Populasi Dan Keanekaragaman Fauna Tanah Di Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Kecamatan Bajubang Provinsi Jambi

POPULASI DAN KEANEKARAGAMAN FAUNA TANAH
DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT RAKYAT
KECAMATAN BAJUBANG PROVINSI JAMBI

YURICHA NUR AIZAH GUNAWAN

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Populasi dan
Keanekaragaman Fauna Tanah di Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Kecamatan
Bajubang Provinsi Jambi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2016
Yuricha Nur Aizah Gunawan
NIM A14110078

ABSTRAK
YURICHA NUR AIZAH GUNAWAN. Populasi dan Keanekaragaman Fauna
Tanah di Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Kecamatan Bajubang Provinsi Jambi.
Dibimbing oleh RAHAYU WIDYASTUTI dan FAHRIZAL HAZRA.
Fauna tanah merupakan salah satu pembentuk ekosistem tanah yang
berperan dalam proses dekomposisi, penyediaan unsur hara, pengendalian
populasi organisme patogen dan mencampur bahan organik dengan tanah. Tujuan
penelitian ini adalah mengetahui populasi dan keanekaragaman fauna tanah di
area perkebunan kelapa sawit. Pengambilan sampel tanah dilakukan di area
perkebunan kelapa sawit rakyat Kecamatan Bajubang Provinsi Jambi. Hasil
penelitian menunjukan bahwa terdapat 24 jenis ordo fauna tanah yang berada di
area perkebunan kelapa sawit tersebut. Dari dua area yang telah diidentifikasi
yakni antara area piringan dengan gawangan mati menunjukkan bahwa kepadatan
populasi fauna tanah didominasi di area gawangan mati. Hal ini disebabkan pada

area gawangan mati mengandung bahan organik tinggi yang berfungsi sebagai
sumber makanan bagi fauna tanah. Kepadatan populasi fauna tanah di lapisan
tanah lebih tinggi dibandingkan di lapisan serasah. Habitat merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi jenis dan kepadatan populasi fauna tanah. Fauna tanah
yang mendominasi di setiap areanya ialah Acari dan Collembola. Acari dan
Collembola mempunyai peran dalam proses dekomposisi bahan organik. Hasil
pengamatan juga menunjukkan bahwa total populasi mesofauna lebih tinggi
daripada makrofauna tanah. Sifat kimia tanah seperti C-organik, N-total, pH dan
kadar air berkorelasi positif terhadap fauna tanah.
Kata kunci: Acari, area piringan, Collembola, gawangan mati

ABSTRACTS

YURICHA NUR AIZAH GUNAWAN. The Population and Diversity of Soil
Fauna in Oil Palm Smallholders Plantation in Bajubang Subdistric, Jambi
Province. Supervised by RAHAYU WIDYASTUTI and FAHRIZAL HAZRA.
Soil fauna is one of the soil ecosystem components that has a role in the
decomposition process, nutrient supply, pathogen control, and mixing organic
material with the soil. This research aims to find out the soil fauna population and
diversity in the oil palm plantation area. Soil sampling was conducted in the oil

palm plantation in Bajubang Subdistrict, Jambi Province.The result showed that
there were 24 orders of soil fauna existed in the plantation area. From two area
that found in oil palm plantation i.e. the circle weed area and litter lane, showed
that the population density of soil fauna was dominant in the litter lane. This was
caused by the high content of organic matter in the litter lane as the food source
for the soil fauna. The population density of soil fauna in the soil layer was higher
than in the litter layer. Habitat was one of the factors that influenced the type and
the density of soil fauna. The soil fauna that was dominant in each area were
Acari and Collembola. Acari and Collembola were involved in organic matter
decomposition process. The research also showed that the total abundance of
mesofauna was higher than the soil macrofauna. The soil chemical properties such
as soil organic C, total-N, pH and water content were positively correlated to the
soil fauna.
Keyword : Acari, circle weed area, Collembola, litter lane

POPULASI DAN KEANEKARAGAMAN FAUNA TANAH
DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT RAKYAT
KECAMATAN BAJUBANG PROVINSI JAMBI

YURICHA NUR AIZAH GUNAWAN


Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Judul Skripsi : Populasi dan Keanekaragaman Fauna Tanah di Perkebunan Kelapa
Sawit Rakyat Kecamatan Bajubang Provinsi Jambi
Nama
: Yuricha Nur Aizah Gunawan
NIM
: A14110078


Disetujui oleh

Dr Rahayu Widiastuti, MSc
Pembimbing I

Ir Fahrizal Hazra, MSc
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Baba Barus, MSc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2015 ini ialah
Fauna Tanah, dengan judul Populasi dan Keanekaragaman Fauna Tanah di

Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Kecamatan Bajubang Provinsi Jambi.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Rahayu Widyastuti, Msc dan
Bapak Ir. Fahrizal Hazra, Msc selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
memberikan bimbingan dan pengarahan terkait pelaksanaan penelitian yang
dilakukan. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc
selaku dosen penguji luar atas segala saran dan masukannya. Di samping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada Badan Meteorologi dan Geofisika
wilayah Jambi serta Laboran Bioteknologi Tanah Departemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan
terima kasih tidak terhingga juga saya sampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh
keluarga, atas segala doa, kasih sayang, doa restu dan dukungan yang tulus.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2016
Yuricha Nur Aizah Gunawan

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi


DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2


Deskripsi Lokasi Penelitian

2

METODELOGI PENELITIAN

2

Lokasi dan Waktu Penelitian

2

Alat dan Bahan

3

Pengambilan Sampel Tanah dan Serasah

3


Ekstraksi Fauna Tanah

3

Pemilahan dan Identifikasi Fauna Tanah

4

Analisis Data Pengamatan Fauna Tanah

4

Pengukuran Sifat Tanah

5

HASIL DAN PEMBAHASAN

5


Populasi Fauna Tanah di Area Piringan dan Gawangan Mati

5

Populasi Fauna Tanah di Area Serasah dan Lapisan Tanah

8

Keanekaragaman Fauna Tanah

10

Populasi Fauna Tanah di Empat Desa Berbeda Area Perkebunan Kelapa Sawit
Rakyat
11
Hubungan Antara Sifat Kimia Tanah dengan Populasi Fauna Tanah

13


SIMPULAN DAN SARAN

16

Simpulan

16

Saran

16

DAFTAR PUSTAKA

16

LAMPIRAN

21

RIWAYAT HIDUP

31

DAFTAR TABEL
1 Populasi fauna tanah (individu/m²) di area piringan dan gawangan mati
perkebunan kelapa sawit rakyat
2 Populasi fauna tanah (individu/m²) di area serasah dan lapisan tanah
perkebunan kelapa sawit rakyat
3 Nilai shannon’s diversity index pada area serasah dan lapisan tanah area
piringan dan gawangan mati
4 Sifat tanah pada lokasi penelitian
5 Hasil uji korelasi antara sifat tanah dengan ordo fauna tanah

6
9
10
14
14

DAFTAR GAMBAR
1 Peta lokasi penelitian
2 Ekstraksi fauna tanah dengan menggunakan Kempson Extractor
3 Populasi fauna tanah area piringan dan gawangan mati perkebunan
kelapa sawit rakyat di empat lokasi yang berbeda: (a) Bungku, (b)
Pompa Air, (c) Sungkai dan (d) Singkawang.
4 Populasi fauna tanah area serasah dan lapisan tanah perkebunan kelapa
sawit rakyat di empat lokasi yang berbeda: (a) Bungku, (b) Pompa Air,
(c) Sungkai dan (d) Singkawang.

2
3

11

12

DAFTAR LAMPIRAN
1 Perhitungan penetapan populasi fauna tanah menggunakan persamaan
meyer
2 Populasi fauna tanah (individu/m²) di area piringan dan gawangan mati
perkebunan kelapa sawit rakyat Desa Bungku
3 Populasi fauna tanah (individu/m²) di area serasah dan lapisan tanah
perkebunan kelapa sawit rakyat Desa Bungku
4 Populasi fauna tanah (individu/m²) di area piringan dan gawangan mati
perkebunan kelapa sawit rakyat Desa Pompa Air
5 Populasi fauna tanah (individu/m²) di area serasah dan lapisan tanah
perkebunan kelapa sawit rakyat Desa Pompa Air
6 Populasi fauna tanah (individu/m²) di area piringan dan gawangan mati
perkebunan kelapa sawit rakyat Desa Sungkai
7 Populasi fauna tanah (individu/m²) di area serasah dan lapisan tanah
perkebunan kelapa sawit rakyat Desa Sungkai
8 Populasi fauna tanah (individu/m²) di area piringan dan gawangan mati
perkebunan kelapa sawit rakyat Desa Singkawang
9 Populasi fauna tanah (individu/m²) di area serasah dan lapisan tanah
perkebunan kelapa sawit rakyat Desa Singkawang
10 Foto fauna tanah yang didapatkan di lokasi penelitian

20
21
22
23
24
25
26
27
28
29

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) adalah salah satu palmae yang
menghasilkan minyak nabati, yang lebih dikenal dengan sebutan palm oil. Kelapa
sawit adalah penghasil minyak nabati terbesar di dunia (Pahan 2008). Menurut
data Ditjen Perkebunan, areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia tersebar di 17
provinsi meliputi wilayah Sumatera (6.682.228 ha), Jawa (33.712 ha), Kalimantan
(3.306.523 ha), Sulawesi (318.880 ha), Maluku dan Papua (123.677 ha). Tahun
2013 wilayah Sumatera merupakan yang terbesar yaitu sebesar 63,85 % dari total
areal perkebunan kelapa sawit nasional.
Beberapa upaya untuk meningkatkan hasil produksi kelapa sawit ialah
dengan pengelolaan dan manajemen yang baik. Manajemen pemupukan
merupakan salah satu kegiatan pemeliharaan tanaman yang dapat meningkatkan
produktivitas serta kualitas produk yang dihasilkan. Pemupukan dilakukan di area
piringan tanaman kelapa sawit. Kegiatan lain dari upaya manajemen yang baik di
suatu perkebunan ialah dengan pemanfaatan limbah padat kelapa sawit untuk
dijadikan pupuk organik. Limbah padat kelapa sawit ditumpuk pada daerah
gawangan mati dan dibiarkan terdekomposisi. Swift et al. (1979) menyatakan
dekomposisi bahan organik merupakan proses pemecahan integratif kompleks di
antara organisme (makro dan mikro organisme), faktor lingkungan (utamanya
temperatur dan kelembaban) dan jenis bahan organik. Proses dekomposisi dapat
berjalan cepat dengan bantuan organisme tanah. Salah satu penghuni tanah yang
berperan dalam proses dekomposisi ialah fauna tanah.
Fauna tanah merupakan organisme yang seluruh atau sebagian besar
daur hidupnya dilakukan di dalam tubuh tanah juga permukaan tanah yang
berperan dalam membantu mendekomposisi bahan organik (Suin 2006). Fauna
tanah merupakan komponen penting dari ekosistem karena memiliki peran
fungsional dalam proses dekomposisi bahan organik dan transformasi hara
(Bardgett dan Chan 1999). Fauna tanah merupakan bagian ekosistem tanah yang
kehidupannya tidak sendiri, melainkan berinteraksi dengan faktor lain di dalam
lingkungan. Adanya interaksi tersebut dapat mempengaruhi keberadaan,
penyebaran dan kepadatan fauna tanah. Soepardi (1983) menyatakan bahwa lahan
yang diusahakan umumnya mempunyai jumlah dan biomassa fauna tanah lebih
sedikit, sedangkan penggunaan lahan dengan praktek pengelolaan lahan seperti
penggunaan pupuk organik, pengelolaan lahan dengan mempraktikkan teknik
konservasi tanah dan air dapat meningkatkan jumlah, biomassa dan keragaman
fauna tanah.
Penelitian yang melaporkan populasi dan keanekaragaman fauna tanah pada
area piringan dan gawangan mati masih belum banyak dilakukan. Oleh sebab itu
dilakukan penelitian di area tersebut. Lokasi yang dipilih adalah area perkebunan
kelapa sawit rakyat di empat lokasi yang berbeda, yaitu di Desa Bungku, Desa
Pompa Air, Desa Sungkai dan Desa Singkawang Kecamatan Bajubang Provinsi
Jambi.

2
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui populasi dan keanekaragaman fauna tanah pada area piringan dan
gawagan mati di area perkebunan kelapa sawit.
2. Mengetahui populasi dan keanekaragaman fauna tanah pada area serasah dan
lapisan tanah di area perkebunan kelapa sawit.
Deskripsi Lokasi Penelitian
Secara topografis Kabupaten Batanghari merupakan wilayah dataran rendah
dan rawa yang dilalui sungai Batanghari. Posisi geografis Kabupaten Batanghari yang
terletak diantara 1o15’ LS dan 2o02’ LS dan antara 102o30’ BT dan 104o30’ BT.
Daerah ini beriklim tropis dengan tingkat elevasi sebagian besar dataran rendah,
dengan ketinggian daerah antara 11 - 100 m di atas permukaan laut (92,67%). Sisanya
berada di ketinggian antara 101 - 500 m di atas permukaan laut. Letak geografis
tersebut sangat mendukung untuk pembangunan perkebunan salah satunya
perkebunan kelapa sawit, baik perkebunan rakyat maupun perkebunan besar. Kondisi
ini mendukung untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit (Pemkab Batanghari
2013). Bajubang merupakan salah satu kecamatan yang terletak di Kabupaten
Batanghari Provinsi Jambi. Penelitian ini dilakukan di empat perkebunan kelapa sawit
di empat desa, yaitu : Desa Bungku, Pompa Air, Sungkai dan Singkawang. Rata-rata
usia kelapa sawit di lokasi penelitian ini ±15 tahun dan jarak tanam yang digunakan
yaitu 8 x 9 m dengan diameter piringan 2 m sehingga terdapat ±150 tanaman ha-1.

METODELOGI PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di area perkebunan kelapa sawit rakyat yakni Desa
Bungku, Desa Pompa Air, Desa Sungkai dan Desa Singkawang Kecamatan
Bajubang, Provinsi Jambi (Gambar 1). Ekstraksi fauna tanah dilakukan di Gedung
Pusat Pengembangan Agrobisnis dan Laboraturium Terpadu Universitas Jambi,
sedangkan pemilahan spesimen dan identifiksi fauna tanah dilakukan di
Laboraturium Bioteknologi, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian berlangsung mulai dari
bulan Januari hingga Mei 2015.

Gambar 1 Peta lokasi penelitian

4
Pemilahan dan Identifikasi Fauna Tanah
Fauna tanah yang telah diekstraksi dipilah berdasarkan jenis dan
diidentifikasi menggunakan stereo mikroskop sampai tingkat ordo. Fauna tanah
yang telah diekstraksi, dipilah sesuai dengan ukuran tubuhnya dengan bantuan
pinset dan kuas kecil serta dilakukan dibawah stereo mikroskop. Fauna tanah yang
sudah dipilah diidentifikasi lebih lanjut atau dapat disimpan kedalam botol vial
yang berisi alkohol 96% untuk disimpan dan diidentifikasi kemudian. Fauna tanah
diidentifikasi secara bertingkat. Pertama-tama fauna tanah dipisahkan berdasarkan
kelas, kemudian dilanjutkan hingga ke tingkat ordo. Identifikasi fauna tanah
berpedoman pada Borror et al. (1992).
Analisis Data Pengamatan Fauna Tanah
Populasi fauna tanah yang telah dipilah dan diidentifikasi dihitung jumlah
tiap sampelnya. Setelah itu dihitung populasi fauna tanah tiap sampel dengan
menggunakan persamaan Meyer (1996):
= .�−2
keterangan:
IS = Rata-rata jumlah individu per sampel
I = Populasi Collembola (individu m-2)
A = Luas permukaan dari bingkai kayu dalam cm2 (nilai ini kemudian di
konversi kedalam m2)
Selanjutnya dilakukan uji Tukey untuk melihat pengaruh lokasi terhadap
populasi fauna tanah di area perkebunan kelapa sawit rakyat menggunakan
software Statistica 7 for Windows.
Keanekaragaman fauna tanah yang teramati di lapangan ditentukan
berdasarkan Shannon diversity index (Magurran 2004) yang dapat dihitung
melalui persamaan:
′= −∑
Keterangan:
H = Shannon diversity index
pi = ni/N
ni = Jumlah individu genus ke-i
N = Total jumlah individu
s = Total jumlah genus dalam contoh
Nilai H’ menurut Magurran (1987) berkisar antara :
< 1,5 : Keragaman rendah
1,5-3,5 : Keragaman sedang
> 3,5 : Keragaman tinggi

5
Pengukuran Sifat Tanah
Sampel tanah yang diambil secara komposit pada area perkebunan kelapa
sawit rakyat selanjutnya dilakukan analisis sifat tanah. Analisis yang dilakukan
meliputi pH, kadar air, kadar C-organik, N-total dan perhitungan nilai C/N rasio.
Selanjutnya akan dilihat pengaruh dari sifat tanah tersebut terhadap populasi dan
keanekaragaman yang ada di area perkebunan kelapa sawit rakyat Kecamatan
Bajubang Provinsi Jambi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari penelitian ini diperoleh 24 jenis ordo fauna tanah yang berada di area
perkebunan kelapa sawit rakyat baik pada area piringan, gawangan mati, area
serasah maupun lapisan tanah. Fauna tanah tersebut meliputi Acari, Collembola,
Symphyla, Protura, Hymenoptera, Isopoda, Diptera, Coleoptera, Araneae,
Dermaptera, Diplura, Lithobiomorpha, Geophilomorpha, Pseudoscorpiones,
Isoptera, Diplopoda, Pauropoda, Orthhoptera, Hemiptera, Homoptera,
Tsysanoptera, Oligochaeta, Pscoptera, dan Blattodea (Lampiran 10). Yang dan
Chen (2009) pun menemukan sebanyak 24 kelompok fauna tanah di hutan tropis
China pada musim kemarau dan musim hujan.
Acari merupakan fauna dengan total kepadatan populasi tertinggi dari
masing–masing habitat. Penelitian Yang dan Chen (2009) yang dilakukan di hutan
tropis juga menunjukkan bahwa populasi tertinggi didominasi oleh Acari. Hal ini
sesuai dengan yang disebutkan dalam Borror et al. (1996) bahwa Acari banyak
terdapat di dalam tanah dan reruntuhan organik dan biasanya jumlahnya melebihi
Arthropoda lainnya. Lavelle dan Spanyol (2001) menyatakan bahwa Acari
memiliki ketahanan yang tinggi terhadap stress air dan suhu, mereka dapat
bertahan dalam kodisi kering (pF 5) sebelum berpindah ke area basah. Fauna
tanah seperti Blattodea, Orthoptera, Tsysanoptera, Homoptera, Protura,
Dermaptera, Pseudoscorpiones dan Pauropoda memiliki kepadatan populasi yang
rendah. Perhitungan populasi Collembola tanah dapat dilihat pada Lampiran 1.
Populasi Fauna Tanah di Area Piringan dan Gawangan Mati
Total fauna tanah yang didapatkan pada area piringan sebanyak 1.514
individu/m2 yang terdiri dari mesofauna (1.103 individu/m2), makrofauna (390
individu/m2) dan Oligochaeta sebanyak 21 individu/m2, sedangkan pada area
gawangan mati populasi fauna tanah yang diperoleh sebanyak 2.976 individu/m2
yang terdiri dari mesofauna (2.227 individu/m2), makrofauna (724 individu/m2)
dan Oligochaeta sebanyak 25 individu/m2 (Tabel 1). Perbedaan nyata dapat dilihat
dari area tempat pengambilan sampel tanah, yakni area piringan dan gawangan
mati. Fauna tanah seperti Acari, Collembola, Isopoda, Coleoptera, Araneae,
Diplura, Pseudoscorpiones, Isoptera, Diplopoda, dan Pauropoda memiliki
kepadatan populasi yang berbeda nyata antara area piringan dan gawangan mati.
Area piringan memiliki kepadatan populasi tertinggi yang didominasi oleh Acari

6
yakni sebanyak 737 individu/m2 kemudian diikuti oleh Collembola sebanyak 331
individu/m2, begitu juga pada area gawangan mati yang didominasi oleh Acari
yaitu sebanyak 1.416 individu/m2, Collembola 778 individu/m2.
Tabel 1 Populasi fauna tanah (individu/m²) di area piringan dan gawangan mati
perkebunan kelapa sawit rakyat
Jenis

Ordo

Acari
Collembola
Sympyla
Protura
Total
Mesofauna
Makrofauna Hymenoptera
Isopoda
Diptera
Coleoptera
Araneae
Dermaptera
Diplura
Lithobiomorpha
Geophilomorpha
Pseudoscorpiones
Isoptera
Diplopoda
Pauropoda
Orthoptera
Hemiptera
Homoptera
Tsysanoptera
Pscoptera
Blattodea
Total
Makrofauna
Oligochaeta
Mesofauna

Area piringan
(individu/m2)

SD

737a
331a
33a
2a

322
179
33
3

1.103
220a
10a
54a
10a
11a
1a
18a
14a
27a
2a
5a
1a
1a
2a
4a
2a
1a
3a
4a

(individu/m2)

SD

1.416b
778b
28a
5a

606
154
25
7

2.227
395
11
14
8
7
3
12
15
27
4
3
2
1
4
7
2
1
2
7

389
21a

Gawangan mati

301a
64b
52a
34b
73b
23a
43b
21a
48a
16b
16b
10b
4b
3a
8a
2a
1a
2a
3a

298
59
33
12
39
21
15
17
17
10
10
5
2
6
3
2
3
2
3

724
16

25a

Keterangan : SD (Standart Deviasi);
*Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak
berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji Tukey)

21

7
Kedua habitat yang telah diidentifikasi menunjukkan bahwa populasi fauna
tanah di area gawangan mati lebih tinggi daripada di area piringan. Hal ini
dikarenakan pada area gawangan mati terdapat limbah padat kelapa sawit yang
mengandung bahan organik dan anorganik yang tinggi (Winarti dan Liswara
2013). Bahan organik merupakan sumber energi bagi makro, meso dan mikro
fauna tanah. Penambahan bahan organik dalam tanah dapat meningkatkan
aktivitas dan populasi mikrobiologi dalam tanah, terutama yang berkaitan dengan
aktivitas dekomposisi dan mineralisasi bahan organik (Subba Rao 1981). Tandan
kosong kelapa sawit dapat menghasilkan bahan organik melalui proses
pengomposan (Fauzi et al. 2002).
Area piringan memiliki jumlah populasi fauna tanah lebih kecil daripada
area gawangan mati. Kegiatan seperti pemupukan dan pemberian pestisida pada
area piringan merupakan salah satu penyebab populasi fauna tanah mengalami
penurunan. Selain itu, kegiatan pemanenan juga dapat mempengaruhi kelimpahan
fauna tanah karena terjadinya pemadatan tanah. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Crossley et al. (1992); Paoletti et al. (1992) bahwa penurunan secara nyata
terhadap biodiversitas makrofauna tanah akan terjadi jika pengolahan tanah dan
pemupukan dilakukan secara intensif, serta penanaman secara monokultur pada
sistem pertanian konvensional. Lingkungan terganggu atau terdegradasi pada
umumnya memiliki fauna tanah yang mengalami penurunan komposisi jenis
maupun kelimpahan yang disebabkan oleh penurunan atau hilangnya sejumlah
spesies tumbuhan, penurunan kekayaan deposit serasah, perubahan sifat biologis,
fisik dan kimia tanah, penurunan populasi fauna lain dan mikroorganisme tanah,
dan perubahan iklim mikro ke arah yang kurang menguntungkan bagi
pertumbuhan makhluk hidup di dalamnya (Nuril et al. 1999).
Dalam proses dekomposisi, masing–masing fauna tanah memiliki peran
tersendiri di dalam tanah. Xin et al. (2012) mengemukakan bahwa fauna tanah
memiliki peran penting dalam proses dekomposisi bagi keberlanjutan perkebunan
pada tanah berpasir. Fauna tanah sebagian besar mengontrol proses dekomposisi
melalui pemecahan sampah, pencernaan, dan stimulasi kegiatan mikroorganisme
(Maraun dan Scheu 1996). Proses dekomposisi juga dipengaruhi oleh kualitas
substrat, penghuni tanah dan juga faktor lingkungan (Smith and Bradford 2003).
Komposisi kimia pada daun serasah terutama C/N rasio dan kandungan lignin
selulosa memainkan peran penting dalam menentukan biomassa dan struktur
komunitas pengurai (Eppinga et al. 2011). Beberapa jenis fauna tanah yang
mempunyai peran penting dalam sistem tanah adalah Acari, Collembola,
Oligochaeta, dan Hymenoptera.
Sebagai komponen yang dominan di dalam tanah Acari secara langsung
berperan dalam proses dekomposisi bahan organik dan dapat mempercepat proses
penghancuran bahan organik (Wallwork 1976). Selain itu Acari (terutama
Cryptostigmata) berperan penting dalam fragmentasi serasah tanaman. Hasil
fragmentasi menyebabkan meningkatnya luas permukaan yang pada gilirannya
meningkatkan aktivitas mikroba (Evans 1992). Acari terdiri dari empat jenis,
yaitu: Prostigmata, Mesostigmata, Astigmata dan Cryptostigmata. Anggota
tungau Mesostigmata biasanya aktif berkembang di dalam tanah dan beberapa

8
diantaranya bersifat predator. Beberapa tungau Cryptostigmata berukuran lebih
kecil, pergerakannya lambat dan bersifat detritivor.
Selain Acari, Suhardjono (2000) menyebutkan pada sebagian besar populasi
arthropoda tanah banyak ditemukan Collembola yang membantu proses
dekomposisi. Peranan Collembola adalah menghancurkan bahan organik ke dalam
ukuran yang lebih kecil kemudian mencampurnya di dalam tanah (Gobat et al.
2004). Disamping itu Collembola dapat menurunkan kemungkinan timbulnya
penyakit yang disebabkan oleh jamur. Collembola juga dapat dijadikan sebagai
indikator terhadap dampak penggunaan herbisida. Pada tanah yang tercemar oleh
herbisida jumlah Collembola yang ada jauh lebih sedikit dibandingkan pada lahan
yang tidak tercemar. Collembola merupakan fauna tanah dengan persentase yang
besar dan penting dalam menghancurkan zat-zat organik dan mendorong
kesuburan tanah.
Cacing tanah yang dalam siklus hidupnya dapat membuat lubang dalam
tanah dapat mencegah pemadatan tanah, mempertebal tanah lapisan atas dan
meningkatkan ketersediaan hara (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertanian 2008). Masuknya cacing tanah ke dalam tanah
mengakibatkan perubahan beberapa sifat kimia tanah, yaitu meningkatkan
kandungan bahan organik, kandungan unsur hara tersedia dan kapasitas tukar
kation. Hal ini disebabkan kotoran cacing tanah mengandung lebih banyak unsur
hara dan C-organik daripada tanah aslinya. Kotoran cacing berpengaruh terhadap
keragaman populasi mikroorganisme (Ma’shum et al. 2003).
Populasi Fauna Tanah di Area Serasah dan Lapisan Tanah
Total fauna tanah yang ditemukan pada area serasah sebanyak 2.187
individu/m2 yang meliputi mesofauna tanah (1.767 individu/m2), makrofauna (412
individu/m2) dan Oligochaeta sebanyak 8 individu/m2, sedangkan pada lapisan
tanah populasi fauna tanah yang diperoleh sebanyak 2.303 individu/m2 yang
terdiri dari mesofauna (1.564 individu/m2), makrofauna (702 individu/m2) dan
Oligochaeta sebanyak 37 individu/m2 (Tabel 2). Perbedaan yang nyata dapat
dilihat pada area serasah dan lapisan tanah. Beberapa fauna tanah yang memiliki
nilai beda nyata pada area serasah dan lapisan tanah ialah Acari, Collembola,
Sympyla, Protura, Isopoda, Diptera, Coleoptera, Araneae, Diplura,
Lithobiomorpha, Pseudoscorpiones dan Oligochaeta. Pada Acari, populasi lebih
banyak ditemukan pada area serasah. Hal ini dikarenakan area serasah memiliki
bahan organik tinggi yang berfungsi sebagai sumber makanan bagi Acari. Borror
et al. (1992) pun berpendapat bahwa Acari ditemukan di dalam tumpukan daun,
di bawah kulit kayu, di bawah tanah serta batu-batu. Jenis Acari yang ditemukan
pada area serasah ialah Astigmata dan Cryptostigmata karena sub ordo tersebut
tidak selalu berada di dalam tanah (Richards 1974). Selain Acari, fauna tanah
yang memiliki kepadatan populasi lebih tinggi pada area serasah ialah Diptera.
Berdasarkan makanannya, Diptera merupakan ordo fauna tanah yang tergolong
makrodekomposer yakni memakan tumbuhan mati ataupun serasah.

9
Tabel 2 Populasi fauna tanah (individu/m²) di area serasah dan lapisan tanah
perkebunan kelapa sawit rakyat
Jenis

Ordo

Acari
Collembola
Sympyla
Protura
Total
Mesofauna
Makrofauna Hymenoptera
Isopoda
Diptera
Coleoptera
Araneae
Dermaptera
Diplura
Lithobiomorpha
Geophilomorpha
Pseudoscorpiones
Isoptera
Diplopoda
Pauropoda
Orthoptera
Hemiptera
Homoptera
Tsysanoptera
Pscoptera
Blattodea
Total
Makrofauna
Oligochaeta
Mesofauna

Area serasah
2

(individu/m )
1.340b
416a
10a
1a

SD
736
277
10
1

1.767
183a
12a
67b
14a
25a
14a
23a
6a
27a
3a
13a
3a
3a
1a
8a
2a
1a
2a
5a

(individu/m2)

SD

814a
692b
51b
7b

199
230
25
6

1.564
325
15
24
13
22
20
16
6
24
4
12
6
3
1
7
2
3
2
7

412
8a

Lapisan tanah

338b
61b
39a
30b
59b
11a
39b
28b
49a
15b
8a
7a
2a
5a
4a
2a
1a
3a
1a

359
61
15
15
53
18
19
15
20
11
4
6
2
6
4
3
1
1
3

702
12

37b

8

Keterangan : SD (Standart Deviasi);
*Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak
berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji Tukey)

Untuk Collembola, populasi lebih banyak ditemukan di lapisan tanah.
Fauna tanah lain yang memiliki populasi lebih banyak di lapisan tanah ialah
Symphyla, Protura, Isopoda, Coleoptera, Araneae, Diplura, Lithobiomorpha,
Pseudiscorpiones dan Oligochaeta. Hal ini dikarenakan beberapa jenis dari ordo
fauna tanah melakukan perannya pada lapisan tanah seperti cacing tanah yang

10
mempunyai peran untuk mengangkut dan mencampurkan bahan mineral dengan
bahan organik yang ada serta pergerakannya dalam memasukkan bahan organik
ke horizon yang lebih dalam (Reddy 1999). Serangga stadia larva dan dewasa
yang terdiri dari ordo Coleoptera dimana stadia larva hidup di tanah sebagai
perombak. Jadi ordo tersebut lebih banyak ditemukan pada area lapisan tanah.
Selain jenis ordo diatas, Hymenoptera, Dermaptera, Geophilomorpha, Isoptera,
Pauropoda, Orthoptera, Hemiptera, Homoptera, Tsysanoptera, Pscoptera, dan
Blattodea tidak memiliki perbedaan yang nyata pada area serasah dan tanah.
Semut (Hymenoptera) tidak memiliki perbedaan yang nyata pada area serasah dan
lapisan tanah, namun banyak jenis dari famili Formicidae (semut) menempati
tanah sebagai habitat utamanya sarang serta seluruh aktivitas biologinya dilakukan
di dalam tanah. Semut bersarang dalam tanah sampai kedalaman tanah tertentu
tergantung dari sifat koloni dan kondisi tanah itu sendiri (Holldobler dan Wilson
1990).
Habitat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi jenis dan
kepadatan populasi fauna tanah. Berdasarkan habitat, klasifikasi fauna tanah
dibagi menjadi epigeon (hidup pada lapisan tumbuhan di permukaan tanah),
hemiedafon (hidup pada lapisan bahan organik tanah) dan eudafon (hidup pada
lapisan tanah mineral) (Suin 2006). Sayer et al. (2010) menunjukkan bahwa area
serasah dan lapisan tanah memiliki populasi arthropoda yang berbeda, sehingga
perhitungan populasi fauna tanah pada area serasah dan lapisan tanah dilakukan
secara terpisah. Adanya perbedaan waktu pada saat ekstraksi fauna tanah
merupakan faktor yang mempengaruhi kepadatan populasi fauna tanah. Serasah
diekstraksi menggunakan Kempson Extractor selama tiga hari, sedangkan lapisan
tanah diekstraksi menggunakan Kempson Extractor selama tujuh hari.
Pengurangan serasah pada lapisan tanah mineral akan mengurangi kelimpahan
dan biomassa fauna tanah serta dapat merubah komposisi arthropoda sebaliknya
penambahan area serasah tidak akan mempengaruhi kelimpahan, biomassa,
kekayaan serta komposisi fauna tanah (Ashford et al. 2013).
Keanekaragaman Fauna Tanah
Keanekaragaman fauna tanah di area perkebunan kelapa sawit rakyat
dianalisis dengan menggunakan Shannon’s diversity index. Hasil analisis dengan
Shannon’s diversity index ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3 Nilai shannon’s diversity index pada area serasah dan lapisan tanah area
piringan dan gawangan mati
Shannon Diversity Index
Area Piringan
Area Serasah
Lapisan Tanah

1,4
1,6

Area Serasah
Lapisan Tanah

1,2
1,7

Gawangan Mati

11
Hasil analisis dengan Shannon’s diversity index menunjukkan bahwa area
serasah pada area piringan dan gawangan mati memiliki indeks keanekaragaman
1,4 dan 1,2. Lapisan tanah pada area piringan dan gawangan mati memiliki indeks
sebesar 1,6 dan 1,7 (Tabel 3). Menurut kategori Magurran (1987) area serasah
pada area piringan dan gawangan mati tergolong memiliki keragaman rendah
sedangkan lapisan tanah pada area piringan dan gawangan mati tergolong
memiliki keragaman sedang. Keanekaragaman jenis disuatu daerah tidak hanya
ditentukan oleh banyaknya individu dari setiap jenis Soerianegara (1996).
Populasi Fauna Tanah di Empat Desa Berbeda Area Perkebunan Kelapa
Sawit Rakyat
Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa tiap Desa memiliki jumlah meso
dan makro fauna tanah yang berbeda-beda. Secara umum mesofauna tanah
memiliki kepadatan populasi lebih tinggi daripada makrofauna tanah (Gambar 3
dan 4, Lampiran 2-9).

(b) Pompa Air

3000
2412
2000
1351
1000
485
17

482
32

0

Area
Piringan
Mesofauna

Populasi (individu/m2)

Populasi (individu/m2)

(a) Bungku

Oligochaeta

Mesofauna

1071

1000
186
43

Mesofauna

24
Gawangan
Mati

Makrofauna

Oligochaeta

Populasi (individu/m2)

Populasi (individu/m2)

1999

Area
Piringan

0

765
428
247
8

22
Gawangan
Mati

Makrofauna

Oligochaeta

(d) Singkawang

3000

0

1000

Area
Piringan

(c) Sungkai

1029

1903

2000

Gawangan
Mati

Makrofauna

2000

3000

3000
2000

2594
1603

1000

644

576
17

21
0
Area
Piringan

Mesofauna

Gawangan
Mati

Makrofauna

Oligochaeta

Gambar 3 Populasi fauna tanah area piringan dan gawangan mati perkebunan
kelapa sawit rakyat di empat lokasi yang berbeda: (a) Bungku, (b)
Pompa Air, (c) Sungkai dan (d) Singkawang.

12

(b) Pompa Air

3000
2000

1960

1804

1000

710
257
4

0

Area
Serasah
Mesofauna

44

Populasi (individu/m2)

Populasi (individu/m2)

(a) Bungku

Makrofauna

Oligochaeta

1503

757

500
40

26
0
Area
Serasah

Mesofauna

Lapisan
Tanah

Makrofauna

972
626

1000
0

346
0
Area
Serasah

Mesofauna

Oligochaeta

Populasi (individu/m2)

Populasi (individu/m2)

1000

1358

31
Lapisan
tanah

Makrofauna

Oligochaeta

(d) Singkawang

3000

1525

2000

Lapisan
Tanah

(c) Sungkai
2000

3000

3000
2221

1976

2000

950

1000
0

271
3
Area
serasah

Mesofauna

35
Lapisan
Tanah

Makrofauna

Oligochaeta

Gambar 4 Populasi fauna tanah area serasah dan lapisan tanah perkebunan kelapa
sawit rakyat di empat lokasi yang berbeda: (a) Bungku, (b) Pompa Air,
(c) Sungkai dan (d) Singkawang.

Populasi mesofauna dan makrofauna tertinggi berada pada area gawangan
mati, sedangkan populasi terendah berada pada area piringan. Hal ini dikarenakan
kehidupan fauna tanah sangat bergantung pada tersedianya bahan organik berupa
serasah atau lainnya yang terdapat di permukaan tanah (Suhardjono 1998). Di sisi
lain kehidupan fauna tanah sangat bergantung pada habitatnya, karena keberadaan
dan kepadatan populasi suatu jenis fauna tanah di suatu tempat sangat ditentukan
oleh keadaan tempat itu sendiri (Suin 2006). Fauna tanah memiliki beberapa
fungsi trofik, dan pemisahan kelompok fauna tersebut berdasarkan ukuran tertentu
menunjukkan pentingnya komposisi biota tanah dalam mengendalikan tingkat
dekomposisi bahan organik (Bradford et al. 2002). Penelitian Xin et al. (2012)
juga menunjukkan bahwa fauna tanah memliliki kontribusi penting untuk proses

13
dekomposisi bahan organik pada tanah berpasir, namun kontribusi tersebut
berbeda sesuai dengan ukuran tubuh yang dimiliki oleh fauna. Xin mendapatkan
kesimpulan mengenai dampak dari interaksi antara makrofauna dan mesofauna
dalam proses dekomposisi bahan organik. Berdasarkan ukuran tubuhnya fauna
tanah dibedakan menjadi mikrofauna (ukuran tubuh 20 mm) (Drift 1951). Perubahan komposisi penghuni
tanah akan mempengaruhi proses dekomposisi (Verhoef dan Brussaard 1990) dan
metabolisme nutrisi (Setälä et al. 1996) melalui perubahan lingkungan global
(Jones et al. 1998).
Makrofauna tanah mempunyai peranan penting dalam dekomposisi bahan
organik tanah seperti penyediaan unsur hara. Secara khusus, makrofauna tanah
seperti isopoda, kaki seribu,cacing tanah, dan gastropoda adalah fauna terpenting
dalam proses dekomposisi serasah pada area hutan (Slade dan Riutta 2012).
Makrofauna tanah akan merombak substansi nabati yang mati, kemudian bahan
tersebut dikeluarkan dalam bentuk kotoran. Mikroorganisme tanah memanfaatkan
kembali butiran kotaran tersebut untuk diuraikan lebih lanjut dengan bantuan
enzim spesifik sehingga terjadi proses mineralisasi (Arief 2001). Makrofauna
permukaan tanah memerlukan bahan organik sebagai sumber energi dan makanan,
serta tempat berlindung (Foth 1994). Penelitian Frouz et al. (2015) menunjukkan
bahwa laju dekomposisi serasah daun secara signifikan lebih cepat daripada
dekomposisi kotoran makrofauna yang dihasilkan dari sampah yang sama.
Keberadaan mesofauna tanah sangat bergantung pada ketersediaan energi
dan sumber makanan untuk melangsungkan hidupnya, seperti bahan organik dan
biomassa hidup yang semuanya berkaitan dengan aliran siklus karbon dalam
tanah. Ketersediaan energi dan hara dapat merangsang perkembangan dan
aktivitas mesofauna tanah sehingga dapat memberikan dampak positif terhadap
kesuburan tanah. Peran utama dari mesofauna dalam proses dekomposisi ialah
mengatur populasi mikroba dan meremah kembali kotoran dari makrofauna tanah
(Swift et al, 1979). Xin et al. (2012) juga menunjukkan bahwa mesofauna
memainkan peran utama dalam dekomposisi serasah. Mesofauna seperti Acari dan
Collembola memakan tanaman, kotoran hewan, memakan jamur dan bakteri pada
rumput dan meghasilkan butiran feses, mikroarthopoda ini juga membantu
pembentukan humus tanah dan membantu dalam meningkatkan beberapa proses
tanah seperti dekomposisi bahan organik, siklus nutrisi dan pembentukan tanah
(Vu dan Nguyen 2000). Sebagai komponen organisme yang dominan, Acari dan
Collembola baik digunakan sebagai indikator kesehatan tanah (Widyastuti 2005).
Hubungan Antara Sifat Kimia Tanah dengan Populasi Fauna Tanah
Data pH, kadar air, kandungan C-organik tanah (%), kandungan N-total
(%) dan rasio karbon dan nitrogen (C/N) diperoleh dari pengukuran contoh tanah
komposit dari lapisan atas tanah area perkebunan kelapa sawit rakyat kecamatan
Bajubang Provinsi Jambi ( Tabel 4).

14
Tabel 4 Sifat tanah pada lokasi penelitian
Lokasi
Area piringan
Gawangan Mati

pH
4,97
5,09

KA (%)

C-Organik (%)

N-Total (%)

1,76
2,59

0,11
0,16

26,83
32,73

C/N Rasio
15,83
15,74

Area piringan memiliki nilai C/N rasio lebih tinggi daripada gawangan mati,
tetapi pH (potensial hidrogen), kadar air, C-Organik dan N-Total pada area
piringan lebih rendah daripada gawangan mati. Untuk melihat pengaruh sifat
tanah terhadap ordo fauna tanah, dilakukan uji korelasi (Tabel 5).
Tabel 5 Hasil uji korelasi antara sifat tanah dengan ordo fauna tanah
Ordo
Acari
Collembola
Hymenoptera
Isopoda
Diptera
Coleoptera
Araneae
Dermaptera
Diplura
Symphyla
Lithobiomorpha
Geophilomorpha
Pseudoscorpiones
Isoptera
Diplopoda
Pauropoda
Protura
Orthoptera
Hemiptera
Homoptera
Tsysanoptera
Oligochaeta
Pscoptera
Blattodea

pH
0,31
0,79
-0,24
0,94
-0,64
0,55
0,74
0,17
0,45
-0,59
0,37
0,37
0,83
0,86
0,84
0,43
0,14
0,47
0,66
0,36
-0,48
0,93
0,35
0,46

Kadar air
0,58
0,92
-0,32
0,79
-0,58
0,92
0,83
0,39
0,78
-0,36
0,18
0,09
0,93
0,49
0,87
0,64
0,51
0,19
0,92
-0,23
-0,66
0,78
0,52
0,51

C-Organik
0,62
0,98
-0,18
0,87
-0,44
0,84
0,94
0,53
0,8
-0,43
0,39
0,28
0,96
0,59
0,96
0,74
0,56
0,18
0,91
-0,07
-0,68
0,81
0,29
0,7

N-Total
0,67
0,99
-0,17
0,7
-0,3
0,93
0,96
0,67
0,9
-0,27
0,26
0,21
0,96
0,43
0,96
0,82
0,73
-0,07
0,97
-0,21
-0,69
0,71
0,18
0,74

C/N rasio
-0,22
-0,11
-0,06
0,55
-0,48
-0,36
-0,11
-0,53
-0,39
-0,59
0,42
0,16
-0,04
0,51
-0,07
-0,31
-0,65
0,92
-0,26
0,47
0,11
0,3
0,41
-0,15

Keterangan : Nilai dengan warna merah menunjukkan korelasi signifikan pada taraf 5 %. Nilai
dengan tanda (+) menunjukkan korelasi positif sedangkan tanda (-) menunjukkan
korelasi negatif

15
Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa Isopoda, Psudoscorpiones, Isoptera,
Diplopoda dan Oligochaeta secara signifikan berkorelasi positif terhadap pH tanah
dengan nilai korelasi masing-masing 0,94; 0,83; 0,86; 0,84 dan 0,93. Collembola,
Coleoptera, Araneae, Pseudoscorpiones, Diplopoda dan Hemiptera secara
signifikan berkorelasi positif terhadap kadar air dengan nilai korelasi masingmasing 0,92; 0,92; 0,83; 0,93; 0,87 dan 0,92. C-Organik tanah (%) secara
signifikan berkorelasi positif dengan ordo Collembola, Isopoda, Coleoptera,
Araneae, Pseudoscorpiones, Diplopoda, Hemiptera dan Oligochaeta dengan nilai
korelasi masing-masing 0,98; 0,87; 0,84; 0,94; 0,96; 0,96; 0,91 dan 0,81. N-Total
tanah (%) juga secara signifikan berkorelasi positif terhadap ordo Collembola,
Coleoptera Araneae, Pseudoscorpiones, Diplopoda dana Hemiptera dengan nilai
korelasi masig-masing 0,99; 0,93; 0,93; 0,96; 0,96; 0,96 dan 0,97. Untuk kadar
C/N rasio, hanya ordo Orthoptera yang memiliki korelasi signifikan yakni dengan
nilai 0,92 (Tabel 5). Dari hasil analisis korelasi di atas dapat dilihat bahwa
meningkatnya nilai pH, kadar air, C-Organik dan N-Total akan diikuti oleh
meningkatnya populasi fauna tanah. Namun hubungan korelasi tersebut memiliki
batas nilai tertentu. Korelasi bernilai -1 hingga +1.
Secara umum dapat dilihat bahwa fauna tanah lebih menyukai area yang
lembab serta mengandung banyak bahan organik sebagai sumber makanan bagi
fauna tanah. Suin (1997) mengatakan bahwa bahan organik tanaman sangat
menentukan kepadatan fauna tanah. Selain itu, pada umumnya apabila bahan
asalnya merupakan campuran dari berbagai macam bahan tanaman, maka proses
penguraiannya relatif lebih cepat daripada bahan-bahan yang berasal dari
tanaman-tanaman sejenis, sehingga semakin beragam bahan organik yang
diberikan semakin cepat perurainnya dan semakin lama proses penguraian bahan
organik akan mempertahankan fauna tanah untuk tetap tinggal. Sebagai contoh
Collembola yang merupakan kelompok perombak bahan organik tanah maka
Collembola menyukai tempat yang lembab dengan kandungan bahan organik
cukup (Fatimah dan Suhardjono 2012).
Iswandi (1990) menyebutkan bahwa cacing tanah menyukai habitat yang
lembab. Mereka memerlukan bahan organik dan akan hidup baik di daerah yang
dapat menyediakan banyak bahan organik (Soepardi 1983), cacing tanah juga
dapat menurunkan rasio C/N (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertanian 2008), Semut (Hymenoptera) lebih menyukai tanah
dengan kandungan bahan organik tinggi dibandingkan tanah dengan bahan
organik rendah. Selain kadar air, C-organik dan N-total, Potensial hidrogen (pH)
tanah menentukan komposisi dan jenis fauna (Suin 1997). Pengukuran pH tanah
sangat penting dalam menentukan mudah tidaknya unsur hara diserap oleh
tanaman, menunjukan adanya unsur-unsur beracun dan mudah larut pada tanah
masam, di samping itu pH tanah juga dapat mempengaruhi perkembangan
organisme tanah (Hardjowigeno 2010), seperti cacing tanah sangat sensitif
terhadap kemasaman tanah (Iswandi 1990). Tingkat kemasaman (pH) yang cocok
berhubungan erat dengan proses dekomposisi pada ekosistem dimana tanaman ini
hidup.
Suin (2006) menyebutkan bahwa ada fauna tanah yang hidup pada tanah
yang memiliki pH asam sampai basa. Untuk jenis Collembola yang memilih hidup

16
pada tanah yang asam disebut dengan Collembola golongan asidofil, yang
memilih hidup pada tanah yang basa disebut dengan Collembola golongan
kalsinofil, sedangkan yang dapat hidup pada tanah asam dan basa disebut
Collembola golongan indifferen. Fauna tanah merupakan bagian dari ekosistem
tanah, oleh karena itu dalam mempelajari ekologi fauna tanah perlu
dipertimbangkan faktor kimia dan fisika tanahnya (Suin 2006).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Fauna tanah di Perkebunan kelapa sawit rakyat Kecamatan Bajubang
Provinsi Jambi teridentifikasi sebanyak 24 ordo. Jenis fauna tanah yang
mendominasi adalah Acari dan Collembola. Populasi fauna tanah ditemukan lebih
tinggi di area gawangan mati dibandingkan area piringan. Hal ini dikarenakan
pada area gawangan mati mengandung banyak bahan organik yang berfungsi
sebagai sumber makanan bagi fauna tanah, sedangkan berdasarkan lapisan
kepadatan populasi tertinggi berada di lapisan tanah dibandingkan area serasah.
Hasil analisis dengan Shannon’s diversity index menunjukkan bahwa area
serasah pada area piringan dan gawangan mati memiliki indeks keanekaragaman
1,4 dan 1,2 yang berarti keragamannya rendah. Lapisan tanah pada area piringan
dan gawangan mati memiliki indeks sebesar 1,6 dan 1,7 yang berarti
keragamannya sedang. Kadar air, pH, C-organik dan N-total secara signifikan
berkorelasi positif terhadap beberapa ordo fauna tanah.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh curah hujan,
suhu tanah dan sifat kimia tanah yang meliputi unsur makro dan mikro dan sifat
fisika tanah terhadap populasi fauna tanah di area perkebunan kelapa sawit.
DAFTAR PUSTAKA
Anas I. 1990. Metode Penelitian Cacing Tanah dan Nematoda. Departemen
Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan. Fakultas Pertanian: Institut Pertanian
Bogor.
Arief A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Yogyakarta: Kanisius.
Ashford OS, Foster WA, Turner BL, Sayer EJ, Sutcliffe L and Tanner EVJ. 2013.
Litter manipulation and the soil arthropod community in a lowland tropical
rainforest. Soil Biol Biochem. 62:5-12.
[Balittanah] Balai Penelitian Tanah. 2005. Petunjuk Teknis Analisis Kimia Tanah,
Tanaman, Air, dan Pupuk. Bogor (ID): Balittanah.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. 2008.
Pemanfaatan biota tanah untuk keberlanjutan produktivitas pertanian lahan

17
kering masam. Tim Sintesis Kebijakan. Pengembangan Inovasi Pertanian.
1(2): 157-163.
Bardget RD and Chan KF. 1999. Experimental evidence that soil fauna enhance
nutrient mineralization and plant nutrient uptake in montane grassland
ecosystems. Soil Biol Biochem. 3: 1007-1014.
Bradford MA, Tordoff GM, Eggers T, Jones TH and Newington JE. 2002.
Microbiota, fauna, and mesh size interactions in litter decomposition.
Oikos. 99:317-323.
Borror DJ, Triplehorn CA and Johnson NF. 1992. Pengenalan Pelajaran
Serangga. Edisi Ke-6. Partosoedjono S, penerjemah. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press. Terjemahan dari: An Introduction to The Study of
Insect.
Borror DJ, Charles AT and Norman FJ. 1996. Pengenalan pelajaran Serangga.
Partosoedjono S, penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press . Terjemahan dari : An Introduction to Study of Insect.
Coleman DC, Crossley DA and Hendrix PF. 2004. Fundamentals of Soil
Ecology. 2nd Edition. New York: Elsevier Academic Press.
Cholik FE dan Suhardjono YR. 2012. Collembola Permukaan Tanah Kebun
Karet, Lampung. Jurnal Fauna Tropika. 21(2): 17-22.
Crossley Jr. DA, Mueller BR and Perdue JC. 1992. Biodiversity of microarthopds
in agricultural soil: relations to processes. Agric. Ecosyst. Environ. 40: 3746.
[Dirjenbun] Direktorat Jendral Perkebunan. 2013. Statistik Perkebunan di
Indonesia. Jakarta (ID) : Dirjen Perkebunan.
Drift JVD. 1951. Analysis of the animal community in a beech forest floor.
Tijdschr. woome. 94:1-68
Eppinga MB, Kaproth MA, Collins AR and Molofsky J. 2011. Litter feedbacks,
evolutionary change and exotic plant invasion. Ecol. 99 : 503-514.
Evans GO. 1992. Principles of Acarology. Cambridge: CAB Interational.
Fauzi Y, Widiastuti YE, Setyawibawa I dan Hartono R. 2002. Kelapa Sawit,
Budidaya, Pemanfaatan Hasil dan Limbah, Analisis dan Pemasaran.
Jakarta: Penebar Swadaya.
Foth DH. 1994. Dasar-dasar Ilmu Tanah (diterjemahkan oleh Soenartono
Adisoemarto). Jakarta: Erlangga.
Frouz J, Roubíckova A, Hedenec P and Tajovský K. 2015. Do soil fauna really
hasten litter decomposition? A meta-analysis of enclosure studies.
European Journal of Soil Biol. 68:18-24.
Gobat JM, Aragno M and Matthey W. 2004. The Living Soil : Fundamentals
of Soil Science and Soil Biology. New York: Science Publishers Inc.
Hardjowigeno S. 2010. Ilmu Tanah. Jakarta: Akademika Pressindo.
Holldobler B and Wilson EO. 1990. The Ants. Springer–Verlag. Berlin,
Heidelberg, London, Paris, Tokyo & Hongkong: Harvard University Press.
Jones TH, Thompson LJ, Lawton JH, Bezemer TM, Bardgett RD, Blackburn TM,
Bruce KD, Cannon PF, Hall GS, Hartley SE, Howson G, Jones CG,
Kampichler C, Kandeler E and Ritchie DA. 1998. Impacts of rising

18
atmospheric carbon dioxide on model terrestrial ecosystems. Science. 280:
441-443.
Lavelle P and Spain AV. 2001. Soil Ecology. Kluwer Acad. Pub!. Dordrecht.
Magurran AE. 2004. Measuring Biological Diversity. Maiden (US): Blackwell
Scientific. P 1-17
Maraun M and Scheu S. 1996. Changes in microbial biomass, respiration and
nutrient status of beech (Fagus sylvatica) leaf litter processed by
millipedes (Glomeris marginata). Oecology. 107: 131–140.
Ma’shum MJ, Soedarsono dan Susilowati LE. 2003. Biologi Tanah. CPIU Pasca
IAEUP, Bagpro Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia. Direktorat
Jendral Pendidikan Tinggi. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Meyer E. 1996. Endogeic Macrofauna. Di dalam: Schimer FRO, Kandeler E,
Margesin R, editor. Methods in Soil Biology. Berlin (DE): Springer-Verlag.
Nuril H, Naiola BP, Sambas E, Syarif F, Sudiana M, Rahajoe JS, Suciatmih,
Juhaeti T dan Suhardjono YR. 1999. Perubahan Bioekofisik Lahan Bekas
Penambangan Emas di Jampang dan Metoda Pendekatannya Untuk Upaya
Reklamasi. Laporan Teknik Proyek Penelitian, Pengembangan dan
Pendayagunaan Potensi Wilayah, tahun 1998-1999. Puslitbang Biologi
LIPI.
Pahan I. 2008. Panduan Lengkap Kelapa Sawit: Manajemen Agribisnis dari Hulu
hingga Hilir. Jakarta: Penebar Swadaya.
Paoletti MG, Pimentel D, Stinner BR dan Stinner D. 1992. Agroecosystem
Biodiversity: Matching production and conservation biology. Agric.
Ecosyst. Environ. 40: 3-23.
[Pemkab Batanghari] Pemerintah Kabupaten Batanghari. 2013. Kabupaten
Batanghari [Internet]. [diacu 2015 September 7]. Tersedia dari
http:www.batangharikab.go.id/bat/
Poeloengan Z, Fadli ML, Winarna S, Ruhutomo dan Sutarta ES. 2003.
Permasalahan Pemupukan pada Perkebunan Kelapa Sawit: 67-80.
Prayitno S, Didik I dan Bambang HS. 2008. Oil Palm (Elaeis Guineensis Jacq)
Productivity Which Is Fertilized With Empty Fruit Bunches And Palm Oil
Mill Effluent. Ilmu Pertanian .15: 37 – 48.
Reddy MV. 1999. Management of Tropical Agroecosystem and The Beneficial
Soil Biota. New Hampshire: Science Publishers Inc.
Richards BN. 1974. Introduction to the Soil Ecosystem. Longman Inc. New York.
Terrestrial Ecosystem. Longman: New York.
Sayer EJ, Sutcliffe LME, Ross RIC and Tanner EVJ. 2010. Arthropod abundance
and diversity in a lowland tropical forest floor in Panama: the role of
habitat space vs. nutrient concentrations. Biotropica 42: 194-200.
Setälä H, Marshall VG and Trofymow JA. 1996. Influence of body size of soil
fauna on litter decomposition and 15N uptake by poplar in a pot trial. Soil
Biol Biochem. 28: 1661-1675.
Slade EM and Riutta T. 2012. Interacting effects of leaf litter species and
macrofauna on decomposition in different litter environments, Basic Appl.
Ecol. 13: 423-431.
Smith VC and Bradford MA. 2003. Litter quality impacts on grassland litter

19
decomposition are differently dependent on soil fauna across time. Applied
Soil Ecol. 24:197–203.
Soepardi G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Departemen Tanah, Fakultas Pertanian.
Bogor: IPB.
Soerianegara I. 1996. Ekologi, Ekologisme, dan Pengolahan Sumber Daya Hutan.
Bogor. Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan: Institut Pertanian
Bogor.
Subba Rao NS. 1981. Biofertilizer in agriculture. New Delhi Bombay: Oxford and
IBH Publishing Co.
Suhardjono YR dan Adisoemarto S. 1997. Arthropoda Tanah dan Artinya bagi
Tanah. Makalah dalam Kongres dan Simposium Entomologi V, Bandung
24-26 Juni 1997. Perhimpunan Entomologi Indonesia.
Suhardjono YR. 1998. Serangga Serasah: Keanekaragaman Takson dan
perannya di Kebun Raya bogor. Biota.3(1): 16-24.
Suin NM. 2006. Ekologi Hewan Tanah. Jakarta: Bumi Aksara.
Swift MJ, Heal OW and Anderson JM. 1979. Decomposition in Terrestrial
Ecosystems. Berkele