
Kecamatan
No. Jenis kapal
Ukuran kapal
Jumlah
Tungkal Ilir
Kuala Betara
1.
Kapal motor
0-5 GT

672
176
848
5-10 GT
9
9
10-20 GT
60
60
20-30 GT
30-50 GT
45
45
50-100 GT
>100 GT
2.
Perahu tanpa
Kecil
Sedang
motor

Besar
3.
Motor tempel
Sumber: Data Statistik Perikanan Tangkap, Dinas Perikanan dan Kelautan
Kabupaten Tanjung Jabung Barat tahun 2012.
Nelayan
Nelayan di PPP Kuala Tungkal rata-rata adalah nelayan asli yang tinggal
di sekitar pelabuhan yaitu rata-rata nelayan suku Bugis. Nelayan di PPP Kuala
Tungkal terbagi menjadi 2 kategori, yaitu nelayan pemilik dan nelayan buruh.
Jumlah nelayan terbesar di PPP Kuala Tungkal adalah nelayan gillnet sebanyak
930 nelayan dan jumlah nelayan terkecil terdapat pada nelayan fishnet sebanyak
20 nelayan. Jumlah nelayan setiap alat tangkap di PPP Kuala Tungkal dapat
ditampilkan pada Tabel 3.
Tabel 3 Jumlah nelayan di PPP Kuala Tungkal tahun 2012
Kecamatan
No.
Nelayan
Jumlah
Tungkal Ilir
Kuala Betara
1.
Gillnet
680
250
930
2.
Trawl mini
768
92
860
3.
Togok
414
414
4.
Sondong
104
160
264
5.
Pengumpul Kerang
90
8
98
6.
Belat
22
56
78
7.
Rawai/pancing
58
14
72
8.
Perangkap
25
10
35
9.
Fishnet
20
20
Sumber: Data Statistik Perikanan Tangkap, Dinas Perikanan dan Kelautan
Kabupaten Tanjung Jabung Barat tahun 2012.

9

Kondisi Sosial
Kondisi sosial masyarakat, dapat ditinjau dari sudut struktural dan
dinamikanya. Sudut struktural disebut juga sebagai struktur sosial, yang memiliki
arti sebagai jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok (Kusnadi 2002). Struktur
sosial yaitu suatu pergaulan hidup manusia meliputi berbagai tipe kelompok yang
terjadi dari banyak orang dan meliputi pula lembaga-lembaga di dalamnya dimana
orang banyak tersebut ambil bagian. Dalam penelitian ini, dikaji kondisi sosial
nelayan yang mengoperasikan alat tangkap utama di PPP Kuala Tungkal, Jambi.
Kondisi sosial nelayan diteliti dari beberapa aspek meliputi pola pengoperasian
alat tangkap, sumber-sumber yang berpengaruh dalam peminjaman modal serta
jaminan sosial nelayan di PPP Kuala Tungkal, Jambi.
Pola operasi penangkapan
Pola operasi penangkapan yang dilakukan oleh nelayan di PPP Kuala
Tungkal, Jambi yang diteliti meliputi aspek frekuensi penangkapan, jumlah
pekerja, dan hambatan yang dialami oleh nelayan saat melakukan operasi
penangkapan.
Berdasarkan penelitian ini, pola operasi penangkapan yang dilakukan oleh
nelayan ketiga alat tangkap tidak tetap. Hal ini diduga karena biaya yang
dikeluarkan setiap melaut cukup besar dan hasil yang diperoleh juga tidak dapat
diprediksi, sehingga nelayan lebih memilih di darat untuk melakukan pekerjaan
yang lain seperti berkebun. Kurangnya motivasi nelayan untuk melakukan
penangkapan karena hasil tangkapan yang didapat tidak menentu.
Tabel 4 Pola operasi penangkapan ketiga alat tangkap
No. Jenis alat tangkap
Pola operasi penangkapan
1.
Gillnet
dilakukan secara one day fishing, sore pukul 16.00,
nelayan turun kelaut, mencari daerah fishing ground,
setting selama 2 jam, kemudian besok paginya pukul
10.00 nelayan pulang, dalam 1 bulan nelayan
melakukan trip penangkapan antara 15-18 kali.
dilakukan secara one day fishing, sore pukul 15.0016.00, nelayan turun kelaut, besok paginya sekitar
pukul 07.00-09.00 nelayan pulang, dalam 1 bulan
nelayan melakukan trip penangkapan antara 12-15
kali.
3.
Togok
dilakukan secara one day fishing, pagi pukul 04.0005.00 nelayan turun kemuara sungai untuk melihat
hasil tangkapan yang masuk ke jaring togok,
kemudian hauling sekitar pukul 10.00-11.00, dalam 1
bulan nelayan melakukan trip penangkapan antara 1820 kali.
Sumber: Diolah dari data primer, 2014

2.

Trawl mini

Selanjutnya hasil penelitian ini menyatakan bahwa jumlah ABK yang
melakukan operasi penangkapan dalam jumlah optimum (tidak lebih dan tidak
kurang). Hal ini dapat diketahui dari biaya yang dikeluarkan untuk setiap ABK

10

dalam operasi penangkapan tidak melebihi pendapatan, sehingga dapat dikatakan
bahwa kondisi ABK yang ikut dalam operasi penangkapan dikatakan relatif baik.
Tabel 5 Jumlah ABK
No.
Alat tangkap
Jumlah ABK
1.
Gillnet
4-5 ABK + 1 Tekong (kapten)
2.
Trawl mini
3-4 ABK + 1 Tekong (kapten)
3.
Togok
1-2 orang nelayan
Sumber: Diolah dari data primer, 2014
Namun demikian, dalam melakukan operasi penangkapan ikan,
berdasarkan hasil penelitian ternyata nelayan di PPP Kuala Tungkal mengalami
beberapa hambatan. Hambatan yang sering dialami antara lain :
1. Saat setting jaring koyak dan kapal rusak
2. Tidak ada biaya modal untuk melakukan operasi penangkapan
3. Hasil tangkapan menurun, nelayan tidak bisa mendapatkan keuntungan
4. Perubahan iklim yang tidak menentu menyebabkan meningkatnya badai dan
gelombang ekstrim serta tingginya air pasang. Pada wilayah perairan PPP
Kuala Tungkal gelombang ekstrim serta badai merupakan ancaman yang kerap
kali datang ketika tiba musim angin barat serta musim penghujan. Sementara
perahu dan sarana penangkapan ikan nelayan PPP Kuala Tungkal masih
tradisional dan belum dalam kapasitas menghadapi badai ataupun gelombang
besar. Air pasang yang menyebabkan nelayan tidak berani melaut adalah
kisaran 0.05 m – 1 m (Isnaniah 2009).
5. Tidak ada jaminan sosial dari pemerintah ataupun lembaga koperasi di PPP
Kuala Tungkal yang diberikan kepada para nelayan setiap alat tangkap.
Apabila investasi usaha yang digunakan nelayan rusak, tidak ada biaya
bantuan yang diberikan baik dari pemerintah ataupun koperasi. Nelayan PPP
Kuala Tungkal banyak menggunakan biaya sendiri untuk memperbaiki
investasi usaha mereka, sehingga terkadang nelayan tidak mempunyai dana
untuk memperbaiki dan operasi penangkapanpun tidak dilakukan.
Banyaknya hambatan yang dialami oleh nelayan dalam usaha penangkapan
menyebabkan nelayan banyak mengalami kesulitan dalam menjalankan usaha
penangkapannya, yang mengakibatkan nelayan di PPP Kuala Tungkal kondisi
sosialnya masih rendah.
Pendapatan yang diterima oleh nelayan di PPP Kuala Tungkal diatur dalam
sistem bagi hasil perikanan. Sistem bagi hasil perikanan yang diterapkan di PPP
Kuala Tungkal yaitu antara nelayan pemilik dan nelayan buruh. Sistem bagi hasil
perikanan diatur dalam UU No. 19 tahun 1964 Bab II Pasal 2 yang berisi usaha
perikanan laut maupun darat atas dasar perjanjian bagi hasil harus diselenggarakan
berdasarkan kepentingan bersama dari nelayan pemilik dan nelayan penggarap
serta pemilik tambak dan penggarap tambak yang bersangkutan, hingga mereka
masing-masing menerima bagian dari hasil usaha itu sesuai dengan jasa yang
diberikannya. Sistem bagi hasil yang diterapkan oleh nelayan gillnet dan trawl
mini di PPP Kuala Tungkal (Gambar 2) adalah dengan cara sebaagai berikut:
1. Hasil tangkapan kotor (pendapatan kotor) dikurangi biaya operasional dan
retribusi.

11

2. Hasil tangkapan bersih dibagi 50% untuk nelayan pemilik dan 50% untuk
nelayan buruh.
3. Bagi nelayan buruh dibagi 50% untuk tekong (kapten) dan 50% untuk seluruh
ABK.
Pendapatan kotor

Pendapatan bersih

Biaya operasional dan retribusi

Penerimaan 100%
Tekong (kapten) (50%)
Nelayan pemilik
(50%)

Nelayan buruh
(50%)
ABK (50%)

Gambar 2 Diagram sistem bagi hasil nelayan gillnet dan trawl mini di PPP
Kuala Tungkal
Sistem bagi hasil yang diterapkan di PPP Kuala Tungkal, Jambi sama
seperti yang diterapkan di Kabupaten Pontianak Provinsi Kalimantan Barat.
Sistem bagi hasil yang diterapkan adalah 50% : 50%, yaitu 50% untuk nelayan
pemilik dan 50% untuk nelayan buruh setelah dipotong biaya operasional dan
retribusi (Ritonga 2012). Sedangkan untuk nelayan togok, tidak ada sistem bagi
hasil yang diterapkan. Hal ini disebabkan, karena nelayan yang mengoperasikan
togok adalah rata-rata nelayan pemilik, dan dalam mengoperasikan usaha
penangkapan biasanya nelayan togok membawa saudaranya ataupun anaknya
untuk ikut dalam usaha penangkapan, dan sistem pendapatan yang diterima adalah
sepenuhnya oleh pemilik usaha togok. Nelayan yang ikut dalam pengoperasian
biasanya dibayarkan seikhlasnya oleh pemilik usaha karena adanya sistem
kekeluargaan yang diterapkan. Keluarga yang dibawa oleh pemilik usaha dalam
operasi penangkapan biasanya masih tinggal dalam satu rumah ataupun dekat
dengan rumah pemilik togok serta pendapatan yang diterima dalam operasi
penangkapan dinikmati bersama.
Sumber- sumber peminjaman modal
Modal merupakan aspek utama dalam operasi penangkapan ikan. Nelayan
PPP Kuala Tungkal, Jambi, bila kekurangan modal meminjam kepada touke dan
koperasi. Berdasarkan penelitian ini, touke merupakan sumber modal yang paling
banyak diminati oleh nelayan apabila mereka kekurangan uang dan saat musim
paceklik atau hasil tangkapan sedikit (Tabel 6). Pada musim paceklik dari bulan
Desember - April, biasanya nelayan tidak mendapatkan tangkapan saat melaut
sehingga mereka banyak beralih pekerjaan menjadi berkebun. Nelayan lebih

12

memilih touke karena dalam sistem pembayarannya tidak sulit dan tidak
memberatkan nelayan, biasanya tidak diberikan bunga, dan nelayan bebas untuk
mengembalikan kapan saja, tanpa dipatok waktu sampai modal yang dipinjamkan
kembali kepada touke tetapi harga beli touke pada hasil tangkapan nelayan yang
meminjam uang lebih murah (Rp13 000/kg untuk udang rebon). Ada juga
beberapa nelayan yang meminjam uang ke koperasi, karena koperasi membeli
hasil tangkapan dengan harga yang jauh lebih tinggi dibandingkan touke
(Rp15 000/kg), tetapi dalam pembayaran, nelayan harus mengembalikan uang
sesuai dengan waktu yang ditentukan dengan cara memotong uang hasil
tangkapan setiap menjual ke koperasi. Koperasi Bina Nelayan Mandiri milik
pelabuhan menetapkan bunga setiap bulan dalam peminjaman uang kepada
nelayan sebesar 2%.
Tabel 6 Persentasi sumber yang diminati nelayan dalam peminjaman modal
No.
Jenis alat tangkap
Touke
Koperasi
1.
Gillnet
80%
10%
2.
Trawl mini
90%
20%
3.
Togok
100%
0%
Sumber: Diolah dari data primer, 2014
Berdasarkan Tabel 6, togok paling banyak memilih touke sebagai tokoh
yang paling berpengaruh dalam peminjaman modal diikuti dengan trawl mini dan
gillnet. Hal ini disebabkan bahwa semakin rendah teknologi alat penangkapan
yang digunakan dan semakin kecil usaha penagkapan yang dilakukan, maka
semakin besar ketergantungan nelayan. Alat tangkap kecil lebih banyak memilih
meminjam modal ke touke dibandingkan dengan koperasi, karena mudahnya
persyaratan dan birokrasi dalam peminjaman dan pengembalian modal yang
dipinjamkan.
Jaminan sosial
Jaminan sosial yang dibutuhkan masyarakat nelayan adalah tersedianya
dana kesehatan dan dana paceklik. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Tanjung Jabung Barat hanya memberikan pinjaman seperti alat tangkap dan baju
pelampung untuk nelayan dan dari lembaga seperti koperasi juga memberikan
modal pinjaman dalam bentuk perahu sebanyak 3 buah untuk dipinjamkan kepada
nelayan atau alat tangkap yang sering disebut pompom oleh warga nelayan di
sekitar PPP Kuala Tungkal Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Jaminan sosial
seperti jaminan kesehatan dalam bentuk askes tidak diberikan kepada nelayan
setiap alat tangkap yang melakukan operasi penangkapan di sekitar PPP Kuala
Tungkal Kabupaten Tanjung Jabung Barat, sehingga nelayan di PPP Kuala dari
segi jaminan sosialnya masih rendah, karena rendahnya rasa aman yang diterima
oleh nelayan dalam melakukan setiap kegiatan penangkapan.
Berdasarkan kriteria sosial usaha penangkapan ke-3 alat tangkap, maka
nelayan di PPP Kuala Tungkal masih banyak yang terikat pada touke dalam
peminjaman modal, jaminan sosial tidak diberikan oleh pemerintah dan
banyaknya hambatan setiap melakukan operasi penangkapan yang banyak
ditanggung oleh nelayan, sehingga rata-rata masih banyak nelayan di PPP Kuala
Tungkal kondisi sosialnya masih rendah.

13

Organisasi sosial di PPP Kuala Tungkal salah satunya adalah Koperasi
Bina Nelayan Mandiri. Koperasi Bina Nelayan Mandiri dengan Badan Hukum
No.30 BH/KDK.52/VI/2000 dan didirikan pada tanggal 6 Juni 2000 yang terletak
di Jl. Bangkinang Kuala Tungkal Kabupaten Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi
merupakan salah satu koperasi yang memberikan peminjaman modal kepada
nelayan di PPP Kuala Tungkal. Struktur Organisasi Koperasi Bina Nelayan
Mandiri (Lampiran 4) yang memegang keputusan paling penting yaitu terdapat
pada rapat anggota. Pada rapat anggota beberapa hal yang dibahas antara lain:
1. Menetapkan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga koperasi.
2. Menetapkan kebijakan umum koperasi
3. Memilih, mengangkat dan memberhentikan pengurus dan badan pemeriksa
koperasi.
4. Menetapkan dan mengesahkan rencana kerja serta rencana anggaran belanja
koperasi, serta kebijakan pengurus dalam bidang organisasi dan usaha koperasi.
5. Mengesahkan laporan pertanggung jawaban pengurus dan badan pemeriksa
dalam bidang organisasi dan usaha koperasi, dan rapat anggota diadakan
sekurang-kurangnya sekali dalam satu tahun.
Koperasi Bina Nelayan Mandiri melayani nelayan dalam penyaluran BBM,
pengolahan perikanan hasil laut, perbengkelan, waserda (warung serba ada),
industri, serta jasa transportasi.

Kondisi Usaha Perikanan
Usaha penangkapan ikan secara teknis ekonomi merupakan suatu proses
produksi yang bersifat ekstraktif, yakni mengambil hasil alam tanpa
mengembalikan sebagian hasilnya untuk pengambilan dikemudian hari
(Abubakar 2004). Analisis usaha yang digunakan untuk menilai kondisi ekonomi
nelayan PPP Kuala Tungkal meliputi aspek investasi usaha, pendapatan, dan
biaya, kemudian dinilai dengan menggunakan aspek keuntungan, nilai R/C dan
NPV.
Investasi usaha yang dikeluarkan oleh nelayan untuk memulai usaha
penangkapan yaitu terdiri dari kapal, alat tangkap, dan mesin. Biaya yang harus
dikeluarkan selain biaya investasi yaitu biaya usaha. Biaya usaha merupakan
pengeluaran dari kegiatan usaha penangkapan yang harus dikeluarkan. Biaya
usaha tersebut terdiri dari biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap (variabele
cost). Albar (2012) menjelaskan bahwa biaya tetap adalah biaya yang harus
dikeluarkan meskipun tidak melakukan penangkapan yang meliputi biaya
penyusutan dan biaya pemeliharaan setiap tahunnya. Biaya tidak tetap adalah
biaya yang dikeluarkan apabila akan melakukan kegiatan penangkapan. Biaya
tidak tetap ini meliputi biaya operasional (perbekalan). Pendapatan merupakan
selisih antara nilai produksi dengan biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan usaha
penangkapan.
Gillnet
Kegiatan usaha perikanan tangkap di PPP Kuala Tungkal, Jambi dengan
menggunakan alat tangkap gillnet mempunyai jumlah investasi, biaya total,
pendapatan dan keuntungan yang rata-rata lebih besar dibandingkan dengan 2 alat

14

tangkap lainnya yaitu trawl mini dan togok. Hal ini dapat terlihat pada Tabel 7.
Usaha perikanan tangkap ini memberikan keuntungan yang sebanding dengan
nilai investasi usaha dan nilai biaya yang dikeluarkan setiap tahun dalam operasi
penangkapan. Rata-rata biaya investasi yang dikeluarkan adalah Rp73 300 000,
sedangkan biaya yang dikeluarkan adalah sebesar Rp157 213 333, pendapatan
rata-rata yang diterima sebesar Rp218 933 535. Kegiatan usaha perikanan tangkap
gillnet ini, layak untuk dilanjutkan, karena nilai Revenue Cost Ratio (R/C) telah
diatas 1 (R/C>1) yaitu rata-rata sebesar 1.5428 yang artinya setiap satu rupiah
biaya usaha yang dikeluarkan maka akan memperoleh Rp1.5428 sehingga usaha
tersebut menguntungkan dan layak untuk dilanjutkan. Nilai rata-rata NPV (Net
Persent Value) sebesar 225 972 013, yang artinya bisnis tersebut menguntungkan
dan memberi manfaat karena nilai NPV>1. Sehingga kondisi ekonomi usaha
perikanan tangkap gillnet di PPP Kuala Tungkal, berdasarkan kriteria ekonomi
telah memberikan keuntungan bagi nelayan dan layak untuk dilanjutkan. Usaha
penangkapan gillnet di Kabupaten Pontianak Provinsi Kalimantan Barat
mengeluarkan investasi usaha rata-rata sebesar Rp169 872 751 per tahunnya
(Ghandi 2010). Hal ini hampir sama dengan rata-rata investasi usaha gillnet yang
dikeluarkan di PPP Kuala Tungka Jambi.
Tabel 7 Kriteria ekonomi usaha penangkapan gillnet tahun 2014
Kriteria
Min (Rp)
Max (Rp)
Rata-rata (Rp)
St. Dev
Investasi usaha
59 000 000
83 000 000
73 300 000
8 680 118
Pendapatan
163 437 400
301 720 200 218 933 535
40 153 292
Biaya
102 600 000
172 310 000 157 213 333
24 161 667
Keuntungan
5 557 400
180 145 200
70 280 535
58 655 524
R/C
1.0352
2.4817
1.5428
0.5223
NPV
-56 327 041
688 431 191 225 972 013
258 233 506
Sumber: Diolah dari data primer, 2014
Trawl mini
Kegiatan usaha perikanan tangkap dengan menggunakan alat tangkap
trawl mini di PPP Kuala Tungkal, Jambi mempunyai jumlah investasi, pendapatan
dan total biaya yang dikeluarkan setiap operasi penangkapan menduduki posisi
kedua dibandingkan dengan gillnet dan togok. Hal ini dapat terlihat pada Tabel 8.
Rata-rata biaya investasi yang dikeluarkan adalah Rp19 620 000 sedangkan biaya
yang dikeluarkan adalah sebesar Rp 148 653 000 pendapatan rata-rata yang
diterima sebesar Rp192 438 950. Keuntungan rata-rata yang diberikan setiap
tahun dari usaha penangkapan ini sebesar Rp35 846 917 dengan Revenue Cost
Ratio (R/C)>1 yaitu rata-rata sebesar 1.2346 yang artinya setiap satu rupiah biaya
usaha yang dikeluarkan maka akan memperoleh Rp 1.2346 sehingga usaha
tersebut menguntungkan dan layak untuk dilanjutkan. Net Persent Value (NPV) >
1 sebesar 125 887 157 yang artinya usaha ini layak untuk dilanjutkan karena
pendapatan yang diterima per tahunnya telah melebihi biaya yang dikeluarkan dan
telah memberi manfaat dan mendapatkan keuntungan bagi nelayan trawl mini.
Sehingga dari segi ekonomi kondisi usaha perikanan tangkap yang dilakukan
dengan menggunakan trawl mini memberikan keuntungan bagi nelayan dan layak
untuk dilanjutkan untuk memenuhi kebutuhan hidup nelayan. Usaha penangkapan
trawl mini atau jaring arad di Blanakan, Kabupaten Subang juga mengeluarkan

15

investasi usaha rata-rata sebesar Rp159 581 080 per tahunnya dengan pendapatan
yang diterima sebesar Rp183 752 000 per tahunnya dan dapat dinyatakan bahwa
usaha penangkapan yang dilakukan di Blanakan, Kabupaten Subang layak untuk
dilanjutkan (Janah 2010). Hal ini hampir sama dengan rata-rata investasi dan
pendapatan yang diterima dari usaha penangkapan trawl mini yang dilakukan di
PPP Kuala Tungkal Jambi.
Tabel 8 Kriteria ekonomi usaha penangkapan trawl mini tahun 2014
Kriteria
Min (Rp)
Max(Rp)
Rata-rata (Rp)
Investasi usaha 16 800 000
22 900 000
19 620 000
Pendapatan
151 634 800
267 111 200 192 438 950
Biaya
120 791 667
179 651 667 148 653 000
Keuntungan
1 041 467
88 077 867
35 846 917
R/C
1.0069
1.4919
1.2346
NPV
-22 986 705
344 810 972 125 887 157
Sumber: Diolah dari data primer, 2014

St. Dev
2 602 904.36
33 931 840.43
22 064 047.74
26 742 429.42
0.1756
113 076 596

Togok
Usaha perikanan tangkap dengan menggunakan alat tangkap togok di PPP
Kuala Tungkal Jambi dari kriteria ekonomi seperti investasi usaha, pendapatan
yang diterima per tahunnya dan biaya yang dikeluarkan per tahun untuk operasi
penangkapan mempunyai nilai yang rendah dibandingkan dengan 2 alat tangkap
pembandingnya yaitu gillnet dan trawl mini. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 9.
Rata-rata biaya investasi yang dikeluarkan adalah Rp11 181 000, sedangkan biaya
yang dikeluarkan adalah sebesar Rp38 432 833, pendapatan rata-rata yang
diterima sebesar Rp40 333 350. Keuntungan yang diterima dari usaha ini rendah,
hal ini dapat terlihat dari nilai R/C>1 yaitu rata-rata sebesar 1.0510 yang artinya
setiap satu rupiah biaya usaha yang dikeluarkan maka akan memperoleh Rp1.0510.
NPV yang dihasilkan kecil dari 1 (NPV