Peran agroindustri dalam perekonomian wilayah Provinsi Lampung: analisis keterkaitan antarsektor dan aglomerasi industri

(1)

PERAN AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN

WILAYAH PROVINSI LAMPUNG:

ANALISIS KETERKAITAN ANTARSEKTOR DAN

AGLOMERASI INDUSTRI

DISERTASI

MUHAMMAD IRFAN AFFANDI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala penyataan dalam disertasi saya yang berjudul :

“PERAN AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN WILAYAH PROVINSI LAMPUNG: ANALISIS KETERKAITAN ANTARSEKTOR

DAN AGLOMERASI INDUSTRI”

merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Seluruh sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Februari 2009

Muhammad Irfan Affandi NRP. A161020051


(3)

MUHAMMAD IRFAN AFFANDI. The Roles of Agroindustry in the Regional Economy of Lampung Province: Analysis of Intersectoral Linkages and Agglomeration of Industries. (D.S. PRIYARSONO as Chairman, MANGARA TAMBUNAN and BONAR M. SINAGA as Members of Advisory Committee).

The objectives of this study are to analyze intersectoral linkages among agroindustry in the regional economy of Lampung Province, to identify the existence of spatial concentration and agglomeration of agroindustry, to analyze agglomeration economies in the agroindustrial sectors, and to analyze some policies that are potentially improve the roles of agroindustry in the regional economy.

This study used data of provincial Input-Output Table of 2000 and 2005 aggregated into 26 sectors (12 agroindustrial sectors and 14 non agroindustrial sectors) and results of Medium and Large Industrial Survey 1998-2005. In addition, it used indices to measure the size of agglomeration. It utilized also Cobb-Douglas production function to measure the agglomeration economies. Some policy simulations were analyzed to identify the effects of changes of final demand on sectoral outputs, income, and labor.

The results show that in terms of linkages and multipliers of sectoral output, income, and labor, agroindustrial sectors have the biggest roles in the regional economy. The sectors also boost the other sectors’ growth. They have strong backward as well as forward linkages that are greater than those of other sectors.

Most agroindustrial sectors are concentrated in one or few districts/municipalities. These concentrations significantly effect the production outputs. Most economies of localization and urbanization exist in the agroindustrial sectors.

The combined policies of increasing government expenditure, investment, and export that are proportionally allocated to all of the agglomerated agroindustrial sectors result in the greatest positive change of sectoral output, households’ income, and labors absorption. The impact of economic policy on the agglomerated agroindustrial sectors are greater than that of similar policy that are applied to non agglomerated agroindustrial sectors.


(4)

MUHAMMAD IRFAN AFFANDI. Peran Agroindustri dalam Perekonomian Wilayah Provinsi Lampung: Analisis Keterkaitan Antarsektor dan Aglomerasi Industri. (D.S. PRIYARSONO sebagai Ketua, MANGARA TAMBUNAN dan BONAR M. SINAGA sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi potensial untuk pengembangan agroindustri di luar Jawa. Berdasarkan Tabel Input-Output Provinsi Lampung Tahun 2005, peringkat terbesar dalam kontribusi output sektoral adalah sektor agroindustri. Sektor agroindustri menyumbang sekitar 28% output daerah atau senilai Rp 22 156 435 juta, memiliki kontribusi sekitar 12% dari total PDRB Provinsi Lampung dalam kurun waktu tahun 2001-2004,dan menyerap sekitar 77% tenaga kerja yang bekerja di lapangan usaha industri dalam kurun waktu tahun 2000-2005. Berdasarkan kontribusi output dan penyerapan tenaga kerja, agroindustri berperan sebagai leading sector sehingga pengembangan agroindustri di Provinsi Lampung memiliki arti yang sangat strategis.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keterkaitan sektor agroindustri dalam perekonomian wilayah, mengidentifikasi terjadinya konsentrasi spasial dan aglomerasi pada sektor agroindustri, menganalisis penghematan aglomerasi sektor agroindustri, dan menganalisis dampak kebijakan ekonomi yang berpotensi meningkatkan peran agroindustri dalam perekonomian wilayah.

Analisis data menggunakan Tabel Input-Output Provinsi Lampung Tahun 2000 dan 2005 yang diagregasi ke dalam 26 sektor (12 sektor agroindustri dan 14 sektor non agroindustri) dan hasil Survei Industri Sedang dan Besar Tahun 1988- 2005. Selain itu, analisis data menggunakan indeks-indeks untuk mengetahui kekuatan aglomerasi dan analisis fungsi produksi Cobb-Douglas untuk mengetahui besarnya agglomeration economies. Simulasi kebijakan di sektor agroindustri dilanjutkan untuk mengetahui dampak perubahan permintaan akhir terhadap output sektoral, pendapatan dan tenaga kerja.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditinjau dari nilai keterkaitan dan pengganda output sektoral, pendapatan dan tenaga kerja sektor agroindustri mempunyai peran terbesar dalam perekonomian wilayah dan mendorong


(5)

belakang dan ke depan lebih besar dibandingkan sektor non agroindustri.

Sebagian besar agroindustri berkonsentrasi pada satu atau beberapa kabupaten/kota yang berdekatan. Ada pengaruh nyata dari subsektor-subsektor agroindustri yang beraglomerasi terhadap output produksi. Penghematan akibat lokalisasi (localization economies) dan penghematan akibat urbanisasi

(urbanization economies) pada setiap subsektor agroindustri sebagian besar

memberikan pengaruh positif terhadap output produksi.

Kebijakan ekonomi sektor agroindustri di Provinsi Lampung yang mempunyai dampak paling besar terhadap perubahan output sektoral, pendapatan rumah tangga, dan penyerapan tenaga kerja adalah kebijakan gabungan peningkatan pengeluaran pemerintah, investasi, dan ekspor yang dialokasikan pada semua sektor agroindustri yang beraglomerasi secara proporsional. Dampak kebijakan ekonomi terhadap sektor-sektor agroindustri yang beraglomerasi lebih besar daripada dampak kebijakan ekonomi sektor-sektor agroindustri yang tidak beraglomerasi.

Pengembangan agroindustri disarankan untuk memperhatikan konsentrasi dan spesialisasi industri, daya dorong yang menyebabkan terjadinya aglomerasi, dan promosi pengembangan ekonomi daerah melalui aglomerasi industri. Pengembangan agroindustri yang beraglomerasi hendaknya didukung oleh kebijaksanaan fiskal guna pengembangan produktivitas dan pembangunan infrastruktur (penataan ruang kawasan industri, sarana transportasi, pengendalian pencemaran dan lainnya). Infrastruktur yang diperlukan untuk peningkatan ekspor adalah sarana transportasi, komunikasi dan pelabuhan ekspor yang memadai bagi transportasi komoditas agroindustri.

Penelitian lanjutan disarankan untuk menganalisis keterkaitan antar industri antar wilayah dengan membangun Tabel Input-Output Interregional antar kabupaten/kota atau antar provinsi, dan penelitian tentang aglomerasi dengan model simultan yang menggambarkan hubungan antar produksi industri yang beraglomerasi, pendapatan regional, pengeluaran pemerintah, investasi dan ekspor.


(6)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumber

a.Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,

penulisankarya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(7)

WILAYAH PROVINSI LAMPUNG:

ANALISIS KETERKAITAN ANTARSEKTOR DAN

AGLOMERASI INDUSTRI

Oleh:

MUHAMMAD

IRFAN

AFFANDI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(8)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Muhammad Firdaus, M.Si

Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. Bustanul Arifin, M.Sc Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec


(9)

WILAYAH PROVINSI LAMPUNG: ANALISIS KETERKAITAN ANTARSEKTOR DAN

AGLOMERASI

INDUSTRI

Nama Mahasiswa : Muhammad Irfan Affandi Nomor Pokok : A161020051

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. D.S. Priyarsono, MS Ketua

Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, M.Sc Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Anggota Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS Tanggal Ujian: 29 Oktober 2008 Tanggal Lulus :


(10)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkah, rahmat dan hidayah-Nya, sehingga disertasi yang berjudul "Peran Agroindustri dalam Perekonomian Wilayah Provinsi Lampung: Analisis Keterkaitan Antarsektor dan Aglomerasi Industri" dapat diselesaikan. Tulisan ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis secara tulus mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya dan penghormatan yang setinggi-tingginya kepada Dr. Ir. D.S. Priyarsono, MS, Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, M.Sc., dan Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA. selaku Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing, yang telah memberikan arahan dan bimbingan terutama mengenai pemodelan, pengolahan data, penyajian dan konsistensi dalam penyusunan disertasi, serta dorongan semangat untuk mempercepat penyelesaian studi. Terima kasih pula kepada Dr. Muhammad Firdaus, M.Si. selaku Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup, serta Prof. Dr. Ir. Bustanul Arifin, M.Sc. dan Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec. selaku Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka atas saran dan masukan yang telah diberikan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor beserta para Dosen di lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, khususnya pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, atas arahan, bimbingan dan ilmu yang diberikan kepada penulis. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Lampung, Dekan Fakultas Pertanian dan Ketua Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk mengikuti Program Doktor di Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ditjen Pendidikan Tinggi Depdiknas, melalui BPPS, yang telah memberikan beasiswa kepada penulis untuk mengikuti Program Doktor di IPB, serta Lembaga Penelitian Universitas Lampung dan Yayasan Dana Mandiri yang telah memberikan bantuan fasilitasi dan dana penelitian disertasi. Tak lupa juga terima kasih kepada teman-teman


(11)

kolega dosen Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung, serta pihak-pihak yang tidak dapat disebut satu persatu.

Terutama untuk kedua orang tuaku Bapak M. Hasyim (almarhum) dan Ibu Hj. Akmaliyah, kedua mertuaku Bapak Abd Rachman (almarhum) dan Ibu Hj. Subaidijah, serta kakak-kakak dan adik-adik atas perhatian dan dorongan semangat. Rasa terimakasih yang tulus penulis sampaikan kepada istri tercinta Dr. Ir. Sussi Astuti, M.Si, ananda Muhammad Riza Darmawan, Safira Nuril Izzah, dan Muhammad Rafi Naufal, yang telah setia dan sabar mendampingi dengan penuh pengertian dan pengorbanan selama penulis mengikuti program doktor ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Amin.

Bogor, Februari 2009


(12)

Penulis dilahirkan di Malang pada tanggal 24 Juli 1964 sebagai anak kelima dari pasangan M. Hasyim dan Hj. Akmaliyah. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang, lulus pada tahun 1987. Pada tahun 1991, penulis melanjutkan studi di Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Program Pascasarjana IPB dan menyelesaikannya pada tahun 1994. Pada tahun 2002, dengan beasiswa BPPS Departemen Pendidikan Nasional, penulis mendapat kesempatan melanjutkan studi program Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana IPB.

Sejak tahun 1989 penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung sampai sekarang. Penulis pernah menjadi Sekretaris Pusat Pengembangan Wilayah LPM Universitas Lampung Tahun 1998-2003 dan Ketua Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Lampung Tahun 2001-2002, serta aktif dalam kegiatan perencanaan tata ruang wilayah. Sebagian hasil penelitian disertasi penulis diseminarkan pada :

1. Seminar The IRSA 1st International Institute di ITB Bandung

The Impacts of Agro Industry Development on The Regional Economic

Growth And Employment In Province of Lampung

2. Seminar Internasional IRSA 2008 di Univertsitas Sriwijaya Palembang

Improving Regional Economic Development Through Promoting Agglomeration Economies: The Case of Agroindustry in Lampung, Sumatra

Dua artikel jurnal dari sebagian disertasi yang sudah diterbitkan yaitu :

1. Peranan Agroindustri Dalam Perekonomian Provinsi Lampung: Analisis dengan Pendekatan Tabel Input-Output

Jurnal Media Ekonomi Universitas Trisakti Volume 13 Nomor 2 Agustus 2007.

2. Aglomerasi dan Pengembangan Klaster Industri Guna Meningkatkan Daya Saing Jurnal Ekonomi Universitas Tarumanegara Tahun XIII No.2 Juli Tahun 2008


(13)

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ………... iv

DAFTAR GAMBAR ……….…… vi

DAFTAR LAMPIRAN ………... vii

I. PENDAHULUAN ………... 1

1.1. Latar Belakang ……….. 1

1.2. Perumusan Masalah ……….. 3

1.3. Tujuan Penelitian ………... 7

1.4. Kegunaan Penelitian ………... 8

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan ………... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA ……… 11

2.1. Aglomerasi ………... 11

2.2. Keterkaitan Antarsektor ………...……….. 19

2.3. Agroindustri, Peran dan Kebijakan ……….. 23

2.4. Klaster Industri dan Kebijakan Pengembangannya ……… 26

2.5. Geografi dan Lokasi Industri ……….. 30

2.6. Teori Lokasi, Kutub Pertumbuhan dan Pengembangan Wilayah ... 33

2.7. Skala Pengembalian ……….………...… 38

2.8. Tinjauan Studi Terdahulu Model I-O dalam Analisis Perekonomian 40 2.9. Tinjauan Studi Terdahulu Aglomerasi Industri …...………... 41

III. KERANGKA TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 46 3.1. Kerangka Teori ………... 46

3.1.1. Tabel Input-Output, Perekonomian dan Industri …………... 46

3.1.2. Konsentrasi Spasial dan Kekuatan Aglomerasi ………….…. 55

3.1.3. Keterkaitan Model Input-Output dan Ekonometrika ………… 63

3.2. Kerangka Pemikiran ………... 65

3.2.1. Peran Agroindustri dalam Perekonomian Wilayah Lampung 65 3.2.2. Konsentrasi Spasial, Klaster dan Kekuatan Aglomerasi ……. 66


(14)

ii

3.2.4. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri terhadap

Perekonomian Wilayah ……… 68

3.3. Hipotesis ………. 71

IV. METODE PENELITIAN ……….……. 72

4.1. Lokasi Penelitian ……….. 72

4.2. Jenis, Sumber dan Pengolahan Data ……….. 72

4.3. Analisis Input-Output ………. 73

4.4. Analisis Konsentrasi Spasial dan Kekuatan Aglomerasi …………... 77

4.5. Analisis Penghematan Aglomerasi ……… 81

4.6. Konstruksi Keterkaitan Input-Output Ekonometrika ………. 83

4.7. Analisis Simulasi ……….... 85

V. KETERKAITAN AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN WILAYAH PROPINSI LAMPUNG ……….……. 90

5.1. Kontribusi Agroindustri dalam Perekonomian di Provinsi Lampung 90 5.1.1. Struktur Output ……….……..….. 90

5.1.2. Struktur Nilai Tambah Bruto ……… 91

5.2. Keterkaitan Antarsektor Agroindustri dengan Sektor Ekonomi Lainnya ……….……….. 92

5.2.1. Keterkaitan Antarsektor ke Belakang ………...….……. 92

5.2.2. Keterkaitan Antarsektor ke Depan ……….………. 95

5.2.3. Kombinasi Keterkaitan Antarsektor ……….….. 99

5.2.4. Penelusuran Keterkaitan ke Depan dan ke Belakang ….….... 101

5.3. Pengganda Sektor Agroindustri ………..…………... 103

5.3.1. Pengganda Output ………..……... 103

5.3.2. Pengganda Pendapatan Rumah Tangga ……….. 107

5.3.3. Pengganda Tenaga Kerja ………...………... 109

VI. KONSENTRASI SPASIAL DAN PENGHEMATAN AGLOMERASI AGROINDUSTRI ………. 114

6.1. Konsentrasi Spasial ………...……… 114

6.2. Kekuatan Aglomerasi ……… ... 118

6.3. Sumber-sumber Aglomerasi ………….……… 125 6.4. Penghematan Akibat Aglomerasi dan Produktivitas Agoindustri di


(15)

iii

Provinsi Lampung ……… 129

6.4.1. Hasil Pengujian Statistik Model ……… 129

6.4.2. Produktivitas Agroindustri di Provinsi Lampung …………. 131

6.4.3. Penghematan Akibat Aglomerasi Agoindustri ………. 133

VII. DAMPAK KEBIJAKAN DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP PEREKONOMIAN PROVINSI LAMPUNG ……….….. 144

7.1. Output Sektoral ……… 144

7.2. Pendapatan Rumah Tangga ……….. 150

7.3. Kesempatan Kerja ………. 154

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN ……….….. 159

8.1. Kesimpulan ……….………... 159

8.2. Impikasi Kebijakan ……….………... 161

8.3. Saran Penelitian Lanjutan ……….…….……….. 162

DAFTAR PUSTAKA ………...……….………... 164


(16)

iv

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Implikasi Aglomerasi Berkat Skala dan Keanekaragaman …...….… 15 2. Contoh Penelitian Aglomerasi yang Menggunakan Ekonometrika/OLS 42 3. Contoh Penelitian Aglomerasi yang Menggunakan Tabel Input-Output 44 4. Contoh Penelitian Aglomerasi yang Menggunakan Indeks …………. 45 5. Model dasar Tabel Input-Output ……….………… 48 6. Nama dan Kode Sektor berdasarkan Agregasi Sektor Tabel Input-Output

Provinsi Lampung ……….……….……. 75

7. Klasifikasi Subyek Agroindustri berdasarkan Tabel I-O dan KBLI …… 84 8. Output Sektor Agroindustri di Provinsi Lampung Tahun 2000 dan

Tahun 2005 ……….………...…….……… 91

9. Keterkaitan ke Belakang Agroindustri dengan Sektor Lain di Provinsi

Lampung Tahun 2000 dan Tahun 2005 ………...…….………. 94 10. Keterkaitan ke depan Agroindustri dengan Sektor Lain di Provinsi

Lampung Tahun 2000 dan Tahun 2005 ………...…….………. 96 11. Kombinasi Keterkaitan Antarsektor Ekonomi di Provinsi Lampung

Tahun 2005 ………...……...…….……….. 99 12. Penelusuran Keterkaitan ke Belakang Sektor Agroindustri Provinsi

Lampung Tahun 2005 …...….…….. 102 13. Penelusuran Keterkaitan ke Depan Sektor Agroindustri Provinsi

Lampung Tahun 2005 ...….…...….... 103 14. Pengganda Output Sektor Agroindustri di Provinsi Lampung Tahun

2000 dan Tahun 2005 ……….…...…….……… 105 15. Pengganda Pendapatan Tahun 2000 dan Tahun 2005 ………... 108 16. Pengganda Tenaga Kerja Sektor Agroindustri ………...………... 110 17. Rekapitulasi Peringkat Keterkaitan dan Pengganda Sektor Agroindustri Tahun 2005 …...……....……….... 111


(17)

v

18. Indeks Gini Lokasional Sektor Agroindustri di Provinsi Lampung …. 115 19. Indeks Spesialisasi Krugman (KSpec) Sektor Agroindustri di Provinsi

Lampung ……….………....………... 116 20. Indeks Ellison-Glaeser (γEG) Sektor Agroindustri Provinsi Lampung 118 21. Penetapan Klaster Agroindustri di Provinsi Lampung ……...……….. 124 22. Sumber-sumber Aglomerasi Sektor Agroindustri di Provinsi

Lampung ……….……….…… 126 23. Koefisien Produksi pada Agroindustri di Provinsi Lampung ... 132 24. Koefisien Akibat Aglomerasi pada Agroindustri di Provinsi Lampung 134 25. Dampak Kebijakan Ekonomi Tunggal di Sektor Agroindustri

Provinsi Lampung terhadap Output Sektoral Tahun 2005 ……….…… 146 26. Dampak Kebijakan Ekonomi Gabungan di Sektor Agroindustri

Provinsi Lampung terhadap Output Sektoral Tahun 2005 ……….…… 151 27. Dampak Kebijakan Ekonomi Tunggal di Sektor Agroindustri

Provinsi Lampung terhadap Pendapatan Rumah Tangga Sektoral

Tahun 2005 ……….……….……….……... 152 28. Dampak Kebijakan Ekonomi Gabungan di Sektor Agroindustri

Provinsi Lampung terhadap Pendapatan Rumah Tangga Sektoral

Tahun 2005 ……….……….……….……. 155 29. Dampak Kebijakan Ekonomi Tunggal di Sektor Agroindustri

Provinsi Lampung terhadap Kesempatan Kerja Sektoral Tahun 2005 156 30. Dampak Kebijakan Ekonomi Gabungan di Sektor Agroindustri

Provinsi Lampung terhadap Kesempatan Kerja Sektoral Tahun 2005 161


(18)

vi

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Perkembangan Pemikiran tentang Aglomerasi …….……....….….……. 12

2. Pertumbuhan Jalur Seimbang dan Tidak Seimbang …....…….…….…... 22

3. Skala Pengembalian ………….………….…...……...… 40

4. Strategi Model Integrasi I-O dan Ekonometrika …….…...….……....… 64

5. Kerangka Pemikiran Penelitian ……….……….…….……....…... 70

6. Kerangka Operasional Penelitian ……….……….…..……....….. 87


(19)

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Tabel Input-Output Provinsi Lampung Tahun 2000 ……….……….… 171 2. Tabel Input-Output Provinsi Lampung Tahun 2005 ……….……….… 176 3. Kontribusi Output Sektor Ekonomi Provinsi Lampung Tahun 2000

dan 2005 …...…….……….………….……….………….... 182 4. Lokasi Pengembangan Klaster Industri Agro …...…….… 183

5. Kontribusi Industri Pengolahan dalam PDRB Propinsi Lampung Atas

Dasar Harga yang Berlaku …...…….……….………….……….….... 184 6. Perkembangan Ekspor Industri di Provinsi Lampung Tahun 2001-2005 185 7. Perkembangan Indikator Makro Ekonomi Provinsi Lampung Tahun

2000-2005 ……….……….………….……….…………....…….….... 186 8. Peta Penyebaran Industri Provinsi Lampung….…………... 187 9. Metode Pembaharuan Data …….……….……….…………. 188 10. Keterkaitan ke Belakang Sektor Agroindustri dengan Sektor Lain

di Provinsi Lampung Tahun 2000 dan 2005 ….…………....……... 191 11. Keterkaitan ke Depan Sektor Agroindustri dengan Sektor Lain

di Provinsi Lampung Tahun 2000 dan 2005 ….…………....……... 192 12. Pangsa Keterkaitan ke Belakang Sektor Agroindustri di Provinsi

Lampung Tahun 2005 ……….………….……….…………....…….… 193 13. Pangsa Keterkaitan ke Depan Sektor Agroindustri di Provinsi

Lampung Tahun 2005 ……….………….……….…………....…….… 194 14. Daya Sebar dan Derajat Kepekaan Sektor Ekonomi di Provinsi

Lampung Tahun 2005 ….……….……….……….…... 196 15. Pengganda Output Sektor Ekonomi di Provinsi Lampung Tahun 2000

dan 2005 ……….………….……….…………....…….…….………… 197 16. Pengganda Pendapatan Sektor Ekonomi di Provinsi Lampung Tahun

2000 dan 2005 ….……….……….……….…………... 198 17. Pengganda Kesempatan Kerja Sektor Ekonomi di Provinsi Lampung


(20)

viii

18. Rekapitulasi Peringkat Keterkaitan dan Pengganda Sektor Ekonomi

Tahun 2000 ….……….……….……….…………... 200 19. Rekapitulasi Peringkat Keterkaitan dan Pengganda Sektor Ekonomi

Tahun 2005 ….……….……….……….…………... 201 20. PDRB Sektor Agroindustri Provinsi Lampung Tahun 2000 (jutaan

rupiah) ……….……….………….……….…………....…….…... 202 21. PDRB Sektor Agroindustri Provinsi Lampung Tahun 2005 (jutaan

rupiah) ……….……….………….……….…………....…….…... 203 22. Nilai LQ Sektor Agroindustri Kabupaten/ Kota di Provinsi Lampung

Tahun 2000 ……….……….………….……….…………....…….…... 204 23. Nilai LQ Sektor Agroindustri Kabupaten/ Kota di Provinsi Lampung

Tahun 2005 ……….……….………….……….…………....…….….... 205 24. Peta Rencana Sistem Pelayanan Perkotaan Provinsi Lampung... 206 25. Direktori Industri Sedang dan Besar Provinsi Lampung Tahun 2005 207 26. Tingkat Pendidikan Pekerja Sektor Agroindustri di Provinsi Lampung

Tahun 1997 ….……….……….……….…………... 215 27. Hasil Estimasi Model dan Statistik t Tabel .……….………….... 216 28. Alternatif Kebijakan Ekonomi Tunggal di Sektor Agroindustri

Provinsi Lampung terhadap Output Sektoral Tahun 2005 .…………. 221 29. Alternatif Kebijakan Ekonomi Tunggal di Sektor Agroindustri

Provinsi Lampung terhadap Pendapatan Rumah Tangga Tahun 2005 223

30. Alternatif Kebijakan Ekonomi Tunggal di Sektor Agroindustri

Provinsi Lampung terhadap Kesempatan Kerja Tahun 2005 .………. 225 31. Alternatif Kebijakan Ekonomi Gabungan di Sektor Agroindustri

Provinsi Lampung terhadap Output Sektoral Tahun 2005 .…………. 227 32. Alternatif Kebijakan Ekonomi Gabungan di Sektor Agroindustri

Provinsi Lampung terhadap Pendapatan Rumah Tangga Sektoral

Tahun 2005 ……….……….……….…………... 229 33. Alternatif Kebijakan Ekonomi Gabungan di Sektor Agroindustri


(21)

1.1. Latar Belakang

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2004-2009 di Sektor Industri Manufaktur, Pemerintah Pusat memprioritaskan pengembangan agroindustri. Prioritas tersebut bertujuan untuk meningkatkan perekonomian wilayah, khususnya di luar Jawa. Rencana tersebut beralasan karena agroindustri merupakan subsektor industri yang selama ini memberikan kontribusi besar dalam penyerapan tenaga kerja dan ekspor non migas. Pengembangan agroindustri pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan nilai tambah sektor pertanian.

Krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 telah memberikan pengaruh yang besar terhadap perekonomian Indonesia pada tahun 1998. Krisis ekonomi yang diawali oleh turunnya nilai rupiah terhadap US dollar menyebabkan semakin mahalnya harga barang-barang impor. Hal ini pada gilirannya menyebabkan semakin meningkatnya biaya produksi yang harus ditanggung oleh produsen dalam negeri, yang banyak menggantungkan produksi melalui ketersediaan bahan baku impor. Krisis ekonomi yang berkepanjangan tersebut menyebabkan output menjadi berkurang sehingga mengakibatkan penurunan produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada tahun 1998. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun tersebut mengalami kontraksi sekitar -13.1%, yang mengakibatkan banyak sektor ekonomi terpuruk, terutama industri dan konstruksi.

Menurut Departemen Perindustrian (2005), perekonomian Indonesia mulai mengarah pada pemulihan krisis ekonomi yang tercermin dari membaiknya kondisi ekonomi makro dengan indikator terkendalinya inflasi, stabilnya nilai tukar terhadap nilai mata uang asing khususnya dolar Amerika Serikat, rendahnya suku bunga bank dan sebagainya. Sejalan dengan kemajuan itu, sektor industripun mengalami


(22)

perbaikan kinerja, baik dalam hal pertumbuhan, kontribusi, maupun peranannya. Meskipun ada perbaikan yang cukup berarti, harus diakui bahwa peran sektor industri dalam ekonomi nasional, serta sektor riil lainnya masih lebih rendah dibandingkan dengan kondisi sebelum krisis.

Herjanto (2003) menyebutkan bahwa sebelum terjadi krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997, perkembangan jumlah unit usaha, tenaga kerja, nilai produksi, nilai investasi dan nilai ekspor agroindustri menunjukkan peningkatan yang cukup menggembirakan. Dari jumlah unit usaha, pada tahun 1995 tercatat sebanyak 2 068 unit usaha sedangkan pada tahun 1997 telah mencapai 2 416 unit usaha atau naik rata-rata 8.41% pertahun. Penyerapan tenaga kerja juga mengalami peningkatan, apabila pada tahun 1995 sebesar 817 466 orang, pada tahun 1997 telah mencapai 971 896 orang. Perkembangan ekspor juga menunjukkan peningkatan yang tajam. Pada tahun 1995 nilai ekspor tercatat sebesar US$ 1.65 milyar, pada tahun 1997 telah mencapai US$ 2.39 milyar atau mengalami pertumbuhan rata-rata 20.5% pertahun.

Saat awal krisis ekonomi pada tahun 1997, agroindustri masih bertahan. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat utilitas rata-rata sekitar 75.3%. Setelah krisis melanda Indonesia, terjadi penurunan tingkat utilitas menjadi sekitar 6.9% pada tahun 1998. Nilai ekspor juga mengalami penurunan, di mana pada tahun 1997 nilai ekspor mencapai US$ 2.39 milyar sedangkan tahun 1998 menjadi US$ 1.96 milyar (turun -17.8%). Meskipun demikian, kontribusi sektor agroindustri terhadap perekonomian masih tetap tinggi. Pada tahun 1998, saat pertumbuhan ekonomi negatif, sektor agroindustri menyumbang Rp 39.87 trilyun pada PDB ekonomi atau sebesar 17.56% dari kontribusi sektor industri pengolahan non-migas.

Pada tahun 2000 sumbangan sektor agroindustri terhadap PDB ekonomi mencapai Rp 51.5 trilyun. Kelompok industri berbasis hasil pertanian (skala


(23)

menengah besar) berjumlah 2 190 unit usaha dengan nilai investasi sebesar Rp 27 trilyun. Nilai produksi mencapai Rp 39.1 trilyun dan total ekspor mencapai US$ 3 milyar. Sedangkan untuk skala kecil menengah berjumlah lebih dari 545 000 unit usaha dengan nilai produksi mencapai Rp 12.5 trilyun dan nilai investasi sebesar Rp 2.97 trilyun, serta total ekspor sebesar US$ 112.5 juta.

Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi potensial untuk pengembangan agroindustri di luar Jawa. Besarnya potensi tersebut dapat dilihat dari kontribusi agroindustri terhadap output sektoral dalam perekonomian wilayah Lampung. Berdasarkan Lampiran 1, 2 dan 3 yang merupakan data Tabel Input-Output Provinsi Lampung Tahun 2000 dan 2005, peringkat terbesar dalam kontribusi output sektoral adalah sektor-sektor dalam kelompok agroindustri. Sektor-sektor agroindustri tersebut menyumbang sekitar 28% output daerah, dimana persentase ini lebih besar dibandingkan sektor pertanian.

Jika dibandingkan dengan sektor produksi primer (perkebunan, padi, perikanan, peternakan dan kehutanan), perolehan output dan nilai tambah pada sektor agroindustri tersebut sangat besar. Sektor agroindustri memberikan sumbangan sekitar 50% terhadap ekspor non migas Provinsi Lampung selama tahun 2001-2005 (lihat Lampiran 6 dan 7). Pada tahun 2001 nilai ekspor industri hasil pertanian mencapai US $ 245 812.64 ribu. Nilai ekspor komoditas ini terus bergerak naik hingga mencapai US $ 586 216.46 ribu pada tahun 2005.

1.2. Perumusan Masalah

Kebijakan dalam pembangunan industri manufaktur diarahkan untuk menjawab tantangan globalisasi ekonomi dunia serta mampu mengantisipasi perkembangan perubahan lingkungan yang cepat. Persaingan internasional merupakan suatu perspektif baru bagi semua negara, sehingga fokus dari strategi


(24)

pembangunan industri di masa depan adalah membangun daya saing industri manufaktur yang berkelanjutan di pasar internasional.

Untuk membangun daya saing yang berkelanjutan, upaya pemanfaatan seluruh potensi sumber daya yang dimiliki bangsa serta kemampuan untuk memanfaatkan peluang-peluang yang ada di luar maupun di dalam negeri harus dilakukan secara optimal. Oleh karena itu, daya saing yang berkelanjutan tersebut terletak pada upaya menggerakkan dan mengorganisasikan seluruh potensi sumber daya produktif untuk menghasilkan produk inovatif yang lebih murah, lebih baik, dan lebih mudah diperoleh dalam rangka pemenuhan kebutuhan dan permintaan pasar.

Menurut Pandjaitan (2000), dalam rangka untuk meningkatkan daya saing industri, diperlukan pengelompokan industri yang saling berhubungan secara intensif, dan merupakan aglomerasi perusahaan-perusahaan yang membentuk kemitraan. Pentingnya perhatian tentang aglomerasi, berkait dengan sejumlah argumen bahwa aglomerasi muncul karena pelaku ekonomi berupaya mendapatkan penghematan aglomerasi baik karena lokasi perusahaan (localization economies), maupun urbanisasi (urbanization economies) (Kuncoro, 2000). Hal ini sejalan dengan pemikiran O’Sullivan (2000) bahwa kedua macam penghematan ekonomi tersebut merupakan konsentrasi ekonomi secara spasial. Kedua macam penghematan ini, yang sering disebut agglomeration economies, secara implisit memperlihatkan hubungan antara industrialisasi dan urbanisasi dalam proses pembangunan. Penghematan akibat lokalisasi terjadi apabila biaya produksi perusahaan pada suatu industri menurun ketika produksi total dari industri tersebut meningkat. Dengan berlokasi di dekat perusahaan lain dalam industri yang sama,

suatu perusahaan dapat menikmati beberapa manfaat. Tiga tipe agglomeration


(25)

economies (O’Sullivan, 2000; Capello, 2007). Fujita et al. (1999) menyatakan terjadinya aglomerasi didasari oleh pentingnya hasil yang meningkat akibat skala ekonomi, biaya transportasi, serta keterkaitan ke belakang dan ke depan yang besar.

Penghematan lokalisasi yang berkaitan dengan perusahaan-perusahaan yang memiliki aktifitas dan berhubungan satu sama lain, telah memunculkan fenomena klaster industri, atau sering disebut industrial clusters atau industrial districts. Klaster industri pada dasarnya merupakan kelompok aktivitas produksi yang amat terkonsentrasi secara spasial dan biasanya berspesialisasi pada hanya satu atau dua industri. Menurut Markusen (1996), aglomerasi industri merupakan kumpulan klaster-klaster industri.

Keterkaitan aglomerasi industri dengan kebijaksanaan industri nasional adalah kebijakan persebaran lokasi industri melalui penguatan klaster industri. Kebijakan klaster industri secara formal tercantum dalam Undang-undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas), dinyatakan bahwa dalam rangka konsolidasi pembangunan sektor primer, sekunder dan tersier, termasuk persebaran pembangunan sektor-sektor tersebut dapat ditempuh melalui klaster industri. Klaster industri merupakan bentukan organisasi yang paling sesuai guna menjawab tantangan globalisasi. Kebijakan ini dilanjutkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) Tahun 2004-2009 yang berkaitan dengan sektor industri (Bappenas, 2005).

Dalam Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) Tahun 2004-2009, disebutkan bahwa peningkatan daya saing industri manufaktur dilakukan melalui penguatan klaster. Klaster-klaster tersebut tersebut adalah (1) industri makanan dan minuman, (2) industri pengolahan hasil laut, (3) industri tekstil dan produk tekstil, (4) industri alas kaki, (5) industri kelapa sawit, (6) industri barang kayu (termasuk rotan dan


(26)

bambu), (7) industri karet dan barang karet, (8) industri pulp dan kertas, (9) industri mesin listrik dan peralatan listrik, serta (10) industri petrokimia. Kriteria penentuan klaster adalah berdasarkan peranan industri terhadap (1) penyerapan tenaga kerja, (2) pemenuhan kebutuhan dasar dalam negeri, (3) pengolahan hasil pertanian dan sumberdaya alam, (4) potensi pengembangan ekspor, serta (5) terkait dengan industri masa depan.

Menurut Departemen Perindustrian (2005), industri masa depan adalah industri-industri yang mempunyai daya saing tinggi, didasarkan pada besarnya potensi sumberdaya alam, kemampuan atau daya kreasi dan ketrampilan, serta profesionalisme sumberdaya manusia. Industri masa depan sebagai industri yang pengembangannya diprioritaskan pada masa yang akan datang, meliputi: (1) industri berbasis agro, (2) industri alat angkut, serta (3) industri teknologi informasi dan peralatan telekomunikasi (telematika). Pengembangan industri berbasis agro (agroindustri) dilakukan melalui pendekatan klaster. Lokasi pengembangan klaster agroindustri dapat dilihat pada Lampiran 4.

Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi potensial untuk pengembangan agroindustri di luar Jawa dan lokasi utama klaster agroindustri. Berdasarkan Lampiran 5 diketahui bahwa agroindustri di Provinsi Lampung memiliki kontribusi yang besar dalam PDRB dan penyerapan tenaga kerja. Dari lampiran tersebut terlihat bahwa agroindustri menyumbang sekitar 12% dari total PDRB Provinsi Lampung dalam kurun waktu tahun 2000-2004 dan menyerap sekitar 75% dari tenaga kerja yang bekerja di lapangan usaha industri dalam kurun waktu tahun 2000-2005. Berdasarkan kontribusi output dan penyerapan tenaga

kerja, agroindustri berperan sebagai leading sector sehingga pengembangan

agroindustri di Provinsi Lampung memiliki arti yang sangat strategis. Salah satu syarat tercapainya transformasi struktural dari pertanian ke industri adalah adanya


(27)

keterkaitan antara pertanian dan industri yang tangguh. Dengan demikian, penelitian keterkaitan antarsektor agroindustri di Provinsi Lampung diperlukan untuk melihat peran agroindustri sebagai leading sector menuju tercapainya transformasi struktural dari pertanian ke industri.

Aglomerasi agroindustri di Provinsi Lampung terjadi karena posisi Provinsi Lampung dekat dengan kawasan Jabotabek sebagai daerah pemasaran, dan dekat dengan sumber bahan baku (lihat Lampiran 8). Oleh karena itu, diperlukan penelitian tentang aglomerasi industri dan peranannya dalam perekonomian Provinsi Lampung. Analisis peranan agroindustri dalam perekonomian wilayah dilakukan agar target agroindustri dalam meningkatkan output, pendapatan dan penyerapan tenaga kerja wilayah memberikan kontribusi yang besar.

Dari latar belakang dan gambaran kondisi agroindustri di Provinsi Lampung, maka ada beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana keterkaitan antarsektor agroindustri terhadap sektor-sektor lain dalam perekonomian wilayah?

2. Apakah terjadi konsentrasi spasial dan aglomerasi pada sektor-sektor

agroindustri di Provinsi Lampung?

3. Apakah aglomerasi menimbulkan penghematan (agglomeration economies)

dalam produksi sektor agroindustri?

4. Kebijakan ekonomi apakah yang berpotensi meningkatkan peran sektor

agroindustri dalam perekonomian wilayah?

1.3. Tujuan Penelitian

Secara lebih spesifik, tujuan penelitian adalah :

1. Menganalisis keterkaitan sektor agroindustri dalam perekonomian wilayah. 2. Mengidentifikasi terjadinya konsentrasi spasial dan aglomerasi pada sektor


(28)

3. Menganalisis penghematan aglomerasi (agglomeration economies) dalam sektor agroindustri.

4. Menganalisis dampak kebijakan ekonomi di sektor agroindustri dalam

perekonomian wilayah.

1.4. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat :

1. Memberikan kontribusi bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam

pengambilan keputusan guna mengoptimalkan peranan agroindustri dalam perekonomian Provinsi Lampung melalui pendekatan aglomerasi, keterkaitan dan kontribusi agroindustri dalam output, pendapatan, dan tenaga kerja.

2. Memperkaya khasanah pengetahuan tentang ekonomi pembangunan, ekonomi

pertanian, geografi ekonomi, ekonomi regional, ekonomi publik, dan perencanaan wilayah.

3. Sebagai bahan referensi bagi penelitian lanjutan yang lebih mendalam.

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan

Penelitian ini mengkaji dampak eksternalitas aglomerasi dan peran agroindustri dalam perekonomian wilayah Provinsi Lampung dengan ruang lingkup dan keterbatasan sebagai berikut :

1. Penelitian ini meliputi langkah-langkah berikut: (1) pengkajian struktur ekonomi wilayah, (2) pembaharuan data (updating) Tabel Input-Output Tahun 2000 ke Tahun 2005, (3) pengkajian keterkaitan ke belakang dan ke depan, serta dampak pengganda agroindustri, (4) pengkajian besarnya konsentrasi spasial dan kekuatan aglomerasi, (5) pengkajian faktor-faktor penentu penyebab tumbuhnya penghematan akibat aglomerasi agroindustri (agglomeration economies), (6) pemodelan simulasi/skenario kebijakan, dan (7) perumusan implikasi kebijakan.


(29)

2. Lingkup wilayah penelitian dibatasi pada tingkat makro wilayah Provinsi Lampung dan tidak menganalisis keterkaitan antar wilayah (inter region). Salah satu alat analisis data yang dipergunakan adalah Model Input-Ouput (I-O) sehingga berlaku asumsi-asumsi yang dipergunakan dalam model tersebut. Asumsi-asumsi tersebut adalah : (1) keseluruhan kegiatan ekonomi dibagi habis menurut klasifikasi tertentu ke dalam sektor dan institusi, (2) jumlah penerimaan dan jumlah pengeluaran dari masing-masing sektor/institusi berimbang (adanya prinsip keseimbangan umum), dan (3) distribusi koefisien antar sektor/berlaku konstan.

3. Asumsi yang digunakan dalam analisis input-output yaitu: (1) keseragaman

(homogeneity), yang mensyaratkan bahwa tiap sektor memproduksi suatu output

tunggal dengan struktur input tunggal dan tidak ada substitusi otomatis terhadap input dari output sektor yang berbeda-beda, (2) kesebandingan (proportionality), yang menyatakan hubungan antara input dan output di dalam tiap sektor merupakan fungsi liniar, yaitu jumlah tiap jenis input yang diserap oleh sektor tertentu naik atau turun sebanding dengan kenaikan atau penurunan output dari sektor-sektor tersebut, (3) penjumlahan (additivity), yang berarti bahwa efek total dari kegiatan produksi di berbagai sektor merupakan efek masing-masing kegiatan, dan (4) ekses kapasitas atau kapasitas sumberdaya berlebih. Artinya sisi penawaran selalu dapat merespon perubahan sisi permintaan dan penawaran tidak pernah menimbulkan kesenjangan antara keduanya. Konsekuensinya harga-harga tidak pernah berubah atau harga tetap (fixed price) dan bersifat eksogen.

4. Tidak membangun Tabel Input-Output Interregional antar kabupaten/kota


(30)

5. Analisis pengaruh penghematan akibat aglomerasi (agglomeration economies) agroindustri dibatasi pada maanfaatnya bagi produksi atau output industri besar dan sedang karena berhubungan dengan konfigurasi spasial dan keterbatasan data.

6. Analisis konsentrasi spasial dan kekuatan aglomerasi sektor agroindustri dibatasi pada unit spasial kabupaten atau kabupaten yang berdekatan (co-location).

7. Analisis knowledge spillovers dibatasi pada tingkat pendidikan pekerja,


(31)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Aglomerasi

Montgomery (1988) mendefinisikan aglomerasi sebagai konsentrasi spasial dari aktivitas ekonomi di kawasan perkotaan karena penghematan akibat lokasi yang berdekatan (economies of proximity), yang diasosasikan dengan klaster spasial dari perusahaan, para pekerja, dan konsumen. Markusen (1996) menyatakan bahwa aglomerasi merupakan suatu lokasi yang "tidak mudah berubah" akibat adanya penghematan eksternal yang terbuka bagi semua perusahaan yang letaknya berdekatan dengan perusahaan lain dan penyedia jasa-jasa, dan bukan akibat kalkulasi perusahaan atau para pekerja secara individual. Aglomerasi merupakan kumpulan klaster-klaster industri. Namun suatu klaster, atau superklaster di Brazil, atau bahkan kumpulan klaster tidak dapat diidentikkan dengan suatu kota. Nama-nama populer seperti Silicon Valley di AS atau Sinos Valley di Brazil menunjukkan bentuk-bentuk geografis yang berbeda. Negara Bagian Minnesota juga merupakan aglomerasi industri dari masing-masing bagian wilayah yang berspesialisasi yaitu Twin Cities untuk industri jasa, Southeast Minnesota untuk industri mesin, Southwest Minnesota untuk industri peralatan pertanian, Northwest Minnesota untuk industri pengolahan hasil pertanian, dan Northeast Minnesota untukindustri hasil hutan dan rekreasi(Munnich, 2005).

Perkembangan konsep dan pemikiran tentang aglomerasi dapat dirangkum dalam Gambar 1. Gambar tersebut memperlihatkan bahwa setiap studi atau teori mengenai aglomerasi dapat digolongkan dalam perspektif klasik atau moderen. Ditinjau dari perspektif klasik, aglomerasi merupakan suatu bentuk spasial dan diasosiasikan dengan konsep "penghematan akibat aglomerasi" (economies of


(32)

meletakkan dasar-dasar model mikro mengenai eksternalitas akibat skala ekonomis (Kuncoro, 2000).

Sumber: Kuncoro (2000)

Gambar 1. Perkembangan Pemikiran tentang Aglomerasi

Jalur pemikiran tersebut dikembangkan dengan berbagai studi empiris yang mencoba menganalisis dan mengestimasi besarnya skala ekonomis. Sementara itu, para ahli ekonomi regional mendefinisikan kota sebagai hasil dari produksi aglomerasi secara spasial. Hal ini pada gilirannya mendorong tumbuhnya literatur mengenai formasi kota.

Menurut Hoover (1985), penghematan aglomerasi adalah penghematan yang terjadi akibat terkonsentrasinya aktivitas ekonomi secara spasial. Penghematan tersebut dapat terjadi dalam industri yang sama atau beberapa industri yang berbeda.

KLASIK Penghematan Eksternal Formasi Perkotaan Eksterna-litas Dinamis Pertumbuhan Kota Biaya Transaksi Lokalisasi vs Urbanisasi Marshall- Arrow Romer

Jacobs Central Place

vs Network System Increasing return (Penghematan akibat skala)

Knowledge spill over akibat keanekaragaman Ketergantungan skala vs netralitas Minimisasi biaya transaksi akibat skala AGLOMERASI MODERN


(33)

Hoover (1985) menyatakan bahwa ada 2 macam penghematan akibat aglomerasi, yaitu penghematan lokalisasi dan penghematan urbanisasi. Penghematan lokalisasi terjadi karena konsentrasi spasial dalam industri yang sama, meliputi penghematan transfer yang terjadi pada keseluruhan perusahaan dalam industri dan saling terkait satu sama lain. Hal ini menyebabkan penurunan biaya produksi perusahaan pada suatu industri ketika produksi total dari industri tersebut meningkat (economies of

scale). Penghematan urbanisasi terjadi apabila industri-industri pada suatu wilayah

terasosiasi dan terakumulasi dalam berbagai tingkatan aktivitas ekonomi secara keseluruhan. Penghematan urbanisasi mendorong terciptanya pendukung dari aktivitas ekonomi secara keseluruhan dan menciptakan keuntungan secara kumulatif bagi seluruh industri.

Berdasarkan Pemikiran Hoover tentang localization economies dan

urbanization economies, Glaeser et al. (1992) mengklasifikasikan dua macam

knowledge spillovers, yaitu intraindustry spillovers dan interindustry spillovers.

Intraindustry spillovers adalah knowledge spillovers yang terjadi pada suatu industri

yang dikembangkan berdasarkan pemikiran Romer. Sedangkan interindustry

spillovers, yang dikembangkan oleh Jacob, merupakan knowledge spillovers yang

terjadi antar industri yang berkaitan dalam suatu lokasi.

Jacob (1969) mengembangkan pemikiran Hoover tentang penghematan urbanisasi. Jacob menyatakan bahwa terjadi ekternalitas positif antar industri berupa

interindustry spillovers yang biasa disebut sebagai Jacobs externalities sebagai

dampak terkonsentrasinya dan terasosiasinya industri-industri pada suatu wilayah. Henderson (1994) melengkapi pemikiran Jacob dan menyatakan bahwa penelitian dan pengembangan (R&D) berpengaruh positif terhadap Jacobs externalities.

Perspektif moderen menunjukkan beberapa kritik terhadap teori Klasik mengenai aglomerasi. Pada konteks ini, tiga jalur pemikiran dapat diidentifikasi.


(34)

Pertama, teori-teori baru mengenai eksternalitas dinamis (dynamic externalities). Kedua, mahzab pertumbuhan perkotaan. Ketiga, paradigma berbasis biaya transaksi. Dalam kaitannya dengan aglomerasi, sebagian besar ekonom mendefinisikan kota sebagai hasil dari proses produksi aglomerasi secara spasial. Quigley (1998) mengidentifikasi empat macam pemikiran studi aglomerasi dan yang diidentifikasi menjadi empat periode evolusi pemikiran. Periode pertama, yaitu beberapa dasawarsa setelah Perang Dunia I, fokus analisis adalah pada faktor-faktor yang mempengaruhi lokasi perusahaan dan rumah tangga dalam suatu kota. Pada periode kedua, yang dimulai pada pertengahan dasawarsa 1960-an, kebanyakan studi mencoba menjelaskan daya tarik lokasi kawasan perkotaan. Periode ketiga muncul dari analisis yang intensif mengenai kota-kota utama di AS dan memperkenalkan konsep eksternalitas, yang muncul akibat skala ekonomis.

Menurut Quigley (1998), saat ini kita berada dalam pertengahan periode keempat dalam mencoba memahami perekonomian kota. Pada periode ini, kota digunakan untuk menganalisis hakikat dan sebab-sebab pertumbuhan ekonomi. Kebanyakan analisis aglomerasi secara implisit mengasumsikan bahwa formasi dan perkembangan kota dapat dipahami bila mekanisme konsentrasi produksi secara spasial telah dimengerti dengan benar.

Kuncoro (2000) menyatakan bahwa aglomerasi tidak selalu memunculkan suatu kota. Perbedaan antara aglomerasi dan kota terutama terletak pada perbedaan

antara kesederhanaan (simplicity) dan kompleksitas. Teori klasik mengenai

aglomerasi berargumen bahwa aglomerasi muncul karena para pelaku ekonomi berupaya mendapatkan penghematan akibat aglomerasi (agglomeration economies), baik karena penghematan akibat lokasi maupun penghematan akibat urbanisasi, dengan mengambil lokasi yang saling berdekatan satu sama lain. Aglomerasi ini mencerminkan adanya sistem interaksi antara pelaku ekonomi yang sama: apakah


(35)

antar perusahaan dalam industri yang sama, antar perusahaan dalam industri yang berbeda, ataupun antar individu, perusahaan dan rumah tangga. Di lain pihak, kota adalah suatu daerah keanekagaman yang menawarkan manfaat kedekatan lokasi konsumen maupun produsen. Beberapa faktor kunci yang memiliki implikasi terhadap skala dan keberagaman kota disajikan pada Tabel 1. Faktor-faktor ini meliputi skala ekonomis, penghematan akibat berbagi input baik dalam proses produksi maupun konsumsi, penurunan biaya transaksi, dan penurunan variabilitas akibat keanekaragaman aktivitas ekonomi.

Tabel 1. Implikasi Aglomerasi Berkat Skala dan Keanekaragaman

Faktor Contoh Argumen Teori

1. Penghematan skala (Scale economies)

ƒ Dalam produksi, di dalam perusahaan

ƒ Dalam konsumsi

Skala pabrik yang lebih besar Barang publik: taman, stadion olah raga

Mills, Dixit Arnott & Stiglizt

2. Berbagi bahan baku (Shared inputs)

ƒ Dalam produksi

ƒ Dalam konsumsi

Perbaikan, akuntansi, hukum, iklan Teater, restoran, kultur tinggi/rendah

Krugman Rivera-Batiz

3. Biaya transaksi (Transaction cost)

ƒ Dalam produksi

ƒ Dalam konsumsi

Kesesuaian pasar tenaga kerja Kawasan perbelanjaan

Heisley & Strange, Acemoglu,

Artle 4. Penghematan statistik

(Statistical economies)

ƒ Dalam produksi

ƒ Dalam konsumsi

Asuransi bagi penganggur Penjualan kembali aset Barang-barang substitusi

David & Rosenbloom Heisley & Strange

Sumber: Quigley (1998)

Pendekatan lain adalah mengaitkan aglomerasi sebagai suatu bentuk spasial dengan konsep "penghematan akibat aglomerasi" melalui konsep eksternalitas. Scott and Storper (1992) membedakan konsep eksternalitas antara: (1) penghematan internal dan eksternal (internal economies dan external economies); dan (2)


(36)

penghematan akibat skala dan cakupan (economies of scale dan economies of

scope).

Penghematan internal adalah suatu pengurangan biaya secara internal di dalam suatu perusahaan atau pabrik. Seberapa jauh pengurangan biaya dapat dicapai pada suatu perusahaan tergantung apakah efisiensi dapat ditingkatkan atau dipertahankan. Beberapa faktor yang berperan dalam pengurangan biaya secara internal meliputi: pembagian kerja (spesialisasi), digantinya tenaga manusia dengan mesin, melakukan subkontrak beberapa aktivitas proses produksi kepada perusahaan lain, dan menjaga titik optimal operasi yang meminimalkan biaya.

Penghematan eksternal merupakan pengurangan biaya yang terjadi akibat aktivitas di luar lingkup perusahaan atau pabrik. Sebagaimana halnya suatu perusahaan dapat mencapai penghematan biaya secara internal dengan memperluas produksi atau meningkatkan efisiensi, suatu atau beberapa industri dapat meraih penghematan eksternal dengan beraglomerasi secara spasial. Penghematan biaya terjadi akibat perusahaan-perusahaan dalam industri yang sama bersaing satu sama lain dalam memperoleh pasar atau konsumen. Penghematan juga terjadi karena adanya tenaga terampil dan bahan baku pada daerah tersebut yang menopang jalannya usaha perusahaan. Manfaat aglomerasi industri diperkuat oleh sarana dan prasarana seperti pendidikan, air, transportasi, dan hiburan, yang memungkinkan adanya penghematan biaya.

Penghematan akibat skala muncul karena perusahaan menambah produksi dengan cara memperbesar pabrik (skala). Penghematan biaya terjadi dengan meningkatkan skala pabrik sehingga biaya produksi per unit dapat ditekan. Ini berbeda dengan penghematan akibat cakupan yang terjadi karena sejumlah aktivitas atau sub-unit usaha secara internal maupun eksternal dapat dilakukan pada saat yang bersamaan sehingga menghemat biaya. Penghematan eksternal maupun


(37)

penghematan skala ekonomis dan cakupan secara khusus berkaitan dengan proses aglomerasi. Penghematan akibat aglomerasi merupakan fungsi dari sejumlah barang-barang konsumsi, variabilitas input antara, dan angkatan kerja (Kuncoro, 2000).

Dewasa ini teori-teori klasik yang dianggap standar ditantang dan disempurnakan oleh tiga jalur paradigma: (1) teori-teori baru mengenai eksternalitas dinamis yang menekankan peranan transfer informasi dan inovasi, (2) paradigma pertumbuhan perkotaan, dan (3) paradigma yang berbasis biaya transaksi.

Teori-teori baru mengenai eskternalitas dinamis percaya bahwa akumulasi informasi pada suatu lokasi tertentu akan meningkatkan produktivitas dan kesempatan kerja. Pendekatan ini menjelaskan secara simultan bagaimana kota-kota terbentuk dan mengapa mereka tumbuh. Berbeda dengan eksternalitas statis, Menurut Henderson et al. (1995) eksternalitas dinamis menekankan pada pentingnya transfer pengetahuan (knowledge spillovers) antar perusahaan dalam suatu industri, yang diperoleh lewat komunikasi yang terus berlangsung antar perusahaan lokal dalam industri yang sama. Porter (1990) membuat argumen yang serupa bahwa pertumbuhan didorong oleh transfer pengetahuan pada industri yang berspesialisasi pada produk tertentu dan terkonsentrasi secara spasial.

Pertumbuhan kota-kota ternyata meliputi berbagai faktor yang lebih kompleks daripada sekedar penghematan akibat aglomerasi. Teori skala kota yang optimal (theories of optimum city size), yang dikaji ulang oleh Fujita and Thisse (2002) menggambarkan ekuilibrium konfigurasi spasial dari aktivitas ekonomi sebagai hasil yang menarik antara kekuatan sentripetal dan sentrifugal. Kekuatan sentripetal (centripetal forces), yang ditunjukkan oleh penghematan aglomerasi, adalah semua kekuatan menarik aktifitas ekonomi ke daerah perkotaan. Kekuatan sentrifugal (centrifugal forces) adalah kebalikan dari kekuatan sentripetal.


(38)

Ronald Coase (Pemenang Hadiah Nobel dalam llmu Ekonomi tahun 1991) merupakan ekonom yang mengembangkan analisis biaya transaksi (ABT). Menurut Coase (1992), untuk melakukan suatu transaksi pasar diperlukan identifikasi dengan siapa seseorang bertransaksi, menginformasikan kepada masyarakat bahwa seseorang ingin berurusan beserta persyaratannya, melakukan negosiasi hingga penawaran, menulis kontrak, melakukan pemeriksaan yang diperlukan untuk meyakinkan bahwa syarat-syarat kontrak telah diikuti, dan seterusnya. Biaya transaksi tidak hanya mempengaruhi penyusunan kontrak tetapi juga mempengaruhi barang dan jasa yang diproduksi. Adanya biaya transaksi akan mendorong munculnya perusahaan.

Sumber-sumber aglomerasi ekonomi terdiri dari spillovers (rembesan) informasi, input lokal tidak diperdagangkan, dan sumber tenaga kerja lokal terlatih (Mccann, 2001; Capello, 2007). Jika beberapa perusahaan pada industri yang sama terkumpul pada lokasi yang sama, ini berimplikasi bahwa pemilik perusahaan relatif mudah dalam mengakses tenaga kerja dari perusahaan lokal lainnya. Tenaga kerja

yang berkumpul pada lokasi yang sama memudahkan rembesan (spillovers)

informasi melalui kontak langsung atau tidak langsung (Cohen, 2005). Pada situasi di mana beberapa perusahaan ada di lokasi yang sama, ada kemungkinan terdapat input lokal tidak diperdagangkan seperti infrastruktur tersebut, dengan cara yang lebih efisien dibandingkan jika perusahaan terdispersi/menyebar. Konsentrasi spasial menurunkan biaya transaksi informasi. Konsentrasi spasial meningkatkan kemungkinan informasi yang tepat akan ditransmisikan, dan ketersediaan tenaga kerja terlatih pada lokasi tersebut relatif lebih banyak dari pada tenaga kerja yang terdispersi.


(39)

2.2. Keterkaitan Antarsektor

Debat ahli ekonomi mengenai pertumbuhan seimbang (balanced growth)

dan tidak seimbang (unbalanced growth) telah memberikan sumbangan bagi studi kuantitatif pola-pola pembangunan. Pendukung pertumbuhan seimbang seperti Nurkse (1953) atau Rosenstein-Rodan (1963) mengargumentasikan bahwa negara harus membanguan berbagai industri secara simultan jika ingin mencapai pertumbuhan berkelanjutan. Tipe pembangunan ini sering disebut sebagai pertumbuhan seimbang pada sisi permintaan, karena pembangunan industri ditentukan oleh permintaan atau pola pengeluaran dari konsumen dan investor. Pertumbuhan seimbang pada sisi penawaran menunjukkan kebutuhan untuk membangun beberapa industri secara bersamaan untuk mencegah kemacetan penawaran.

Salah satu masalah terkait dengan argumen pertumbuhan seimbang berkaitan dengan nasehat suatu negara miskin dengan sedikit atau tanpa industri disarankan untuk membangun beberapa industri secara bersamaan atau terus mengalami stagnasi. Program ini terkadang disebut sebagai big push atau critical

minimum effort. Saran tersebut tidak mendorong negara miskin yang memiliki

beban sumberdaya manajerial dan finansial yang membatasinya untuk mendirikan beberapa pabrik baru.

Dalam pembahasan mengenai pola pembangunan industri, ditunjukkan bahwa sedikit bukti yang menunjukkan bahwa semua negara mengikuti pola tertentu. Beberapa negara memberikan penekanan pada satu industri tertentu, sedangkan negara lain terkonsentrasi pada set industri yang berbeda. Pendukung

pola pertumbuhan tidak seimbang (unbalanced growth), khususnya Hirschman


(40)

pola pembangunan industrial yang berbeda. Suatu negara dapat mengkonsentrasikan energinya hanya pada beberapa sektor pada tahap awal pembangunannya.

Menurut Perkins (2001), pertumbuhan tidak seimbang yang diusulkan oleh Hirschman, tidak berisi cara melepaskan diri dari dilema pertumbuhan seimbang. Hirschman membangun ide pertumbuhan tidak seimbang tertuju bagaimana seharusnya pembangunan berjalan. Konsep sentral dari teori Hirschman (1958) adalah keterkaitan. Industri dikaitkan dengan industri lain dengan cara-cara yang dapat diperhitungkan dalam memutuskan suatu strategi pembangunan. Industri dengan backward linkages menggunakan input dari industri lain. Keterkaitan ke depan terjadi dalam industri yang memproduksi barang yang menjadi input industri lain.

Keterkaitan ke depan dan ke belakang menghasilkan tekanan yang mengawali penciptaan industri baru yang pada gilirannya menciptakan tekanan tambahan dan seterusnya. Tekanan ini dapat berbentuk peluang profit baru bagi pengusaha swasta atau tekanan yang dibangun melalui proses politik agar pemerintah mengambil kebijakan. Investor swasta misalnya memutuskan membangun pabrik tanpa memberikan fasilitas perumahan bagi pekerjanya. Pemerintah mengambil kebijakan untuk membangun infrastruktur dan jalan.

Perkins (2001) menyatakan bahwa meskipun di permukaan pola pembangunan seimbang dan tidak seimbang nampak tidak konsisten satu sama lain, namun dapat dipandang sebagai sisi yang berlawanan dari koin yang sama. Tidak ada pola tunggal dalam industrialisasi yang harus diikuti semua negara. Di sisi lain, analisis kuantitatif menunjukkan bahwa beberapa pola sangat mirip antar kelompok negara. Meskipun negara dengan jumlah perdagangan luar negeri yang besar dapat mengikuti strategi tidak seimbang untuk beberapa lama, suatu negara tidak dapat


(41)

mengandalkan industri yang diinginkannya dan selanjutnya terfokus pada industri tersebut di seluruh tahap pembangunan negara tersebut.

Konsep keterkaitan menunjukkan bahwa ketidakseimbangan yang kaku akan menghasilkan tekanan yang memaksa suatu negara kembali ke jalur pertumbuhan seimbang. Jadi, tujuan mendesaknya adalah derajat keseimbangan dalam program pembangunan. Tetapi perencana memiliki pilihan antara berusaha menjaga keseimbangan melalui proses pembangunan atau terlebih dulu menciptakan ketidakseimbangan dengan pemahaman bahwa tekanan keterkaitan akan memaksanya kembali ke keseimbangan. Pilihan-pilihan tersebut adalah mengikuti jalur pertumbuhan seimbang yang ditunjukkan oleh garis lurus atau pertumbuhan tidak seimbang diperlihatkan ditunjukkan oeh garis kurva, yang dilustrasikan pada Gambar 2.

Saling ketergantungan antar sektor dapat dirumuskan dalam tiga jenis efek keterkaitan, yaitu: (1) efek keterkaitan antar industri (interindustry linkage effect), mengukur efek peningkatan satu unit permintaan akhir (final demand) terhadap tingkat produksi dalam setiap sektor, (2) efek keterkaitan ketenagakerjaan

(employment linkage effect), mengukur penggunaan total tenaga kerja dalam satu

sektor sebagai akibat perubahan satu unit permintaan akhir, dan (3) efek keterkaitan penciptaan pendapatan (income generation linkage effect) mengukur efek perubahan salah satu variabel eksogen dalam permintaan akhir terhadap peningkatan pendapatan (Chenery and Clark, 1959).

Peningkatan satu unit permintaan akhir pada variabel eksogen dapat meningkatkan produksi dalam setiap sektor melalui efek keterkaitan antar industri dan tingkat penyerapan tenaga kerja melalui efek keterkaitan ketenagakerjaan. Peningkatan output dan ketenagakerjaan timbul dari keterkaitan ini, juga dicerminkan oleh penciptaan pendapatan tenaga kerja melalui keterkaitan penciptaan


(42)

pendapatan mendorong peningkatan permintaan barang-barang konsumsi, menginduksi lebih banyak output dan kesempatan kerja.

Gambar 2. Jalur Pertumbuhan Seimbang dan Tidak Seimbang

Menurut Meier (1995), dua mekanisme yang bekerja dalam sektor aktivitas produksi secara langsung adalah pertama, penyediaan input yang menghasilkan permintaan atau backward linkage effects, yaitu setiap aktivitas ekonomi non primer akan mempengaruhi upaya untuk mensuplai melalui produksi domestik input yang diperlukan oleh aktivitas tersebut. Kedua, pemanfaatan output atau forward linkage

effects, yaitu setiap aktivitas yang menurut sifatnya tidak menjadi barang akhir, akan

mempengaruhi usaha untuk memanfaatkan output sebagai input pada aktivitas baru. Pengembangan agroindustri di satu pihak meningkatkan permintaan input

antara (intermediate input) seperti bahan baku tanaman pangan, tanaman

perkebunan, perikanan dan lain-lain yang dipasok oleh sektor pertanian. Hal ini

Output sektor B

Out

p

ut sektor A

Jalur pertumbuhan

tidak seimbang

Jalur pertumbuhan

seimbang

a


(43)

disebut keterkaitan ke belakang (backward linkage). Di pihak lain, sektor agroindustri meningkatkan penawaran output untuk sektor-sektor lain seperti perdagangan dan industri lainnya, di samping ada yang digunakan sendiri oleh agroindustri. Hal ini disebut keterkaitan ke depan (forward linkage). Jadi, kedua aspek ini yang dikenal sebagai efek keterkaitan antar industri (interindustry linkage

effect), yang mengarah ke belakang dan ke depan.

Selain itu, pengembangan sektor agroindustri akan meningkatkan penyediaan kesempatan kerja dan pendapatan rumah tangga, yang selanjutnya meningkatkan permintaan terhadap barang-barang konsumsi yang dihasilkan sektor lain. Keinginan untuk mengkonsumsi barang-bararig tersebut merupakan dorongan untuk meningkatkan produktivitas dan akhirnya meningkatkan tabungan di sektor agroindustri. Hubungan ini dikenal sebagai efek keterkaitan ketenagakerjaan

(employment linkage effect) dari efek keterkaitan penciptaan pendapatan (income

generation linkage effect).

2.3. Agroindustri, Peran dan Kebijakan

Istilah agroindustri tidak dapat dipisahkan dari istilah agribisnis. Keduanya memang menyangkut unsur yang sama, yaitu agro, tetapi memiliki ruang lingkup yang berbeda. Berikut beberapa kutipan yang dapat membedakan keduanya.

Davis dan Golberg dari Harvard University, yang dikenal sebagai pencetus istilah agribisnis, mendefinisikan agribisnis sebagai jumlah total dari semua operasi yang terlibat dalam manufaktur dan distribusi suplai usahatani; aktivasi produksi pada usahatani; dan penyimpanan atau pengolahan dan distribusi komoditas usahatani dan barang-barang dagangan yang dihasilkannya (Herjanto, 2003). Sedangkan, Downey and Erickson (1987) dalam memberikan pengertian tentang agribisnis mencakup semua bisnis dan aktivitas manajemen yang dilakukan perusahaan


(44)

yang memberikan input untuk sektor usahatani, menghasilkan produk usahatani, dan/atau pemrosesan, transport, pembiayaan, penanganan atau pemasaran produk usahatani.

Austin (1992) memberikan definisi agroindustri sebagai suatu usaha yang mengolah bahan-bahan yang berasal dari tanaman dan hewan. Pengolahannya mencakup transformasi dan preservasi melalui perubahan secara fisik dan kimiawi, penyimpanan, pengemasan dan distribusi. Karakteristik pengolahan dan derajat transformasi dapat sangat beragam, mulai dari pembersihan, grading dan pengemasan, pemasakan, pencampuran dan perubahan kimiawi yang menciptakan makanan sayur-sayuran yang berserat.

Hubungan antara sektor pertanian dengan sektor industri dalam agribisnis menurut Sinaga (1998) adalah agribisnis mencakup seluruh kegiatan di sektor pertanian dan sebagian dari sektor industri. Subsektor industri tersebut menghasilkan sarana produksi pertanian dan mengolah hasil-hasil pertanian dan dikenal sebagai agroindustri.

Dari beberapa definisi di atas jelas bahwa agroindustri mempunyai ruang lingkup yang lebih kecil dibandingkan agribisnis. Agroindustri terbatas pada kegiatan pengolahan produk yang berbasiskan pertanian, sedangkan agribisnis mencakup semua kegiatan sejak menyediakan input, membudidayakan, mengolah, menyediakan dana, memasarkan, dan mendistribusikan produk-produk berbasiskan pertanian.

Agroindustri dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu agroindustri hulu

(upstream agrobusiness) yaitu subsektor industri yang menghasilkan sarana

produksi pertanian, dan agroindustri hilir (downstream agrobusiness) yaitu

subsektor industri yang mengolah hasil-hasil pertanian (Sinaga, 1998).

Dalam konsep pembangunan ekonomi, suatu sektor disebut sebagai sektor yang memimpin (a leading sector) jika sektor tersebut memenuhi beberapa kriteria


(45)

sebagai berikut: (1) memiliki pangsa yang besar dalam perekonomian secara keseluruhan, (2) memiliki pertumbuhan dan nilai tambah yang relatif tinggi, serta (3) memiliki keterkaitan ke depan dan ke belakang (forward and backward linkages) yang cukup besar. Kondisi tersebut umumnya dicirikan oleh tingginya elastisitas harga untuk permintaan dan penawaran, elastisitas pendapatan untuk permintaan yang relatif besar, multiplier pendapatan dan kesempatan kerja yang relatif besar, kemampuan menyerap bahan baku dan kemampuan memberikan sumbangan input yang besar, serta memiliki keterkaitan erat dengan sektor ekonomi lain yang juga memiliki pangsa yang relatif besar dalam struktur ekonomi. Berdasarkan pemikiran di atas dan menelaah kondisi yang terjadi di Indonesia, Saragih (1992) melihat bahwa agroindustri dapat berperan sebagai sektor yang memimpin.

Dengan menggunakan pendekatan input-output, Saragih (1996) melakukan kajian peran sektor agroindustri dalam perekonomian Indonesia. Selama periode 1971-1995, pangsa agroindustri terhadap ekspor industri nonmigas mengalami pertumbuhan, demikian pula pangsa terhadap impor juga mengalami peningkatan. Meskipun keduanya mengalami peningkatan, tetapi proporsi ekspor masih lebih besar daripada impor, sehingga selalu menjadi penghasil surplus devisa. Dengan neraca perdagangan yang terus positif, agroindustri tetap menjadi penyumbang terbesar dalam devisa non migas.

Untuk mengukur kinerja ekonomi agroindustri menggunakan tiga kriteria ekonomi: nilai tambah per tenaga kerja, nilai tambah per output, dan nilai tambah per unit input tidak termasuk modal tetap. Agroindustri dapat berperan penting

dalam pertumbuhan ekonomi serta sebagai prime mover dalam industrialisasi

pedesaan. Pernyataan ini didukung oleh hasil penelitian Pryor and Holt (1998) yang menunjukkan bahwa kontribusi agrobisnis dalam perkembangan ekonomi nasional


(46)

(GDP) mencapai 53%, lebih tinggi dari Malaysia, Korea Selatan, Argentina maupun Brazil.

Menurut Rusastra et al. (2005), dalam rangka mewujudkan struktur

perekonomian yang seimbang, kebijakan ekonomi di sektor agroindustri memiliki beberapa sasaran menarik pembangunan sektor pertanian, menciptakan nilai tambah, menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan penerimaan devisa, dan meningkatkan pembagian pendapatan. Agar agroindustri dapat berperan sebagai penggerak utama perekonomian maka harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : berlokasi di pedesaan, terintegrasi vertikal ke bawah, mempunyai kaitan input-output yang besar dengan industri lainnya, dan padat tenaga kerja (Simatupang dan Purwoto, 1990).

2.4. Klaster Industri dan Kebijakan Pengembangannya

Menurut Porter (1998), klaster adalah sekelompok perusahaan dan lembaga terkait yang berdekatan secara geografis, memiliki kemiripan yang mendorong kompetisi serta juga bersifat komplementer. Kedekatan produk dari perusahaan-perusahaan ini pada tahap awal akan memacu kompetisi dan kemudian mendorong adanya spesialisasi dan peningkatan kualitas serta mendorong inovasi dalam diferensiasi pasar. Porter (1998) menggambarkan bahwa klaster merupakan konsentrasi geografis atas berbagai industri yang terkait, penyedia jasa pendukung dan berbagai institusi yang mendukungnya.

Klaster dapat berupa sebuah kawasan tertentu, sebuah kota sampai wilayah yang lebih luas. Bahkan klaster juga berupa sebuah wilayah lintas negara seperti Jerman Selatan dengan wilayah Swiss yang berbahasa Jerman. Kriteria geografisnya terletak pada apakah efisien ekonomis atas jarak tersebut ada dan terwujud dalam berbagai aktivitas bisnis yang menguntungkan atau tidak.


(47)

Porter (1998) berpendapat bahwa klaster disebabkan oleh (1) keunggulan kompetitif, (2) sejarah, dan (3) institusi. Keunggulan kompetitif berkaitan dengan faktor yang berhubungan dengan kondisi penawaran dan permintaan, hubungan industri, dan persaingan lokal yang memberikan keuntungan bagi perusahaan lokal. Sejarah berkaitan dengan faktor yang mendasari industri atau penggunaan teknologi yang menyebabkan keunggulan kompetitif. Institusi adalah kelembagaan formal dan informal yang mempengaruhi pengembangan klaster guna mendukung kreasi, difusi, dan impor pengetahuan.

Proses pembentukan klaster pertama kali diamati oleh Alfred Marshall pada tahun 1919. Marshall mengidentifikasi manfaat dari berkumpulnya perusahaan dalam sebuah ruang geografis tertentu. Karakteristik manfaat ini tidak dinikmati secara pribadi dan mikro oleh sebuah perusahaan serta dapat dinikmati bersama oleh perusahaan lain. Manfaat seperti ini sering juga disebut sebagai economies of

localization.

Menurut Hartarto (2004), fenomena pengklasteran merupakan suatu fenomena yang terjadi sejak permulaan awal industrialisasi. Fenomena ini terjadi dari penenunan kapas di Lancashire dan industri mobil di Detroit sampai industri tekstil di Ahmadabad dan Bombay serta penyamakan kulit di Calcutta dan Arcot.

Markusen (1996) membuat tesis tentang pola klaster industri beradasarkan

studinya di Amerika Serikat. Berdasarkan variabel struktur bisnis dan skala ekonomi, keputusan investasi, jalinan kerjasama dengan pemasok, jaringan kerjasama sesama pengusaha dalam klaster, jaringan kerjasama dengan perusahaan di luar klaster, pasar dan migrasi tenaga kerja, keterkaitan identitas budaya lokal, peranan pemerintahan daerah, dan peranan asosiasi, pola klaster dibedakan menjadi empat distrik yaitu Distrik Marshallian, Distrik Hub & Spoke, Distrik Satelit, dan Distrik State-anchored.


(48)

Kebijakan pengembangan klaster industri di Indonesia secara formal tercantum dalam Program Pembangunan Nasional 1999-2004. Dalam Program Pembangunan Nasional tersebut dijelaskan bahwa dalam rangka mengkonsolidasikan pembangunan sektor-sektor primer, sekunder, dan tersier, termasuk keseimbangan persebaran pembangunannya ditempuh pendekatan klaster industri. Melalui pendekatan ini diharapkan pola keterkaitan antar kegiatan baik di dalam sektor industri sendiri (keterkaitan horisontal) maupun antara sektor industri dengan seluruh jaringan produksi dan distribusi terkait (keterkaitan vertikal) akan dapat secara responsif menjawab tantangan persaingan global yang semakin ketat.

Dipilihnya pendekatan klaster industri didorong oleh pemikiran bahwa berbagai kebijakan yang lalu bersifat parsial dan memberi preferensi lebih pada kegiatan industri tertentu yang cenderung kurang memperhatikan keterkaitan horisontal maupun vertikal, sehingga menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan pada gilirannya justru melemahkan pengembangan klaster dan daya saing nasional.

Berdasarkan RPJM Tahun 2004-2009 dan Kebijakan Menteri Perindustrian 2005-2009, peningkatan daya saing industri manufaktur dilakukan melalui penguatan klaster. Strategi pengembangan industri di masa depan terdiri atas strategi pokok dan strategi operasional. Strategi pokok tersebut meliputi: (1) memperkuat keterkaitan pada semua tingkatan rantai nilai pada klaster dari industri yang bersangkutan, (2) meningkatkan nilai tambah sepanjang rantai nilai, (3) meningkatkan sumber daya yang digunakan industri, dan (4) menumbuh-kembangkan industri kecil dan menengah. Sedangkan untuk strategi operasional terdiri dari: (1) menumbuh-kembangkan lingkungan bisnis yang nyaman dan kondusif, (2) penetapan prioritas industri dan penyebarannya, (3) pengembangan industri dilakukan dengan pendekatan klaster, dan (4) pengembangan kemampuan inovasi teknologi.


(49)

Sesuai dengan permasalahan mendesak yang dihadapi serta terbatasnya kemampuan sumberdaya pemerintah, fokus utama pengembangan industri manufaktur ditetapkan pada beberapa sub-sektor yang memenuhi satu atau lebih kriteria sebagai berikut: (1) menyerap banyak tenaga kerja, (2) memenuhi kebutuhan dasar dalam negeri (seperti makanan-minuman dan obat-obatan), (3) mengolah hasil pertanian dalam arti luas (termasuk perikanan) dan sumber-sumber daya alam lain dalam negeri, dan (4) memiliki potensi pengembangan ekspor. Diturunkan dari keempat kriteria di atas berdasarkan analisis keunggulan komparatif dan kompetitif, prioritas dalam tahun 2005-2009 adalah pada penguatan klaster-klaster: (1) industri makanan dan minuman, (2) industri pengolah hasil laut, (3) industri tekstil dan produk tekstil, (4) industri alas kaki, (5) industri kelapa sawit; (6) industri barang kayu (termasuk rotan dan bambu), (7) industri karet dan barang karet, (8) industri pulp dan kertas, (9) industri mesin listrik dan peralatan listrik, dan (10) industri petrokimia.

Intervensi langsung pemerintah secara fungsional dalam bentuk investasi dan layanan publik diarahkan pada hal-hal di mana mekanisme pasar tidak dapat berlangsung. Dalam tataran ini, aspek tersebut meliputi: (1) pengembangan riset untuk pembaruan dan inovasi teknologi produksi, termasuk pada pengembangan manajemen produksi yang memperhatikan kesinambungan lingkungan dan teknik produksi yang ramah lingkungan (clean production), (2) peningkatan kompetensi dan keterampilan tenaga kerja, (3) layanan informasi pasar produk dan faktor produksi baik di dalam maupun luar negeri, (4) pengembangan fasilitasi untuk memanfaatkan aliran masuk dana asing sebagai potensi sumber alih teknologi dan perluasan pasar ekspor, (5) sarana dan prasarana umum pengendalian mutu dan pengembangan produk, dan (6) prasarana klaster lainnya, terutama dalam mendorong penyebaran industri ke luar Jawa.


(50)

2.5. Geografi dan Lokasi Industri

Aktivitas industri membutuhkan fasilitas fisik, bangunan instalasi permesinan, perlengkapan dan faktor lingkungan kerja. Dari seluruh fasilitas fisik, maka lokasi merupakan faktor penentu sebelum kegiatan tersebut berlangsung. Di samping itu, lokasi menjadi tempat melangsungkan suatu kegiatan dan dapat menentukan atau mempengaruhi hal teknis yang berhubungan dengan kegiatan perusahaan, seperti pengangkutan bahan baku, permesinan dan perlengkapan lainnya, pemasaran dan perlengkapan lainnya

Sejumlah faktor yang ikut menentukan munculnya industri di suatu wilayah, antara lain faktor ekonomis, historis, manusia, politis, dan akhirnya geografis. Menurut Richardson (1977), faktor geografis terdiri atas bahan mentah, sumberdaya tenaga, suplai tenaga kerja, suplai air, pemasaran, dan fasilitas transportasi.

1. Bahan mentah

Tak ada barang dapat dibuat jika tak ada bahan-mentahnya; misalnya untuk industri pensil dibutuhkan tambang grafit dan kayu jenis khusus tentunya. Industri kulit pasti berlatarbelakang daerah peternakan di mana jenis ternak dapat menyediakan kulit yang diperlukan. Industri semen membutuhkan jenis lempung yang mengandung kapur. Selanjutnya masih perlu dipikirkan, bagaimana mengangkut bahan mentah tersebut ke kota yang mempunyai industri tersebut.

2. Sumberdaya tenaga

Sumberdaya tenaga yang diperlukan dalam industri adalah sumberdaya untuk menggerakkan mesin pabrik, yaitu tenaga air atau perlistrikan. Untuk mendatangkan bahan-bahan seperti itu, lokasi pabrik dapat mendekat ke pelabuhan pengimpor bahan tersebut atau mendekat ke lokasi sumber air dan pembangkit listrik.


(1)

Lampiran 32. Lanjutan

(%)

DAMPAK TERHADAP PENDAPATAN RUMAH TANGGA SEKTORAL KEBIJAKAN GANDA KEBIJAKAN GABUNGAN

KEBIJAKAN TIGA AGROINDUSTRI No. SEKTOR

P11 P12 P13 P14 P15 P16 P17 P18

21 Bangunan/Konstruksi 1.2510 1.2919 1.2958 1.2832 1.2067 1.5425 1.2037 1.3889 22 Perdagangan, Hotel &Restoran 14.9952 15.4984 15.5469 15.3916 15.2919 14.6194 14.5487 16.6427 23 Transportasi dan Komunikasi 7.0280 7.4412 7.4810 7.3535 7.1361 6.4486 6.2770 6.6855 24 Lembaga keuangan, persewaan

dan jasa perusahaan 2.7787 2.8118 2.8150 2.8048 2.7946 2.6584 2.7265 2.9665 25 Pemerintahan Umum 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 26 Jasa-jasa dan Lainnya 3.9252 3.9428 3.9445 3.9391 3.8907 4.3005 3.8558 4.0884

Total Dampak 100 100 100 100 100 100 100 100

Persentase Perubahan dari nilai


(2)

Lampiran 33. Alternatif Kebijakan Ekonomi Gabungan di Sektor Agroindustri Provinsi Lampung terhadap Kesempatan Kerja Sektoral Tahun 2005

(%)

DAMPAK TERHADAP KESEMPATAN KERJA SEKTORAL

KEBIJAKAN GANDA KEBIJAKAN GABUNGAN KEBIJAKAN TIGA AGROINDUSTRI No. SEKTOR

P11 P12 P13 P14 P15 P16 P17 P18

1 Tanaman Pangan 35.8285 33.0604 32.7931 33.6491 40.2401 8.7926 33.5132 13.3101 2 Tanaman Perkebunan 27.0509 28.2157 28.3282 27.9680 21.4296 66.2252 27.2005 18.1902 3 Peternakan 6.2878 5.6442 5.5820 5.7811 6.5962 3.1697 9.9087 11.0286 4 Kehutanan 0.1431 0.1420 0.1419 0.1422 0.1444 0.1386 0.1411 0.1291 5 Perikanan 9.0751 11.4324 11.6600 10.9311 9.7213 2.4866 2.6903 28.2366 6 Pertambangan dan Penggalian 0.0708 0.0748 0.0752 0.0739 0.0720 0.0567 0.0661 0.1157 7 Industri Buah dan Sayur 0.2397 0.3564 0.3677 0.3316 0.2619 0.0104 0.0112 0.0117 8 Industri Ikan dan Udang 0.2446 0.3298 0.3380 0.3117 0.2677 0.0061 0.0066 0.9365 9 Industri Tapioka & Tepung Lain 2.4065 1.9854 1.9448 2.0750 2.5857 0.5184 4.6284 5.2606 10 Industri Kopra/ Kelapa 0.3487 0.2540 0.2448 0.2741 0.1226 3.3492 0.0634 0.0579 11 Industri Minyak/ Lemak 0.1034 0.0966 0.0960 0.0981 0.0276 0.9404 0.0342 0.0274 12 Industri Padi 0.3834 0.2421 0.2285 0.2722 0.4097 0.1067 0.1220 0.1318 13 Industri Gula 2.7837 2.4200 2.3849 2.4974 2.9786 0.4500 6.0028 6.7190 14 Industri Kopi 0.3981 0.5781 0.5955 0.5398 0.4351 0.0172 0.0171 0.0181 15 Industri Pakan Ternak 0.1637 0.1792 0.1807 0.1759 0.4331 0.0167 0.0469 0.0715 16 Industri Makanan Lainnya 0.7515 0.8418 0.8505 0.8226 0.3683 0.1068 1.9902 0.1306 17 Industri Minuman 0.0793 0.0531 0.0505 0.0587 0.0240 0.6878 0.0247 0.0267


(3)

Lampiran 33. Lanjutan

(%)

DAMPAK TERHADAP KESEMPATAN KERJA SEKTORAL

KEBIJAKAN GANDA KEBIJAKAN GABUNGAN KEBIJAKAN TIGA AGROINDUSTRI No. SEKTOR

P11 P12 P13 P14 P15 P16 P17 P18

21 Bangunan/Konstruksi 0.2558 0.2648 0.2657 0.2629 0.2476 0.3064 0.2574 0.3087 22 Perdagangan, Hotel &Restoran 8.2193 8.5160 8.5446 8.4529 8.4105 7.7853 8.3406 9.9154 23 Transportasi dan Komunikasi 2.3922 2.5391 2.5533 2.5078 2.4373 2.1325 2.2346 2.4734 24 Lembaga keuangan, persewaan

dan jasa perusahaan 0.1447 0.1468 0.1470 0.1464 0.1460 0.1345 0.1485 0.1679 25 Pemerintahan Umum 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 26 Jasa-jasa dan Lainnya 1.9804 1.9942 1.9955 1.9913 1.9697 2.1081 2.0347 2.2421

Total Dampak 100 100 100 100 100 100 100 100

Persentase Perubahan dari nilai


(4)

Lampiran 33. Lanjutan

Keterangan Pilihan-pilihan kebijakan pada Lampiran 28-33 No. Kode Uraian Alternatif Kebijakan

1. P1 Peningkatan pengeluaran pemerintah 30 %, yang dialokasikan pada semua sektor agroindustri secara proporsional

2. P2 Peningkatan pengeluaran pemerintah 30 %, yang dialokasika pada sektor agroindustri yang beraglomerasi secara

proporsional

3. P3 peningkatan pengeluaran pemerintah 30 %, yang dialokasikan pada sektor agroindustri yang tidak beraglomerasi secara proporsional

4. P4 peningkatan pengeluaran pemerintah 30 %, yang dialokasikan pada pembangunan infrastruktur

5. P5 peningkatan investasi 20 %, yang dialokasikan pada semua sektor agroindustri secara proporsional.

6. P6 peningkatan investasi 20 %, yang dialokasikan pada semua sektor agroindustri yang beraglomerasi secara proporsional 7. P7 peningkatan investasi 20 %, yang dialokasikan pada semua

sektor agroindustri yang tidak beraglomerasi secara proporsional

8. P8 peningkatan ekspor 25 %, yang dialokasikan pada semua sektor agroindustri secara proporsional.

9. P9 peningkatan ekspor 25 %, yang dialokasikan pada semua sektor agroindustri yang beraglomerasi secara proporsional 10. P10 peningkatan ekspor 25 %, yang dialokasikan pada semua

sektor agroindustri yang tidak beraglomerasi secara proporsional

11. P11 pengeluaran pemerintah dinaikkan sebesar 30 % dan investasi dinaikkan sebesar 20 % yang dialokasikan kepada semua sektor agroindustri secara proporsional

12. P12 pengeluaran pemerintah dinaikkan sebesar 30 % dan ekspor dinaikkan sebesar 25 % yang dialokasikan kepada semua sektor agroindustri secara proporsional

13. P13 investasi dinaikkan sebesar 20 % dan ekspor dinaikkan sebesar 25 % yang dialokasikan kepada semua sektor agroindustri secara proporsional

14. P14 pengeluaran pemerintah pengeluaran pemerintah dinaikkan sebesar 30 %, investasi dinaikkan sebesar 20 % dan ekspor dinaikkan sebesar 25 % yang dialokasikan kepada semua sektor agroindustri secara proporsional,


(5)

dinaikkan sebesar 25 % yang dialokasikan kepada semua sektor agroindustri yang tidak beraglomerasi secara

proporsional

17. P17 pengeluaran pemerintah pengeluaran pemerintah dinaikkan sebesar 30 %, investasi dinaikkan sebesar 20 % dan ekspor dinaikkan sebesar 25 % yang dialokasikan kepada tiga sektor agroindustri penyumbang output dan beraglomersi terbesar secara proporsional

18 P18 pengeluaran pemerintah pengeluaran pemerintah dinaikkan sebesar 30 %, investasi dinaikkan sebesar 20 % dan ekspor dinaikkan sebesar 25 % yang dialokasikan kepada tiga sektor agroindustri yang mempunyai penyerap tenaga kerja dan beraglomersi terbesar secara proporsional


(6)

ABSTRACT

MUHAMMAD IRFAN AFFANDI. The Roles of Agroindustry in the Regional Economy of Lampung Province: Analysis of Intersectoral Linkages and Agglomeration of Industries. (D.S. PRIYARSONO as Chairman, MANGARA TAMBUNAN and BONAR M. SINAGA as Members of Advisory Committee).

The objectives of this study are to analyze intersectoral linkages among agroindustry in the regional economy of Lampung Province, to identify the existence of spatial concentration and agglomeration of agroindustry, to analyze agglomeration economies in the agroindustrial sectors, and to analyze some policies that are potentially improve the roles of agroindustry in the regional economy.

This study used data of provincial Input-Output Table of 2000 and 2005 aggregated into 26 sectors (12 agroindustrial sectors and 14 non agroindustrial sectors) and results of Medium and Large Industrial Survey 1998-2005. In addition, it used indices to measure the size of agglomeration. It utilized also Cobb-Douglas production function to measure the agglomeration economies. Some policy simulations were analyzed to identify the effects of changes of final demand on sectoral outputs, income, and labor.

The results show that in terms of linkages and multipliers of sectoral output, income, and labor, agroindustrial sectors have the biggest roles in the regional economy. The sectors also boost the other sectors’ growth. They have strong backward as well as forward linkages that are greater than those of other sectors.

Most agroindustrial sectors are concentrated in one or few districts/municipalities. These concentrations significantly effect the production outputs. Most economies of localization and urbanization exist in the agroindustrial sectors.

The combined policies of increasing government expenditure, investment, and export that are proportionally allocated to all of the agglomerated agroindustrial sectors result in the greatest positive change of sectoral output, households’ income, and labors absorption. The impact of economic policy on the agglomerated agroindustrial sectors are greater than that of similar policy that are applied to non agglomerated agroindustrial sectors.