Diferensiasi Embryonic Stem Cells Mencit menjadi Neuron menggunakan Conditioned Medium

DIFERENSIASI EMBRYONIC STEM CELLS MENCIT
MENJADI NEURON MENGGUNAKAN
CONDITIONED MEDIUM

RIRIS LINDIAWATI PUSPITASARI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

PERNYATAAN ORISINALITAS

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Diferensiasi Embryonic Stem
Cells Mencit menjadi Neuron menggunakan Conditioned Medium adalah
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka.

Bogor, Agustus 2009


Riris Lindiawati Puspitasari
NRP B151060051

ABSTRAK
RIRIS LINDIAWATI PUSPITASARI. Diferensiasi Embryonic Stem Cells Mencit
menjadi Neuron menggunakan Conditioned Medium. Dibimbing oleh ARIEF
BOEDIONO dan FERRY SANDRA
Embryonic stem cells (ESCs) merupakan sel pluripoten yang mampu untuk
berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi berbagai tipe sel penyusun tubuh.
Potensi tersebut telah diyakini sangat bermanfaat dalam pengobatan penyakit
degeneratif. Kemampuannya untuk berdiferensiasi hingga saat ini masih terus
dikaji. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari tingkat diferensiasi ESCs
menjadi neuron secara in vitro dengan menggunakan conditioned medium (CM)
tanpa melalui pembentukan embryoid bodies (EB). ESCs mencit dikultur dalam
medium dengan penambahan 20 ng/ml Leukemia inhibitory factor (LIF) selama 8
hari hingga terbentuk outgrowth. CM berasal dari supernatan kultur primer sel
syaraf. Digunakan 2 konsentrasi CM yaitu 1x-CM (CM tidak dikonsetratkan) dan
10x-CM (CM dikonsentratkan hingga 10 kali). ESCs dikultur dalam petri yang
telah dilapisi gelatin selama 7 hari hingga berdiferensiasi. Ekspresi nestin
diketahui melalui metode 2 steps reversed transcript polymerase chain reaction

(RT-PCR). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan 10x-CM ke dalam
medium mampu menginduksi pertumbuhan neural-like cells (NLC) dengan
persentase sebesar 8.83 ± 3.06. Hasil PCR memperlihatkan adanya perbedaan
ekspresi gen nestin pada tiap sampel. Sementara itu, medium dengan penambahan
1x-CM belum mampu menginduksi terbentuknya NLC. Dengan demikian,
penambahan CM yang dikonsentratkan hingga 10 kali dapat mengarahkan
perkembangan ESCs mencit menjadi NLC tanpa melalui pembentukan EB.

Kata kunci: embryonic stem cells mencit, conditioned medium, nestin, diferensiasi
neuron

ABSTRACT
RIRIS LINDIAWATI PUSPITASARI. Conditioned medium induced neural
differentiation of mouse embryonic stem cells. Under direction of ARIEF
BOEDIONO and FERRY SANDRA
Embryonic stem cells (ESCs) are pluripotent cells having capability in
extensive proliferation while maintaining their potential to differentiate into
various cells. Therapeutic potential of these cells is promising, however there is
still insufficient ability in inducing the differentiation. In this study we examined
the effect of conditioned medium that contained many inducing factors in direct

differentiation of mouse ESCs (mESC) into neural cells without embryoid bodies
formation. Mouse ESCs were cultivated in culture with supplementation of 20
ng/ml Leukemia inhibitory factor (LIF) to form outgrowth within 8 days. Mouse
ESCs were induced with neural-cells-primary-culture-conditioned-medium. We
used two concentrations of conditioned medium (CM), 1x-CM and 10x-CM. The
mESCs were cultured on gelatin coated dishes in both of treatments for 7 days to
differentiate. The expressions of nestin were analyzed by two steps RT-PCR.
Based on result, 10x-CM increased the percentage of neural-like cells outgrowth
8.83 ± 3.06 and also nestin level expression. Mean while the treatment with 1xCM gave no neural morphology at all. In conclusion, 10x-CM had effect on neural
differentiation from mESCs.

Keywords: mouse embryonic stem cells, conditioned medium, nestin, neural
differentiation

RINGKASAN
RIRIS LINDIAWATI PUSPITASARI. Diferensiasi Embryonic Stem Cells Mencit
menjadi Neuron menggunakan Conditioned Medium. Dibimbing oleh ARIEF
BOEDIONO dan FERRY SANDRA
Stem cell atau yang juga dikenal dengan istilah sel punca, merupakan sel
yang dapat berproliferasi dengan mempertahankan sifat tidak terdiferensiasi. Sel

punca diprediksi memegang kunci untuk pengobatan beberapa penyakit
degeneratif yang pada saat ini tidak dapat disembuhkan dengan pengobatan
konvensional, misalnya pada penyakit Alzheimer, Parkinson, diabetes dan
jantung. Salah satu jenis sel punca yang telah banyak diteliti adalah Embryonic
Stem Cell (ESC). ESC dihasilkan dari inner cell mass (ICM) yang terdapat pada
embrio blastosis. ESC memiliki beberapa karakter diantaranya dapat
dipertahankan untuk tetap tidak berdiferensiasi secara in vitro dan dalam kondisi
tertentu dapat berdiferensiasi menjadi berbagai tipe sel yang menyusun tubuh.
Propagasi ESC untuk dapat berdiferensiasi menjadi sel tipe tertentu
dipengaruhi oleh beberapa faktor yang diregulasi oleh mediator pertumbuhan
yang sesuai. Secara in vitro, ESC dapat diarahkan perkembangannya menjadi sel
neuron dan sel glia. Interaksi antara sel-sel dan kondisi lingkungan mikro dapat
mempengaruhi diferensiasi ESC ataupun sel-sel prekursor baik secara in vitro
maupun in vivo. Selain itu, pengarahan ESC menggunakan conditioned medium
(CM) juga memungkinkan dikarenakan CM dapat menyediakan faktor-faktor
penginduksi neuron. CM merupakan medium yang dikoleksi dari kultur primer
sel tertentu setelah dikultur selama beberapa hari.
Conditioned medium dari kultur primer sel syaraf mengandung sejumlah
faktor pertumbuhan antara lain nerve growth factor (NGF), glial derivedneurotrophic factor (GDNF), nestin, dan glial fibrillary acidic protein (GFAP).
Pada umumnya tahapan untuk mendiferensiasikan ESCs adalah melalui

pembentukan embryoid bodies (EB) terlebih dahulu. EB merupakan agregat sel
yang terdiri atas sel-sel ektodermal, mesodermal, dan endodermal. Metode
diferensiasi ESC mencit menjadi sel neuron dengan menggunakan CM secara
tunggal dan tanpa melalui tahapan EB belum dilaporkan. Oleh karena itu tujuan
penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh penggunaan CM dari kultur
primer sel syaraf secara tunggal (tanpa penambahan GF eksternal), terhadap
tingkat pengarahan ESC mencit menjadi sel neuron.
Penelitian ini menggunakan inner cell mass (ICM) dari blastosis mencit
sebagai sumber ESCs. ICM yang berhasil dikoleksi kemudian dikultur dalam
medium ESCs dengan penambahan 20 ng/ml LIF. ICM dikultur pada petri yang
telah dilapisi gelatin. Penggunaan LIF dimaksudkan agar ESCs tidak
berdiferensiasi. Setelah 8 hari, koloni ESCs dikultur dalam medium diferensiasi
sebagai perlakuan. Perlakuan yang digunakan adalah 2 konsentrasi CM yaitu CM
yang belum dikonsentratkan (1x-CM) dan CM yang telah dikonsentratkan hingga
sepuluh kali (10x-CM). Konsentrasinya berturut-turut adalah 490 μg/ml dan 2615
μg/ml. CM berasal dari supernatan kultur primer sel syaraf setelah dikultur selama
8 hari. Volume yang digunakan yaitu 50% (untuk 1x-CM) dan 5% (untuk 10xCM). Parameter perkembangan ICM yang diamati adalah attachment rate,

pembentukan koloni primer, outgrowth, dan tingkat diferensiasi ESC menjadi sel
neuron. Data hasil perkembangan ICM dijelaskan secara deskriptif. Isolasi RNA

total dilakukan pada hari ke-7. Kemampuan ekspresi gen nestin (penanda untuk
sel progenitor neuron) dilihat berdasarkan hasil two steps reversed transcriptpolymerase chain reaction (RT-PCR).
Keseluruhan blastosis yang diperoleh berjumlah sekitar 400 embrio. Dengan
memberikan kondisi kultur yang sama maka terlihat adanya sejumlah
perkembangan dari embrio. Kemampuan ICM untuk melekat ke dasar petri
(attachment rate) adalah 73.5 ± 2.52% dan 72.5 ± 4.43%. Attachment rate
diobservasi pada 24 dan 48 jam setelah penanaman. ICM yang melekat
selanjutnya akan tumbuh dan berkembang membentuk koloni primer.
Perkembangan koloni primer ditandai dengan bertambahnya diameter koloni
seiring bertambahnya hari pengamatan. Hingga hari ke-8, koloni primer yang
terbentuk yaitu 66 ± 7.66% dan 67 ± 5.29%. Pada koloni primer, stem cell tumbuh
dan berkembang membentuk multilayer. Selain itu juga terlihat adanya
pertumbuhan sel ke arah samping koloni atau outgrowth. Sebanyak 66 ± 7.66%
dan 66 ± 4.90% koloni dapat berkembang membentuk outgrowth.
Pada tahap diferensiasi, sel neuron yang tumbuh diidentifikasi sebagai
neural-like cells (NLC) dikarenakan pengujian lanjutan seperti imunositokimia
untuk menentukan tipe atau jenis sel yang tumbuh tidak dilakukan. Secara visual,
NLC tumbuh di area tepi dari koloni dan beberapa sel memiliki neurit yang saling
berhubungan satu dengan lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada
sampel dengan penambahan 1x-CM tidak menunjukkan adanya pertumbuhan

NLC. Hal yang berbeda tampak pada sampel dengan penambahan 10x-CM.
Sebanyak 8.83 ± 3.06% NLC teramati di bagian outgrowth, sehingga dapat
dikatakan bahwa penambahan 10x-CM lebih mampu menginduksi terbentuknya
NLC dari mESC. Kemampuan tersebut dikarenakan CM yang telah
dikonsentratkan hingga sepuluh kali memiliki kandungan faktor-faktor yang
berperan optimal untuk mengarahkan perkembangan mESC menjadi NLC. Lebih
lanjut, conditioned medium dari kultur primer syaraf mengandung sejumlah faktor
yang penting bagi perkembangan ESC menjadi sel neuron seperti nerve growth
factor (NGF), glial derived-neurotrophic factor (GDNF), fibroblast growth
factor-2 (FGF-2), dan glial fibrillary acidic protein (GFAP).
Isolasi RNA total dari tiap sampel dilakukan setelah kultur diferensiasi
berusia 7 hari. Hasil isolasi memperlihatkan bahwa RNA total dari tiap sampel
terdapat pada kisaran 29.80 ng/μl hingga 90.40 ng/μl. Sebagai kontrol positif
terhadap nestin adalah jaringan otak yang memiliki RNA total dengan konsentrasi
90.40 ng/μl. Setelah RNA total didapat maka dilakukan konversi ke cDNA. Untuk
mendeteksi ekspresi dari gen target, sebelumnya dilakukan optimasi terhadap
primer agar didapatkan hasil pembacaan pita tunggal dan spesifik. Berdasarkan
hasil PCR, dapat dikatakan bahwa pemilihan primer sudah cukup spesifik
sehingga produk yang dinilai intensitasnya menghasilkan pita tunggal sebesar 327
bp untuk nestin.

Hasil pembacaan PCR mengkonfirmasi bahwa sampel dengan penambahan
1x-CM tidak menghasilkan pita. Sedangkan pada sampel dengan penambahan
10x-CM terlihat bahwa nestin terekspresi dengan intensitas pita yang bervariasi.
Namun demikian, level ekspresi nestin dari tiap sampel memiliki nilai yang cukup
mirip. Sebagai kontrol pembanding digunakan beta aktin. Setelah setiap gel

didokumentasikan dengan G-box, maka dilakukan kuantitasi hasil pita-pita
bacaannya. Pada sampel dengan penambahan 10x-CM, rasio nestin terhadap beta
aktin berkisar pada 0.08083 hingga 0.20318. Sedangkan pada kontrol positif yaitu
jaringan otak memiliki nilai rasio 0.69848. Apabila dibandingkan antara nilai
rasio nestin/beta aktin dengan jumlah koloni yang berdiferensiasi pada sampel
maka didapat nilai rasio ekspresi per koloni berkisar pada 0.04.
Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa conditioned medium yang
dikonsentratkan hingga sepuluh kali (10x-CM) dapat menunjang diferensiasi ESC
mencit menjadi neural-like cells. Selain itu diferensiasi ESC mencit menjadi NLC
dapat dilakukan tanpa melalui pembentukan embryoid bodies.

Kata kunci: embryonic stem cells mencit, conditioned medium, nestin, diferensiasi
sel neuron


© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebut sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

DIFERENSIASI EMBRYONIC STEM CELLS MENCIT
MENJADI NEURON MENGGUNAKAN
CONDITIONED MEDIUM

RIRIS LINDIAWATI PUSPITASARI

Tesis
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Magister Sains pada

Program Studi Sains Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. drh. Nurhidayat, M.S.

DIFERENSIASI EMBRYONIC STEM CELLS MENCIT
MENJADI NEURON MENGGUNAKAN
CONDITIONED MEDIUM

RIRIS LINDIAWATI PUSPITASARI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009


PERNYATAAN ORISINALITAS

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Diferensiasi Embryonic Stem
Cells Mencit menjadi Neuron menggunakan Conditioned Medium adalah
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka.

Bogor, Agustus 2009

Riris Lindiawati Puspitasari
NRP B151060051

ABSTRAK
RIRIS LINDIAWATI PUSPITASARI. Diferensiasi Embryonic Stem Cells Mencit
menjadi Neuron menggunakan Conditioned Medium. Dibimbing oleh ARIEF
BOEDIONO dan FERRY SANDRA
Embryonic stem cells (ESCs) merupakan sel pluripoten yang mampu untuk
berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi berbagai tipe sel penyusun tubuh.
Potensi tersebut telah diyakini sangat bermanfaat dalam pengobatan penyakit
degeneratif. Kemampuannya untuk berdiferensiasi hingga saat ini masih terus
dikaji. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari tingkat diferensiasi ESCs
menjadi neuron secara in vitro dengan menggunakan conditioned medium (CM)
tanpa melalui pembentukan embryoid bodies (EB). ESCs mencit dikultur dalam
medium dengan penambahan 20 ng/ml Leukemia inhibitory factor (LIF) selama 8
hari hingga terbentuk outgrowth. CM berasal dari supernatan kultur primer sel
syaraf. Digunakan 2 konsentrasi CM yaitu 1x-CM (CM tidak dikonsetratkan) dan
10x-CM (CM dikonsentratkan hingga 10 kali). ESCs dikultur dalam petri yang
telah dilapisi gelatin selama 7 hari hingga berdiferensiasi. Ekspresi nestin
diketahui melalui metode 2 steps reversed transcript polymerase chain reaction
(RT-PCR). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan 10x-CM ke dalam
medium mampu menginduksi pertumbuhan neural-like cells (NLC) dengan
persentase sebesar 8.83 ± 3.06. Hasil PCR memperlihatkan adanya perbedaan
ekspresi gen nestin pada tiap sampel. Sementara itu, medium dengan penambahan
1x-CM belum mampu menginduksi terbentuknya NLC. Dengan demikian,
penambahan CM yang dikonsentratkan hingga 10 kali dapat mengarahkan
perkembangan ESCs mencit menjadi NLC tanpa melalui pembentukan EB.

Kata kunci: embryonic stem cells mencit, conditioned medium, nestin, diferensiasi
neuron

ABSTRACT
RIRIS LINDIAWATI PUSPITASARI. Conditioned medium induced neural
differentiation of mouse embryonic stem cells. Under direction of ARIEF
BOEDIONO and FERRY SANDRA
Embryonic stem cells (ESCs) are pluripotent cells having capability in
extensive proliferation while maintaining their potential to differentiate into
various cells. Therapeutic potential of these cells is promising, however there is
still insufficient ability in inducing the differentiation. In this study we examined
the effect of conditioned medium that contained many inducing factors in direct
differentiation of mouse ESCs (mESC) into neural cells without embryoid bodies
formation. Mouse ESCs were cultivated in culture with supplementation of 20
ng/ml Leukemia inhibitory factor (LIF) to form outgrowth within 8 days. Mouse
ESCs were induced with neural-cells-primary-culture-conditioned-medium. We
used two concentrations of conditioned medium (CM), 1x-CM and 10x-CM. The
mESCs were cultured on gelatin coated dishes in both of treatments for 7 days to
differentiate. The expressions of nestin were analyzed by two steps RT-PCR.
Based on result, 10x-CM increased the percentage of neural-like cells outgrowth
8.83 ± 3.06 and also nestin level expression. Mean while the treatment with 1xCM gave no neural morphology at all. In conclusion, 10x-CM had effect on neural
differentiation from mESCs.

Keywords: mouse embryonic stem cells, conditioned medium, nestin, neural
differentiation

RINGKASAN
RIRIS LINDIAWATI PUSPITASARI. Diferensiasi Embryonic Stem Cells Mencit
menjadi Neuron menggunakan Conditioned Medium. Dibimbing oleh ARIEF
BOEDIONO dan FERRY SANDRA
Stem cell atau yang juga dikenal dengan istilah sel punca, merupakan sel
yang dapat berproliferasi dengan mempertahankan sifat tidak terdiferensiasi. Sel
punca diprediksi memegang kunci untuk pengobatan beberapa penyakit
degeneratif yang pada saat ini tidak dapat disembuhkan dengan pengobatan
konvensional, misalnya pada penyakit Alzheimer, Parkinson, diabetes dan
jantung. Salah satu jenis sel punca yang telah banyak diteliti adalah Embryonic
Stem Cell (ESC). ESC dihasilkan dari inner cell mass (ICM) yang terdapat pada
embrio blastosis. ESC memiliki beberapa karakter diantaranya dapat
dipertahankan untuk tetap tidak berdiferensiasi secara in vitro dan dalam kondisi
tertentu dapat berdiferensiasi menjadi berbagai tipe sel yang menyusun tubuh.
Propagasi ESC untuk dapat berdiferensiasi menjadi sel tipe tertentu
dipengaruhi oleh beberapa faktor yang diregulasi oleh mediator pertumbuhan
yang sesuai. Secara in vitro, ESC dapat diarahkan perkembangannya menjadi sel
neuron dan sel glia. Interaksi antara sel-sel dan kondisi lingkungan mikro dapat
mempengaruhi diferensiasi ESC ataupun sel-sel prekursor baik secara in vitro
maupun in vivo. Selain itu, pengarahan ESC menggunakan conditioned medium
(CM) juga memungkinkan dikarenakan CM dapat menyediakan faktor-faktor
penginduksi neuron. CM merupakan medium yang dikoleksi dari kultur primer
sel tertentu setelah dikultur selama beberapa hari.
Conditioned medium dari kultur primer sel syaraf mengandung sejumlah
faktor pertumbuhan antara lain nerve growth factor (NGF), glial derivedneurotrophic factor (GDNF), nestin, dan glial fibrillary acidic protein (GFAP).
Pada umumnya tahapan untuk mendiferensiasikan ESCs adalah melalui
pembentukan embryoid bodies (EB) terlebih dahulu. EB merupakan agregat sel
yang terdiri atas sel-sel ektodermal, mesodermal, dan endodermal. Metode
diferensiasi ESC mencit menjadi sel neuron dengan menggunakan CM secara
tunggal dan tanpa melalui tahapan EB belum dilaporkan. Oleh karena itu tujuan
penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh penggunaan CM dari kultur
primer sel syaraf secara tunggal (tanpa penambahan GF eksternal), terhadap
tingkat pengarahan ESC mencit menjadi sel neuron.
Penelitian ini menggunakan inner cell mass (ICM) dari blastosis mencit
sebagai sumber ESCs. ICM yang berhasil dikoleksi kemudian dikultur dalam
medium ESCs dengan penambahan 20 ng/ml LIF. ICM dikultur pada petri yang
telah dilapisi gelatin. Penggunaan LIF dimaksudkan agar ESCs tidak
berdiferensiasi. Setelah 8 hari, koloni ESCs dikultur dalam medium diferensiasi
sebagai perlakuan. Perlakuan yang digunakan adalah 2 konsentrasi CM yaitu CM
yang belum dikonsentratkan (1x-CM) dan CM yang telah dikonsentratkan hingga
sepuluh kali (10x-CM). Konsentrasinya berturut-turut adalah 490 μg/ml dan 2615
μg/ml. CM berasal dari supernatan kultur primer sel syaraf setelah dikultur selama
8 hari. Volume yang digunakan yaitu 50% (untuk 1x-CM) dan 5% (untuk 10xCM). Parameter perkembangan ICM yang diamati adalah attachment rate,

pembentukan koloni primer, outgrowth, dan tingkat diferensiasi ESC menjadi sel
neuron. Data hasil perkembangan ICM dijelaskan secara deskriptif. Isolasi RNA
total dilakukan pada hari ke-7. Kemampuan ekspresi gen nestin (penanda untuk
sel progenitor neuron) dilihat berdasarkan hasil two steps reversed transcriptpolymerase chain reaction (RT-PCR).
Keseluruhan blastosis yang diperoleh berjumlah sekitar 400 embrio. Dengan
memberikan kondisi kultur yang sama maka terlihat adanya sejumlah
perkembangan dari embrio. Kemampuan ICM untuk melekat ke dasar petri
(attachment rate) adalah 73.5 ± 2.52% dan 72.5 ± 4.43%. Attachment rate
diobservasi pada 24 dan 48 jam setelah penanaman. ICM yang melekat
selanjutnya akan tumbuh dan berkembang membentuk koloni primer.
Perkembangan koloni primer ditandai dengan bertambahnya diameter koloni
seiring bertambahnya hari pengamatan. Hingga hari ke-8, koloni primer yang
terbentuk yaitu 66 ± 7.66% dan 67 ± 5.29%. Pada koloni primer, stem cell tumbuh
dan berkembang membentuk multilayer. Selain itu juga terlihat adanya
pertumbuhan sel ke arah samping koloni atau outgrowth. Sebanyak 66 ± 7.66%
dan 66 ± 4.90% koloni dapat berkembang membentuk outgrowth.
Pada tahap diferensiasi, sel neuron yang tumbuh diidentifikasi sebagai
neural-like cells (NLC) dikarenakan pengujian lanjutan seperti imunositokimia
untuk menentukan tipe atau jenis sel yang tumbuh tidak dilakukan. Secara visual,
NLC tumbuh di area tepi dari koloni dan beberapa sel memiliki neurit yang saling
berhubungan satu dengan lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada
sampel dengan penambahan 1x-CM tidak menunjukkan adanya pertumbuhan
NLC. Hal yang berbeda tampak pada sampel dengan penambahan 10x-CM.
Sebanyak 8.83 ± 3.06% NLC teramati di bagian outgrowth, sehingga dapat
dikatakan bahwa penambahan 10x-CM lebih mampu menginduksi terbentuknya
NLC dari mESC. Kemampuan tersebut dikarenakan CM yang telah
dikonsentratkan hingga sepuluh kali memiliki kandungan faktor-faktor yang
berperan optimal untuk mengarahkan perkembangan mESC menjadi NLC. Lebih
lanjut, conditioned medium dari kultur primer syaraf mengandung sejumlah faktor
yang penting bagi perkembangan ESC menjadi sel neuron seperti nerve growth
factor (NGF), glial derived-neurotrophic factor (GDNF), fibroblast growth
factor-2 (FGF-2), dan glial fibrillary acidic protein (GFAP).
Isolasi RNA total dari tiap sampel dilakukan setelah kultur diferensiasi
berusia 7 hari. Hasil isolasi memperlihatkan bahwa RNA total dari tiap sampel
terdapat pada kisaran 29.80 ng/μl hingga 90.40 ng/μl. Sebagai kontrol positif
terhadap nestin adalah jaringan otak yang memiliki RNA total dengan konsentrasi
90.40 ng/μl. Setelah RNA total didapat maka dilakukan konversi ke cDNA. Untuk
mendeteksi ekspresi dari gen target, sebelumnya dilakukan optimasi terhadap
primer agar didapatkan hasil pembacaan pita tunggal dan spesifik. Berdasarkan
hasil PCR, dapat dikatakan bahwa pemilihan primer sudah cukup spesifik
sehingga produk yang dinilai intensitasnya menghasilkan pita tunggal sebesar 327
bp untuk nestin.
Hasil pembacaan PCR mengkonfirmasi bahwa sampel dengan penambahan
1x-CM tidak menghasilkan pita. Sedangkan pada sampel dengan penambahan
10x-CM terlihat bahwa nestin terekspresi dengan intensitas pita yang bervariasi.
Namun demikian, level ekspresi nestin dari tiap sampel memiliki nilai yang cukup
mirip. Sebagai kontrol pembanding digunakan beta aktin. Setelah setiap gel

didokumentasikan dengan G-box, maka dilakukan kuantitasi hasil pita-pita
bacaannya. Pada sampel dengan penambahan 10x-CM, rasio nestin terhadap beta
aktin berkisar pada 0.08083 hingga 0.20318. Sedangkan pada kontrol positif yaitu
jaringan otak memiliki nilai rasio 0.69848. Apabila dibandingkan antara nilai
rasio nestin/beta aktin dengan jumlah koloni yang berdiferensiasi pada sampel
maka didapat nilai rasio ekspresi per koloni berkisar pada 0.04.
Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa conditioned medium yang
dikonsentratkan hingga sepuluh kali (10x-CM) dapat menunjang diferensiasi ESC
mencit menjadi neural-like cells. Selain itu diferensiasi ESC mencit menjadi NLC
dapat dilakukan tanpa melalui pembentukan embryoid bodies.

Kata kunci: embryonic stem cells mencit, conditioned medium, nestin, diferensiasi
sel neuron

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebut sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

DIFERENSIASI EMBRYONIC STEM CELLS MENCIT
MENJADI NEURON MENGGUNAKAN
CONDITIONED MEDIUM

RIRIS LINDIAWATI PUSPITASARI

Tesis
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Sains Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. drh. Nurhidayat, M.S.

Judul tesis
Nama
NRP

: Diferensiasi Embryonic Stem Cells Mencit menjadi
Neuron menggunakan Conditioned Medium
: Riris Lindiawati Puspitasari
: B151060051

Disetujui
Komisi Pembimbing

Prof. drh. Arief Boediono, Ph.D
Ketua

Ferry Sandra, DDS, Ph.D, LFIBA, CIPM
Anggota

Diketahui
Ketua Program Studi
Sains Veteriner

Dr. drh. Bambang Pontjo P., M.S.

Tanggal Ujian: 20 Agustus 2009

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Alhamdulillah, segala puji untuk Allah SWT atas berkat, rahmat, izin, dan
pertolongan-Nya sehingga penelitian dan penulisan tesis ini dapat diselesaikan.
Terima kasih sebesar-besarnya penulis haturkan kepada:
1. Prof. drh. Arief Boediono, Ph.D selaku ketua komisi pembimbing, untuk
waktu, dedikasi pemikiran, dan dukungan moral untuk penulis dalam
menyelesaikan proses akademis di Program Studi Sains Veteriner Sekolah
Pascasarjana IPB.
2. Ferry Sandra, DDS, Ph.D, LFIBA, CIPM selaku anggota komisi
pembimbing untuk waktu, dedikasi pemikiran, dukungan moral dan
material dalam menempuh proses akademis di Program Studi Sains
Veteriner Sekolah Pascasarjana IPB.
3. dr. Boenjamin Setiawan, Ph.D yang telah membuka jalan dan motivasi
bagi penulis untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi.
4. Ahmad R. Utomo, Ph.D selaku peneliti di Stem Cell and Cancer Institute
yang dengan suka rela turut memberikan solusi dalam proses pengerjaan
penelitian.
5. Dr. Novik Nurhidayat selaku peneliti di Pusat Penelitian Biologi LIPI
yang dengan suka rela bersedia memberikan solusi demi terselesaikannya
penelitian ini.
6. Dr. drh. Hj. Ita Djuwita, M.Phil selaku kepala Laboratorium Embriologi
dan Terpadu FKH IPB yang telah memberikan kesempatan dan
menyumbangkan pemikiran kepada penulis selama proses penelitian.
7. Staf pengajar, staf administrasi, dan rekan-rekan di Laboratorium
Embriologi untuk bimbingan dan kerjasamanya dalam keseluruhan proses
akademis.
8. Rekan-rekan di Stem Cell and Cancer Institute atas dukungan selama
penulis menyelesaikan studi di FKH IPB.
9. Keluarga dan sahabat, pendamping dan motivator terbaik di setiap
kesempatan sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

Akhir kata semoga tesis yang berjudul “Diferensiasi embryonic stem cells
mencit menjadi neuron menggunakan conditioned medium” ini dapat bermanfaat
bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Agustus 2009

Riris L. Puspitasari

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 7 Mei 1979 sebagai anak bungsu
dari pasangan Sukamto dan Asmijati. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan
Biologi FMIPA Universitas Indonesia, lulus pada tahun 2004. Pada tahun 2006,
penulis berkesempatan melanjutkan studi ke program magister pada Program
Studi Sains Veteriner Sekolah Pascasarjana IPB.
Penulis bekerja sebagai Research Assistant di Stem Cell and Cancer
Institute Jakarta sejak tahun 2006. Penulis tergabung dalam divisi Cancer.
Selama menyelesaikan studi, penulis menjadi anggota Asosiasi Sel Punca
Indonesia. Sebuah artikel telah diterbitkan dengan judul Kultur embryonic stem
cell menjadi sel neuron dengan medium bebas serum, pada jurnal Cermin Dunia
Kedokteran tahun 2008.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL……………………………………………………….

xvi

DAFTAR GAMBAR……………………………………………………

xvii

PENDAHULUAN
Latar Belakang…………………………………………………….
Tujuan Penelitian………………………………………………….
Manfaat Penelitian………………………………………………...

1
3
3

TINJAUAN PUSTAKA
Stem Cell…………………………………………………………..
Diferensiasi Embryonic Stem Cells…………………………….....
Conditioned Medium……………………………………………...
Neural Stem Cell………………………………………………….

4
6
7
8

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian……………………………………...
Rancangan Percobaan……………………………………………...
Metode Penelitian
Kultur Primer Sel Syaraf……………………………………..
Pembuatan Conditioned Medium (CM)………………….......
Superovulasi Mencit dan koleksi Blastosis…………………..
Isolasi Inner Cell Mass (ICM)………………………………..
Kultur Mouse Embryonic Stem Cell (mESC)………………...
Diferensiasi mESC menjadi Sel Neuron dengan CM………..
Isolasi RNA total……………………………………………..
Pengukuran RNA total dengan spektrofotometer……………
Konversi RNA total menjadi cDNA…………………………
Reaksi Polymerase Chain Reaction (PCR)…………………..
Visualisasi hasil dengan gel elektroforesis dan G-box………
Analisis hasil digital G-box…………………………………..
Analisis Data……………………………………………………….

12
13
13
14
14
15
15
16
17
17
18
18
19

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kultur Primer Sel Syaraf………………………………………….
Conditioned medium………………………………………………
Kultur ESC Mencit…………………………………………………
Diferensiasi ESC Mencit menjadi Sel Neuron……………………..
Ekspresi Nestin…………………………………………………......
Potensi 10x-CM dalam Diferensiasi mESC Mencit menjadi Neuron

20
23
25
27
30
33

KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………………...

34

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………..

35

12
12

DAFTAR TABEL
Halaman
1. Perkembangan ICM dalam kultur………………………………………....

26

2. Karakter koloni yang berdiferensiasi……………...………………………

28

3. Hasil isolasi RNA total dari sampel……………………………………….

30

4. Hasil rasio ekspresi nestin terhadap beta aktin pada sampel 10x-CM……..

32

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Potongan sagital otak mencit dengan area neurogenesis…………….

9

2. Skema perkembangan neural stem cell………………………………

10

3. Perkembangan sel syaraf dalam kultur……………………………….

22

4. Hasil pengukuran konsentrasi CM……………………………………

24

5. Perkembangan ICM selama kultur ESC……………………………...

25

6. Beberapa neural-like cells yang teramati……………………………..

29

7. Hasil gel elektroforesis sampel 10x-CM……………………………….

31

DAFTAR SINGKATAN
ESC

Embryonic Stem Cell

ICM

Inner Cell Mass

CM

Conditioned Medium

NPC

Neural Progenitor Cell

mESC

Mouse Embryonic Stem Cell

bFGF

basic Fibrolast Growth Factor

NGF

Nerve Growth Factor

GDNF

Glial Derived-Neurotrophic Factor

GFAP

Glial Fibrillary Acidic Protein

EGF

Epidermal Growth Factor

ASC

Adult Stem Cell

HSC

Hematopoietic Stem Cell

MSC

Mesenchymal Stem Cell

CNS

Central Nervous System

EB

Embryoid Bodies

SVZ

Subventricular Zone

OB

Olfactory Bulb

NSC

Neural Stem Cell

PNS

Peripheral Nervous System

NMWL

Nominal Molecular Weight Limit

PMSG

Pregnant Mare’s Serum Gonadotrophin

hCG

human Chorionic Gonadotrophin

DMEM

Dulbecco’s Modified Eagle’s Medium

FBS

Fetal Bovine Serum

LIF

Leukemia Inhibitory Factor

RT-PCR

Reversed-Transcript Polymerase Chain Reaction

AMV

Avian Myeloblastosis Virus

NGF

Nerve Growth Factor

NLC

Neural-Like Cell

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Stem cell atau yang juga dikenal dengan istilah sel punca, merupakan sel
yang dapat berproliferasi dengan mempertahankan sifat tidak terdiferensiasi.
Dengan stimulasi sinyal-sinyal tertentu, stem cell dapat dipicu untuk berubah
menjadi jenis sel yang lain. Istilah stem cell tidak terbatas pada sel yang berasal
dari embrio. Jaringan dewasa, termasuk sumsum tulang, plasenta maupun darah
tali pusat dapat menjadi sumber alternatif stem cell. Stem cell diprediksi
memegang kunci untuk pengobatan beberapa penyakit degeneratif yang pada saat
ini tidak dapat disembuhkan dengan pengobatan konvensional, misalnya pada
penyakit degeneratif seperti Alzheimer, Parkinson, diabetes dan jantung. Beberapa
pengobatan yang tersedia untuk penyakit tersebut cenderung panjang dan
umumnya tidak dapat menyembuhkan penyakit tersebut. Hal tersebut mendorong
peneliti untuk mengusahakan kemungkinan-kemungkinan perbaikan fungsi organ
secara lebih spesifik, elegan, dan tidak invasif misalnya dengan menggunakan
stem cell (Mattson et al 2002 dan Atmosukarto 2005).
Salah satu jenis stem cell yang telah banyak diteliti adalah embryonic stem
cell (ESC). Embryonic stem cell dihasilkan dari inner cell mass (ICM) yang
terdapat pada blastosis dan memiliki beberapa karakter diantaranya dapat
dipertahankan untuk tetap tidak berdiferensiasi secara in vitro, serta dalam kondisi
tertentu dapat berdiferensiasi menjadi berbagai tipe sel yang menyusun tubuh.
Aplikasi ESC untuk terapi penyakit neurodegeneratif terbukti bermanfaat
meskipun masih dalam tahap penelitian pada hewan coba.
Propagasi ESC untuk dapat berdiferensiasi menjadi sel tipe tertentu
dipengaruhi oleh beberapa faktor yang diregulasi oleh mediator pertumbuhan
yang sesuai. Secara in vitro, ESC dapat diarahkan perkembangannya menjadi sel
glia (Bouhon et al 2005) dan neuron (Zhang et al 2006). Bentz et al (2006)
mengemukakan bahwa interaksi sel-sel dan kondisi lingkungan mikro dapat
mempengaruhi diferensiasi ESC ataupun sel-sel prekursor baik secara in vitro
maupun in vivo. Selain itu, Zhang et al (2006) menyatakan bahwa pengarahan
ESC menggunakan conditioned medium (CM) juga memungkinkan dikarenakan

1

CM mengandung faktor-faktor penginduksi neuron sebagai hasil sekresi dari
kultur primer. CM merupakan medium yang dikoleksi dari kultur primer sel
tertentu setelah dikultur selama beberapa hari. Ding dan Schultz (2004)
menambahkan bahwa stem cell fate ditentukan oleh regulator intrinsik dan
lingkungan ekstraseluler (microenvironment). Konsep pentingnya peranan
microenvironment dikemukakan oleh Shihabuddin et al (2000) yang menyatakan
bahwa neural progenitor cell (NPC) yang ditransplantasikan ke area yang sedang
mengalami neurogenesis mampu berdiferensiasi menjadi neuron yang fungsional.
Berbagai riset telah dilakukan untuk menggali lebih dalam mengenai
penggunaan CM. Dengan melakukan purifikasi protein yang terkandung di dalam
CM, maka diharapkan spektrum protein yang ada menjadi lebih sempit sehingga
protein target dapat terdeteksi. Salah satu metode awal untuk melakukan purifikasi
protein yang terkandung dalam CM yaitu dengan melakukan pemekatan, misalnya
dengan menggunakan Centricon plus 20® (Sipione et al 2006 dan Lin et al 2008).
Centricon plus 20® menerapkan prinsip ultrafiltrasi, sehingga hanya protein
berberat molekul lebih dari 10 kDa yang akan tertahan. Dasar pemilihan
Centricon dengan cut off 10 kDa adalah bahwa sejumlah faktor yang berkontribusi
terhadap diferensiasi mouse ESC (mESC) menjadi neuron memiliki berat molekul
bervariasi antara lain basic fibrolast growth factor (bFGF) (17 kDa), FGF-2 (1824 kDa) (Giordano et al 1991), nerve growth factor (NGF) (26 kDa) (Kitazawa
dan Shimizu 2005), glial derived-neurotrophic factor (GDNF) (50 kDa) (Hoefen
et al 2004 dan Yue et al 2006), dan glial fibrillary acidic protein (GFAP) (55
kDa) (Moghadasali et al 2007). Dengan demikian, diharapkan faktor-faktor
tersebut yang tertahan setelah dilakukan proses pemekatan.
Sejauh ini, penggunaan CM sebagai faktor untuk mendiferensiasikan stem
cell umumnya dikombinasikan dengan penggunaan growth factor eksternal antara
lain epidermal growth factor (EGF) (Zhang et al 2006) dan bFGF (Moghadasali et
al 2007). Selain itu juga dikemukakan bahwa salah satu tahapan untuk
mendiferensiasikan stem cell adalah melalui pembentukan embryoid bodies (EB)
terlebih dahulu. EB merupakan agregat sel yang terdiri atas sel-sel ektodermal,
mesodermal, dan endodermal (Ding dan Schultz 2004). Metode diferensiasi
mESC menjadi neuron dengan menggunakan CM secara tunggal dan tanpa

2

melalui tahapan EB belum dilaporkan. Oleh sebab itu perlu adanya studi yang
mengkaji metode alternatif untuk mendiferensiasikan mESC menjadi neuron.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh penggunaan CM
dari kultur primer sel syaraf secara tunggal (tanpa penambahan GF eksternal),
terhadap tingkat pengarahan ESC mencit menjadi neuron.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan informasi mengenai
pengembangan metode diferensiasi ESC mencit menjadi sel-neuron. Selain itu
komponen conditioned medium dapat dikaji lebih lanjut guna mendapatkan
kandidat protein yang berperan dalam diferensiasi mESC menjadi neuron.

3

TINJAUAN PUSTAKA
Stem Cell
Stem cell atau stem cell, diprediksi memegang kunci untuk pengobatan
beberapa penyakit yang pada saat ini tidak dapat disembuhkan dengan pengobatan
konvensional. Berkat kemajuan medis yang sifatnya preventif dan terapetik, umur
rata-rata masyarakat modern pun cenderung meningkat. Hal ini mendorong
munculnya penyakit degeneratif seperti Alzheimer, Parkinson, diabetes dan
penyakit jantung yang menjadi beban sangat besar dalam sistem kesehatan
(Mattson et al 2002). Beberapa pengobatan yang tersedia untuk penyakit tersebut
dirasakan belum optimal. Pengobatan yang ada umumnya bersifat mengelola
kondisi pasien demi memperbaiki kualitas hidupnya. Kondisi yang diderita tetap
harus dimonitor untuk jangka waktu panjang, sehingga pada akhirnya akan
menjadi beban finansial yang berat. Hal tersebut mendorong peneliti untuk
mencari alternatif metode pengobatan dengan menggunakan stem cell
(Atmosukarto 2005).
Selama bertahun-tahun para peneliti mencari dan mencoba memahami
mengapa sebagian sel dan organ tubuh manusia mampu memperbaiki diri
sedangkan sel dan organ lainnya tidak. Saat ini pencarian tersebut difokuskan
pada bidang stem cell. Stem cell merupakan hasil penelitian dasar di bidang
biologi yang diperkirakan dapat membawa terobosan yang besar di bidang
kedokteran. Stem cell adalah jenis sel khusus yang memiliki kemampuan
membentuk ulang dirinya dan pada saat bersamaan dengan pacuan yang tepat
mampu membentuk diri menjadi sel yang terspesialisasi (NIH 2001). Sel-sel
tersebut merupakan kumpulan sel yang dapat ditemukan pada semua tahap
perkembangan mulai dari masa embrio preimplantasi hingga masa dewasa.
Terdapat dua kelompok utama stem cell menurut sumbernya yaitu yang diisolasi
dari inner cell mass embrio dan yang diisolasi dari berbagai jaringan dewasa
(Denham et al 2007).
Pada tahun 1981, telah dilaporkan bahwa Evans dan Kaufman berhasil
mengisolasi stem cell dari embrio mencit. Stem cell ini disebut embryonic stem
cell (ESC). Untuk mendapatkannya mereka melakukan pembedahan mikro pada

4

bagian inner cell mass (ICM) dari blastosis mencit. Sel-sel tersebut merupakan
sel-sel yang belum berdiferensiasi, dapat berproliferasi selama periode yang tak
terbatas dalam kultur, dan dapat diinduksi untuk berdiferensiasi menjadi berbagai
tipe sel dengan fungsi khusus sehingga bersifat pluripoten. Sementara itu
penggunaan ESC dalam dunia klinis sampai saat ini belum dapat tercapai
mengingat kontroversi etis masih melingkupinya. Namun demikian tidak menutup
kesempatan bagi ESC untuk dikembangkan lebih dalam mengingat sifatnya yang
khas tersebut (Setiawan 2006).
Stem cell dari jaringan dewasa (adult stem cell) dapat memperbanyak diri,
tetapi mempunyai kemampuan diferensiasi yang terbatas. Jenis sel ini hanya dapat
berdiferensiasi menjadi jenis sel tertentu; karena itu sifat ASC adalah multipoten.
Terdapat berbagai sumber yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber ASC
diantaranya adalah sumsum tulang dan jaringan fetomaternal seperti darah tali
pusat, matriks tali pusat, serta plasenta. Subset stem cell yang diketahui
terkandung di dalamnya antara lain hematopoietic stem cells (HSC), bone marrow
stromal cells, dan mesenchymal stem cells (MSC). Beberapa riset telah dilakukan
untuk membuktikan manfaatnya sebagai sarana terapi berbasis sel seperti pada
pasien-pasien keganasan hematologi, stroke, maupun terapi infark miokard
(Guckin et al 2005).
Saat ini, aplikasi ESC dalam terapi beberapa penyakit telah banyak
dikembangkan. Transplantasi ESC untuk terapi pada manusia masih menghadapi
persoalan. Hal tersebut dikarenakan adanya persoalan reaksi penolakan imun
antara resipien dengan donor yang tidak dekat kekerabatannya dan masalah etika
ketika harus menggunakan embrio dari manusia. Keadaan itulah yang mendasari
mengapa transplantasi ESC untuk terapi penyakit masih menggunakan hewan
model (Matahine dan Boediono 2006).
Telah

dikemukakan

bahwa

ESC

memiliki

kemampuan

untuk

berdiferensiasi menjadi berbagai tipe sel penyusun tubuh, salah satunya adalah
sel-sel syaraf. Aplikasi ESC untuk terapi penyakit neurodegeneratif terbukti
bermanfaat meskipun masih dalam tahap penelitian pada hewan coba. Beberapa
contoh penyakit neurodegeneratif yang telah dilaporkan dapat diterapi dengan
menggunakan ESC ataupun sel prekursor pada hewan coba antara lain central

5

nervous system (CNS) injury (Liu et al 2000) dan Parkinson (Bjorklund et al
2002). Pada penelitian tersebut terungkap bahwa resipien mampu menunjukkan
perbaikan fungsional pada sistem koordinasinya.
Diferensiasi Embryonic Stem Cells
Stem cell memiliki beberapa sifat dasar yang menjadi ciri-ciri dari stem cell.
Pertama, sel ini dapat bertambah banyak dengan cepat, tanpa mengalami
perubahan morfologis termasuk pada kariotipnya (jumlah kromosomnya) dan
dapat dipertahankan dalam keadaan ‘tidak terdiferensiasi’ untuk jangka waktu
yang lama. Kedua, stem cell yang telah dikultur dapat dikembalikan dengan
mikroinjeksi ke dalam blastosis resipien dan berkontribusi pada perkembangan
embrio hasil penggabungan sel dari dua sumber yang berbeda itu. Embrio yang
dihasilkan dinamakan chimaera (Bryja et al 2006).
Berdasarkan karakter yang dimiliki, ESC dapat diarahkan perkembangannya
menjadi tiga lapisan embrional yaitu mesoderm, endoderm, dan ektoderm.
Berbagai penelitian telah dilakukan guna mengembangkan metode diferensiasi
ESC menjadi tipe sel yang lain, termasuk neuron. Metode tersebut antara lain
melalui pembentukan embryoid bodies (EB). Embryoid bodies merupakan
sekumpulan atau agregat sel yang pertumbuhannya dapat mengarah pada sel-sel
ektodermal, endodermal, dan mesodermal. Metode yang kedua adalah kokultur
ESC dengan sel stroma. Sel stroma dapat menyediakan berbagai faktor yang
dibutuhkan untuk berdiferensiasi. Metode yang ketiga yaitu mengkultur ESC
secara monolayer dengan menggunakan protein sebagai matriks ekstraseluler
(Hoefen et al 2004, Keller 2005). Ketiga metode tersebut telah banyak
dikembangkan guna mendapatkan metode yang dapat diaplikasikan untuk tujuan
terapi. Sementara itu, pada proses diferensiasi sering kali dibutuhkan kondisi in
vitro yang terukur, salah satunya dengan menggunakan medium bebas serum. Hal
tersebut dikarenakan serum memiliki berbagai macam senyawa seperti protein,
hormon, dan growth factor (Puspitasari et al 2008).
Berbagai riset telah dilakukan dengan menerapkan EB sebagai fase atau
tahap prediferensiasi dari ESC. Wei et al 2005 mengungkapkan bahwa
pembentukan EB diperlukan dalam diferensiasi in vitro. Selama diferensiasi,

6

agregat sel tersebut memiliki kemampuan untuk mengekspresikan perkembangan
embriogenesis. Kumpulan sel ini memiliki karakter seluler dari tiga lapis germinal
yaitu ektodermal, mesodermal, dan endodermal. Pada kondisi tertentu EB dapat
berkembang membentuk suatu tipe sel dengan memberikan sinyal yang tepat dan
juga dipengaruhi oleh interaksi antar sel (Bhattacharya et al 2005).
Dengan

mempertimbangkan

aspek

efisiensi

dari

metode

untuk

mendiferensiasikan ESC, beberapa peneliti telah memperkenalkan metode yang
lebih simpel dengan hasil yang cukup baik. Metode tersebut adalah
mendiferensiasikan ESC tanpa melalui pembentukan EB. Hal yang mendasarinya
adalah EB memiliki sejumlah sel yang heterogen dengan kompleksitas seluler
yang tinggi sehingga perlu dilakukan purifikasi. Metode yang digunakan yaitu
dengan menumbuhkan ESC yang akan diarahkan perkembangannya secara
monolayer (Conti et al 2005).
Metode tanpa pembentukan EB telah diterapkan pada diferensiasi mESC
menjadi neuron. Motohashi et al 2007 menjelaskan bahwa mESC yang
ditumbuhkan dalam sistem kultur monolayer dengan stimulasi sinyal dari retinoic
acid mampu meningkatkan populasi sel prekursor neural secara signifikan. Koloni
sel yang terbentuk mengekspresikan marker molekuler untuk neuron (beta
Tubulin III) dan sel glia (GFAP). Sementara itu, metode monolayer juga
diaplikasikan pada kultur neural stem cells yang disertai induksi dari EGF dan
bFGF menghasilkan outgrowth sel-sel yang positif mengekspresikan nestin dan
GFAP (Walton et al 2006). Dengan demikian terlihat bahwa metode monolayer
yang dikombinasikan dengan penambahan senyawa penginduksi dapat diterapkan
untuk mendiferensiasikan stem cell menjadi neuron.
Conditioned Medium
Teknik diferensiasi menggunakan faktor penginduksi saat ini telah banyak
diaplikasikan oleh berbagai kelompok riset stem cell. Dengan menilik kembali
pada konsep dasar kultur in vitro, kondisi microenvironment ternyata juga turut
menjadi salah satu faktor keberhasilan. Dengan memberikan microenvironment
yang spesifik, stem cell dapat tumbuh dan berkembang dengan mengekspresikan
karakter tertentu (Sonoyama et al 2007).

7

Salah satu teknik pengarahan adalah dengan mengaplikasikan suatu
senyawa penginduksi misalnya conditioned medium (CM), yang bertindak sebagai
penyedia microenvironment bagi kultur. Conditioned medium merupakan medium
yang dikoleksi dari suatu kultur primer dan mengandung sejumlah komponen
hasil sekresi kultur primer tersebut. Beberapa peneliti mengemukakan bahwa CM
mengandung sejumlah faktor yang dapat menginduksi diferensiasi ESC. ESC
yang dikultur dalam medium bebas serum dengan penambahan CM dapat
berkembang menjadi sel-sel progenitor neuron, neuron, maupun sel-sel glia
(Bentz et al 2006).
Eksplorasi mengenai pengaplikasian CM guna pengarahan stem cell menjadi
neuron saat ini telah memberikan berbagai hasil. Hasil tersebut nantinya
diharapkan dapat berkontribusi untuk menjawab berbagai permasalahan
transplantasi stem cell. Dengan meninjau kembali bahwa CM terdiri atas
komponen yang bermanfaat besar bagi pengembangan metode kultur, maka saat
ini telah dicoba untuk menguraikan komponen CM itu sendiri. Berbagai metode
telah dilakukan guna mendapatkan profil protein penyusun CM (Timmers et al
2007). Dengan demikian dapat diperoleh protein-protein yang menjadi kandidat
dalam diferensiasi stem cell menjadi neuron. CM yang digunakan dapat berasal
dari kultur neural stem cell (Zhang et al 2006), dorsal root ganglia dan sel astrosit
serta glia (Moghadasali et al 2007).
Neural Stem Cell
Pada otak mamalia terdapat tiga area yang mengalami neurogenesis yaitu
subventricular zone (SVZ), olfactory bulb (OB), dan lapisan sel granular
hippocampus (gambar 1). Pengujian terhadap tingkat proliferasi dengan
menggunakan penanda bromodeoxyuridine (BrdU) pada sejumlah mamalia
membuktikan bahwa neurogenesis tetap berlangsung hingga individu mengalami
penuaan (senescence) (Doetsch et al 1997).

8

Gambar 1. Area neurogenesis pada otak mencit yaitu subventricular zone,
olfactory bulb, dan lapisan sel granular hippokampus
(Doetsch et al 1997)
Beberapa subtipe sel teridentifikasi berada di area SVZ dan memiliki
peranan tertentu. Subtipe astrocyte-like cells atau stem cells tipe B memberikan
ekspresi positif terhadap penanda GFAP. Sel glia radial mampu berdiferensiasi
menjadi neural precursor cells. Neural stem cells (NSC) membelah secara
asimetris menghasilkan astrocyte-like cells dan sel prekursor (Tipe C).
Selanjutnya sejumlah sel tipe B dan tipe C membentuk semacam saluran sehingga
neuroblast bermigrasi menuju sub ventricular zone. Neuroblast yang bermigrasi
merupakan hasil diferensiasi sel tipe C dan dinamakan sel tipe A. Neuroblast
membelah hingga terintegrasi sebagai sel granular di area OB. Sementara itu, selneuron yang matur mengisi area korteks. Selanjutnya stem cells di lapisan sub
granular menghasilkan sejumlah sel prekursor (Gambar 2). Kemudian neuroblast
bermigrasi menuju lapisan sel granular dan memiliki dendrit di lapisan molekuler
(Cleary et al 2006). Dengan demikian, pertumbuhan dan perkembangan NSC
melibatkan serangkaian tahapan mulai dari pembelahan, diferensiasi, migrasi, dan
maturasi.

9

Gambar 2. Skema perkembangan neural stem cell dapat diidentifikasi dengan
menggunakan sejumlah penanda yang spesifik (Cleary et al 2006)
Pada umumnya diferensiasi stem cell menjadi neuron mengkonfirmasi
adanya penanda neural progenitor cell (NPC) yaitu nestin. Nestin mengkode
protein filamen intermedit tipe VI. Filamen intermedit diketahui terlibat dalam
pengaturan morfologi bipolar dan kinetika sel prekursor (Kang et al 2007).
Secara struktural, nestin memiliki domain N terminal terpendek dan domain
C terminal terpanjang diantara protein filamen intermedit lainnya. Nestin
merupakan molekul besar dengan terminal memiliki lebih dari 500 residu. Pada
manusia, nestin mengkode protein dengan 1618 asam amino. Nestin sebagai
protein filamen intermedit terlibat dalam pembelahan sel selama tahap
perkembangan awal dari CNS, peripheral nervous system (PNS), dan sel
myogenic. Selama diferensiasi, nestin mengalami down regulasi dan ekspresinya
tergantikan oleh protein filamen intermedit tissue spesific. Ketika berlangsung
neurogenesis dan gliogenesis, nestin digantikan oleh filamen intermedit spesifik
sel yaitu neurofilamen dan GFAP. Selain itu, ekspresi nestin juga muncul pada
saat terjadi kondisi patologis misalnya terjadinya perlukaan sel glia akibat CNS
injury dan saat regenerasi jaringan