Kemampuan conditioned medium dari kultur primer pankreas dewasa dalam mengarahkan (diferensiasi) embryonic stem cell Mencit Menjadi Sel Beta Pankreas

KEMAMPUAN CONDITIONED MEDIUM
DARI KULTUR PRIMER PANKREAS DEWASA
DALAM MENGARAHKAN (DIFERENSIASI)
EMBRYONIC STEM CELLS MENCIT MENJADI
SEL BETA PANKREAS

DINI BUDHIARKO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kemampuan Conditioned Medium
Dari Kultur Primer Pankreas Dewasa Dalam Mengarahkan (Diferensiasi)
Embryonic Stem Cells Menjadi Sel Beta Pankreas adalah karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari

karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor,

Mei 2010

Dini Budhiarko
NRP: B151060041

ABSTRACT

DINI BUDHIARKO. The Ability of Conditioned Medium Resulted from
Primary Culture of Adult Pancreas to Differentiate Mouse Embryonic Stem Cells
into Pancreatic Beta Cells. Under direction of ITA DJUWITA and ADI
WINARTO.
The ability of embryonic stem cells (ESC) to differentiate into all cell
types of the body has become a new hope in curing various degenerative diseases
including diabetes. In diabetes, ESC can be used as a cell source that can be
differentiated into pancreatic beta cells before being transplanted.

The
differentiation of ESC was influenced by several growth factors, such as activin,
fibroblast growth factor, retinoic acid, and transforming growth factor. In this
research, we examined the influence of conditioned medium (CM) resulted from
the primary culture of adult mouse pancreas in various concentration (0%, 10%,
30%, and 50%) toward differentiation of ESC into pancreatic beta cells.
Differentiation of ESC into pancreatic beta cells indicated by the positive result
from dithizone staining and the expression of proinsulin 1 and proinsulin 2 genes.
The results showed that ESC cultured with 50% CM concentration had higher
quality of colour intensity than the 30% and 10% concentration (P < 0.05). The
RNA analysis clearly showed that dithizone positive cells are expressing
proinsulin 1 and proinsulin 2, which indicate gene mark of pancreatic beta cells.
In conclusion, CM resulted from the primary culture of adult mouse pancreas was
able to differentiate ESC into pancreatic beta cells with 50% CM as the optimum
concentration to direct ESC differentiation into pancreatic beta cells.
Keywords: conditioned medium, pancreas, pancreatic beta cells, mouse
embryonic stem cells.

RINGKASAN


DINI BUDHIARKO. Kemampuan Conditioned Medium Dari Kultur Primer
Pankreas Dewasa Dalam Mengarahkan (Diferensiasi) Embryonic Stem Cell
Mencit Menjadi Sel Beta Pankreas. Dibimbing oleh ITA DJUWITA dan ADI
WINARTO.
Pankreas merupakan kelenjar endokrin dengan salah satu fungsinya
sebagai penghasil insulin, yaitu hormon yang mengubah glukosa dalam darah
menjadi glikogen. Peningkatan kadar glukosa dalam darah yang tidak diimbangi
dengan peningkatan insulin merupakan salah satu karakter dari penyakit diabetes.
Diabetes dikelompokan dalam 2 kategori, yaitu tipe 1 dan 2. Pada umumnya
diabetes tipe 1 terjadi akibat kegagalan sistem imun tubuh dan ditanggulangi
dengan pemberian insulin harian ataupun transplantasi organ. Kendala dalam
ketersediaan insulin, ketersediaaan organ dan kesesuaiannya, serta efek samping
akibat penggunaan immunosuppresan menjadi kendala yang dihadapi.
Penggunaan cell replacement therapy atau terapi berbasis sel merupakan alternatif
lain yang dapat digunakan. Cara ini mengurangi permasalahan yang timbul akibat
penggunaan immunosuppresan.
Namun tetap menghadapi kendala pada
ketersediaan sumber sel yang digunakan. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut
maka digunakanlah stem cells sebagai alternatif sumber sel.
Stem cells adalah sel yang belum berdiferensiasi yang memiliki sifat

pluripotent, yaitu kemampuan untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi
berbagai tipe sel dalam tubuh dengan fungsi yang lebih spesifik. Berdasarkan
sumbernya stem cells dapat dikelompokan menjadi 2 kelompok utama, yaitu
embrionik (embryonic stem cells, ESC) dan non-embrionik (adult stem cells,
ASC). Embryonic stem cells adalah stem cells yang diperoleh atau diisolasi dari
embrio. Sedangkan ASC adalah stem cells yang ditemukan diberbagai jaringan
tubuh (tulang, otak, hati, kulit, lemak, otot dan darah) yang memiliki fungsi untuk
menjaga keseimbangan dan memperbaiki jaringan.
Pada cell replacement therapy, stem cells diarahkan menjadi sel beta
pankreas sebelum kemudian ditransplantasikan pada resipien. Pengarahan stem
cells menjadi suatu tipe sel tertentu sangat dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan
lingkungan ekstraselular. Beberapa metode pengarahan yang telah dilakukan
antara lain, melalui modifikasi genetik, penggunaan growth factor, penggunaan
extracellular matrix serta conditioned medium (CM).
Conditioned medium merupakan medium yang diperoleh dari kultur
primer pankreas. Umumnya CM yang digunakan merupakan hasil dari kultur
primer pankreas neonatal dengan masa koleksi CM berkisar antara hari 3 hingga
ke 7 kultur. Namun pada penelitian ini CM yang digunakan merupakan hasil
kultur primer pankreas dewasa selama 14 hari, yaitu hari ke 9 hingga 21 masa
kultur. Conditioned medium tersebut diharapkan mengandung faktor-faktor

pertumbuhan selama terjadinya pembentukan sel-sel beta pankreas yang
kemudian akan mengarahkan diferensiasi ESC mencit menjadi sel beta pankreas.

Embryonic stem cells diperoleh dengan mengisolasi inner cell mass (ICM)
dari embrio pada fase blastosis menggunakan metode immunosurgery. Embryonic
stem cells kemudian dikultur dalam medium DMEM-high glucose (Sigma, USA)
yang mengandung non-essential amino acid 1%,
FBS 10%, penicillinstreptomycin (Sigma, USA) 5μl/ml, mercaptoethanol (Sigma, USA) 0,1 mM,
Leukimia Inhibitory Factor/LIF (Sigma, USA) 20 ng/ml. Diferensiasi ESC
menjadi sel penghasil insulin dilakukan dengan mengkultur ESC dalam medium
diferensiasi, yaitu medium tanpa LIF yang mengandung CM dengan konsentrasi
volume per volume (v/v) 0%, 10%, 30% dan 50% selama 14 hari. Paramater
yang diamati adalah pembentukan sel beta pankreas yang teridentifikasi melalui
pewarnaan dithizone dan kemampuannya dalam mengekspresikan mRNA
proinsulin 1 dan proinsulin 2.
Hasil pewarnaan dithizone memperlihatkan adanya intensitas warna yang
berbeda pada tiap koloni ESC, yaitu merah muda, merah, dan merah tua.
Pewarnaan dithizone merupakan pewarnaan yang mengikat zinc (zinc-binding
substance) sehingga menghasilkan warna merah muda hingga merah tua pada selsel yang mengandung zinc (Zn). Zinc dalam sel beta pankreas berfungsi sebagai
pengikat insulin sehingga membentuk dimer ataupun hexamer yang

mempermudah penyimpanan insulin dalam secretory vesicles pada sel beta
pankreas. Variasi warna yang dihasilkan menandakan adanya perbedaan
konsentrasi atau jumlah Zn yang terkandung di dalam suatu sel. Peningkatan
warna pada pewarnaan dithizone dapat disimpulkan sebagai adanya peningkatan
akumulasi Zn yang berasosiasi dengan peningkatan jumlah insulin di dalam sel
beta pankreas.
Perbedaan konsentrasi CM dalam medium pengarahan menghasilkan
perbedaan warna (merah muda, merah dan merah tua) pada saat pewarnaan
dithizone. Untuk mempermudah dalam menganalisa data maka warna merah
muda diberi skor 1, merah diberi skor 2 dan merah tua diberi skor 3. Secara
statistik warna yang dihasilkan pada pewarnaan dithizone menunjukkan hasil
yang secara nyata berbeda. Perlakuan CM 50% merupakan hasil yang terbaik
diikuti dengan perlakuan CM 30%. Sedangkan pada perlakuan CM 10% tidak
memperlihatkan hasil yang berbeda nyata dengan perlakuan CM 0% (kontrol)
(P > 0,05). Hal tersebut sejalan dengan Vaca et al. (2006) yakni konsentrasi CM
yang umum digunakan dalam pengarahan stem cell menjadi sel beta pankreas
adalah 50%.
Pita pada gel hasil elektroforesis produk RT-PCR menunjukkan bahwa
B-actin terekspresi pada seluruh perlakuan yang menandakan tidak terjadi
kesalahan pada proses analisa, baik pada pengisolasian RNA maupun proses RTPCR yang dilakukan. Hasil elektroforesis juga memperlihatkan bahwa proinsulin

2 terekspresi pada seluruh perlakuan sedangkan pada proinsulin 1 hanya
perlakuan 1 yang tidak mengekspresikan adanya proinsulin 1.
Proses sintesis insulin dipengaruhi oleh 2 gen insulin yaitu insulin 1 dan
insulin 2. Insulin 2 diekspresikan tidak hanya pada pankreas namun juga oleh selsel otak sedangkan insulin 1 hanya diekpresikan pada sel-sel pankreas. Akan
tetapi, kedua gen tersebut, insulin 1 dan 2 memiliki peranan yang sama besar
dalam sintesa insulin pada pankreas. Pada proses sintesis insulin akan dihasilkan
preproinsulin yaitu protein prekursor dari proinsulin. Preproinsulin tersebut
kemudian akan mengalami perubahan bentuk menjadi proinsulin. Proinsulin

adalah insulin yang masih berikatan dengan C-peptide. Ekspresi proinsulin 2
yang ditemukan pada seluruh perlakukan dan ekspresi proinsulin 1 pada
perlakuan 2, 3, dan 4 menandakan bahwa pada perlakukan tersebut (2, 3, dan 4)
mengandung sel-sel beta pankreas yang dihasilkan dari proses diferensiasi ESC.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penggunaan CM
yang dihasilkan dari kultur primer pankreas dewasa mampu mengarahkan
diferensiasi ESC menjadi sel beta pankreas dengan konsentrasi optimum 50%.
Sel-sel beta pankreas yang terbentuk mampu mengekspresikan mRNA dari gen
insulin 1 dan 2.
Kata kunci: conditioned medium, pancreas, sel beta pankreas, embryonic stem
cells mencit.


© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau
seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

KEMAMPUAN CONDITIONED MEDIUM
DARI KULTUR PRIMER PANKREAS DEWASA
DALAM MENGARAHKAN (DIFERENSIASI)
EMBRYONIC STEM CELLS MENCIT
MENJADI SEL BETA PANKREAS

DINI BUDHIARKO

TESIS
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada
Program Studi Sains Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: drh. Mokhamad Fakhrudin, Ph.D

PRAKATA
Puji syukur kepada Allah Bapa di Surga atas segala berkat, rahmat, dan
penyertaan-Nya yang senantiasa bagi penulis selama penelitian hingga
terselesaikannya tesis dengan judul Kemampuan Conditioned Medium Dari Kultur
Primer Pankreas Dewasa Dalam Mengarahkan (Diferensiasi) Embryonic Stem
Cells Mencit Menjadi Sel Beta Pankreas. Tesis ini merupakan salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Magister dalam program studi Sains Veteriner pada
program PASCASARJANA Institut Pertanian Bogor.
Berbagai kendala dan permasalahan yang dihadapi dalam penelitian dan
penulisan tesis ini telah terselesaikan berkat bantuan, dukungan, dan kerjasama

dengan berbagai pihak. Dengan penuh rasa syukur, penulis menyampaikan terima
kasih kepada semua pihak yang telah berperan baik secara langsung maupun tidak
langsung terhadap terhadap penyelesaian tesis ini, yaitu:
1. Ibu Dr. drh Ita Djuwita, M.Phil., selaku Ketua Komisi Pembimbing dan
Bapak drh. Adi Winarto, Ph.D., selaku Anggota Komisi Pembimbing, atas
segala bimbingan, arahan, dan masukan yang diberikan dalam penelitian dan
penulisan tesis ini.
2. Bapak dr. Boenjamin Setiawan, Ph.D., Bapak Ferry Sandra, drg., Ph.D., Ibu
dr. Caroline Tan Sardjono, Ph.D., Bapak Ahmad Utomo, Ph.D., dan dr.
Santoso Cornain, Ph.D., atas kesempatan yang diberikan kepada penulis
untuk melanjutkan pendidikan Strata 2 di IPB.
3. Stem Cell and Cancer Institute dan PT. Kalbe Farma,

Tbk., yang telah

menjadi sponsor dalam pendidikan dan penelitian, serta rekan-rekan di Stem
Cell and Cancer Institute atas dukungannya selama penulis melakukan
pendidikan Strata 2 di IPB.
4. Bapak Prof. drh. Arief Boediono, Ph.D., Bapak drh. Mokhamad Fakhrudin,
Ph.D., Bapak drh Kusdiantoro Mohammad, M.Si., Ibu drh. Wahono Esthi

Prasetyaningtyas, M.Si., serta staf Departemen Anatomi Fisiologi dan
Farmakologi lainnya, atas bantuan, masukan, dan dukungannya selama
penulis menempuh pendidikan Strata 2.

5. Prof. drh. Bambang Pontjo P., M.S., Ph.D., selaku Ketua Program Studi Sains
Veteriner, yang juga telah meluangkan waktunya untuk dapat hadir dalam
sidang thesis dan memberikan masukan serta dukungan yang menjadi suatu
kebanggaan tersendiri bagi penulis, dan segenap staf Program Studi Sains
Veteriner serta Sekolah Pasca Sarjana IPB.
6. Dwi Agustina, S.Si., Harry Murti, S.Si., Riris Lindiawati S.Si., Bapak Dr. Ir.
Thomas Mata Hine, M.Si., Bapak Ir. Bayu Rosadi, M.Si., serta rekan-rekan
Program Studi Sains Veteriner 2006 dan Program Studi Biologi Reproduksi
2004-2006, atas masukan, bantuan, dan dukungannya selama ini.
7. Keluarga ku dan Mas Yohanes yang senantiasa menemani dan mendukung
dalam doa dan kasih.
Serta seluruh pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu dalam
tulisan ini. Semoga semua kebaikan dan bantuan yang telah diberikan akan
dilipatgandakan oleh Allah Bapa.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna.
Namun, semoga tesis ini dapat berguna dalam penelitian dan pengembangan stem
cells sebagai alternatif dalam pengobatan terhadap penyakit-penyakit degeneratif,
khususnya penggunaan stem cells dalam penanganan diabetes.

Bogor, Mei 2010

Dini Budhiarko

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 13 April 1980 dari ayah Drs.
Aloysius Djamilan Budhiarko dan ibu Christina T. Penulis merupakan putri
ketiga dari lima bersaudara.
Pada tahun 1998 penulis menamatkan pendidikan di SMA Bunda Hati
Kudus dan pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan di Universitas
Indonesia melalui seleksi Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Pada perguruan
tinggi tersebut penulis memilih Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam dan menyelesaikan studinya dengan gelar Sarjana Sains pada
tahun 2004.
Penulis kemudian bergabung dengan Stem Cell and Cancer Institute pada
tahun 2006 hingga saat ini.

Pada research institute tersebut penulis bekerja

sebagai Research Assistant dan mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan
pendidikan ke jenjang Strata 2 pada tahun yang sama. Biaya pendidikan dan
penelitian sepenuhnya didukung oleh Stem Cell and Cancer Institute dan PT.
Kalbe Farma, Tbk. tempat penulis bekerja.

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL .......................................................................................

xv

DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xvi
PENDAHULUAN .......................................................................................
Latar Belakang ...................................................................................
Kerangka Pemikiran ...........................................................................
Tujuan dan Manfaat Penelitian ..........................................................
Hipotesis Penelitian ............................................................................

1
1
2
3
3

TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................
Pankreas .............................................................................................
Proses Pembentukan Insulin .....................................................
Diabetes dan Penanganannya ...................................................
Embryonic Stem Cells ........................................................................
Isolasi Inner Cell Mass .............................................................
Kultur Embryonic Stem Cells ...................................................
Karakteristik Embryonic Stem Cells .........................................
Diferensiasi Embryonic Stem Cells Menjadi Sel Beta
Pankreas ....................................................................................
Conditioned Medium

4
4
6
8
9
11
14
15
15
16

MATERI DAN METODE PENELITIAN ..................................................
Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................
Rancangan Percobaan ........................................................................
Tahapan dan Prosedur Kerja ..............................................................
Pembuatan Conditioned Medium ..............................................
Penyediaan Embryonic Stem Cells ...........................................
Pengarahan Embryonic Stem Cells Menjadi Sel Beta Pankreas
Analisa Sel Beta Pankreas ........................................................
Kemampuan Ekspresi Gen Insulin ...........................................
Analisa Data .......................................................................................

18
18
18
18
18
19
21
21
22
24

HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................
Produksi Conditioned Medium ...........................................................
Penyediaan Embryonic Stem Cells .....................................................
Koleksi Blastosit dan Isolasi Inner Cell Mass ..........................
Kultur Embryonic Stem Cells dan Uji Pluripotensi ..................
Pengarahan Embryonic Stem Cells Menjadi Sel Beta Pankreas ........
Kemampuan Ekspresi Gen Insulin .....................................................

25
25
28
28
29
31
35

SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................
Simpulan ............................................................................................
Saran ...................................................................................................

37
37
37

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................

38

LAMPIRAN ................................................................................................

45

DAFTAR TABEL

1.
2.
3.

Primer yang digunakan dalam RT-PCR ...........................................
Persentase perolehan blastosis .........................................................
Hasil pewarnaan dithizone pada pengarahan ESC menjadi sel beta
pankreas ............................................................................................

23
28
33

DAFTAR GAMBAR

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.

Pankreas manusia .............................................................................
Proses sintesis insulin .......................................................................
Embrio fase blastosit ........................................................................
Isolasi ICM dengan metode immunosurgery ...................................
Morfologi sel yang ditemukan pada kultur primer pankreas ...........
Pewarnaan dithizone pada kultur primer pankreas ..........................
Hasil positif pada pewarnaan alkaline phosphatase terhadap
koloni ICM .......................................................................................
Sel-sel beta pankreas berbentuk bulat yang dihasilkan pada
pengarahan ESC ...............................................................................
Hasil pewarnaan dithizone pada pengarahan ESC ...........................
Jalur diferensiasi yang diaktifkan oleh fibroblast growth factors ....
Pita cDNA hasil RT-PCR mRNA b-actin dan proinsulin 1 &
proinsulin 2 sel beta pankreas hasil pengarahan ESC menggunakan
berbagai konsentrasi CM ..................................................................

4
7
12
13
26
27
30
31
32
35

36

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pankreas merupakan organ dengan salah satu fungsinya sebagai penghasil
insulin, yaitu hormon yang mengubah glukosa dalam darah menjadi glikogen.
Peningkatan kadar glukosa dalam darah yang tidak diimbangi dengan peningkatan
insulin merupakan salah satu karakter dari penyakit diabetes (Beattie & Hayek
2004). Diabetes dikelompokan dalam 2 kategori, yaitu tipe 1 dan 2. Diabetes
tipe 1 pada umumnya terjadi akibat kegagalan sistem imun tubuh sehingga
merusak sel beta pankreas. Sedangkan diabetes tipe 2 terjadi akibat resistensi
insulin ataupun kurangnya jumlah insulin yang disekresikan oleh sel beta
pankreas (Noguchi 2007).
Penanggulangan diabetes tipe 1 dilakukan dengan pemberian insulin
harian ataupun transplantasi organ. Namun, ketersediaan insulin yang tidak
dapat diperoleh dengan mudah, ketersediaaan organ yang didonorkan dan tingkat
kesesuaian organ terhadap resipien, serta efek samping yang ditimbulkan akibat
penggunaan immunosuppresan menjadi kendala yang sering dihadapi (Burns et
al. 2004, Sameer et al. 2006).

Alternatif lain yang dapat dilakukan dalam

penanganan diabetes tipe 1 adalah penggunaan cell replacement therapy atau
terapi berbasis sel dengan cara hanya menggantikan sel-sel yang rusak dengan
sel-sel baru, yaitu mentransplantasikan sel-sel beta pankreas pada pasien. Cara
ini mengurangi permasalahan yang timbul akibat penggunaan immunosuppresan.
Akan tetapi cara ini tetap pula menghadapai kendala pada ketersediaan sumber sel
yang digunakan, yaitu sel-sel beta pankreas. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut
maka digunakanlah stem cells sebagai alternatif sumber sel (Brolen et al. 2005,
Sameer et al. 2006).
Stem cells adalah sel yang belum berdiferensiasi yang memiliki sifat
pluripotent, yaitu suatu kemampuan untuk berproliferasi dan berdiferensiasi
menjadi berbagai tipe sel dalam tubuh dengan fungsi yang lebih spesifik (NIH
2001). Pada penggunaannya dalam cell replacement therapy khususnya yang
berkaitan dengan diabetes, sebelum ditransplantasikan pada pasien stem cells
terlebih dahulu diarahkan menjadi sel beta pankreas (Blyszczuk & Wobus 2004).

2

Pengarahan stem cells menjadi suatu tipe sel tertentu (sel-sel beta pankreas)
sangat dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan lingkungan ekstraselularnya sehingga
dalam mengarahkan diferensiasi stem cells diperlukan lingkungan yang
mendukung diferensiasi tersebut (Ding & Schultz 2004).

Kerangka Pemikiran
Pengarahan stem cell menjadi sel penghasil insulin (sel-sel beta pankreas)
telah banyak dilakukan.
antara

Beberapa metode pengarahan yang telah dilakukan

lain, melalui modifikasi genetik sehingga sel akan mengekspresikan

pancreas specific promotor atau melalui diferensiasi spontan yang kemudian
diikuti dengan seleksi, penggunaan growth factor (seperti

activin, fibroblast

growth factor, retinoic acid, dan transforming growth factor) (Shi et al. 2005;
Ku et al. 2004; Skoudy et al. 2004), penggunaan extracellular matrix (seperti
laminin, firbronectin dan collagen) (Blyszczuk et al. 2004; Schroeder et al.
2006) serta conditioned medium (CM) (Vaca et al. 2006).
Conditioned medium merupakan medium yang diperoleh dari kultur
primer pankreas. Umumnya organ pankreas yang digunakan pada kultur primer
adalah organ yang berasal dari fetus ataupun neonatal berumur 1-3 hari. Selain itu
CM yang digunakan juga diperoleh dari kultur primer dengan masa koleksi CM
berkisar antara hari 3 hingga ke 7 masa kultur (Vaca et al. 2006). Pada penelitian
ini CM dihasilkan dari kultur primer pankreas dewasa dan dengan lama masa
kultur adalah 21 hari. Hal tersebut dilakukan sesuai dengan Katdare et al. (2004)
dan Leng & Lu (2005) yang menyatakan bahwa pada kultur primer pankreas
dewasa akan ditemukan adanya sel-sel beta pankreas pada hari ke 21 pengkulturan
yang ditandai dengan adanya sel-sel yang berwarna merah saat dilakukan
pewarnaan dithizone. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, pada penelitian ini
CM yang digunakan akan diisolasi dari kultur primer pankreas dewasa dengan
waktu pengkoleksian CM selama 14 hari, yaitu dari hari ke 9 hingga hari ke 21
masa kultur. Conditioned medium tersebut diharapkan mengandung faktor-faktor
pertumbuhan selama terjadinya pembentukan sel-sel beta pankreas yang
kemudian akan mengarahkan diferensiasi ESC mencit menjadi sel beta pankreas.

3

Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa kemampuan berbagai
konsentrasi CM yang dihasilkan dari kultur primer pankreas mencit dewasa dalam
mengarahkan (diferensiasi) ESC mencit menjadi sel beta pankreas.

Hasil

penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam mengarahkan
diferensiasi ESC menjadi sel beta pankreas terutama dalam penggunaan CM
sebagai media diferensiasi.

Aplikasi dari penelitian ini diharapkan akan

memberikan kontribusi bagi penelitian di bidang kesehatan khususnya yang
berkaitan dengan penanggulangan penyakit diabetes yang ditimbulkan akibat
kerusakan sel beta pankreas.

Hipotesis Penelitian
Pada penelitian ini diajukan hipotesis bahwa penggunaan CM yang
diperoleh dari kultur primer pankreas dewasa mencit dapat mengarahkan
diferensiasi ESC menjadi sel beta pankreas.

4

TINJAUAN PUSTAKA
Pankreas
Pankreas adalah organ yang memiliki 2 fungsi yang berbeda, yaitu
menghasilkan hormon dan mensekresikan enzim. Organ tersebut terdiri dari 3
komponen utama, yaitu jaringan eksokrin yang terdiri dari sel-sel acinar dan
saluran pankreas (pancreatic duct) serta endokrin berupa pulau-pulau Langerhans
(islet of Langerhans) (Gambar 1). Sel-sel eksokrin (sel-sel acinar) bertanggung
jawab terhadap produksi enzim.

Enzim yang dihasilkan kemudian akan

disalurkan ke dalam duodenum melalui saluran pankreas (pancreatic duct).
Berbeda dengan keduanya, sel-sel endokrin dari pulau-pulau Langerhans memiliki
fungsi untuk mensekresikan hormon yang kemudian akan dialirkan melalui aliran
darah ke seluruh tubuh. Sel-sel endokrin yang letaknya tersebar diantara sel-sel
eksokrin memiliki jumlah yang sangat sedikit bila dibandingkan dengan eksokrin.
Pada pankreas perbandingan antara jumlah sel-sel endokrin dan eksokrin
mencapai 1 : 10. (Ramiya et al. 2000, Murtaugh et al. 2007).

b
a

c
d
e
f

g

Gambar 1. Pankreas manusia, (a) pankreas, (b) sel acinar, (c) saluran pankreas,
(d) sel alfa, (e) sel beta, (f) sel beta pankreas mensekresikan insulin
ke dalam pembuluh darah, (g) insulin membantu penyerapan glukosa
pada sel otot (NIH 2001).

5

Pada awal pembentukannya, sel-sel endokrin pada pankreas dihasilkan
dari tunas (buds) yang muncul pada sel-sel epitel pada saluran pakreas atau
disebut juga dengan epithelium duct cells. Tunas tersebut kemudian tumbuh
hingga membentuk struktur spheroid. Setelah berbentuk spheroid, kumpulan sel
tersebut kemudian bermigrasi ke dalam jaringan acinar, mengalami angiogenesis
(pembentukan pembuluh darah) dan menjadi matang (mature). Kematangan selsel endokrin tersebut ditandai dengan kemampuan sel-sel tersebut untuk
menghasilkan hormon dan mensekresikannya ke dalam pembuluh darah (Ramiya
et al. 2000, Peck et al. 2002, Oliver-Krasinski & Stoffers 2008).
Sel-sel endokrin/pulau-pulau Langerhans merupakan suatu kumpulan sel
yang terdiri dari 5 tipe sel yang berbeda, yaitu sel alfa (α) yang mensekresikan
hormon glukagon, sel beta (β) mensekresikan insulin, sel delta ( ) mensekresikan
somatostatin, sel PP mensekresikan pancreatic polypeptide, serta sel epsilon ( )
yang mensekresikan ghrelin (Murtaugh et al. 2007). Namun, sel epsilon hanya
dapat ditemukan pada saat pembentukan dan perkembangan pankreas. Setelah
kelahiran jumlah sel tersebut akan menurun hingga akhirnya menghilang. Hal
tersebut menyebabkan sel-sel epsilon tidak banyak diketahui (Brissova & Powers
2008).
Pada rodentia (mencit dan tikus), morfologi pulau-pulau Langerhans
berupa kumpulan sel yang berbentuk bola (spheroid) dengan sel-sel beta terletak
di tengah-tengah dan dikelilingi atau dibungkus oleh sel-sel alfa. Sedangkan selsel delta terletak tersebar diantara sel beta dan alfa (Ramiya et al. 2000, Bouwens
2004).

Pada manusia, non-human primate, babi, dan anjing, letak sel beta

pankreas tidak berada di tengah-tengah atau menjadi inti dari pulau-pulau
Langerhans tapi tersebar di antara sel-sel lainnya (alfa, delta dan PP) (Brissova &
Powers 2008). Berdasarkan populasi ke empat sel endokrin yang ada, sel beta
pankreas memiliki jumlah yang paling banyak, yaitu sekitar 80% dari seluruh selsel endokrin, diikuti dengan sel alfa, sel delta dan sel PP (Murtaugh et al. 2007,
Brissova & Powers 2008).

6

Proses Pembentukan Insulin
Insulin merupakan protein yang dihasilkan oleh sel beta dari pulau-pulau
Langerhans pankreas. Gen yang bertanggung jawab terhadap produksi insulin
pada mencit dan tikus (rodentia) adalah insulin 1 dan insulin 2. Kedua gen
tersebut bukan merupakan pasangan gen atau alel (non-allelic insulin genes)
(Artner & Stein 2008).

Insulin 1 berasal dari insulin 2 karena insulin 1

merupakan hasil duplikasi dari insulin 2. Perbedaan antara kedua gen tersebut
terletak pada pengurangan sekitar 500 basepairs (bp) di bagian awal (upstream)
pada situs trankripsi pada insulin 1. Selain itu pada bagian yang mengkode
(coding region) pada insulin 1 juga hanya diselingi oleh 1 intron. Intron tersebut
jika disesuaikan letaknya pada insulin 2 berada pada intron pertama, sedangkan
intron kedua dan selanjutnya tidak dimiliki oleh insulin 1 (Devaskar et al. 1993,
Giddings et al. 1994, Artner & Stein 2008).
Ekspresi dari insulin 2 sebagai gen asal (ancestral gene) diekspresikan
tidak hanya pada organ pankreas namun juga dapat ditemukan ekspresinya pada
bagian otak. Sedangkan ekspresi dari insulin 1 hanya dapat ditemukan pada
pankreas. Pada pankreas ekspresi kedua gen tersebut (insulin 1 dan insulin 2)
menunjukkan ekspresi yang sama besar/setara yang menandakan bahwa kedua
gen tersebut memiliki peranan yang sebanding di dalam sintesa insulin pada
pankreas (Devaskar et al. 1993, Giddings et al. 1994).
Pada proses sintesis insulin, gen insulin akan ditranskripsikan menjadi
mRNA yang kemudian akan ditranslasi menjadi prekursor protein yang disebut
preproinsulin. Preproinsulin tersusun dari 4 bagian dengan urutan sebagai berikut,
rantai A, C-peptide, rantai B dan signal peptide (berupa hydrophobic N-terminal).
Signal peptide adalah suatu peptida yang terdapat pada prekursor protein dan
merupakan karakteristik dari protein yang akan disekresikan oleh hewan,
tumbuhan maupun bakteri.

Signal peptide pada prekursor protein tersebut

menyandi tujuan atau tempat dimana prekursor protein akan dibawa dan
mengalami proses selanjutnya (post-translation process). Ketika disekresikan ke
dalam sitosol signal peptide akan berinteraksi dengan signal recognition particle
(SRP), yaitu partikel ribonucleoprotein di dalam sitosol yang akan memfasilitasi
pemisahan rantai polipeptida sehingga dihasilkan proinsulin (rantai A, C-peptide,

7

dan rantai B).

Proinsulin kemudian akan ditranslokasikan ke dalam lumen

retikulum endoplasmik (RE) melalui peptide-conducting channel dan mengalami
perubahan bentuk sehingga menghasilkan bentuk dasar dari insulin akibat ikatan
sulfida yang terbentuk antara sulfid pada rantai A dan B. Setelah itu, proinsulin
kemudian dibawa menuju golgi aparatus (badan golgi) untuk dikemas dan
kemudian dilepas ke dalam sitoplasma berupa kantung-kantung yang nantinya
akan disekresikan (secretory vesicles).

Di dalam secretory vesicles tersebut

proinsulin mengalami proses pematangan yaitu pemisahan rantai insulin dengan
peptida penghubungnya (connecting peptide atau C-peptide) sehingga dihasilkan
insulin dan C-peptide (Gambar 2). Keduanya kemudian akan disekresikan secara
bersamaan ke dalam darah pada saat terjadi peningkatan glukosa dalam darah
(Bosher 2001 & Steiner 2008).

a

b

c

Gambar 2. Proses sintesis insulin. (a) proinsulin dalam retikulum endoplasma
membentuk bentuk dasar insulin, terjadi ikatan sulfida antar sulfid
pada rantai A dan B, (b) proinsulin kemudian dikemas oleh badan
golgi berupa kantung (vesicles), (c) dalam vesicles proinsulin
mengalami pematangan membentuk insulin dan C-peptide dan siap
disekresikan oleh secretory granules (Bosher 2001).

8

Diabetes dan Penanganannya
Sel beta pankreas dan sel alfa merupakan komponen terpenting dalam sel
endokrin pada pankreas. Setelah mengkonsumsi makanan (karbohidrat), kadar
gula (glukosa) dalam darah akan meningkat. Insulin yang dihasilkan oleh sel beta
pankreas akan menstimulasi penyerapan glukosa oleh sel-sel tubuh serta
menstimulasi hati untuk mengubah glukosa menjadi glikogen dan menyimpannya
dalam hati dan otot. Sedangkan pada saat terjadi penurunan glukosa, sel alfa akan
mensekresikan hormon glukagon yang menstimulasi hati untuk mengubah
glikogen menjadi glukosa (Bouwens & Rooman 2005).
Ketidakmampuan tubuh untuk menjaga keseimbangan kadar gula dalam
darah merupakan karakterisik dari penyakit diabetes. Berdasarkan data WHO,
diabetes diperkirakan akan diderita oleh lebih dari 150 juta orang di dunia dan
prevalensinya akan meningkat menjadi 2 kali lipat pada tahun 2025 (WHO 2002).
Berdasarkan tipenya, diabetes dapat dikelompokkan menjadi 2 tipe utama,
yaitu diabetes tipe 1 dan tipe 2. Diabetes tipe 1 juga dikenal sebagai Insulin
Dependent Diabetes Mellitus (IDDM).

Penyakit tipe ini disebabkan karena

adanya kegagalan sistem imun dalam tubuh sehingga sistem imun tubuh
mengenali sel beta pankreas sebagai suatu benda asing yang harus dimusnahkan.
Berkurangnya hingga hilangnya sel beta pankreas menyebabkan jumlah insulin
yang dihasilkan tidak mampu memenuhi kebutuhan tubuh dan terus menurun
hingga akhirnya tidak lagi dihasilkan.

Diabetes tipe ini ditangani dengan

penambahan insulin (exogenous insulin) secara berkala untuk memenuhi
kebutuhan tubuh akan insulin ataupun dengan melakukan transplantasi sel beta
pankreas maupun pankreas secara utuh sehingga tubuh kembali menghasilkan
insulin (Dugi 2006, Noguchi 2007, Oliver-Krasinski & Stoffers 2008).
Sedangkan pada diabetes tipe 2 atau disebut juga dengan Non Independent
Diabetes Mellitus (NIDDM), umumnya terjadi karena berkurangnya sensitivitas
reseptor insulin pada sel-sel tubuh. Hal ini menyebabkan insulin yang diperlukan
untuk menurunkan kadar gula dalam darah meningkat jumlahnya dari jumlah
yang seharusnya. Pengobatan yang dilakukan pada diabetes tipe 2 ini adalah
menstimulasi sel beta pankreas sehingga menghasilkan lebih banyak insulin.

9

Namun, pengobatan tersebut dapat menyebabkan terjadinya kelelahan pada sel
beta sehingga dalam proses yang berkelanjutan diabetes tipe 2 akan berubah
menjadi diabetes tipe 1 (Dugi 2006, Noguchi 2007, Oliver-Krasinski & Stoffers
2008).
Secara alami peningkatan jumlah sel beta pankreas terjadi pada saat masa
tubuh meningkat atau saat adanya pertambahan berat badan serta pada masa
kehamilan. Hal tersebut disebabkan karena di dalam pankreas terdapat sel-sel
progenitor yang terstimulasi untuk membentuk sel beta pankreas guna memenuhi
peningkatan kebutuhan tubuh akan insulin (Bouwens 2004). Namun, kecepatan
pembentukan sel beta pankreas yang tidak dapat mengimbangi kerusakan dan
kematian sel, serta adanya autoimmune attack pada diabetes tipe 1 menyebabkan
pasien harus mendapatkan transplantasai sel beta pankreas.
Kesulitan dalam pengadaan sel beta pankreas disebabkan karena sel-sel
tersebut tidak dapat diperbanyak melalui metode kultur. Selain itu jumlah sel
yang diperlukan dalam satu kali proses transplantasi juga cukup banyak (Colman
et al. 2004).

Hal tersebut menunjukkan kendala yang harus dihadapi dalam

penggunaan cell replacement therapy untuk menanggulangi penyakit diabetes
yang timbul akibat kerusakan sel beta pankreas.

Embryonic Stem Cells
Stem cells adalah sel yang memiliki kemampuan untuk memperbaharui
diri (self-renewal) dan berdiferensiasi menjadi sel lain dengan fungsi yang lebih
spesifik. Kemampuan tersebut ditentukan oleh daya plastisitas yang dimilikinya
atau disebut juga dengan sifat pluripoten. Sifat pluripoten menyebabkan stem
cells mampu berdiferensiasi menjadi berbagai tipe sel dalam tubuh yang
dihasilkan dari tiga lapis kecambah, yaitu ektoderm, mesoderm, dan endoderm.
Namun demikian, sifat pluripoten tersebut akan berkurang seiring dengan
terjadinya diferensiasi atau pembentukan sel yang lebih spesifik (Burdon et al.
2002, NIH 2001, Mayhal et al. 2004).
Secara umum stem cells memiliki karakteristik morfologi berupa inti sel
(nukleus) yang besar bila dilihat dari perbandingan antara nukleus dengan
sitoplasmanya. Selain itu stem cells juga memiliki kecenderungan untuk tumbuh

10

membentuk koloni berlapis yang kompak (compact multilayered colonies).
Karakteristik lain yang dimiliki oleh stem cells adalah fase G1 yang pendek pada
siklus selnya, serta memiliki aktivitas telomerase yang tinggi, dan ukuran
telomere yang lebih panjang bila dibandingkan dengan sel-sel pada umumnya
(Bhat et al. 2004).
Berdasarkan sumbernya stem cells dapat dikelompokan menjadi 2
kelompok utama, yaitu embrionik (embryonic stem cells, ESC) dan nonembrionik (adult stem cells, ASC). Embryonic stem cells adalah stem cells yang
diperoleh atau diisolasi dari embrio. Sedangkan ASC atau yang juga dikenal
sebagai mesenchymal stem cells (MSC) ataupun multipotent adult progenitor cells
(MAPC), adalah sel yang ditemukan di berbagai jaringan tubuh yang memiliki
fungsi untuk menjaga keseimbangan dan memperbaiki jaringan tubuh. Adult
stem cells dapat diisolasi dari sumsum tulang, otak, hati, kulit, lemak, otot, dan
darah (Davila et al. 2004). Namun dari kedua sumber utama stem cells tersebut,
ESC merupakan stem cells yang paling baik karena kemampuan proliferasinya
dalam waktu

yang

lebih

panjang

(long-term

self-renewal)

dan

kemampuan diferensiasinya menjadi berbagai tipe sel dari 3 lapis kecambah,
serta imunitas yang lebih rendah bila dibandingkan dengan stem cells dari sumber
lainnya (NIH 2001, Lie & Xie 2005).
Embryonic stem cells mulai diisolasi pada tahun 1980an. Diawali dengan
keberhasilan Evans dan Kaufman

dalam mengisolasi inner cell mass dari

blastosis mencit pada tahun 1981. Selain itu, Evans dan Kaufman juga berhasil
menemukan kondisi kultur in vitro yang baik sehingga dapat menumbuhkan ESC
mencit hingga menghasilkan

cell lines (sel yang telah diisolasi dan dikultur

secara in vitro dengan tetap mempertahankan sifat-sifat yang dimilikinya). Pada
penelitian-penelitian selanjutnya selain berhasil membiakkan stem cells para
peneliti juga melakukan pengarahan stem cells secara in vitro sehingga stem cells
berdiferensiasi menjadi sel-sel dengan tipe tertentu.

Hal tersebut kemudian

menjadikan stem cells sebagai sumber sel yang sangat potensial bagi terapi untuk
menggantikan sel-sel atau jaringan yang rusak (NIH 2001).

11

Berbagai

penelitian

pada

hewan

coba

telah

dilakukan

dengan

menggunakan stem cells sebagai terapi terhadap suatu penyakit dengan hasil yang
lebih baik bila dibandingkan dengan terapi konvensional. Penyakit-penyakit
yang dapat disembuhkan dengan menggunakan stem cells antara lain luka bakar,
penyakit jantung, stroke, diabetes tipe 1, osteoarthritis dan rheumatoid arthritis,
Parkinson dan Alzheimer, serta penyakit-penyakit lain yang diakibatkan
kerusakan sistem saraf (NIH 2001, Bhat et al. 2005). Namun penggunaan stem
cells tidak hanya terbatas dalam terapi pada penyakit tapi juga digunakan pada
penelitian-penelitian dasar (basic research) seperti dalam memahami kejadian
kompleks yang terjadi dalam proses perkembangan (development). Selain itu
stem cells juga digunakan dalam mempelajari fungsi-fungsi gen yang terkait
dalam mekanisme

“on” dan “off” nya suatu gen, ataupun pada proses

pengembangan suatu obat (drug development) (NIH 2001, Davila et al. 2004,
Bhat et al. 2005, Trounson 2006).

Isolasi Inner Cell Mass
Embryonic stem cells diperoleh dengan mengisolasi inner cell mass (ICM)
dari embrio pada fase blastosis.

Blastosis adalah suatu tahapan pada

perkembangan embrionik pada saat embrio mencapai pertumbuhan pada hari ke 4
setelah terjadinya pembuahan. Pada saat tersebut embrio mengalami kompaksi
dan sel-sel pada bagian paling luar akan mensekresikan suatu cairan. Dominasi
cairan tersebut akan mendesak sel-sel yang berada pada bagian dalam sehingga
terkumpul pada satu sisi dan menghasilkan suatu rongga yang berisi cairan yang
disebut dengan blastosol.

Sel-sel yang mengeliling pada bagian paling luar

dinamakan trophectoderm. Sedangkan sel-sel yang terkumpul pada bagian tengah
disebut dengan inner cell mass (ICM) (Nagy et al. 2003, O’Shea et al. 2004,
Zwaka & Thomson 2005) (Gambar 3). Inner cell mass tersebut yang kemudian
akan diisolasi dan menjadi sumber dari ESC.
Inner cell mass digambarkan sebagai suatu koloni dengan ukuran sel yang
kecil, mempunyai nukleus berukuran besar dan sitoplasma yang sedikit. Selain
itu jumlah dan kualitas ICM juga sangat dipengaruhi oleh kualitas pertumbuhan
blastosis (Stojkovic et al. 2004, Kim et al. 2005).

12

Namun sebelum dilakukan isolasi ICM, zona pelucida yang membungkus
blastosis harus dihilangkan terlebih dahulu.

Zona pellucida adalah lapisan

glikoprotein yang membungkus embrio, yang berfungsi untuk menjaga kesatuan
embrio saat embrio belum mengalami kompaksi (pre-compacted). Pada in vivo,
zona pellucia akan lisis akibat enzim tripsin yang dihasilkan oleh sel-sel
tropechtoderm, yang disebut dengan stripsin (Budhiarko et al. 2008). Pada in
vitro, proses penghilangan zona pellucida dilakukan dengan menggunakan enzim
pronase berkonsentrasi 0,25-0,50% (Oh et al. 2005) ataupun menggunakan asam
tyrode (Cowan et al. 2004, Skottman & Hovatta 2006).

a
b
c
d

Gambar 3. Embrio fase blastosis: (a) zona pellucida; (b) trofoblas; (c) blastosol;
(d) inner cell mas, ICM. Bar = 40 μm
Pengisolasian ICM dari blastosis dapat dilakukan dengan metode
immunosurgery, microsurgery atapun enzimatik (Nagy et al. 2003, Bryja et al.
2006).

Umumnya

immunosurgery.

metode

Prinsip

yang

dasar

banyak

dalam

digunakan

metode

adalah

immunosurgery

metode
adalah

pengisolasian ICM dengan cara melisiskan sel-sel trophectoderm yang ada di
sekeliling ICM.

Pelisisan sel-sel trophectoderm dilakukan dengan bantuan

antibodi dan komplemen. Antibodi akan berikatan dengan sel-sel trophectoderm
(antigen) sehingga terbentuk kompleks antigen-antibodi.

Kemudian dengan

penambahan komplemen akan terjadi lisis pada sel-sel trophectoderm akibat

13

adanya aktivasi cascade complement yang menyebabkan terjadinya membrane
attack complex (Nagy et al. 2003) sehingga diperoleh ICM sebagai hasil akhir
(Gambar 4).
Pada microsurgery, ICM diperoleh dengan melakukan pembedahan mikro
terhadap blastosis. Sedangkan pada metode enzimatik digunakan enzim trypsin
dengan konsentrasi 2.5% (Bryja et al. 2006).
tersebut,

Namun selain kedua metode

isolasi juga dapat dilakukan dengan cara alami yaitu dengan

membiarkan blastosis untuk melekat (attach) dan kemudian mengisolasi ICM
yang berupa agregat (Cowan et al. 2004, Bryja et al. 2006, Hoffman & Carpenter
2005). Ataupun menggunakan teknik single cell embryo biopsy yaitu teknik yang
umum digunakan pada saat melaluikan pre-implantation genetic diagnosis (PGD)
(Chung et al. 2005, Skottman & Hovatta 2006).

a

b

c

Gambar 4. Isolasi ICM dengan metode immunosurgery: (a) blastosis diinkubasi
dengan rabbit anti-mouse serum; (b) dilanjutkan dengan
menginkubasi blastosis dengan guinea pig complement; (c) sel-sel
trofoblas mengalami lisis sehingga diperoleh ICM (Nagy et al. 2003)

Dibandingkan dengan teknik immunosurgery, penggunaan microsurgery
dianggap lebih menguntungkan dalam proses isolasi ESC pada manusia. Hal ini
disebabkan karena tidak terjadinya kontak antara blastosis dengan antibodi yang
berasal dari hewan yang umumnya digunakan pada proses immunosurgery.
Kelemahan pada metode immunosurgery adalah risiko terbawanya sisa sel
trophectoderm pada proses isolasi yang dapat mempengaruhi dan menghambat
pertumbuhan ESC (Stojkovic et al. 2005, Skottman & Hovatta 2006).

14

Kultur Embryonic Stem Cell
Inner cell mass yang diperoleh kemudian dikultur dengan tetap
mempertahankan sifat undifferentiated yang dimilikinya (Pour et al. 2004). Pada
umumnya ESC dikultur dalam dulbecco’s modified eagle’s medium (DMEM)
(Sigma, USA) yang mengandung fetal bovine serum (FBS) 10-20% (Sigma,
USA), β-mercaptoethanol 0,1 mM (Sigma, USA), nonessential amino acids 1%
(Sigma, USA), penicillin-streptomycin 5 μl/ml (Sigma, USA), dan Leukimia
inhibitory factor (LIF) 20 ng/ml.

Penambahan LIF dalam medium kultur

berfungsi untuk mempertahankan sifat undifferentiated ESC. Leukimia inhibitory
factor akan berikatan dengan komplek reseptor heterodimer (heterodimeric
receptor complex) yang terdiri dari LIF receptor (LIFR) dan reseptor gp 130.
Ikatan tersebut akan mengaktifkan faktor transkripsi Janus-associated tyrosine
kinases (JAK) yang melekat pada reseptor LIF dan gp 130 sehingga mengalami
fosforilasi.

JAK yang terfosforilasi akan mengikat signal transducer and

activator of transcription 3 (STAT3). Ikatan yang terbentuk antara STAT3 dan
JAK menyebabkan STAT3 terfosforilasi dan memiliki kecenderungan untuk
membentuk dimer.

STAT3 dalam bentuk dimer tersebut kemudian akan

bertranslokasi ke dalam nukleus dan mengaktifkan gen-gen yang terkait dalam
kemampuan self-renewal ESC (Burdon et al. 2002, Yu & Thomson 2008).
Selain penggunaan LIF, pada kultur ESC juga digunakan feeder layer
berupa mouse embryonic fibroblast (MEF). Penggunaan MEF dalam kultur ESC
dapat mengurangi konsentrasi LIF yang digunakan yaitu dari 20 ng/ml menjadi 10
ng/ml. Hal tersebut disebabkan karena MEF juga mensekresikan basic fibroblast
growth factor (bFGF) dan LIF yang berperan dalam mempertahankan sifat
undifferentiated ESC (Hoffman & Carpenter 2005, Xu et al. 2005).

Mouse

embryonic fibroblast sebagai feeder cells selain menghasilkan mediator
pertumbuhan (growth promoting) juga berfungsi sebagai tempat melekat (cell
attachment factors) bagi ESC (Wobus & Boheler 2005).

15

Karakteristik Embryonic Stem Cells
Embryonic stem cells memiliki karakteristik sebagai berikut berasal dari
embrio yang belum melekat pada dinding rahim (preimplantation); dapat
berproliferasi tanpa berdiferensiasi dalam waktu yang panjang; dapat berkembang
menjadi berbagai sel yang berasal dari 3 lapis kecambah (endoderm, mesoderm,
dan ektoderm) (Kitiyanant et al. 2000).
Molekul penanda yang dapat digunakan dalam mendeteksi

keadaan

undifferentiated pada ESC antara lain adanya Stage Specific Embryonic Antigen
(SSEA), Octamer-4 (Oct4), dan Nanog. Stage specific embryonic antigen adalah
glikoprotein spesifik yang diekspresikan pada awal perkembangan embrionik dan
stem cells yang belum berdiferensiasi (undifferentiated stem cells). Terdapat 3
tipe SSEA yang berperan dalam ESC, yaitu SSEA-1, -3 dan -4.

SSEA-1

diekspresikan pada permukaan preimplantaion embryo dan teratocarcinoma stem
cells. SSEA-3 dan -4 disintesis selama oogenesis dan ditemukan pada permukaan
oosit, zigot, dan awal pembelahan embrio. Embryonic stem cells pada primata,
embryonic carcinoma (EC) dan ESC manusia mengekspresikan SSEA-3 dan
SSEA-4, sedangkan SSEA-1 diekspresikan oleh ESC mencit. Sedangkan Oct4
dan Nanog adalah faktor transkripsi yang berperan dalam menjaga ESC pada fase
undifferentiated (NIH 2001, Hoffman & Carpenter 2005, Wobus & Boheler
2005).
Selain itu keadaan belum berdiferensiasi (undifferentiated) dapat pula
diketahui dengan melihat aktivitas dari enzim alkaline phosphatase (AP).
Menurut O’Connor et al. 2008 pewarnaan AP merupakan indikator yang sensitif,
spesifik dan kuantitatif untuk mengetahui tingkat pluripotensi pada ESC.

Diferensiasi Embryonic Stem Cells Menjadi Sel Beta Pankreas
Stem cells yang bersifat pluripoten telah menjadi alternatif sumber sel
dalam cell replacement therapy. Pada penggunaannya, stem cells terlebih dahulu
diarahkan/diferensiasikan sehingga membentuk sel beta pankreas.

Beberapa

metode yang telah dilakukan dalam diferensiasi stem cells menjadi sel beta
pankreas antara lain, melalui modifikasi genetik sehingga stem cells akan
mengekspresikan pancreas specific promotor atau melalui diferensiasi spontan

16

yang diikuti seleksi, penggunaan growth factors (seperti activin, fibroblast growth
factor, retinoic acid, dan transforming growth factor) (Shi et al. 2005; Ku et al.
2004; Skoudy et al. 2004), penggunaan extracellular matrix (seperti laminin,
firbronectin dan collagen) (Blyszczuk et al. 2004; Schroeder et al. 2006) serta
penggunaan conditioned medium (CM) (Vaca et al. 2006).
Sel beta pankreas yang terbentuk dari hasil pengarahan ESC dapat
diidentifikasi

dari

adanya warna merah yang dihasilkan pada pewarnaan

dithizone, ataupun dari pewarnaan imunohistokimia serta analisa menggunakan
ELISA untuk melihat adanya insulin yang dihasilkan (Shiroi et al. 2002, Lin et al.
2006, Vaca et al. 2006).

Selain itu dapat juga dilakukan analisa terhadap

Connecting-peptide (C-peptide), yaitu suatu peptida yang dihasilkan dari proses
sintesis insulin (Rajagopal et al. 2003, Marques et al. 2004, Vaca et al. 2006). Sel
beta pankreas juga dapat diidentifikasi melalui ekspresi dari mRNA yang
dihasilkan pada proses sintesa insulin (proinsulin 1 dan 2) (Shiroi et al. 2005, Ku
et al. 2004, Lin et al. 2006).

Conditioned Medium
Conditioned medium adalah suatu medium yang diperoleh dari supernatan
suatu kultur sel. Penggunaan CM dalam pengarahan stem cells dilakukan karena
CM dianggap mengandung protein-protein yang disekresikan dalam kultur sel
sebelumnya.

Conditioned medium dapat digunakan dalam mempertahankan

undifferentiated pada stem cells ataupun mendukung diferensiasi stem cells
menjadi suatu tipe sel tertentu. Beberapa penelitian yang telah dilakukan pada
stem cells menggunakan CM antara lain, penggunaan CM yang dihasilkan dari
kultur sel fibroblas dalam mempertahankan sifat undifferentiated ESC (Xu et al.
2004, Ouyang et al. 2007), CM dari kultur sel glial untuk mengarahkan
diferensiasi ESC menjadi sel neuron (Tian et al. 2005), CM dari kultur sel testis
yang mengarahkan diferensiasi ESC sehingga membentuk struktur ovari yang
mengandung oosit (Lacham-Kaplan et al. 2005), dan CM dari kultur pankreas
untuk mengarahkan diferensiasi ESC menjadi sel beta pankreas (Vaca et al.
2006).

17

Penggunan CM yang dihasilkan dari kultur primer pankreas fetus usia 16.5
hari yang disertai dengan modifikasi genetik (penyisipan gen tertentu untuk
k